Monday, July 16, 2012
[fic] Shiawase ni
Rating:PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything
Note: AU di mana Kuma adalah dokter gigi ganteng (yg ntah kenapa kalo gue yg nulis selalu terlihat keren orz tapi tak apa, kau memang ganteng kok, Kuma XD). Setelah sekian lama, akhirnya selesai juga 1 fic. Ahe~ Banyak ide, tapi ntah kenapa susah banget nulisnya *palms face*. Anyway, ini untuk Anne dan Nei yang sudah begitu lihai dengan ninja skills-nya XDDD
Tsune tak akan pernah menyangka kalau ia akan duduk di sofa itu, dengan sebotol bir di tangan –yang seharusnya tidak diminumnya karena asupan alkoholnya sudah melebihi kuota normal tapi peduli apa, dia kan sedang di pesta. Jas-nya sudah ditanggalkan sejak dua jam yang lalu, begitu juga dasinya dan kancing kemejanya sudah terlepas 3 buah. Yang terakhir itu bukan perbuatannya tapi Tomoru yang menariknya ke sudut dan bermesraan penuh hasrat dengannya sebelum mendadak ia tertidur di tengah-tengah. Tsune hanya bisa menghela nafas berkali-kali sambil menidurkan Tomoru di kamarnya dan berniat untuk menimpakan kesalahan pada Daiki yang tidak menjauhkan alkohol dari Tomoru. Masalahnya, dia tak bisa menemukan sahabat Tomoru itu di manapun. Dipikir lagi, dia juga tak melihat Kikuchi sejak tadi.
Dengan acuh, Tsune mengangkat bahu dan menenggak birnya lagi. Sebaiknya dia mencari sesuatu untuk dilakukan tapi apa? Sebentar lagi pestanya akan selesai – ia mengingat samar-samar jadwal acara yang dibuatnya bersama Kimito, Takuma dan Shunsuke – yang tersisa hanya menggiring kedua pengantin itu untuk mengejar pesawat terakhir ke Italia. Mungkin sebaiknya dia beranjak dari situ dan naik ke kamar Masahiro untuk memastikan kalau semua perlengkapan bepergian sepupunya itu sudah selesai dipak.
Sekali lagi ia menghela nafas. Sejak kapan dia mau repot seperti ini untuk adik sepupu yang manja itu?
Mau tak mau, Tsune meletakkan botol birnya ke atas meja. Sekalian saja menengok keadaan Tomoru dan mengecek ke mana perginya dua temannya itu. Namun niatnya itu terhambat oleh Takuma yang menghampiri dan duduk di sebelahnya. Sepasang mata tajam Tsune meneliti sahabat Tori itu baik-baik. Kerutan samar di dahi Takuma menarik perhatiannya dan mata hitam-biru Tsune pun mengikuti ke arah mana Takuma memandang. Masahiro dan Tori tengah duduk dua meja di seberang mereka, bercakap-cakap dengan fotografer kenalan Masahiro dan kalau tak salah yang seorang lagi itu perancang busana mereka.
Tsune mengambil birnya lagi dan menenggaknya dengan santai, “Kalau memandang mereka terus seperti itu, orang akan berpikir Anda tidak setuju dengan pernikahan ini loh, Sensei.”
Takuma nampak tersentak dan buru-buru menutupi kegugupannya dengan tertawa. Tangannya menyisir rambutnya yang kecoklatan dengan gugup. Hmm, dokter ini memang tampan, batin Tsune. Kenapa dengan orang setampan itu di dekatnya, Tori sama sekali tak tertarik? Tsune paham sekali dengan Masahiro tapi kalau menebak dari sifat Tori sepanjang beberapa bulan Tsune mengenalnya, kelihatannya Takuma akan lebih cocok dengan dokter itu dibanding Masahiro.
Diperhatikannya Takuma yang juga membawa bir bagiannya sendiri dan menyesap perlahan. Dokter itu juga sudah menanggalkan jasnya dan menggulung kedua lengan kemejanya.
“Mana pacar Sensei yang manis itu?” tanya Tsune lagi, memutuskan kalau ia mungkin sungguh tak ingin tahu Takuma akan berkomentar apa soal celetukannya tadi.
Kali ini Takuma langsung menjawab, “Sepertinya di atas dengan adikku dan Suda. Kubota-sensei menunjukkan ruang mainan Masahiro dan membiarkan mereka main di sana.”
“Ah,” Tsune mengangguk, “Aku yakin Masahiro tak akan keberatan.”
“Apa itu sarkasme?” Takuma mengangkat alis.
Tsune tertawa, “Sama sekali bukan. Masahiro memang manja tapi kalau sama anak kecil, he’s amazingly adorable and nice.”
Takuma menyahut dengan kekehan kecil. “Yah, dia pemuda yang luar biasa.”
Alis Tsune terangkat sebelah, “You think?”
Dokter itu menyandarkan punggung dan merilekskan tubuhnya. Kepalanya yang tampan mengangguk, “Yah. Memang butuh waktu untuk menyadari itu tapi seperti yang dibilang Matsuzaka, mungkin itu yang membuat orang suka pada Inoue-kun,” ucapnya tulus. “Dan membuat Matsuzaka jatuh cinta.”
Kalimat yang terakhir itu diucapkan Takuma dengan pelan dan Tsune nyaris tidak mendengar. Ada sesuatu dalam nada bicara Takuma dan Tsune berharap ia salah mengartikan. Atau mungkin sebaiknya dia tidak berpikir saat alkohol sedang menguasai sebagian besar sistem tubuhnya. Tapi Takuma menoleh padanya dan tertawa,
“Sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan, Aoki-kun,” jelas Takuma pendek.
Tsune mengangkat alis dan mengedikkan bahu. “Kalau begitu jangan ucapkan dengan nada yang membuat orang bertanya-tanya seperti itu.” Tsune melambaikan tangan pada seorang pelayan yang membawakannya dua botol bir lagi. Diserahkannya satu pada Takuma yang menyambut dengan senyum.
“Aku ini bukan tempat curhat Masahiro,” ucap Tsune lagi, “dan jujur saja, aku baru tahu soal kisah cintanya ini saat aku datang kemari karena diminta. Bayangkan saja kagetnya saat diberitahu kalau anak bengal dan manja itu mau menikah. Aku nyaris saja bertaruh kalau Matsuzaka-sensei mungkin menyelundupkan organ manusia atau menggelapkan uang rumah sakit atau apalah lalu ketahuan oleh Masahiro dan Masahiro menuntut untuk menikahinya atau ia akan buka mulut. Atau semacamnya.”
Lagi-lagi Tsune hanya mengedikkan bahu saat Takuma menatapnya tak percaya. “What? It’s a plausible cause!”
Tawa terbahak-bahak Takuma yang menyusul kemudian mau tak mau membuat Tsune pun ikut tersenyum miring seraya menenggak birnya. “Yah, Sensei tak bisa menyalahkan aku karena berpikir begitu kan?”
Takuma terbatuk dan mengikuti contoh Tsune menenggak birnya, “Tidak,” ia terbatuk lagi, “Sama sekali tidak.” Takuma menggenggam botol birnya dengan kedua tangan dan menumpu kedua sikunya di atas lutut dan mengarahkan pandang kea rah sahabatnya lagi. “Tapi kau tak perlu khawatir, Aoki-kun. Sama sekali tak ada paksaan kok.”
“Then, I’m glad,” sahut Tsune.
“Tapi pembicaraan seperti ini sepertinya sudah telat sekali, kan? Kalau mau protes, bukannya seharusnya dari kemarin?” Takuma melirik ke arahnya.
Tsune mengangkat kedua tangannya, “Hei, aku ini bukan tukang ikut campur. Aku mungkin sudah ketularan Aniki-tachi yang kelewat khawatir soal bocah itu. Kadang saja aku lupa kalau umurnya sudah 20. Tapi benar deh, aku sih terserah saja dia mau apa. Dan ini bukan protes, loh. Hanya mengungkapkan rasa penasaran saja.”
Takuma ganti mengangkat alisnya. Tsune tertawa kecil, “Kan sudah kubilang tadi, Masahiro bukan tipe yang suka curhat padaku. Waktu kutanya-tanya soal Matsuzaka-sensei, dia malah menuduh aku tertarik. Wajar saja kalau aku tertarik kan? Matsuzaka-sensei akan jadi keluarga!”
“Memang susah untuk diajak berpikir logis ya?” Takuma terkekeh.
“Aku sungguh mengerti perasaan Aniki-tachi yang selalu kerepotan,” gerutu Tsune pelan.
Takuma menarik nafas dan menenggak birnya pelan-pelan. Tsune melakukan hal yang sama.
“Dan apakah Sensei sudah protes pada Matsuzaka-sensei?”
Detik berikutnya, Tsune menyesali pertanyaannya sendiri karena Takuma melirik tajam padanya dan sekali itu, Tsune berpikir kalau Takuma bukan lawan yang enteng. Entah kenapa. Ia hanya bersyukur Takuma sama sekali tak ada hubungannya dengan Tomoru atau Tsune mungkin akan khawatir sekali. Dan itu membuat Tsune semakin bertanya-tanya.
“Aku tidak keberatan, Aoki-kun,” sahut Tsune sesaat kemudian. Pandangan matanya sudah meredup normal. “Sejak dulu, Matsuzaka cenderung melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya dan sebagai teman, tentu saja aku khawatir. Matsuzaka paham ini. Aku berusaha berbesar hati memberi kesempatan pada Inoue-kun untuk membuktikan kalau ia akan membuat Matsuzaka bahagia dan Matsuzaka bilang dia bahagia. Itu saja.”
Tsune mengangguk-angguk. “Kurasa aku mengerti itu,” gumamnya.
Selama beberapa saat, kedua pria itu terdiam. DJ yang disewa Kimito sudah mengganti lagu dengan irama yang lebih pelan dan beberapa orang turun untuk berdansa dengan pasangannya masing-masing. Mereka memperhatikan Tori berdiri dan mengulurkan tangan pada Masahiro yang menyambut dengan cengiran lebar. Senyum Tori melebar saat Masahiro melingkarkan lengan ke pinggangnya dan Tori menarik pemuda jangkung itu merapat padanya. Mereka berciuman mungkin untuk keseribu kalinya hari itu.
Tsune melirik dan menangkap Takuma mengangkat kelingking untuk menyentuh sudut matanya. Pria itu berdeham dan menenggak birnya lagi. Ada sesuatu dan Tsune curiga kalau rasanya sangat mirip dengan kekhawatirannya pada Tomoru sebelum ia meminta Tomoru jadi pacarnya. Atau mungkin saja tebakannya salah. Yang manapun, Tsune merasa itu bukan urusannya. Semoga saja.
Walaupun begitu, Tsune tetap ingin bertanya, “Apakah kau bahagia, Wada-sensei?”
“Are you, Aoki-kun?”
Tsune tertawa. Dia berdiri dan melambaikan tangan pada Takuma. Didekatinya pasangan yang tengah berdansa itu dan menepuk pundak Masahiro. Sepupunya itu menoleh dan Tsune nyengir, “Aku belum dapat kesempatan dansa dengan Matsuzaka-sensei, loh. Kau tak keberatan kan, Masahiro?”
Masahiro mengernyit tak senang pada cengiran Tsune yang menurutnya terlalu lebar dan terlihat sangat jahil. “Sepuluh menit,” gerutunya sambil berlalu ke arah Kimito yang tampak tertarik pada hiasan di sudut tenda.
Tori tertawa lebar dan menyambut uluran tangan Tsune bahkan sebelum Masahiro sempat protes. “Tentu saja, Aoki-kun. Dengan senang hati.”
Tsune meletakkan satu tangan di pinggang Tori, “Sensei boleh memanggilku Tsune saja.” Ujarnya sambil mengerling.
Lagi-lagi Tori tertawa lebar dan semu merah yang menjalar sampai ke telinganya itu sungguh sangat menawan. Tsune melirik melewati bahu Tori, pada Takuma yang masih terduduk di kursinya, menatap mereka sambil tersenyum samar. Tsune memutar langkah dengan lihai dan mengangkat alis pada Tori,
"Sensei kelihatan bahagia."
Kerlingan dan sinar di mata Tori sungguh membuat Tsune cemburu dan iri. "Sangat, Tsune-kun. Sangat."
-end-
Friday, May 4, 2012
[fanfic] Suki Dakara, Suki
“Mau tinggal di tempatku?”
