Monday, July 16, 2012
[fic] Shiawase ni
Rating:PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything
Note: AU di mana Kuma adalah dokter gigi ganteng (yg ntah kenapa kalo gue yg nulis selalu terlihat keren orz tapi tak apa, kau memang ganteng kok, Kuma XD). Setelah sekian lama, akhirnya selesai juga 1 fic. Ahe~ Banyak ide, tapi ntah kenapa susah banget nulisnya *palms face*. Anyway, ini untuk Anne dan Nei yang sudah begitu lihai dengan ninja skills-nya XDDD
Tsune tak akan pernah menyangka kalau ia akan duduk di sofa itu, dengan sebotol bir di tangan –yang seharusnya tidak diminumnya karena asupan alkoholnya sudah melebihi kuota normal tapi peduli apa, dia kan sedang di pesta. Jas-nya sudah ditanggalkan sejak dua jam yang lalu, begitu juga dasinya dan kancing kemejanya sudah terlepas 3 buah. Yang terakhir itu bukan perbuatannya tapi Tomoru yang menariknya ke sudut dan bermesraan penuh hasrat dengannya sebelum mendadak ia tertidur di tengah-tengah. Tsune hanya bisa menghela nafas berkali-kali sambil menidurkan Tomoru di kamarnya dan berniat untuk menimpakan kesalahan pada Daiki yang tidak menjauhkan alkohol dari Tomoru. Masalahnya, dia tak bisa menemukan sahabat Tomoru itu di manapun. Dipikir lagi, dia juga tak melihat Kikuchi sejak tadi.
Dengan acuh, Tsune mengangkat bahu dan menenggak birnya lagi. Sebaiknya dia mencari sesuatu untuk dilakukan tapi apa? Sebentar lagi pestanya akan selesai – ia mengingat samar-samar jadwal acara yang dibuatnya bersama Kimito, Takuma dan Shunsuke – yang tersisa hanya menggiring kedua pengantin itu untuk mengejar pesawat terakhir ke Italia. Mungkin sebaiknya dia beranjak dari situ dan naik ke kamar Masahiro untuk memastikan kalau semua perlengkapan bepergian sepupunya itu sudah selesai dipak.
Sekali lagi ia menghela nafas. Sejak kapan dia mau repot seperti ini untuk adik sepupu yang manja itu?
Mau tak mau, Tsune meletakkan botol birnya ke atas meja. Sekalian saja menengok keadaan Tomoru dan mengecek ke mana perginya dua temannya itu. Namun niatnya itu terhambat oleh Takuma yang menghampiri dan duduk di sebelahnya. Sepasang mata tajam Tsune meneliti sahabat Tori itu baik-baik. Kerutan samar di dahi Takuma menarik perhatiannya dan mata hitam-biru Tsune pun mengikuti ke arah mana Takuma memandang. Masahiro dan Tori tengah duduk dua meja di seberang mereka, bercakap-cakap dengan fotografer kenalan Masahiro dan kalau tak salah yang seorang lagi itu perancang busana mereka.
Tsune mengambil birnya lagi dan menenggaknya dengan santai, “Kalau memandang mereka terus seperti itu, orang akan berpikir Anda tidak setuju dengan pernikahan ini loh, Sensei.”
Takuma nampak tersentak dan buru-buru menutupi kegugupannya dengan tertawa. Tangannya menyisir rambutnya yang kecoklatan dengan gugup. Hmm, dokter ini memang tampan, batin Tsune. Kenapa dengan orang setampan itu di dekatnya, Tori sama sekali tak tertarik? Tsune paham sekali dengan Masahiro tapi kalau menebak dari sifat Tori sepanjang beberapa bulan Tsune mengenalnya, kelihatannya Takuma akan lebih cocok dengan dokter itu dibanding Masahiro.
Diperhatikannya Takuma yang juga membawa bir bagiannya sendiri dan menyesap perlahan. Dokter itu juga sudah menanggalkan jasnya dan menggulung kedua lengan kemejanya.
“Mana pacar Sensei yang manis itu?” tanya Tsune lagi, memutuskan kalau ia mungkin sungguh tak ingin tahu Takuma akan berkomentar apa soal celetukannya tadi.
Kali ini Takuma langsung menjawab, “Sepertinya di atas dengan adikku dan Suda. Kubota-sensei menunjukkan ruang mainan Masahiro dan membiarkan mereka main di sana.”
“Ah,” Tsune mengangguk, “Aku yakin Masahiro tak akan keberatan.”
“Apa itu sarkasme?” Takuma mengangkat alis.
Tsune tertawa, “Sama sekali bukan. Masahiro memang manja tapi kalau sama anak kecil, he’s amazingly adorable and nice.”
Takuma menyahut dengan kekehan kecil. “Yah, dia pemuda yang luar biasa.”
Alis Tsune terangkat sebelah, “You think?”
Dokter itu menyandarkan punggung dan merilekskan tubuhnya. Kepalanya yang tampan mengangguk, “Yah. Memang butuh waktu untuk menyadari itu tapi seperti yang dibilang Matsuzaka, mungkin itu yang membuat orang suka pada Inoue-kun,” ucapnya tulus. “Dan membuat Matsuzaka jatuh cinta.”
Kalimat yang terakhir itu diucapkan Takuma dengan pelan dan Tsune nyaris tidak mendengar. Ada sesuatu dalam nada bicara Takuma dan Tsune berharap ia salah mengartikan. Atau mungkin sebaiknya dia tidak berpikir saat alkohol sedang menguasai sebagian besar sistem tubuhnya. Tapi Takuma menoleh padanya dan tertawa,
“Sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan, Aoki-kun,” jelas Takuma pendek.
Tsune mengangkat alis dan mengedikkan bahu. “Kalau begitu jangan ucapkan dengan nada yang membuat orang bertanya-tanya seperti itu.” Tsune melambaikan tangan pada seorang pelayan yang membawakannya dua botol bir lagi. Diserahkannya satu pada Takuma yang menyambut dengan senyum.
“Aku ini bukan tempat curhat Masahiro,” ucap Tsune lagi, “dan jujur saja, aku baru tahu soal kisah cintanya ini saat aku datang kemari karena diminta. Bayangkan saja kagetnya saat diberitahu kalau anak bengal dan manja itu mau menikah. Aku nyaris saja bertaruh kalau Matsuzaka-sensei mungkin menyelundupkan organ manusia atau menggelapkan uang rumah sakit atau apalah lalu ketahuan oleh Masahiro dan Masahiro menuntut untuk menikahinya atau ia akan buka mulut. Atau semacamnya.”
Lagi-lagi Tsune hanya mengedikkan bahu saat Takuma menatapnya tak percaya. “What? It’s a plausible cause!”
Tawa terbahak-bahak Takuma yang menyusul kemudian mau tak mau membuat Tsune pun ikut tersenyum miring seraya menenggak birnya. “Yah, Sensei tak bisa menyalahkan aku karena berpikir begitu kan?”
Takuma terbatuk dan mengikuti contoh Tsune menenggak birnya, “Tidak,” ia terbatuk lagi, “Sama sekali tidak.” Takuma menggenggam botol birnya dengan kedua tangan dan menumpu kedua sikunya di atas lutut dan mengarahkan pandang kea rah sahabatnya lagi. “Tapi kau tak perlu khawatir, Aoki-kun. Sama sekali tak ada paksaan kok.”
“Then, I’m glad,” sahut Tsune.
“Tapi pembicaraan seperti ini sepertinya sudah telat sekali, kan? Kalau mau protes, bukannya seharusnya dari kemarin?” Takuma melirik ke arahnya.
Tsune mengangkat kedua tangannya, “Hei, aku ini bukan tukang ikut campur. Aku mungkin sudah ketularan Aniki-tachi yang kelewat khawatir soal bocah itu. Kadang saja aku lupa kalau umurnya sudah 20. Tapi benar deh, aku sih terserah saja dia mau apa. Dan ini bukan protes, loh. Hanya mengungkapkan rasa penasaran saja.”
Takuma ganti mengangkat alisnya. Tsune tertawa kecil, “Kan sudah kubilang tadi, Masahiro bukan tipe yang suka curhat padaku. Waktu kutanya-tanya soal Matsuzaka-sensei, dia malah menuduh aku tertarik. Wajar saja kalau aku tertarik kan? Matsuzaka-sensei akan jadi keluarga!”
“Memang susah untuk diajak berpikir logis ya?” Takuma terkekeh.
“Aku sungguh mengerti perasaan Aniki-tachi yang selalu kerepotan,” gerutu Tsune pelan.
Takuma menarik nafas dan menenggak birnya pelan-pelan. Tsune melakukan hal yang sama.
“Dan apakah Sensei sudah protes pada Matsuzaka-sensei?”
Detik berikutnya, Tsune menyesali pertanyaannya sendiri karena Takuma melirik tajam padanya dan sekali itu, Tsune berpikir kalau Takuma bukan lawan yang enteng. Entah kenapa. Ia hanya bersyukur Takuma sama sekali tak ada hubungannya dengan Tomoru atau Tsune mungkin akan khawatir sekali. Dan itu membuat Tsune semakin bertanya-tanya.
“Aku tidak keberatan, Aoki-kun,” sahut Tsune sesaat kemudian. Pandangan matanya sudah meredup normal. “Sejak dulu, Matsuzaka cenderung melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya dan sebagai teman, tentu saja aku khawatir. Matsuzaka paham ini. Aku berusaha berbesar hati memberi kesempatan pada Inoue-kun untuk membuktikan kalau ia akan membuat Matsuzaka bahagia dan Matsuzaka bilang dia bahagia. Itu saja.”
Tsune mengangguk-angguk. “Kurasa aku mengerti itu,” gumamnya.
Selama beberapa saat, kedua pria itu terdiam. DJ yang disewa Kimito sudah mengganti lagu dengan irama yang lebih pelan dan beberapa orang turun untuk berdansa dengan pasangannya masing-masing. Mereka memperhatikan Tori berdiri dan mengulurkan tangan pada Masahiro yang menyambut dengan cengiran lebar. Senyum Tori melebar saat Masahiro melingkarkan lengan ke pinggangnya dan Tori menarik pemuda jangkung itu merapat padanya. Mereka berciuman mungkin untuk keseribu kalinya hari itu.
Tsune melirik dan menangkap Takuma mengangkat kelingking untuk menyentuh sudut matanya. Pria itu berdeham dan menenggak birnya lagi. Ada sesuatu dan Tsune curiga kalau rasanya sangat mirip dengan kekhawatirannya pada Tomoru sebelum ia meminta Tomoru jadi pacarnya. Atau mungkin saja tebakannya salah. Yang manapun, Tsune merasa itu bukan urusannya. Semoga saja.
Walaupun begitu, Tsune tetap ingin bertanya, “Apakah kau bahagia, Wada-sensei?”
“Are you, Aoki-kun?”
Tsune tertawa. Dia berdiri dan melambaikan tangan pada Takuma. Didekatinya pasangan yang tengah berdansa itu dan menepuk pundak Masahiro. Sepupunya itu menoleh dan Tsune nyengir, “Aku belum dapat kesempatan dansa dengan Matsuzaka-sensei, loh. Kau tak keberatan kan, Masahiro?”
Masahiro mengernyit tak senang pada cengiran Tsune yang menurutnya terlalu lebar dan terlihat sangat jahil. “Sepuluh menit,” gerutunya sambil berlalu ke arah Kimito yang tampak tertarik pada hiasan di sudut tenda.
Tori tertawa lebar dan menyambut uluran tangan Tsune bahkan sebelum Masahiro sempat protes. “Tentu saja, Aoki-kun. Dengan senang hati.”
Tsune meletakkan satu tangan di pinggang Tori, “Sensei boleh memanggilku Tsune saja.” Ujarnya sambil mengerling.
