Showing posts with label Akazawa Tomoru. Show all posts
Showing posts with label Akazawa Tomoru. Show all posts

Thursday, October 27, 2011

[fanfic] Tsune/Tomoru -

Fandom: Prince of Tennis Musical 2nd Season
Cast: Aoki Tsunenori, Akazawa Tomoru
Rating: NC-17
Warning: BL, AU, OOC, NSFW
Disclaimer: I own nothing
Note: HAPPY BIRTHDAY, NEI!!! *kecup basah*



Tsune sudah nyaris tertidur saat Tomoru meletakkan secangkir kopi panas di hadapannya. Matanya mengerjap pelan dan tersenyum samar, malas bergerak dari posisinya yang bersandar dengan nyaman di sudut sofa ruang tamu apartemen Tomoru. Entah apa yang dicampurkan Tomoru dalam masakannya untuk makan malam mereka tadi, yang jelas sekarang Tsune merasa sangat kenyang, nyaman dan mengantuk. Matanya menutup kembali saat dirasakannya bantalan sofa melesak pelan. Tomoru mengambil tempat di sampingnya, kedua kakinya dilipat di depan dada dan memandang Tsune dengan geli.

“Capek sekali?” tanyanya sambil iseng menusuk pipi Tsune.

Tsune bergumam pelan. “Aku ngantuk. Sejak kapan ya sofa Ena ini terasa senyaman ini?”

Tomoru terkikik geli. ”Bilang saja kalau mengantuk, dong. Kan tak perlu kubuatkan kopi.” Ujung jarinya kali ini menusuk bagian samping tubuh Tsune sampai pemuda itu menggeliat menjauh dan membuka matanya. 

”Aku belum mau tidur,” jawab Tsune sambil menangkap jari Tomoru dan menggenggamnya kemudian menutup matanya lagi.

Tomoru kembali terkikik geli. Matanya yang besar mengerjap, menatap wajah tampan Tsune dengan penuh minat. Wajahnya bersemu merah saat tiba-tiba Tsune membuka mata dan balas menatapnya. Mau berpura-pura melihat ke arah lain tapi Tsune sudah bergerak lebih dulu dan mencuri satu kecupan dari bibirnya. Mata hitam-birunya berkilat jahil, sama dengan cengiran yang menghiasi bibir Tsune. Pun hanya bisa menyentuh bibirnya sendiri karena masih terkejut dan menatap Tsune menegakkan duduknya untuk meminum kopinya. Lagi-lagi Tomoru hanya bisa memandang uap tipis yang menguar samar dari gelas kopi, ditiup perlahan oleh Tsune dan untuk sesaat terlihat seperti membingkai tepi wajah Tsune.

Tomoru menahan nafas. Sekian bulan sejak terakhir kali mereka bertemu dan Tomoru selalu nyaris lupa bahwa Tsune terlihat sangatlah tampan dilihat dari jarak sedekat itu. Dadanya berdebar dan perutnya serasa seperti diaduk-aduk. Tsune melirik ke arahnya dari balik helaian poni yang jatuh menutupi nyaris setengah sisi wajahnya. Tomoru yakin jantungnya berhenti beberapa detik. 

Tomoru pun beringsut mendekat. Sesaat ia ragu untuk merebahkan kepala di pundak Tsune sebelum Tsune tersenyum padanya. Perasaan salang tingkah dan tak karuan itu pun lenyap entah ke mana dan Tomoru bersandar manja ke bahu Tsune, nyaris menyurukkan wajahnya ke lekuk leher Tsune. 

Ia rindu sekali.

Senyum Tsune berkembang makin lebar. “Aku juga.” Ucapnya pelan dan Tomoru terkikik tersipu karena tanpa sadar menyuarakan perasaannya. Tsune menunduk agar ia bisa memandang Tomoru dan dikejutkan oleh Tomoru yang kali ini memberanikan diri untuk mencuri kecupan darinya. Tomoru mengedikkan bahu penuh arti dan menarik tengkuk dengan sebelah tangan. Tsune membuka bibirnya dengan suka rela, membiarkan Tomoru menciumnya dan mendengkur pelan.

Mereka bertukar pandang sesaat, tersenyum seolah mengerti apa yang ingin disampaikan tanpa perlu berkata-kata. Tsune menyelipkan lengan ke pinggang Tomoru dan Tomoru pun beringsut ke pangkuan Tsune sambil kembali menciumnya. Kali ini Tsune balas mencium dengan antusias, bergantian memagut, menjilat, menggigit dan mengulum. Jari-jari Tomoru menyelip ke dalam helaian rambut hitam Tsune, membelai lembut dan mengusap dengan sayang. Tubuhnya menurut saat Tsune kembali bersandar dengan nyaman ke punggung sofa, membawa Tomoru lebih dekat dan lebih rapat padanya. 

Telapak Tsune yang besar dan hangat mengelus lembut punggung dan sisi tubuh Tomoru. Sesekali turun ke bawah untuk meremas bokong kekasihnya itu, membuat Tomoru mengerang pelan dan menciumnya lebih dalam dan lebih bersemangat. Pemuda berambut kecoklatan itu pun tertawa tersipu saat merasakan sesuatu yang hangat dan keras menusuk bagian dalam pahanya. Tsune mengangkat alis, ikut tertawa pelan dan menggerakkan pinggulnya sedikit karena mengetahui hal yang sama pun juga terjadi pada Tomoru. Erangan Tomoru tepat di depan bibirnya membuat Tsune makin bersemangat dan kantuknya pun hilang entah kemana.