“Eh? Nande?”
Pria itu mengerutkan bibirnya lalu mengedikkan bahu dengan acuh. “Ada banyak tempat di rumahku. Tak ada salahnya menampung satu orang lagi. Yah, kalau kau tak mau juga tak apa sih. Aku cuma menawarkan.” Ujarnya sambil bersiap balik badan untuk berlalu.
Dengan cepat, ia menangkap lengan pria itu. “Un! Aku mau!”
*****
Lapisan tipis titik-titik air turun dengan perlahan. Tidak deras, tapi hujan seperti ini bisa membuat perasaan pun jadi berubah. Daisuke memutuskan kalau ia tak perlu membuka payung meskipun ada satu tersimpan di dalam tasnya. Dia lebih memilih merapatkan trenchcoat-nya, menegakkan kerah lalu berjalan menembus gerimis dari stasiun menuju apartemennya.
Sepanjang jalan, ia beberapa kali berhenti untuk memperhatikan etalase toko yang masih buka di jam yang sudah mulai larut seperti itu. Senyumnya mengembang lebar saat melihat patisserie langganannya masih buka. Dengan riang dan langkah yang nyaris melompat senang, Daisuke masuk ke toko itu dan keluar tak berapa lama kemudian dengan bungkusan berlogo pattiserie itu di satu tangan dan siulan riang.
Hujan memang tidak bertambah deras tapi Daisuke memutuskan untuk mempercepat langkah. Kurang dari 5 menit, ia sudah sampai di gedung apartemen yang masuk dalam hitungan apartemen mewah di daerah itu. Daisuke menekan kodekunci di dekat pintu utama gedung itu, menyapa petugas jaga malam sebelum memeriksa kotak posnya lalu menuju lift untuk naik ke apartemennya.
Beberapa tahun yang lalu, ia tak akan bisa membayangkan dirinya pulang menaiki lift melewati beberapa belas lantai untuk menuju lantai paling atas yang berupa penthouse. Dia baru datang ke Tokyo saat itu, berjuang mengumpulkan biaya untuk kuliah dengan bekerja di sebuah klub. Ia hanya memberitahu ibunya di kampung kalau pekerjaannya hanyalah mengantarkan minuman. Ibunya tak perlu tahu kalau ada hal-hal lain yang terpaksa harus dilakukannya seperti duduk menemani tamu dan kadang membiarkan tamunya meletakkan tangan di beberapa bagian tempat yang sungguh membuatnya merasa risih. Tapi bayarannya sungguh lumayan untuk biaya kuliahnya jadi Daisuke menelan ludah dan memaksa sudut-sudut bibirnya untuk tersenyum.
Dua tahun yang lalu, semua itu berubah. Seseorang datang dalam hidupnya, menawarinya tempat tinggal yang baik, mengenalkannya pada seorang pemilik klub jazz yang mempekerjakannya mengantar minuman dan hanya itu saja tanpa embel-embel lainnya, membantunya mendaftar program beasiswa dan membuat hatinya begitu tentram.
Bunyi berdenting pelan dan pintu lift yang mulai membuka otomatis memberinya tanda bahwa ia sudah sampai di rumah. Tanpa menunggu pintu lift terbuka sempurna, Daisuke menyelip keluar dan mengeluarkan kunci. Bagian dalam penthouse itu remang-remang saat ia masuk. Daisuke menutup pintu di belakangnya, meletakkan kunci ke dalam mangkuk kaca yang terletak di atas kotak sepatu di genkan sambil mendorong lepas sepatunya dengan tumitnya. Matanya mengerjap beberapa kali untuk membiasakan dengan suasana yang remang. Tak butuh banyak usaha karena ada cahaya yang datang dari lampu duduk di ruang tengah.
“Tadaima~” ujarnya riang sambil menggantung trenchcoat-nya di gantungan di dekat pintu lalu mendekat pada sosok yang berbaring di sofa. Kepala orang itu bersandar nyaman di lengan sofa yang empuk. Kedua matanya tertutup sebelah lengan sementara tangan yang satunya tertumpu pada sebuah buku yang tergeletak di atas perutnya. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur dan perlahan.
Daisuke tersenyum geli. Diletakkannya semua bawaanya di atas meja kopi di depan sofa lalu duduk di tepi sofa, menghadap pada sosok yang tengah tertidur itu. Daisuke membungkuk dan menjulurkan kepalanya untuk mengecup lembut pipi pria itu. Hanya gumaman pelan menyambutnya. Daisuke menciumnya sekali lagi dan kali ini menusukkan jari telunjuknya ke pipi orang itu. Kali ini tangan pria itu bergerak menangkap jari Daisuke.
“Kau mau jarimu kugigit sampai putus ya?” Gumam pria itu masih dengan mata tertutup.
Daisuke terkikik geli lalu mengecup ujung hidung pria itu. “Kalau tidur di sini tanpa selimut, nanti masuk angin, Jinshan.”
Jinnai hanya bergumam, membuka sebelah matanya lalu tertawa melihat rambut Daisuke yang agak lembab. “Bilang lagi soal aku yang tidur di sini dan bisa masuk angin, kau sendiri hujan-hujanan.”
Daisuke menyisir poninya yang basah, merengut. “Aku tak akan masuk angin hanya karena hujan gerimis begini.”
Jinnai beringsut, membiarkan Daisuke berbaring di atasnya dan menyingkirkan bukunya ke atas meja. “Sou? Baiklah. Kalau besok pagi kau bangun dengan hidung tersumbat dan bersin-bersin, jangan harap aku akan merawatmu ya.”
Daisuke mencibir, “Bilang begitu lagi, aku akan kabur ke tempat Mossan.”
Jinnai mengangkat alisnya pada ancaman itu. “Oh? Silakan saja loh. Jangan harap kau bisa makan sup miso dan kare enak di tempat Mossan.”
Daisuke terdiam sejenak. “M, maa… Kalau hanya miso dan kare, aku sudah bisa buat sendiri loh! Jinshan kan juga sudah mengakui kalau buatanku sudah lumayan enak.”
Jinnai nampak berpikir sejenak lalu mengangguk. “Un. Sou ne. Kalau begitu, karena kau akan pindah ke tempat Mossan, sebaiknya kubatalkan saja ya niat untuk buat éclair isi cream cheese dan raspberry-nya ya.”
“Eeeeh? Hidoi!” Daisuke menegakkan tubuhnya dan memukul dada Jinnai, “Pakai taktik seperti itu curang namanya! Jinshan kan tahu aku suka sekali éclair isi cream cheese dan raspberry! Mou!”
Jinnai terbahak-bahak sambil berusaha berkelit dari serangan Daisuke meskipun itu bukan hal mudah karena Daisuke masih menindih tubuhnya dan sekarang malah bisa dibilang pemuda itu sudah menduduki perut Jinnai. “Taktik apa? Aku memang berencana buat éclair itu kok. Minggu depan aku mau mampir ke tempat Waka dank arena Waka bilang ingin coba, jadi aku memang mau buatkan. Bukan karena mau mencegahmu pindah ke tempat Mossan, kok.”
Daisuke merengut hebat. “Bhu!”
“Lagipula,” Jinnai menarik Daisuke ke arahnya dan melingkarkan lengan ke sekeliling pinggang Daisuke yang ramping (kalau tak mau dibilang terlalu kurus) dan Daisuke menurut saja, “kau yang tukang cari perhatian seperti ini, mana mungkin bisa tahan bersaing dengan Shinchi, Utsumi dan Acchan? Buntut-buntutnya kau pasti akan meneleponku sambil mengeluh panjang lebar lalu minta kujemput. Begitu kan?”
“M, maa…” Daisuke memiringkan kepala lalu menundukkan kepala. Jemarinya menggerut kemeja yang dikenakan Jinnai lalu bergumam sebal. “Begini saja aku harus bersaing dengan Hiramaki-san kan?”
“He?” Jinnai mengangkat kepalanya, menunduk sedikit agar bisa menatap Daisuke dengan baik. “Bilang apa?”
Daisuke menelan ludah mendengar nada suara Jinnai yang terdengar sedikit waspada seolah memastikan ia sungguh tak salah dengar. Pemuda itu berpikir mungkin sebaiknya ia diam saja lalu pergi mandi dan tidur. Ia sudah menyenggol hal yang tak seharusnya ia ungkit. Ia sudah tahu bagaimanapun sayangnya ia pada Jinnai dan seberapapun Jinnai punya perasaan yang sama padanya, Daisuke tak akan mungkin bisa bersaing dengan orang itu. Jinnai rela mati untuk orang itu.
Meskipun begitu, entah kenapa ia merasa tidak bersalah sama sekali. “Demo, benar kan? Kalau aku menelepon dan bilang, ‘Jinshan, aku keseleo.’ Jinshan akan bilang, ‘Jangan banyak bergerak. Pulangnya naik taksi saja,’ atau ‘Tunggu saja di situ. Nanti setelah kujemput.’ Coba kalau Hiramaki-san yang bilang begitu, Jinshan pasti langsung lari tanpa pikir dua kali lagi.” Ujarnya panjang, menirukan gaya bicara Jinnai tanpa cela. Wajahnya memerah menahan emosi. Entah marah, entah kesal atau mungkin juga ia malu.
Dia bersikap seperti anak kecil. Cemburu seperti ini rasanya bodoh sekali.
Jinnai mengerjap lalu seperti yang sudah diduga Daisuke, pria itu tertawa terbahak-bahak. Kemudian, Jinnai mengangkat satu jarinya. “Satu. Waka tak akan meneleponku hanya karena ia keseleo. Orang pertama yang akan dihubunginya jika itu terjadi adalah tetangganya atau Takiguchi-san untuk membantunya mengurus restorannya. Baru setelah itu Waka akan memberitahuku lalu Mossan dan Taku-san. Dua,” Jinnai mengangkat satu lagi jarinya.
“Hai, hai. Aku menyesal sudah bilang begitu. Lupakan saja.” Potong Daisuke cepat sebelum Jinnai sempat mencelanya. Ia sudah tahu Jinnai akan bicara apa.
Namun seolah tuli, Jinnai tetap melanjutkan, “Apa kau serius beranggapan aku benar-benar tak peduli padamu?”
“Sou! Yang seperti itu!” Tuding Daisuke. “Jinshan tak pernah menjawab pertanyaanku secara langsung! Selalu berputar-putar seperti itu! Memangnya aku ini bisa menebak apa yang ada di kepala Jinshan? Aku ini kuliah ekonomi dan bukan psikologi atau ilmu ajaib lainnya, tahu!”
Bodoh. Bodoh sekali. Daisuke mengutuk diri dalam hati. Rasanya seperti ingin menangis. Padahal waktu pulang tadi, ia sedang merasa senang sekali tapi kenapa jadi begini? Daisuke mengusap pipinya dengan telapak tangan, menolak untuk melihat ke arah Jinnai lagi meskipun masih membiarkan Jinnai memeluknya.
“Aku sama sekali tidak berniat membanding-bandingkan. Sungguh, loh. Tapi—“ perkataannya belum selesai, terputus begitu saja oleh bibir Jinnai yang menangkup cepat dan tegas di atas bibirnya sendiri. Daisuke mengerjap. Sesaat, ia tak bereaksi meskipun Jinnai bergerak mengecup dengan lebih lembut lalu sekali lagi.
“Nande?” bisiknya serak beberapa saat kemudian, meskipun bibirnya sendiri kemudian bergerak mencari bibir Jinnai.
“Aku tidak melakukan ini dengan Waka, loh.” Ujar Jinnai, membalas ciuman Daisuke dengan kecupan lembut di sudut bibir Daisuke. Hidungnya digesekkan dengan hidung Daisuke, “Kore de jyuubun deshou? Aku mungkin saja langsung lari ke tempat Waka kalau ada sesuatu tapi aku hanya begini denganmu, loh.”
Daisuke menjerit pelan saat Jinnai bergerak dan berputar dengan cepat hingga punggung Daisuke terhempas ke bantalan sofa. Pemuda itu hanya sanggup menatap Jinnai dan membiarkan kedua tangannya bergerak melingkari pundak dan leher Jinnai secara insting. Kakinya mengait dengan tungkai Jinnai dan Daisuke menarik menutup mata saat Jinnai mengecup keningnya.
“Wakaru?”
Daisuke mengangguk, “Tabun.”
