Showing posts with label Aoki Tsunenori. Show all posts
Showing posts with label Aoki Tsunenori. Show all posts

Monday, July 16, 2012

[fic] Shiawase ni

Cast: Aoki Tsunenori, Wada Takuma, cameo Inoue Masahir, Matsuzaka Tori
Rating:PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything
Note: AU di mana Kuma adalah dokter gigi ganteng (yg ntah kenapa kalo gue yg nulis selalu terlihat keren orz tapi tak apa, kau memang ganteng kok, Kuma XD). Setelah sekian lama, akhirnya selesai juga 1 fic. Ahe~ Banyak ide, tapi ntah kenapa susah banget nulisnya *palms face*. Anyway, ini untuk Anne dan Nei yang sudah begitu lihai dengan ninja skills-nya XDDD



Tsune tak akan pernah menyangka kalau ia akan duduk di sofa itu, dengan sebotol bir di tangan –yang seharusnya tidak diminumnya karena asupan alkoholnya sudah melebihi kuota normal tapi peduli apa, dia kan sedang di pesta. Jas-nya sudah ditanggalkan sejak dua jam yang lalu, begitu juga dasinya dan kancing kemejanya sudah terlepas 3 buah. Yang terakhir itu bukan perbuatannya tapi Tomoru yang menariknya ke sudut dan bermesraan penuh hasrat dengannya sebelum mendadak ia tertidur di tengah-tengah. Tsune hanya bisa menghela nafas berkali-kali sambil menidurkan Tomoru di kamarnya dan berniat untuk menimpakan kesalahan pada Daiki yang tidak menjauhkan alkohol dari Tomoru. Masalahnya, dia tak bisa menemukan sahabat Tomoru itu di manapun. Dipikir lagi, dia juga tak melihat Kikuchi sejak tadi.


Dengan acuh, Tsune mengangkat bahu dan menenggak birnya lagi. Sebaiknya dia mencari sesuatu untuk dilakukan tapi apa? Sebentar lagi pestanya akan selesai – ia mengingat samar-samar jadwal acara yang dibuatnya bersama Kimito, Takuma dan Shunsuke – yang tersisa hanya menggiring kedua pengantin itu untuk mengejar pesawat terakhir ke Italia. Mungkin sebaiknya dia beranjak dari situ dan naik ke kamar Masahiro untuk memastikan kalau semua perlengkapan bepergian sepupunya itu sudah selesai dipak.


Sekali lagi ia menghela nafas. Sejak kapan dia mau repot seperti ini untuk adik sepupu yang manja itu?


Mau tak mau, Tsune meletakkan botol birnya ke atas meja. Sekalian saja menengok keadaan Tomoru dan mengecek ke mana perginya dua temannya itu. Namun niatnya itu terhambat oleh Takuma yang menghampiri dan duduk di sebelahnya. Sepasang mata tajam Tsune meneliti sahabat Tori itu baik-baik. Kerutan samar di dahi Takuma menarik perhatiannya dan mata hitam-biru Tsune pun mengikuti ke arah mana Takuma memandang. Masahiro dan Tori tengah duduk dua meja di seberang mereka, bercakap-cakap dengan fotografer kenalan Masahiro dan kalau tak salah yang seorang lagi itu perancang busana mereka.


Tsune mengambil birnya lagi dan menenggaknya dengan santai, “Kalau memandang mereka terus seperti itu, orang akan berpikir Anda tidak setuju dengan pernikahan ini loh, Sensei.”


Takuma nampak tersentak dan buru-buru menutupi kegugupannya dengan tertawa. Tangannya menyisir rambutnya yang kecoklatan dengan gugup. Hmm, dokter ini memang tampan, batin Tsune. Kenapa dengan orang setampan itu di dekatnya, Tori sama sekali tak tertarik? Tsune paham sekali dengan Masahiro tapi kalau menebak dari sifat Tori sepanjang beberapa bulan Tsune mengenalnya, kelihatannya Takuma akan lebih cocok dengan dokter itu dibanding Masahiro.


Diperhatikannya Takuma yang juga membawa bir bagiannya sendiri dan menyesap perlahan. Dokter itu juga sudah menanggalkan jasnya dan menggulung kedua lengan kemejanya.


“Mana pacar Sensei yang manis itu?” tanya Tsune lagi, memutuskan kalau ia mungkin sungguh tak ingin tahu Takuma akan berkomentar apa soal celetukannya tadi.


Kali ini Takuma langsung menjawab, “Sepertinya di atas dengan adikku dan Suda. Kubota-sensei menunjukkan ruang mainan Masahiro dan membiarkan mereka main di sana.”


“Ah,” Tsune mengangguk, “Aku yakin Masahiro tak akan keberatan.”


“Apa itu sarkasme?” Takuma mengangkat alis.


Tsune tertawa, “Sama sekali bukan. Masahiro memang manja tapi kalau sama anak kecil, he’s amazingly adorable and nice.”


Takuma menyahut dengan kekehan kecil. “Yah, dia pemuda yang luar biasa.”


Alis Tsune terangkat sebelah, “You think?”


Dokter itu menyandarkan punggung dan merilekskan tubuhnya. Kepalanya yang tampan mengangguk, “Yah. Memang butuh waktu untuk menyadari itu tapi seperti yang dibilang Matsuzaka, mungkin itu yang membuat orang suka pada Inoue-kun,” ucapnya tulus. “Dan membuat Matsuzaka jatuh cinta.”


Kalimat yang terakhir itu diucapkan Takuma dengan pelan dan Tsune nyaris tidak mendengar. Ada sesuatu dalam nada bicara Takuma dan Tsune berharap ia salah mengartikan. Atau mungkin sebaiknya dia tidak berpikir saat alkohol sedang menguasai sebagian besar sistem tubuhnya. Tapi Takuma menoleh padanya dan tertawa,


“Sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan, Aoki-kun,” jelas Takuma pendek.


Tsune mengangkat alis dan mengedikkan bahu. “Kalau begitu jangan ucapkan dengan nada yang membuat orang bertanya-tanya seperti itu.” Tsune melambaikan tangan pada seorang pelayan yang membawakannya dua botol bir lagi. Diserahkannya satu pada Takuma yang menyambut dengan senyum.


“Aku ini bukan tempat curhat Masahiro,” ucap Tsune lagi, “dan jujur saja, aku baru tahu soal kisah cintanya ini saat aku datang kemari karena diminta. Bayangkan saja kagetnya saat diberitahu kalau anak bengal dan manja itu mau menikah. Aku nyaris saja bertaruh kalau Matsuzaka-sensei mungkin menyelundupkan organ manusia atau menggelapkan uang rumah sakit atau apalah lalu ketahuan oleh Masahiro dan Masahiro menuntut untuk menikahinya atau ia akan buka mulut. Atau semacamnya.”


Lagi-lagi Tsune hanya mengedikkan bahu saat Takuma menatapnya tak percaya. “What? It’s a plausible cause!”


Tawa terbahak-bahak Takuma yang menyusul kemudian mau tak mau membuat Tsune pun ikut tersenyum miring seraya menenggak birnya. “Yah, Sensei tak bisa menyalahkan aku karena berpikir begitu kan?”


Takuma terbatuk dan mengikuti contoh Tsune menenggak birnya, “Tidak,” ia terbatuk lagi, “Sama sekali tidak.” Takuma menggenggam botol birnya dengan kedua tangan dan menumpu kedua sikunya di atas lutut dan mengarahkan pandang kea rah sahabatnya lagi. “Tapi kau tak perlu khawatir, Aoki-kun. Sama sekali tak ada paksaan kok.”


“Then, I’m glad,” sahut Tsune.


“Tapi pembicaraan seperti ini sepertinya sudah telat sekali, kan? Kalau mau protes, bukannya seharusnya dari kemarin?” Takuma melirik ke arahnya.


Tsune mengangkat kedua tangannya, “Hei, aku ini bukan tukang ikut campur. Aku mungkin sudah ketularan Aniki-tachi yang kelewat khawatir soal bocah itu. Kadang saja aku lupa kalau umurnya sudah 20. Tapi benar deh, aku sih terserah saja dia mau apa. Dan ini bukan protes, loh. Hanya mengungkapkan rasa penasaran saja.”


Takuma ganti mengangkat alisnya. Tsune tertawa kecil, “Kan sudah kubilang tadi, Masahiro bukan tipe yang suka curhat padaku. Waktu kutanya-tanya soal Matsuzaka-sensei, dia malah menuduh aku tertarik. Wajar saja kalau aku tertarik kan? Matsuzaka-sensei akan jadi keluarga!”


“Memang susah untuk diajak berpikir logis ya?” Takuma terkekeh.


“Aku sungguh mengerti perasaan Aniki-tachi yang selalu kerepotan,” gerutu Tsune pelan.


Takuma menarik nafas dan menenggak birnya pelan-pelan. Tsune melakukan hal yang sama.


“Dan apakah Sensei sudah protes pada Matsuzaka-sensei?”


Detik berikutnya, Tsune menyesali pertanyaannya sendiri karena Takuma melirik tajam padanya dan sekali itu, Tsune berpikir kalau Takuma bukan lawan yang enteng. Entah kenapa. Ia hanya bersyukur Takuma sama sekali tak ada hubungannya dengan Tomoru atau Tsune mungkin akan khawatir sekali. Dan itu membuat Tsune semakin bertanya-tanya.


“Aku tidak keberatan, Aoki-kun,” sahut Tsune sesaat kemudian. Pandangan matanya sudah meredup normal. “Sejak dulu, Matsuzaka cenderung melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya dan sebagai teman, tentu saja aku khawatir. Matsuzaka paham ini. Aku berusaha berbesar hati memberi kesempatan pada Inoue-kun untuk membuktikan kalau ia akan membuat Matsuzaka bahagia dan Matsuzaka bilang dia bahagia. Itu saja.”


Tsune mengangguk-angguk. “Kurasa aku mengerti itu,” gumamnya.


Selama beberapa saat, kedua pria itu terdiam. DJ yang disewa Kimito sudah mengganti lagu dengan irama yang lebih pelan dan beberapa orang turun untuk berdansa dengan pasangannya masing-masing. Mereka memperhatikan Tori berdiri dan mengulurkan tangan pada Masahiro yang menyambut dengan cengiran lebar. Senyum Tori melebar saat Masahiro melingkarkan lengan ke pinggangnya dan Tori menarik pemuda jangkung itu merapat padanya. Mereka berciuman mungkin untuk keseribu kalinya hari itu.


Tsune melirik dan menangkap Takuma mengangkat kelingking untuk menyentuh sudut matanya. Pria itu berdeham dan menenggak birnya lagi. Ada sesuatu dan Tsune curiga kalau rasanya sangat mirip dengan kekhawatirannya pada Tomoru sebelum ia meminta Tomoru jadi pacarnya. Atau mungkin saja tebakannya salah. Yang manapun, Tsune merasa itu bukan urusannya. Semoga saja.


Walaupun begitu, Tsune tetap ingin bertanya, “Apakah kau bahagia, Wada-sensei?


Are you, Aoki-kun?


Tsune tertawa. Dia berdiri dan melambaikan tangan pada Takuma. Didekatinya pasangan yang tengah berdansa itu dan menepuk pundak Masahiro. Sepupunya itu menoleh dan Tsune nyengir, “Aku belum dapat kesempatan dansa dengan Matsuzaka-sensei, loh. Kau tak keberatan kan, Masahiro?”


Masahiro mengernyit tak senang pada cengiran Tsune yang menurutnya terlalu lebar dan terlihat sangat jahil. “Sepuluh menit,” gerutunya sambil berlalu ke arah Kimito yang tampak tertarik pada hiasan di sudut tenda.


Tori tertawa lebar dan menyambut uluran tangan Tsune bahkan sebelum Masahiro sempat protes. “Tentu saja, Aoki-kun. Dengan senang hati.”


Tsune meletakkan satu tangan di pinggang Tori, “Sensei boleh memanggilku Tsune saja.” Ujarnya sambil mengerling.


Lagi-lagi Tori tertawa lebar dan semu merah yang menjalar sampai ke telinganya itu sungguh sangat menawan. Tsune melirik melewati bahu Tori, pada Takuma yang masih terduduk di kursinya, menatap mereka sambil tersenyum samar. Tsune memutar langkah dengan lihai dan mengangkat alis pada Tori,


"Sensei kelihatan bahagia."


Kerlingan dan sinar di mata Tori sungguh membuat Tsune cemburu dan iri. "Sangat, Tsune-kun. Sangat."