Tersengal pelan, Tomoru menyandarkan keningnya pada kening Tsune. Sesekali lidahnya menjilat bibir bawahnya. Tsune menyentuhkan ibu jarinya ke bibir tipis Tomoru yang kini begitu merah. Diusapnya pelan dan lembut seperti takut bibir itu akan terluka. Tomoru tersenyum dan kembali nafasnya tercekat saat mendapati Tsune menatapnya dengan penuh cinta. Tanpa banyak kata, Tomoru berdiri dan mengulurkan tangan ke arah Tsune yang menyambut dengan senyum miring dan membimbing mereka ke kamar tidur. 

Tanpa buang-buang waktu, mereka saling menanggalkan pakaian masing-masing. Bukan pekerjaan yang sulit mengingat mereka hanya mengenakan kaus dan celana olahraga. Tomoru baru saja hendak menarik lepas celana dalamnya tapi Tsune sudah mendorongnya ke tempat tidur dan menindihnya. Tomoru tertawa pelan dan menyambut ciumannya tanpa banyak komentar.

Seperti biasa, tiap kali mereka bertemu dan bercumbu, Tsune memperlakukan Tomoru dengan begitu lembut. Tentu saja, Tsune selalu punya alasan untuk itu. Frekuensi pertemuan yang dalam setahun bisa dihitung dengan jari, membuat Tsune tak pernah merasa ada perlunya untuk buru-buru. Tiap kali mereka bercumbu, Tsune selalu merasa seperti mereka kembali lagi ke awal. Mengenal lagi, mencari tahu lagi, mengingat-ingat apa yang tak disuka atau apa yang membuat mereka lupa diri. Tiap sentuhan, tiap kecupan, satu per satu ditanamkannya baik-baik dalam ingatannya.

Sebut saja dia egois kalau menjawab tak tahu apakah Tomoru pun merasakan hal yang sama tapi pacar tercintanya itu sama sekali tak pernah memprotes. Mungkin juga tak sempat karena perhatiannya sudah dialihkan oleh Tsune pada hal lain yang lebih penting saat itu. Seperti berkonsentrasi karena Tsune tengah mengecupi seluruh tubuhnya mulai dari leher, dada, perut, dan kini selangkangannya. Beberapa kali ia menggigit bibir, berusaha agar tak mengerang terlalu keras karena sungguh, ia benar-benar menyukai sentuhan Tsune dan rasanya sangatlah nikmat.

Tsune menyeringai puas begitu Tomoru akhirnya mengerang keras karena Tsune menggigit pangkal pahanya. Pelan, tentu saja, namun tempat itu adalah salah satu bagian tubuhnya yang cukup sensitif. Tsune kemudian mengecup tempat yang baru saja digigitnya, seolah meminta maaf dan bergerak lagi menyentuh tempat lain yang jauh lebih sensitif dan butuh perhatian lebih saat itu. Kepala Tomoru terbenam ke dalam bantal sementara erangan pelan meluncur tanpa putus dari bibirnya. Pinggulnya tersentak sesekali, berusaha mendapatkan lebih dari diberikan namun Tsune tak menyerah begitu saja dan menahan pinggul Tomoru dengan satu tangan.

Tsune kemudian mengangkat tubuhnya, sesaat tak mempedulikan Tomoru yang memandangnya dengan tatapan bertanya. Sekali lagi ia merebahkan tubuhnya di atas tubuh Tomoru dan memastikan agar ia tak terlalu membebani pacarnya itu. Tsune memeluknya dengan erat dan Tomoru hanya bisa balas memeluk dan menciumnya.

“Ena cantik,” desis Tsune sambil menggigit pelan bibir bawah Tomoru, menyukai bagaimana wajah Tomoru yang sudah bersemu berubah menjadi semakin merona karena pujiannya. 

“Tsune-kun juga tampan.” Balasnya sambil tersipu dan tersenyum senang saat mendapati telinga Tsune memerah karenanya.

Mereka berciuman lagi dan Tomoru menyelipkan tangannya agar ia bisa menyentuh Tsune di bawah sana. Tsune menarik nafas tajam dan mendesah saat jemari Tomoru melingkar mantab dan bergerak pelan. Pemuda itu beringsut, memutar posisi mereka dan dengan senang hati melebarkan kedua kakinya untuk Tomoru. 

Tsune menutup matanya dan menggeram rendah. Berat tubuh Tomoru di atasnya tak pernah jadi beban yang memberatkan untuk Tsune. Apalagi dengan kondisi seperti sekarang. Pemuda itu meletakkan tangannya di atas kepala Tomoru, memberi petunjuk dengan lembut. Sentuhan lembut dan basah di antara kedua kakinya sukses membuat Tsune terengah hebat dan Tomoru tersenyum senang, sedikit merasa bangga pada dirinya sendiri. Dalam hati berharap hanya ia satu-satunya orang yang pernah melihat Tsune seperti ini.

Ia kembali mencium Tsune, menyelipkan lidahnya dalam-dalam dan menghisap lidah Tsune dengan penuh hasrat. Sambil terengah, ia berbisik, “I want you.”

Tsune membelai kepalanya dengan lembut, lalu menyusuri garis rahang Tomoru dengan buku jarinya. Dijentiknya ujung hidung Tomoru dengan sayang dan melempar seringai lain. “You’re already on top of me.” 

Wajah Tomoru memerah hebat meski kepalanya mengangguk. Sejenak ia menjulurkan tubuhnya agar bisa menjangkau laci di samping tempat tidur. Dengan penuh konsentrasi, ia memasangkan kondom pada Tsune dan mempersiapkan dirinya sendiri. Tsune menyelipkan sebelah lengan ke bawah kepalanya sendiri sebagai sandaran agar ia bisa melihat dengan lebih jelas apa yang dilakukan Tomoru. Kemaluannya bereaksi menyaksikan Tomoru menyelipkan dua jari ke dalam tubuhnya sendiri dan mengerang selama prosesnya. Disentuhnya lutut Tomoru dengan ujung jari-jarinya dan Tomoru tersenyum. Mereka berciuman lagi sebelum Tomoru mulai memposisikan tubuhnya dan perlahan membimbing Tsune ke dalam kehangatan tubuhnya.

