Sunday, August 12, 2012
[fanfic] Koi ni Ochittara
Monday, July 16, 2012
[fic] Shiawase ni
Rating:PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything
Note: AU di mana Kuma adalah dokter gigi ganteng (yg ntah kenapa kalo gue yg nulis selalu terlihat keren orz tapi tak apa, kau memang ganteng kok, Kuma XD). Setelah sekian lama, akhirnya selesai juga 1 fic. Ahe~ Banyak ide, tapi ntah kenapa susah banget nulisnya *palms face*. Anyway, ini untuk Anne dan Nei yang sudah begitu lihai dengan ninja skills-nya XDDD
Tsune tak akan pernah menyangka kalau ia akan duduk di sofa itu, dengan sebotol bir di tangan –yang seharusnya tidak diminumnya karena asupan alkoholnya sudah melebihi kuota normal tapi peduli apa, dia kan sedang di pesta. Jas-nya sudah ditanggalkan sejak dua jam yang lalu, begitu juga dasinya dan kancing kemejanya sudah terlepas 3 buah. Yang terakhir itu bukan perbuatannya tapi Tomoru yang menariknya ke sudut dan bermesraan penuh hasrat dengannya sebelum mendadak ia tertidur di tengah-tengah. Tsune hanya bisa menghela nafas berkali-kali sambil menidurkan Tomoru di kamarnya dan berniat untuk menimpakan kesalahan pada Daiki yang tidak menjauhkan alkohol dari Tomoru. Masalahnya, dia tak bisa menemukan sahabat Tomoru itu di manapun. Dipikir lagi, dia juga tak melihat Kikuchi sejak tadi.
Dengan acuh, Tsune mengangkat bahu dan menenggak birnya lagi. Sebaiknya dia mencari sesuatu untuk dilakukan tapi apa? Sebentar lagi pestanya akan selesai – ia mengingat samar-samar jadwal acara yang dibuatnya bersama Kimito, Takuma dan Shunsuke – yang tersisa hanya menggiring kedua pengantin itu untuk mengejar pesawat terakhir ke Italia. Mungkin sebaiknya dia beranjak dari situ dan naik ke kamar Masahiro untuk memastikan kalau semua perlengkapan bepergian sepupunya itu sudah selesai dipak.
Sekali lagi ia menghela nafas. Sejak kapan dia mau repot seperti ini untuk adik sepupu yang manja itu?
Mau tak mau, Tsune meletakkan botol birnya ke atas meja. Sekalian saja menengok keadaan Tomoru dan mengecek ke mana perginya dua temannya itu. Namun niatnya itu terhambat oleh Takuma yang menghampiri dan duduk di sebelahnya. Sepasang mata tajam Tsune meneliti sahabat Tori itu baik-baik. Kerutan samar di dahi Takuma menarik perhatiannya dan mata hitam-biru Tsune pun mengikuti ke arah mana Takuma memandang. Masahiro dan Tori tengah duduk dua meja di seberang mereka, bercakap-cakap dengan fotografer kenalan Masahiro dan kalau tak salah yang seorang lagi itu perancang busana mereka.
Tsune mengambil birnya lagi dan menenggaknya dengan santai, “Kalau memandang mereka terus seperti itu, orang akan berpikir Anda tidak setuju dengan pernikahan ini loh, Sensei.”
Takuma nampak tersentak dan buru-buru menutupi kegugupannya dengan tertawa. Tangannya menyisir rambutnya yang kecoklatan dengan gugup. Hmm, dokter ini memang tampan, batin Tsune. Kenapa dengan orang setampan itu di dekatnya, Tori sama sekali tak tertarik? Tsune paham sekali dengan Masahiro tapi kalau menebak dari sifat Tori sepanjang beberapa bulan Tsune mengenalnya, kelihatannya Takuma akan lebih cocok dengan dokter itu dibanding Masahiro.
Diperhatikannya Takuma yang juga membawa bir bagiannya sendiri dan menyesap perlahan. Dokter itu juga sudah menanggalkan jasnya dan menggulung kedua lengan kemejanya.
“Mana pacar Sensei yang manis itu?” tanya Tsune lagi, memutuskan kalau ia mungkin sungguh tak ingin tahu Takuma akan berkomentar apa soal celetukannya tadi.
Kali ini Takuma langsung menjawab, “Sepertinya di atas dengan adikku dan Suda. Kubota-sensei menunjukkan ruang mainan Masahiro dan membiarkan mereka main di sana.”
“Ah,” Tsune mengangguk, “Aku yakin Masahiro tak akan keberatan.”
“Apa itu sarkasme?” Takuma mengangkat alis.
Tsune tertawa, “Sama sekali bukan. Masahiro memang manja tapi kalau sama anak kecil, he’s amazingly adorable and nice.”
Takuma menyahut dengan kekehan kecil. “Yah, dia pemuda yang luar biasa.”
Alis Tsune terangkat sebelah, “You think?”
Dokter itu menyandarkan punggung dan merilekskan tubuhnya. Kepalanya yang tampan mengangguk, “Yah. Memang butuh waktu untuk menyadari itu tapi seperti yang dibilang Matsuzaka, mungkin itu yang membuat orang suka pada Inoue-kun,” ucapnya tulus. “Dan membuat Matsuzaka jatuh cinta.”
Kalimat yang terakhir itu diucapkan Takuma dengan pelan dan Tsune nyaris tidak mendengar. Ada sesuatu dalam nada bicara Takuma dan Tsune berharap ia salah mengartikan. Atau mungkin sebaiknya dia tidak berpikir saat alkohol sedang menguasai sebagian besar sistem tubuhnya. Tapi Takuma menoleh padanya dan tertawa,
“Sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan, Aoki-kun,” jelas Takuma pendek.
Tsune mengangkat alis dan mengedikkan bahu. “Kalau begitu jangan ucapkan dengan nada yang membuat orang bertanya-tanya seperti itu.” Tsune melambaikan tangan pada seorang pelayan yang membawakannya dua botol bir lagi. Diserahkannya satu pada Takuma yang menyambut dengan senyum.
“Aku ini bukan tempat curhat Masahiro,” ucap Tsune lagi, “dan jujur saja, aku baru tahu soal kisah cintanya ini saat aku datang kemari karena diminta. Bayangkan saja kagetnya saat diberitahu kalau anak bengal dan manja itu mau menikah. Aku nyaris saja bertaruh kalau Matsuzaka-sensei mungkin menyelundupkan organ manusia atau menggelapkan uang rumah sakit atau apalah lalu ketahuan oleh Masahiro dan Masahiro menuntut untuk menikahinya atau ia akan buka mulut. Atau semacamnya.”
Lagi-lagi Tsune hanya mengedikkan bahu saat Takuma menatapnya tak percaya. “What? It’s a plausible cause!”
Tawa terbahak-bahak Takuma yang menyusul kemudian mau tak mau membuat Tsune pun ikut tersenyum miring seraya menenggak birnya. “Yah, Sensei tak bisa menyalahkan aku karena berpikir begitu kan?”
Takuma terbatuk dan mengikuti contoh Tsune menenggak birnya, “Tidak,” ia terbatuk lagi, “Sama sekali tidak.” Takuma menggenggam botol birnya dengan kedua tangan dan menumpu kedua sikunya di atas lutut dan mengarahkan pandang kea rah sahabatnya lagi. “Tapi kau tak perlu khawatir, Aoki-kun. Sama sekali tak ada paksaan kok.”
“Then, I’m glad,” sahut Tsune.
“Tapi pembicaraan seperti ini sepertinya sudah telat sekali, kan? Kalau mau protes, bukannya seharusnya dari kemarin?” Takuma melirik ke arahnya.
Tsune mengangkat kedua tangannya, “Hei, aku ini bukan tukang ikut campur. Aku mungkin sudah ketularan Aniki-tachi yang kelewat khawatir soal bocah itu. Kadang saja aku lupa kalau umurnya sudah 20. Tapi benar deh, aku sih terserah saja dia mau apa. Dan ini bukan protes, loh. Hanya mengungkapkan rasa penasaran saja.”
Takuma ganti mengangkat alisnya. Tsune tertawa kecil, “Kan sudah kubilang tadi, Masahiro bukan tipe yang suka curhat padaku. Waktu kutanya-tanya soal Matsuzaka-sensei, dia malah menuduh aku tertarik. Wajar saja kalau aku tertarik kan? Matsuzaka-sensei akan jadi keluarga!”
“Memang susah untuk diajak berpikir logis ya?” Takuma terkekeh.
“Aku sungguh mengerti perasaan Aniki-tachi yang selalu kerepotan,” gerutu Tsune pelan.
Takuma menarik nafas dan menenggak birnya pelan-pelan. Tsune melakukan hal yang sama.
“Dan apakah Sensei sudah protes pada Matsuzaka-sensei?”
Detik berikutnya, Tsune menyesali pertanyaannya sendiri karena Takuma melirik tajam padanya dan sekali itu, Tsune berpikir kalau Takuma bukan lawan yang enteng. Entah kenapa. Ia hanya bersyukur Takuma sama sekali tak ada hubungannya dengan Tomoru atau Tsune mungkin akan khawatir sekali. Dan itu membuat Tsune semakin bertanya-tanya.