-end-

Sunday, March 18, 2012

[fanfic] Wedding Series: The Vow

Cast: Inoue Masahiro, Matsuzaka Tori and friends
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I only owned the plot
Note: Utang gue lunas yessssssssssssss! Akhirnya bakappuru ini menikah juga *susut air mata haru*






Suasana rumah yang luar biasa besar layaknya istana itu begitu sibuk meskipun hari masih pagi sekali. Matahari bahkan belum benar-benar terbit di sebelah timur. Halaman belakang rumah yang sangat luas (lebih luas daripada halaman lain di rumah itu, tentu saja. Katakan saja ukurannya nyaris seukuran lapangan sepak bola) tampak berbeda dari biasanya. Ada sekitar 30 meja-meja bundar dengan masing-masing delapan kursi di sekelilingnya ditata rapi dengan taplak berwarna putih. Center pieces di tiap meja berupa rangkaian bola kristal dan lilin berwarna merah dan pink. Begitu juga serbet makan yang ditata bersama tumpukan piring, seperangkat alat makan dan gelas berbagai ukuran. Di dekat tiap gelas champagne tergeletak kartu nama kecil bertuliskan nama masing-masing tamu yang akan hadir. Di dekat area duduk itu sudah dipasang sebuah tenda yang menaungi tiga meja bundar lain. Bergeser sedikit ke kanan dari tenda itu, di dekat air terjun buatan, ada sebuah podium yang sedang diberikan sentuhan akhir. Dihiasi pita-pita, selendang, dan bunga bernuansa merah, pink dan putih.

Mitsuya sibuk mondar-mandir di halaman itu, memastikan semua dekorasi sudah terpasang dengan baik pada tempatnya, tenda tak akan roboh meskipun ada angin kencang (tidak akan terjadi, ia sudah mengecek laporan cuaca), microphone dan pengeras suara sedang dipasang dan ia harus melangkah hati-hati kalau tak ingin tersandung kabel yang masih bersliweran. Ia melirik arlojinya dan dengan bergegas masuk ke dalam bangunan utama melalui dapur besar yang jadi tempat paling sibuk di rumah itu. Setiap sudut dapur tertutup makanan yang sudah jadi maupun bahan-bahan yang siap diolah. Takki sedang mencicipi saus sementara Jin sedang mengawasi laporan jumlah perangkat makan yang harus disiapkan.

“Hiramaki-san, yang di luar sudah beres? Masih perlu lagi yang lain?” Tanya Mitsuya sambil mendekati Jin.

Jin mengangguk, “Aku sempat melihat tadi tapi akan kucek sebentar lagi. Mitsuya-kun sudah sarapan?”

“Ah, mana bisa aku memikirkan sarapan di saat seperti ini?” keluh Mitsuya, ikut melirik daftar di tangan Jin.

“Tak boleh begitu. Sainei-san sudah mengundang kita untuk sarapan sama-sama di ruang makan loh. Makanlah. Setelah itu masih harus mengecek ruang tatami kan? Nanti kalau kau pingsan, Sainei-san bisa marah sekali karena kau mengacaukan pesta pernikahan adiknya.” Tegur Takki yang ikut menimpali. Kedua tangannya memegang nampan berisi omelet yang tampak lembut menggoda.

Mitsuya mendesah. Kenki juga sudah berpesan kalau dia tak boleh sampai lupa makan dan harus istirahat dengan cukup begitu Mitsuya pamitan untuk menginap di rumah Keigo dua hari yang lalu. Ia harus pindah markas dari apartemen Tori ke rumah Keigo karena perlengkapan dekorasi yang dipesannya sudah berdatangan dan harus mulai dipasang. Ia sama sekali tak menyangka akan bisa menginap di rumah idolanya itu. Senangnya luar biasa apalagi dia bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk pernikahan Masahiro dan Tori. Mendesah sekali lagi, Mitsuya pun mengikuti Takki ke ruang makan.

Di ruang makan sudah ada Kubota, Sainei, Takuya, Kei dan Tsune yang melambaikan tangan agar Mitsuya duduk di sebelahnya. Mitsuya pun tersipu saat Tsune menuangkan kopi untuknya dan mengucapkan terima kasih dengan malu-malu. Tsune balas tersenyum.

“Apa yang lainnya belum bangun?” Tanya Mitsuya sambil mengambil omelet dan potongan bacon.

“Ibuku sebentar lagi turun. Kazuki sedang mengecek apakah Masahiro sudah bangun. Kau hanya makan itu?” Kubota mengulurkan piring saji berisi potongan sosis gemuk ke arahnya. “Nih, tambah lagi. Kita semua akan perlu energi banyak hari ini.”

“Masakannya enak sekali, Takiguchi-san.” Tsune berkomentar sambil mengelap mulutnya dan menyesap kopi.

Takki tersenyum lebar. “Terima kasih. Ini semua yang buat Jin, kok.” Dan seperti diberi tanda, Jin pun muncul dari dapur sambil membawa seteko kopi lagi dan duduk di sebelah Takki. Ia pun tersenyum lebar begitu Tsune mengulangi komentarnya. “Ah, ini hanya sarapan biasa. Tapi kalau tak keberatan untuk menyicipinya lagi, silakan datang ke tokoku kapan saja.”

“Oi, oi. Kenapa kau malah promosi.”

“Ah, tidak boleh ya?”

Tawa semua orang meledak. Sainei menyela, “Tentu saja. Beri tahu saja alamatnya. Kapan-kapan mungkin aku akan mampir dengan teman wanitaku.”

Kubota, Tsune, Takki dan Mitsuya memutar mata dan Sainei pun langsung protes, “Apa?”

Jin tertawa renyah, “Silakan datang kapan saja.”

Kazuki turun sambil menggandeng lengan ibunya dan menarikkan kursi di ujung meja untuk wanita itu. Maya tersenyum lembut pada anak-anak dan tamu-tamunya. Wanita itu masih mengenakan mantel kamar tapi rambutnya sudah tergelung rapi membentuk sanggul kecil di tengkuk. Kubota menawarinya kopi tapi ibunya lebih memilih teh.

“Masahiro sudah bangun?” Tanya Sainei sambil mengangsurkan sandwich pada kakak keduanya.

Kazuki mengangguk. “Sedang berusaha menelepon Matsuzaka yang sepertinya menolak untuk mengangkat telepon. Kimito sedang memitingnya karena tak mau diam dan duduk tenang. Mungkin sebaiknya sarapannya dibawakan saja ke kamar.” Ujarnya pada kepala pelayan mereka.

Tsune menggeleng. “Biar aku saja. Aku sudah mau selesai, kok. Ini salah satu tugas pendamping pria juga kan?”

Maya tersenyum, “Mungkin sebaiknya begitu. Sekalian saja siap-siap ya, Tsunekki?”

“Tentu saja, Bibi.” Jawabnya sambil menjejalkan secangkir kopi dan sepotong sandwich ke tangan Mitsuya yang sudah hendak bergegas karena diberi tahu seorang pelayan bahwa ia dibutuhkan di ruang upacara. Tsune pun menyelesaikan sarapannya dan menghilang ke dapur. Tak lama ia naik ke lantai dua dengan membawa nampan berisi sarapan untuk Masahiro.

*****
Sarapan pagi di apartemen itu sungguh sederhana. Sepoci kopi, sepoci teh, setumpuk roti panggang, beberapa botol selai, sepinggan poached egg. Semua orang berkumpul di meja makan mungil itu. Sorimachi duduk sambil merokok dan membaca koran, Yuki di sebelahnya menyesap teh yang dicampur sesendok selai, Takuma ngobrol dengan Shunsuke dan Tori yang sibuk meladeni Masaki yang nyaris tertidur lagi di atas roti panggang.

“Kita harus berangkat jam berapa?” Yuki akhirnya bertanya.

Takuma mengangkat wajah untuk melihat ke arah jam dinding. “Jam 8 harus sudah di sana. Kita masih punya banyak waktu kok. Sekarang kan masih jam setengah 6.”

“Bibi cemas ya?” ujar Shunsuke sambil menuangkan teh lagi ke cangkir Yuki.

Yuki mendesah. “Kau ini bicara apa? Aku ini sudah biasa dalam situasi tegang begini. Anggap saja ini seperti pembukaan cabang spa baru.”

“Haaaah? Nani soree?” Protes Tori. “Bisa-bisanya Ibu menyamakan pernikahanku dengan pembukaan cabang spa.”

“Habis mau bagaimana? Anggap saja begitu kalau tak mau terlalu gugup kan? Ne, Takashi-san?”

Sorimachi hanya terkekeh. Pria itu melipat korannya dan minta diulurkan roti panggang lagi. “Terserah padamu saja, Yuki. Toh, mereka sudah mempercayakan persiapannya pada orang-orang yang handal kan? Kita sih tinggal datang dan duduk saja.”

Tori merengut. “Enak saja bicara seperti itu. Yang mau menikah kan aku. Ayah dan Ibu tak tahu seperti apa stresnya.”

“Hei!” tegur Yuki seraya menepuk punggung tangan Tori. “Aku ini juga pernah berada di posisimu, tahu. Kau tak bisa tidur kan semalam? Aku pun begitu dulu.”

Shunsuke mengintip wajah temannya itu dan terkesiap melihat kantung mata Tori. “Aaah, ikenai, ikenai.” Lalu bangkit membuka kulkas dan memotong ketimun segar. Digeretnya Tori ke sofa dan memaksaya berbaring diiringi protes keras Tori saat Shunsuke meletakkan potongan timun di atas kedua matanya.

“Diam. Jangan bergerak.” Ancam Shunsuke sampai Tori akhirnya menurut.

Masaki mengangkat kepalanya dari atas meja, “Aku tak boleh tidur lagi saja, ya? Ini masih pagi sekaliiiii.”

Takuma menepuk-nepuk kepala Masaki dengan sayang, “Dame. Kecuali Suda mau berangkat sendiri ke rumah Inoue-kun nanti siang dan melewatkan upacara pernikahannya Matsuzaka.”

Bibir Masaki merengut maju. “Bhu, tak mauuuu.”

“Kalau begitu, nih minum susumu dan habiskan sarapanmu ya. Nanti kan di sana ada Yuuki juga. Suda tak akan kesepian.”

Wajah Masaki langsung berbinar cerah dan dalam sekejab, anak itu pun terlihat segar. “Asyik, asyik! Ada Yuuki-chan! Ada Yuta-chan juga kan? Nanti kami boleh main sendiri kan, Papa?”

Tori mengacungkan ibu jarinya sebagai tanda persetujuan. Ia benar-benar tak bisa bergerak kalau tak mau dipelototi Shunsuke. Sampai tengah malam ia tak bisa tidur dan memandang iri pada Masaki yang sudah mendengkur pelan. Ia akhirnya keluar untuk membuat segelas susu hangat dan menemukan Takuma dan Shunsuke yang masih ngobrol di ruang tamu. Kedua pria itu pun menyambutnya hangat dan Takuma membuatkannya segelas susu hangat yang dicampur brandy. Mereka ngobrol beberapa lama sampai Tori akhirnya benar-benar mengantuk. Itu pun tidurnya tak nyenyak karena kerap terbangun.

Ia bersyukur karena dua gelas kopi sudah berhasil membuatnya merasa sedikit lebih terjaga. Rasa dingin ketimun yang saat ini menutupi kedua matanya pun cukup matanya yang tadinya terasa begitu berat jadi lebih ringan dan segar. Tori mendesah pelan. Entah untuk keberapa kalinya sejak kemarin. Ia bersyukur ada Takuma dan Shunsuke di dekatnya, kalau tidak, mungkin ia sudah jadi gila. Takuma pun mengijinkannya mengkonsumsi banyak makanan manis supaya ia lebih tenang dan tak terus-terusan senewen.

Tori merasa sesuatu yang empuk dan hangat dijejalkan dalam genggamannya, disusul suara Takuma. “Inoue-kun menelepon terus sejak tadi, loh. Tidak kau angkat?”

Tori membawa benda dalam tangannya yang ternyata roti panggang ke mulutnya dan mulai mengunyah dengan mata tetap tertutup. Ia mendengus, “Biar saja. Paling hanya mau mengomel atau merajuk. Aku sedang ingin panik sendiri saja saat ini tanpa perlu pusing mengurusinya yang panik juga.”

Takuma terkekeh pelan dan menepuk pelan lengan atas Tori. “Setengah jam lagi kita siap-siap, ya.”

