Sunday, August 12, 2012
[fanfic] Koi ni Ochittara
Tuesday, June 12, 2012
[fanfic] Kore Kara Mo Zutto
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I only owned the plot
Note: Shirason Kyoudai AU. Untuk Tacchin sayang dan penggemar KyoFumi lainnya yang bisa dihitung sebelah tangan di luar sana XD Ini jinak kok, Tacc dan gak jadi pake iklan obat mata itu LOL
Fumiya yakin dia tak pernah punya selimut berwarna coklat di kamarnya. Tambahan lagi, sejak kapan kasurnya terasa lebih keras dari biasanya?
Fumiya mengerjap bingung. Dia pasti belum bangun dan masih bermimpi tapi dentuman keras dan rasa berat di bagian belakang kepalanya ini sepertinya bukan mimpi. Pemuda itu mengerutkan kening dan mengerang sebal. Sial, berapa gelas yang dihabiskannya semalam? Mengingat dirinya cukup tahan alkohol berarti memang banyak sekali yang ditenggaknya di kedai sake itu.
Kenapa juga dia minum sebanyak itu semalam? Kepalanya benar-benar tidak dalam kondisi bisa diajak berpikir apalagi mengingat tapi ia sungguh penasaran. Pemuda itu berputar dan membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Hmm, kenapa wangi bantalnya pun beda ya? Apa dia mengganti pewangi cuciannya?
Ia mengerang lagi. Dia benci sekali saat-saat seperti ini. Padahal hari ini dia harus melakukan inventaris buku-buku baru. Mana bisa dia berdiri di atas tangga atau berjalan mondar-mandir kalau kondisinya begini? Atasan dan teman kerjanya pasti akan menegurnya karena masuk kerja dengan keadaan hang over berat begitu.
“Sudah bangun ya? Bisa duduk? Sebaiknya minum ini dulu supaya lebih enak.”
Otomatis, tubuhnya bergerak; berputar pelan lalu mengulurkan tangan dan merasakan dua butir pil diletakkan di telapak tangannya yang terbuka. Dengan patuh dan setelah susah payah menarik tubuhnya untuk duduk, ia menelan pil-pil itu lalu meminum air putih yang disodorkan berikutnya. Fumiya mendesah lalu berusaha membuka matanya.
Seorang pria bertubuh lumayan besar, berkulit coklat berdiri di dekat tempat tidur, tersenyum ramah padanya. “Dou?”
Fumiya mengangguk kecil.
Siapa?
“Jam berapa?” Tanya Fumiya sambil memicingkan mata karena sinar matahari yang masuk dari jendela di sebelah kanan tempat tidur itu terlalu menyilaukan untuknya. Hmmm, sepertinya jendela di kamarnya di sebelah kiri.
Pria itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Kenapa orang ini sudah serapi itu? Ini kan masih pagi sekali. “Jam tujuh seperempat. Masih ada waktu, kok.”
Fumiya mengangguk-angguk lagi sambil menghabiskan air putih di dalam gelas yang masih dipegangnya lalu diulurkannya pada pria itu yang menyambut masih dengan senyum.
“Aku sedang buat sarapan. Mau makan? Ada kopi juga, kalau mau.”
Siapa orang ini?
Fumiya mengangguk. “Un. Kopi.”
Pria itu ganti mengangguk kemudian berlalu keluar kamar sementara Fumiya kembali merebahkan tubuhnya dan menutup matanya lagi. Minum-minum di hari kerja. Poin minus, Takahashi Fumiya, rutuknya dalam hati. Sekali lagi, Fumiya mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Ia ingat dia lembur untuk menyiapkan inventarisasi hari ini. Hitung-hitung mengurangi beban pekerjaan supaya tak terlalu repot dan lembur dua malam berturut-turut. Padahal teman kerjanya sudah bilang bersedia datang lebih pagi dan membantu Fumiya tapi ia memaksa. Kenapa? Fumiya memaksa otaknya untuk mengingat.
Karena orang itu. Orang yang dua bulan belakangan ini datang ke perpustakaan umum tempatnya bekerja. Orang itu datang hampir tiap hari sepulang jam kerja, mengambil kamus dan buku panduan bahasa Inggris lalu duduk di sudut. Ia akan duduk di situ sampai perpustakaan tutup jam setengah sembilan malam. Fumiya yang membantunya mencari buku karena bulan-bulan ini sedang gilirannya shift malam. Semalam, entah kenapa, Fumiya mengajak pria itu ke kedai sake di blok tiga dan entah kenapa pula pria itu mau. Padahal mereka sama sekali tak pernah bicara lebih dari tiga kalimat sebelumnya dan itu pun hanya menanyakan buku ini ada di mana dan oh, ada di rak keempat dua baris dari kiri.
Orang itu. Fumiya membuka matanya dan duduk tegak lagi. Mereka mulai minum dan Fumiya mulai mengoceh tentang banyak hal dan mungkin beberapa di antaranya terlalu pribadi. Pria besar itu yang tadi memberinya aspirin dan air dan tersenyum dengan ramah dan penuh pengertian. Kenapa orang itu bisa ada di sini?