Tsune menjulurkan kedua tangannya, mengambil kedua tangan Tomoru dan mengaitkan jari-jari mereka begitu tubuhnya terbenam sempurna di dalam tubuh Tomoru. Tsune mendesah panjang dan Tomoru menggeleng, mencegah Tsune untuk langsung bergerak atau ia akan meledak saat itu juga. Karena itu Tsune membiarkan Tomoru mengambil waktunya meskipun rasanya ia pun siap meledak kapan pun. Berada dalam tubuh Tomoru yang hangat dan mencengkeram erat tanpa melakukan apapun saja rasanya sudah sangat luar biasa nikmat. Untunglah Tomoru tak butuh waktu lama untuk membiasakan diri. Pegangan tangannya pada tangan Tsune mengerat dan ia pun mulai bergerak pelan. 

“Ah, Tsune-kun...” Tomoru mendengkurkan namanya. Kepalanya terlempar ke belakang saat ia bergerak lebih cepat.

“Feels good?” tanyanya Tsune dengan suara parau, mendesah tiap kali Tomoru menggerakkan pinggulnya.

Tomoru mengangguk. ”Un. Kimochi ii. Aah.” Dilepasnya pegangan tangan mereka dan merebahkan tubuhnya untuk memeluk Tsune dan menciumnya. Wajahnya kemudian disurukkan ke lekuk leher Tsune dan mengerang tanpa malu-malu begitu Tsune ikut bergerak bersamanya.

Getaran suara Tomoru seolah menembus kulit Tsune dan merayap ke dalam tubuhnya. Geramannya menimpali erangan dan desahan Tomoru dengan harmonis. Tomoru terengah saat Tsune berhenti bergerak dan memeluknya erat. Pemuda itu bangkit untuk duduk dan memposisikan Tomoru di atas pangkuannya. Tomoru mengerang pelan dan melingkarkan kedua lengannya di sekeliling pundak Tsune. Tak ada pertanyaan di dalam mata lebarnya saat ia memandang Tsune. Hanya kepercayaan penuh dan permohonan untuk diberi kenikmatan penuh karena ia sungguh sudah tak tahan lagi. 

Tsune menciumnya, memeluk pinggang Tomoru dengan erat dan mulai menggerakkan pinggulnya lagi. Tomoru mengerang lebih keras ke dalam ciuman mereka sebelum akhirnya menjauh dan memeluk Tsune erat-erat. Posisi seperti itu memudahkan Tsune menjangkau titik di dalam tubuh Tomoru yang dengan pasti akan membuatnya mencapai kenikmatan. Tomoru terisak, memohon agar Tsune bergerak lebih cepat, lebih keras dan lebih dalam dan Tsune dengan senang hati memenuhi keinginannya. 

“Tomoru,” Tsune mendesiskan nama kekasihnya sambil menciumnya entah untuk yang keberapa kali. “Suki?” tanya lirih diiringi lenguhan rendah karena Tomoru mencengkeram terlalu keras.

Tomoru terisak. “Un. Suki.” Ia menggigit bibir Tsune. “Tsune-kun daisuki.”

Dan hanya itu yang dibutuhkan Tsune untuk melepaskan kendali dirinya, menyentak cepat hingga seluruh tubuh mereka terguncang. Tomoru menjerit keras, seluruh tubuhnya mengejang dan Tsune secara mendadak berhenti bergerak untuk melepaskan seluruh hasrat dan perasaannya ke dalam tubuh Tomoru. 

Tubuh mereka tersentak pelan dengan sendirinya, tak ada yang berani bergerak meski Tomoru merasa ia perlu mencium Tsune dan dilakukannya tanpa ragu. Terengah-engah, Tsune membawa mereka berbaring dengan bibir masih saling memagut. Tsune menjentikkan jari di ujung hidung Tomoru dan mereka tertawa pelan di antara nafas yang terengah. 

Tsune memeluknya erat-erat dan berbisik di telinganya. “I really miss those little noises that you make every time we make love.”

Tomoru tertawa dan menyikut perutnya dengan agak keras hingga Tsune mengaduh. Ia memutar tubuh dan berbaring membelakangi Tsune. Sambil mengulum senyum, ia berbisik. “I also miss how easy it is to get you off by telling you that I love you.”

“……….........and I love you, too.”

-end-


Thursday, June 23, 2011

[fanfic] Coping Mechanism

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger/Prince of Tennis Musical 2nd Season
Cast: Inoue Masahiro, Matsuzaka Tori, Aoki Tsunenori, Akazawa Tomoru
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: All respective agency offices. I do not own anyone/anything. No harm intended. No profit gained.
Note: Bosan. Ngantuk. Maaf gejeh.



Kenyataan bahwa Tsune punya pacar, cukup membuat Masahiro terperangah. Kenyataan bahwa Tsune punya pacar bertampang sangat imut dan mereka berhubungan jarak jauh selama 2 tahun terakhir, membuat pemuda jangkung itu tak bisa berkata apa-apa dan  malah menatap curiga pada sepupunya itu. Tsune memang bukan mantan playboy seperti dirinya tapi Masahiro harus mengakui dengan berat hati kalau sepupunya itu pun punya tingkat popularitas yang tak kalah tinggi dengannya. Ditambah lagi, Masahiro tak pernah percaya konsep hubungan jarak jauh. Yang ada di depan mata saja harus susah payah dijaga dan tak bertemu Tori beberapa hari saja sudah membuatnya resah luar biasa.