“Aku tidak keberatan, Aoki-kun,” sahut Tsune sesaat kemudian. Pandangan matanya sudah meredup normal. “Sejak dulu, Matsuzaka cenderung melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya dan sebagai teman, tentu saja aku khawatir. Matsuzaka paham ini. Aku berusaha berbesar hati memberi kesempatan pada Inoue-kun untuk membuktikan kalau ia akan membuat Matsuzaka bahagia dan Matsuzaka bilang dia bahagia. Itu saja.”
Tsune mengangguk-angguk. “Kurasa aku mengerti itu,” gumamnya.
Selama beberapa saat, kedua pria itu terdiam. DJ yang disewa Kimito sudah mengganti lagu dengan irama yang lebih pelan dan beberapa orang turun untuk berdansa dengan pasangannya masing-masing. Mereka memperhatikan Tori berdiri dan mengulurkan tangan pada Masahiro yang menyambut dengan cengiran lebar. Senyum Tori melebar saat Masahiro melingkarkan lengan ke pinggangnya dan Tori menarik pemuda jangkung itu merapat padanya. Mereka berciuman mungkin untuk keseribu kalinya hari itu.
Tsune melirik dan menangkap Takuma mengangkat kelingking untuk menyentuh sudut matanya. Pria itu berdeham dan menenggak birnya lagi. Ada sesuatu dan Tsune curiga kalau rasanya sangat mirip dengan kekhawatirannya pada Tomoru sebelum ia meminta Tomoru jadi pacarnya. Atau mungkin saja tebakannya salah. Yang manapun, Tsune merasa itu bukan urusannya. Semoga saja.
Walaupun begitu, Tsune tetap ingin bertanya, “Apakah kau bahagia, Wada-sensei?”
“Are you, Aoki-kun?”
Tsune tertawa. Dia berdiri dan melambaikan tangan pada Takuma. Didekatinya pasangan yang tengah berdansa itu dan menepuk pundak Masahiro. Sepupunya itu menoleh dan Tsune nyengir, “Aku belum dapat kesempatan dansa dengan Matsuzaka-sensei, loh. Kau tak keberatan kan, Masahiro?”
Masahiro mengernyit tak senang pada cengiran Tsune yang menurutnya terlalu lebar dan terlihat sangat jahil. “Sepuluh menit,” gerutunya sambil berlalu ke arah Kimito yang tampak tertarik pada hiasan di sudut tenda.
Tori tertawa lebar dan menyambut uluran tangan Tsune bahkan sebelum Masahiro sempat protes. “Tentu saja, Aoki-kun. Dengan senang hati.”
Tsune meletakkan satu tangan di pinggang Tori, “Sensei boleh memanggilku Tsune saja.” Ujarnya sambil mengerling.
Lagi-lagi Tori tertawa lebar dan semu merah yang menjalar sampai ke telinganya itu sungguh sangat menawan. Tsune melirik melewati bahu Tori, pada Takuma yang masih terduduk di kursinya, menatap mereka sambil tersenyum samar. Tsune memutar langkah dengan lihai dan mengangkat alis pada Tori,
"Sensei kelihatan bahagia."
Kerlingan dan sinar di mata Tori sungguh membuat Tsune cemburu dan iri. "Sangat, Tsune-kun. Sangat."
-end-
Sunday, June 3, 2012
[fanfic] Wagamama
Rating: PG-13
Warning: BL, OOC, bad English
Disclaimer: I own nothing
Note: Entah kenapa ini jadinya hanya potongan dialog saja ORZ
Hirose turns to lie on his side and pouts to his phone that clamed to his ear for the last ten minutes. On the other end, Jinnai laughs.
“What are you sulking about? I called you this morning and explained that I really couldn’t stay and talk with you because well, I’m not actually a morning person and I had a job to do. And if you checked my blog, and I know you did so don’t say the otherwise, I’ve blogged about it and now we’re talking.”
Hirose pouts, “Because it’s not fair~”
“What is?” Jinnai laughs again.
This time, the sweet boy sighs and turns to lie on his other side, “I made you a surprise party!”
“I did say that today was a no go, right? I think I’ve made it clear and I think you understood.” Jinnai raises an eyebrow.
Hirose shrugs, “Well, I... I thought you weren’t serious and it was just something to take my mind off from expecting a surprise party. I even went so far as lingering at the rehearsal hall longer, expecting you and the guys to appear, bringing cake and...everything...” His voice turns softer. Absentmindedly, his finger traces an invisible line on the bedsheet.
“.....Seriously?”
“You can’t blame me for hoping! I gave you one and it’s only polite that you do the same for me.” Hirose protested defensively, another pout takes place on his thin lips. Jinnai would’ve pinched on his cheek if he was there with Hirose. And Jinnai is laughing again and it only makes Hirose pouts even more. “Jinshan~” he whines, sitting up and drags a pillow to his embrace.
“Sorry. Hahaha... umh... okay, right. Sorry.” Jinnai says, concealing his laugh by coughing several time, “No, really. What are you saying, Daisuke? You know that when I said I can’t go, it means that I really can’t and if I can make it, I always make sure I make it there. Don’t I always like that? Besides, if there really was a surprise party for you, belive me, it won’t be my idea.”
“Jinshaaaaaaaaan~”
“it’s true! It would be Kenta’s or Shoutaro’s or Kensho’s.” Jinnai shrugs.
Adjusting his phone to another ear, Hirose stands up and starts to pace around the room. “Mou. That’s why I said it’s not fair.”
Jinnai chuckles. “You’re really impossible. Fine, I’ll hold a party for you next week. How about that?”
Hirose’s eyes alight as he hears that, “Hontou ni? Hontou ni hontou?”
“Hon~ma. Just... tell me what do you want. I’ll make sure everybody come.”
Hirose bounces where he’s standing, clutching the hem of his pajamas excitely. “But, but, wait. Don’t tell me when and who will be coming. It’s absolutely have to be a surprise.”
“..............Daisuke?”
“Hai?”
“I just told you it’ll be next week.”
“So I’m stopping you from giving me anymore details! Mou!”
“I...Whatever,” Jinnai sighs while messanging the bridge of his nose but he’s smiling, anyway. “So, how was today? Did you have fun?”
“Of course I did! The cake was super delicious and I went out drinking with Mossan and the others after rehearsal. I also got bunch of gifts! I had to make Mossan and Shinchi walked me home and helped me with all those gifts!” Hirose gigles. “Demo ne, I prefer Jinshan to be there today.” He chews on his lower lip, hand reaching out to touch the curtain of his bedroom window.
He hears Jinnai chuckles softly. “Ne, are you standing near your window right now?”
Hirose frowns. “Yeah, why?”
“Nothing. It’s really nice outside. The air is crisp and it smells really nice. It’s too bad that the oden stall is not open today.”
Hirose’s frowns deepen, “How do you know that the oden stall is not open? Jinshan? You’re not...” Hirose draws open the curtain and tries to take a look at the street from his window.
“Are you looking outside your window now?”
“Yes. Wait.” Hirose puts down his phone so he can use both hands to open the window. He shivers at the breeze but shaking it away and takes his phone again. “Hello?”
“Still here. You’re really looking out your window?”
“I am! Where are you?” Hirose cranes his neck and squints so he can get a better vision but even his glasses are not doing that much for him. “Jinshan, I can’t see you. Mou, just step into the light so I can see you or why don’t you just come upstairs? It’s not like you don’t have keys.” Hirose is still craning his neck but sees nothing and to annoy him, Jinnai is laughing.
“Of course you can’t see me! I’m in my room, you idiot.” He laughs so loud Hirose suspects Jinnai must have rolling on the couch because of it.
“JINSHAN! It’s not funny!!”
Jinnai still laughs. “Hahahaha, sorry. Look, I’ve told you my schedule is pretty tight for the moment. You think I’ll jeopardize it by going there and spend the night with you?”
Hirose throws himself to the bed again, letting the window open. He sighs loudly and pouting again. “It’s my birthday! I’m entitled to nice surprises and getting everything I want!”
“Of course, you do. I’d love to be there if it’s not for my job.”
Hirose curls up, hugging both of his knees with one arm and tossing around on the bed. “Ne, Jinshan.”
“Hmm?”
“So, if, say, you can skip tomorrow’s schedule, you’d happily come here?”
“That’s what I said.”
Hirose chews on his lower lip. “Hontou?”
“Un.”
“Hontou ni hontou?
“Honma.”
“Jinshan.”
“Hmm?”
“You really must not forget about that surprise party, okay?” Hirose presses on.
Jinnai chuckles but if only Hirose can see him, Jinnai is nodding. “I won’t. I promise.”
“Jinshan,”
“What, Daisuke?”
“I really miss you today.”
“....I think about you, too.”
Hirose smiles a little. “Call me again tomorrow?”
“You’re the one who insist that you want to talk as long as possible with me.” Jinnai sounds amused.
“But I’m really sleepy. Rehearsal will be at nine.”
“Ouch.”
“You know how it is.”
“Yeah.” Jinnai agrees. “I won’t be in until after midnight, though.”
“I’ll wait! It’s okay. I’ll wait.” Hirose answers quickly.
“If you insist,” Jinnai says. “Fine. I’ll let you know if I finish early.”
“Un. Now, give me a kiss?”
Jinnai laughs.
-end-
Monday, March 5, 2012
[fanfic] Care
Cast: Hiramaki Jin, Koseki Yuta
Rating: PG
Warning: AU, BL hint, OOC
Disclaimer: I only own the plot
Note: Ini sebenernya sudah ditulis lama sekali tapi berhenti setelah paragraf dua XD; Akhirnya kmrn ini memutuskan untuk diselesaikan dan... hasilnya cukup inosen seperti yang gue harap (semoga XD).