Lagi-lagi Tori tertawa lebar dan semu merah yang menjalar sampai ke telinganya itu sungguh sangat menawan. Tsune melirik melewati bahu Tori, pada Takuma yang masih terduduk di kursinya, menatap mereka sambil tersenyum samar. Tsune memutar langkah dengan lihai dan mengangkat alis pada Tori,
"Sensei kelihatan bahagia."
Kerlingan dan sinar di mata Tori sungguh membuat Tsune cemburu dan iri. "Sangat, Tsune-kun. Sangat."
-end-
Sunday, March 18, 2012
[fanfic] Wedding Series: The Vow
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I only owned the plot
Note: Utang gue lunas yessssssssssssss! Akhirnya bakappuru ini menikah juga *susut air mata haru*
Suasana rumah yang luar biasa besar layaknya istana itu begitu sibuk meskipun hari masih pagi sekali. Matahari bahkan belum benar-benar terbit di sebelah timur. Halaman belakang rumah yang sangat luas (lebih luas daripada halaman lain di rumah itu, tentu saja. Katakan saja ukurannya nyaris seukuran lapangan sepak bola) tampak berbeda dari biasanya. Ada sekitar 30 meja-meja bundar dengan masing-masing delapan kursi di sekelilingnya ditata rapi dengan taplak berwarna putih. Center pieces di tiap meja berupa rangkaian bola kristal dan lilin berwarna merah dan pink. Begitu juga serbet makan yang ditata bersama tumpukan piring, seperangkat alat makan dan gelas berbagai ukuran. Di dekat tiap gelas champagne tergeletak kartu nama kecil bertuliskan nama masing-masing tamu yang akan hadir. Di dekat area duduk itu sudah dipasang sebuah tenda yang menaungi tiga meja bundar lain. Bergeser sedikit ke kanan dari tenda itu, di dekat air terjun buatan, ada sebuah podium yang sedang diberikan sentuhan akhir. Dihiasi pita-pita, selendang, dan bunga bernuansa merah, pink dan putih.
Mitsuya sibuk mondar-mandir di halaman itu, memastikan semua dekorasi sudah terpasang dengan baik pada tempatnya, tenda tak akan roboh meskipun ada angin kencang (tidak akan terjadi, ia sudah mengecek laporan cuaca), microphone dan pengeras suara sedang dipasang dan ia harus melangkah hati-hati kalau tak ingin tersandung kabel yang masih bersliweran. Ia melirik arlojinya dan dengan bergegas masuk ke dalam bangunan utama melalui dapur besar yang jadi tempat paling sibuk di rumah itu. Setiap sudut dapur tertutup makanan yang sudah jadi maupun bahan-bahan yang siap diolah. Takki sedang mencicipi saus sementara Jin sedang mengawasi laporan jumlah perangkat makan yang harus disiapkan.
“Hiramaki-san, yang di luar sudah beres? Masih perlu lagi yang lain?” Tanya Mitsuya sambil mendekati Jin.
Jin mengangguk, “Aku sempat melihat tadi tapi akan kucek sebentar lagi. Mitsuya-kun sudah sarapan?”
“Ah, mana bisa aku memikirkan sarapan di saat seperti ini?” keluh Mitsuya, ikut melirik daftar di tangan Jin.
“Tak boleh begitu. Sainei-san sudah mengundang kita untuk sarapan sama-sama di ruang makan loh. Makanlah. Setelah itu masih harus mengecek ruang tatami kan? Nanti kalau kau pingsan, Sainei-san bisa marah sekali karena kau mengacaukan pesta pernikahan adiknya.” Tegur Takki yang ikut menimpali. Kedua tangannya memegang nampan berisi omelet yang tampak lembut menggoda.
Mitsuya mendesah. Kenki juga sudah berpesan kalau dia tak boleh sampai lupa makan dan harus istirahat dengan cukup begitu Mitsuya pamitan untuk menginap di rumah Keigo dua hari yang lalu. Ia harus pindah markas dari apartemen Tori ke rumah Keigo karena perlengkapan dekorasi yang dipesannya sudah berdatangan dan harus mulai dipasang. Ia sama sekali tak menyangka akan bisa menginap di rumah idolanya itu. Senangnya luar biasa apalagi dia bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk pernikahan Masahiro dan Tori. Mendesah sekali lagi, Mitsuya pun mengikuti Takki ke ruang makan.
Di ruang makan sudah ada Kubota, Sainei, Takuya, Kei dan Tsune yang melambaikan tangan agar Mitsuya duduk di sebelahnya. Mitsuya pun tersipu saat Tsune menuangkan kopi untuknya dan mengucapkan terima kasih dengan malu-malu. Tsune balas tersenyum.
“Apa yang lainnya belum bangun?” Tanya Mitsuya sambil mengambil omelet dan potongan bacon.
“Ibuku sebentar lagi turun. Kazuki sedang mengecek apakah Masahiro sudah bangun. Kau hanya makan itu?” Kubota mengulurkan piring saji berisi potongan sosis gemuk ke arahnya. “Nih, tambah lagi. Kita semua akan perlu energi banyak hari ini.”
“Masakannya enak sekali, Takiguchi-san.” Tsune berkomentar sambil mengelap mulutnya dan menyesap kopi.
Takki tersenyum lebar. “Terima kasih. Ini semua yang buat Jin, kok.” Dan seperti diberi tanda, Jin pun muncul dari dapur sambil membawa seteko kopi lagi dan duduk di sebelah Takki. Ia pun tersenyum lebar begitu Tsune mengulangi komentarnya. “Ah, ini hanya sarapan biasa. Tapi kalau tak keberatan untuk menyicipinya lagi, silakan datang ke tokoku kapan saja.”
“Oi, oi. Kenapa kau malah promosi.”
“Ah, tidak boleh ya?”
Tawa semua orang meledak. Sainei menyela, “Tentu saja. Beri tahu saja alamatnya. Kapan-kapan mungkin aku akan mampir dengan teman wanitaku.”
Kubota, Tsune, Takki dan Mitsuya memutar mata dan Sainei pun langsung protes, “Apa?”
Jin tertawa renyah, “Silakan datang kapan saja.”
Kazuki turun sambil menggandeng lengan ibunya dan menarikkan kursi di ujung meja untuk wanita itu. Maya tersenyum lembut pada anak-anak dan tamu-tamunya. Wanita itu masih mengenakan mantel kamar tapi rambutnya sudah tergelung rapi membentuk sanggul kecil di tengkuk. Kubota menawarinya kopi tapi ibunya lebih memilih teh.
“Masahiro sudah bangun?” Tanya Sainei sambil mengangsurkan sandwich pada kakak keduanya.
Kazuki mengangguk. “Sedang berusaha menelepon Matsuzaka yang sepertinya menolak untuk mengangkat telepon. Kimito sedang memitingnya karena tak mau diam dan duduk tenang. Mungkin sebaiknya sarapannya dibawakan saja ke kamar.” Ujarnya pada kepala pelayan mereka.
Tsune menggeleng. “Biar aku saja. Aku sudah mau selesai, kok. Ini salah satu tugas pendamping pria juga kan?”
Maya tersenyum, “Mungkin sebaiknya begitu. Sekalian saja siap-siap ya, Tsunekki?”
“Tentu saja, Bibi.” Jawabnya sambil menjejalkan secangkir kopi dan sepotong sandwich ke tangan Mitsuya yang sudah hendak bergegas karena diberi tahu seorang pelayan bahwa ia dibutuhkan di ruang upacara. Tsune pun menyelesaikan sarapannya dan menghilang ke dapur. Tak lama ia naik ke lantai dua dengan membawa nampan berisi sarapan untuk Masahiro.
*****
Sarapan pagi di apartemen itu sungguh sederhana. Sepoci kopi, sepoci teh, setumpuk roti panggang, beberapa botol selai, sepinggan poached egg. Semua orang berkumpul di meja makan mungil itu. Sorimachi duduk sambil merokok dan membaca koran, Yuki di sebelahnya menyesap teh yang dicampur sesendok selai, Takuma ngobrol dengan Shunsuke dan Tori yang sibuk meladeni Masaki yang nyaris tertidur lagi di atas roti panggang.
“Kita harus berangkat jam berapa?” Yuki akhirnya bertanya.
Takuma mengangkat wajah untuk melihat ke arah jam dinding. “Jam 8 harus sudah di sana. Kita masih punya banyak waktu kok. Sekarang kan masih jam setengah 6.”
“Bibi cemas ya?” ujar Shunsuke sambil menuangkan teh lagi ke cangkir Yuki.
Yuki mendesah. “Kau ini bicara apa? Aku ini sudah biasa dalam situasi tegang begini. Anggap saja ini seperti pembukaan cabang spa baru.”
“Haaaah? Nani soree?” Protes Tori. “Bisa-bisanya Ibu menyamakan pernikahanku dengan pembukaan cabang spa.”
“Habis mau bagaimana? Anggap saja begitu kalau tak mau terlalu gugup kan? Ne, Takashi-san?”
Sorimachi hanya terkekeh. Pria itu melipat korannya dan minta diulurkan roti panggang lagi. “Terserah padamu saja, Yuki. Toh, mereka sudah mempercayakan persiapannya pada orang-orang yang handal kan? Kita sih tinggal datang dan duduk saja.”
Tori merengut. “Enak saja bicara seperti itu. Yang mau menikah kan aku. Ayah dan Ibu tak tahu seperti apa stresnya.”
“Hei!” tegur Yuki seraya menepuk punggung tangan Tori. “Aku ini juga pernah berada di posisimu, tahu. Kau tak bisa tidur kan semalam? Aku pun begitu dulu.”
Shunsuke mengintip wajah temannya itu dan terkesiap melihat kantung mata Tori. “Aaah, ikenai, ikenai.” Lalu bangkit membuka kulkas dan memotong ketimun segar. Digeretnya Tori ke sofa dan memaksaya berbaring diiringi protes keras Tori saat Shunsuke meletakkan potongan timun di atas kedua matanya.
“Diam. Jangan bergerak.” Ancam Shunsuke sampai Tori akhirnya menurut.
Masaki mengangkat kepalanya dari atas meja, “Aku tak boleh tidur lagi saja, ya? Ini masih pagi sekaliiiii.”
Takuma menepuk-nepuk kepala Masaki dengan sayang, “Dame. Kecuali Suda mau berangkat sendiri ke rumah Inoue-kun nanti siang dan melewatkan upacara pernikahannya Matsuzaka.”
Bibir Masaki merengut maju. “Bhu, tak mauuuu.”
“Kalau begitu, nih minum susumu dan habiskan sarapanmu ya. Nanti kan di sana ada Yuuki juga. Suda tak akan kesepian.”
Wajah Masaki langsung berbinar cerah dan dalam sekejab, anak itu pun terlihat segar. “Asyik, asyik! Ada Yuuki-chan! Ada Yuta-chan juga kan? Nanti kami boleh main sendiri kan, Papa?”
Tori mengacungkan ibu jarinya sebagai tanda persetujuan. Ia benar-benar tak bisa bergerak kalau tak mau dipelototi Shunsuke. Sampai tengah malam ia tak bisa tidur dan memandang iri pada Masaki yang sudah mendengkur pelan. Ia akhirnya keluar untuk membuat segelas susu hangat dan menemukan Takuma dan Shunsuke yang masih ngobrol di ruang tamu. Kedua pria itu pun menyambutnya hangat dan Takuma membuatkannya segelas susu hangat yang dicampur brandy. Mereka ngobrol beberapa lama sampai Tori akhirnya benar-benar mengantuk. Itu pun tidurnya tak nyenyak karena kerap terbangun.