Kalau diperhatikan lagi, sepertinya Tsune memang tak bohong. Karena, meskipun Tomoru tampak sedikit malu-malu, genggaman tangan mereka tampak sangat mesra dan Masahiro mengenal dengan baik tatapan mata Tsune saat memandang Tomoru. Apalagi kalau diperhatikan dari cara Tsune yang selalu menempatkan dirinya tepat di sebelah Tomoru -yang kemudian Masahiro tahu itu bukan sekedar karena ingin berdekatan tapi juga karena Tomoru cukup ceroboh dan gampang tersandung atau menjatuhkan sesuatu- mengingatkan Masahiro pada Tori yang selalu mengawasi dan mengomelinya kalau Masahiro cuek atau sembarangan mengerjakan sesuatu.

Tapi perhatiannya saat ini tertuju pada Tori yang langsung akrab dengan pacar sepupunya itu. Bukan sesuatu yang aneh, tentu saja. Tori memang begitu. Suka yang lucu-lucu, selalu baik dan ramah pada siapapun. Tomoru pun tampaknya menyambut Tori dengan baik (atau mungkin ia berpikir kalau Tori toh akan jadi bagian keluarga Keigo jadi dia harus bermanis-manis? Entahlah). 

Masahiro menumpukan lutut kanannya di atas lutut yang kiri, pura-pura sibuk berkutat dengan iPhone-nya sembari sesekali mencuri pandang ke arah Tori dan Tomoru yang sedang heboh sendiri di depan salad bar. Beberapa pengunjung restoran termasuk beberapa pelayan pun memperhatikan dokter tampan dan pemuda manis itu berdiri bersisian, memilih campuran isi salad. Sampai tak sengaja matanya menangkap pandangan Tsune yang duduk di seberangnya dan Masahiro hanya melotot lalu melengos.

“Kau memperhatikan yang mana?” Cengir Tsune.

“Apa maksudmu ‘memperhatikan yang mana’?” tukas Masahiro, agak tersinggung.

Tsune menjulurkan lidah. “Aku masih belum lupa kalau kau ini playboy loh.”

“Berisik.” Masahiro melengos seraya menggembungkan pipinya. “Itu kan dulu.” Gerutunya tak jelas.

Tsune terbahak. Kepala manggut-manggut dengan gaya sok mengerti. “Aku tahu. Wajar sih. Matsuzaka-sensei seksi sekali, sih.”

“Oi!”

“Apa? Aku kan cuma mengatakan kenyataan.” Balas Tsune sambil mengedikkan bahu. “Memangnya kau tak mau mengakui kalau calonmu itu luar biasa menggoda ya?”

Masahiro melipirkan matanya ke samping. “Aku kelimpungan gara-gara itu, tahu.”

Tsune mengangkat alis. “Banyak saingan?”

Dengan berat hati, Masahiro mengangguk. “Tak banyak, tapi berat. Kau lihat sendiri tingkahnya. Terlalu baik, terlalu ramah, terlalu mudah percaya pada orang. Tentu saja jadi banyak yang melirik.”

Tsune tertawa mendengar rajukan sepupunya itu. “Yah, sudah kuduga sih.”

“Iya kan? Makanya aku penasaran.” ujar Masahiro, akhirnya meletakkan iPhone-nya di atas meja di depan mereka. “Kau benar-benar sudah pacaran dengan Akazawa-kun selama itu? Dua tahun?”

Tsune mengangkat dan menggerakkan telunjuknya. “Dua setengah tahun.”

Whatever.” Masahiro mengibaskan tangannya tak peduli. “Benar?”

“Aku tak mengerti maksudmu.” Tsune terkekeh. “Tentu saja aku benar-benar pacaran dengan Tomoru. Memangnya kau pikir apa? Dia pacarku kalau aku sedang di Jepang saja dan kalau aku kembali ke Amerika aku jadi pria lajang lagi, begitu?”

Masahiro mengedikkan bahunya. “Siapa tahu kan?”

Komentarnya itu dibalas dengan sedotan melayang tepat ke dahinya. “Sekali lagi kubilang ya. Aku bukan kamu. Sembarangan saja bicara. Aku pulang saja ke Amerika nih. Terserah kau mau kelimpungan dengan pernikahanmu.”

Pemuda jangkung itu berdecak sebal. “Aku kan cuma memastikan. Kalau memang benar begitu, aku penasaran kenapa kau bisa tahan.”

“Bilang saja begitu kenapa sih?” Tsune mengerutkan alisnya. Matanya yang tajam memicing sejenak namun kemudian menatap sepupunya dengan pandangan geli bercampur sedikit bingung. “Tentu saja bukan hal mudah loh. Waktu memintanya untuk jadi pacarku pun itu keputusan yang agak mendadak dan nekat. Tapi aku sama sekali tak punya keinginan untuk melepasnya begitu saja waktu Tomoru akan kembali ke Jepang.”

Masahiro memajukan tubuhnya, mendengarkan dengan penuh minat. Tsune tersenyum miring dan mengetuk kening Masahiro. “Kami bicara semalam suntuk dan setuju untuk mencoba dulu. Dan kau lihat sendiri, kami masih pacaran sampai sekarang.”

Masahiro menatapnya dengan ragu. “Tidak ada cemburu? Khawatir? Kesal? Kangen?”

“Cemburu dan khawatir sih pasti. Tapi kalau dipikirkan nanti malah stress. Kau tahu aku kan? Mana suka aku berpikir yang susah-susah begitu.” Tsune tertawa renyah. “Dan kami selalu berusaha bertemu kalau ada kesempatan, kok. Lebih sering aku yang ke sini sih.”

“Hah? Kalau ke sini kenapa tak bilang-bilang?” Masahiro berseru kaget. “Aniki bisa ngamuk kalau tahu.”

“Makanya aku tidak memberitahu. Dan kau juga tak akan bilang apa-apa sama mereka, oke?” Kedua bola matanya yang berbeda warna menatap dengan tajam. Persis tatapan mata Kazuki dan Masahiro hanya bisa mengangguk patuh. “Aku hanya sempat pergi di akhir minggu dan kupikir kau pasti mengerti kalau aku hanya ingin melewatkannya dengan Tomoru kan?”