“Ah, sudah reda,” Jin bergumam seraya tersenyum dan menarik tangannya yang dijulurkan keluar ambang jendela. Ditutupnya jendela itu rapat-rapat dan berjalan ke arah anak laki-laki jangkung yang tengah melingkar dengan nyaman di salah satu kursi di dalam kafe itu, terkantuk-kantuk.
Jin tersenyum maklum, tangannya mendarat lembut di atas kepala anak laki-laki dan mengusap pelan, “Hujannya sudah reda, loh.”
“Hmnh?” anak laki-laki itu bergumam, mengangkat kepalanya sekilas lalu menunduk lagi. “Ngantuk. Aku tak boleh menginap di sini saja, ya?”
Jin mengusap hidungnya dengan buku jari, “Boleh saja sebenarnya, tapi aku tak mau cari ribut dengan kakakmu. Ayo,” lengannya terulur menggamit lekukan lengan panjang Yuta dan menarik pelan agar anak laki-laki itu bangun.
Yuta menggerundel sebal namun menurut; dengan setengah hati mengenakan jaket dan menerima ransel yang diulurkan Jin. Matanya masih sesekali menutup dan tubuhnya limbung ke satu arah. Jin mendengus. Tanpa banyak bicara, pria itu berlalu ke dapur dan kembali dengan segelas susu hangat di tangannya.
“Minum,” perintahnya pelan.
Mata Yuta mengerjap; untuk sesaat memandang gelas yang disodorkan Jin lalu ke arah Jin berganti-ganti. Sudut-sudut bibirnya kemudian terangkat membentuk cengiran dan menerima gelas itu. “Sankyuu.”
Jin tersenyum. Sementara Yuta menghabiskan susunya, ia mengenakan jaketnya dan mengambil kunci mobil. Menimbang-nimbang apakah ia harus membawa dompet juga sebelum ingat kalau ia memang butuh mampir ke pasar swalayan yang buka 24 jam. Diliriknya Yuta yang sudah melompat-lompat di tempat, menepuk-nepuk pipinya yang bulat dan nyengir lebar. Jin menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh lucu dan menggemaskan. Seandainya saja umurnya tak terlalu jauh berbeda dan Yuta tak punya kakak yang mudah panik.... Jin menampar dirinya sendiri dalam hati. Stop sampai di situ Hiramaki Jin. Apa sih yang kau pikirkan?
Tangannya kemudian terangkat, memberi isyarat pada Yuta untuk mengikutinya ke mobil. Setelah memastikan anak itu duduk dengan nyaman dan sabuk pengamannya terpasang dengan benar, ia pun menjalankan mobilnya menembus jalan yang agak berkabut.
”Ne, Charlie,” Yuta bergumam setelah menyandarkan punggung dan kepalanya dengan nyaman ke sandaran kursi penumpang.
”Hmm?” Jin bergumam tanpa menoleh.
”Charlie kan lebih tua dariku ya,”
Jin mengangguk. Bibirnya menyunggingkan senyum geli meskipun kedua alis matanya berkerut bingung. ”Iya, ya. Aku nyaris seumur dengan kakakmu ya. Tapi itu sudah jelas kan? Pertanyaanmu aneh sekali.”
”Dengar dulu, dong. Aku kan belum selesai bicara,” Yuta mendengus, ”Kau seperti Jack-nii deh, kalau sedang begitu.”
Jin terbahak, memutar kemudi ke kanan lalu menoleh sekilas pada anak laki-laki itu. Yuta sama sekali sudah tak terlihat mengantuk. Terkadang, Jin kagum sekali dengan sistem daya tahan anak itu. Seolah waktu tidurnya, meski hanya lima belas menit, sudah cukup untuk mengisi ulang energinya. Sementara ia sendiri butuh setidaknya empat jam tidur untuk bisa berfungsi dengan baik. ”Baiklah. Maaf. Apa yang mau kau katakan?” tanyanya, berusaha menyembunyikan nada geli dalam suaranya.
Yuta memiringkan kepalanya ke kiri, ”Apa ya? Oh! Kenapa Charlie tak punya pacar?”
”Pertanyaan apa itu? Memangnya karena aku lebih tua darimu jadi aku harus punya pacar?” sergah Jin, makin tak mengerti dan makin geli pada saat yang bersamaan.
”Aku kan hanya bertanya, loh. Jack-nii saja akhirnya punya pacar meski pacarnya temanku. Aku sama sekali tak menyangka, loh. Awalnya Jack-nii tak mau cerita. Mungkin malu. Entahlah. Tapi aku bisa tahu, loh. Habisnya mendadak dia suka mengantar-jemput Yuuki-chan. Lalu Yuuki-chan wajahnya suka memerah kalau aku cerita soal Jack-nii. Jack-nii juga begitu. Hihihi, lucu sekali deh waktu dulu pertama kalinya tak sengaja aku melihat mereka berciuman di apartemen. Wajahnya meraaaaaaaaah sekali. Ih, padahal yang seperti itu kan wajar ya? Namanya juga pacaran.”
Jin tak tahu bagaimana ia harus bereaksi pada rentetan kata-kata yang dengan cepat meluncur dari bibir Yuta tanpa bisa dihentikan. Maka ia hanya terkekeh kecil karena tak bisa sepenuhnya mengalihkan perhatian dari jalanan. Yuta masih berceloteh panjang lebar sampai akhirnya Jin mengulurkan tangannya untuk ditangkupkan di depan mulut anak laki-laki itu agar ia berhenti bicara karena Jin mulai tak bisa menangkap maksud pembicaraannya.
”Semenarik apapun cerita tentang kakakmu – benar deh, menarik – tapi aku jadi bingung, Yuta,” pria itu tertawa. ”Kau ini mau tanya kenapa aku belum punya pacar atau cerita tentang kakakmu dan pacarnya yang manis itu sih?”
Yuta menyingkirkan tangan Jin dari depan wajahnya dan nyengir lebar. Kedua pipinya bersemu merah. ”Ah, gomen, gomen. Charlie jadi bingung ya? Hehehe habisnya Jack-nii dan Yuuki-chan itu lucu sekali sih. Aku jadi ngelantur deh. Iya, jadi maksudku ya itu, kenapa kalau Jack-nii saja akhirnya berhasil punya pacar, kenapa Charlie tidak?”
Jin kembali mengerutkan kening, ”Oke. Pertama, aku baru kenal kakakmu beberapa waktu lalu dan sepertinya dia sudah pacaran cukup lama dengan Yuuki-chan kan? Jadi, itu mengarah ke pernyataan Kedua, apa hubungannya aku tak punya pacar dengan kakakmu yang pacaran dengan Yuuki-chan? Tiap orang kan berbeda loh. Aku juga bisa tanya hal yang sama padamu. Kalau temanmu yang lucu itu saja berhasil memacari kakakmu, kenapa kau tidak punya pacar?”
Kali ini Yuta terdiam beberapa lama lalu memiringkan kepalanya lagi. ”Habis, kata Jack-nii, aku hanya boleh pacaran dengan orang yang benar-benar kusukai. Masalahnya, orang yang aku suka itu banyak. Yuuki-chan sih tak masuk hitungan. Micchi, Ikepi, teman-teman di klub, ah, Kenki-nii nya Micchi pun aku suka karena orangnya baik sekali. Tori-nii temannya Jack-nii pun aku suka loh karena dia pintar masak dan baik hati. Tapi kalau jadi pacar kan, rasa sukanya pasti beda ya.”
”Nah.”
Yuta menoleh pada Jin. Terlihat sedikit bingung dengan reaksinya. ”Apanya yang ’Nah’?”
Jawabannya tak langsung datang karena Jin sedang berkonsentrasi menyalip mobil yang berjalan terlalu pelan di depan mereka. ”Persis seperti yang kau bilang. Rasa suka itu berbeda-beda dan kau sudah mengerti ini kan?” Yuta mengangguk, ”Kalau untuk jadi pacar, rasa sukanya beda sama sekali, loh. Harus benar-benar sukaaaa sekali sampai meskipun dibuat kesal tapi tak bisa jadi benci sama orang itu.”
”Ah!!” Yuta menepukkan kepalan tangannya ke telapan tangannya sendiri. ”Ternyata memang begitu ya. Ahahahaha, aku pintar ya.” ujarnya sambil nyengir dengan senangnya dan mengangguk-angguk.
Melihat itu, Jin tak bisa tak tertawa. Satu lagi hal tentang Yuta yang menarik perhatiannya adalah anak laki-laki itu memang terkesan polos tapi ia memperhatikan banyak hal di sekitarnya dengan cermat dan menyimpulkan dengan caranya sendiri. Diam-diam ia berharap ia akan tetap diperbolehkan berada di dekat Yuta saat anak laki-laki itu beranjak lebih dewasa. Jin yakin Yuta akan jadi orang yang sangat menarik dan sukses dengan caranya sendiri.
Tak lama, Jin menghentikan mobil di depan bangunan apartemen di mana Yuta tinggal bersama Takuma. Ia melirik sekilas ke lantai tiga, ke pintu kelima dari kanan dan mendapati lampunya menyala. Takuma pasti sedang cemas sekali karena Yuta pulang terlambat. Diperhatikannya Yuta melepas sabuk pengaman lalu memutar badan untuk mengambil ranselnya yang tadi diletakkan di bangku penumpang belakang.
”Bawa sekalian kotak makan itu ya,” ujarnya pada Yuta.