Ia bersyukur karena dua gelas kopi sudah berhasil membuatnya merasa sedikit lebih terjaga. Rasa dingin ketimun yang saat ini menutupi kedua matanya pun cukup matanya yang tadinya terasa begitu berat jadi lebih ringan dan segar. Tori mendesah pelan. Entah untuk keberapa kalinya sejak kemarin. Ia bersyukur ada Takuma dan Shunsuke di dekatnya, kalau tidak, mungkin ia sudah jadi gila. Takuma pun mengijinkannya mengkonsumsi banyak makanan manis supaya ia lebih tenang dan tak terus-terusan senewen.
Tori merasa sesuatu yang empuk dan hangat dijejalkan dalam genggamannya, disusul suara Takuma. “Inoue-kun menelepon terus sejak tadi, loh. Tidak kau angkat?”
Tori membawa benda dalam tangannya yang ternyata roti panggang ke mulutnya dan mulai mengunyah dengan mata tetap tertutup. Ia mendengus, “Biar saja. Paling hanya mau mengomel atau merajuk. Aku sedang ingin panik sendiri saja saat ini tanpa perlu pusing mengurusinya yang panik juga.”
Takuma terkekeh pelan dan menepuk pelan lengan atas Tori. “Setengah jam lagi kita siap-siap, ya.”
Tori mengeluarkan suara tanda setuju karena sedang sibuk mengunyah rotinya.
*****
“Kenapa sih dia tak mau angkat telepon? Masa belum bangun? Aku saja tak bisa tidur. Toriiiii, angkat teleponnyaaaa!” Masahiro kembali bersungut-sungut seraya menekan ulang nomor telepon Tori mungkin untuk keseratus kalinya pagi itu sejak ia benar-benar bangun.
Kimito mendesah dan merampas handphone Masahiro dengan kasar lalu memukul kepala temannya itu. “Kau ini bodoh atau bagaimana? Di sana kan juga sedang sibuk. Mungkin Matsuzaka-sensei tak sempat angkat telepon. Daripada itu, mandi sana! Jangan sampai aku harus menendangmu ke kamar mandi ya.”
Bukannya mendengarkan temannya, Masahiro malah mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. “Apa jangan-jangan dia berubah pikiran? Apa benar begitu? Mungkin saja kan? Tiba-tiba dia takut lalu pergi entah ke mana dengan Shunsuke sialan itu. Aaaaargh! Seharusnya aku memaksa mereka menginap di sini saja semalam. Kenapa sih pakai acara tak boleh bertemu sebelum hari-H segala? Kalau dia benar-benar berubah pikiran, bagaimana ini?” Secepat kilat Masahiro menggenggam keras kemeja yang dikenakan Kimito dan mengguncang-guncang tubuh temannya itu, “Kimito! Cari tahu! Cari tahu Tori pergi ke mana. Kita harus cepat! Dia tak boleh berubah pikiran! Kimito, kau dengar aku?”
Sebuah kepalan keras mendarat di kepala Masahiro. Begitu kerasnya hingga pemuda jangkung itu terhuyung mundur. Matanya mengerjap bingung lalu jatuh terduduk di atas tempat tidurnya. Kimito mendengus kesal seraya meniup kepalan tangannya.
“Sudah bangun? Sekarang mandi! Kau perlu mendinginkan kepalamu!” Kimito menunjuk ke arah kamar mandi dengan tegas. Masahiro, yang masih agak pusing dan bingung, mengangguk dan menyeret tubuhnya dengan patuh.
Kimito memastikan Masahiro masuk ke kamar mandi dan begitu mendengar suara air mengalir dari shower, ia mendesah dan merutuki dirinya sendiri kenapa mau-maunya terlibat dengan orang merepotkan macam itu. Sepertinya ia memang kena kutuk. Setengah kesal, ia menelepon Ryouta yang untungnya sudah bangun dan berkata kalau cake-nya sudah masuk oven dan sebentar lagi matang. Sebenarnya Kimito lebih ingin nongkrong di toko Ryouta saja dan memperhatikannya membuat kue pengantin pesanan Masahiro dan Tori tapi dia kan pendamping pria. Bisa diamuk orang banyak kalau ia menghilang di saat penting begini.
Benar-benar kena kutuk, deh. Ryouta menertawainya dan menyuruhnya mulai bersiap-siap juga dan mendoakan semoga upacaranya lancar karena Ryouta baru akan datang menjelang resepsi siang nanti. Kimito mengangguk setuju, menutup teleponnya dan memperhatikan tiga helai kimono hitam yang terpajang berjejer di salah satu sisi dinding kamar Masahiro. Milik Masahiro berwarna hitam sementara miliknya dan Tsune biru tua.
Sementara itu di kamar mandi, Masahiro berdiri terpaku di bawah kucuran air dingin yang mengalir dari shower. Ia merutuki Kimito yang berani-beraninya memukul kepalanya keras sekali. Dengan kesal dirabanya kepalanya yang masih terasa nyeri. Ia tak heran kalau benjol. “Tsk,” keluhnya kesal.
Pertama kali dalam hidupnya, ia benar-benar merasa gugup dan resah. Seminggu berpisah dengan Tori dan begitu tiba kemarin pagi pun ia masih belum bisa menemui pacarnya itu. Tori hanya menelepon begitu Masahiro mendarat di Narita dan sebelum ia pergi tidur malamnya. Itu pun tak bisa ngobrol lama karena masih banyak yang harus diurus dan mereka berkali-kali diganggu siapa saja yang mendadak punya hal untuk ditanyakan pada mereka. Masahiro tak bisa berhenti menggerutu sejak kemarin sore. Biasanya kalau ia sudah begitu, tak aka nada yang berani mendekat tapi kali ini semua orang seolah tak mau peduli kalau ia BUTUH bertemu atau setidaknya bicara dengan Tori. Tapi calon suaminya itu pun seolah tak peduli dengan tak mengangkat teleponnya sama sekali. SMS pun hanya dibalas sekali
Jangan bodoh, Masahiro.
Begitu saja. Apa maksudnya sih? Dia kan butuh ditenangkan dan bukannya dikata-katai seperti itu. Dia juga tahu Tori pasti juga sedang tak tenang tapi kan saat-saat seperti ini seharusnya mereka saling mendukung kan? Bukannya malah mengacuhkan kan? Iya, kan?
“Masahiro, hentikan lamunan tololmu dan keluar dari situ sekarang juga. Kau harus sarapan dan siap-siap.”
Kali ini suara kakak sepupunya terdengar dari balik pintu. Masahiro mendengus kesal. “Hai!” serunya.
*****
Tori berdiri tegak di depan cermin panjang di dalam kamarnya sementara ayahnya bergerak di sekelilingnya, membantunya mengenakan kimono dan hakama resminya. Tadinya Shunsuke yang akan membantunya tapi Sorimachi muncul di pintu dan mengatakan kalau ia yang akan melakukannya. Shunsuke pun menghilang dengan senang hati dan pergi membantu Masaki dan Takuma. Sorimachi berkerja dengan cekatan; menarik, mengikat dengan kencang, merapikan dan menyesuaikan dengan cermat hingga semua garis dan lipatan berada di tempat yang benar.
Terakhir dielusnya di punggung anak laki-laki satu-satunya itu dan berdiri di belakang Tori untuk memandang pantulan mereka di dalam cermin. Tori tersenyum dan Sorimachi pun balas tersenyum.
“Gugup?” tanyanya, merapikan sekali lagi lengan kimono Tori.
Tori tertawa pelan. Sorimachi nyengir lebar. “Kau akan baik-baik saja.”
“Kuharap juga begitu.”
Sorimachi tersenyum kecil lalu menepuk pundak Tori dengan mantab. “Kau akan baik-baik saja.” Ulangnya. Lebih pelan dan lebih jelas.
Tori memandang ayahnya selama beberapa saat lalu mengangguk. “Arigatou, Tou-san.”
*****
“Coba lihat sini,” Maya menangkupkan kedua telapak tangannya di masing-masing pipi Masahiro yang sudah tak terlalu bulat. Seminggu bersama anak bungsunya itu bahkan tak akan cukup untuk membuat Maya merasa bosan memandang wajah pemuda itu. Masahiro terlihat tampan dengan rambut yang ditata rapi ke belakang. Kimono dan hakama hitamnya tampak begitu pas dan serasi. Anak itu sudah bukan anak kecil lagi tapi Maya merasa sifat manja dan seenaknya Masahiro tak akan pernah hilang.
Masahiro merasa sedikit salah tingkah diperhatikan begitu rupa oleh ibunya dalam jarak sedekat itu. Meskipun seminggu terakhir sudah membuatnya jauh lebih dekat dengan ibunya, tetap saja ditatap dengan mata berkaca-kaca dan desahan panjang seperti itu membuatnya salah tingkah. “Kaa-san, sudah dong.” Ujarnya sambil melirik ke arah Tsune dan Kimito yang sibuk menyembunyikan cengiran dan kikik geli di balik lengan masing-masing.
“Kaa-saaaaaaan,” Masahiro mendesis. Pipinya sudah berubah merah sekali dan Maya menepuk pipinya pelan.
“Ingat ya, mulai saat ini kau sudah bukan anak kecil lagi. Jangan merepotkan Tori-san.” Maya berpesan dengan tegas. “Kau harus bisa mendukungnya dan jangan terlalu banyak mengeluh.”
“Iyaaaaa, aku tahu.”
“Inoue Masahiro, dengarkan aku.”
“Hai.”
Maya mengusap pipi anak bungsunya itu lalu tersenyum lembut dan berjinjit untuk mengecup kening Masahiro. “Ibu tahu kau anak baik.”
“Hai,” Masahiro memeluk ibunya. “Arigatou, Kaa-san.”
*****
Ruangan bergaya jepang itu ditata rapi. Dua buah pembatas berwarna putih bergaris tepi emas diletakkan di tengah dan di sebelah kiri di bagian depan. Di depan tiap pembatas ada alas duduk berwarna putih bersulam emas dan di depannya lagi ada sebuah nampan kayu hias mewah berisi tumpukan cangkir dan cawan sake dihias kertas upacara. Masahiro duduk di tengah sementara Tori di sebelah kirinya.
Tori melirik ke jejeran keluarganya dan keluarga Masahiro, juga teman-teman dekat mereka. Hanya ada sedikit orang yang hadir di upacara itu. Semuanya mengenakan kimono dan hakama resmi. Para pelayan yang meladeni tamu yang hadir pagi itu pun mengenakan kimono. Ibunya berulang kali mengusap sudut matanya dengan sapu tangan, begitu juga ibu Masahiro. Ayahnya tersenyum dan Kazuki tampak tegang.
Seorang pelayan wanita mengenakan kimono maju dan menuangkan sake untuk mereka. Tiga kali di tiap cangkir dan mereka berdua menghabiskannya dalam tiga tegukan. Tangan Masahiro sedikit bergetar dan ia melirik ke arah Tori yang ternyata juga sedang melirik ke arahnya. Tori tersenyum padanya dan untuk pertama kalinya hari itu, Masahiro merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia balas tersenyum.
“Baka ne,” bisik Tsune pada Takuma yang duduk di sebelahnya. Takuma menggigit bibir sekuat tenaga agar tak tertawa sementara Shunsuke dan Kimito nyengir lebar.
*****
Menjelang makan siang, tamu-tamu undangan mulai berdatangan. Keisuke datang bersama adiknya yang sombong. Kenki datang bersama Yuuki dan Yuta. Ia langsung mencari Mitsuya yang sedang sibuk memastikan sentuhan akhir dekorasi terpasang dengan benar sementara Yuuki dan Yuta langsung sibuk berkeliaran dengan Masaki. Tsune mengantarkan Tomoru dan dua temannya ke tempat duduk mereka. Yuta datang bersama dua anaknya dan Shunsuke menemani mereka sebentar sebelum menghilang untuk ganti pakaian. Yuzawa-san dan dua anak buahnya sudah sibuk mondar-mandir dengan kamera di tangan masing-masing. Intensitas kerja di dapur meninggi. Takki dan Jin sibuk memberi pengarahan pada para pelayan dan mengingatkan pengaturan keluarnya makanan dan pengawasan ketersediaan minuman dan makanan kecil. Ryouta mendorong kue pengantin tingkat tiga dengan hati-hati ke dekat salah satu meja di bawah tenda, tak lupa memukul Kimito yang hendak mencolek krim penghias kue. Musik pun sudah mulai dimainkan oleh kelompok kecil orkestra yang didatangkan khusus dari Italia oleh Kazuki.