Perlahan-lahan, Fumiya mulai memperhatikan isi kamar itu dan mulai menyadari kalau kamar berukuran enam kali enam itu sama sekali bukan kamarnya. Juga, kenapa ia tidak pakai baju?
Dalam sekejab, Fumiya terlanda panik.
“USOOOO!!!”
*****
Takagi Kyoushiro terbahak pelan sementara pemuda mungil yang duduk di hadapannya di meja makan itu merengut sebal dan menolak memandang ke arahnya. Diperhatikannya Fumiya yang lebih tertarik mengobrak-abrik telur dadarnya dibanding memakannya. Ia sendiri memaksa dirinya untuk menelan makanannya dan berharap kopinya cukup ampuh untuk mengusir pusing.
Mungkin seharusnya dia tidak minum-minum semalam tapi siapa yang bisa menolak kalau yang mengajak semanis itu? Pakai acara malu-malu segala, lagi. Selama ini Kyoushiro berpikir dia bukan tipe pria yang mau saja pergi minum dengan orang yang tidak dikenalnya dengan baik (kecuali klien dan itu lain soal). Dia tak suka kalau harus berurusan dengan implikasi apapun yang umumnya timbul akibat mabuk dengan orang tak dikenal.
Tapi Kyoushiro tidak menyesali yang satu ini. Sama sekali tidak.
Petugas perpustakaan yang manis itu, yang biasanya selalu menghindari tatapan mata Kyoushiro dan langsung buru-buru pergi setelah menjawab pertanyaannya, semalam tanpa sungkan langsung nyerocos tentang kehidupan pribadinya setelah menghabiskan 3 gelas bir. Kyoushiro tersenyum simpul mengingat itu. Lucu sekali. Mungkin ia butuh teman dan kalau tak salah, Fumiya mengaku ia tak punya teman dekat. Tinggal sendirian di Tokyo dan jauh dari orang tua rupanya cukup membuatnya stres. Kyoushirou paham sih. Dia sendiri tak begitu dekat dengan teman sekolah ataupun teman kuliah tapi sampai tiga bulan yang lalu, dia punya pacar jadi rasanya tak sesepi itu.
“Ano, Takagi-san…”
Kyoushiro mengangkat kepalanya, “Ah, gomen. Hanya teringat sesuatu. Mau tambah kopinya?”
Fumiya mengerjap lalu menggeleng. “…Arigatou. Umh, maksudku,” pemuda itu berhenti sejenak dan semburat merah menjalari leher dan telinganya. Sekali lagi, Fumiya menolak melihat ke arahnya. “Iie, nandemonai.”
Kyoushiro mengangkat alis. “Tidak apa-apa loh. Kalau memang ada yang ingin dikatakan, katakan saja. Toh, Fuumiya-kun sudah bercerita banyak hal padaku kan semalam?” Kyoushirou mencoba tersenyum.
“…sore dake ka?” Fumiya bergumam.
“Eh?”
“Iie.” Fumiya buru-buru menggeleng dan kembali sibuk dengan makanannya. Kali ini dia menyuap beberapa kali dan Kyoushiro senang melihatnya.
“Apa rasanya enak?”
Fumiya menatapnya dengan bingung.
Kyoushiro menggaruk bagian belakang kepalanya dengan sedikit salah tingkah, “Ah, maksudku, selama ini aku hanya masak untuk diriku saja dan dulu selalu pacarku yang memasak untukku jadi aku tak yakin dengan rasanya.”
“….Takagi-san punya pacar?”
Kyoushiro tidak yakin kenapa Fumiya terlihat begitu terkejut. “Dulu ya.”
“Jadi sekarang… tidak?”
“Tidak,” Kyoushirou menggeleng, “Sama sekali tidak.” Ia kemudian mengerutkan kening, bingung kenapa harus mengatakannya seperti itu. Ia kemudian menyesap kopinya, pura-pura tak melihat Fumiya menghela nafas dan mencoba tidak mempertanyakan apapun itu.
“Rasanya enak, kok.” Fumiya kemudian berujar pelan. “Setidaknya, ini lebih enak dari masakanku.”
Kyoushiro tersenyum. “Yokatta.”
*****
Fumiya membenamkan wajah ke balik lipatan syal yang membelit lehernya. Sarapan singkat yang lebih banyak dihabiskan dalam diam itu tak membuat perasaannya jadi lebih baik. Mungkin dia harus pesan makan siang yang banyak nanti. Dan dua gelas kopi lagi.
Berkali-kali, ia melirik ke arah pria besar yang berjalan di sampingnya itu. Kyoushiro menjaga jarak yang cukup aman dengan dirinya. Tidak jauh tapi juga tidak terlalu dekat sampai membuat mereka merasa tak nyaman. Dibilang begitu pun, rasa tak nyaman itu tetap ada. Kyoushiro terlihat begitu santai dan Fumiya merasa ini tidak benar.