Masahiro mengangguk-angguk. Rasa penasarannya memang sudah mulai terpuaskan tapi tetap saja tuan muda yang manja itu tak mengerti. Mau bagaimanapun, ia tak akan sanggup berjauhan dengan Tori. Kepalanya selalu penuh dengan Tori hingga ia butuh waktu cukup lama untuk benar-benar bisa menyisihkan ruang untuk kakak-kakaknya, kuliah, pekerjaan dan hobinya. Itupun ia sama sekali tak bisa benar-benar tidak memikirkan Tori. Beberapa hari tak bertemu, ia resah. Seminggu tak bertemu, ia uring-uringan. Lebih dari itu, jangan harap orang berani macam-macam padanya.

Tsune mendenguskan tawanya. “Sudah puas?”

Masahiro meraih gelas iced lemon tea-nya. Baru saja akan menyahut lagi tapi Tori dan Tomoru sudah keburu kembali ke meja mereka. Masing-masing membawa dua mangkuk salad di tangannya. Tsune tersenyum saat Tomoru meletakkan semangkuk salad di hadapannya sambil berujar “Arigatou,” dengan lembut. Tomoru balas tersenyum dan langsung mengambil garpu dan sibuk mengunyah. 

Tori juga meletakkan semangkuk salad di hadapan Masahiro dan mengerutkan kening mendapati tunangannya itu menatap pasangan di hadapan mereka. Disikutnya pelan perut pemuda itu. “Ma-kun, tidak sopan.”

Masahiro merengut. “Memangnya tidak boleh?”

Tori merendahkan suaranya. “Tidak enak sama Tomoru-kun, loh. Nanti kalau dia jadi takut sama Ma-kun, aku tidak ikut-ikut ya.”

“Memangnya aku seseram itu?”

Tori malah tertawa pelan dan mencubit hidung pemuda itu dengan gemas. “Bukan cuma Ma-kun. Kubota-sensei, Katou-sensei, umh... Sainei-san tidak terlalu ya, sampai Tsunenori-kun juga begitu.” Masahiro menggembungkan pipinya tak terima dan Tori mengecup pipinya sekilas. “Lagipula kenapa memperhatikan mereka sampai sebegitunya sih?”

“Masahiro cuma ingin tahu kenapa aku dan Tomoru bisa awet padahal kami berjauhan.” Sahut Tsune yang ternyata mendengar pembicaraan mereka. Sebelah tangannya terangkat untuk merangkul pundak Tomoru. Mendengar itu, Masahiro mendelik dan buru-buru mengibaskan tangan. “Cuma ingin tahu.” kilahnya.

Tori mengangkat alis dan Tomoru pun mengangkat kepalanya, menatap Tsune dan Masahiro bergantian. “Tsune-kun bilang apa?” tanyanya penasaran. Tori ikut-ikutan mendekatkan wajahnya, menoleh penuh minat pada sang sepupu Keigo yang tampan itu. “Aku juga penasaran loh, Tsunenori-kun. Apa sih rahasianya?”

“Kenapa Tori juga ingin tahu sih?” protes Masahiro, berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Diam dong.” protes Tori, memukul pelan punggung tangan Masahiro.

Tsune tertawa, mengeratkan pelukannya di pundak Tomoru. Sepasang mata hitam-biru-nya berkilat jahil. “Berusaha percaya, usahakan bertemu kalau bisa, dan yang paling penting...” Tsune mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi. “Phone sex. Lots and lots of phone sex.”

Sikut Tori tergelincir dari atas meja. Masahiro tersedak iced lemon tea-nya.

“Tsune-kun!”

Saturday, June 11, 2011

[fanfic] AU TsunexTomoru - Fever

Fandom: Tennis no Ouji-sama Musical 2nd Season
Cast: Aoki Tsunenori, Akazawa Tomoru
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC, cheesy lines
Disclaimer: I do not own anything
Note: Karena Tomoru adalah marmut jepang yang sangat lucu dan tampak enak buat diuyel-uyel. Ne, tanuki? XDD



"Grande hazelnut latte. Skim milk. Decaf." Tsune menyambut gelas yang diulurkan padanya sambil tersenyum sekilas. Setelah menyelipkan sejumlah tip, matanya mulai beredar memandang seisi kafe itu sampai dilihatnya Kikuchi melambaikan tangan ke arahnya dari meja di dekat pintu toilet.

Tsune mendengus dan mendekat. "Tak ada tempat yang lebih baik?" Desisnya sambil menjatuhkan ranselnya ke lantai dan duduk menyilangkan kaki di depan temannya.

Kikuchi mendelik tak terima. "Tempatnya penuh. Lihat sendiri kan? Dan kau tak suka duduk di luar."

Pemuda tampan itu mengedikkan bahu dan menyisir poninya dengan jari-jari tangan. Disesapnya kopinya dengan perlahan sambil melirik ke arah pintu sementara telinganya samar menangkap suara Kikuchi yang mulai berceloteh tentang pesta mahasiswa Jepang minggu depan.

"...jadi menurutmu enaknya bagaimana? Patungannya tak terlalu mahal kan? Oooi! Are you listening?"

Tsune mengangkat alis." Aanh? Oh, ya, terserah saja. Berapapun tak masalah." Ujarnya cepat sebelum Kikuchi ngamuk. "Ngomong-ngomong, lihat Tomoru? Dari kemarin kok tak kelihatan ya."

Ganti Kikuchi yang mengangkat alis. "Untuk apa cari Akazawa?"

"Aku cuma mau bilang kalau diktat yang dia cari sudah ada." Jawabnya acuh.

Kikuchi nyengir. "Ya simpankan saja. Lagipula kau tak perlu cari alasan begitu. Dilihat juga tahu kalau kau tertarik padanya."