”Eh? Memangnya ini apa? Aku tidak ingat bawa-bawa kotak makan sebesar ini,” komentar Yuta seraya mengendus kotak makan itu karena terasa hangat dan agak berat. Kedua matanya membulat makin lebar dengan semangat. ”Cinnamon roll ya? Charlie buat? Kapan? Untuk aku dan Jack-nii? Uwah, sankyuuuuu!!”
Jin tersenyum lebar. ”Kupanggang tadi waktu kau tertidur. Tidak banyak sih. Semoga kakakmu suka ya. Ini tidak terlalu manis, kok. Jadi tak usah khawatir merusak gigi.”
Yuta mencibir, ”Ih. Makanan enak, manis atau tidak, semuanya perlu dinikmati dan disyukuri. Padahal Jack-nii sendiri yang bilang begitu loh.”
Cubitan gemas di hidungnya membuat Yuta meronta sekilas lalu memerikasa sekali lagi bahwa semua barang bawaannya sudah tak ada yang tertinggal. ”Hari Sabtu aku mampir lagi ya. Ikepi bilang mau mencicipi fish & chips di tempat Charlie,” ujarnya sambil membuka pintu dan keluar dari mobil itu.
Jin mengangguk dan memiringkan posisi duduknya agar dapat melihat Yuta yang membungkuk di ambang jendela. ”Silakan. Aku akan senang sekali. Salam untuk kakakmu ya.”
”Un! Oyasumi, Charlie!” ujar Yuta sambil melambaikan tangan dan melesat pergi.
”Oyasumi!” seru Jin ke arah punggung anak itu seraya melambaikan tangan dengan cepat. Diperhatikannya punggung Yuta yang perlahan menjauh sambil geleng-geleng kepala. Ia memang selalu memastikan Yuta naik dengan selamat ke lantai tiga sebelum berlalu pergi. Kedua matanya mengerjap saat melihat Yuta berhenti lalu berbalik dan mendekat ke arahnya lagi dengan setengah berlari. Yuta mengetuk jendela mobilnya dan Jin menurunkan kaca. ”Ada yang tertinggal?”
Yuta mengangguk. ”Tadi aku lupa bilang: Aku juga suka Charlie, loh.” Cengiran lebarnya yang khas menyusul sebelum berbalik dan kali ini berlari cepat untuk menghilang ke dalam bangunan apartemen.
Mulut Jin terbuka dan tertutup lagi kemudian ia tertawa, merasa geli dan gemas pada saat yang bersamaan. Benar-benar deh, pikirnya. Benar-benar anak yang menarik dan Jin pun tersenyum lebar saat melihat sosok Yuta berdiri di depan pintu apartemennya di lantai tiga, melambai sekilas ke arah mobil Jin lalu masuk ke dalam.
”Aku juga suka Yuta, loh.” bisiknya.
Saturday, February 18, 2012
[fanfic] Kitchen
Rating: G
Warning: AU, OOC, implied BL
Disclaimer: I do not own anything
Note: percakapan random karena saya tak ada kerjaan di hari hujan ini.
Hari masih pagi ketika Yuusuke tiba di depan sebuah kedai sake. Jalanan di depannya pun masih sepi. Hanya tampak satu-dua orang yang sedang bebersih di depan toko milik mereka. Kedai yang menjual bento sudah ramai sejak pagi buta tapi Yuusuke tak berniat mampir ke situ. Dicobanya untuk membuka pintu kedai sake yang masih tertutup - norennya pun belum dipasang karena belum waktunya buka - sambil berujar, "Gomen kudasai."
Bagian dalam kedai itu pun masih lengang dan lampu di bagian tempat makan belum dinyalakan. Kursi-kursi masih terletak terbalik di atas meja-meja. Ada dua buah panci besar bertengger di atas kompor yang menyala. Asap tipis menguarkan wangi yang diterjemahkan otak Yuusuke sebagai sup dan rebusan sayuran. Beberapa bahan makanan lain teronggok di sebuah meja.
Yuusuke mencoba lagi, "Gomen kudasai," dan tersenyum saat mendengar ada jawaban. Kepala Jinnai menyembul dari balik pintu di bagian belakang dapur. "Ah, Ue-chan! Sudah datang ya."
Yuusuke mengangkat tangannya, "Yo."
"Taruh saja bawaanmu di atas. Aku buang sampah dulu."
Yuusuke menurut dan menapaki tangga mungil yang terletak di sebelah kiri dapur. Jaket dan tasnya diletakkan di dekat meja di ruang duduk mungil di lantai dua. Sekilas ia mengintip ke arah sebuah pintu yang setengah terbuka. Seorang pria setengah baya sedang tertidur pulas dan Yuusuke tak berniat mengganggu maka ia pun turun lagi.
Sambil menggulung lengan bajunya, Yuusuke mencari celemek dan mulai memilah-milah sayuran di atas meja. Jinnai kembali tak lama kemudian, mencuci tangan dan bergabung untuk memberi petunjuk pada Yuusuke apa yang harus dilakukan.
Jinnai sedang menghitung persediaan sake dan minuman lainnya ketika didengarnya Yuusuke bertanya, "Pacarmu yang manis itu ke mana?"
Jinnai tertawa. "Hari ini dia sibuk di kampus katanya. Ada perayaan atau apa begitu. Nanti sih katanya mau datang dengan teman-temannya."
Yuusuke mengangguk-angguk sementara tangannya terus bekerja memotong-motong sayuran. "Kupikir dia akan datang dan membantumu. Biasanya begitu kan?"
"Yah, hidupnya kan tidak berputar di sekitarku saja." Jinnai mengedikkan bahu.
"Tapi tampaknya seperti itu loh." Potong Yuusuke sambil tersenyum lebar. "Kelihatannya merepotkan tapi kau senang kan?"
"Dou deshou ka," sahut Jinnai namun ia tak bisa menahan cengiran yang muncul. Yuusuke tertawa.
"Ii jyan?"
"Maa ne."
Kedua laki-laki itu tertawa lagi. Saat itu pintu kedai terbuka dan terdengar suara berat yang familiar di telinga Jinnai, "Ojamashima- eh, Ue-chan? Ue-chan da! Hisashiburiiiii!"
"Mitsuya-kun!" Yuusuke pun buru-buru berdiri namun Mitsuya sudah menghampirinya dengan langkah cepat dan menepuk2 pundak pria yang lebih tinggi darinya itu.
"Eh? Eh? Sudah lama sekali ya. Sedang apa di sini? Memangnya tidak buka toko? Wah, kau tambah tampan ya? Sho-chan, Ue-chan loh!"
"Hisashiburi, Mitsuya-kun. Yappari masih tetap semangat seperti dulu ya." Yuusuke menyalaminya sambil tertawa. "Aku diminta Sho-chan bantu-bantu. Kebetulan aku tak ada pekerjaan karena toko sedang direnovasi."
Tanpa basa-basi lagi, Mitsuya melepas mantelnya dan menarik sebuah kursi agar ia bisa duduk di dekat Yuusuke. "Eh? Paman sakit? Atau sedang pergi?"
Jinnai menghampiri mereka dan meletakkan dua cangkir teh hangat di hadapan kedua temannya itu. "Sakit pinggangnya kumat. Aku tak bisa buka toko sendirian di hari sabtu seperti ini."
"Ah, sou? Boleh kujenguk? Sebentar ya, Ue-chan!" Dan Mitsuya pun langsung melesat ke lantai dua, meninggalkan Jinnai yang geleng-geleng kepala dan Yuusuke yang menahan tawa.
"Dia sudah berubah ya?" Komentar Yuusuke sambil menyesap tehnya.
"Apanya?" Jinnai menggaruk bagian belakang kepalanya. "Sama saja, kok. Masih saja cengeng dan gampang naik darah."
"Tapi aku senang loh, kalian sudah berhenti berkelahi."
"Berkelahi itu kan bukan mau kami, loh. Orang-orang saja yang terus-terusan mencari. Lagipula, tak bisa seperti itu seumur hidup kan? Lagipula, itu kan sudah lama sekali, Ue-chan. Tak usah diungkit lagi." Tukas Jinnai seraya mengibaskan tangan.
Yuusuke mengangguk-angguk. "Tak menyangka saja dia akan menikah lebih dulu dan... berapa anaknya sekarang?"
"Hmm... Empat?"
"Sugoi~" Yuusuke tertawa.
Jinnai pun terkekeh. "Begitulah. Lagaknya saja marah-marah tapi sebenarnya suka sekali kok."
"Kau juga lega karena tak harus menjaganya terus kan?" Yuusuke mengangkat alis.
"Haaah?" Jinnai menuding temannya dengan sebilah pisau. "Dengar ya, saling menjaga itu insting untuk bertahan hidup, tahu. Sama sekali tak ada unsur romantisnya."
Yuusuke menepis tangan Jinnai dengan tenang. "Aku juga tak bilang begitu, kok. Maksudku, hidupmu jadi lebih tenang kan?"
Jinnai memiringkan kepala, "Yah, dibilang lebih tenang sih..."
"Ah, tidak juga ya." Yuusuke tertawa lagi.
"Sou."
Mitsuya kembali bergabung dengan dua teman lamanya itu tak lama kemudian. "Paman sempat bangun sebentar tadi, tapi sudah tidur lagi." Ujarnya sambil menduduki kursinya lagi dan menjangkau seikat sawi putih.
Jinnai mengangguk lalu mengangkat alis. "Sedang apa?"