“Ano, Takagi-san,”
“Ah! Kalau tidak keberatan, besok mau pergi bersama lagi?” Kyoushiro memotong niatnya bertanya dan membuat Fumiya menatapnya dengan mata terbelalak. Orang ini serius, ya? Fumiya sungguh tak habis pikir. Kyoushiro sepertinya tidak menyadari ekspresi Fumiya dan melanjutkan pertanyaannya. “Aku tahu kedai es krim enak di sekitar sini. Mungkin Takahashi-kun mau coba?”
“Nande?”
“Eh? Karena es krim di kedai itu enak sekali. Aku sudah dua kali ke sana dan Takahashi-kun suka yang manis-manis kan?”
“Nande?”
“Eh?” Kyoushiro tertawa bingung dan Fumiya jadi kesal. “Ya, karena seperti yang sudah kukatakan tadi. Apa Takahashi-kun keberatan keluar denganku lagi?”
“Bukan itu masalahnya kan?!” Suara Fumiya meninggi dan tanpa sadar, kedua tangannya mengepal menahan marah. “Kenapa Takagi-san bisa sesantai ini? Apa selalu seperti ini dengan semua orang yang mengajakmu minum lalu tidur bersama? Aku tidak bilang aku tidak salah tapi setidaknya katakan sesuatu dong. Aku tidak biasa seperti ini dan aku belum tentu mau bertemu dengan Takagi-san lagi kan? Kenapa bisa sesantai itu bicara, membuatkan sarapan segala lalu mengajakku keluar lagi. Memangnya Takagi-san tidak merasa aneh?”
Fumiya yakin ia nyaris menangis. Rasanya mau lari saja karena Kyoushiro menatapnya dengan pandangan yang begitu bingung. Oke, ralat. Dia ingin memukul Kyoushiro. Kalau pria itu tidak berkata apapun juga, Fumiya bersumpah dia akan memukul pria itu.
“Anu, Takahashi-kun, memangnya kita tidur bersama?”
“…………Eh?”
Kyoushiro balas menatapnya.
“Tidak?”
Kyoushiro menggeleng.
“Nande?”
“Nande tte…” Kyoushiro tertawa gugup. “Apakah seharusnya kita tidur bersama?”
“Bukan itu maksudku!” Fumiya buru-buru membuang muka. Merasa begitu malu dan bodoh karena sudah berpikir yang tidak-tidak. Tapi kan bukan salahnya. Terbangun di kamar asing dan tidak pakai baju setelah mabuk dengan orang tak dikenal, biasanya mengarah ke situ kan? Lagipula, kalau Kyoushiro punya keberanian untuk melucuti pakaiannya, kenapa dia tidak melakukan apa-apa? Memangnya dirinya sebegitu tidak menariknya sampai Kyoushiro tidak menyentuhnya sama sekali?
Fumiya buru-buru menepis pikiran itu. Apa-apaan sih? Sekarang bukan waktunya!
Lagi-lagi Kyoushiro menggaruk bagian belakang kepalanya. “Gomen. Aku bukannya biasa seperti ini tapi semalam menyenangkan sekali, loh. Aku senang kamu mengajakku minum dan bercerita banyak hal padaku. Padahal kupikir kamu takut padaku, loh. Karena itu semalam aku senang sekali dan kalau bisa jadi berteman denganmu, aku tidak keberatan.”
Teman?
“Tapi Takagi-san kan jauh lebih tua dariku. Memangnya tidak apa-apa?”
Kyoushiro mengangkat bahu. “Aku rasa itu bukan masalah kan? Buktinya semalam Takahashi-kun bisa bicara panjang lebar denganku.”
Fumiya membuang muka dan bergumam, “Aku kan mabuk.”
“Takahashi-kun takut padaku?” Kyoushiro bertanya dengan hati-hati.
Fumiya ingin menggeleng. “…..Un.”
“Jya, kenapa mengajakku keluar semalam?”
Kali ini ia menggeleng, “Tidak tahu. Rasanya ingin menangis tapi aku tidak tahu kenapa aku mengajakmu keluar semalam. Hanya ingin saja. Entahlah. Jangan tanya lagi.”
Kyoushiro tertawa pelan. Dengan lembut, diletakkannya tangannya di atas kepala Fumiya dan menepuk pelan. “Karena itu, aku mengajakmu keluar lagi. Supaya Takahashi-kun tidak takut lagi padaku. Aku ini benar-benar tidak menggigit loh.”
Fumiya terdiam lalu memandang Kyoushiro dengan tak yakin. Kyoushiro tersenyum dan untuk pertama kalinya, Fumiya merasa senyum pria itu manis sekali dan Kyoushiro sama sekali tak terlihat seram atau menakutkan.
“Kedai es krim?”
Kyoushiro mengangguk antusias. “Iya. Tempatnya tidak begitu ramai tapi es krimnya enaaaaaaaaak sekali.”
“Takagi-san yang bayar?”
Kyoushiro terbahak. “Baiklah. Pertama kali aku yang traktir.”
“Takagi-san,”
“Hai?”
Fumiya mendului pria itu dan membungkuk di depannya, “Yoroshiku.”