Tori memandang semua kesibukan itu dari jendela kamar tamu di lantai dua sambil berusaha mengancingkan lengan kemejanya. Ia bisa mengenali keluarga ayah dan ibunya, kolega-koleganya di rumah sakit dan beberapa teman kuliahnya di antara orang-orang yang mulai menempati tempat duduk mereka di bawah sana. Satu upacara selesai, tinggal satu lagi untuk dilewati dan dia akan merasa lega. Mungkin.
Masahiro masih tak terima kenapa Tori harus ditempatkan di kamar terpisah kalau hanya untuk ganti pakaian saja. Tori memijat keningnya yang kembali terasa pusing dan akhirnya menyerah lalu memeluk dan mencium suaminya itu dengan sayang. Masahiro pun akhirnya terdiam, menatap Tori yang hanya tersenyum dan mencubit hidungnya dengan gemas sementara orang-orang yang kebetulan ada di sekitar mereka geleng-geleng kepala.
Yuzawa-san menyelinap masuk untuk mengambil beberapa foto dirinya beserta Takuma dan Shunsuke yang tengah berganti pakaian dan ia mengatakan kalau Tori terlihat tampan lalu menghilang untuk memotret Masahiro. Takuma membantunya mengenakan jas panjangnya dan mengancingkannya mulai dari leher hingga kancing terakhir di bagian dekat pusar. Tori masih mengagumi jas itu. Modelnya seperti jas resmi angkatan laut; dengan kerah tegak dan panjang jasnya mencapai lutut Tori. Warnanya hitam dengan sulaman benang merah berkilau di bagian kerah dan sepanjang tepi bagian depan juga ujung lengan. Celananya hitam polos agar tak terlalu mencolok. Shunsuke melipat rapi sebuah sapu tangan berwarna merah dan menyelipkannya ke saku dada jas Tori. Ikat pinggangnya berupa kain merah yang disimpul rapi di bagian samping. Rambutnya dijalin rapi di sebelah kiri dan ditahan dengan jepit rambut tersembunyi.
“Siap?” Tanya Shunsuke sambil menepuk pundak Tori.
Tori menarik nafas panjang, menatap kedua sahabatnya yang juga terlihat luar biasa tampan dalam balutan jas panjang ala Inggris dan menggamit masing-masing lengan mereka. “Siap.”
*****
“Tamunya sudah datang semua?” Masahiro bertanya sambil mengangkat dagu agar Tsune bisa menyimpulkan syal satin berwarna magenta di sekeliling leher Masahiro dengan mudah.
Tsune mengangkat bahu, “Entahlah. Seharusnya sih, kalau ditebak dari suaranya.”
Masahiro mendesah, merentangkan tangan agar Tsune bisa membantunya mengenakan rompi-nya yang juga terbuat dari satin berwarna senada dengan syalnya. “Hhhhh, kenapa sih menikah itu repot sekali?”
“Memangnya siapa yang suruh kau menikah?” Tsune tertawa, mengancingkan rompi itu dengan rapi lalu beralih mengambil kemeja Masahiro yang berwarna putih. Ukurannya begitu pas di tubuhnya dan jatuh dengan sempurna. Tsune mengaitkan sebuah rantai emas kecil di antara dua lubang kancing jas Masahiro dan menepuk-nepuknya seolah memastikan sudah terpasang dengan sempurna dan tak akan lepas.
“Aku yang mau, kok.”
Tsune menyentik kening Masahiro. “There. Don’t complain too much.”
Masahiro memutar matanya dan memukul lengan atas Tsune. Diliriknya sekali lagi bayangannya di cermin dan mengangguk puas. “Okay.”
Tsune tersenyum lebar.
*****
Tori nyaris tak bisa bernafas saat melihat Masahiro berdiri di atas podium, menunggu dirinya yang berjalan ke arah Masahiro, menggamit lengan ayahnya dengan sedikit lebih erat. The Wedding March mengiringi langkahnya, juga pandangan kagum bercampur haru dari tamu-tamu. Sungguh, Masahiro tampan sekali dan Tori tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya saat Masahiro menoleh, melihatnya dan tersenyum lebar. Tatapan matanya begitu ceria dan seolah puas dan bangga melihat Tori.
“Halo,” sapa Masahiro begitu Tori sudah berdiri di sampingnya.
Tori nyaris tertawa, “Halo.”
“Maaf kalau terlalu blak-blakan, tapi Anda tampan sekali dan aku suka sekali. Maukah pergi bersamaku ke suatu tempat sekarang juga?”
Tori mengangkat bahunya, “Entahlah. Aku baru saja menikah dan akan mengucapkan janji setia sebentar lagi. Aku tak ingin membuat suamiku khawatir.”
“Oh. Sayang sekali. Dia laki-laki yang beruntung.” Ujar Masahiro dengan cengiran begitu lebar.
Tori tersenyum miring. “Begitulah.”
Mereka berdiri berhadapan saat pendeta memberikan sambutan dan saling menggenggam tangan masing-masing. Masahiro menarik nafas saat tiba gilirannya untuk mengucapkan sumpah setia. Ia sudah menghafalkannya semalam suntuk dan berdoa semoga ia tak lupa dan mengacaukan semuanya. Tori tersenyum dan mengangkat alisnya dengan menggoda. Masahiro merengut sekilas namun kedua matanya kembali menatap lurus-lurus ke arah Tori.
“Aku berjanji….” Ia berhenti sejenak, kembali menarik nafas panjang dan Tori meremas tangannya memberi dukungan, “Aku berjanji akan selalu mencintai Tori, akan selalu menjaga Tori, akan selalu memberi yang terbaik untuk Tori, akan selalu membuat Tori bahagia, akan berusaha memaafkan kesalahan Tori, akan mencoba mengerti banyak hal tentang Tori yang masih tak kumengerti. Aku berjanji akan berusaha tidak mengulang kebodohan yang pernah kulakukan dan menyakiti Tori, akan menghormati dan menyanyangi Tori. Aku berjanji akan terus ada di samping Tori dan tak akan pernah bosan…. Because you are my eternity.”
Tori tersenyum lebar, karena meskipun janji itu terdengar sedikit aneh dan terlalu apa adanya, Tori sungguh tersentuh. Masahiro nyengir puas lalu merengut karena terdengar kikik tertahan dari arah parah tamu dan Tori pun ikut tertawa. Ia kemudian berdeham, karena ini gilirannya. Tori menggigit bibir sekilas.
“Ma-kun adalah anomali dalam hidupku.” Tori memulai dan semua orang mengangkat alis termasuk Masahiro. Tori melanjutkan, “Kamu datang di saat aku sudah berkeputusan tak akan membuka hatiku lagi untuk orang lain. Tanpa tahu apa-apa, tanpa bertanya, tanpa menyerah, dan juga tanpa malu-malu, kamu memaksa masuk. Anak kecil yang manja, seenaknya dan tak pernah peduli pendapatku.” Masahiro tampak tak senang dan sudah siap membuka mulut hendak protes namun Tori masih menatap lurus ke arahnya. “Selalu membuatku kesal, marah dan khawatir. Kadang menyebalkan karena suka memaksa. Dan aku terlalu sibuk bertahan dan menjaga agar hatiku tidak terbuka dan terluka tapi entah bagaimana, kamu berhasil meyakinkanku. Dan aku sungguh berterima kasih karena kamu datang dalam hidupku. Terima kasih untuk mau mencintaiku. Dan terima kasih karena kamu tidak menyerah. Karena itu mulai dari sekarang, aku pun tidak akan menyerah dan kalah mencintai Masahiro.”
-end-
Monday, December 19, 2011
[fanfic] Wedding checklist - Tension
Terakhir kali ia melihat apartemennya dalam keadaan luar biasa berantakan adalah beberapa tahun lalu saat ia pindah ke apartemen mungil itu. Saat ini kondisinya bisa dibilang sangat mirip dengan ketika itu: kardus-kardus bertumpuk dan tersebar di beberapa tempat, bungkusan-bungkusan yang entah apa isinya tergeletak di beberapa sudut ruangan, tumpukan kertas, baju-baju dan benda lain yang Tori tak berani menyingkirkan atau dia akan lupa di mana tempatnya. Sofa ruang tamunya pun penuh terhuni Shunsuke yang duduk bersilang kaki dan sibuk dengan laptop canggihnya. Sudut satunya diambil alih oleh Mitsuya yang sedang menelepon dengan nada tinggi. Televisi disetel tanpa benar-benar ditonton dan Mitsuya melotot ke arahnya saat Tori hendak mematikan.
Untunglah orang tuanya baru akan datang besok pagi dan mereka setuju saja saat Tori bersikeras agar mereka menginap di hotel karena jelas apartemen mungilnya tak akan sanggup menampung semua orang itu. Pun, seminggu terakhir ini apartemennya begitu sumpek karena sahabat-sahabatnya dan Mitsuya kadang tak datang sendiri. Hampir tiap hari Takuma datang bersama Yuuki. Ia tak enak karena pacarnya itu – meskipun Takuma sudah menjelaskan dan Yuuki pun mengaku sudah memaklumi- tetap merengut karena terlalu sering diacuhkan. Pemuda mungil itu akan duduk di meja makan mengerjakan PR-nya, kadang sendiri namun seringkali bersama Mitsuya. Setelahnya ia akan ikut duduk di ruang tengah, mengamati kesibukan yang terjadi.
Tunangan Mitsuya yang tampan itu pun beberapa kali mampir, membawakan baju ganti dan camilan ringan. Senyumnya yang ramah dan pertanyaan apakah ada yang bisa dia bantu selalu disambut baik oleh Tori yang menyilakannya masuk dan menawarinya ikut minum kopi bersama. Tori senang melihatnya selalu menempatkan diri di dekat Mitsuya yang sudah sibuk sendiri dengan pilihan bahan kain untuk dekorasi atau sibuk menelepon supplier tanaman dan agen persewaan perlengkapan pesta. Pun dengan senang hati turun ke dapur dan membuatkan makan malam.
Kekasih Shunsuke hanya mampir satu kali. Tubuhnya yang tinggi menjulang dan wajahnya yang tampan menarik perhatian semua orang di dalam ruangan, tak terkecuali Yuuki dan Mitsuya yang langsung berseru, “Sensei?! Kenapa ada di sini?” bahkan sebelum diperkenalkan oleh Shunsuke. Pria yang tampak seperti rubah itu tersenyum tipis dan pamit dengan sopan setelah ikut makan malam.
Tori menghela nafas.
Tiga hari lagi.
Undangan sudah disebar dan jawabannya pun datang dengan cepat. Beberapa menyertakan permintaan maaf tak bisa hadir berserta hadiah yang diletakkan Tori di bawah tempat tidurnya karena sudah tak ada tempat lagi. Dua hari yang lalu Nagayama-san baru saja mengantarkan pakaian mereka yang sudah jadi. Senyumnya nampak begitu sumringah dan terlihat begitu puas saat dirinya, Tori, Takuma, dan Shunsuke berdesak-desakan di dalam kamar Tori untuk fitting sekali lagi. Ia buru-buru pamit karena masih akan mampir ke rumah Masahiro sebelum pemuda itu terbang ke Amerika.