Mata Tsune melemparkan tatapan tajam. "Problem?"

Temannya mengangkat kedua tangannya. "Nothing. Whatever floats your boat."

Tsune memutar bola matanya. "Jadi? Lihat tidak?"

Kikuchi menggigit donat yang ada di atas meja. "Tidak. Coba saja tanya anak yang di sana itu." Kikuchi menggerakkan dagunya ke arah seorang mahasiswa yang sedang duduk sendirian tak jauh dari mereka. "Kalau tak salah dia sekelas dengan Akazawa kan? Lagipula, kenapa tak telepon saja? Kau punya nomornya kan?"

Tsune mengetukkan ujung jari telunjuknya ke tutup gelas kopinya. Tentu saja dia punya nomor telepon Tomoru. Hanya saja dia tak pernah menggunakannya karena merasa belum perlu. Toh sejak perkenalan resmi mereka dua bulan yang lalu, hampir tiap hari mereka bertemu di kampus. Seringkali bahkan Tomoru ikut makan siang atau sekedar minum kopi dengan Tsune dan Kikuchi yang dengan senang hati membantunya menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus.

Memang, Tsune tertarik pada pemuda mungil yang sangat manis itu. Tapi harga dirinya masih menahannya untuk bergerak terlalu cepat. Tomoru nampak mudah takut pada apapun dan Tsune tak ingin menambah masalahnya. Lagipula, Tomoru ada di situ hanya setahun. Waktu yang terlalu singkat untuk dihabiskan berdua seandainya ia boleh terlalu besar kepala.

Tsune menggigit bibir sekilas sebelum akhirnya mengeluarkan handphone-nya dari dalam saku celana. Kikuchi nyengir.

------

Tomoru menggerut ujung selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke dagu. Terbatuk beberapa kali dan nafasnya terasa begitu berat. Demamnya makin parah sejak semalam. Membuka mata saja rasanya pusing sekali. Meskipun begitu, tak urung matanya melirik pada sesosok pemuda yang tengah sibuk mondar-mandir di dapur kecil apartemennya.

Tiba-tiba saja Tsune meneleponnya dan Tomoru baru bisa menjawab setelah dua panggilan terlewatkan. Menjelaskan dengan terbata kalau ia demam dan tak bisa ke kampus. Pun menjawab sebisanya saat Tsune menanyakan alamat apartemennya. Setengah jam kemudian, pemuda itu muncul. Tomoru pasrah saja ditarik kembali ke tempat tidur karena tak punya tenaga untuk protes. Dibiarkannya Tsune menatap beberapa bungkusan obat di atas tempat tidur dan menggeleng pelan saat ditanya apakah ia sudah makan. Tomoru mengernyit saat mengerutkan kening, bergumam kalau ia akan membuatkan sesuatu dan menghilang ke dapur.

Terus terang, ia senang Tsune datang. Pemuda itu begitu baik padanya dan meskipun kadang tatapan matanya yang tajam membuat Tomoru takut, ia tidak pernah menjauh. Tsune mengantarnya keliling kota, menunjukkan tempat dan toko-toko yang mungkin berguna untuk Tomoru. Menemaninya makan siang atau mengajaknya bergabung dengan teman-temannya. Tomoru bukannya tak bisa menebak apa arti pandangan Tsune. Ia hanya tak mau terlalu besar kepala. Pemuda itu tampan dan sepertinya punya cukup banyak penggemar. Lagipula, mereka baru saja mulai berteman.

"Bisa bangun?" Suara Tsune yang dalam membuatnya menarik diri dari pikirannya dan mengangguk lemah. Tsune membantunya duduk, mengatur bantal di sandaran tempat tidur hingga Tomoru bisa duduk dengan nyaman. Tsune duduk di sisinya sambil memegang mangkuk berisi bubur yang mengepul.

"Ini instan sih. Tapi setidaknya kau harus makan sesuatu." Ujar Tsune sambil meniupi bubur itu dan mengaduk dengan sendok.

Tomoru mengangguk. Mata bulatnya mengerjap saat Tsune mengangsurkan sesendok bubur ke arah mulutnya. "Umh...aku makan sendiri saja..."

"Tak usah macam-macam. Kau kan sedang sakit." Tukas Tsune sambil menatapnya dengan tajam. Warna matanya yang berbeda membuatnya jadi terlihat mengancam meski pemuda itu tak bermaksud begitu.

Tomoru menurut. Dengan perlahan, bibirnya membuka dan melahap pelan. Dalam hati, ia bersyukur karena sedang demam atau ia harus menyembunyikan wajahnya yang memerah. Tsune tersenyum miring, menyendok lagi dan meniup beberapa kali sebelum mengangsurkannya pada Tomoru.

Tsune menyerah saat Tomoru menggeleng keras dan menolak untuk makan lagi karena mulutnya terasa begitu pahit. Toh, buburnya sudah dimakan setengah. Tsune menunggu sementara Tomoru meminum obatnya dan membantunya berbaring lagi. Ditepuknya lembut selimut yang menutupi tubuh Tomoru dan pemuda itu mungil itu membenamkan wajahnya ke balik selimut. Tomoru memejamkan matanya karena kepalanya terasa pusing lagi.

Sepertinya ia langsung tertidur karena begitu ia membuka mata, lampu kamarnya sudah menyala dan di luar sudah gelap. Tomoru meraba keningnya, diam sejenak dan menyimpulkan kalau demamnya sudah agak berkurang. Mengerahkan segenap tenaganya, Tomoru berbaring menyamping, memandang kamarnya yang lengang.