Kyoushiro tersenyum lebar. “Un. Yoroshiku na.”
-end-
Monday, April 2, 2012
[fanfic] Help
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I own nothing
Note: Happy belated birthday, Ue-chaaaaaaaaan!!
Kalau belum terlalu larut, mampir ke rumah ya.
Pesan singkat itu terpampang di layar handphone-nya, membawa seulas senyum di bibir Yuusuke. Ibu jarinya baru saja hendak menekan tombol ‘reply’ ketika sebuah pesan baru masuk.
Jam berapapun, pokoknya datang saja ya.
Kali ini Yuusuke tertawa dan harus menutup mulut dengan tangannya karena beberapa tamu kedainya melirik ke arahnya dengan tatapan bingung. Yuusuke membungkuk minta maaf dan buru-buru mengantongi kembali handphone-nya. Ia merasa Kinari tak menunggu jawaban darinya.
Pintu kedai terbuka dan Yuusuke menoleh, “Irassh---“
“OTANJOUBI OMEDETOU, YUUSUKE! –SAN!”
Yuusuke merasa ia nyaris saja tuli dengan seruan yang datang dari teman-temannya itu. Semua orang di dalam kedai menoleh terperangah, termasuk Yuusuke yang memandang teman-temannya dengan bingung. Wajah-wajah yang tertawa atau tersenyum sumringah. Oumi berdiri menjulang di tengah, kedua tangannya membawa sebuah cake dengan beberapa lilin menyala. Menit berikutnya, Yuusuke tertawa dan menghampiri teman-temannya itu.
“Ke, hahahaha, kenapa kalian tahu ulang tahunku?” tanyanya, menerima kue yang diulurkan Oumi.
Mao nyengir, “Tentu saja kami tahu ulang tahunmu, kau pikir kami teman macam apa?”
Yuusuke tertawa lagi. Ia tersenyum malu-malu dan membungkuk, “Terima kasih, ya.”
“Ayo, ditiup dong.” Sergah Fumiya tak sabar.
“Ah, hai, hai.” Yuusuke menarik nafas dan meniup semua api lilin yang menyala dalam sekali tiupan. Teman-temannya bertepuk tangan dan berseru riang, begitu juga tamu-tamu yang lain. Pria itu membungkuk beberapa kali, berterima kasih pada tiap orang.
“Ini dari kami,” Fumiya dan Okazaki mengulurkan masing-masing satu kantong kertas berukuran sedang yang diterima Yuusuke dengan satu tangan. “Ah, arigatou.”
“Yang ini titipan dari Jinnai,” Mao mengulurkan sebotol sake. “Akan kusimpankan untukmu,” ujarnya lagi karena kedua tangan Yuusuke sudah penuh dan menghilang ke bagian belakang toko. Yuusuke meminta seorang asisten tokonya untuk mengambilkan pisau. Ia memutuskan untuk membagi-bagi kue ulang tahunnya dengan semua orang yang ada di situ.
“Ah, aku tadi mencoba menelepon Kareshi-san tapi katanya dia masih sibuk di tempat baitonya. Tapi kurasa dia pasti sudah menelepon Yuusuke-san, ya.” Komentar Oumi sambil melepas jaketnya dan duduk di salah satu kursi.
Yuusuke hanya tersenyum. “Sebut saja kalian mau apa, ya. Khusus hari ini, es krimnya gratis.”
“YEEEEEEEEEEEEEEEEEYYYYYYYYYYYYYY!!!!”
*****
Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam ketika Yuusuke mengeluarkan sepedanya dari garasi di samping rumah. Pintu samping terbuka, menyembulkan wajah ibunya yang mengingatkannya untuk berhati-hati di jalan dan jangan lupa untuk mampir ke apotik 24 jam sebelum pulang karena obat maag ayahnya sudah habis. Yuusuke menaiki sepedanya dan melambaikan tangan.
Udara malam itu masih cukup dingin dan Yuusuke setengah menyesal kenapa ia tak mengenakan jaket yang lebih tebal tapi buru-buru dibuangnya jauh-jauh perasaan itu karena hari ini ia cukup senang. Teman-temannya tinggal sampai makan malam, ibunya membuat shabu-shabu spesial untuk mereka semua, Mitsuya dan Jinnai mampir sebentar dan Yuusuke akhirnya membuka botol sake yang dibawakan Mao tadi. Ia pun akhirnya tak tahan untuk tidak mengirim pesan pada Kinari dan meledeknya karena tak datang dan melewatkan semua kesenangan itu. Kinari tak menjawab.
Lima belas menit kemudian, Yuusuke memarkir sepedanya di parkiran sepeda di depan gedung apartemen dimana Kinari tinggal. Pria itu memilih untuk lewat tangga menuju lantai lima dibanding naik lift. Langkah-langkahnya terasa ringan saat menapaki dua anak tangga tiap kali. Ia menimbang-nimbang mungkin sebaiknya ia memberitahu Kinari kalau ia sudah sampai; mengingat hari sudah cukup larut, rasanya agak tak enak kalau harus menekan bel tapi niat itu tak terlaksana. Jendela di samping pintu apartemen bernomor 507 itu masih menunjukkan kalau lampu di dalamnya masih menyala. Yuusuke berusaha mengintip ke dalam tapi pandangannya terhalang korden yang tertutup rapat.