Tori mengeluarkan suara tanda setuju karena sedang sibuk mengunyah rotinya.

*****

“Kenapa sih dia tak mau angkat telepon? Masa belum bangun? Aku saja tak bisa tidur. Toriiiii, angkat teleponnyaaaa!” Masahiro kembali bersungut-sungut seraya menekan ulang nomor telepon Tori mungkin untuk keseratus kalinya pagi itu sejak ia benar-benar bangun.

Kimito mendesah dan merampas handphone Masahiro dengan kasar lalu memukul kepala temannya itu. “Kau ini bodoh atau bagaimana? Di sana kan juga sedang sibuk. Mungkin Matsuzaka-sensei tak sempat angkat telepon. Daripada itu, mandi sana! Jangan sampai aku harus menendangmu ke kamar mandi ya.”

Bukannya mendengarkan temannya, Masahiro malah mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. “Apa jangan-jangan dia berubah pikiran? Apa benar begitu? Mungkin saja kan? Tiba-tiba dia takut lalu pergi entah ke mana dengan Shunsuke sialan itu. Aaaaargh! Seharusnya aku memaksa mereka menginap di sini saja semalam. Kenapa sih pakai acara tak boleh bertemu sebelum hari-H segala? Kalau dia benar-benar berubah pikiran, bagaimana ini?” Secepat kilat Masahiro menggenggam keras kemeja yang dikenakan Kimito dan mengguncang-guncang tubuh temannya itu, “Kimito! Cari tahu! Cari tahu Tori pergi ke mana. Kita harus cepat! Dia tak boleh berubah pikiran! Kimito, kau dengar aku?”

Sebuah kepalan keras mendarat di kepala Masahiro. Begitu kerasnya hingga pemuda jangkung itu terhuyung mundur. Matanya mengerjap bingung lalu jatuh terduduk di atas tempat tidurnya. Kimito mendengus kesal seraya meniup kepalan tangannya.

“Sudah bangun? Sekarang mandi! Kau perlu mendinginkan kepalamu!” Kimito menunjuk ke arah kamar mandi dengan tegas. Masahiro, yang masih agak pusing dan bingung, mengangguk dan menyeret tubuhnya dengan patuh.

Kimito memastikan Masahiro masuk ke kamar mandi dan begitu mendengar suara air mengalir dari shower, ia mendesah dan merutuki dirinya sendiri kenapa mau-maunya terlibat dengan orang merepotkan macam itu. Sepertinya ia memang kena kutuk. Setengah kesal, ia menelepon Ryouta yang untungnya sudah bangun dan berkata kalau cake-nya sudah masuk oven dan sebentar lagi matang. Sebenarnya Kimito lebih ingin nongkrong di toko Ryouta saja dan memperhatikannya membuat kue pengantin pesanan Masahiro dan Tori tapi dia kan pendamping pria. Bisa diamuk orang banyak kalau ia menghilang di saat penting begini.

Benar-benar kena kutuk, deh. Ryouta menertawainya dan menyuruhnya mulai bersiap-siap juga dan mendoakan semoga upacaranya lancar karena Ryouta baru akan datang menjelang resepsi siang nanti. Kimito mengangguk setuju, menutup teleponnya dan memperhatikan tiga helai kimono hitam yang terpajang berjejer di salah satu sisi dinding kamar Masahiro. Milik Masahiro berwarna hitam sementara miliknya dan Tsune biru tua.

Sementara itu di kamar mandi, Masahiro berdiri terpaku di bawah kucuran air dingin yang mengalir dari shower. Ia merutuki Kimito yang berani-beraninya memukul kepalanya keras sekali. Dengan kesal dirabanya kepalanya yang masih terasa nyeri. Ia tak heran kalau benjol. “Tsk,” keluhnya kesal.

Pertama kali dalam hidupnya, ia benar-benar merasa gugup dan resah. Seminggu berpisah dengan Tori dan begitu tiba kemarin pagi pun ia masih belum bisa menemui pacarnya itu. Tori hanya menelepon begitu Masahiro mendarat di Narita dan sebelum ia pergi tidur malamnya. Itu pun tak bisa ngobrol lama karena masih banyak yang harus diurus dan mereka berkali-kali diganggu siapa saja yang mendadak punya hal untuk ditanyakan pada mereka. Masahiro tak bisa berhenti menggerutu sejak kemarin sore. Biasanya kalau ia sudah begitu, tak aka nada yang berani mendekat tapi kali ini semua orang seolah tak mau peduli kalau ia BUTUH bertemu atau setidaknya bicara dengan Tori. Tapi calon suaminya itu pun seolah tak peduli dengan tak mengangkat teleponnya sama sekali. SMS pun hanya dibalas sekali

Jangan bodoh, Masahiro.

Begitu saja. Apa maksudnya sih? Dia kan butuh ditenangkan dan bukannya dikata-katai seperti itu. Dia juga tahu Tori pasti juga sedang tak tenang tapi kan saat-saat seperti ini seharusnya mereka saling mendukung kan? Bukannya malah mengacuhkan kan? Iya, kan?

“Masahiro, hentikan lamunan tololmu dan keluar dari situ sekarang juga. Kau harus sarapan dan siap-siap.”

Kali ini suara kakak sepupunya terdengar dari balik pintu. Masahiro mendengus kesal. “Hai!” serunya.

*****

Tori berdiri tegak di depan cermin panjang di dalam kamarnya sementara ayahnya bergerak di sekelilingnya, membantunya mengenakan kimono dan hakama resminya. Tadinya Shunsuke yang akan membantunya tapi Sorimachi muncul di pintu dan mengatakan kalau ia yang akan melakukannya. Shunsuke pun menghilang dengan senang hati dan pergi membantu Masaki dan Takuma. Sorimachi berkerja dengan cekatan; menarik, mengikat dengan kencang, merapikan dan menyesuaikan dengan cermat hingga semua garis dan lipatan berada di tempat yang benar.

Terakhir dielusnya di punggung anak laki-laki satu-satunya itu dan berdiri di belakang Tori untuk memandang pantulan mereka di dalam cermin. Tori tersenyum dan Sorimachi pun balas tersenyum.

“Gugup?” tanyanya, merapikan sekali lagi lengan kimono Tori.

Tori tertawa pelan. Sorimachi nyengir lebar. “Kau akan baik-baik saja.”

“Kuharap juga begitu.”

Sorimachi tersenyum kecil lalu menepuk pundak Tori dengan mantab. “Kau akan baik-baik saja.” Ulangnya. Lebih pelan dan lebih jelas.

Tori memandang ayahnya selama beberapa saat lalu mengangguk. “Arigatou, Tou-san.”

*****

“Coba lihat sini,” Maya menangkupkan kedua telapak tangannya di masing-masing pipi Masahiro yang sudah tak terlalu bulat. Seminggu bersama anak bungsunya itu bahkan tak akan cukup untuk membuat Maya merasa bosan memandang wajah pemuda itu. Masahiro terlihat tampan dengan rambut yang ditata rapi ke belakang. Kimono dan hakama hitamnya tampak begitu pas dan serasi. Anak itu sudah bukan anak kecil lagi tapi Maya merasa sifat manja dan seenaknya Masahiro tak akan pernah hilang.

Masahiro merasa sedikit salah tingkah diperhatikan begitu rupa oleh ibunya dalam jarak sedekat itu. Meskipun seminggu terakhir sudah membuatnya jauh lebih dekat dengan ibunya, tetap saja ditatap dengan mata berkaca-kaca dan desahan panjang seperti itu membuatnya salah tingkah. “Kaa-san, sudah dong.” Ujarnya sambil melirik ke arah Tsune dan Kimito yang sibuk menyembunyikan cengiran dan kikik geli di balik lengan masing-masing.

“Kaa-saaaaaaan,” Masahiro mendesis. Pipinya sudah berubah merah sekali dan Maya menepuk pipinya pelan.

“Ingat ya, mulai saat ini kau sudah bukan anak kecil lagi. Jangan merepotkan Tori-san.” Maya berpesan dengan tegas. “Kau harus bisa mendukungnya dan jangan terlalu banyak mengeluh.”

“Iyaaaaa, aku tahu.”

“Inoue Masahiro, dengarkan aku.”

“Hai.”

Maya mengusap pipi anak bungsunya itu lalu tersenyum lembut dan berjinjit untuk mengecup kening Masahiro. “Ibu tahu kau anak baik.”

“Hai,” Masahiro memeluk ibunya. “Arigatou, Kaa-san.”

*****

Ruangan bergaya jepang itu ditata rapi. Dua buah pembatas berwarna putih bergaris tepi emas diletakkan di tengah dan di sebelah kiri di bagian depan. Di depan tiap pembatas ada alas duduk berwarna putih bersulam emas dan di depannya lagi ada sebuah nampan kayu hias mewah berisi tumpukan cangkir dan cawan sake dihias kertas upacara. Masahiro duduk di tengah sementara Tori di sebelah kirinya.

Tori melirik ke jejeran keluarganya dan keluarga Masahiro, juga teman-teman dekat mereka. Hanya ada sedikit orang yang hadir di upacara itu. Semuanya mengenakan kimono dan hakama resmi. Para pelayan yang meladeni tamu yang hadir pagi itu pun mengenakan kimono. Ibunya berulang kali mengusap sudut matanya dengan sapu tangan, begitu juga ibu Masahiro. Ayahnya tersenyum dan Kazuki tampak tegang.

Seorang pelayan wanita mengenakan kimono maju dan menuangkan sake untuk mereka. Tiga kali di tiap cangkir dan mereka berdua menghabiskannya dalam tiga tegukan. Tangan Masahiro sedikit bergetar dan ia melirik ke arah Tori yang ternyata juga sedang melirik ke arahnya. Tori tersenyum padanya dan untuk pertama kalinya hari itu, Masahiro merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia balas tersenyum.

“Baka ne,” bisik Tsune pada Takuma yang duduk di sebelahnya. Takuma menggigit bibir sekuat tenaga agar tak tertawa sementara Shunsuke dan Kimito nyengir lebar.

*****

Menjelang makan siang, tamu-tamu undangan mulai berdatangan. Keisuke datang bersama adiknya yang sombong. Kenki datang bersama Yuuki dan Yuta. Ia langsung mencari Mitsuya yang sedang sibuk memastikan sentuhan akhir dekorasi terpasang dengan benar sementara Yuuki dan Yuta langsung sibuk berkeliaran dengan Masaki. Tsune mengantarkan Tomoru dan dua temannya ke tempat duduk mereka. Yuta datang bersama dua anaknya dan Shunsuke menemani mereka sebentar sebelum menghilang untuk ganti pakaian. Yuzawa-san dan dua anak buahnya sudah sibuk mondar-mandir dengan kamera di tangan masing-masing. Intensitas kerja di dapur meninggi. Takki dan Jin sibuk memberi pengarahan pada para pelayan dan mengingatkan pengaturan keluarnya makanan dan pengawasan ketersediaan minuman dan makanan kecil. Ryouta mendorong kue pengantin tingkat tiga dengan hati-hati ke dekat salah satu meja di bawah tenda, tak lupa memukul Kimito yang hendak mencolek krim penghias kue. Musik pun sudah mulai dimainkan oleh kelompok kecil orkestra yang didatangkan khusus dari Italia oleh Kazuki.

Tori memandang semua kesibukan itu dari jendela kamar tamu di lantai dua sambil berusaha mengancingkan lengan kemejanya. Ia bisa mengenali keluarga ayah dan ibunya, kolega-koleganya di rumah sakit dan beberapa teman kuliahnya di antara orang-orang yang mulai menempati tempat duduk mereka di bawah sana. Satu upacara selesai, tinggal satu lagi untuk dilewati dan dia akan merasa lega. Mungkin.

Masahiro masih tak terima kenapa Tori harus ditempatkan di kamar terpisah kalau hanya untuk ganti pakaian saja. Tori memijat keningnya yang kembali terasa pusing dan akhirnya menyerah lalu memeluk dan mencium suaminya itu dengan sayang. Masahiro pun akhirnya terdiam, menatap Tori yang hanya tersenyum dan mencubit hidungnya dengan gemas sementara orang-orang yang kebetulan ada di sekitar mereka geleng-geleng kepala.