Demamnya pasti tinggi sekali sampai ia bermimpi kalau Tsune datang dan merawatnya. Ia yakin itu mimpi karena jam segini biasanya Tsune masih bertugas di perpustakaan. Meskipun ia tak bisa menjelaskan bagaimana caranya ada baskom dan lap kompres di dekat tempat tidurnya -seingatnya itu tak ada saat ia menjatuhkan diri ke tempat tidur kemarin malam- dan bagaimana caranya ia berganti piyama -semalam rasanya motifnya beruang berwarna kuning, sekarang biru tua polos.

Mengerjap beberapa kali lagi, Tomoru memutuskan untuk tidur lagi saja.


Tsune menekan tombol di handphone-nya, mengakhiri pembicaraan dengan ibunya setelah memberitahu kalau ia tak akan pulang malam itu. Dengan perlahan, ia masuk lagi ke dalam ruangan dari beranda mungil itu. Ditiliknya si pemilik apartemen yang masih tertidur pulas. Tsune mendekat dan meraba keningnya dengan hati-hati. Masih demam. Mungkin sebaiknya besok ia memanggil dokter keluarganya untuk memeriksa Tomoru.

Ini pertama kalinya Tsune menjaga orang sakit namun sepertinya ia cukup berbakat. Setidaknya, ia tahu apa yang harus dilakukan, meniru apa yang dilakukan pengasuhnya saat Tsune kecil sakit. Termasuk mengganti baju Tomoru yang basah karena keringat. Ia pernah dengar kalau baju yang basah kena keringat tak diganti, nanti malah bisa memperparah kondisi si orang yang sedang demam tinggi itu. Entah benar entah tidak, yang jelas Tsune tak mau sampai membuat Tomoru masuk rumah sakit.

Tak disangkal kalau ia harus menggigit bibir saat mengganti piyama Tomoru. Bukan pekerjaan yang mudah karena Tomoru tertidur pulas dan kulitnya putih sekali. Terasa begitu hangat saat disentuh. Terlalu hangat karena demamnya. Dan Tsune tak akan menyangkal kalau ia memandang agak terlalu lama. Tidak pada tempatnya, memang tapi mau bagaimana lagi?

Tsune menarik tangannya karena Tomoru membuka mata. Ia tersenyum pada Tomoru yang juga tersenyum lemah.

"Tsune-kun?"

"Apa?"

Pemuda itu menyentuh pergelangan tangannya. "Bukan mimpi ya."

Tsune mendenguskan tawanya dan menggeleng. "Demammu tak separah itu sampai kau berhalusinasi kok." Godanya.

Tomoru tak menyahut. Tangannya masih melingkar di pergelangan tangan Tsune sampai akhirnya Tsune memutuskan untuk duduk di sisi tempat tidur dan meletakkan tangannya yang digenggam di atas dada Tomoru yang tertutup selimut. Tangannya yang lain menyingkirkan helaian poni kecoklatan dari kening Tomoru. Seulas senyum lembut tersungging di bibir Tsune sementara Tomoru memejamkan dan membuka matanya bergantian.

"Pusing?" Tanya Tsune dengan nada yang begitu lembut dan khawatir.

Tomoru menggeleng pelan. Tanpa sadar mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Tsune. Pemuda berambut hitam itu terdiam sesaat, menatap tangan mereka dengan penuh perhatian sebelum menyentuh pipi Tomoru dengan ujung jemari. Tomoru membuka matanya perlahan. Sepasang mata bulat besar bertemu dengan sepasang yang tampak serupa tapi tak sama.

Banyak hal berputar dengan cepat di dalam kepala Tsune dan belum pernah ia merasa semantab dan seyakin itu sebelumnya. Ia tersenyum lembut pada Tomoru, memastikan pemuda mungil itu benar-benar bangun sebelum mulai bicara.

"Kita pacaran yuk."

Tomoru mengerjap. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Beberapa kali. "Eeh?"

Tsune tertawa pelan. "Kau dengar aku."

Tomoru memiringkan kepalanya. "Tapi...kenapa?"

Tsune mengedikkan bahunya. "Tak ada alasan. Tapi kupikir, aku tak bisa meninggalkanmu sendirian dan kurasa, bukan aku saja yang berpikir begitu kan?" Diliriknya tangannya yang tergenggam.

Tomoru mengikuti arah pandangan matanya dan tampak tersipu meski tak menarik tangannya menjauh. Matanya kemudian kembali memandang Tsune.

"Aku kan sering merepotkan Tsune-kun." Bisiknya ragu.

"Justru karena itu." Tsune berujar. Dijentiknya pelan ujung hidung Tomoru. "Aku tak akan merasa direpotkan kalau kau jadi pacarku."

Tomoru membenamkan bagian bawah wajahnya ke dalam selimut. Tsune menepuk pelan dadanya. "Menggeleng atau mengangguk saja sudah cukup, kok."

Tsune tak menyangka kalau jawabannya akan datang dengan begitu cepat. Tomoru menggerakkan kepalanya. Bukan ke kiri dan ke kanan tapi ke atas dan ke bawah. Samar tapi jelas itu sebuah anggukan.

Tsune tersenyum lebar, memutar tangannya dalam genggaman tangan Tomoru yang hangat, menjalin jemari mereka dan membawanya ke depan bibirnya. Disentuhkannya bibirnya ke punggung tangan Tomoru, memperhatikan bagaimana wajah Tomoru yang kemerahan berubah menjadi merah sekali. Kemudian ia merunduk, mendaratkan sebuah kecupan di kening Tomoru. Didengarnya pemuda mungil itu menarik nafas dan menghela pelan. Dikecupnya sekali lagi kulit yang hangat itu, mengelus rambut coklat Tomoru yang terasa luar biasa lembut.

"Sekarang makan ya." Bisiknya lembut.

Tomoru mengangguk.