Mungkin sebaiknya mengetuk saja, pikirnya. Tangannya sudah terangkat ketika didengar suara benda jatuh dari dalam apartemen diikuti umpatan tertahan. Ia mengenali suara itu. Suara barang lain jatuh, kali ini lebih pelan dari yang pertama, lagi-lagi disusul dengan umpatan; kali ini lebih panjang dari yang pertama. Yuusuke tak perlu berpikir dua kali dan mengetuk pintu dengan tak sabar.
“Kinari? Ada apa? Kinari!”
Kembali terdengar suara-suara disusul suara gerendel pintu dan kunci dibuka. Yuusuke mundur selangkah, tepat saat pintu didorong membuka dari dalam. “Maaf, tadi hanya tempat sampah yang tertendang dan--- Yuusuke!”
Kinari sendiri yang membuka pintunya tapi bukan itu yang membuat Yuusuke tak segera menjawab. Kinari tampak… berantakan. Rambutnya yang biasanya jatuh dengan lembut membingkai wajahnya kali ini terlihat sedikit acak-acakan. Kaus yang dikenakannya basah di bagian depan dan Yuusuke bisa mencium samar aroma sake dari kekasihnya itu. Ia bertelanjang kaki dan nampak kesal dan lelah.
“Ada a--- ah!” Kinari menepuk keningnya, satu tangannya menggenggam lap meja. “Aku kan memintamu mampir ya. Aku benar-benar lupa.” Dilihatnya Kinari melirik ke dalam rumah dengan ekspresi sedikit khawatir sebelum kembali memandangnya. Kinari melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya. Diremas-remasnya lap tangan yang dibawanya itu dengan gelisah. “Ahaha, padahal aku sendiri yang mengundangmu kemari ya,” Kepalanya tertunduk memandang kakinya, “Umh, maaf, tapi sepertinya….”
Kalimatnya terputus oleh Yuusuke yang melangkah maju dan meletakkan kedua telapak tangannya di masing-masing pipi Kinari; dengan lembut memaksa Kinari untuk memandangnya. Yuusuke meneliti wajah kekasihnya itu baik-baik. Kedua mata kecoklatan Kinari terlihat sedih, khawatir, kesal dan lelah sekaligus sedikit takut. Satu ibu jari Yuusuke bergerak menghapus sisa air mata di sudut mata Kinari.
“Ah,” Kinari tertawa canggung dan mengangkat tangannya sendiri untuk mengusap matanya dengan punggung tangan. “Kemasukan debu. Aku… sedang bersih-bersih, hahaha…”
“Kinari,” Yuusuke memanggil namanya dengan lembut dan Kinari pun terdiam, “Ada apa?”
Tangan Kinari mendarat di atas tangan Yuusuke yang masih menyentuk pipinya, sedikit gemetar. Kinari menggigit bibirnya kuat-kuat dan ia menggelengkan kepalanya keras-keras hingga Yuusuke takut Kinari akan jadi pusing karenanya. Disambutnya Kinari yang melingkarkan kedua lengan ke sekeliling tubuh Yuusuke dengan erat dan mungkin terlalu kencang tapi Yuusuke tak terlalu peduli.
*****
Kinari menyusut hidungnya dengan sapu tangan lalu tertawa pelan, “Maaf ya, Yuusuke.”
Yuusuke mengangsurkan sekaleng kopi hangat yang baru saja dibelinya di mesin otomatis di seberang apartemen Kinari. “Kenapa minta maaf?” tanyanya sambil mendudukkan diri di sebelah Kinari di atas bangku kayu di taman itu. Yuusuke tadi mengajaknya turun ke taman apartemen (mungkin setengah menggeret Kinari karena pacarnya itu nampak enggan bergerak dan lebih memilih untuk tetap memeluknya saja) dan duduk di bangku taman. Suasana lebih tenang di taman itu dan supaya tak mengganggu tetangga Kinari karena Kinari tampak agak enggan membiarkan Yuusuke masuk ke dalam apartemennya.
“Karena kamu harus melihatku seperti ini,” ujar Kinari sambil menyesap kopinya.
Yuusuke tertawa pelan sambil mengusap lembut kepala Kinari. “Daijoubu. Sesekali melihatmu seperti ini bagus juga, kok.”
“Mou,” Kinari menyenggol pundak Yuusuke dengan pundaknya sendiri dan tak bisa menahan senyum karena Yuusuke pun tersenyum padanya.
Mereka terdiam beberapa lama. Kinari menyandarkan pelipisnya di ujung pundak kokoh kekasihnya dan Yuusuke hanya menikmati kopi bagiannya tanpa berkata apa-apa. Beberapa jenak kemudian, Yuusuke menggerakkan kepalanya untuk mengecup pucuk kepala Kinari, membuat pemuda itu mendesah pelan dan akhirnya duduk tegak lagi. Kinari menarik dan menghela nafas beberapa kali. Yuusuke melirik ke arahnya dan sekali lagi menepuk bagian belakang kepala Kinari dengan sayang.