Yuzawa-san menyelinap masuk untuk mengambil beberapa foto dirinya beserta Takuma dan Shunsuke yang tengah berganti pakaian dan ia mengatakan kalau Tori terlihat tampan lalu menghilang untuk memotret Masahiro. Takuma membantunya mengenakan jas panjangnya dan mengancingkannya mulai dari leher hingga kancing terakhir di bagian dekat pusar. Tori masih mengagumi jas itu. Modelnya seperti jas resmi angkatan laut; dengan kerah tegak dan panjang jasnya mencapai lutut Tori. Warnanya hitam dengan sulaman benang merah berkilau di bagian kerah dan sepanjang tepi bagian depan juga ujung lengan. Celananya hitam polos agar tak terlalu mencolok. Shunsuke melipat rapi sebuah sapu tangan berwarna merah dan menyelipkannya ke saku dada jas Tori. Ikat pinggangnya berupa kain merah yang disimpul rapi di bagian samping. Rambutnya dijalin rapi di sebelah kiri dan ditahan dengan jepit rambut tersembunyi.

“Siap?” Tanya Shunsuke sambil menepuk pundak Tori.

Tori menarik nafas panjang, menatap kedua sahabatnya yang juga terlihat luar biasa tampan dalam balutan jas panjang ala Inggris dan menggamit masing-masing lengan mereka. “Siap.”

*****

“Tamunya sudah datang semua?” Masahiro bertanya sambil mengangkat dagu agar Tsune bisa menyimpulkan syal satin berwarna magenta di sekeliling leher Masahiro dengan mudah.

Tsune mengangkat bahu, “Entahlah. Seharusnya sih, kalau ditebak dari suaranya.”

Masahiro mendesah, merentangkan tangan agar Tsune bisa membantunya mengenakan rompi-nya yang juga terbuat dari satin berwarna senada dengan syalnya. “Hhhhh, kenapa sih menikah itu repot sekali?”

“Memangnya siapa yang suruh kau menikah?” Tsune tertawa, mengancingkan rompi itu dengan rapi lalu beralih mengambil kemeja Masahiro yang berwarna putih. Ukurannya begitu pas di tubuhnya dan jatuh dengan sempurna. Tsune mengaitkan sebuah rantai emas kecil di antara dua lubang kancing jas Masahiro dan menepuk-nepuknya seolah memastikan sudah terpasang dengan sempurna dan tak akan lepas.

“Aku yang mau, kok.”

Tsune menyentik kening Masahiro. “There. Don’t complain too much.”

Masahiro memutar matanya dan memukul lengan atas Tsune. Diliriknya sekali lagi bayangannya di cermin dan mengangguk puas. “Okay.”

Tsune tersenyum lebar.

*****

Tori nyaris tak bisa bernafas saat melihat Masahiro berdiri di atas podium, menunggu dirinya yang berjalan ke arah Masahiro, menggamit lengan ayahnya dengan sedikit lebih erat. The Wedding March mengiringi langkahnya, juga pandangan kagum bercampur haru dari tamu-tamu. Sungguh, Masahiro tampan sekali dan Tori tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya saat Masahiro menoleh, melihatnya dan tersenyum lebar. Tatapan matanya begitu ceria dan seolah puas dan bangga melihat Tori.

“Halo,” sapa Masahiro begitu Tori sudah berdiri di sampingnya.

Tori nyaris tertawa, “Halo.”

“Maaf kalau terlalu blak-blakan, tapi Anda tampan sekali dan aku suka sekali. Maukah pergi bersamaku ke suatu tempat sekarang juga?”

Tori mengangkat bahunya, “Entahlah. Aku baru saja menikah dan akan mengucapkan janji setia sebentar lagi. Aku tak ingin membuat suamiku khawatir.”

“Oh. Sayang sekali. Dia laki-laki yang beruntung.” Ujar Masahiro dengan cengiran begitu lebar.

Tori tersenyum miring. “Begitulah.”

Mereka berdiri berhadapan saat pendeta memberikan sambutan dan saling menggenggam tangan masing-masing. Masahiro menarik nafas saat tiba gilirannya untuk mengucapkan sumpah setia. Ia sudah menghafalkannya semalam suntuk dan berdoa semoga ia tak lupa dan mengacaukan semuanya. Tori tersenyum dan mengangkat alisnya dengan menggoda. Masahiro merengut sekilas namun kedua matanya kembali menatap lurus-lurus ke arah Tori.

“Aku berjanji….” Ia berhenti sejenak, kembali menarik nafas panjang dan Tori meremas tangannya memberi dukungan, “Aku berjanji akan selalu mencintai Tori, akan selalu menjaga Tori, akan selalu memberi yang terbaik untuk Tori, akan selalu membuat Tori bahagia, akan berusaha memaafkan kesalahan Tori, akan mencoba mengerti banyak hal tentang Tori yang masih tak kumengerti. Aku berjanji akan berusaha tidak mengulang kebodohan yang pernah kulakukan dan menyakiti Tori, akan menghormati dan menyanyangi Tori. Aku berjanji akan terus ada di samping Tori dan tak akan pernah bosan…. Because you are my eternity.”

Tori tersenyum lebar, karena meskipun janji itu terdengar sedikit aneh dan terlalu apa adanya, Tori sungguh tersentuh. Masahiro nyengir puas lalu merengut karena terdengar kikik tertahan dari arah parah tamu dan Tori pun ikut tertawa. Ia kemudian berdeham, karena ini gilirannya. Tori menggigit bibir sekilas.

“Ma-kun adalah anomali dalam hidupku.” Tori memulai dan semua orang mengangkat alis termasuk Masahiro. Tori melanjutkan, “Kamu datang di saat aku sudah berkeputusan tak akan membuka hatiku lagi untuk orang lain. Tanpa tahu apa-apa, tanpa bertanya, tanpa menyerah, dan juga tanpa malu-malu, kamu memaksa masuk. Anak kecil yang manja, seenaknya dan tak pernah peduli pendapatku.” Masahiro tampak tak senang dan sudah siap membuka mulut hendak protes namun Tori masih menatap lurus ke arahnya. “Selalu membuatku kesal, marah dan khawatir. Kadang menyebalkan karena suka memaksa. Dan aku terlalu sibuk bertahan dan menjaga agar hatiku tidak terbuka dan terluka tapi entah bagaimana, kamu berhasil meyakinkanku. Dan aku sungguh berterima kasih karena kamu datang dalam hidupku. Terima kasih untuk mau mencintaiku. Dan terima kasih karena kamu tidak menyerah. Karena itu mulai dari sekarang, aku pun tidak akan menyerah dan kalah mencintai Masahiro.”


-end-

Thursday, October 27, 2011

[fanfic] Tsune/Tomoru -

Fandom: Prince of Tennis Musical 2nd Season
Cast: Aoki Tsunenori, Akazawa Tomoru
Rating: NC-17
Warning: BL, AU, OOC, NSFW
Disclaimer: I own nothing
Note: HAPPY BIRTHDAY, NEI!!! *kecup basah*



Tsune sudah nyaris tertidur saat Tomoru meletakkan secangkir kopi panas di hadapannya. Matanya mengerjap pelan dan tersenyum samar, malas bergerak dari posisinya yang bersandar dengan nyaman di sudut sofa ruang tamu apartemen Tomoru. Entah apa yang dicampurkan Tomoru dalam masakannya untuk makan malam mereka tadi, yang jelas sekarang Tsune merasa sangat kenyang, nyaman dan mengantuk. Matanya menutup kembali saat dirasakannya bantalan sofa melesak pelan. Tomoru mengambil tempat di sampingnya, kedua kakinya dilipat di depan dada dan memandang Tsune dengan geli.

“Capek sekali?” tanyanya sambil iseng menusuk pipi Tsune.

Tsune bergumam pelan. “Aku ngantuk. Sejak kapan ya sofa Ena ini terasa senyaman ini?”

Tomoru terkikik geli. ”Bilang saja kalau mengantuk, dong. Kan tak perlu kubuatkan kopi.” Ujung jarinya kali ini menusuk bagian samping tubuh Tsune sampai pemuda itu menggeliat menjauh dan membuka matanya. 

”Aku belum mau tidur,” jawab Tsune sambil menangkap jari Tomoru dan menggenggamnya kemudian menutup matanya lagi.

Tomoru kembali terkikik geli. Matanya yang besar mengerjap, menatap wajah tampan Tsune dengan penuh minat. Wajahnya bersemu merah saat tiba-tiba Tsune membuka mata dan balas menatapnya. Mau berpura-pura melihat ke arah lain tapi Tsune sudah bergerak lebih dulu dan mencuri satu kecupan dari bibirnya. Mata hitam-birunya berkilat jahil, sama dengan cengiran yang menghiasi bibir Tsune. Pun hanya bisa menyentuh bibirnya sendiri karena masih terkejut dan menatap Tsune menegakkan duduknya untuk meminum kopinya. Lagi-lagi Tomoru hanya bisa memandang uap tipis yang menguar samar dari gelas kopi, ditiup perlahan oleh Tsune dan untuk sesaat terlihat seperti membingkai tepi wajah Tsune.

Tomoru menahan nafas. Sekian bulan sejak terakhir kali mereka bertemu dan Tomoru selalu nyaris lupa bahwa Tsune terlihat sangatlah tampan dilihat dari jarak sedekat itu. Dadanya berdebar dan perutnya serasa seperti diaduk-aduk. Tsune melirik ke arahnya dari balik helaian poni yang jatuh menutupi nyaris setengah sisi wajahnya. Tomoru yakin jantungnya berhenti beberapa detik. 

Tomoru pun beringsut mendekat. Sesaat ia ragu untuk merebahkan kepala di pundak Tsune sebelum Tsune tersenyum padanya. Perasaan salang tingkah dan tak karuan itu pun lenyap entah ke mana dan Tomoru bersandar manja ke bahu Tsune, nyaris menyurukkan wajahnya ke lekuk leher Tsune. 

Ia rindu sekali.

Senyum Tsune berkembang makin lebar. “Aku juga.” Ucapnya pelan dan Tomoru terkikik tersipu karena tanpa sadar menyuarakan perasaannya. Tsune menunduk agar ia bisa memandang Tomoru dan dikejutkan oleh Tomoru yang kali ini memberanikan diri untuk mencuri kecupan darinya. Tomoru mengedikkan bahu penuh arti dan menarik tengkuk dengan sebelah tangan. Tsune membuka bibirnya dengan suka rela, membiarkan Tomoru menciumnya dan mendengkur pelan.

Mereka bertukar pandang sesaat, tersenyum seolah mengerti apa yang ingin disampaikan tanpa perlu berkata-kata. Tsune menyelipkan lengan ke pinggang Tomoru dan Tomoru pun beringsut ke pangkuan Tsune sambil kembali menciumnya. Kali ini Tsune balas mencium dengan antusias, bergantian memagut, menjilat, menggigit dan mengulum. Jari-jari Tomoru menyelip ke dalam helaian rambut hitam Tsune, membelai lembut dan mengusap dengan sayang. Tubuhnya menurut saat Tsune kembali bersandar dengan nyaman ke punggung sofa, membawa Tomoru lebih dekat dan lebih rapat padanya. 

Telapak Tsune yang besar dan hangat mengelus lembut punggung dan sisi tubuh Tomoru. Sesekali turun ke bawah untuk meremas bokong kekasihnya itu, membuat Tomoru mengerang pelan dan menciumnya lebih dalam dan lebih bersemangat. Pemuda berambut kecoklatan itu pun tertawa tersipu saat merasakan sesuatu yang hangat dan keras menusuk bagian dalam pahanya. Tsune mengangkat alis, ikut tertawa pelan dan menggerakkan pinggulnya sedikit karena mengetahui hal yang sama pun juga terjadi pada Tomoru. Erangan Tomoru tepat di depan bibirnya membuat Tsune makin bersemangat dan kantuknya pun hilang entah kemana.

Tersengal pelan, Tomoru menyandarkan keningnya pada kening Tsune. Sesekali lidahnya menjilat bibir bawahnya. Tsune menyentuhkan ibu jarinya ke bibir tipis Tomoru yang kini begitu merah. Diusapnya pelan dan lembut seperti takut bibir itu akan terluka. Tomoru tersenyum dan kembali nafasnya tercekat saat mendapati Tsune menatapnya dengan penuh cinta. Tanpa banyak kata, Tomoru berdiri dan mengulurkan tangan ke arah Tsune yang menyambut dengan senyum miring dan membimbing mereka ke kamar tidur. 

Tanpa buang-buang waktu, mereka saling menanggalkan pakaian masing-masing. Bukan pekerjaan yang sulit mengingat mereka hanya mengenakan kaus dan celana olahraga. Tomoru baru saja hendak menarik lepas celana dalamnya tapi Tsune sudah mendorongnya ke tempat tidur dan menindihnya. Tomoru tertawa pelan dan menyambut ciumannya tanpa banyak komentar.