Jinnai tertawa, menunduk untuk mencium Daisuke sekali lagi. “Orang merepotkan sepertimu ini, benar-benar membuatku pusing.”
Daisuke merengut, menggigit bibir Jinnai dengan gemas. “Shouganai deshou? Jinshan ga suki dakara.”
“Suki?” Jinnai bertanya, satu alisnya terangkat, menggerakkan bibirnya ke bibir Daisuke lalu beralih mengecup hidung Daisuke.
Daisuke mengejar bibir itu, “Un. Suki desu. Zutto.”
Sudut bibir Jinnai membentuk senyum miring. “Kochira koso.”
Daisuke tertawa. “Dasar curang!”
Wednesday, April 18, 2012
[fanfic] Waka-san
Cast: Hiramaki Jin, Jinnai Sho, Motokawa Shota, Kishimoto Takuya
Rating: PG
Warning: AU, OOC, sedikit slash?
Disclaimer: I don't own anything and/or anyone
Note: Ini gegara shindanmaker dari Tacchin XD untuk prompt: 'yang terperangkap itu aku'
Jin tak pernah menyukai hari-hari seperti ini.
Hari di mana ia harus berdiri di tengah deretan orang yang bersumpah setia padanya –atau lebih tepatnya, keluarganya – bahkan sampai ke tingkat rela mati demi itu. Ia tak pernah suka hari dimana ia harus mempertahankan diri dengan kepalan tangan atau tendangan kaki dan yang ada dalam pikirannya hanya apa yang enak untuk makan malam hari itu. Ia benci ketika mereka harus lari sambil menahan rasa sakit akibat satu-dua tulang rusuk yang patah saat mendengar bunyi sirene dari kejauhan. Lebih lagi, ia membenci hari ketika salah satu atau beberapa dari wajah-wajah yang ia kenal, sosok yang biasa dilihatnya, terbujur kaku di sudut jalan atau rumah sakit atau rumah duka. Ia membenci hidupnya.
“Waka,”
Jin menoleh pada panggilan itu, meskipun tak ingin. Ia juga membenci panggilan itu. Ia punya nama.
Hiramaki Jin.
*****
Denting bel pertanda pintu depan dibuka membuat Jin mengangkat kepala sejenak dari crepe suzette yang tengah dibuatnya. Hari ini sebenarnya hari restorannya tutup tapi ia memang tak mengunci pintu depan meski tanda ‘Tutup’ tetap dipasang di samping pagar depan. Sesosok pria berpakaian cukup gaya melangkah masuk melewati ambang pintu. Bibirnya sedikit dimajukan dan satu tangannya dimasukkan ke saku celana sementara tangan yang lain membawa sebotol wine.
“Jangan bilang baru aku yang datang,” ujar pria itu sambil mendekati Jin.
Jin tertawa pelan, “Bukan pertama kalinya kan, Sho-chan?”
Pria yang disapa Sho-chan itu ikut tertawa. Tanpa bertanya, ia meletakkan botol wine di atas pantry dan mengambil celemek dari dalam lemari di dekat kulkas lalu mengenakannya. Pun tanpa basa-basi membantu Jin membuat saus jeruk untuk hidangan pencuci mulut itu.
“Apa itu tidak terlalu kental?” Jin mengernyit pada saus yang tengah dimatangkan Sho.
Sho menggeleng. “Tidak, tidak. Tenang saja. Di tempatku memang dibuat sekental ini dan rasanya memang lebih asam tapi percaya deh, rasanya akan enak sekali. Waka tidak terlalu suka manis kan?”
Jin mendengus seraya menyikut lengan Sho, “Aku memang tidak terlalu suka manis. Dan jangan panggil aku begitu.”
Sho hanya nyengir. Dia tak ingin membantah namun tak akan menuruti Jin untuk hal yang satu ini. Dia menghormati Jin dan untuknya, Jin selamanya akan tetap jadi tuan mudanya. ‘Waka’-nya. Sho tahu bukan hanya dirinya yang berpikir begitu. Seolah diberi tanda oleh isi kepalanya, pintu depan terbuka, diiringi bunyi denting bel yang disusul sapaan hangat dan kelewat ceria dari dua orang pria bertubuh jangkung. Sosok mereka masuk berturut-turut melewati ambang pintu,
“Gomen kudasai!” seru seorang yang lebih tinggi, mengenakan beanie warna merah bata dan jaket kulit. “Ara! Perkiraanku salah ternyata, Takuya. Sho-chan sudah duluan di sini. “
Pria berambut panjang di belakangnya nyengir lebar. “Seharusnya kau mendengarkan aku, Mossan. Bangun lebih pagi lalu pergi ke tempat Sho-chan supaya kita bisa pergi sama-sama. Setidaknya, Dai-chan akan membuatkan kita kopi yang enak.”
Sho tertawa keras, “Yah, memang cuma itu yang dia bisa.”
Jin ikut tertawa, mengelap tangannya agar ia bisa menyambut pelukan Takuya. “Kau menginap di tempat Mossan lagi, Taku-san?”
Shota melompat ke meja pantry dan mencolek sedikit saus jeruk dari crepe suzette yang baru saja diletakkan Sho di dekat pahanya. “Un. Kami pergi minum-minum semalam. Sebenarnya ingin ke tempat Sho-chan tapi Taku-san ingin makan oden, jadi kami ke kedai di blok empat.”
Sho memukul tangan Shota yang sudah siap mencolek saus jeruk lagi. “Hentikan kalau tak ingin tanganmu patah, Mossan.”
“Uwah, kowai!” Shota berjengit dan menurut. “Oi, Takuya! Mau sampai kapan kau memeluk Waka? Nanti kita tak jadi makan.”
“Urusee, Mossan! Aku ini kan kangen sekali sama Waka.” Tukas Takuya sambil menyusut hidung dan menyeka sudut matanya dengan ibu jari.
“Kenapa kau menangis, Takuyaaaa? Kita kan baru bulan lalu bertemu!” kali ini Jin menyela dan menepuk-nepuk punggung Takuya seraya mencoba melepaskan diri dari pelukan temannya itu. “Dan kalian semua harus berhenti memanggilku begitu.”
Ketiga pria itu saling melempar pandang lalu menjawab serentak, “Yada.”
Jin mendesah, “Mossan, turun dari situ dan bantu aku menata meja. Takuya, bantu Mossan,” ujarnya kemudian dengan nada tegas dan kedua pria itu pun menurut. Sho terkekeh-kekeh kecil sembari memberikan sentuhan terakhir pada hidangan pencuci mulut yang tengah dikerjakannya sementara Jin mengeluarkan seloyang butter bread dari dalam oven. Ruangan itu pun makin wangi dan Shota berdendang senang.
Tak lama mereka sudah duduk mengitari satu meja yang sudah tertata rapi. Sepinggan ravioli isi daging dan keju yang masih mengeluarkan bunyi berdesis, sekeranjang butter bread hangat dan sebuah mangkuk besar berisi French onion soup yang wangi dengan crouton, potongan bacon dan keju brie meleleh di atasnya. Sho menuangkan wine yang tadi dibawanya ke masing-masing gelas, mengitari tiap sisi meja dengan gaya seorang maitre d’ yang anggun dan profesional.
Setiap orang memutar-mutar gelas mereka lalu mengendus pelan. Jin tersenyum lalu mencicip sedikit. “Enak sekali,” dan disetujui oleh yang lain. Sho kembali ke tempat duduknya, melakukan hal yang sama dengan yang lain lalu mengangkat gelasnya, “Jya, untuk Waka.”
“Untuk Waka.”
“Untuk Waka.”
Jin tertawa namun mengangkat gelasnya juga lalu mendentingkannya dengan gelas-gelas yang lain. “Untuk kalian juga.”
Sambil menikmati makan siang yang sederhana itu, Jin memperhatikan teman-temannya satu per satu. Ia sudah mengenal mereka semua sejak lama. Ayah Sho adalah tangan kanan ayah Jin dan mereka tumbuh besar bersama. Jin bertemu Shota dan Takuya saat masih SMU, saat kelompok kecil yang dipimpinnya saat itu ditantang oleh kelompok pimpinan Shota. Setelah dikalahkan, Shota dan Takuya memutuskan untuk masuk ke kelompok pimpinan Jin dan bersumpah untuk mengikuti Jin kemanapun. Ayah Jin pun menyukai ketiga “bawahan” anak lelakinya itu. Saat Jin memutuskan untuk keluar dari rumah, beliau mengijinkan ketiga pria itu untuk tidak terlibat langsung dengan urusan kelompok mereka agar mereka bisa menjaga dan melindungi Jin juga melapor pada beliau jika sesuatu terjadi.
Ketiga pria itu memilih tempat tinggal dalam radius tak lebih dari 1 kilometer dari tempat Jin tinggal. Meskipun Sho memiliki sebuah restoran Perancis kelas atas di Roppongi, Shota mengurus beberapa tempat pemandian umum kelas atas dan serangkaian tempat pijat dan Takuya mengelola tempat pachinko dan sebuah game center; mereka akan dengan mudah mendatangi Jin jika sesuatu terjadi.
Mereka merahasiakan niat itu dari Jin tapi tentu saja Jin tahu. Tak mungkin ayahnya akan diam saja dan bukan tak mungkin, jika kelompok mereka tak juga menyerah dan menemukan calon penerus untuk ayahnya, mereka akan memaksa Jin untuk kembali ke rumah. Jin sama sekali tak ingin itu terjadi dan berharap tak ada sesuatu pun yang menimpa Shota karena kalau ia beruntung, musim semi tahun depan, rapat besar kelompok mereka akan menunjuk Shota sebagai penerus ayah Jin.
“…soal geng di blok dua itu. Mungkin sebaiknya kau mengirim beberapa anak buahmu untuk mengawasi mereka, Taku-san.” Jin mendengar Shota berujar.
Takuya mengangguk sambil menyobek sebuah butter bread dan mencelupkannya ke dalam sup. “Sudah. Aku memang tak senang dengan keadaan ini. Daerah itu memang banyak sekolah, sih. Kenalannya Waka juga sekolah di daerah itu kan?”
Jin mengangguk. Tentu saja mereka pun tahu soal Yuta. “Dia belum pernah cerita apapun tentang diganggu berandalan atau semacamnya. Tapi dia memang pernah bilang kalau belakangan ini semakin banyak gerombolan yang nongkrong di daerah sekitar sekolahnya.”
“Apa aku perlu mengirim orang untuk menjaganya, Waka?” Tanya Shota dengan wajah serius.
Jin menghela nafas. Dia tahu Yuta tak pernah pulang-pergi sendiri. Entah diantar Takuma kalau sedang sempat atau bersama temannya tapi ia tahu kalau kegiatan geng-geng itu makin meningkat dan mulai mengganggu, mungkin ada baiknya kalau ia tahu Yuta dan teman-temannya aman.
Saat Jin tak menjawab, Sho menopang dagu sambil menatap tuan mudanya, “Apa dia tak tahu kau ini siapa, Waka?”
Jin balas mengangkat alisnya pada Sho, “Memangnya aku ini siapa, Sho-chan?”
Sho menatapnya beberapa saat lalu mengedikkan bahu. “Hanya saja, suatu saat harus diberi tahu. Apalagi kalau Waka tak berniat menjauh dari anak itu. Harus kuakui kalau dia lucu.”
Sikut Jin terpeleset dari pinggir meja dan ia berusaha agar wajahnya yang memerah tak terlalu kentara. “Anak itu memang lucu dan kepribadiannya menarik. Mungkin kalau kuceritakan soal keluargaku,” Jin mengedarkan pandang pada mereka satu per satu, “dia akan tertarik dan berujar, “Sugooi!” begitu. Tapi kakaknya pasti akan histeris.” Jelas Jin sambil nyengir.
Takuya tertawa, “Ahahahaha! Tahu! Tahu! Dokter gigi tampan itu memang nampaknya agak panikan meskipun sadis sekali kalau sudah berhadapan langsung dengan pasiennya,” ujarnya sambil bergidik lalu mengelus pipinya sendiri.
Jin menatap setengah terperangah. Mereka bahkan sudah mendatangi Takuma. Apa mereka benar-benar berpikir kalau Yuta selamanya akan ada di dekat Jin? Tapi tentu saja mereka akan melakukan itu. Siapapun yang dekat dengan Jin akan dicari tahu latar belakangnya; siapa keluarganya, datang dari mana, siapa saja teman dan kenalannya, apakah orang ini punya maksud tertentu mendekati Jin dan lain sebagainya. Jin ingin mencegah itu tapi ia tahu mereka tak akan mendengarkannya untuk yang satu ini.