Mitsuya balas mengangkat alis. "Aku sedang tak ada kerjaan jadi ikut bantu tak apa kan? Toh, sudah lama tidak bertemu Ue-chan. Ne?" Ujarnya sambil mengangguk pada Yuusuke.
Jinnai memukul bagian belakang kepala Mitsuya dengan kesal dan membuat Mitsuya mengaduh keras dan balas memukul lengan Jinnai. "Apa sih tujuanmu kemari? Kau kan tahu kedai tak akan buka sampai jam 7 malam."
Mitsuya mengerjap. "Ah! Sou!" Dia menepuk tangan seolah baru ingat akan tujuannya mendatangi kedai itu pagi-pagi. "Tak ada apa-apa sih. Hehehe."
"Hah?" Tangan Jinnai sudah terangkat hendak memukul Mitsuya lagi namun temannya yang cantik itu merengut.
"Habis, Kenki sedang dinas ke luar kota. Anak-anak juga sedang study tour ke Osaka. Mereka tak akan pulang sampai lusa. Aku tak ada kerjaan nih." Keluhnya.
Jinnai menghela nafas. Yuusuke tersenyum lebar. "Tak apa kan, Sho-chan. Semakin banyak yang membantu kan enak. Kau jadi punya waktu memperhatikan paman juga."
"Ya sudah." Jinnai melengos ke arah dapur. "Sini. Bantu aku memotong daging ayam untuk yakitori." Ujarnya. "Setelah itu angkat krat bir dari belakang ya."
"Eeeeeh?"
"Katanya mau bantu. Aku bosnya di sini. Kalau tak mau kerja, kau tak akan kubagi sarapan. Atau lebih baik lagi, pulang saja sana." Tukas Jinnai dengan tegas seraya mengacungkan sumpit masak dengan jumawa.
Mitsuya menggembungkan kedua pipinya. Ia makin merengut karena ditertawakan Yuusuke yang geli melihat tingkah dua orang itu. Meskipun begitu, lelaki cantik itu menurut juga dan menghampiri Jinnai untuk mengambil baskom berisi potongan daging ayam dan mulai bekerja dengan tekun.
Sesuai perkataannya, Jinnai membuatkan sarapan yang lezat untuk mereka meskipun sederhana: sup miso, tempura dan asinan sayur menemani nasi hangat yang mengepul wangi. Yuusuke menyumbang tenaga membuatkan yakitamago yang luar biasa enak. Sementara kedua temannya makan, Jinnai menghilang sebentar ke lantai dua mengantarkan bagian ayahnya.
"Banyak sekali ya," komentar Mitsuya setelah mereka selesai makan dan kembali bekerja, memandang tumpukan sayur, daging, ikan dan bahan-bahan lain yang siap diolah setengah jadi.
Yuusuke mengangsurkan ujung sendok kayu yang digunakannya mengaduk campuran bumbu yakitori pada Jinnai. Menggunakan kelingkingnya, Jinnai mencolek sedikit bumbu dari sendok kayu itu, mengecap sejenak, "Mirin-nya ditambah sedikit lagi," pintanya. "Yah, beginilah kalau akhir minggu. Makanya aku minta Ue-chan membantu."
Mitsuya meletakkan satu krat bir di lantai dan mulai mengatur isinya ke dalam lemari pendingin. "Anak itu tidak akan cemburu?"
Jinnai mengangkat alis. "Maksudmu Daisuke?"
Mitsuya mengangguk.
"Kenapa harus? Kedai ini kan milik keluargaku. Dia saja yang seenaknya memutuskan dia punya hak untuk ikut repot." Jinnai berkilah.
"Sho-chan," tegur Yuusuke halus.
"Iya, bercanda." Sela Jinnai. "Aku malah senang kalau dia tak sering-sering muncul dan lebih konsentrasi belajar. Aku tak ingin dilabrak ibunya kalau sampai nilainya hancur karena terlalu sering main di sini. Yah, meskipun dia juga belajar di sini sih."
Mitsuya mendekat dan menusuk pipi temannya itu, "Sho-chan, kawaii."
"Uruse." Jinnai menepis tangan Mitsuya dan berpura-pura sibuk memeriksa kaldu untuk kuah oden.
"Ne," Yuusuke berujar, tanpa menoleh karena menjaga agar bumbu yakitori yang sedang dibuatnya tidak terlalu mendidih, "apa kau akan mengambilnya masuk ke keluargamu? Paman pasti akan senang sekali punya anak semanis itu."
Jinnai tertawa dan mengedikkan bahu. "Saa ne. Mungkin? Aku masih belum tahu."
"Sudah ditanya?"
"Tentu saja belum."
"Nandee?"
"Micchi, uruse."
"Nandeeee?"
Jinnai menghela nafas. "Belum saja. Kalau dia punya cita-cita yang lebih hebat daripada sekedar menemaniku mengurus kedai sake ini, aku kan tak bisa melarang."
Yuusuke mengangguk-angguk. "Kita punya kewajiban keluarga ya. Bukannya terpaksa sih."
"Sou. Kau mengerti maksudku kan, Ue-chan?"
Yuusuke mengangguk lagi. Mitsuya ikut mengangguk. "Anak itu tak pernah pergi dari sampingmu sih, ya. Bagus juga kalau sesekali dia melakukan hal lain. Demo, iinjyanai? Begini saja kau bahagia kan? Memang tak perlu buru-buru ya. Namanya juga Sho-chan."
Kali ini Jinnai tersenyum lebar. "Sou desu ne."
-end-
Thursday, February 16, 2012
[drabble] Kenki/Micchi - late birthday fic
Monday, December 19, 2011
[fanfic] Wedding checklist - Tension
Terakhir kali ia melihat apartemennya dalam keadaan luar biasa berantakan adalah beberapa tahun lalu saat ia pindah ke apartemen mungil itu. Saat ini kondisinya bisa dibilang sangat mirip dengan ketika itu: kardus-kardus bertumpuk dan tersebar di beberapa tempat, bungkusan-bungkusan yang entah apa isinya tergeletak di beberapa sudut ruangan, tumpukan kertas, baju-baju dan benda lain yang Tori tak berani menyingkirkan atau dia akan lupa di mana tempatnya. Sofa ruang tamunya pun penuh terhuni Shunsuke yang duduk bersilang kaki dan sibuk dengan laptop canggihnya. Sudut satunya diambil alih oleh Mitsuya yang sedang menelepon dengan nada tinggi. Televisi disetel tanpa benar-benar ditonton dan Mitsuya melotot ke arahnya saat Tori hendak mematikan.
Untunglah orang tuanya baru akan datang besok pagi dan mereka setuju saja saat Tori bersikeras agar mereka menginap di hotel karena jelas apartemen mungilnya tak akan sanggup menampung semua orang itu. Pun, seminggu terakhir ini apartemennya begitu sumpek karena sahabat-sahabatnya dan Mitsuya kadang tak datang sendiri. Hampir tiap hari Takuma datang bersama Yuuki. Ia tak enak karena pacarnya itu – meskipun Takuma sudah menjelaskan dan Yuuki pun mengaku sudah memaklumi- tetap merengut karena terlalu sering diacuhkan. Pemuda mungil itu akan duduk di meja makan mengerjakan PR-nya, kadang sendiri namun seringkali bersama Mitsuya. Setelahnya ia akan ikut duduk di ruang tengah, mengamati kesibukan yang terjadi.
Tunangan Mitsuya yang tampan itu pun beberapa kali mampir, membawakan baju ganti dan camilan ringan. Senyumnya yang ramah dan pertanyaan apakah ada yang bisa dia bantu selalu disambut baik oleh Tori yang menyilakannya masuk dan menawarinya ikut minum kopi bersama. Tori senang melihatnya selalu menempatkan diri di dekat Mitsuya yang sudah sibuk sendiri dengan pilihan bahan kain untuk dekorasi atau sibuk menelepon supplier tanaman dan agen persewaan perlengkapan pesta. Pun dengan senang hati turun ke dapur dan membuatkan makan malam.
Kekasih Shunsuke hanya mampir satu kali. Tubuhnya yang tinggi menjulang dan wajahnya yang tampan menarik perhatian semua orang di dalam ruangan, tak terkecuali Yuuki dan Mitsuya yang langsung berseru, “Sensei?! Kenapa ada di sini?” bahkan sebelum diperkenalkan oleh Shunsuke. Pria yang tampak seperti rubah itu tersenyum tipis dan pamit dengan sopan setelah ikut makan malam.
Tori menghela nafas.
Tiga hari lagi.
Undangan sudah disebar dan jawabannya pun datang dengan cepat. Beberapa menyertakan permintaan maaf tak bisa hadir berserta hadiah yang diletakkan Tori di bawah tempat tidurnya karena sudah tak ada tempat lagi. Dua hari yang lalu Nagayama-san baru saja mengantarkan pakaian mereka yang sudah jadi. Senyumnya nampak begitu sumringah dan terlihat begitu puas saat dirinya, Tori, Takuma, dan Shunsuke berdesak-desakan di dalam kamar Tori untuk fitting sekali lagi. Ia buru-buru pamit karena masih akan mampir ke rumah Masahiro sebelum pemuda itu terbang ke Amerika.