Seperti biasa, tiap kali mereka bertemu dan bercumbu, Tsune memperlakukan Tomoru dengan begitu lembut. Tentu saja, Tsune selalu punya alasan untuk itu. Frekuensi pertemuan yang dalam setahun bisa dihitung dengan jari, membuat Tsune tak pernah merasa ada perlunya untuk buru-buru. Tiap kali mereka bercumbu, Tsune selalu merasa seperti mereka kembali lagi ke awal. Mengenal lagi, mencari tahu lagi, mengingat-ingat apa yang tak disuka atau apa yang membuat mereka lupa diri. Tiap sentuhan, tiap kecupan, satu per satu ditanamkannya baik-baik dalam ingatannya.

Sebut saja dia egois kalau menjawab tak tahu apakah Tomoru pun merasakan hal yang sama tapi pacar tercintanya itu sama sekali tak pernah memprotes. Mungkin juga tak sempat karena perhatiannya sudah dialihkan oleh Tsune pada hal lain yang lebih penting saat itu. Seperti berkonsentrasi karena Tsune tengah mengecupi seluruh tubuhnya mulai dari leher, dada, perut, dan kini selangkangannya. Beberapa kali ia menggigit bibir, berusaha agar tak mengerang terlalu keras karena sungguh, ia benar-benar menyukai sentuhan Tsune dan rasanya sangatlah nikmat.

Tsune menyeringai puas begitu Tomoru akhirnya mengerang keras karena Tsune menggigit pangkal pahanya. Pelan, tentu saja, namun tempat itu adalah salah satu bagian tubuhnya yang cukup sensitif. Tsune kemudian mengecup tempat yang baru saja digigitnya, seolah meminta maaf dan bergerak lagi menyentuh tempat lain yang jauh lebih sensitif dan butuh perhatian lebih saat itu. Kepala Tomoru terbenam ke dalam bantal sementara erangan pelan meluncur tanpa putus dari bibirnya. Pinggulnya tersentak sesekali, berusaha mendapatkan lebih dari diberikan namun Tsune tak menyerah begitu saja dan menahan pinggul Tomoru dengan satu tangan.

Tsune kemudian mengangkat tubuhnya, sesaat tak mempedulikan Tomoru yang memandangnya dengan tatapan bertanya. Sekali lagi ia merebahkan tubuhnya di atas tubuh Tomoru dan memastikan agar ia tak terlalu membebani pacarnya itu. Tsune memeluknya dengan erat dan Tomoru hanya bisa balas memeluk dan menciumnya.

“Ena cantik,” desis Tsune sambil menggigit pelan bibir bawah Tomoru, menyukai bagaimana wajah Tomoru yang sudah bersemu berubah menjadi semakin merona karena pujiannya. 

“Tsune-kun juga tampan.” Balasnya sambil tersipu dan tersenyum senang saat mendapati telinga Tsune memerah karenanya.

Mereka berciuman lagi dan Tomoru menyelipkan tangannya agar ia bisa menyentuh Tsune di bawah sana. Tsune menarik nafas tajam dan mendesah saat jemari Tomoru melingkar mantab dan bergerak pelan. Pemuda itu beringsut, memutar posisi mereka dan dengan senang hati melebarkan kedua kakinya untuk Tomoru. 

Tsune menutup matanya dan menggeram rendah. Berat tubuh Tomoru di atasnya tak pernah jadi beban yang memberatkan untuk Tsune. Apalagi dengan kondisi seperti sekarang. Pemuda itu meletakkan tangannya di atas kepala Tomoru, memberi petunjuk dengan lembut. Sentuhan lembut dan basah di antara kedua kakinya sukses membuat Tsune terengah hebat dan Tomoru tersenyum senang, sedikit merasa bangga pada dirinya sendiri. Dalam hati berharap hanya ia satu-satunya orang yang pernah melihat Tsune seperti ini.

Ia kembali mencium Tsune, menyelipkan lidahnya dalam-dalam dan menghisap lidah Tsune dengan penuh hasrat. Sambil terengah, ia berbisik, “I want you.”

Tsune membelai kepalanya dengan lembut, lalu menyusuri garis rahang Tomoru dengan buku jarinya. Dijentiknya ujung hidung Tomoru dengan sayang dan melempar seringai lain. “You’re already on top of me.” 

Wajah Tomoru memerah hebat meski kepalanya mengangguk. Sejenak ia menjulurkan tubuhnya agar bisa menjangkau laci di samping tempat tidur. Dengan penuh konsentrasi, ia memasangkan kondom pada Tsune dan mempersiapkan dirinya sendiri. Tsune menyelipkan sebelah lengan ke bawah kepalanya sendiri sebagai sandaran agar ia bisa melihat dengan lebih jelas apa yang dilakukan Tomoru. Kemaluannya bereaksi menyaksikan Tomoru menyelipkan dua jari ke dalam tubuhnya sendiri dan mengerang selama prosesnya. Disentuhnya lutut Tomoru dengan ujung jari-jarinya dan Tomoru tersenyum. Mereka berciuman lagi sebelum Tomoru mulai memposisikan tubuhnya dan perlahan membimbing Tsune ke dalam kehangatan tubuhnya.

Tsune menjulurkan kedua tangannya, mengambil kedua tangan Tomoru dan mengaitkan jari-jari mereka begitu tubuhnya terbenam sempurna di dalam tubuh Tomoru. Tsune mendesah panjang dan Tomoru menggeleng, mencegah Tsune untuk langsung bergerak atau ia akan meledak saat itu juga. Karena itu Tsune membiarkan Tomoru mengambil waktunya meskipun rasanya ia pun siap meledak kapan pun. Berada dalam tubuh Tomoru yang hangat dan mencengkeram erat tanpa melakukan apapun saja rasanya sudah sangat luar biasa nikmat. Untunglah Tomoru tak butuh waktu lama untuk membiasakan diri. Pegangan tangannya pada tangan Tsune mengerat dan ia pun mulai bergerak pelan. 

“Ah, Tsune-kun...” Tomoru mendengkurkan namanya. Kepalanya terlempar ke belakang saat ia bergerak lebih cepat.

“Feels good?” tanyanya Tsune dengan suara parau, mendesah tiap kali Tomoru menggerakkan pinggulnya.

Tomoru mengangguk. ”Un. Kimochi ii. Aah.” Dilepasnya pegangan tangan mereka dan merebahkan tubuhnya untuk memeluk Tsune dan menciumnya. Wajahnya kemudian disurukkan ke lekuk leher Tsune dan mengerang tanpa malu-malu begitu Tsune ikut bergerak bersamanya.

Getaran suara Tomoru seolah menembus kulit Tsune dan merayap ke dalam tubuhnya. Geramannya menimpali erangan dan desahan Tomoru dengan harmonis. Tomoru terengah saat Tsune berhenti bergerak dan memeluknya erat. Pemuda itu bangkit untuk duduk dan memposisikan Tomoru di atas pangkuannya. Tomoru mengerang pelan dan melingkarkan kedua lengannya di sekeliling pundak Tsune. Tak ada pertanyaan di dalam mata lebarnya saat ia memandang Tsune. Hanya kepercayaan penuh dan permohonan untuk diberi kenikmatan penuh karena ia sungguh sudah tak tahan lagi. 

Tsune menciumnya, memeluk pinggang Tomoru dengan erat dan mulai menggerakkan pinggulnya lagi. Tomoru mengerang lebih keras ke dalam ciuman mereka sebelum akhirnya menjauh dan memeluk Tsune erat-erat. Posisi seperti itu memudahkan Tsune menjangkau titik di dalam tubuh Tomoru yang dengan pasti akan membuatnya mencapai kenikmatan. Tomoru terisak, memohon agar Tsune bergerak lebih cepat, lebih keras dan lebih dalam dan Tsune dengan senang hati memenuhi keinginannya. 

“Tomoru,” Tsune mendesiskan nama kekasihnya sambil menciumnya entah untuk yang keberapa kali. “Suki?” tanya lirih diiringi lenguhan rendah karena Tomoru mencengkeram terlalu keras.

Tomoru terisak. “Un. Suki.” Ia menggigit bibir Tsune. “Tsune-kun daisuki.”

Dan hanya itu yang dibutuhkan Tsune untuk melepaskan kendali dirinya, menyentak cepat hingga seluruh tubuh mereka terguncang. Tomoru menjerit keras, seluruh tubuhnya mengejang dan Tsune secara mendadak berhenti bergerak untuk melepaskan seluruh hasrat dan perasaannya ke dalam tubuh Tomoru. 

Tubuh mereka tersentak pelan dengan sendirinya, tak ada yang berani bergerak meski Tomoru merasa ia perlu mencium Tsune dan dilakukannya tanpa ragu. Terengah-engah, Tsune membawa mereka berbaring dengan bibir masih saling memagut. Tsune menjentikkan jari di ujung hidung Tomoru dan mereka tertawa pelan di antara nafas yang terengah. 

Tsune memeluknya erat-erat dan berbisik di telinganya. “I really miss those little noises that you make every time we make love.”

Tomoru tertawa dan menyikut perutnya dengan agak keras hingga Tsune mengaduh. Ia memutar tubuh dan berbaring membelakangi Tsune. Sambil mengulum senyum, ia berbisik. “I also miss how easy it is to get you off by telling you that I love you.”

“……….........and I love you, too.”

-end-


Friday, October 21, 2011

[fanfic] Keigo Kyoudai - Whiskey, Spirits, and Random Talk

Cast: Kubota Yuuki, Katou Kazuki, Sainei Ryuuji, Inoue Masahiro, Aoki Tsunenori
Rating: PG-13
Warning: AU, OOC, booze involved
Disclaimer: I only own plot and a bottle of smirnoff ice
Note: sungguh pun ini ceritanya lagi mabu'2an



"Tuangkan segelas untukku?"

Kubota menoleh, melirik pada adiknya dan tersenyum sebelum menenggak isi gelasnya. Kazuki mengambil tempat di bangku tinggi, tepat di seberang Kubota yang sudah menjangkau gelas bersih dan menuangkan whiskey ke dalamnya.

Kazuki menggumamkan terima kasihnya dan memasukkan sebongkah es batu ke dalam gelasnya. Diputarnya beberapa kali sebelum menyesap isinya. Kubota sudah mengisi kembali gelasnya.

"No ice." Komentar Kazuki.

Kubota mengangkat alis dan menenggak setengah isi gelasnya. Kazuki melakukan hal yang sama.

"Kau baik-baik saja?"

"Tidak."

Kazuki sedikit terkejut dengan jawaban yang cukup jujur itu dan bukannya candaan atau bahkan sangkalan. Bagaimanapun, ia tersenyum simpul.

"Bukannya aku mau sok terdengar ahli atau sok menasehati, tapi kau sungguh harus berbuat sesuatu."

Kubota mendengus lagi, "Menurutmu?"

Kazuki terkekeh pelan. Ujung jarinya menelusuri bibir gelas. "Kalau dipikir, kenapa kita berempat tak ada yang punya kisah cinta seperti orang lain pada umumnya ya?"

"Saa..." Kubota memiringkan kepalanya. "Karena kita keluarga Keigo? Okaa-san dan Otou-san pun bukan pasangan biasa kan? Mana ada orang tua yang tidak memberi tahu kalau kita akan punya adik?"

"Yah, begitu Otou-san sakit, mereka langsung pindah ke Amerika. Salah kita juga karena tak memperhatikan kondisi Okaa-san kan?" Kazuki mencoba memberi alasan yang masuk akal.

Kubota mengangguk-angguk. "Tapi di antara kita semua, tetap saja kau yang paling berani."

Satu alis Kazuki terangkat. "Aku? Bukannya Masahiro? Dia loh yang akan menikah."

"Paling tidak calonnya bukan anak di bawah umur."

"HEI! Aku tersinggung nih." Sergah Kazuki. "Dan Takuya sudah 18 tahun, tahu!"

Kubota terbahak kencang. Tangannya mendarat di punggung adiknya dan menepuk-nepuk dengan kencang. "Jyoudan!" Ujarnya sebelum menyesap lagi minumannya. "Ah, Mr. Daniel. Kau memang teman yang hebat untuk saat-saat seperti ini." Desahnya, menempelkan gelas ke pipinya.

Kazuki menusuk pipi kakaknya dengan sayang. "Ada apa sih, Yuuki? Kau tak pernah terlihat sesusah ini sebelumnya."