Ini yang membuat Tori makin tertekan. Maya-san meminta anak bungsunya itu untuk tinggal dengannya di Amerika selama seminggu sebelum hari H dan kemudian akan sama-sama kembali ke Jepang bersama-sama. Masahiro ngambek selama berhari-hari, berteriak pada seluruh isi rumah dan menuduh semua orang sebenarnya ingin membatalkan pernikahannya dengan Tori lalu mengunci diri di dalam kamar. Tori harus menelepon calon ibu mertuanya itu dan meminta penjelasan karena sungguh, dia sedang tak ingin menghadapi Masahiro yang seperti itu saat ini.
“Aku hanya ingin memanjakannya sebagai anakku sebelum ia menikah. Apakah tak boleh? Atau sebenarnya kau khawatir aku tak akan memulangkannya kembali ke Jepang?” ujar wanita itu di telepon.
Tori mendesah, “Maaf, Okaa-sama. Saya tahu Okaa-sama tentunya tidak bermaksud buruk. Saya hanya ingin memastikan karena saat ini Masahiro bahkan tak mau mengangkat telepon dari saya.”
“Begitu? Dasar Masahiro.” Wanita itu tertawa kecil dan mau tak mau Tori pun ikut tertawa. “Kalau memang terlalu merepotkanmu dan membuatmu bertambah pusing, bilang saja padanya kalau dia tak perlu pergi ke sini. Aku mengerti, kok.”
Tori sungguh tak enak mendengar nada bicara calon ibu mertuanya yang terdengar agak sedih itu. Hari berikutnya, sepulang dari rumah sakit, ia mampir ke rumah Keigo dan menyelipkan secarik kertas melalui bawah pintu kamar Masahiro.
Jangan harap aku akan muncul di hadapanmu di depan altar nanti kalau menghormati keinginan ibumu saja kau tak bisa –Tori-
Malam harinya, Tori harus menyiapkan makan malam sambil tertawa geli pada Masahiro yang tengahberkutat di depan laptopnya; memesan tiket pesawat sambil menggerutu.
Semalam Masahiro baru saja meneleponnya. Seperti biasa kalau mereka sedang terpisah jauh, pembicaraan telepon mereka selalu menghabiskan waktu berjam-jam diselingi video call beramai-ramai dengan para pendamping pria, Mitsuya, dan Takiguchi-kun karena mereka harus berdiskusi tentang beberapa persiapan akhir. Akhirnya Tori mengusir mereka semua keluar dari kamarnya karena ia sedang kangen sekali pada Masahiro.
Tori melirik ke dalam kamar tidurnya, mendapati Masaki yang tengah tertidur pulas. Anak itu datang segera setelah jadwal operasinya selesai dan menuntut dibuatkan omelet. Sambil tersenyum, ditutupnya pintu kamarnya dengan perlahan dan beralih menuju dapur karena ia sungguh butuh minum kopi dan mungkin sebatang rokok.
Namun begitu melihat Takuma yang tengah berdiri di dekat konter dapur, sibuk memperhatikan beberapa lembar kertas berisi pengaturan duduk para tamu undangan, hal pertama yang dilakukannya adalah mengulurkan kedua lengannya pada sahabatnya itu. Mengerutkan kening dengan sedikit heran, Takuma pun merengkuhnya dalam pelukan hangat dan erat. Dokter gigi nan tampan itu menepuk-nepuk pundak Tori dan mengelus punggungnya dengan sayang sementara Tori membenamkan wajahnya ke dalam pundak Takuma dan menghela nafas berkali-kali. Rasanya begitu nyaman dan untuk sesaat, Tori merasa semuanya akan berjalan lancer.
“Kenapa tidak tidur saja?” Tanya Takuma sambil mengecup rambut Tori.
Tori menggeleng. “Tak bisa,” ujarnya sambil menjauh sedikit meski tak melepaskan pelukan.
Takuma tersenyum. “Aku tadi buat kopi. Mau?”
Tori mengangguk, kali ini membiarkan Takuma melepaskan dirinya dan menuangkan secangkir kopi untuknya. Diambilnya rokok simpanannya dari dalam lemari dapur, membuka jendela dan mendudukkan dirinya di atas konter sambil menyalakan rokok. Takuma menghampirinya dengan secangkir gelas yang menguarkan asap tipis. Tori menerimanya dengan senyum penuh terima kasih dan meletakkan cangkir itu di dekat pahanya. Takuma bersandar di sebelahnya, mengambil sebatang rokok dari dalam kotak yang masih digenggam Tori, membuat sahabatnya itu tertawa.
“Apa?” Takuma mengangkat alis, menyelipkan rokok ke antara bibirnya.
Tori menggeleng lagi, mengulurkan korek dan menyalakannya untuk Takuma.
Mereka terdiam sejenak, menikmati kopi dan menghembuskan nikotin beberapa kali.
“Yuuki-chan tidak marah kau menginap di sini sampai beberapa hari ke depan?” Tanya Tori kemudian.
Takuma terkekeh. “Marah sih tidak. Hanya cemberut. Tapi Micchi juga sudah ikut membujuknya dan dia di rumah ditemani Yamaguchi-kun dan Yuta. Ngomong-ngomong, terima kasih sudah mengundang mereka juga.”
Tori mengibaskan tangannya. “Tentu saja mereka kuundang. Kau ini bicara apa?”
Kedikkan bahu dan hembusan asap menjawab Tori. Takuma terbatuk dan memutuskan mematikan rokoknya. “Aku tak pernah terbiasa dengan ini,” komentarnya dengan wajah sedikit memerah.
“Itu karena kau dokter gigi,” ucap Tori sambil nyengir.
Takuma membalas cengirannya. Diperhatikannya baik-baik wajah Tori yang tampak lelah dan sedikit tegang. Garis di bagian bawah matanya mulai menebal dan Takuma tahu yang bisa menyembuhkannya hanya sepuluh jam tidur. Mungkin sebentar lagi dia harus memaksa Tori masuk ke kamar untuk bergelung di sebelah Suda tapi saat ini, sepertinya pria itu hanya butuh teman ngobrol. Masahiro begitu jauh dan Tori pasti sedang butuh seseorang untuk membantunya tak merasa begitu tertekan.
Karena itu Takuma meletakkan tangan di atas paha Tori, telapak tangan terbuka seolah mengundang untuk digenggam. Tanpa ragu, Tori menyambut. Digenggamnya dengan erat tangan Takuma dan meremas beberapa kali.
“Kitto, daijoubu yo ne.” ujarnya lirih dan sedikit bergetar.
Takuma mengangguk mantab, balas meremas tangan Tori. “Kitto. Daijoubu.”
Monday, October 31, 2011
[fanfic] Kazuki/Takuya - Sleep In
Monday, October 24, 2011
[fanfic] Ma-kunxTori - Intentional
Rating: R
Warning: BL, AU, OOC, NSFW
Disclaimer: I own nothing
Note: Ini tak lain tak bukan adalah bentuk penebusan rasa bersalah pada Bocchan yg gue yakin lagi ngambek di sana itu XDDDD
Angka penghitung waktu bergerak mendekati nol dan mesin itu pun mengeluarkan bunyi melengking menandakan pekerjaannya sudah tuntas. Sambil bersiul, Masahiro membuka tutup microwave dan mengeluarkan secangkir susu coklat hangat dari dalamnya. Diambilnya sebuah piring berisi sandwich yang sudah disiapkannya sembari menunggu susunya dihangatkan tadi. Dengan piring dan gelas di tangan, pemuda jangkung itu berlalu, berhati-hati agar tak terantuk kursi atau meja pajangan saat melewati lorong dan ruang tengah yang gelap dan menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.
Dia nyaris saja menjatuhkan piring dan gelas itu saat memasuki kamar. Tunangan tercintanya tengah berbaring di tempat tidurnya yang besar. Tori tampak nyaman berbaring tengkurap di antara tumpukan selimut putih dan bantal yang berantakan. Satu bantal didekap di bawah dada sebagai penyangga sementara ia membaca sebuah buku. Tapi masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah Tori memilih untuk berbaring di sana tanpa mengenakan sehelai pakaian pun. Selimut putih itu hanya menutupi sampai bagian pinggul, pun agak tertarik turun saat Tori beringsut. Dokter itu seolah hanya bergerak untuk mengambil kacamatanya sejak mereka selesai bercinta tadi dan Masahiro bilang ia lapar lalu turun ke dapur mencari sesuatu untuk dikudap.
Masahiro memastikan ia menutup pintu dengan benar sebelum menarik nafas dan mendekat. Tori mendengarnya dan menoleh sambil tersenyum manis.
"Ma-kun buat apa?"
"Cuma susu dan sandwich," ujarnya pura-pura acuh. Tori membalik badannya sedikit agar ia bisa mengintip apa yang dibawa Masahiro. Mau tak mau, mata Masahiro tertuju pada pada bagian bawah tubuh Tori yang terancam kelihatan dari bawah selimut. Ia buru-buru bergerak ke sisi lain tempat tidur dan duduk di sebelah Tori. Pun, langsung sibuk mengunyah sandwich-nya dan pura-pura sibuk dengan ponselnya. Tori mengulurkan tangan untuk mencuri sepotong sandwich dari tangan Masahiro. Pemuda itu merengut sekilas dan Tori hanya tertawa lalu melanjutkan membaca.
Masahiro melirik lagi. Sungguh, ia tahu ia laki-laki yang beruntung bisa mendapatkan orang seseksi dan semenarik Tori sebagai pasangannya. Meski Masahiro jadi lebih sering mengenakan celana cargo-nya dibanding jeans ketat kesukaannya.
"Tori tadi katanya mau mandi." Komentar Masahiro kemudian, tak tahan diam saja.
"Hmm?" Tori membalik sebuah halaman. "Sudah, kok. Begitu Ma-kun ke bawah tadi aku langsung mandi."
"Lalu kenapa tak pakai baju?" Protesnya pelan.
"Malas." Tori meleletkan lidah.
Masahiro mengerutkan kening. Tori tertawa pelan. "Tak apa kan? Toh, yang lihat cuma Ma-kun."
Masahiro nyaris tersedak sandwich-nya dan buru-buru menyesap susu hangatnya. Lagi-lagi tangan Tori terulur ingin ikut mencicipi. Masahiro memandangnya seolah tak percaya. Ia kemudian mencibir.
"Dulu sebelum kupacari, Tori sok pemalu. Sekarang saja begitu."
Tori terbahak dan menusuk pinggang Masahiro dengan ujung jarinya. "Itu intinya kan? Waktu itu kan aku belum yakin benar dengan niatmu. Rugi dong kalau ternyata kau cuma menjadikan aku sasaran ke-playboy-anmu lalu kau tinggal pergi begitu saja."
Masahiro masih mencibir sembari beringsut menjauh dari serangan Tori. "Itu namanya manipulatif, tahu."
"Kalau bisa mendapatkan orang setampan Ma-kun, aku tak keberatan jadi manipulatif." Tori mengerling.
"Dasar genit." Masahiro melengos seraya menggigit potongan terakhir sandwich-nya.
"Heeeei!" Tori memprotes setengah hati. Diamatinya sang pacar yang masih ngambek tanpa alasan itu. Biasanya pemuda itu akan dengan bersemangatnya melupakan makanannya dan langsung menggoda Tori untuk bercinta lagi kalau melihatnya dalam kondisi seperti itu. Bukannya ia sengaja tak pakai baju untuk memancing Masahiro, dia memang sedang malas saja dan yah, tak ada ruginya kan?
"Ma-kun," panggilnya ramah. "Lihat sini, dong."