Ini yang membuat Tori makin tertekan. Maya-san meminta anak bungsunya itu untuk tinggal dengannya di Amerika selama seminggu sebelum hari H dan kemudian akan sama-sama kembali ke Jepang bersama-sama. Masahiro ngambek selama berhari-hari, berteriak pada seluruh isi rumah dan menuduh semua orang sebenarnya ingin membatalkan pernikahannya dengan Tori lalu mengunci diri di dalam kamar. Tori harus menelepon calon ibu mertuanya itu dan meminta penjelasan karena sungguh, dia sedang tak ingin menghadapi Masahiro yang seperti itu saat ini.
“Aku hanya ingin memanjakannya sebagai anakku sebelum ia menikah. Apakah tak boleh? Atau sebenarnya kau khawatir aku tak akan memulangkannya kembali ke Jepang?” ujar wanita itu di telepon.
Tori mendesah, “Maaf, Okaa-sama. Saya tahu Okaa-sama tentunya tidak bermaksud buruk. Saya hanya ingin memastikan karena saat ini Masahiro bahkan tak mau mengangkat telepon dari saya.”
“Begitu? Dasar Masahiro.” Wanita itu tertawa kecil dan mau tak mau Tori pun ikut tertawa. “Kalau memang terlalu merepotkanmu dan membuatmu bertambah pusing, bilang saja padanya kalau dia tak perlu pergi ke sini. Aku mengerti, kok.”
Tori sungguh tak enak mendengar nada bicara calon ibu mertuanya yang terdengar agak sedih itu. Hari berikutnya, sepulang dari rumah sakit, ia mampir ke rumah Keigo dan menyelipkan secarik kertas melalui bawah pintu kamar Masahiro.
Jangan harap aku akan muncul di hadapanmu di depan altar nanti kalau menghormati keinginan ibumu saja kau tak bisa –Tori-
Malam harinya, Tori harus menyiapkan makan malam sambil tertawa geli pada Masahiro yang tengahberkutat di depan laptopnya; memesan tiket pesawat sambil menggerutu.
Semalam Masahiro baru saja meneleponnya. Seperti biasa kalau mereka sedang terpisah jauh, pembicaraan telepon mereka selalu menghabiskan waktu berjam-jam diselingi video call beramai-ramai dengan para pendamping pria, Mitsuya, dan Takiguchi-kun karena mereka harus berdiskusi tentang beberapa persiapan akhir. Akhirnya Tori mengusir mereka semua keluar dari kamarnya karena ia sedang kangen sekali pada Masahiro.
Tori melirik ke dalam kamar tidurnya, mendapati Masaki yang tengah tertidur pulas. Anak itu datang segera setelah jadwal operasinya selesai dan menuntut dibuatkan omelet. Sambil tersenyum, ditutupnya pintu kamarnya dengan perlahan dan beralih menuju dapur karena ia sungguh butuh minum kopi dan mungkin sebatang rokok.
Namun begitu melihat Takuma yang tengah berdiri di dekat konter dapur, sibuk memperhatikan beberapa lembar kertas berisi pengaturan duduk para tamu undangan, hal pertama yang dilakukannya adalah mengulurkan kedua lengannya pada sahabatnya itu. Mengerutkan kening dengan sedikit heran, Takuma pun merengkuhnya dalam pelukan hangat dan erat. Dokter gigi nan tampan itu menepuk-nepuk pundak Tori dan mengelus punggungnya dengan sayang sementara Tori membenamkan wajahnya ke dalam pundak Takuma dan menghela nafas berkali-kali. Rasanya begitu nyaman dan untuk sesaat, Tori merasa semuanya akan berjalan lancer.
“Kenapa tidak tidur saja?” Tanya Takuma sambil mengecup rambut Tori.
Tori menggeleng. “Tak bisa,” ujarnya sambil menjauh sedikit meski tak melepaskan pelukan.
Takuma tersenyum. “Aku tadi buat kopi. Mau?”
Tori mengangguk, kali ini membiarkan Takuma melepaskan dirinya dan menuangkan secangkir kopi untuknya. Diambilnya rokok simpanannya dari dalam lemari dapur, membuka jendela dan mendudukkan dirinya di atas konter sambil menyalakan rokok. Takuma menghampirinya dengan secangkir gelas yang menguarkan asap tipis. Tori menerimanya dengan senyum penuh terima kasih dan meletakkan cangkir itu di dekat pahanya. Takuma bersandar di sebelahnya, mengambil sebatang rokok dari dalam kotak yang masih digenggam Tori, membuat sahabatnya itu tertawa.
“Apa?” Takuma mengangkat alis, menyelipkan rokok ke antara bibirnya.
Tori menggeleng lagi, mengulurkan korek dan menyalakannya untuk Takuma.
Mereka terdiam sejenak, menikmati kopi dan menghembuskan nikotin beberapa kali.
“Yuuki-chan tidak marah kau menginap di sini sampai beberapa hari ke depan?” Tanya Tori kemudian.
Takuma terkekeh. “Marah sih tidak. Hanya cemberut. Tapi Micchi juga sudah ikut membujuknya dan dia di rumah ditemani Yamaguchi-kun dan Yuta. Ngomong-ngomong, terima kasih sudah mengundang mereka juga.”
Tori mengibaskan tangannya. “Tentu saja mereka kuundang. Kau ini bicara apa?”
Kedikkan bahu dan hembusan asap menjawab Tori. Takuma terbatuk dan memutuskan mematikan rokoknya. “Aku tak pernah terbiasa dengan ini,” komentarnya dengan wajah sedikit memerah.
“Itu karena kau dokter gigi,” ucap Tori sambil nyengir.
Takuma membalas cengirannya. Diperhatikannya baik-baik wajah Tori yang tampak lelah dan sedikit tegang. Garis di bagian bawah matanya mulai menebal dan Takuma tahu yang bisa menyembuhkannya hanya sepuluh jam tidur. Mungkin sebentar lagi dia harus memaksa Tori masuk ke kamar untuk bergelung di sebelah Suda tapi saat ini, sepertinya pria itu hanya butuh teman ngobrol. Masahiro begitu jauh dan Tori pasti sedang butuh seseorang untuk membantunya tak merasa begitu tertekan.
Karena itu Takuma meletakkan tangan di atas paha Tori, telapak tangan terbuka seolah mengundang untuk digenggam. Tanpa ragu, Tori menyambut. Digenggamnya dengan erat tangan Takuma dan meremas beberapa kali.
“Kitto, daijoubu yo ne.” ujarnya lirih dan sedikit bergetar.
Takuma mengangguk mantab, balas meremas tangan Tori. “Kitto. Daijoubu.”
Monday, October 31, 2011
[fanfic] Kazuki/Takuya - Sleep In
Sunday, September 18, 2011
[fanfic] Someday
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anyone
Note: Iseng aja nih :p
Yun melirik sekilas. Tangannya sibuk mencampur gula dan susu ke dalam cangkir kopi lalu menuang susu ke dalam cangkir kopi yang lain. Ia melirik lagi sebelum membawa dua cangkir berisi kopi yang menguarkan asap tipis dan aroma yang begitu harum itu ke ruang tengah. Shunsuke mendongak dari kesibukannya: kertas-kertas, handphone, iPad juga beberapa lembar foto dan pamflet; ia tersenyum saat Yun meletakkan sebuah cangkir di dekat iPad-nya.
"Arigatou." Gumamnya lalu kembali berkutat pada berkas di atas pangkuannya.
Yun mengecup pelipisnya sekilas lalu menempatkan dirinya di sebelah pengacara tampan itu. Cukup dekat hingga ia bisa melihat apa yang sedang dibaca Shunsuke.
"Kasus pembunuhan itu jadi tanggung jawabmu?" Tanyanya sekilas.
Shunsuke mengangguk. "Lusa sidang terakhir."
Yun ikut mengangguk. Mereka memang tak banyak membicarakan pekerjaan masing-masing. Terutama karena pekerjaan Shunsuke yang mengharuskannya menyimpan banyak berkas rahasia. Shunsuke pun tak banyak bertanya kecuali Yun bercerita tentang pekerjaannya. Seperlunya. Yang penting mereka tahu apa yang dilakukan pasangan mereka.
Shunsuke mendesah seraya menjangkau cangkir kopinya. Disesapnya perlahan dan dinikmatinya cairan hitam itu. Sesaat Yun mengira ia akan berhenti karena Shunsuke menyingkirkan berkas di pangkuannya ke atas meja, tapi ia malah meraih tumpukan kertas lain. Kali ini berisi sebuah daftar dan deretan angka. iPad-nya berbunyi dan dalam sekejab, Shunsuke langsung sibuk chatting dengan beberapa orang.
Beberapa pesan disertai foto, Yun langsung mengerti kali ini urusannya sudah berganti dengan urusan pernikahan teman Shunsuke. Yun mengangguk-angguk.
"Pink dan merah? Apa tidak terlalu perempuan?" Celetuk Yun saat sebuah gambar contoh dekorasi muncul di layar iPad Shunsuke. Pengacara itu terkekeh dan mengetikkan komentar Yun.
-My thought exactly- komentar seseorang bernama Aoki Tsunenori muncul di layar.
Yun tersenyum miring. Shunsuke tertawa sambil menggelengkan kepala. Beberapa saat kemudian ia mematikan aplikasi ngobrol itu lalu mengangkat kedua lengannya ke udara untuk meregangkan badan. Kepalanya digerakkan ke kiri dan ke kanan, menimbulkan bunyi keretak pelan dan pengacara tampan itu pun mendesah.
Jari-jari panjang Yun menyentuk tengkuk Shunsuke dan mulai memijat lembut. "Sudah semakin dekat ya?"
Shunsuke mengerang pelan, "Iya."