Kubota merendahkan posisi tubuhnya, bersandar ke punggung kursi. "Saa..."

Kazuki menggelengkan kepala. "Sejak dulu selalu seperti itu deh. Kau tak bisa selamanya selalu lari dari masalah, tahu."

"Tahu, kok." Kubota menggembungkan pipinya.

Kazuki mengangguk. Mereka terdiam beberapa saat sementara Kazuki menuangkan minuman lagi ke dalam gelas mereka yang sudah kosong. Disesapnya perlahan bagiannya.

"Kenapa kau mau menikahi Takuya-kun?" Tanya Kubota tak berapa lama kemudian dengan suara agak pelan.

"Hmm?" Kazuki menoleh. "Yah, karena memang sudah seharusnya."

Kubota mengangguk-angguk, menjilat sisa minuman yang menempel di bibirnya. Kazuki tertawa pelan, "Juga karena yah, sudah lama sekali kan?"

Kubota ikut tertawa. "Hmm. Selalu penuh tanggung jawab."

"Apa boleh buat kan?" Kazuki mengedikkan bahu.

Kubota mencondongkan tubuh, meletakkan dahu di bahu Kazuki dan menatap adiknya lekat-lekat. "Gomen ne."

Spontan, Kazuki mendorongnya menjauh. "Nani yooo? Tak usah begitu. Seram, tahu." Namun ia tak bisa menyembunyikan semburat merah yang mulai menjalari tulang pipi dan rahangnya yang tegas. Tapi, Kazuki selalu bisa menyalahkan alkohol yang dikonsumsinya. Sambil berdeham, ia menghabiskan minumannya.

"Ingat, tidak? Kau pernah berkata begini padaku soal Takuya: 'Kalau suka, katakan suka. Kalau tidak, bilang saja begitu. Berputar-putar atau diam di tempat tak akan membuat segalanya lebih baik. Katakan dengan jelas karena tak ada satupun di antara kita yang ahli nujum.' Ingat?"

Kubota mengangkat alis. "Aku pernah bilang begitu?"

Kazuki memicingkan matanya.

"Yah, mungkin memang pernah." Kubota mengangguk.

"Kurasa kau juga berkata hal yang sama pada Ryuuji dan Masahiro. Tapi mereka menanggapi nasehatmu dengan terlalu serius." Kazuki mengerutkan alis dan keningnya. "Makanya Masahiro sempat jadi playboy dan Ryuuji masih seperti itu."

Kubota tergelak. "Hei, yang penting kan mereka bahagia. Aku hanya menjalankan tugas sebagai kakak.""

"Yuuki," tegur Kazuki. Dipelototinya sang kakak yang sudah tampak setengah mabuk karena wajahnya mulai memerah. "Kupikir, sudah saatnya aku mengembalikan kata-kata itu padamu."

Kubota terdiam, tampak berpikir lalu mendengus. Diisinya lagi gelas Kazuki lalu mengajaknya bersulang.


"Ah, curang sekali."

Kedua pria itu menoleh, mendapati Tsune berjalan mendekat. Sepupu mereka itu masih berpakaian rapi dan nampak senang. Wajahnya cerah dan matanya nampak bersinar-sinar.

"Cih, kau habis kencan ya?" Seloroh Kubota saat Tsune berdiri di depan mereka, sudah sibuk mengambil gelas dan menuang whiskey ke dalamnya. Tsune menenggak minumannya, menggerakkan alisnya dengan jumawa.

"Kencannya menyenangkan?" Tanya Kazuki.

"Tak pernah ada kencan yang tak menyenangkan." Sahut Tsune. "Well, satu atau dua kali mungkin agak tidak sukses, tapi bukannya tidak menyenangkan." Ujarnya sambil mengangguk mantab.

Kedua pria itu saling berpandangan lalu mengangguk-angguk. "Benar juga." Komentar Kazuki lagi.

"Tentu saja aku benar." Cengirnya bangga dan Kubota menimpuknya dengan sepotong kecil es sampai Tsune harus melompat menghindar.

"Tapi aku salut." Kubota mengangkat gelasnya. "Bisa juga kau menemukan yang selucu itu."

"Aku punya mentor yang bagus." Jawab Tsune sambil mengerling ke arah Kazuki.

"OI!"


"Sudah kuduga. Ternyata memang ada di sini semua ya."

"Ah, Ryuuji-nii. Tak ada kencan?" Goda Tsune sambil mengulurkan gelas kosong pada kakak sepupunya yang baru saja turun dari lantai atas.

Ryuuji pura-pura mendesah, menyambut gelas dari Tsune dan menunjuk sebotol Southern Comfort di dekat Tsune. "Sedang malas."

"Heee. Besok pasti badai." Gumam Kazuki dari tepi gelasnya.

Ryuuji memicingkan mata dan menendang kaki kakak keduanya itu sampai Kazuki mengaduh dan menjitak kepalanya. Ryuuji mengusap kepalanya sambil meringis.

"Ada apa kumpul-kumpul begini?" Tanyanya, mencelupkan jari ke dalam gelas untuk mengaduk minumannya.

Kazuki nyengir. "Yuuki sedang galau. Aku sih hanya menemani."

"Oi, oi, oi. Sekalian saja kau pasang pengumuman di buletin rumah sakit." Sindir Kubota.

"Yah," Ryuuji memotong sebelum Kazuki sempat menyahut. "Kalau orangnya cantik dan seksi seperti itu sih, aku juga pasti galau." Ujarnya diiringi tawa.

Kubota mengangkat alis. Kazuki nyaris tersedak minuman dan Tsune mengerjap bingung.

Ryuuji menatap kakak-kakak dan adik sepupunya dengan heran. "Apa? Aku benar kan?"

"Apa sih?" Tsune bertanya ingin tahu.

"Nandemonai." Kubota buru-buru berkilah sambil mengibaskan tangan.


"Apa-apaan ini? Kenapa minum-minum begini aku tak diajak? Aku kan sudah boleh minum sekarang. Mou~" satu suara serak bergabung, langsung menyelip di antara Tsune dan Ryuuji.

"Okaeri, Masahiro." Sahut Kazuki, setelah mengelap mulut dengan serbet kertas.

"Tadaima." Balas Masahiro cepat. Buru-buru menyambar gelas Tsune dan menenggak isinya. "Aaah, umai!"

Tsune mendorong dahi sepupunya. "Gayamu. Baru juga belajar minum."

Masahiro mencibir. "Minum saja apa susahnya?"

"Kalian berisik sekali." Protes Kazuki sambil menyodorkan sebuah gelas yang sudah berisi Bailey's pada sang adik bungsu.

Masahiro memandang tak senang pada isi gelasnya tapi diminumnya tanpa banyak bicara lalu menuang whiskey.

Pemandangan selanjutnya adalah Kubota yang tiba-tiba saja berdiri lalu memeluk adik-adiknya satu per satu. Ryuuji nyengir, Kazuki melakukan hal yang sama dan menepis Kubota saat pipinya dikecup, Masahiro berusaha berontak dan Tsune tampak berpikir.

"Apa sih, Aniki? Kalau sudah mabuk, tidur saja." Sergah Masahiro meski wajahnya tampak agak tersipu.

Kubota hanya terkekeh, mengedikkan bahu lalu menyambar botol vodka absolut dan mengisi gelas masing-masing dengan cairan bening itu. "Sekarang saatnya untuk yang lebih serius. Kalian siap?" Tanyanya sambil mengangkat alis dengan menantang. "Real man takes it straight and square."

Masahiro menelan ludah.

-end-

Thursday, June 23, 2011

[fanfic] Coping Mechanism

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger/Prince of Tennis Musical 2nd Season
Cast: Inoue Masahiro, Matsuzaka Tori, Aoki Tsunenori, Akazawa Tomoru
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: All respective agency offices. I do not own anyone/anything. No harm intended. No profit gained.
Note: Bosan. Ngantuk. Maaf gejeh.



Kenyataan bahwa Tsune punya pacar, cukup membuat Masahiro terperangah. Kenyataan bahwa Tsune punya pacar bertampang sangat imut dan mereka berhubungan jarak jauh selama 2 tahun terakhir, membuat pemuda jangkung itu tak bisa berkata apa-apa dan  malah menatap curiga pada sepupunya itu. Tsune memang bukan mantan playboy seperti dirinya tapi Masahiro harus mengakui dengan berat hati kalau sepupunya itu pun punya tingkat popularitas yang tak kalah tinggi dengannya. Ditambah lagi, Masahiro tak pernah percaya konsep hubungan jarak jauh. Yang ada di depan mata saja harus susah payah dijaga dan tak bertemu Tori beberapa hari saja sudah membuatnya resah luar biasa.

Kalau diperhatikan lagi, sepertinya Tsune memang tak bohong. Karena, meskipun Tomoru tampak sedikit malu-malu, genggaman tangan mereka tampak sangat mesra dan Masahiro mengenal dengan baik tatapan mata Tsune saat memandang Tomoru. Apalagi kalau diperhatikan dari cara Tsune yang selalu menempatkan dirinya tepat di sebelah Tomoru -yang kemudian Masahiro tahu itu bukan sekedar karena ingin berdekatan tapi juga karena Tomoru cukup ceroboh dan gampang tersandung atau menjatuhkan sesuatu- mengingatkan Masahiro pada Tori yang selalu mengawasi dan mengomelinya kalau Masahiro cuek atau sembarangan mengerjakan sesuatu.

Tapi perhatiannya saat ini tertuju pada Tori yang langsung akrab dengan pacar sepupunya itu. Bukan sesuatu yang aneh, tentu saja. Tori memang begitu. Suka yang lucu-lucu, selalu baik dan ramah pada siapapun. Tomoru pun tampaknya menyambut Tori dengan baik (atau mungkin ia berpikir kalau Tori toh akan jadi bagian keluarga Keigo jadi dia harus bermanis-manis? Entahlah). 

Masahiro menumpukan lutut kanannya di atas lutut yang kiri, pura-pura sibuk berkutat dengan iPhone-nya sembari sesekali mencuri pandang ke arah Tori dan Tomoru yang sedang heboh sendiri di depan salad bar. Beberapa pengunjung restoran termasuk beberapa pelayan pun memperhatikan dokter tampan dan pemuda manis itu berdiri bersisian, memilih campuran isi salad. Sampai tak sengaja matanya menangkap pandangan Tsune yang duduk di seberangnya dan Masahiro hanya melotot lalu melengos.

“Kau memperhatikan yang mana?” Cengir Tsune.

“Apa maksudmu ‘memperhatikan yang mana’?” tukas Masahiro, agak tersinggung.

Tsune menjulurkan lidah. “Aku masih belum lupa kalau kau ini playboy loh.”

“Berisik.” Masahiro melengos seraya menggembungkan pipinya. “Itu kan dulu.” Gerutunya tak jelas.

Tsune terbahak. Kepala manggut-manggut dengan gaya sok mengerti. “Aku tahu. Wajar sih. Matsuzaka-sensei seksi sekali, sih.”

“Oi!”

“Apa? Aku kan cuma mengatakan kenyataan.” Balas Tsune sambil mengedikkan bahu. “Memangnya kau tak mau mengakui kalau calonmu itu luar biasa menggoda ya?”

Masahiro melipirkan matanya ke samping. “Aku kelimpungan gara-gara itu, tahu.”

Tsune mengangkat alis. “Banyak saingan?”

Dengan berat hati, Masahiro mengangguk. “Tak banyak, tapi berat. Kau lihat sendiri tingkahnya. Terlalu baik, terlalu ramah, terlalu mudah percaya pada orang. Tentu saja jadi banyak yang melirik.”

Tsune tertawa mendengar rajukan sepupunya itu. “Yah, sudah kuduga sih.”

“Iya kan? Makanya aku penasaran.” ujar Masahiro, akhirnya meletakkan iPhone-nya di atas meja di depan mereka. “Kau benar-benar sudah pacaran dengan Akazawa-kun selama itu? Dua tahun?”

Tsune mengangkat dan menggerakkan telunjuknya. “Dua setengah tahun.”

Whatever.” Masahiro mengibaskan tangannya tak peduli. “Benar?”

“Aku tak mengerti maksudmu.” Tsune terkekeh. “Tentu saja aku benar-benar pacaran dengan Tomoru. Memangnya kau pikir apa? Dia pacarku kalau aku sedang di Jepang saja dan kalau aku kembali ke Amerika aku jadi pria lajang lagi, begitu?”

Masahiro mengedikkan bahunya. “Siapa tahu kan?”