Pemuda itu menoleh dan sekali lagi menelan ludah. Ia tak akan pernah bisa menolak Tori. Sampai kapanpun. Pemuda itu menyingkirkan piring dan gelasnya ke atas meja di samping tempat tidur sebelum beringsut mendekat pada Tori. Dokter itu menyandarkan tangan dan dagunya di atas lutut Masahiro dan memandangnya dengan lembut.
"Apa aku salah bicara?" Tanyanya sambil menusuk-nusuk pelan paha Masahiro.
Masahiro menggeleng. "Tidak."
Tori memiringkan kepalanya. "Lalu?"
"Tori tahu aku pasti jadio bersemangat lagi melihat Tori seperti ini kan?"
Tori terbahak dan Masahiro pun tak bisa menyembunyikan cengirannya. Pemuda itu menarik Tori ke dalam pelukannya sementara ia bersandar nyaman ke tumpukan bantal besar di belakang punggungnya. Kedua tangannya melingkar posesif di pinggang Tori sementara Tori meletakkan kedua tangannya di masing-masing bahu Masahiro.
"Lalu sejak kapan itu jadi masalah untukmu, Bocchan?" Godanya sambil mengecup ujung hidung Masahiro dengan gemas.
"Masalah karena besok Tori harus berangkat pagi-pagi sekali dan kalau aku memaksa, Tori pasti marah padaku kan?"
Tori mengangkat sebelah alisnya. "Dan kapan kau pernah mendengarkan omelanku?"
"Umh, tidak pernah?" Masahiro meringis. Dielusnya punggung Tori dengan sayang dan mau tak mau tersenyum saat Tori makin merapat padanya. Beringsut pelan di pangkuannya, seolah menikmati tonjolan hangat di antara selangkangan Masahiro. "Tori sengaja ya?" Bisiknya parau.
"Tidak."
"Bohong."
"Sungguh." Tori tertawa pelan dan mengecup kekasihnya itu. Dipagutnya pelan bibir Masahiro yang penuh dan bergumam senang saat Masahiro membalas ciumannya. "Aku tidak bawa piyama." Bisik Tori di antara ciuman.
"Tori kan bisa pinjam punyaku." Balas Masahiro, mengecup dagu Tori lalu kembali menciumnya.
Tori mengedikkan bahu. "Terlalu panjang untukku."
Masahiro mendengus. "Tori pakai saja kausku ini."
"Tidak, ah. Ma-kun saja yang buka baju juga."
Pemuda jangkung itu mendengus. "Tuh kan. Kau memang sengaja ya, sensei?"
"Dibilang tidak. Aku kan hanya kasihan padamu." Ujarnya meski sinar jahil di matanya sama sekali tak meyakinkan Masahiro.
Pemuda itu mendengus. "Pokoknya aku tak mau dengar Tori marah-marah besok pagi karena pegal-pegal ya?"
"Ma-kun." Potong Tori cepat dan tegas.
"Ya?"
"Kau terlalu banyak bicara."
Pemuda itu nyengir lebar dan menyambut ciuman Tori. Kali ini lebih dalam dan bergairah. Ia beringsut menurunkan celananya namun tak benar-benar melepas dan mendesah keras saat kulitnya bergesekan halus dengan kulit Tori. Tanpa banyak persiapan karena tubuh mereka masih cukup terbiasa dari sesi bercinta sebelumnya, Tori membawa Masahiro dalam-dalam dan membuat mereka lupa diri dalam sekejab. Beberapa hentakan dan bisikan penuh cinta sudah cukup membawa mereka mencapai kenikmatan yang membutakan itu.
Tori membelai dan mengecupi wajah Masahiro dengan penuh sayang, menikmati tubuh mereka yang masih sesekali tersentak pelan sebelum akhirnya benar-benar kembali tenang. Masahiro pun memeluk Tori erat-erat dan menciumnya sekali lagi sebelum rela melepaskan Tori untuk merapikan celana piyamanya sambil terbahak setengah tersipu.
"Jadi, kenapa tadi pakai acara ngambel?" Tori menyentil ujung hidung Masahiro saat mereka sudah berbaring bersebelahan dan Tori beringsut mencari posisi yang lebih nyaman dalam pelukan Masahiro, secara insting mengaitkan kaki dengan sepasang yang sangat panjang.
Masahiro meringis. "Habis Tori terlalu menggoda sih."
Tori nyengir. "Baiklah. Aku memang sengaja kok."
"Tuh kan!"
-end-
[fanfic] Tug & Pull
Rating: NC-17
Warning: BL, AU, NSFW, PWP
Disclaimer: No profit gained, no harm intended
Note: Please, never let me write a OT3 again, please? Apparently, I'm so BAD at it *sobs* so sorry for the poor result, grammar error and everything. Made as an appreciation of a certain pig. GAK BISA HIDUP GUE KAYA GINI, GAK BISAAAAAAAAAA
*coughs*
enjoy!
The bedroom is dim, somewhat romantically illuminated by a the moon and the city lights from outside the window. The tree that occupy the room, however, can't care less about that. Too consumed, too absorbed at the task at hands. More like, the task that brought out from how one of them turns to be so sultry and even more flirty and way beyond sexy when drunk.
---
Shunsuke finds himself licking his lips and Takuma blushes while trying to down more of the content of his glass. While Tori looks at them funny with half of his shirt buttons off and currently revealing too much skin for his own good. Delicious, creamy, dark skin. Takuma moves, trying to safe his friend from further humiliation but Tori swats his hand away and pouts cutely. Takuma has to kiss him. Tori blinks while Shunsuke is very amused.
The guy approaches his kissing friends and Takuma looks bashful. Shunsuke smirks. "Can I get a kiss, too?"
Tori blinks. "Why?"
"Because I'm drunk."
Tori laughs and drops a quick kiss on to his friend's lips. "There." But Shunsuke is quick to grab Tori by the waist and demands a real kiss, tongue and all. Tori moans as he drapes his arms around Shunsuke.
Takuma coughs, a little bit uncomfortable at the display before him. "Should... Should I leave?"
Tori quickly pulls away, "No! Come on. Where are you going, anyway?" Another cute and half-lidded eyes follows.
So Takuma stays and kisses Tori as an answer.
The next thing Tori knows is they are in Shunsuke's bed, almost naked except for their undies. Takuma is holding him and kissing him while Shunsuke has his hands roaming all over Tori's body. Tori moans appreciatively into Takuma's lips at every touch. He laces his fingers with Takuma who affectionately reciprocates. Tori closes his eyes, basking in every sensation his body is experiencing. He's familiar with Takuma. Everything he does is like an old friend: warm and affectionate and Tori knows that he can trust the man. On the other hand, Shunsuke is very new to him: curious yet passionate.
When he opens his eyes, he sees his friends are looking at him, smiling at him and looks really amused.
"What?" Tori asks, a little bit bashful.
Takuma and Shunsuke smile to each other before Takuma replies. "You were never this cute back then."
Tori has to laugh at that and pokes Takuma's chest with a finger. "Oh, shut up."
"Interesting," Shunsuke comments. Tori makes a face at him and pushes him down to the mattress so he can climb up on Shunsuke's body and starts to kiss him. Kissing Shunsuke is also new and Tori is getting even more excited. He moves down, kissing every beauty marks on Shunsuke's face and Shunsuke does the same with his. Soft sound of lips smacking over skin and occasional moans from the two are like a cue for Takuma to not just sit back and watch.
He positions himself behind Tori, kissing his shoulder, trailing every beauty marks he knows perfectly well where. Tori moans louder, kissing Shunsuke's chest now. Takuma caresses Tori's back as his kisses follow until he reaches the waist of Tori's black undies. The handsome doctor's eyes alight as he cups both hands around Tori's pert bottom. He squeezes a little bit.
Tori hums appreciatively at the squeeze. He rests his face against Shunsuke's chest, looking over his shoulder to give Takuma a meaningful smile. He moans again as Takuma catches his smile, squeezes a little bit harder and ducking down to take a bite.
Shunsuke cups Tori's face with both hands and kisses him again. "You make such cute noises."
Tori chuckles slyly. "I do." And he hisses as he feels cold air on the bottom part of his body. Takuma has pulled Tori's brief off.
"I think it's about time." Shunsuke agrees. They shuffles a little bit, giving room for Takuma to completely pulls Tori's and to take off his own while Tori helps Shunsuke with his.
A few seconds later, Tori gasps. His two best friends, sitting side by side, both are panting a little bit, flushed skin and...
"How can I be this lucky?" His eyes are certainly can not leave the building excitement displayed before his eyes.
The two chuckles. Takuma reaches out his hand, "Just come over here and show us how grateful you are to have us."
Tori laughs, taking Takuma's hand into his own and position himself between the two so he can simultaneously kiss them. He doesn't care who is touching him where. His clouded mind only knows that everything feels so good and "Oh, yes...touch me there again."
Takuma, even though feels a little bit self concious at first, can no longer pretend that he doesn't enjoy this. After all, he knows how sexy Tori can be once he is in the mood. He watches as Tori turns to Shunsuke, lying half of his body on top of Shunsuke's body while kissing him so hotly. Takuma steals a kiss from him before continuing caressing his friend's body. He slips his hand between his friends bodies so he can touch lower.
"Ahn!" Tori moans, bucking his back and Shunsuke holds him close. Takuma smiles, touching the warmth private member and closes his fingers around it. He hears Tori murmuring his name as Shunsuke shifts, giving a little space so Takuma can move more freely in pleasuring their friend.
Takuma moves his hand, teasingly the tip with his thumb before jerking a little bit until Tori has to back away from his kissing Shunsuke to bit his own lip and gasping.
"That feels good?" Shunsuke asks in a whisper.
Tori nods. He releases another moan as Takuma presses on a spot. "Hmm...yeah...feels good." He blinks as Shunsuke turns him around gently, so now he's sitting between Shunsuke legs, back to chest. Tori looks a little bit confused but Takuma is now kissing him and whispers a thank you to Shunsuke. Next thing he knows, he's watching himself disappears into Takuma's warm and wet mouth. Tori throws his head to rest on Shunsuke's shoulder while the man wraps his arms around Tori's body and caressing his chest and stomach.
Instinctively, Tori opens his legs wider for Takuma. His hips bucks slightly, going with the same rhythm as Takuma does wonder with his lips, tongue and fingers. His back arches and he can't stop moaning breathlessly. Shunsuke doubles the pleasure by teasing Tori's chest with his fingers and kissing him occasionally.
Tori feels so hot. Something is crawling inside his body, slipping in to his joints and manipulating his senses. His body tauts as he clenches on Shunsuke's arm a bit too tightly and reaches his release right away. Takuma, having been paying attention to every signal his friend is giving him, backs away a little as Tori climaxes in his mouth. He tugs slowly, helping Tori to finish and smiles to Shunsuke, who also been watching Tori writhe and practically turns into a mess.
"You okay?" Takuma whispers as he leans is and caresses Tori's cheek with his knuckle.
Tori laughs a little and nods. "Yeah." He chuckles as he watches Shunsuke leans in and kisses Takuma. The dentist is quite surprised but doesn't say anything. It's a fascinating view while he regains his strength and gets excited again. Then Tori joins in. He lifts up his body, kissing Shunsuke on the cheek, and his jaw line, his neck, down to his chest, teasing Shunsuke's nipple with his tongue and moving down again to his stomach.
Takuma and Shunsuke pull away from the kiss, watching Tori. Shunsuke kisses Takuma once again, before leaning back on to the mattress and being pleasured because good gods, Tori is so good with his hands and mouth. Shunsuke grunts and moans, his hand is resting on Tori's head, giving him direction.
Meanwhile, Takuma is already enjoying Tori's back and butt again. He looks around a little bit and Shunsuke whispers, "Left side. Top drawer."
Tori doesn't seem to care. He only looks up and when Shunsuke smiles down at him, he continues moving his head again. He backs up with a 'pop' sound, licking his own lips. "Kimochi ii?"