"Semuanya lancar?"
"Sejauh ini." Shunsuke mengangguk. "Ngomong-ngomong, Tori berterima kasih sekali karena kau mengenalkan Takiguchi-kun padanya."
Yun mengedikkan bahu. "Aku cuma mengenalkan. Bagus kalau memang bisa membantu."
Shunsuke tersenyum dan memajukan kepalanya untuk mencium Yun. Rubah besar itu pun dengan sigap merengkuh Shunsuke dalam pelukannya, memiringkan kepala agar ia bisa mencium Yun dengan sedikit lebih leluasa. Aroma kopi, susu dan mint bercampur jadi satu, berpadu dengan sentuhan lembut dan penuh hasrat. Shunsuke melingkarkan lengan ke sekeliling leher Yun, bergerak merapat lebih dekat dan mengerang pelan.
Yun tampak sedikit bingung meski bibirnya tersenyum saat Shunsuke mundur. "Untuk apa yang barusan?" Dikecupnya ujung hidung Shunsuke, tepat di tahi lalat imut yang bertengger di situ. Shunsuke nyengir. "Tanda terima kasih?"
Rubah itu tertawa. "Jadi kalau Matsuzaka-sensei menyampaikan terima kasihnya secara langsung, aku juga akan mendapatkan ciuman seperti tadi?"
"Maumu." Cibir Shunsuke.
"Tak ada salahnya berharap, dong." Yun menjulurkan lidahnya dan langsung mengaduh karena Shunsuke menggigitnya.
Shunsuke lalu merebahkan kepala di lengan Yun, bersandar nyaman pada tubuh Yun yang kurus. Yun menoleh, mengecup sekilas rambut Shunsuke yang beraroma apel.
"Mengurus pernikahan itu seru juga ternyata ya." Ujarnya pelan. "Waktu kau menikah dulu, apa juga seseru ini?"
Yun menyesap kopinya. "Hmm... Tidak. Aku kan masih muda sekali waktu itu. Sederhana saja. Cukup keluarga dan teman dekat. Sudah. Lagipula, almarhum ibunya Hide sudah mengandung Hide waktu itu."
"Ah, begitu." Shunsuke mengerutkan dagu. "Tapi mau yang sederhana ataupun yang mewah, pernikahan tetap saja sesuatu yang sakral dan indah ya?"
Yun mengangguk. Sejenak kemudian, mata rubahnya bersinar nakal. "Kenapa, Pak Pengacara? Kau mau menikah juga jadinya?"
Shunsuke tertawa pelan. "Tidak. Cuma mengucapkan pendapat saja kok." Pria beralis tebal itu mengangkat kepalanya, menatap Yun dengan penasaran. "Apa kau sendiri ingin menikah lagi?"
Yun kembali mengedikkan bahu. "Terserah padamu."
"Terserah aku?" Shunsuke mengangkat alisnya. Ditatapnya Yun dalam-dalam, mencari-cari apakah rubah jahil itu benar-benar serius atau tidak. Yun menggenggam tangannya lalu mengecup pergelangan tangannya dengan lembut. Senyum Shunsuke melebar. Direbahkannya kembali kepalanya, beringsut mencari posisi yang lebih nyaman dalam pelukan Yun. Diputarnya tangannya yang masih digenggam Yun agar ia bisa mengaitkan jemari mereka.
"Nanti." Jawab pengacara itu. "Kalau Halu dan Hide sudah lulus, punya pekerjaan dan bisa berdiri sendiri. Kalau kau sudah pensiun jadi guru dan kalau aku sudah punya firma hukum sendiri. Kalau sepuluh tahun dari sekarang aku masih merasa seperti ini padamu, saat itu, aku mungkin akan menikahimu, Pak Guru."
Yun meletakkan dagunya di atas kepala Shunsuke, memperhatikan jemari mereka yang bertaut dan diletakkan dengan nyaman di atas perut Shunsuke. Bibir tipisnya membentuk senyum lebar mendengar kata-kata Shunsuke.
"Oke."
-end-
Thursday, September 1, 2011
[fanfic] Wedding Checklist - Fitting
Rating: G
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything and/or anyone
"Oh ya ampun, kau ganteng sekali." Ujar Tori sambil mendesah penuh kekaguman, matanya memandang dengan pujaan yang tak ditutupi.
Shunsuke, yang tengah berdiri di depan cermin besar, meringis lebar. "Terima kasih?"
Tori menyesap kopinya, "Aku serius. Ya kan, Wada?" Dokter itu menoleh pada Takuma yang duduk di sebelahnya. Takuma mengangguk setuju. "Potongannya pas sekali, Shunsuke-san."
Shunsuke tertawa. "Terima kasih. Tapi aku masih kalah denganmu, Takuma-san. Nagayama-san saja sampai tak berhenti memuji tadi."
Takashi, yang tengah berkutat dengan kerah jas yang tengah dicoba Shunsuke tertawa. "Aku sering bertemu orang tampan dan cantik, tapi harus kuakui kalau anda adalah dokter paling tampan yang pernah kutemui, Wada-san."
Wajah Takuma bersemu merah dan dia langsung pura-pura sibuk dengan ponselnya. Tori tertawa terbahak-bahak seraya mendorong lengan sahabatnya yang salah tingkah itu. Takuma menggerundel pelan, mengulurkan tangan untuk mengambil kopi bagiannya.
Hari ini mereka bertiga dipanggil oleh Takashi untuk mengepas kemeja yang sudah setengah jadi. Perancang busana itu tampak sangat bersemangat dan Tori -yang aslinya sedang agak stres setelah semalam menghitung total biaya pernikahannya- jadi tertular gembira. Dua temannya pun menyertai meski Takashi dengan tegas mengatakan kalau Masahiro dan pendamping prianya akan mengepas di hari lain.
"Aku orang yang cukup tradisional, Matsuzaka-sensei. Saling lihat dalam busana pengantin sebelum hari H bisa bawa sial." Sahut Takashi saat Tori bertanya dan Masahiro menggerundel sepanjang malam karena sama sekali tak diperbolehkan ikut.
Takashi memberi tanda di beberapa tempat agar potongan jas itu makin pas di tubuh Shunsuke. Dia mengangguk puas dan asistennya membantu Shunsuke melepas jas itu lalu membantu Shunsuke mengenakan kimono dan hakama yang harus disesuaikan panjangnya. Tori berdiri menghampiri, ikut memperhatikan dari dekat sementara Takashi kembali sibuk dengan jarum dan ujung hakama. Tori sama sekali belum dapat giliran untuk mengepas. Takashi ingin menyelesaikan mengepas Takuma dan Shunsuke terlebih dahulu karena pakaian mereka lebih sederhana dibanding yang akan dikenakan Tori.
Sementara itu, Takuma sudah membuka agenda-nya dan sibuk berkonsultasi melalui telepon dengan Tsune tentang pengaturan tempat duduk untuk pestanya nanti. Sesekali ia berdiri dan mendatangi Tori, menunjukkan beberapa foto contoh dekorasi dari Mitsuya dan penataan meja dari Takki. Beberapa kali Tori meminta Takuma untuk meneruskan foto-foto itu pada Masahiro.
Shunsuke iseng memotret Tori dan Takuma yang tampak akrab dan mengirimkannya pada Masahiro. Telepon Tori pun langsung berdering ribut dan dokter itu harus memukul lengan Shunsuke karena dia jadi repot. Takuma menyembunyikan tawa di balik agendanya sementara Shunsuke terbahak puas.
"Kalian." Tori menghembuskan nafas sembari memencet tombol 'end call' di ponselnya.
Shunsuke menjulurkan lidah. "Kalian lucu sih."
Tori menggembungkan pipinya dengan sebal dan buru-buru menepis tangan Takuma yang siap terulur ingin mencubit. Tapi sejurus kemudian, mau tak mau, ia ikut tertawa juga. Kedua temannya itu tahu Masahiro seperti apa dan mereka makin giat menggoda tunangannya itu begitu tahu kalau Tsune dan Kimito pun tak kalah rajin mengisengi tuan muda yang super posesif itu. Beberapa kali mereka berempat menemani Tori kemanapun dokter muda itu ingin pergi dan dengan sengaja mengirim foto-fotonya pada Masahiro. Sekali waktu mereka bahkan nekat 'menculik' Tori ke taman ria, memaksanya masuk ke rumah hantu dan Tsune dengan gembira mengirim foto Tori yang tengah memeluk Takuma erat-erat karena ketakutan.
Bisa dibayangkan tuan muda itu langsung tergopoh-gopoh menyusul dan membawa Tori pulang. Tori hanya tertawa dan mencium Masahiro dengan sayang.
Tori sendiri tak terlalu keberatan diisengi seperti itu. Persiapan pernikahannya makin lama makin membuat stres. Harus berkali-kali memastikan kalau semuanya sudah dipesan dan Shunsuke membantu dengan membuatkan surat kontrak untuk pihak penyedia tempat resepsi, Takki dan Mitsuya. Untuk jaga-jaga saja, ujar temannya itu. Tak ada yang keberatan dengan usul Shunsuke itu. Dan keisengan empat pendamping itu justru sangat menghibur dan meskipun kesal, Masahiro mau tak mau ikut senang karena Tori tidak begitu stres.
"Baiklah, Matsuzaka-sensei. Bisa berdiri di sini?" Takashi membuyarkan lamunan Tori. Dokter itu menurut dan melangkah menuju ke dalam bilik ganti. Takashi mengikutinya dan membantunya memakai setelan jas panjang yang sudah hampir jadi itu.