Komentarnya itu dibalas dengan sedotan melayang tepat ke dahinya. “Sekali lagi kubilang ya. Aku bukan kamu. Sembarangan saja bicara. Aku pulang saja ke Amerika nih. Terserah kau mau kelimpungan dengan pernikahanmu.”

Pemuda jangkung itu berdecak sebal. “Aku kan cuma memastikan. Kalau memang benar begitu, aku penasaran kenapa kau bisa tahan.”

“Bilang saja begitu kenapa sih?” Tsune mengerutkan alisnya. Matanya yang tajam memicing sejenak namun kemudian menatap sepupunya dengan pandangan geli bercampur sedikit bingung. “Tentu saja bukan hal mudah loh. Waktu memintanya untuk jadi pacarku pun itu keputusan yang agak mendadak dan nekat. Tapi aku sama sekali tak punya keinginan untuk melepasnya begitu saja waktu Tomoru akan kembali ke Jepang.”

Masahiro memajukan tubuhnya, mendengarkan dengan penuh minat. Tsune tersenyum miring dan mengetuk kening Masahiro. “Kami bicara semalam suntuk dan setuju untuk mencoba dulu. Dan kau lihat sendiri, kami masih pacaran sampai sekarang.”

Masahiro menatapnya dengan ragu. “Tidak ada cemburu? Khawatir? Kesal? Kangen?”

“Cemburu dan khawatir sih pasti. Tapi kalau dipikirkan nanti malah stress. Kau tahu aku kan? Mana suka aku berpikir yang susah-susah begitu.” Tsune tertawa renyah. “Dan kami selalu berusaha bertemu kalau ada kesempatan, kok. Lebih sering aku yang ke sini sih.”

“Hah? Kalau ke sini kenapa tak bilang-bilang?” Masahiro berseru kaget. “Aniki bisa ngamuk kalau tahu.”

“Makanya aku tidak memberitahu. Dan kau juga tak akan bilang apa-apa sama mereka, oke?” Kedua bola matanya yang berbeda warna menatap dengan tajam. Persis tatapan mata Kazuki dan Masahiro hanya bisa mengangguk patuh. “Aku hanya sempat pergi di akhir minggu dan kupikir kau pasti mengerti kalau aku hanya ingin melewatkannya dengan Tomoru kan?”

Masahiro mengangguk-angguk. Rasa penasarannya memang sudah mulai terpuaskan tapi tetap saja tuan muda yang manja itu tak mengerti. Mau bagaimanapun, ia tak akan sanggup berjauhan dengan Tori. Kepalanya selalu penuh dengan Tori hingga ia butuh waktu cukup lama untuk benar-benar bisa menyisihkan ruang untuk kakak-kakaknya, kuliah, pekerjaan dan hobinya. Itupun ia sama sekali tak bisa benar-benar tidak memikirkan Tori. Beberapa hari tak bertemu, ia resah. Seminggu tak bertemu, ia uring-uringan. Lebih dari itu, jangan harap orang berani macam-macam padanya.

Tsune mendenguskan tawanya. “Sudah puas?”

Masahiro meraih gelas iced lemon tea-nya. Baru saja akan menyahut lagi tapi Tori dan Tomoru sudah keburu kembali ke meja mereka. Masing-masing membawa dua mangkuk salad di tangannya. Tsune tersenyum saat Tomoru meletakkan semangkuk salad di hadapannya sambil berujar “Arigatou,” dengan lembut. Tomoru balas tersenyum dan langsung mengambil garpu dan sibuk mengunyah. 

Tori juga meletakkan semangkuk salad di hadapan Masahiro dan mengerutkan kening mendapati tunangannya itu menatap pasangan di hadapan mereka. Disikutnya pelan perut pemuda itu. “Ma-kun, tidak sopan.”

Masahiro merengut. “Memangnya tidak boleh?”

Tori merendahkan suaranya. “Tidak enak sama Tomoru-kun, loh. Nanti kalau dia jadi takut sama Ma-kun, aku tidak ikut-ikut ya.”

“Memangnya aku seseram itu?”

Tori malah tertawa pelan dan mencubit hidung pemuda itu dengan gemas. “Bukan cuma Ma-kun. Kubota-sensei, Katou-sensei, umh... Sainei-san tidak terlalu ya, sampai Tsunenori-kun juga begitu.” Masahiro menggembungkan pipinya tak terima dan Tori mengecup pipinya sekilas. “Lagipula kenapa memperhatikan mereka sampai sebegitunya sih?”

“Masahiro cuma ingin tahu kenapa aku dan Tomoru bisa awet padahal kami berjauhan.” Sahut Tsune yang ternyata mendengar pembicaraan mereka. Sebelah tangannya terangkat untuk merangkul pundak Tomoru. Mendengar itu, Masahiro mendelik dan buru-buru mengibaskan tangan. “Cuma ingin tahu.” kilahnya.

Tori mengangkat alis dan Tomoru pun mengangkat kepalanya, menatap Tsune dan Masahiro bergantian. “Tsune-kun bilang apa?” tanyanya penasaran. Tori ikut-ikutan mendekatkan wajahnya, menoleh penuh minat pada sang sepupu Keigo yang tampan itu. “Aku juga penasaran loh, Tsunenori-kun. Apa sih rahasianya?”

“Kenapa Tori juga ingin tahu sih?” protes Masahiro, berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Diam dong.” protes Tori, memukul pelan punggung tangan Masahiro.

Tsune tertawa, mengeratkan pelukannya di pundak Tomoru. Sepasang mata hitam-biru-nya berkilat jahil. “Berusaha percaya, usahakan bertemu kalau bisa, dan yang paling penting...” Tsune mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi. “Phone sex. Lots and lots of phone sex.”

Sikut Tori tergelincir dari atas meja. Masahiro tersedak iced lemon tea-nya.

“Tsune-kun!”

Saturday, June 11, 2011

[fanfic] AU TsunexTomoru - Fever

Fandom: Tennis no Ouji-sama Musical 2nd Season
Cast: Aoki Tsunenori, Akazawa Tomoru
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC, cheesy lines
Disclaimer: I do not own anything
Note: Karena Tomoru adalah marmut jepang yang sangat lucu dan tampak enak buat diuyel-uyel. Ne, tanuki? XDD



"Grande hazelnut latte. Skim milk. Decaf." Tsune menyambut gelas yang diulurkan padanya sambil tersenyum sekilas. Setelah menyelipkan sejumlah tip, matanya mulai beredar memandang seisi kafe itu sampai dilihatnya Kikuchi melambaikan tangan ke arahnya dari meja di dekat pintu toilet.

Tsune mendengus dan mendekat. "Tak ada tempat yang lebih baik?" Desisnya sambil menjatuhkan ranselnya ke lantai dan duduk menyilangkan kaki di depan temannya.

Kikuchi mendelik tak terima. "Tempatnya penuh. Lihat sendiri kan? Dan kau tak suka duduk di luar."

Pemuda tampan itu mengedikkan bahu dan menyisir poninya dengan jari-jari tangan. Disesapnya kopinya dengan perlahan sambil melirik ke arah pintu sementara telinganya samar menangkap suara Kikuchi yang mulai berceloteh tentang pesta mahasiswa Jepang minggu depan.

"...jadi menurutmu enaknya bagaimana? Patungannya tak terlalu mahal kan? Oooi! Are you listening?"

Tsune mengangkat alis." Aanh? Oh, ya, terserah saja. Berapapun tak masalah." Ujarnya cepat sebelum Kikuchi ngamuk. "Ngomong-ngomong, lihat Tomoru? Dari kemarin kok tak kelihatan ya."

Ganti Kikuchi yang mengangkat alis. "Untuk apa cari Akazawa?"

"Aku cuma mau bilang kalau diktat yang dia cari sudah ada." Jawabnya acuh.

Kikuchi nyengir. "Ya simpankan saja. Lagipula kau tak perlu cari alasan begitu. Dilihat juga tahu kalau kau tertarik padanya."

Mata Tsune melemparkan tatapan tajam. "Problem?"

Temannya mengangkat kedua tangannya. "Nothing. Whatever floats your boat."

Tsune memutar bola matanya. "Jadi? Lihat tidak?"

Kikuchi menggigit donat yang ada di atas meja. "Tidak. Coba saja tanya anak yang di sana itu." Kikuchi menggerakkan dagunya ke arah seorang mahasiswa yang sedang duduk sendirian tak jauh dari mereka. "Kalau tak salah dia sekelas dengan Akazawa kan? Lagipula, kenapa tak telepon saja? Kau punya nomornya kan?"

Tsune mengetukkan ujung jari telunjuknya ke tutup gelas kopinya. Tentu saja dia punya nomor telepon Tomoru. Hanya saja dia tak pernah menggunakannya karena merasa belum perlu. Toh sejak perkenalan resmi mereka dua bulan yang lalu, hampir tiap hari mereka bertemu di kampus. Seringkali bahkan Tomoru ikut makan siang atau sekedar minum kopi dengan Tsune dan Kikuchi yang dengan senang hati membantunya menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus.

Memang, Tsune tertarik pada pemuda mungil yang sangat manis itu. Tapi harga dirinya masih menahannya untuk bergerak terlalu cepat. Tomoru nampak mudah takut pada apapun dan Tsune tak ingin menambah masalahnya. Lagipula, Tomoru ada di situ hanya setahun. Waktu yang terlalu singkat untuk dihabiskan berdua seandainya ia boleh terlalu besar kepala.

Tsune menggigit bibir sekilas sebelum akhirnya mengeluarkan handphone-nya dari dalam saku celana. Kikuchi nyengir.

------

Tomoru menggerut ujung selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke dagu. Terbatuk beberapa kali dan nafasnya terasa begitu berat. Demamnya makin parah sejak semalam. Membuka mata saja rasanya pusing sekali. Meskipun begitu, tak urung matanya melirik pada sesosok pemuda yang tengah sibuk mondar-mandir di dapur kecil apartemennya.

Tiba-tiba saja Tsune meneleponnya dan Tomoru baru bisa menjawab setelah dua panggilan terlewatkan. Menjelaskan dengan terbata kalau ia demam dan tak bisa ke kampus. Pun menjawab sebisanya saat Tsune menanyakan alamat apartemennya. Setengah jam kemudian, pemuda itu muncul. Tomoru pasrah saja ditarik kembali ke tempat tidur karena tak punya tenaga untuk protes. Dibiarkannya Tsune menatap beberapa bungkusan obat di atas tempat tidur dan menggeleng pelan saat ditanya apakah ia sudah makan. Tomoru mengernyit saat mengerutkan kening, bergumam kalau ia akan membuatkan sesuatu dan menghilang ke dapur.

Terus terang, ia senang Tsune datang. Pemuda itu begitu baik padanya dan meskipun kadang tatapan matanya yang tajam membuat Tomoru takut, ia tidak pernah menjauh. Tsune mengantarnya keliling kota, menunjukkan tempat dan toko-toko yang mungkin berguna untuk Tomoru. Menemaninya makan siang atau mengajaknya bergabung dengan teman-temannya. Tomoru bukannya tak bisa menebak apa arti pandangan Tsune. Ia hanya tak mau terlalu besar kepala. Pemuda itu tampan dan sepertinya punya cukup banyak penggemar. Lagipula, mereka baru saja mulai berteman.

"Bisa bangun?" Suara Tsune yang dalam membuatnya menarik diri dari pikirannya dan mengangguk lemah. Tsune membantunya duduk, mengatur bantal di sandaran tempat tidur hingga Tomoru bisa duduk dengan nyaman. Tsune duduk di sisinya sambil memegang mangkuk berisi bubur yang mengepul.

"Ini instan sih. Tapi setidaknya kau harus makan sesuatu." Ujar Tsune sambil meniupi bubur itu dan mengaduk dengan sendok.

Tomoru mengangguk. Mata bulatnya mengerjap saat Tsune mengangsurkan sesendok bubur ke arah mulutnya. "Umh...aku makan sendiri saja..."

"Tak usah macam-macam. Kau kan sedang sakit." Tukas Tsune sambil menatapnya dengan tajam. Warna matanya yang berbeda membuatnya jadi terlihat mengancam meski pemuda itu tak bermaksud begitu.

Tomoru menurut. Dengan perlahan, bibirnya membuka dan melahap pelan. Dalam hati, ia bersyukur karena sedang demam atau ia harus menyembunyikan wajahnya yang memerah. Tsune tersenyum miring, menyendok lagi dan meniup beberapa kali sebelum mengangsurkannya pada Tomoru.