Takuya menangkap pandangan Jin lalu mengibaskan tangannya. “Bukan apa-apa kok, Waka. Aku memang sakit gigi tempo hari lalu Sho-chan memaksaku ke rumah sakit. Kebetulan saja di sana aku melihat Koseki-chan di ruang tunggu ruang praktek.”
Jin memicingkan mata. Takuya buru-buru mengangkat kedua lengannya sebagai tanda mengalah. “Aku tidak bicara padanya. Sumpah!”
Sho menyesap wine-nya lalu berujar dengan santai, “Tapi tak ada salahnya loh mengenalkannya pada kami, Waka. Aku saja mengenalkan Daisuke pada kalian kan? Ne, Mossan?”
Shota tertawa pelan lalu nyengir, “Dai-chan itu beda kasus. Dia tak pernah pergi dari sampingmu. Jujur saja aku masih cemburu loh.”
“Oi!” Sho memukul lengan Shota dengan serbet makannya. “Memangnya tak cukup kau dikelilingi Shinchi dan Utsumi-chan? Lalu siapa itu namanya? Acchan? Kau masih juga mengejar Daisuke?”
Shota berkelit menghindar. “Bercanda, Sho-chan! Bercanda! Wakaaaa, katakan padanya kalau aku cuma bercanda!”
Jin mengulum senyum, “Saa. Mossan kan selalu begitu dari dulu. Mana aku tahu kalau kau benar-benar sudah berhenti mengejar Daisuke?”
“Wakaaa~~!”
Jin melengos sementara Sho sudah bangkit untuk memiting Shota. Takuya terbahak sampai terbungkuk-bungkuk. Sejenak, Jin membiarkan saja mereka begitu sementara ia memikirkan tentang Yuta.
Suatu saat. Suatu saat mungkin dia memang harus bercerita pada Yuta. Ia menghela nafas. Kenapa yakin sekali kalau Yuta akan selalu ada di dekatnya? Anak itu menganggapnya teman dan Jin sungguh tak bisa menjawab kalau ditanya apakah ia menyukai Yuta secara romantis. Mungkin.
Jin menggigit bagian dalam mulutnya dengan resah. Ini bukan saatnya untuk mengkhawatirkan kehidupan asmaranya. Ia mengangkat kepala, menatap lurus pada Shota yang sedang bersujud di depan Sho. “Mossan,” panggilnya pelan dan jelas. Dalam sekejab, Shota langsung menegakkan tubuhnya.
“Pastikan kalau Yuta dan teman-temannya aman. Tapi jaga jangan sampai ia sadar.”
Shota mengangguk. Begitu juga dengan Sho dan Takuya. “Wakatta.”
Jin menghela nafas.
Ia benci saat-saat seperti ini.
-end-
Sunday, March 18, 2012
[fanfic] Wedding Series: The Vow
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I only owned the plot
Note: Utang gue lunas yessssssssssssss! Akhirnya bakappuru ini menikah juga *susut air mata haru*
Suasana rumah yang luar biasa besar layaknya istana itu begitu sibuk meskipun hari masih pagi sekali. Matahari bahkan belum benar-benar terbit di sebelah timur. Halaman belakang rumah yang sangat luas (lebih luas daripada halaman lain di rumah itu, tentu saja. Katakan saja ukurannya nyaris seukuran lapangan sepak bola) tampak berbeda dari biasanya. Ada sekitar 30 meja-meja bundar dengan masing-masing delapan kursi di sekelilingnya ditata rapi dengan taplak berwarna putih. Center pieces di tiap meja berupa rangkaian bola kristal dan lilin berwarna merah dan pink. Begitu juga serbet makan yang ditata bersama tumpukan piring, seperangkat alat makan dan gelas berbagai ukuran. Di dekat tiap gelas champagne tergeletak kartu nama kecil bertuliskan nama masing-masing tamu yang akan hadir. Di dekat area duduk itu sudah dipasang sebuah tenda yang menaungi tiga meja bundar lain. Bergeser sedikit ke kanan dari tenda itu, di dekat air terjun buatan, ada sebuah podium yang sedang diberikan sentuhan akhir. Dihiasi pita-pita, selendang, dan bunga bernuansa merah, pink dan putih.
Mitsuya sibuk mondar-mandir di halaman itu, memastikan semua dekorasi sudah terpasang dengan baik pada tempatnya, tenda tak akan roboh meskipun ada angin kencang (tidak akan terjadi, ia sudah mengecek laporan cuaca), microphone dan pengeras suara sedang dipasang dan ia harus melangkah hati-hati kalau tak ingin tersandung kabel yang masih bersliweran. Ia melirik arlojinya dan dengan bergegas masuk ke dalam bangunan utama melalui dapur besar yang jadi tempat paling sibuk di rumah itu. Setiap sudut dapur tertutup makanan yang sudah jadi maupun bahan-bahan yang siap diolah. Takki sedang mencicipi saus sementara Jin sedang mengawasi laporan jumlah perangkat makan yang harus disiapkan.
“Hiramaki-san, yang di luar sudah beres? Masih perlu lagi yang lain?” Tanya Mitsuya sambil mendekati Jin.
Jin mengangguk, “Aku sempat melihat tadi tapi akan kucek sebentar lagi. Mitsuya-kun sudah sarapan?”
“Ah, mana bisa aku memikirkan sarapan di saat seperti ini?” keluh Mitsuya, ikut melirik daftar di tangan Jin.
“Tak boleh begitu. Sainei-san sudah mengundang kita untuk sarapan sama-sama di ruang makan loh. Makanlah. Setelah itu masih harus mengecek ruang tatami kan? Nanti kalau kau pingsan, Sainei-san bisa marah sekali karena kau mengacaukan pesta pernikahan adiknya.” Tegur Takki yang ikut menimpali. Kedua tangannya memegang nampan berisi omelet yang tampak lembut menggoda.
Mitsuya mendesah. Kenki juga sudah berpesan kalau dia tak boleh sampai lupa makan dan harus istirahat dengan cukup begitu Mitsuya pamitan untuk menginap di rumah Keigo dua hari yang lalu. Ia harus pindah markas dari apartemen Tori ke rumah Keigo karena perlengkapan dekorasi yang dipesannya sudah berdatangan dan harus mulai dipasang. Ia sama sekali tak menyangka akan bisa menginap di rumah idolanya itu. Senangnya luar biasa apalagi dia bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk pernikahan Masahiro dan Tori. Mendesah sekali lagi, Mitsuya pun mengikuti Takki ke ruang makan.
Di ruang makan sudah ada Kubota, Sainei, Takuya, Kei dan Tsune yang melambaikan tangan agar Mitsuya duduk di sebelahnya. Mitsuya pun tersipu saat Tsune menuangkan kopi untuknya dan mengucapkan terima kasih dengan malu-malu. Tsune balas tersenyum.
“Apa yang lainnya belum bangun?” Tanya Mitsuya sambil mengambil omelet dan potongan bacon.
“Ibuku sebentar lagi turun. Kazuki sedang mengecek apakah Masahiro sudah bangun. Kau hanya makan itu?” Kubota mengulurkan piring saji berisi potongan sosis gemuk ke arahnya. “Nih, tambah lagi. Kita semua akan perlu energi banyak hari ini.”
“Masakannya enak sekali, Takiguchi-san.” Tsune berkomentar sambil mengelap mulutnya dan menyesap kopi.
Takki tersenyum lebar. “Terima kasih. Ini semua yang buat Jin, kok.” Dan seperti diberi tanda, Jin pun muncul dari dapur sambil membawa seteko kopi lagi dan duduk di sebelah Takki. Ia pun tersenyum lebar begitu Tsune mengulangi komentarnya. “Ah, ini hanya sarapan biasa. Tapi kalau tak keberatan untuk menyicipinya lagi, silakan datang ke tokoku kapan saja.”
“Oi, oi. Kenapa kau malah promosi.”
“Ah, tidak boleh ya?”
Tawa semua orang meledak. Sainei menyela, “Tentu saja. Beri tahu saja alamatnya. Kapan-kapan mungkin aku akan mampir dengan teman wanitaku.”
Kubota, Tsune, Takki dan Mitsuya memutar mata dan Sainei pun langsung protes, “Apa?”
Jin tertawa renyah, “Silakan datang kapan saja.”
Kazuki turun sambil menggandeng lengan ibunya dan menarikkan kursi di ujung meja untuk wanita itu. Maya tersenyum lembut pada anak-anak dan tamu-tamunya. Wanita itu masih mengenakan mantel kamar tapi rambutnya sudah tergelung rapi membentuk sanggul kecil di tengkuk. Kubota menawarinya kopi tapi ibunya lebih memilih teh.
“Masahiro sudah bangun?” Tanya Sainei sambil mengangsurkan sandwich pada kakak keduanya.
Kazuki mengangguk. “Sedang berusaha menelepon Matsuzaka yang sepertinya menolak untuk mengangkat telepon. Kimito sedang memitingnya karena tak mau diam dan duduk tenang. Mungkin sebaiknya sarapannya dibawakan saja ke kamar.” Ujarnya pada kepala pelayan mereka.
Tsune menggeleng. “Biar aku saja. Aku sudah mau selesai, kok. Ini salah satu tugas pendamping pria juga kan?”
Maya tersenyum, “Mungkin sebaiknya begitu. Sekalian saja siap-siap ya, Tsunekki?”
“Tentu saja, Bibi.” Jawabnya sambil menjejalkan secangkir kopi dan sepotong sandwich ke tangan Mitsuya yang sudah hendak bergegas karena diberi tahu seorang pelayan bahwa ia dibutuhkan di ruang upacara. Tsune pun menyelesaikan sarapannya dan menghilang ke dapur. Tak lama ia naik ke lantai dua dengan membawa nampan berisi sarapan untuk Masahiro.
*****
Sarapan pagi di apartemen itu sungguh sederhana. Sepoci kopi, sepoci teh, setumpuk roti panggang, beberapa botol selai, sepinggan poached egg. Semua orang berkumpul di meja makan mungil itu. Sorimachi duduk sambil merokok dan membaca koran, Yuki di sebelahnya menyesap teh yang dicampur sesendok selai, Takuma ngobrol dengan Shunsuke dan Tori yang sibuk meladeni Masaki yang nyaris tertidur lagi di atas roti panggang.
“Kita harus berangkat jam berapa?” Yuki akhirnya bertanya.
Takuma mengangkat wajah untuk melihat ke arah jam dinding. “Jam 8 harus sudah di sana. Kita masih punya banyak waktu kok. Sekarang kan masih jam setengah 6.”
“Bibi cemas ya?” ujar Shunsuke sambil menuangkan teh lagi ke cangkir Yuki.
Yuki mendesah. “Kau ini bicara apa? Aku ini sudah biasa dalam situasi tegang begini. Anggap saja ini seperti pembukaan cabang spa baru.”
“Haaaah? Nani soree?” Protes Tori. “Bisa-bisanya Ibu menyamakan pernikahanku dengan pembukaan cabang spa.”
“Habis mau bagaimana? Anggap saja begitu kalau tak mau terlalu gugup kan? Ne, Takashi-san?”
Sorimachi hanya terkekeh. Pria itu melipat korannya dan minta diulurkan roti panggang lagi. “Terserah padamu saja, Yuki. Toh, mereka sudah mempercayakan persiapannya pada orang-orang yang handal kan? Kita sih tinggal datang dan duduk saja.”
Tori merengut. “Enak saja bicara seperti itu. Yang mau menikah kan aku. Ayah dan Ibu tak tahu seperti apa stresnya.”
“Hei!” tegur Yuki seraya menepuk punggung tangan Tori. “Aku ini juga pernah berada di posisimu, tahu. Kau tak bisa tidur kan semalam? Aku pun begitu dulu.”
Shunsuke mengintip wajah temannya itu dan terkesiap melihat kantung mata Tori. “Aaah, ikenai, ikenai.” Lalu bangkit membuka kulkas dan memotong ketimun segar. Digeretnya Tori ke sofa dan memaksaya berbaring diiringi protes keras Tori saat Shunsuke meletakkan potongan timun di atas kedua matanya.
“Diam. Jangan bergerak.” Ancam Shunsuke sampai Tori akhirnya menurut.