Shunsuke dan Takuma tampak terpana begitu Tori melangkah keluar dari dalam bilik ganti. Tori mengangkat alis lalu mengecek penampilannya di cermin panjang. Matanya berkedip tak percaya. Seumur hidupnya, ia tak pernah memuji dirinya sendiri (oke, mungkin pernah. Tapi tak sering) tapi pantulan dirinya yang dilihatnya membuatnya mendesah puas. Ia berputar beberapa kali dan hasilnya sama.
Takashi pun turut mendesah. Kedua tangannya diangkat ke atas lalu dikibaskan dengan dramatis. "Sempurna." Bisiknya lalu ia melesat ke mejanya, mengambil korsase yang kemudian disematkannya di saku dada kemeja Tori. Sekali lagi mengangguk dengan begitu mantab. "Sempurna."
Takuma mendekat, tangannya terjulur meraih kerah kemeja Tori, menarik-narik beberapa kali. Matanya menatap Tori dengan seksama dan pria itu tersenyum. Tori membalas senyum sahabatnya dengan tersipu.
Shunsuke pun ikut berdiri di sebelah Takuma, mengamati Tori dengan seksama. Satu tangan terjulur, menyelipkan sejumput rambut Tori ke belakang telinga dan tersenyum.
"Gorgeous." Bisiknya.
Takuma mengangguk.
Takashi menepuk kedua bahu kliennya, "Inoue-kun memang pantas cemburu kok."
Tori tersenyum lebar. "Mungkin juga."
-end-
Saturday, August 6, 2011
[fanfic] AU Keigo Kyoudai - Oyasumi
Cast: Katou Kazuki, Inoue Masahiro, Kubota Yuuki
Rating: G
Warning: AU, OOC, bromance
Disclaimer: actors are belonged to their respective agencies. No profit gained, no harm intended
Note: iseng sore-sore dan pendek saja deh :D
"Nii-san."
Kazuki mengangkat kepalanya, mengalihkan pandang dari novel detektif yang ada di pangkuannya. Dilihatnya sesosok mungil tersembul dari pintu kamarnya yang terbuka. Kazuki mengerutkan kening.
"Masahiro? Ada apa?"
Anak laki-laki itu menggerut bantal yang ada dalam pelukannya. Kerah piyamanya yang bermotif beruang agak merosot di pundak kanan. Masahiro melirik takut-takut ke arah jendela. Hujan sejak sore dan makin deras seiring malam datang bahkan disertai petir dan guntur. Gemuruh suara dari luar dan bunyi dahan-dahan pohon membentur kaca membuat Masahiro tak bisa tidur. Maka ia lari ke kamar kakaknya. Ryuuji, yang kamarnya paling dekat dengan Masahiro, tak membukakan pintu dan Masahiro berjinjit untuk membuka sendiri tapi pintunya dikunci. Samar, Masahiro ingat gadis cantik yang datang dengan kakaknya tadi sore dengan keadaan basah kuyup.
Jadi kaki kecilnya pun berlari menuju kamar Kazuki. Untunglah Kazuki belum tidur. Kakak keduanya itu masih duduk duduk di tempat tidur, membaca dengan diterangi lampu tidur. Masahiro malu menjawab kalau ia takut tapi Kazuki memandangnya dengan khawatir.
"Masahiro?"
Nyala terang kilat membuat ruangan itu terang sesaat diikuti dengan suara menggelegar keras yang membuat jendela bergetar dan Masahiro pun berlari, dengan sigap melompat ke tempat tidur lalu meringkuk di sebelah kakaknya. Tubuhnya gemetar dan kepalanya disurukkan ke antara bantal yang menyangga punggung Kazuki dan lengan besar kakaknya. Kedua tangannya menutupi telinganya.
Kazuki mengernyit. Petir barusan memang kencang sekali. Diliriknya sosok adik bungsunya yang meringkuk ketakutan. Dokter muda itu tersenyum, ditutupnya novel bacaannya, menyingkirkannya ke atas meja dan merengkuh tubuh Masahiro dalam pelukannya.
"Kamu ini, sudah kelas 6 masa masih takut sama petir?" Kelakarnya sambil menepuk-nepuk gundukan kecoklatan rambut Masahiro.
Masahiro hanya menggerung sambil menggelengkan kepalanya yang disurukkan makin dalam ke dada sang kakak. Kazuki menghela nafas dan memeluk sang adik dengan lebih erat.
Masahiro nyaris jatuh tertidur. Rasanya nyaman sekali dipeluk Kazuki. Kakak keduanya itu biasanya selalu serius dan tak akan segan memarahi Masahiro yang memang tak bisa diam dan selalu membuat onar. Tetapi sentuhan tangannya di kepala Masahiro, pelukan dan senyumnya selalu terasa hangat dan Masahiro tahu kalau kakaknya itu sangat sayang padanya.
"Sudah tenang? Petirnya sudah berhenti tuh." Suara Kazuki terdengar samar. Masahiro mengangkat kepalanya perlahan, mengintip ragu ke arah jendela dan telinganya mendengar dengan waspada. Sudah tak ada petir, yang tersisa hanya suara gemuruh hujan yang belum reda.
Kazuki melepas kacamatanya dan menyimpannya dengan rapi di atas novelnya. Dibiarkannya Masahiro beringsut turun dari pangkuannya meskipun kedua lengannya masih memeluk erat lengan Kazuki.
"Nii-san tidak takut petir?" Tanyanya lugu.
Kazuki tertawa kecil. "Takut. Tentu saja takut. Kalau tersambar kan berbahaya."
"Mou." Masahiro merengut, pipi bulatnya menggembung sempurna dan Kazuki mencubitnya dengan gemas.
"Sudah diajari caranya menghindari petir kan di sekolah?"
Masahiro mengangguk.
"Masahiro tahu kalau rumah kita ini dilengkapi penangkal petir?"
Kepala mungil itu mengangguk lagi. Kazuki tersenyum. "Nah, berarti Masahiro tak perlu takut dengan petir kan? Karena Masahiro aman di dalam rumah."
Masahiro menggigit bibir lalu melirik pada Kazuki yang memandangnya, menunggu jawaban dari sang adik. Masahiro beringsut, berbaring miring tanpa mau melepaskan lengan sang kakak yang terasa nyaman, hangat dan aman.
Kazuki mengacak rambut sang adik dengan gemas. "Masih takut?"
Masahiro menggeleng. "Tapi aku boleh tidur sama Nii-san kan?"
Kazuki tertawa lalu menghela nafas. Ditariknya selimut untuk menutupi tubuh mungil adiknya. Pria itu merunduk untuk mendaratkan sebuah kecupan di kening Masahiro.
Masahiro beringsut lagi, mencari posisi yang benar-benar nyaman sebelum menutup mata. Ia menguap lebar dan menggumamkan "Oyasumi, Nii-san."
Kazuki tersenyum. "Oyasumi, Masahiro." Lalu mengambil kacamata dan novelnya lagi.
------
Kazuki mengangkat kepalanya dari bacaannya saat mendengar pintu kamarnya diketuk. Kazuki mengernyitkan kening, melirik jam dan baru sadar kalau malam sudah larut sekali.
"Ya?" Sahutnya saat pintunya diketuk lagi.
Kubota melangkah masuk. "Hei, belum tidur?"
Kazuki mengangkat novelnya. "Ada apa, Yuuki?"
"Tadi petirnya kencang sekali kan? Aku ke kamar Masahiro untuk melihat keadaannya tapi ia tak ada." Jawab Kubota dengan wajah setengah khawatir.
Kazuki tak menjawab, hanya menoleh pada gundukan di sampingnya. Kubota menghela nafas lega. Ditutupnya pintu, melangkah masuk dan duduk di tepi tempat tidur Kazuki. Diliriknya adik bungsu mereka yang sudah tertidur dengan lelapnya. Dengan iseng, ditusuknya pipi bulat sang adik dan tertawa saat Masahiro menggumam sebal.
"Yuuki." Tegur Kazuki.
Kubota hanya menjulurkan lidah. Petir menyambar lagi di luar sana. Kazuki mengernyit tapi tak berkata apapun dan melanjutkan membaca. Saat tak mendengar apa-apa dari sang kakak, Kazuki melirik. Didapatinya Kubota sedang memandangnya dengan senyum lembut.
"Apa?"
"Kau tak apa-apa?"
Kazuki mengangkat alis tak mengerti.
"Masih juga takut petir? Karena itu kau tak pernah tidur dan membaca sampai larut kalau ada badai kan?"
Tanpa sadar, Kazuki merengut. Semburat merah menjalari leher dan telinganya. Pria itu melengos dan Kubota tertawa seraya menjulurkan tangan untuk menepuk-nepuk lutut Kazuki yang tertutup selimut. Lalu ia naik ke tempat tidur, menyusup ke balik selimut dan berbaring di sebelah Masahiro.
Kazuki menatapnya. "Sedang apa sih?"
Kubota menghela nafas dengan santai. "Menjaga adikku. Tidurlah."
Kazuki ikut menghela nafas, mengernyit kala petir menyambar lagi. Kali ini ia menyerah dan ikut berbaring. Kedua pria itu merapat pada Masahiro yang menggeliat pelan dan bergumam sesuatu dalam tidurnya.
Kazuki tersenyum kecil, menatap Kubota dengan sayang. "Oyasumi, ......Nii-san."
Kubota nyengir. "Oyasumi."