“Aku hanya berharap kau mau lebih percaya padaku,” ujarnya lembut.
Kinari menggigit bibir, “Aku… hanya tak ingin kau ikut repot gara-gara Ibuku.”
Yuusuke mengetuk-ngetuk pinggiran kaleng kopinya dengan ujung jemarinya. “Dulu, Sho-chan sering marah padaku karena katanya aku ini terlalu suka ikut campur urusannya tiap kali kutegur sehabis berkelahi, kau tahu?” Kinari menggelengkan kepalanya. “Aku hanya berpikir, karena ia temanku dan kupikir potensi seperti itu sebaiknya disalurkan di tempat lain yang lebih berguna.”
“Yuusuke sekali ya,” ujar Kinari sambil tertawa pelan, “Selalu positif tentang orang lain.”
“Ahahaha, sou yade? Yah, mungkin memang begitu ya. Tapi, kamu ini kan bukan sekedar temanku, loh. Kamu pacarku. Kalau aku tak diberitahu hal seserius ini, aku tidak tahu harus bagaimana.”
“Aku pun tidak tahu harus bagaimana,” Kinari bergumam sambil mengangkat bahunya dengan tak bersemangat. “Aku…”
“Kupikir ibumu ada di pusat rehabilitasi?”
Kinari mengangguk, “Sampai dua minggu yang lalu.” Pemuda itu menengadahkan kepala, memandang kosong ke arah lampu taman di seberang mereka. Yuusuke memperhatikan helaian poni panjangnya yang bergerak lembut dan menjulurkan tangan untuk menyelipkan helain halus itu ke belakang telinga Kinari.
“Aku sudah cerita kan, Ibu jadi seperti itu sejak Ayah pergi. Dengan keputusan keluarga, kami memasukkan Ibu ke pusat rehabilitasi. Tapi, keluarga pamanku yang selama ini membiayai perawatan Ibu sedang kesusahan. Mereka butuh biaya banyak untuk memperbaiki rumah mereka yang terbakar juga membayar sewa apartemen sementara. Karena itu, tak ada pilihan lain selain membawa Ibu pulang dan merawatnya di rumah. Kondisi Ibu pun sedang baik.”
“Ada yang terjadi hari ini?” Yuusuke mengusap punggung Kinari seolah member keberanian untuk melanjutkan ceritanya.
Kinari diam beberapa saat, menyesap kopinya lalu berujar pelan, “Kemarin Ayah menelepon. Biasanya Ayah menelepon hanya di hari Minggu tapi kali ini beliau menelepon karena tahu Ibu ada di rumah dan Ayah ingin bertemu dan ingin bicara pada Ibu. Entah untuk apa. Aku sedang di kamar mandi saat itu jadi Ibu yang mengangkat. Rupanya itu memicu Ibu dan… “ suara Kinari bergetar menahan luapan emosinya, “Ibu mengamuk.”
Yuusuke sama sekali tak tahu harus berkata atau berbuat apa jadi dilanjutkkannya mengusap punggung Kinari yang kembali tampak kesal dan sedih. Ia merasa simpati dan ikut sedih tapi dengan jujur ia akan mengakui kalau ia tak bisa sepenuhnya mengerti perasan Kinari. Ia hanya tahu kalau saat ini Kinari pasti sangatlah marah dan kesal juga sedih, mungkin sedikit merasa tak berdaya.
“Ibu hanya bisa tenang saat tertidur, itu pun setelah kupaksa meminum obatnya. Tapi tadi entah bagaimana Ibu menemukan kunci lemari tempat aku menyembunyikan minuman keras dan…” Kinari melambai pada bagian kausnya yang masih sedikit basah. “Aku tak bisa meninggalkan Ibu yang seperti itu tapi aku tak bisa lama-lama bolos kerja sambilan.”
“Aku sama sekali tak tahu harus bagaimana, Yuusuke.” Kinari mengepalkan kedua tangannya, menjatuhkan kaleng kopinya dan membuat sisa cairan gelap itu tumpah ke tanah.
Yuusuke mengecup keningnya dan memeluknya erat-erat. Tak berkata apa-apa.
*****
To: Ueda Yuusuke
From: Hirano Kinari
Subject: Gomen.
Kemarin terima kasih ya. Dan maaf karena aku jadi mengacaukan ulang tahun Yuusuke. Besok ada waktu? Mungkin aku bisa mampir sebentar ke tempatmu dan membawa kue.