Masaki mengangkat kepalanya dari atas meja, “Aku tak boleh tidur lagi saja, ya? Ini masih pagi sekaliiiii.”
Takuma menepuk-nepuk kepala Masaki dengan sayang, “Dame. Kecuali Suda mau berangkat sendiri ke rumah Inoue-kun nanti siang dan melewatkan upacara pernikahannya Matsuzaka.”
Bibir Masaki merengut maju. “Bhu, tak mauuuu.”
“Kalau begitu, nih minum susumu dan habiskan sarapanmu ya. Nanti kan di sana ada Yuuki juga. Suda tak akan kesepian.”
Wajah Masaki langsung berbinar cerah dan dalam sekejab, anak itu pun terlihat segar. “Asyik, asyik! Ada Yuuki-chan! Ada Yuta-chan juga kan? Nanti kami boleh main sendiri kan, Papa?”
Tori mengacungkan ibu jarinya sebagai tanda persetujuan. Ia benar-benar tak bisa bergerak kalau tak mau dipelototi Shunsuke. Sampai tengah malam ia tak bisa tidur dan memandang iri pada Masaki yang sudah mendengkur pelan. Ia akhirnya keluar untuk membuat segelas susu hangat dan menemukan Takuma dan Shunsuke yang masih ngobrol di ruang tamu. Kedua pria itu pun menyambutnya hangat dan Takuma membuatkannya segelas susu hangat yang dicampur brandy. Mereka ngobrol beberapa lama sampai Tori akhirnya benar-benar mengantuk. Itu pun tidurnya tak nyenyak karena kerap terbangun.
Ia bersyukur karena dua gelas kopi sudah berhasil membuatnya merasa sedikit lebih terjaga. Rasa dingin ketimun yang saat ini menutupi kedua matanya pun cukup matanya yang tadinya terasa begitu berat jadi lebih ringan dan segar. Tori mendesah pelan. Entah untuk keberapa kalinya sejak kemarin. Ia bersyukur ada Takuma dan Shunsuke di dekatnya, kalau tidak, mungkin ia sudah jadi gila. Takuma pun mengijinkannya mengkonsumsi banyak makanan manis supaya ia lebih tenang dan tak terus-terusan senewen.
Tori merasa sesuatu yang empuk dan hangat dijejalkan dalam genggamannya, disusul suara Takuma. “Inoue-kun menelepon terus sejak tadi, loh. Tidak kau angkat?”
Tori membawa benda dalam tangannya yang ternyata roti panggang ke mulutnya dan mulai mengunyah dengan mata tetap tertutup. Ia mendengus, “Biar saja. Paling hanya mau mengomel atau merajuk. Aku sedang ingin panik sendiri saja saat ini tanpa perlu pusing mengurusinya yang panik juga.”
Takuma terkekeh pelan dan menepuk pelan lengan atas Tori. “Setengah jam lagi kita siap-siap, ya.”
Tori mengeluarkan suara tanda setuju karena sedang sibuk mengunyah rotinya.
*****
“Kenapa sih dia tak mau angkat telepon? Masa belum bangun? Aku saja tak bisa tidur. Toriiiii, angkat teleponnyaaaa!” Masahiro kembali bersungut-sungut seraya menekan ulang nomor telepon Tori mungkin untuk keseratus kalinya pagi itu sejak ia benar-benar bangun.
Kimito mendesah dan merampas handphone Masahiro dengan kasar lalu memukul kepala temannya itu. “Kau ini bodoh atau bagaimana? Di sana kan juga sedang sibuk. Mungkin Matsuzaka-sensei tak sempat angkat telepon. Daripada itu, mandi sana! Jangan sampai aku harus menendangmu ke kamar mandi ya.”
Bukannya mendengarkan temannya, Masahiro malah mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. “Apa jangan-jangan dia berubah pikiran? Apa benar begitu? Mungkin saja kan? Tiba-tiba dia takut lalu pergi entah ke mana dengan Shunsuke sialan itu. Aaaaargh! Seharusnya aku memaksa mereka menginap di sini saja semalam. Kenapa sih pakai acara tak boleh bertemu sebelum hari-H segala? Kalau dia benar-benar berubah pikiran, bagaimana ini?” Secepat kilat Masahiro menggenggam keras kemeja yang dikenakan Kimito dan mengguncang-guncang tubuh temannya itu, “Kimito! Cari tahu! Cari tahu Tori pergi ke mana. Kita harus cepat! Dia tak boleh berubah pikiran! Kimito, kau dengar aku?”
Sebuah kepalan keras mendarat di kepala Masahiro. Begitu kerasnya hingga pemuda jangkung itu terhuyung mundur. Matanya mengerjap bingung lalu jatuh terduduk di atas tempat tidurnya. Kimito mendengus kesal seraya meniup kepalan tangannya.
“Sudah bangun? Sekarang mandi! Kau perlu mendinginkan kepalamu!” Kimito menunjuk ke arah kamar mandi dengan tegas. Masahiro, yang masih agak pusing dan bingung, mengangguk dan menyeret tubuhnya dengan patuh.
Kimito memastikan Masahiro masuk ke kamar mandi dan begitu mendengar suara air mengalir dari shower, ia mendesah dan merutuki dirinya sendiri kenapa mau-maunya terlibat dengan orang merepotkan macam itu. Sepertinya ia memang kena kutuk. Setengah kesal, ia menelepon Ryouta yang untungnya sudah bangun dan berkata kalau cake-nya sudah masuk oven dan sebentar lagi matang. Sebenarnya Kimito lebih ingin nongkrong di toko Ryouta saja dan memperhatikannya membuat kue pengantin pesanan Masahiro dan Tori tapi dia kan pendamping pria. Bisa diamuk orang banyak kalau ia menghilang di saat penting begini.
Benar-benar kena kutuk, deh. Ryouta menertawainya dan menyuruhnya mulai bersiap-siap juga dan mendoakan semoga upacaranya lancar karena Ryouta baru akan datang menjelang resepsi siang nanti. Kimito mengangguk setuju, menutup teleponnya dan memperhatikan tiga helai kimono hitam yang terpajang berjejer di salah satu sisi dinding kamar Masahiro. Milik Masahiro berwarna hitam sementara miliknya dan Tsune biru tua.
Sementara itu di kamar mandi, Masahiro berdiri terpaku di bawah kucuran air dingin yang mengalir dari shower. Ia merutuki Kimito yang berani-beraninya memukul kepalanya keras sekali. Dengan kesal dirabanya kepalanya yang masih terasa nyeri. Ia tak heran kalau benjol. “Tsk,” keluhnya kesal.
Pertama kali dalam hidupnya, ia benar-benar merasa gugup dan resah. Seminggu berpisah dengan Tori dan begitu tiba kemarin pagi pun ia masih belum bisa menemui pacarnya itu. Tori hanya menelepon begitu Masahiro mendarat di Narita dan sebelum ia pergi tidur malamnya. Itu pun tak bisa ngobrol lama karena masih banyak yang harus diurus dan mereka berkali-kali diganggu siapa saja yang mendadak punya hal untuk ditanyakan pada mereka. Masahiro tak bisa berhenti menggerutu sejak kemarin sore. Biasanya kalau ia sudah begitu, tak aka nada yang berani mendekat tapi kali ini semua orang seolah tak mau peduli kalau ia BUTUH bertemu atau setidaknya bicara dengan Tori. Tapi calon suaminya itu pun seolah tak peduli dengan tak mengangkat teleponnya sama sekali. SMS pun hanya dibalas sekali
Jangan bodoh, Masahiro.
Begitu saja. Apa maksudnya sih? Dia kan butuh ditenangkan dan bukannya dikata-katai seperti itu. Dia juga tahu Tori pasti juga sedang tak tenang tapi kan saat-saat seperti ini seharusnya mereka saling mendukung kan? Bukannya malah mengacuhkan kan? Iya, kan?
“Masahiro, hentikan lamunan tololmu dan keluar dari situ sekarang juga. Kau harus sarapan dan siap-siap.”
Kali ini suara kakak sepupunya terdengar dari balik pintu. Masahiro mendengus kesal. “Hai!” serunya.
*****
Tori berdiri tegak di depan cermin panjang di dalam kamarnya sementara ayahnya bergerak di sekelilingnya, membantunya mengenakan kimono dan hakama resminya. Tadinya Shunsuke yang akan membantunya tapi Sorimachi muncul di pintu dan mengatakan kalau ia yang akan melakukannya. Shunsuke pun menghilang dengan senang hati dan pergi membantu Masaki dan Takuma. Sorimachi berkerja dengan cekatan; menarik, mengikat dengan kencang, merapikan dan menyesuaikan dengan cermat hingga semua garis dan lipatan berada di tempat yang benar.
Terakhir dielusnya di punggung anak laki-laki satu-satunya itu dan berdiri di belakang Tori untuk memandang pantulan mereka di dalam cermin. Tori tersenyum dan Sorimachi pun balas tersenyum.
“Gugup?” tanyanya, merapikan sekali lagi lengan kimono Tori.
Tori tertawa pelan. Sorimachi nyengir lebar. “Kau akan baik-baik saja.”
“Kuharap juga begitu.”
Sorimachi tersenyum kecil lalu menepuk pundak Tori dengan mantab. “Kau akan baik-baik saja.” Ulangnya. Lebih pelan dan lebih jelas.
Tori memandang ayahnya selama beberapa saat lalu mengangguk. “Arigatou, Tou-san.”
*****
“Coba lihat sini,” Maya menangkupkan kedua telapak tangannya di masing-masing pipi Masahiro yang sudah tak terlalu bulat. Seminggu bersama anak bungsunya itu bahkan tak akan cukup untuk membuat Maya merasa bosan memandang wajah pemuda itu. Masahiro terlihat tampan dengan rambut yang ditata rapi ke belakang. Kimono dan hakama hitamnya tampak begitu pas dan serasi. Anak itu sudah bukan anak kecil lagi tapi Maya merasa sifat manja dan seenaknya Masahiro tak akan pernah hilang.
Masahiro merasa sedikit salah tingkah diperhatikan begitu rupa oleh ibunya dalam jarak sedekat itu. Meskipun seminggu terakhir sudah membuatnya jauh lebih dekat dengan ibunya, tetap saja ditatap dengan mata berkaca-kaca dan desahan panjang seperti itu membuatnya salah tingkah. “Kaa-san, sudah dong.” Ujarnya sambil melirik ke arah Tsune dan Kimito yang sibuk menyembunyikan cengiran dan kikik geli di balik lengan masing-masing.
“Kaa-saaaaaaan,” Masahiro mendesis. Pipinya sudah berubah merah sekali dan Maya menepuk pipinya pelan.
“Ingat ya, mulai saat ini kau sudah bukan anak kecil lagi. Jangan merepotkan Tori-san.” Maya berpesan dengan tegas. “Kau harus bisa mendukungnya dan jangan terlalu banyak mengeluh.”
“Iyaaaaa, aku tahu.”
“Inoue Masahiro, dengarkan aku.”
“Hai.”
Maya mengusap pipi anak bungsunya itu lalu tersenyum lembut dan berjinjit untuk mengecup kening Masahiro. “Ibu tahu kau anak baik.”
“Hai,” Masahiro memeluk ibunya. “Arigatou, Kaa-san.”
*****
Ruangan bergaya jepang itu ditata rapi. Dua buah pembatas berwarna putih bergaris tepi emas diletakkan di tengah dan di sebelah kiri di bagian depan. Di depan tiap pembatas ada alas duduk berwarna putih bersulam emas dan di depannya lagi ada sebuah nampan kayu hias mewah berisi tumpukan cangkir dan cawan sake dihias kertas upacara. Masahiro duduk di tengah sementara Tori di sebelah kirinya.
Tori melirik ke jejeran keluarganya dan keluarga Masahiro, juga teman-teman dekat mereka. Hanya ada sedikit orang yang hadir di upacara itu. Semuanya mengenakan kimono dan hakama resmi. Para pelayan yang meladeni tamu yang hadir pagi itu pun mengenakan kimono. Ibunya berulang kali mengusap sudut matanya dengan sapu tangan, begitu juga ibu Masahiro. Ayahnya tersenyum dan Kazuki tampak tegang.