Shunsuke caresses Tori's hair, slipping some strands behind an ear. "Un. Sugoku ii."
Tori smiles smugly, this time giving a hard jerk before swallowing again. However, he moans loudly as he feels something cold touches his lower side. Tori looks over his shoulder. Takuma is holding a small tube that apparently a lube and pouring a little bit of the content to the cleft between his cheek. He spreads it with his thumb and smiles to Tori as his fingers tease Tori's opening. He presses slightly and pushes a finger inside.
"Hnnngh..." Tori moans, for a moment forgetting about Shunsuke and concentrating on the gentle intruder currently entering his body. Another finger follows the first and Tori cries. He gasps and moans as Takuma stars to move inside and out. Shunsuke decides to distract Tori by touching his jaw line and motioning that he really needs Tori's attention at the moment. Tori laughs, a bit breathless and goes back pleasuring Shunsuke while occasionally moaning because of what happening to his lower part.
"Ah, gods" Shunsuke moans and Tori sucks hard on him. Takuma can't help but feels a little jealous at the attention. But he needs to get Tori ready for both of them. He tugs on Tori's hips until it lifted higher and giving Takuma more access. His fingers move a little bit faster and Takuma leans in to take a taste.
Tori moans loudly. "Wada," he gasps.
"Nani?" Takuma asks softly.
"Aangh... Please... I can't... Aaaaah..."
Shunsuke smiles. "I think you have to be clear, Tori. Takuma-san won't understand if you're being vague."
Tori pouts at that but he takes a deep breath. "Please... Get inside me. I can't... Aagh!"
Both Shunsuke and Takuma smiles. Shunsuke kisses Tori before letting Takuma takes Tori and position him on his lap, back to chest. Takuma leans to the headboard, holding Tori around the waist. Tori turns his head to kiss his friend. He feels like he's replaying a night some years back but of course he can not possibly think of anything at the moment with lust and alcohol clouding his mind. Takuma guides himself to find Tori's opening and Tori obligingly lower his body, engulfs Takuma completely inside his body. Both of them moan long and low. And Takuma starts moving.
Shunsuke rises on his knees. He appraches the two friends. Watching at some weird fascination at how Takuma moving inside and out of Tori and how Tori responds to him. He leans in and kisses Tori, letting Tori releasing his moans and passion into his mouth. Tori pushes him back a little and lowers his body so he can take Shunsuke into his mouth, continuing where he left off.
Soon, there are only breathless gasps, moans, groans, soft and wet sounds of lips on skin and skin on skin. Soon, the tension rises higher and they move faster and deeper into each other. Taking pleasure and sharing passion (or lust) until Tori, breathlessly and desperately, cries out and Shunsuke grunts and Takuma groans. Bodies bucks and tugs and just stop moving for a second before collapsing slowly like sigh.
Takuma kisses Tori affectionately on the cheek. Shunsuke does the same and Tori smiles before falling asleep.
The next morning, Tori wakes up with massive headache and a body that sore and ache all over.
"I think I had a weird dream." He says to Takuma who offers him coffee.
Takuma and Shunsuke look at each other. Tori feels like he wants to throw a glass at them as they pat his shoulders.
-end-
Please, do not kill me?
Monday, October 17, 2011
[fanfic] Friends
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: Own nothing
Note: sungguh pun aku tak tahu ini apa maksudnyaaaaaa
Happy belated birthday, celeng ndud. Thank you for existing <33333
"Sama sekali bukan salahku, loh." Suara serak Masahiro terdengar menggema di dalam kamar mandi itu. Namun demikian, Tori memicingkan mata dan menjulurkan kepala karena tak bisa mendengar jelas perkataan pemuda itu di antara deru air yang mengucur dari pancuran di atas kepalanya.
"Apa?" Tanyanya setengah berseru.
"Bukan salahku!" Balas Masahiro dengan lebih keras.
Kali ini Tori tak menyahut dan melanjutkan membilas bersih rambutnya dari busa shampo. Masahiro hanya merengut karena tak mendapat reaksi.
"Geser."
Kepala pemuda jangkung itu terangkat menatap Tori yang tiba-tiba sudah berdiri di dekat bath tub. Mau tak mau, sebuah cengiran mesum menghiasi bibir Masahiro saat mendapati pemandangan memikat di hadapannya. Tori mendorong bahunya sambil mencibir dan mencelupkan diri ke dalam bath tub. Masahiro beringsut memberi ruang agar Tori bisa duduk di antara kakinya. Ditangkupnya air dengan kedua telapak tangannya, membasuh bahu kekar Tori dan memijat pelan.
Tori memejamkan mata dan mendesah tanpa mengeluarkan suara. Dibilang kecewa, tentu saja dia kecewa. Masahiro harus pergi ke Madrid untuk pemotretan tepat pada hari ulang tahun Tori dan pemuda itu tak bisa berbuat apapun karena terikat kontrak. Sebuah sentuhan hangat di tengkuknya membuat Tori tersenyum kecil. Satu lengannya terangkat untuk menyentuh sisi kepala Masahiro, menariknya mendekat agar ia bisa mencium pemuda itu.
"Pesawatnya jam berapa?" Tanyanya kemudian.
Masahiro meletakkan dagu di pundak Tori sementara kedua lengannya melingkari tubuh dokter itu dan menarik Tori lebih rapat padanya. Keningnya berkerut sekilas saat ia mengingat. "Jam sembilan pagi."
"Karena itu kau sudah membawa koper kemari?" Tori mengangkat alis.
Masahiro membenamkan wajah ke lekuk leher kekasihnya. "Gomen. Harusnya aku cerita lebih lengkap tapi aku juga baru dapat jadwal lengkapnya dua hari yang lalu." Gumamnya penuh rasa bersalah.
Tori diam beberapa saat sebelum akhirnya menarik nafas dalam-dalam. Perlahan ia memutar tubuh dan bergerak pelan sampai ditemukannya posisi yang nyaman di pangkuan Masahiro. Masahiro hanya sanggup mengerjap saat Tori melingkarkan lengan di sekeliling leher Masahiro namun dalam sekejab pula pemuda itu menatap Tori dengan pandangan jahil.
Tori pun tersenyum miring. "Kalau begitu, Ma-kun tahu apa yang harus Ma-kun lakukan malam ini kan?"
"Tentu saja, Sensei." Sahut pemuda jangkung itu dengan mantab diiringi cengir lebar.
*****
"Jadi, karena kau kesepian ditinggal pacarmu saat kau sedang ulang tahun, aku harus menemanimu seharian ini, begitu?"
Tori mengangguk mantab. "Tak apa kan? Toh, kau senggang."
Takuma mendengus. "Seenaknya saja memutuskan. Kalau aku ternyata ada kencan dengan Yuuki, kau mau apa?"
Tori menggeleng mantab. "Yuuki-chan sedang ikut training camp selama seminggu sejak dua hari yang lalu. Kau sendiri yang cerita. Dan aku yakin ia tak diijinkan untuk kedatangan tamu selama dia ada di sana kan?"
Takuma melengos. Menyesal juga kenapa ia harus bercerita pada Tori. Yah, sudah kebiasaan, mau bagaimana lagi?
"Lalu?"
"Apanya?"
"Kita mau melakukan apa, Matsuzaka? Kau kan yang sedang ulang tahun dan kau tahu sendiri aku tak pernah bisa menyiapkan kejutan ulang tahun." Gerutu Takuma.
Tori nyengir. Didekatkannya wajahnya sampai ujung hidung mereka nyaris bersentuhan. "Tentu saja berkencan."
"....Ha?"
---
Dibilang kencan pun, sepanjang jalan Tori sibuk dengan ponselnya. Nampaknya Masahiro baru saja tiba di Madrid dan punya waktu kosong selama perjalanan ke lokasi pemotretan. Takuma hanya geleng-geleng kepala sementara mengarahkan mobilnya ke tempat yang diinginkan Tori: akuarium.
"Gaki ka, omae." Gumam Takuma meski matanya bersinar geli.
Tori . "Boleh dong. Toh aku sedang ulang tahun."
"Hai, hai."
Untunglah hari itu bukan hari libur dan hari sudah menjelang sore jadi suasana tempat itu tak begitu ramai. Tori tampak begitu antusias dan langsung melompat turun bahkan sebelum Takuma mematikan mesin mobilnya. Dokter gigi itu bersumpah untuk menjitak kepala sahabatnya itu dan benar-benar dilakukannya saat mereka berdiri di depan loket.
Tori merengut sebal namun tak berkata apapun. Hanya mengusap kepalanya lalu membungkuk untuk bicara pada petugas loket.
"Dewasa tiga orang ya."
"Eh? Tiga?" Takuma bertanya bingung.
Lagi-lagi Tori tak langsung menyahut, mengangsurkan beberapa lembar uang dan mengambil karcis. Kepalanya menoleh kesana kemari sebelum akhirnya ia tersenyum lebar dan melambai dengan semangat ke arah pintu masuk.
"Shunsuke! Sini, sini!" Serunya
Shunsuke pun tak kalah keheranannya dengan Takuma saat pengacara muda itu mendekati mereka.
"Kencan apanya kalau bertiga begini?" Tanya Shunsuke sambil meninju lengan Tori. Tidak keras, tentu saja.
Tori melingkarkan lengan di masing-masing lengan Shunsuke dan Takuma. "Kencan kan tidak harus berdua saja. Dan aku sedang ulang tahun. Aku punya hak untuk mendapatkan apa yang aku mau kan? Yuk, masuk! Aku mau lihat ikan-ikan itu diberi makan."
Takuma dan Shunsuke bertukar pandang lalu mendesah. Tak ada gunanya menolak kalau sudah begini.
"Hai~" ujar mereka bersamaan.
---
"Keren ya? Waktu manta-nya lewat tadi sampai seluruh kaca sepertinya tertutup! Keren sekali!" Tori berceloteh sambil setengah melompat saat mereka melangkah keluar dari gedung akurium itu.
Mereka tak bisa berlama-lama di dalam karena waktunya tak cukup dan akuarium itu sudah mau tutup. Takuma dan Shunsuke mengikuti sebisanya saat Tori melesat dari akuarium yang satu ke akuarium lain juga bermain-main di kolam sentuh di dalam tadi.
Sungguh tak pantas untuk usianya yang sudah dua puluh lima. Tapi toh mereka tak bisa protes karena ditraktir dan sungguh, Tori yang sedang seperti itu sungguhlah lucu. Tentu saja Takuma dan Shunsuke bergantian mengambil foto bersama Tori dan ikan-ikan di dalam akuarium. Dan tentu saja Shunsuke mengirimkan satu atau dua foto pada Masahiro diiringi pesan:
Lihat apa yang kau lewatkan? Tori menggemaskan sekali.
Shunsuke tak sabar menanti balasan macam apa yang akan datang dari pemuda jangkung nan posesif itu.
"Aku lapar!" Tori berseru sambil mengangkat kedua tangannya.
"Mau makan apa?" Takuma mendekati temannya itu, melingkarkan lengan ke pundak Tori dengan santai.
"Hmm. Makanan jepang pokoknya." Jawab Tori sembari bersandar manja ke pundak Takuma.
Shunsuke mengangkat ponselnya lagi. Seru juga. Kirim ke Masahiro tidak ya? Pikirnya sambil tersenyum jahil.
"Shunsukeeee!! Mau okonomiyaki?" Seruan Tori membuyarkan niat jahilnya dan pengacara itu buru-buru mendekat, menjajari mereka di sisi kanan Tori.
"Boleh saja. Kebetulan aku tahu tempat yang enak di Roponggi. Aku traktir deh." Ujarnya, melingkarkan lengan ke punggung Tori.
"Yaaaay!!"
---
"Benar-benar tak bisa ditinggalkan sendiri ya." Komentar Shunsuke saat Tori menghilang ke toilet setelah mereka menyebutkan pesanan mereka pada pelayan.