To: Hirano Kinari
From: Ueda Yuusuke
Subject: Iie
Aku sudah dapat kue dari yang lain dan sake dari Sho-chan. Bawakan aku pie lemon-mu yang enak itu :p
To: Hirano Kinari
From: Ueda Yuusuke
Subject: Oh
Lebih baik lagi, tak usah bawa apa-apa :)
*****
Baru kali itu Kinari merasa sedikit gugup saat mau bertemu Yuusuke. Rasanya seperti datang ke kencan pertama mereka dulu. Tapi mungkin kali ini karena ia masih merasa sedikit malu karena sudah kelepasan tak terkendali seperti itu di depan Yuusuke. Memang sih, Yuusuke pacarnya tapi pakai menangis tak terkendali di pelukan Yuusuke itu cukup memalukan untuknya. Karena itu, ia sengaja datang menjelang waktu kedai es krim itu tutup. Dan berharap pada apapun di muka bumi ini kalau rombongan berisik dan selalu ingin tahu itu kali ini, untuk kali ini saja, tak ada di kedai.
Sapaan ramah dan hangat khas kedai itu menyambutnya begitu Kinari membuka pintu. Sayangnya bukan Yuusuke yang berjaga. Pelayan kedai itu tersenyum ramah padanya dan mengatakan kalau Yuusuke sudah berpesan padanya untuk langsung saja masuk ke rumah karena Yuusuke sedang keluar mengantar pesanan untuk pesta.
Kinari duduk menunggu di ruang duduk kecil di bagian belakang kedai yang biasanya digunakan untuk mengurus administrasi kedai itu. Ruang itu tadinya hanya lorong yang menghubungkan kedai dengan bagian rumah tinggal di belakangnya namun diubah fungsinya setelah kedai itu berkembang lebih maju dan ramai pengunjung. Sebuah jendela kecil menghubungkan ruang itu dengan bagian kasir di depannya. Pelayan toko mengantarkan secangkir teh hijau hangat dan semangkuk biskuit beras.
Yang ditunggu datang setengah jam kemudian tapi Kinari masih harus menunggu sedikit lebih lama karena itu bertepatan dengan waktu tutup kedai jadi Yuusuke harus membantu beres-beres sebentar. Ketika akhirnya Yuusuke duduk di depannya, Kinari mengerjapkan kedua matanya dengan heran; memandang dua buah amplop coklat tebal yang diletakkan Yuusuke di atas meja dan didorong pelan ke arahnya.
“A, apa ini?”
Yuusuke tak langsung menjawab, karena itu Kinari mengambil sebuah dan mengintip isinya. Matanya membelalak tak percaya dan detik berikutnya, kedua alisnya berkerut tak senang dan ia menatap Yuusuke dengan curiga.
“Yuusuke, serius. Ini apa?”
Yuusuke menggaruk ujung hidungnya lalu meringis. “Sudah kuduga. Ini…”
“Aku sama sekali tidak mengharapkan ini.” Kinari memotong ucapan pacarnya itu, menahan nadanya agar tak terdengar marah tapi ia tetap tampak tersinggung.
Yuusuke menyentuh tangan Kinari yang terlihat seperti mau melempar amplop itu ke tempat sampah. “Tunggu. Setidaknya dengarkan dulu apa yang mau kukatakan. Ya?”
Kinari menarik nafas lalu meletakkan amplop tebal itu kembali ke atas meja. Yuusuke memiringkan kepalanya sedikit, “Ookini.” Ia kemudian meletakkan tangannya di atas amplop yang tadi diletakkan Kinari. “Aku sudah berpikir panjang dan aku tak peduli kamu mau menganggapku tukang ikut campur atau apapun tapi kupikir, aku sungguh ingin membantumu. Aku berpikir ini hal yang wajar dan kalau aku bisa, kenapa tidak? Dan sebelum kau menyela, aku akan mengatakan ini: Ini bukan pemberian cuma-cuma loh. Aku tahu kau pasti tak akan mau menerima. Karena itu, anggap saja ini pinjaman jangka panjang. Kamu bisa mengembalikannya kapan saja kamu mau atau menyicilnya semampumu, terserah saja.”
Kinari nampak masih tak bisa menerima kata-kata Yuusuke, “Tapi, ini jumlahnya besar sekali. Aku tak bisa…”
“Kinari, aku ingin membantumu. Dan kalau kau sebegitu khawatirnya, aku sudah membicarakan ini baik-baik dengan orang tuaku. Mereka sudah setuju dan berpendapat bahwa kami memang harus membantumu.”
“Tapi---“
“Tentu saja ada syarat lainnya,” Yuusuke tak menggubris protes Kinari.
“Syarat?”
Yuusuke mengangguk. “Kamu harus berkonsentrasi. Istirahat yang cukup, makan yang cukup jadi kau bisa bekerja dengan baik dan suatu hari nanti, kau harus mau meninggalkan rumahmu dan masuk ke rumah ini.”
Kinari terdiam sejenak, berusaha mencerna perkataan Yuusuke. Sesaat kemudian, “Eh?”
Yuusuke mengangguk. “Kurasa aku tak perlu mengulang perkataanku.” Ujarnya sambil tersenyum lebar.
“EH?” suara Kinari meninggi dan wajahnya memerah. “A, aku… itu… me, memangnya tidak apa-apa seenaknya memutuskan begitu?”
Yuusuke menggelengkan kepala, “Semuanya nanti bisa diatur, kok” ujarnya seraya mengerling.