Seorang pelayan wanita mengenakan kimono maju dan menuangkan sake untuk mereka. Tiga kali di tiap cangkir dan mereka berdua menghabiskannya dalam tiga tegukan. Tangan Masahiro sedikit bergetar dan ia melirik ke arah Tori yang ternyata juga sedang melirik ke arahnya. Tori tersenyum padanya dan untuk pertama kalinya hari itu, Masahiro merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia balas tersenyum.
“Baka ne,” bisik Tsune pada Takuma yang duduk di sebelahnya. Takuma menggigit bibir sekuat tenaga agar tak tertawa sementara Shunsuke dan Kimito nyengir lebar.
*****
Menjelang makan siang, tamu-tamu undangan mulai berdatangan. Keisuke datang bersama adiknya yang sombong. Kenki datang bersama Yuuki dan Yuta. Ia langsung mencari Mitsuya yang sedang sibuk memastikan sentuhan akhir dekorasi terpasang dengan benar sementara Yuuki dan Yuta langsung sibuk berkeliaran dengan Masaki. Tsune mengantarkan Tomoru dan dua temannya ke tempat duduk mereka. Yuta datang bersama dua anaknya dan Shunsuke menemani mereka sebentar sebelum menghilang untuk ganti pakaian. Yuzawa-san dan dua anak buahnya sudah sibuk mondar-mandir dengan kamera di tangan masing-masing. Intensitas kerja di dapur meninggi. Takki dan Jin sibuk memberi pengarahan pada para pelayan dan mengingatkan pengaturan keluarnya makanan dan pengawasan ketersediaan minuman dan makanan kecil. Ryouta mendorong kue pengantin tingkat tiga dengan hati-hati ke dekat salah satu meja di bawah tenda, tak lupa memukul Kimito yang hendak mencolek krim penghias kue. Musik pun sudah mulai dimainkan oleh kelompok kecil orkestra yang didatangkan khusus dari Italia oleh Kazuki.
Tori memandang semua kesibukan itu dari jendela kamar tamu di lantai dua sambil berusaha mengancingkan lengan kemejanya. Ia bisa mengenali keluarga ayah dan ibunya, kolega-koleganya di rumah sakit dan beberapa teman kuliahnya di antara orang-orang yang mulai menempati tempat duduk mereka di bawah sana. Satu upacara selesai, tinggal satu lagi untuk dilewati dan dia akan merasa lega. Mungkin.
Masahiro masih tak terima kenapa Tori harus ditempatkan di kamar terpisah kalau hanya untuk ganti pakaian saja. Tori memijat keningnya yang kembali terasa pusing dan akhirnya menyerah lalu memeluk dan mencium suaminya itu dengan sayang. Masahiro pun akhirnya terdiam, menatap Tori yang hanya tersenyum dan mencubit hidungnya dengan gemas sementara orang-orang yang kebetulan ada di sekitar mereka geleng-geleng kepala.
Yuzawa-san menyelinap masuk untuk mengambil beberapa foto dirinya beserta Takuma dan Shunsuke yang tengah berganti pakaian dan ia mengatakan kalau Tori terlihat tampan lalu menghilang untuk memotret Masahiro. Takuma membantunya mengenakan jas panjangnya dan mengancingkannya mulai dari leher hingga kancing terakhir di bagian dekat pusar. Tori masih mengagumi jas itu. Modelnya seperti jas resmi angkatan laut; dengan kerah tegak dan panjang jasnya mencapai lutut Tori. Warnanya hitam dengan sulaman benang merah berkilau di bagian kerah dan sepanjang tepi bagian depan juga ujung lengan. Celananya hitam polos agar tak terlalu mencolok. Shunsuke melipat rapi sebuah sapu tangan berwarna merah dan menyelipkannya ke saku dada jas Tori. Ikat pinggangnya berupa kain merah yang disimpul rapi di bagian samping. Rambutnya dijalin rapi di sebelah kiri dan ditahan dengan jepit rambut tersembunyi.
“Siap?” Tanya Shunsuke sambil menepuk pundak Tori.
Tori menarik nafas panjang, menatap kedua sahabatnya yang juga terlihat luar biasa tampan dalam balutan jas panjang ala Inggris dan menggamit masing-masing lengan mereka. “Siap.”
*****
“Tamunya sudah datang semua?” Masahiro bertanya sambil mengangkat dagu agar Tsune bisa menyimpulkan syal satin berwarna magenta di sekeliling leher Masahiro dengan mudah.
Tsune mengangkat bahu, “Entahlah. Seharusnya sih, kalau ditebak dari suaranya.”
Masahiro mendesah, merentangkan tangan agar Tsune bisa membantunya mengenakan rompi-nya yang juga terbuat dari satin berwarna senada dengan syalnya. “Hhhhh, kenapa sih menikah itu repot sekali?”
“Memangnya siapa yang suruh kau menikah?” Tsune tertawa, mengancingkan rompi itu dengan rapi lalu beralih mengambil kemeja Masahiro yang berwarna putih. Ukurannya begitu pas di tubuhnya dan jatuh dengan sempurna. Tsune mengaitkan sebuah rantai emas kecil di antara dua lubang kancing jas Masahiro dan menepuk-nepuknya seolah memastikan sudah terpasang dengan sempurna dan tak akan lepas.
“Aku yang mau, kok.”
Tsune menyentik kening Masahiro. “There. Don’t complain too much.”
Masahiro memutar matanya dan memukul lengan atas Tsune. Diliriknya sekali lagi bayangannya di cermin dan mengangguk puas. “Okay.”
Tsune tersenyum lebar.
*****
Tori nyaris tak bisa bernafas saat melihat Masahiro berdiri di atas podium, menunggu dirinya yang berjalan ke arah Masahiro, menggamit lengan ayahnya dengan sedikit lebih erat. The Wedding March mengiringi langkahnya, juga pandangan kagum bercampur haru dari tamu-tamu. Sungguh, Masahiro tampan sekali dan Tori tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya saat Masahiro menoleh, melihatnya dan tersenyum lebar. Tatapan matanya begitu ceria dan seolah puas dan bangga melihat Tori.
“Halo,” sapa Masahiro begitu Tori sudah berdiri di sampingnya.
Tori nyaris tertawa, “Halo.”
“Maaf kalau terlalu blak-blakan, tapi Anda tampan sekali dan aku suka sekali. Maukah pergi bersamaku ke suatu tempat sekarang juga?”
Tori mengangkat bahunya, “Entahlah. Aku baru saja menikah dan akan mengucapkan janji setia sebentar lagi. Aku tak ingin membuat suamiku khawatir.”
“Oh. Sayang sekali. Dia laki-laki yang beruntung.” Ujar Masahiro dengan cengiran begitu lebar.
Tori tersenyum miring. “Begitulah.”
Mereka berdiri berhadapan saat pendeta memberikan sambutan dan saling menggenggam tangan masing-masing. Masahiro menarik nafas saat tiba gilirannya untuk mengucapkan sumpah setia. Ia sudah menghafalkannya semalam suntuk dan berdoa semoga ia tak lupa dan mengacaukan semuanya. Tori tersenyum dan mengangkat alisnya dengan menggoda. Masahiro merengut sekilas namun kedua matanya kembali menatap lurus-lurus ke arah Tori.
“Aku berjanji….” Ia berhenti sejenak, kembali menarik nafas panjang dan Tori meremas tangannya memberi dukungan, “Aku berjanji akan selalu mencintai Tori, akan selalu menjaga Tori, akan selalu memberi yang terbaik untuk Tori, akan selalu membuat Tori bahagia, akan berusaha memaafkan kesalahan Tori, akan mencoba mengerti banyak hal tentang Tori yang masih tak kumengerti. Aku berjanji akan berusaha tidak mengulang kebodohan yang pernah kulakukan dan menyakiti Tori, akan menghormati dan menyanyangi Tori. Aku berjanji akan terus ada di samping Tori dan tak akan pernah bosan…. Because you are my eternity.”
Tori tersenyum lebar, karena meskipun janji itu terdengar sedikit aneh dan terlalu apa adanya, Tori sungguh tersentuh. Masahiro nyengir puas lalu merengut karena terdengar kikik tertahan dari arah parah tamu dan Tori pun ikut tertawa. Ia kemudian berdeham, karena ini gilirannya. Tori menggigit bibir sekilas.
“Ma-kun adalah anomali dalam hidupku.” Tori memulai dan semua orang mengangkat alis termasuk Masahiro. Tori melanjutkan, “Kamu datang di saat aku sudah berkeputusan tak akan membuka hatiku lagi untuk orang lain. Tanpa tahu apa-apa, tanpa bertanya, tanpa menyerah, dan juga tanpa malu-malu, kamu memaksa masuk. Anak kecil yang manja, seenaknya dan tak pernah peduli pendapatku.” Masahiro tampak tak senang dan sudah siap membuka mulut hendak protes namun Tori masih menatap lurus ke arahnya. “Selalu membuatku kesal, marah dan khawatir. Kadang menyebalkan karena suka memaksa. Dan aku terlalu sibuk bertahan dan menjaga agar hatiku tidak terbuka dan terluka tapi entah bagaimana, kamu berhasil meyakinkanku. Dan aku sungguh berterima kasih karena kamu datang dalam hidupku. Terima kasih untuk mau mencintaiku. Dan terima kasih karena kamu tidak menyerah. Karena itu mulai dari sekarang, aku pun tidak akan menyerah dan kalah mencintai Masahiro.”
-end-
Monday, March 5, 2012
[fanfic] Care
Cast: Hiramaki Jin, Koseki Yuta
Rating: PG
Warning: AU, BL hint, OOC
Disclaimer: I only own the plot
Note: Ini sebenernya sudah ditulis lama sekali tapi berhenti setelah paragraf dua XD; Akhirnya kmrn ini memutuskan untuk diselesaikan dan... hasilnya cukup inosen seperti yang gue harap (semoga XD).
“Ah, sudah reda,” Jin bergumam seraya tersenyum dan menarik tangannya yang dijulurkan keluar ambang jendela. Ditutupnya jendela itu rapat-rapat dan berjalan ke arah anak laki-laki jangkung yang tengah melingkar dengan nyaman di salah satu kursi di dalam kafe itu, terkantuk-kantuk.
Jin tersenyum maklum, tangannya mendarat lembut di atas kepala anak laki-laki dan mengusap pelan, “Hujannya sudah reda, loh.”
“Hmnh?” anak laki-laki itu bergumam, mengangkat kepalanya sekilas lalu menunduk lagi. “Ngantuk. Aku tak boleh menginap di sini saja, ya?”
Jin mengusap hidungnya dengan buku jari, “Boleh saja sebenarnya, tapi aku tak mau cari ribut dengan kakakmu. Ayo,” lengannya terulur menggamit lekukan lengan panjang Yuta dan menarik pelan agar anak laki-laki itu bangun.
Yuta menggerundel sebal namun menurut; dengan setengah hati mengenakan jaket dan menerima ransel yang diulurkan Jin. Matanya masih sesekali menutup dan tubuhnya limbung ke satu arah. Jin mendengus. Tanpa banyak bicara, pria itu berlalu ke dapur dan kembali dengan segelas susu hangat di tangannya.
“Minum,” perintahnya pelan.
Mata Yuta mengerjap; untuk sesaat memandang gelas yang disodorkan Jin lalu ke arah Jin berganti-ganti. Sudut-sudut bibirnya kemudian terangkat membentuk cengiran dan menerima gelas itu. “Sankyuu.”
Jin tersenyum. Sementara Yuta menghabiskan susunya, ia mengenakan jaketnya dan mengambil kunci mobil. Menimbang-nimbang apakah ia harus membawa dompet juga sebelum ingat kalau ia memang butuh mampir ke pasar swalayan yang buka 24 jam. Diliriknya Yuta yang sudah melompat-lompat di tempat, menepuk-nepuk pipinya yang bulat dan nyengir lebar. Jin menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh lucu dan menggemaskan. Seandainya saja umurnya tak terlalu jauh berbeda dan Yuta tak punya kakak yang mudah panik.... Jin menampar dirinya sendiri dalam hati. Stop sampai di situ Hiramaki Jin. Apa sih yang kau pikirkan?
Tangannya kemudian terangkat, memberi isyarat pada Yuta untuk mengikutinya ke mobil. Setelah memastikan anak itu duduk dengan nyaman dan sabuk pengamannya terpasang dengan benar, ia pun menjalankan mobilnya menembus jalan yang agak berkabut.