Takuma terkekeh kecil, sibuk mengoleskan lemak ke permukaan panggangan panas di tengah meja. Ia mengangguk kecil. "Sejak dulu."
"Inoue-kun repot juga ya."
Takuma terbahak. "Asal dia bisa paham, kurasa tak ada masalah."
Shunsuke mengangkat alis. Takuma mengangkat kepala, memandang Shunsuke beberapa jenak lalu tersenyum lembut.
"Kalau aku saja bisa sedikit merasa tenang, kurasa Shunsuke-san pun juga tak perlu terlalu khawatir." Ucapnya.
Shunsuke menenggak birnya.
"Benar. Wada ini tak pernah tega kok membiarkanku kesepian." Timpal Tori tiba-tiba.
"Oi!" Takuma menyela lalu tertawa dengan sedikit gugup.
Shunsuke mengangkat alis. "Dan aku tak mengira kau semanipulatif ini."
"Aku?" Tori menunjuk hidungnya. Tangannya dikibaskan acuh. "Sama sekali tidak. Aku hanya memanfaatkan suasana. Kalau dia sedang sibuk pun, aku tak bisa protes kan? Toh aku masih punya kamu."
"Oiiii!" Shunsuke memprotes sambil mengisi gelas sake Tori. "Pacarku galak loh. Bisa habis kau kalau dia dengar ucapanmu barusan."
"Tapi kenyataannya kau bisa kuajak keluar hari ini." Tori mengedikkan bahu.
"Yun bukan Inoue-kun." Sindir Shunsuke.
Mata Takuma membelalak sementara Tori mencibir. "Yah, mau bagaimana lagi? Aku sudah tak bisa lepas."
Shunsuke terbahak-bahak. Diangkatnya gelasnya ke udara, "Baiklah! Selamat ulang tahun, Tori. Kau orang yang merepotkan, tapi percayalah kalau kami tetap sayang padamu. Kanpai!"
"Nani soreeee?" Tori tertawa meski ikut mengangkat gelasnya bersama Takuma.
"Benar, benar. Seperti yang dikatakan Shunsuke-san. Selamat ulang tahun, Matsuzaka. Kanpai!"
Tori hanya sanggup terkikik dengan tersipu pada tingkah aneh dua temannya itu. Sungguh. Ia tahu mereka selalu bisa diandalkan dan Tori tak perlu merasa terlalu kesepian di hari ulang tahunnya seperti sekarang.
"Arigatou." Ujarnya.
Takuma menepuk-nepuk kepala Tori dengan sayang.
---
"Terima kasih hari ini ya, Wada." Ucap Tori dengan berbinar meski ia sudah tampak setengah mabuk dan agak mengantuk.
Takuma mengangguk. "Itulah gunanya teman kan?"
Tori tersenyum lebar. "Sungguh deh. Maaf merepotkan karena kau sampai harus mengantar Shunsuke juga tadi."
"Apa boleh buat kan? Kalian berdua sudah mabuk begitu."
"Tidak begitu mabuk, kok." Protes Tori.
"Terserah lah. Sudah sana, masuk. Nanti masuk angin."
Tori menurut dan membuka pintu apartemennya. Sejenak kemudian ia terdiam, sejenak ragu ingin masuk. Takuma menunduk, mengamati wajah sahabatnya dengan khawatir.
"Kenapa? Pusing?"
Tori menggeleng pelan. Ditatapnya Takuma sejenak lalu bertanya, "Mau menginap? Aku benar-benar tak ingin sendirian hari ini."
Takuma mendesah keras. "Kau ini. Nanti kalau Inoue-kun tahu, kalian pasti bertengkar lagi."
Tori menggelengkan kepala. "Tak apa. Aku sudah bilang kalau hari ini aku akan keluar denganmu dan Shunsuke kok."
Takuma mengangkat alis. "Ini dan itu kan beda loh." Tapi ia buru-buru melanjutkan begitu melihat Tori pasang tampang kecewa. "Baiklah. Untung saja sofamu empuk."
Tori tersenyum lebar.
----
Takuma mengamati wajah Tori yang tertidur lelap dengan kepala menyandar nyaman di atas pahanya. Dengan gemas, disentilnya dahi Tori dengan pelan dan membuat Tori menggeliat pelan dalam tidurnya.
"Kau masih suka main api, rupanya." Bisiknya. "Semoga kau bisa lebih bijaksana, Matsuzaka atau aku tak akan bisa tenang seumur hidupku."
Pria tampan itu membungkuk, mengecup kening Tori dengan sayang. "Selamat ulang tahun."
Tori menggeliat pelan lagi, bibirnya membentuk senyum dan bergumam dalam tidurnya yang entah kenapa terdengar seperti ucapan terima kasih di telinga Takuma.
-end-
Thursday, September 1, 2011
[fanfic] Wedding Checklist - Fitting
Rating: G
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything and/or anyone
"Oh ya ampun, kau ganteng sekali." Ujar Tori sambil mendesah penuh kekaguman, matanya memandang dengan pujaan yang tak ditutupi.
Shunsuke, yang tengah berdiri di depan cermin besar, meringis lebar. "Terima kasih?"
Tori menyesap kopinya, "Aku serius. Ya kan, Wada?" Dokter itu menoleh pada Takuma yang duduk di sebelahnya. Takuma mengangguk setuju. "Potongannya pas sekali, Shunsuke-san."
Shunsuke tertawa. "Terima kasih. Tapi aku masih kalah denganmu, Takuma-san. Nagayama-san saja sampai tak berhenti memuji tadi."
Takashi, yang tengah berkutat dengan kerah jas yang tengah dicoba Shunsuke tertawa. "Aku sering bertemu orang tampan dan cantik, tapi harus kuakui kalau anda adalah dokter paling tampan yang pernah kutemui, Wada-san."
Wajah Takuma bersemu merah dan dia langsung pura-pura sibuk dengan ponselnya. Tori tertawa terbahak-bahak seraya mendorong lengan sahabatnya yang salah tingkah itu. Takuma menggerundel pelan, mengulurkan tangan untuk mengambil kopi bagiannya.
Hari ini mereka bertiga dipanggil oleh Takashi untuk mengepas kemeja yang sudah setengah jadi. Perancang busana itu tampak sangat bersemangat dan Tori -yang aslinya sedang agak stres setelah semalam menghitung total biaya pernikahannya- jadi tertular gembira. Dua temannya pun menyertai meski Takashi dengan tegas mengatakan kalau Masahiro dan pendamping prianya akan mengepas di hari lain.
"Aku orang yang cukup tradisional, Matsuzaka-sensei. Saling lihat dalam busana pengantin sebelum hari H bisa bawa sial." Sahut Takashi saat Tori bertanya dan Masahiro menggerundel sepanjang malam karena sama sekali tak diperbolehkan ikut.
Takashi memberi tanda di beberapa tempat agar potongan jas itu makin pas di tubuh Shunsuke. Dia mengangguk puas dan asistennya membantu Shunsuke melepas jas itu lalu membantu Shunsuke mengenakan kimono dan hakama yang harus disesuaikan panjangnya. Tori berdiri menghampiri, ikut memperhatikan dari dekat sementara Takashi kembali sibuk dengan jarum dan ujung hakama. Tori sama sekali belum dapat giliran untuk mengepas. Takashi ingin menyelesaikan mengepas Takuma dan Shunsuke terlebih dahulu karena pakaian mereka lebih sederhana dibanding yang akan dikenakan Tori.
Sementara itu, Takuma sudah membuka agenda-nya dan sibuk berkonsultasi melalui telepon dengan Tsune tentang pengaturan tempat duduk untuk pestanya nanti. Sesekali ia berdiri dan mendatangi Tori, menunjukkan beberapa foto contoh dekorasi dari Mitsuya dan penataan meja dari Takki. Beberapa kali Tori meminta Takuma untuk meneruskan foto-foto itu pada Masahiro.
Shunsuke iseng memotret Tori dan Takuma yang tampak akrab dan mengirimkannya pada Masahiro. Telepon Tori pun langsung berdering ribut dan dokter itu harus memukul lengan Shunsuke karena dia jadi repot. Takuma menyembunyikan tawa di balik agendanya sementara Shunsuke terbahak puas.
"Kalian." Tori menghembuskan nafas sembari memencet tombol 'end call' di ponselnya.
Shunsuke menjulurkan lidah. "Kalian lucu sih."
Tori menggembungkan pipinya dengan sebal dan buru-buru menepis tangan Takuma yang siap terulur ingin mencubit. Tapi sejurus kemudian, mau tak mau, ia ikut tertawa juga. Kedua temannya itu tahu Masahiro seperti apa dan mereka makin giat menggoda tunangannya itu begitu tahu kalau Tsune dan Kimito pun tak kalah rajin mengisengi tuan muda yang super posesif itu. Beberapa kali mereka berempat menemani Tori kemanapun dokter muda itu ingin pergi dan dengan sengaja mengirim foto-fotonya pada Masahiro. Sekali waktu mereka bahkan nekat 'menculik' Tori ke taman ria, memaksanya masuk ke rumah hantu dan Tsune dengan gembira mengirim foto Tori yang tengah memeluk Takuma erat-erat karena ketakutan.
Bisa dibayangkan tuan muda itu langsung tergopoh-gopoh menyusul dan membawa Tori pulang. Tori hanya tertawa dan mencium Masahiro dengan sayang.
Tori sendiri tak terlalu keberatan diisengi seperti itu. Persiapan pernikahannya makin lama makin membuat stres. Harus berkali-kali memastikan kalau semuanya sudah dipesan dan Shunsuke membantu dengan membuatkan surat kontrak untuk pihak penyedia tempat resepsi, Takki dan Mitsuya. Untuk jaga-jaga saja, ujar temannya itu. Tak ada yang keberatan dengan usul Shunsuke itu. Dan keisengan empat pendamping itu justru sangat menghibur dan meskipun kesal, Masahiro mau tak mau ikut senang karena Tori tidak begitu stres.
"Baiklah, Matsuzaka-sensei. Bisa berdiri di sini?" Takashi membuyarkan lamunan Tori. Dokter itu menurut dan melangkah menuju ke dalam bilik ganti. Takashi mengikutinya dan membantunya memakai setelan jas panjang yang sudah hampir jadi itu.
Shunsuke dan Takuma tampak terpana begitu Tori melangkah keluar dari dalam bilik ganti. Tori mengangkat alis lalu mengecek penampilannya di cermin panjang. Matanya berkedip tak percaya. Seumur hidupnya, ia tak pernah memuji dirinya sendiri (oke, mungkin pernah. Tapi tak sering) tapi pantulan dirinya yang dilihatnya membuatnya mendesah puas. Ia berputar beberapa kali dan hasilnya sama.
Takashi pun turut mendesah. Kedua tangannya diangkat ke atas lalu dikibaskan dengan dramatis. "Sempurna." Bisiknya lalu ia melesat ke mejanya, mengambil korsase yang kemudian disematkannya di saku dada kemeja Tori. Sekali lagi mengangguk dengan begitu mantab. "Sempurna."
Takuma mendekat, tangannya terjulur meraih kerah kemeja Tori, menarik-narik beberapa kali. Matanya menatap Tori dengan seksama dan pria itu tersenyum. Tori membalas senyum sahabatnya dengan tersipu.
Shunsuke pun ikut berdiri di sebelah Takuma, mengamati Tori dengan seksama. Satu tangan terjulur, menyelipkan sejumput rambut Tori ke belakang telinga dan tersenyum.
"Gorgeous." Bisiknya.
Takuma mengangguk.
Takashi menepuk kedua bahu kliennya, "Inoue-kun memang pantas cemburu kok."
Tori tersenyum lebar. "Mungkin juga."
-end-