Tsune menyerah saat Tomoru menggeleng keras dan menolak untuk makan lagi karena mulutnya terasa begitu pahit. Toh, buburnya sudah dimakan setengah. Tsune menunggu sementara Tomoru meminum obatnya dan membantunya berbaring lagi. Ditepuknya lembut selimut yang menutupi tubuh Tomoru dan pemuda itu mungil itu membenamkan wajahnya ke balik selimut. Tomoru memejamkan matanya karena kepalanya terasa pusing lagi.

Sepertinya ia langsung tertidur karena begitu ia membuka mata, lampu kamarnya sudah menyala dan di luar sudah gelap. Tomoru meraba keningnya, diam sejenak dan menyimpulkan kalau demamnya sudah agak berkurang. Mengerahkan segenap tenaganya, Tomoru berbaring menyamping, memandang kamarnya yang lengang.

Demamnya pasti tinggi sekali sampai ia bermimpi kalau Tsune datang dan merawatnya. Ia yakin itu mimpi karena jam segini biasanya Tsune masih bertugas di perpustakaan. Meskipun ia tak bisa menjelaskan bagaimana caranya ada baskom dan lap kompres di dekat tempat tidurnya -seingatnya itu tak ada saat ia menjatuhkan diri ke tempat tidur kemarin malam- dan bagaimana caranya ia berganti piyama -semalam rasanya motifnya beruang berwarna kuning, sekarang biru tua polos.

Mengerjap beberapa kali lagi, Tomoru memutuskan untuk tidur lagi saja.


Tsune menekan tombol di handphone-nya, mengakhiri pembicaraan dengan ibunya setelah memberitahu kalau ia tak akan pulang malam itu. Dengan perlahan, ia masuk lagi ke dalam ruangan dari beranda mungil itu. Ditiliknya si pemilik apartemen yang masih tertidur pulas. Tsune mendekat dan meraba keningnya dengan hati-hati. Masih demam. Mungkin sebaiknya besok ia memanggil dokter keluarganya untuk memeriksa Tomoru.

Ini pertama kalinya Tsune menjaga orang sakit namun sepertinya ia cukup berbakat. Setidaknya, ia tahu apa yang harus dilakukan, meniru apa yang dilakukan pengasuhnya saat Tsune kecil sakit. Termasuk mengganti baju Tomoru yang basah karena keringat. Ia pernah dengar kalau baju yang basah kena keringat tak diganti, nanti malah bisa memperparah kondisi si orang yang sedang demam tinggi itu. Entah benar entah tidak, yang jelas Tsune tak mau sampai membuat Tomoru masuk rumah sakit.

Tak disangkal kalau ia harus menggigit bibir saat mengganti piyama Tomoru. Bukan pekerjaan yang mudah karena Tomoru tertidur pulas dan kulitnya putih sekali. Terasa begitu hangat saat disentuh. Terlalu hangat karena demamnya. Dan Tsune tak akan menyangkal kalau ia memandang agak terlalu lama. Tidak pada tempatnya, memang tapi mau bagaimana lagi?

Tsune menarik tangannya karena Tomoru membuka mata. Ia tersenyum pada Tomoru yang juga tersenyum lemah.

"Tsune-kun?"

"Apa?"

Pemuda itu menyentuh pergelangan tangannya. "Bukan mimpi ya."

Tsune mendenguskan tawanya dan menggeleng. "Demammu tak separah itu sampai kau berhalusinasi kok." Godanya.

Tomoru tak menyahut. Tangannya masih melingkar di pergelangan tangan Tsune sampai akhirnya Tsune memutuskan untuk duduk di sisi tempat tidur dan meletakkan tangannya yang digenggam di atas dada Tomoru yang tertutup selimut. Tangannya yang lain menyingkirkan helaian poni kecoklatan dari kening Tomoru. Seulas senyum lembut tersungging di bibir Tsune sementara Tomoru memejamkan dan membuka matanya bergantian.

"Pusing?" Tanya Tsune dengan nada yang begitu lembut dan khawatir.

Tomoru menggeleng pelan. Tanpa sadar mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Tsune. Pemuda berambut hitam itu terdiam sesaat, menatap tangan mereka dengan penuh perhatian sebelum menyentuh pipi Tomoru dengan ujung jemari. Tomoru membuka matanya perlahan. Sepasang mata bulat besar bertemu dengan sepasang yang tampak serupa tapi tak sama.

Banyak hal berputar dengan cepat di dalam kepala Tsune dan belum pernah ia merasa semantab dan seyakin itu sebelumnya. Ia tersenyum lembut pada Tomoru, memastikan pemuda mungil itu benar-benar bangun sebelum mulai bicara.

"Kita pacaran yuk."

Tomoru mengerjap. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Beberapa kali. "Eeh?"

Tsune tertawa pelan. "Kau dengar aku."

Tomoru memiringkan kepalanya. "Tapi...kenapa?"

Tsune mengedikkan bahunya. "Tak ada alasan. Tapi kupikir, aku tak bisa meninggalkanmu sendirian dan kurasa, bukan aku saja yang berpikir begitu kan?" Diliriknya tangannya yang tergenggam.

Tomoru mengikuti arah pandangan matanya dan tampak tersipu meski tak menarik tangannya menjauh. Matanya kemudian kembali memandang Tsune.

"Aku kan sering merepotkan Tsune-kun." Bisiknya ragu.

"Justru karena itu." Tsune berujar. Dijentiknya pelan ujung hidung Tomoru. "Aku tak akan merasa direpotkan kalau kau jadi pacarku."

Tomoru membenamkan bagian bawah wajahnya ke dalam selimut. Tsune menepuk pelan dadanya. "Menggeleng atau mengangguk saja sudah cukup, kok."

Tsune tak menyangka kalau jawabannya akan datang dengan begitu cepat. Tomoru menggerakkan kepalanya. Bukan ke kiri dan ke kanan tapi ke atas dan ke bawah. Samar tapi jelas itu sebuah anggukan.

Tsune tersenyum lebar, memutar tangannya dalam genggaman tangan Tomoru yang hangat, menjalin jemari mereka dan membawanya ke depan bibirnya. Disentuhkannya bibirnya ke punggung tangan Tomoru, memperhatikan bagaimana wajah Tomoru yang kemerahan berubah menjadi merah sekali. Kemudian ia merunduk, mendaratkan sebuah kecupan di kening Tomoru. Didengarnya pemuda mungil itu menarik nafas dan menghela pelan. Dikecupnya sekali lagi kulit yang hangat itu, mengelus rambut coklat Tomoru yang terasa luar biasa lembut.

"Sekarang makan ya." Bisiknya lembut.

Tomoru mengangguk.

-end-

Thursday, June 9, 2011

[fanfic] AU TsunexTomoru - Here With You

Cast: Aoki Tsunenori, Akazawa Tomoru
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I own nothing
Note: Pendek saja yaaaaa. Gejeh puuun. Buat tanuki tersayang~




Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali Tomoru merasakan hangat kedua lengan Tsune melingkar erat di pundaknya, juga panas tubuh Tsune di sekelilingnya.

Setahun yang lalu. Tomoru tak mungkin salah ingat karena siapa yang bisa lupa kapan terakhir kali bertemu dengan kekasih apalagi dengan frekuensi bertemu yang bisa dihitung dengan jari?

Tomoru bukannya mengeluh. Hanya saja terkadang rasanya sepi sekali.

Matanya mengerjap pelan, mulai menyadari kenapa dia berpikir begitu. Tsune sudah tak ada di sampingnya. Hanya menyisakan rasa hangat di salah satu tempat tidur mungil itu. Tomoru membenamkan wajahnya ke dalam bantal lalu mengerang sebal. Lalu berguling. Lalu merasakan sisi tubuhnya terantuk lantai yang keras dan dingin diiringi bunyi jatuh yang cukup keras.

"Argh!"

Kecerobohannya tak akan hilang sampai kapan pun. Tomoru merengus sekilas tapi tak beranjak bangun, malahan berguling sekali lagi di lantai.

Samar, telinganya menangkap bunyi langkah kaki menapak lantai kayu. Tak lama terdengar suara tawa yang rendah dan renyah.

"Sedang apa sih?"

Tomoru mengangkat kepalanya. "Jatuh."

"Dilihat juga sudah tahu." Komentar Tsune. Sudah mengenakan celana boxernya, tangannya menggenggam cangkir -yang tampaknya berisi kopi kalau ditilik dari wangi yang tercium hidung Tomoru- dibantunya Tomoru berdiri dan duduk di tepi tempat tidur.

"Sudah mau pulang?" Tanya Tomoru pelan sambil mengambil cangkir dari tangan Tsune.

"Hm? Belum sih. Hari ini tak ada acara apa-apa kok. Belum tahu juga sih. Tergantung yang punya acara." Tsune mengangkat kakinya dan menyilangkan kedua tungkainya. "Tidak kerja?"

Tomoru tampak berpikir sejenak lalu melirik ke arah kekasihnya dengan pandangan bingung. "Ini hari minggu kan?"

Tsune terkekeh lalu mengangguk. "Sepertinya begitu."

Dengus tawa Tomoru tersembur saat pemuda mungil itu menyandarkan kepala ke pundak Tsune. "Benar tidak akan dicari?"

Tsune mengecup pucuk kepala Tomoru. "Dicari pun aku bisa mengajakmu kan?"

"Maksudku bukan itu, loh." Tomoru mengerutkan kening.

Tsune tertawa pelan. "Begitu pun tak apa-apa kok. Ena kan belum pernah bertemu dengan saudara-saudaraku yang di sini."

Wajah Tomoru bersemu merah. Tsune berkeras memanggilnya begitu sejak mereka pacaran dan tak mau beralih. Memang panggilan untuk perempuan dan Tomoru sudah menyampaikan keberatannya berkali-kali tapi Tsune berlagak tuli hanya karena kata itu terdengar manis (cocok sekali dengan Tomoru, kata Tsune) dan meluncurkan dengan mudah di lidahnya. Begitu pun nada dan binar mata Tsune saat memanggil Tomoru dengan panggilan itu.

Bahkan ketika tertulis dalam email atau pesan singkat sekalipun, Tomoru bisa membayangkan dengan jelas.

Tomoru mendesah. Tsune menepuk kepalanya dengan lembut.

"Tsune-kun pasti tak kesepian ya?" Komentarnya tanpa sadar.

Tsune mengangkat alis. "Yah, memang ramai sih. Apalagi sekarang semuanya ada di rumah karena mengurus pernikahan Masahiro. Kadang berisik sekali sih."

"Hmmm..."

Tsune terdiam sesaat, menilik ekspresi kekasihnya dengan teliti lalu menunduk untuk mengecup sudut bibir Tomoru dengan lembut. Tomoru melirik, sudut-sudut bibirnya bergerak membentuk senyum sebelum akhirnya menolehkan kepalanya untuk mencium Tsune.

"Aku akan tinggal agak lama loh." Tsune berbisik, menggesekkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Tomoru, menghirup wangi khas kekasihnya yang selalu terkesan seperti buah peach.

"Hmm..." Tomoru bergumam, mengecup garis rahang tegas Tsune sementara kedua lengannya sudah bergayut di sekeliling leher kekasihnya yang tampan itu. Ditariknya Tsune mendekat, mungkin agak terlalu keras sampai mereka berdua nyaris terjungkal jatuh dari atas tempat tidur kalau saja reflek Tsune tak segera bekerja.

"Oiii!"

Tomoru hanya tertawa. Kali ini tak peduli dengan kecerobohannya karena ia tahu Tsune pun tak pernah benar-benar protes.

"Mandi?" Tanya Tsune seraya merengkuh Tomoru dalam pelukannya, telapak tangannya mengelus pinggang Tomoru dengan sayang.

Tomoru nyengir. "Aku mau sarapan dulu."

"Kulkasmu kosong." Tsune mengingatkan.

"Di lemari ada bubuk hotcake." Koreksi Tomoru, bersandar pada Tsune dan menikmati hangat kulit Tsune di kulitnya sendiri.

Tsune tersenyum miring. "Hotcake buatanku kan sering gosong."

"Nanti kutemani."

"Selai raspberry?"

Tomoru mengangguk. "Dan butter. Tambah es krim vanilla. Di bawah ada konbini." Cepat-cepat ditambahkannya sebelum Tsune bertanya.

Tsune mengernyit. "Aku malas keluar."

"Ih." Tomoru mencibir.

"Lebih baik mencium pacarku saja."

"Ba~ka."

-end-