”Ne, Charlie,” Yuta bergumam setelah menyandarkan punggung dan kepalanya dengan nyaman ke sandaran kursi penumpang.
”Hmm?” Jin bergumam tanpa menoleh.
”Charlie kan lebih tua dariku ya,”
Jin mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyum geli meskipun kedua alis matanya berkerut bingung. ”Iya, ya. Aku nyaris seumur dengan kakakmu ya. Tapi itu sudah jelas kan? Pertanyaanmu aneh sekali.”
”Dengar dulu, dong. Aku kan belum selesai bicara,” Yuta mendengus, ”Kau seperti Jack-nii deh, kalau sedang begitu.”
Jin terbahak, memutar kemudi ke kanan lalu menoleh sekilas pada anak laki-laki itu. Yuta sama sekali sudah tak terlihat mengantuk. Terkadang, Jin kagum sekali dengan sistem daya tahan anak itu. Seolah waktu tidurnya, meski hanya lima belas menit, sudah cukup untuk mengisi ulang energinya. Sementara ia sendiri butuh setidaknya empat jam tidur untuk bisa berfungsi dengan baik. ”Baiklah. Maaf. Apa yang mau kau katakan?” tanyanya, berusaha menyembunyikan nada geli dalam suaranya.
Yuta memiringkan kepalanya ke kiri, ”Apa ya? Oh! Kenapa Charlie tak punya pacar?”
”Pertanyaan apa itu? Memangnya karena aku lebih tua darimu jadi aku harus punya pacar?” sergah Jin, makin tak mengerti dan makin geli pada saat yang bersamaan.
”Aku kan hanya bertanya, loh. Jack-nii saja akhirnya punya pacar meski pacarnya temanku. Aku sama sekali tak menyangka, loh. Awalnya Jack-nii tak mau cerita. Mungkin malu. Entahlah. Tapi aku bisa tahu, loh. Habisnya mendadak dia suka mengantar-jemput Yuuki-chan. Lalu Yuuki-chan wajahnya suka memerah kalau aku cerita soal Jack-nii. Jack-nii juga begitu. Hihihi, lucu sekali deh waktu dulu pertama kalinya tak sengaja aku melihat mereka berciuman di apartemen. Wajahnya meraaaaaaaaah sekali. Ih, padahal yang seperti itu kan wajar ya? Namanya juga pacaran.”
Jin tak tahu bagaimana ia harus bereaksi pada rentetan kata-kata yang dengan cepat meluncur dari bibir Yuta tanpa bisa dihentikan. Maka ia hanya terkekeh kecil karena tak bisa sepenuhnya mengalihkan perhatian dari jalanan. Yuta masih berceloteh panjang lebar sampai akhirnya Jin mengulurkan tangannya untuk ditangkupkan di depan mulut anak laki-laki itu agar ia berhenti bicara karena Jin mulai tak bisa menangkap maksud pembicaraannya.
”Semenarik apapun cerita tentang kakakmu – benar deh, menarik – tapi aku jadi bingung, Yuta,” pria itu tertawa. ”Kau ini mau tanya kenapa aku belum punya pacar atau cerita tentang kakakmu dan pacarnya yang manis itu sih?”
Yuta menyingkirkan tangan Jin dari depan wajahnya dan nyengir lebar. Kedua pipinya bersemu merah. ”Ah, gomen, gomen. Charlie jadi bingung ya? Hehehe habisnya Jack-nii dan Yuuki-chan itu lucu sekali sih. Aku jadi ngelantur deh. Iya, jadi maksudku ya itu, kenapa kalau Jack-nii saja akhirnya berhasil punya pacar, kenapa Charlie tidak?”
Jin kembali mengerutkan kening, ”Oke. Pertama, aku baru kenal kakakmu beberapa waktu lalu dan sepertinya dia sudah pacaran cukup lama dengan Yuuki-chan kan? Jadi, itu mengarah ke pernyataan Kedua, apa hubungannya aku tak punya pacar dengan kakakmu yang pacaran dengan Yuuki-chan? Tiap orang kan berbeda loh. Aku juga bisa tanya hal yang sama padamu. Kalau temanmu yang lucu itu saja berhasil memacari kakakmu, kenapa kau tidak punya pacar?”
Kali ini Yuta terdiam beberapa lama lalu memiringkan kepalanya lagi. ”Habis, kata Jack-nii, aku hanya boleh pacaran dengan orang yang benar-benar kusukai. Masalahnya, orang yang aku suka itu banyak. Yuuki-chan sih tak masuk hitungan. Micchi, Ikepi, teman-teman di klub, ah, Kenki-nii nya Micchi pun aku suka karena orangnya baik sekali. Tori-nii temannya Jack-nii pun aku suka loh karena dia pintar masak dan baik hati. Tapi kalau jadi pacar kan, rasa sukanya pasti beda ya.”
”Nah.”
Yuta menoleh pada Jin. Terlihat sedikit bingung dengan reaksinya. ”Apanya yang ’Nah’?”
Jawabannya tak langsung datang karena Jin sedang berkonsentrasi menyalip mobil yang berjalan terlalu pelan di depan mereka. ”Persis seperti yang kau bilang. Rasa suka itu berbeda-beda dan kau sudah mengerti ini kan?” Yuta mengangguk, ”Kalau untuk jadi pacar, rasa sukanya beda sama sekali, loh. Harus benar-benar sukaaaa sekali sampai meskipun dibuat kesal tapi tak bisa jadi benci sama orang itu.”
”Ah!!” Yuta menepukkan kepalan tangannya ke telapan tangannya sendiri. ”Ternyata memang begitu ya. Ahahahaha, aku pintar ya.” ujarnya sambil nyengir dengan senangnya dan mengangguk-angguk.
Melihat itu, Jin tak bisa tak tertawa. Satu lagi hal tentang Yuta yang menarik perhatiannya adalah anak laki-laki itu memang terkesan polos tapi ia memperhatikan banyak hal di sekitarnya dengan cermat dan menyimpulkan dengan caranya sendiri. Diam-diam ia berharap ia akan tetap diperbolehkan berada di dekat Yuta saat anak laki-laki itu beranjak lebih dewasa. Jin yakin Yuta akan jadi orang yang sangat menarik dan sukses dengan caranya sendiri.
Tak lama, Jin menghentikan mobil di depan bangunan apartemen di mana Yuta tinggal bersama Takuma. Ia melirik sekilas ke lantai tiga, ke pintu kelima dari kanan dan mendapati lampunya menyala. Takuma pasti sedang cemas sekali karena Yuta pulang terlambat. Diperhatikannya Yuta melepas sabuk pengaman lalu memutar badan untuk mengambil ranselnya yang tadi diletakkan di bangku penumpang belakang.
”Bawa sekalian kotak makan itu ya,” ujarnya pada Yuta.
”Eh? Memangnya ini apa? Aku tidak ingat bawa-bawa kotak makan sebesar ini,” komentar Yuta seraya mengendus kotak makan itu karena terasa hangat dan agak berat. Kedua matanya membulat makin lebar dengan semangat. ”Cinnamon roll ya? Charlie buat? Kapan? Untuk aku dan Jack-nii? Uwah, sankyuuuuu!!”
Jin tersenyum lebar. ”Kupanggang tadi waktu kau tertidur. Tidak banyak sih. Semoga kakakmu suka ya. Ini tidak terlalu manis, kok. Jadi tak usah khawatir merusak gigi.”
Yuta mencibir, ”Ih. Makanan enak, manis atau tidak, semuanya perlu dinikmati dan disyukuri. Padahal Jack-nii sendiri yang bilang begitu loh.”
Cubitan gemas di hidungnya membuat Yuta meronta sekilas lalu memerikasa sekali lagi bahwa semua barang bawaannya sudah tak ada yang tertinggal. ”Hari Sabtu aku mampir lagi ya. Ikepi bilang mau mencicipi fish & chips di tempat Charlie,” ujarnya sambil membuka pintu dan keluar dari mobil itu.
Jin mengangguk dan memiringkan posisi duduknya agar dapat melihat Yuta yang membungkuk di ambang jendela. ”Silakan. Aku akan senang sekali. Salam untuk kakakmu ya.”
”Un! Oyasumi, Charlie!” ujar Yuta sambil melambaikan tangan dan melesat pergi.
”Oyasumi!” seru Jin ke arah punggung anak itu seraya melambaikan tangan dengan cepat. Diperhatikannya punggung Yuta yang perlahan menjauh sambil geleng-geleng kepala. Ia memang selalu memastikan Yuta naik dengan selamat ke lantai tiga sebelum berlalu pergi. Kedua matanya mengerjap saat melihat Yuta berhenti lalu berbalik dan mendekat ke arahnya lagi dengan setengah berlari. Yuta mengetuk jendela mobilnya dan Jin menurunkan kaca. ”Ada yang tertinggal?”
Yuta mengangguk. ”Tadi aku lupa bilang: Aku juga suka Charlie, loh.” Cengiran lebarnya yang khas menyusul sebelum berbalik dan kali ini berlari cepat untuk menghilang ke dalam bangunan apartemen.
Mulut Jin terbuka dan tertutup lagi kemudian ia tertawa, merasa geli dan gemas pada saat yang bersamaan. Benar-benar deh, pikirnya. Benar-benar anak yang menarik dan Jin pun tersenyum lebar saat melihat sosok Yuta berdiri di depan pintu apartemennya di lantai tiga, melambai sekilas ke arah mobil Jin lalu masuk ke dalam.
”Aku juga suka Yuta, loh.” bisiknya.
Monday, December 19, 2011
[fanfic] Wedding checklist - Tension
Terakhir kali ia melihat apartemennya dalam keadaan luar biasa berantakan adalah beberapa tahun lalu saat ia pindah ke apartemen mungil itu. Saat ini kondisinya bisa dibilang sangat mirip dengan ketika itu: kardus-kardus bertumpuk dan tersebar di beberapa tempat, bungkusan-bungkusan yang entah apa isinya tergeletak di beberapa sudut ruangan, tumpukan kertas, baju-baju dan benda lain yang Tori tak berani menyingkirkan atau dia akan lupa di mana tempatnya. Sofa ruang tamunya pun penuh terhuni Shunsuke yang duduk bersilang kaki dan sibuk dengan laptop canggihnya. Sudut satunya diambil alih oleh Mitsuya yang sedang menelepon dengan nada tinggi. Televisi disetel tanpa benar-benar ditonton dan Mitsuya melotot ke arahnya saat Tori hendak mematikan.
Untunglah orang tuanya baru akan datang besok pagi dan mereka setuju saja saat Tori bersikeras agar mereka menginap di hotel karena jelas apartemen mungilnya tak akan sanggup menampung semua orang itu. Pun, seminggu terakhir ini apartemennya begitu sumpek karena sahabat-sahabatnya dan Mitsuya kadang tak datang sendiri. Hampir tiap hari Takuma datang bersama Yuuki. Ia tak enak karena pacarnya itu – meskipun Takuma sudah menjelaskan dan Yuuki pun mengaku sudah memaklumi- tetap merengut karena terlalu sering diacuhkan. Pemuda mungil itu akan duduk di meja makan mengerjakan PR-nya, kadang sendiri namun seringkali bersama Mitsuya. Setelahnya ia akan ikut duduk di ruang tengah, mengamati kesibukan yang terjadi.
Tunangan Mitsuya yang tampan itu pun beberapa kali mampir, membawakan baju ganti dan camilan ringan. Senyumnya yang ramah dan pertanyaan apakah ada yang bisa dia bantu selalu disambut baik oleh Tori yang menyilakannya masuk dan menawarinya ikut minum kopi bersama. Tori senang melihatnya selalu menempatkan diri di dekat Mitsuya yang sudah sibuk sendiri dengan pilihan bahan kain untuk dekorasi atau sibuk menelepon supplier tanaman dan agen persewaan perlengkapan pesta. Pun dengan senang hati turun ke dapur dan membuatkan makan malam.
Kekasih Shunsuke hanya mampir satu kali. Tubuhnya yang tinggi menjulang dan wajahnya yang tampan menarik perhatian semua orang di dalam ruangan, tak terkecuali Yuuki dan Mitsuya yang langsung berseru, “Sensei?! Kenapa ada di sini?” bahkan sebelum diperkenalkan oleh Shunsuke. Pria yang tampak seperti rubah itu tersenyum tipis dan pamit dengan sopan setelah ikut makan malam.
Tori menghela nafas.
Tiga hari lagi.