-end-

Thursday, June 9, 2011

[fanfic] AU TsunexTomoru - Here With You

Cast: Aoki Tsunenori, Akazawa Tomoru
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I own nothing
Note: Pendek saja yaaaaa. Gejeh puuun. Buat tanuki tersayang~




Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali Tomoru merasakan hangat kedua lengan Tsune melingkar erat di pundaknya, juga panas tubuh Tsune di sekelilingnya.

Setahun yang lalu. Tomoru tak mungkin salah ingat karena siapa yang bisa lupa kapan terakhir kali bertemu dengan kekasih apalagi dengan frekuensi bertemu yang bisa dihitung dengan jari?

Tomoru bukannya mengeluh. Hanya saja terkadang rasanya sepi sekali.

Matanya mengerjap pelan, mulai menyadari kenapa dia berpikir begitu. Tsune sudah tak ada di sampingnya. Hanya menyisakan rasa hangat di salah satu tempat tidur mungil itu. Tomoru membenamkan wajahnya ke dalam bantal lalu mengerang sebal. Lalu berguling. Lalu merasakan sisi tubuhnya terantuk lantai yang keras dan dingin diiringi bunyi jatuh yang cukup keras.

"Argh!"

Kecerobohannya tak akan hilang sampai kapan pun. Tomoru merengus sekilas tapi tak beranjak bangun, malahan berguling sekali lagi di lantai.

Samar, telinganya menangkap bunyi langkah kaki menapak lantai kayu. Tak lama terdengar suara tawa yang rendah dan renyah.

"Sedang apa sih?"

Tomoru mengangkat kepalanya. "Jatuh."

"Dilihat juga sudah tahu." Komentar Tsune. Sudah mengenakan celana boxernya, tangannya menggenggam cangkir -yang tampaknya berisi kopi kalau ditilik dari wangi yang tercium hidung Tomoru- dibantunya Tomoru berdiri dan duduk di tepi tempat tidur.

"Sudah mau pulang?" Tanya Tomoru pelan sambil mengambil cangkir dari tangan Tsune.

"Hm? Belum sih. Hari ini tak ada acara apa-apa kok. Belum tahu juga sih. Tergantung yang punya acara." Tsune mengangkat kakinya dan menyilangkan kedua tungkainya. "Tidak kerja?"

Tomoru tampak berpikir sejenak lalu melirik ke arah kekasihnya dengan pandangan bingung. "Ini hari minggu kan?"

Tsune terkekeh lalu mengangguk. "Sepertinya begitu."

Dengus tawa Tomoru tersembur saat pemuda mungil itu menyandarkan kepala ke pundak Tsune. "Benar tidak akan dicari?"

Tsune mengecup pucuk kepala Tomoru. "Dicari pun aku bisa mengajakmu kan?"

"Maksudku bukan itu, loh." Tomoru mengerutkan kening.

Tsune tertawa pelan. "Begitu pun tak apa-apa kok. Ena kan belum pernah bertemu dengan saudara-saudaraku yang di sini."

Wajah Tomoru bersemu merah. Tsune berkeras memanggilnya begitu sejak mereka pacaran dan tak mau beralih. Memang panggilan untuk perempuan dan Tomoru sudah menyampaikan keberatannya berkali-kali tapi Tsune berlagak tuli hanya karena kata itu terdengar manis (cocok sekali dengan Tomoru, kata Tsune) dan meluncurkan dengan mudah di lidahnya. Begitu pun nada dan binar mata Tsune saat memanggil Tomoru dengan panggilan itu.

Bahkan ketika tertulis dalam email atau pesan singkat sekalipun, Tomoru bisa membayangkan dengan jelas.

Tomoru mendesah. Tsune menepuk kepalanya dengan lembut.

"Tsune-kun pasti tak kesepian ya?" Komentarnya tanpa sadar.

Tsune mengangkat alis. "Yah, memang ramai sih. Apalagi sekarang semuanya ada di rumah karena mengurus pernikahan Masahiro. Kadang berisik sekali sih."

"Hmmm..."

Tsune terdiam sesaat, menilik ekspresi kekasihnya dengan teliti lalu menunduk untuk mengecup sudut bibir Tomoru dengan lembut. Tomoru melirik, sudut-sudut bibirnya bergerak membentuk senyum sebelum akhirnya menolehkan kepalanya untuk mencium Tsune.

"Aku akan tinggal agak lama loh." Tsune berbisik, menggesekkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Tomoru, menghirup wangi khas kekasihnya yang selalu terkesan seperti buah peach.

"Hmm..." Tomoru bergumam, mengecup garis rahang tegas Tsune sementara kedua lengannya sudah bergayut di sekeliling leher kekasihnya yang tampan itu. Ditariknya Tsune mendekat, mungkin agak terlalu keras sampai mereka berdua nyaris terjungkal jatuh dari atas tempat tidur kalau saja reflek Tsune tak segera bekerja.

"Oiii!"

Tomoru hanya tertawa. Kali ini tak peduli dengan kecerobohannya karena ia tahu Tsune pun tak pernah benar-benar protes.

"Mandi?" Tanya Tsune seraya merengkuh Tomoru dalam pelukannya, telapak tangannya mengelus pinggang Tomoru dengan sayang.

Tomoru nyengir. "Aku mau sarapan dulu."

"Kulkasmu kosong." Tsune mengingatkan.

"Di lemari ada bubuk hotcake." Koreksi Tomoru, bersandar pada Tsune dan menikmati hangat kulit Tsune di kulitnya sendiri.

Tsune tersenyum miring. "Hotcake buatanku kan sering gosong."

"Nanti kutemani."

"Selai raspberry?"

Tomoru mengangguk. "Dan butter. Tambah es krim vanilla. Di bawah ada konbini." Cepat-cepat ditambahkannya sebelum Tsune bertanya.

Tsune mengernyit. "Aku malas keluar."

"Ih." Tomoru mencibir.

"Lebih baik mencium pacarku saja."

"Ba~ka."

-end-