Undangan sudah disebar dan jawabannya pun datang dengan cepat. Beberapa menyertakan permintaan maaf tak bisa hadir berserta hadiah yang diletakkan Tori di bawah tempat tidurnya karena sudah tak ada tempat lagi. Dua hari yang lalu Nagayama-san baru saja mengantarkan pakaian mereka yang sudah jadi. Senyumnya nampak begitu sumringah dan terlihat begitu puas saat dirinya, Tori, Takuma, dan Shunsuke berdesak-desakan di dalam kamar Tori untuk fitting sekali lagi. Ia buru-buru pamit karena masih akan mampir ke rumah Masahiro sebelum pemuda itu terbang ke Amerika.
Ini yang membuat Tori makin tertekan. Maya-san meminta anak bungsunya itu untuk tinggal dengannya di Amerika selama seminggu sebelum hari H dan kemudian akan sama-sama kembali ke Jepang bersama-sama. Masahiro ngambek selama berhari-hari, berteriak pada seluruh isi rumah dan menuduh semua orang sebenarnya ingin membatalkan pernikahannya dengan Tori lalu mengunci diri di dalam kamar. Tori harus menelepon calon ibu mertuanya itu dan meminta penjelasan karena sungguh, dia sedang tak ingin menghadapi Masahiro yang seperti itu saat ini.
“Aku hanya ingin memanjakannya sebagai anakku sebelum ia menikah. Apakah tak boleh? Atau sebenarnya kau khawatir aku tak akan memulangkannya kembali ke Jepang?” ujar wanita itu di telepon.
Tori mendesah, “Maaf, Okaa-sama. Saya tahu Okaa-sama tentunya tidak bermaksud buruk. Saya hanya ingin memastikan karena saat ini Masahiro bahkan tak mau mengangkat telepon dari saya.”
“Begitu? Dasar Masahiro.” Wanita itu tertawa kecil dan mau tak mau Tori pun ikut tertawa. “Kalau memang terlalu merepotkanmu dan membuatmu bertambah pusing, bilang saja padanya kalau dia tak perlu pergi ke sini. Aku mengerti, kok.”
Tori sungguh tak enak mendengar nada bicara calon ibu mertuanya yang terdengar agak sedih itu. Hari berikutnya, sepulang dari rumah sakit, ia mampir ke rumah Keigo dan menyelipkan secarik kertas melalui bawah pintu kamar Masahiro.
Jangan harap aku akan muncul di hadapanmu di depan altar nanti kalau menghormati keinginan ibumu saja kau tak bisa –Tori-
Malam harinya, Tori harus menyiapkan makan malam sambil tertawa geli pada Masahiro yang tengahberkutat di depan laptopnya; memesan tiket pesawat sambil menggerutu.
Semalam Masahiro baru saja meneleponnya. Seperti biasa kalau mereka sedang terpisah jauh, pembicaraan telepon mereka selalu menghabiskan waktu berjam-jam diselingi video call beramai-ramai dengan para pendamping pria, Mitsuya, dan Takiguchi-kun karena mereka harus berdiskusi tentang beberapa persiapan akhir. Akhirnya Tori mengusir mereka semua keluar dari kamarnya karena ia sedang kangen sekali pada Masahiro.
Tori melirik ke dalam kamar tidurnya, mendapati Masaki yang tengah tertidur pulas. Anak itu datang segera setelah jadwal operasinya selesai dan menuntut dibuatkan omelet. Sambil tersenyum, ditutupnya pintu kamarnya dengan perlahan dan beralih menuju dapur karena ia sungguh butuh minum kopi dan mungkin sebatang rokok.
Namun begitu melihat Takuma yang tengah berdiri di dekat konter dapur, sibuk memperhatikan beberapa lembar kertas berisi pengaturan duduk para tamu undangan, hal pertama yang dilakukannya adalah mengulurkan kedua lengannya pada sahabatnya itu. Mengerutkan kening dengan sedikit heran, Takuma pun merengkuhnya dalam pelukan hangat dan erat. Dokter gigi nan tampan itu menepuk-nepuk pundak Tori dan mengelus punggungnya dengan sayang sementara Tori membenamkan wajahnya ke dalam pundak Takuma dan menghela nafas berkali-kali. Rasanya begitu nyaman dan untuk sesaat, Tori merasa semuanya akan berjalan lancer.
“Kenapa tidak tidur saja?” Tanya Takuma sambil mengecup rambut Tori.
Tori menggeleng. “Tak bisa,” ujarnya sambil menjauh sedikit meski tak melepaskan pelukan.
Takuma tersenyum. “Aku tadi buat kopi. Mau?”
Tori mengangguk, kali ini membiarkan Takuma melepaskan dirinya dan menuangkan secangkir kopi untuknya. Diambilnya rokok simpanannya dari dalam lemari dapur, membuka jendela dan mendudukkan dirinya di atas konter sambil menyalakan rokok. Takuma menghampirinya dengan secangkir gelas yang menguarkan asap tipis. Tori menerimanya dengan senyum penuh terima kasih dan meletakkan cangkir itu di dekat pahanya. Takuma bersandar di sebelahnya, mengambil sebatang rokok dari dalam kotak yang masih digenggam Tori, membuat sahabatnya itu tertawa.
“Apa?” Takuma mengangkat alis, menyelipkan rokok ke antara bibirnya.
Tori menggeleng lagi, mengulurkan korek dan menyalakannya untuk Takuma.
Mereka terdiam sejenak, menikmati kopi dan menghembuskan nikotin beberapa kali.
“Yuuki-chan tidak marah kau menginap di sini sampai beberapa hari ke depan?” Tanya Tori kemudian.
Takuma terkekeh. “Marah sih tidak. Hanya cemberut. Tapi Micchi juga sudah ikut membujuknya dan dia di rumah ditemani Yamaguchi-kun dan Yuta. Ngomong-ngomong, terima kasih sudah mengundang mereka juga.”
Tori mengibaskan tangannya. “Tentu saja mereka kuundang. Kau ini bicara apa?”
Kedikkan bahu dan hembusan asap menjawab Tori. Takuma terbatuk dan memutuskan mematikan rokoknya. “Aku tak pernah terbiasa dengan ini,” komentarnya dengan wajah sedikit memerah.
“Itu karena kau dokter gigi,” ucap Tori sambil nyengir.
Takuma membalas cengirannya. Diperhatikannya baik-baik wajah Tori yang tampak lelah dan sedikit tegang. Garis di bagian bawah matanya mulai menebal dan Takuma tahu yang bisa menyembuhkannya hanya sepuluh jam tidur. Mungkin sebentar lagi dia harus memaksa Tori masuk ke kamar untuk bergelung di sebelah Suda tapi saat ini, sepertinya pria itu hanya butuh teman ngobrol. Masahiro begitu jauh dan Tori pasti sedang butuh seseorang untuk membantunya tak merasa begitu tertekan.
Karena itu Takuma meletakkan tangan di atas paha Tori, telapak tangan terbuka seolah mengundang untuk digenggam. Tanpa ragu, Tori menyambut. Digenggamnya dengan erat tangan Takuma dan meremas beberapa kali.
“Kitto, daijoubu yo ne.” ujarnya lirih dan sedikit bergetar.
Takuma mengangguk mantab, balas meremas tangan Tori. “Kitto. Daijoubu.”
Monday, December 12, 2011
[fanfic] Partner
Cast: Kikuchi Takuya, Ise Daiki
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything
Note: gara2 Tacchin nyepam kemarin malam dan obrolan tak tentu arah sama Neitai XDDD Pendek aja dan maaf kalo gejeh.
Hawa dingin dari dalam kulkas menerpa kulit dada dan pundaknya yang tak tertutup baju. Kikuchi merinding sekilas sementara tangannya terulur, menjangkau ke dalam salah satu rak, dan menarik keluar sekaleng bir. Ditutupnya pintu kulkas dengan kaki sementara tangannya sibuk berkutat membuka bir itu. Beberapa tegukan dan pemuda jangkung itu menghela nafas lega dengan keras. Memang tak ada yang lebih nikmat selain bir dingin setelah berendam air hangat.
Kaki jenjangnya membawanya ke ruang depan apartemennya. Satu tangannya sibuk menggosok rambut dengan sehelai handuk yang tersampir di pundak. Dengan pose sedikit jumawa, ia berdiri di dekat sofa yang sudah dihuni pemuda berambut gelap yang tengah tengkurap; membaca novel sambil mengudap kripik kentang.
Menyadari bayangan yang jatuh di atas novelnya, Daiki mengangkat kepala dan nyengir setelah memperhatikan pemuda jangkung di hadapannya sekilas. "Nice undies," komentarnya.
Kikuchi mengarahkan pandang ke bawah, pada celana boxer berwarna hijau bermotif kunang-kunangnya lalu balas nyengir. Diperhatikannya TV yang menyala dan memutuskan kalau acara TV-nya sama sekali tak menarik. Kedua bahunya dikedikkan acuh. Diputarinya sofa mungil itu dan ditendangnya kaki Daiki supaya pemuda itu mau bergeser untuk memberinya tempat. Dilesakkannya pantatnya ke sofa dan memutar matanya saat Daiki, alih-alih bergeser, malah menukar posisinya dengan merebahkan kepala di paha Kikuchi.
"Aku bukan bantal, oi!" Protesnya sambil menjangkau remote TV dan menekan tombol, mencari acara yang lebih menarik untuk ditonton.
"Jangan pelit. Tsunenori saja tak keberatan kalau aku begini," Daiki menggembungkan pipinya sementara tangannya terulur menjejalkan beberapa potong keripik ke dalam mulut Kikuchi.
Pemuda jangkung itu memberontak dan menepis tangan Daiki. Diambilnya kepingan-kepingan keripik dari tangan Daiki dan mengunyah sendiri. Tak lupa memukul kening Daiki dengan keras. Daiki mengusap-usap keningnya dengan sebal meski tak bisa menahan cengiran yang timbul karena melihat sudut-sudut bibir Kikuchi yang tertarik membentuk cengiran pula.
"Mereka memang membuat iri ya," ujar Kikuchi kemudian, membiarkan Daiki bergelung nyaman di sebelahnya.
Daiki mengangkat alis. "Kenapa tiba-tiba?"
Kikuchi mengedikkan bahu, "I'm just saying."
"Heeee," Daiki mengangkat tubuhnya, duduk menghadap teman dekatnya itu seraya memeluk kedua lututnya. "Kau serius naksir Akazawa?" Tanyanya jahil.
Kikuchi memukul kepalanya sekali lagi. "Jangan sembarangan kalau bicara."
"Habis," Daiki mengulum cengirannya kali ini. Sedetik kemudian, ia menutup mulutnya dengan dramatis, "Jangan-jangan kau naksir Tsunenori?"
Sekali lagi, kepala Daiki menerima pukulan. Kali ini lebih keras. "Kubilang jangan sembarangan kalau bicara. Aku memang tampan dan tak ada seorang pun yang bisa menolakku, tapi naksir sahabat sendiri itu sama sekali tak ada dalam kamusku, tahu."
Daikio mencibir, masih tak rela kepalanya dipukul berkali-kali. Kepalanya dimiringkan, menatap sosok samping wajah Kikuchi yang tampan. Sebuah cengir jahil kembali menempati sudut-sudut bibirnya.
Kikuchi mengerjap saat sepasang lengan melingkari pundaknya dan tiba-tiba saja Daiki sudah duduk di pangkuannya. Wajahnya begitu dekat dan Kikuchi tak sempat mengeluarkan protes apapun saat Daiki menciumnya. Kedua lengannya yang panjang balas memeluk pinggang Daiki dan menariknya mendekat.
Getar tawa Daiki merambati telinga dan tenggorokannya dan Kikuchi balas menyeringai. Dibalasnya tiap kecupan dan pagutan mesra di bibirnya lalu berpindah menghujani rahang dan leher Daiki dengan kecupan ringan.
"So," Daiki berdeham karena merasa suaranya agak serak, "I could consider myself lucky that even though we're friends, I get to do these kind of things with you?"
Kikuchi menggigit kulit di bawah dagu Daiki, "Don't get cocky. I can throw you out anytime if you get ahead of yourself."
Daiki tertawa pelan dan kembali mencium temannya itu. "Oh, even if you did, I know you can't stay away from me for too long. After all, we're partners in crime."
Kikuchi nyengir. "We are, indeed."
-end-