Kinari menunduk. Sekilas, ia masih nampak tersipu tapi kelamaan Yuusuke bisa melihat kalau Kinari kembali terlihat enggan dan tak enak. Yuusuke mengulurkan tangannya; menyentuhkan ujung jari-jarinya dengan ujung jemari Kinari. Dijentikkannya dengan pelan sampai Kinari mau mengangkat wajah dan memandangnya.
“Aku pun ingin Ibumu mendapatkan perawatan yang terbaik dan sembuh secepatnya.” Ujarnya pelan dan bersungguh-sungguh.
Kinari mencerna perkataan Yuusuke sebelum akhirnya mengangguk. Ia kemudian melirik ke arah amplop yang satu lagi. “Ini juga?”
“Ah, yang itu… itu dari Mao dan teman-teman.”
Mata Kinari kembali melebar tak percaya.
“Maaf. Aku… cerita pada mereka karena aku ingin minta saran dan mereka memaksa untuk menyumbang. Mereka tak mau dengar meskipun aku sudah bilang kalau kau pasti tak akan setuju dan akan menolak. Mereka juga menolak untuk dikembalikan. Kupikir, untuk yang satu ini sebaiknya kau menerima perasaan mereka.”
Kinari kembali terdiam.
“Kalau kau mau mengembalikan, silakan kembalikan sendiri pada mereka ya, meskipun aku tak yakin mereka akan mau menerima.” Yuusuke tertawa pelan.
“Aku…” Kinari menarik nafas. “Ini terlalu banyak.”
Yuusuke menggeleng. “Tak usah dipikirkan. Yang harus kau pikirkan saat ini hanya Ibumu dan bagaimana memberi perawatan yang terbaik. Itu saja. Ya?”
Ketika akhirnya Kinari mengangguk dan tersenyum, Yuusuke merasa ia terlihat begitu cantik. Kinari mengangkat tubuhnya dan bergeser ke sebelah Yuusuke. Untuk beberapa lama, ditatapnya pria tampan itu dan ketika Kinari merangkulnya dan menciumnya, Yuusuke mengerti Kinari tengah berusaha menyampaikan rasa terima kasihnya. Yuusuke membalas tatapannya dengan lembut, juga membalas ciumannya dengan senang hati.
“Nande,” Kinari berbisik di sela ciuman mereka, mengusap bibir Yuusuke dengan ibu jarinya, “soko made boku ni tasukete kureta?”
“Nande tte… mochiron deshou?” Yuusuke tertawa pelan dan mengecup Kinari lagi, “Suki yakara de.”
Yuusuke menganggap semu kemerahan di pipi Kinari itu adalah pemandangan paling imut di muka bumi ini. “Boku mo, Yuusuke ga suki.”
-end-
Thursday, March 15, 2012
[fanfic] Comfort
Tak ada yang lebih membuatnya lebih kesal lagi hari itu saat membuka pintu geser tradisional dan menyelipkan kepala ke antara lembaran noren dan melihat toko mungil itu penuh dengan wajah-wajah yang sangat tak ingin dilihatnya saat ini. Kinari menarik nafas panjang sementara kedua alisnya berkerut tak senang. Rasanya ingin sekali berdiri tegak dan berbalik saja lalu pulang tetapi nampaknya salah satu dari mereka sudah melihatnya dan langsung memanggil namanya dengan ceria.
“Ah, kareshi-san da~”
Urat di pelipis Kinari menonjol dan ia akhirnya membawa dirinya masuk setelah menutup pintu geser di belakangnya. “Namaku Kinari, tahu,” gerutunya seraya menjatuhkan diri ke sebuah kursi yang berada paling dekat dengan pintu; sengaja tak bergabung dengan mereka yang duduk berjejer di tiga meja yang dirapatkan jadi satu. “Jangan ubah-ubah nama orang seenaknya.” protesnya lebih lanjut.
“Sudah lama tak bertemu, kenapa ketus sekali?” cetus seorang pria mungil yang duduk di sebelah pemuda bersenyum lebar.
Kinari mendengus. “Apanya yang sudah lama? Baru dua minggu yang lalu kita pergi minum sake kan?”
“Ah, benar juga.” Pria itu tertawa.
“Eeeeeh? Kenapa Mao-san minum-minum dengan Kareshi-san tapi tidak mengajakku? Mou. Curang sekali.” Protes pemuda di sebelahnya.
“Kau kan sedang pulang ke rumah orang tuamu waktu itu, Youichirou. Siapa lagi yang bisa kuajak minum kalau bukan Kinari dan Yuusuke kan?”
Yoichirou mengangguk-angguk, tertawa lebar seraya menjangkau segelas es teh di depannya. “Ah, sou, sou.”
“Haaah. Curang sekali. Memangnya aku ini tidak bisa diajak minum ya?” kali ini seorang pria yang mengenakan setelan rapi memprotes. Mao mengangkat alisnya pada pria itu, “Yang benar saja. Mana mau aku minum-minum dengan orang yang kerjaannya telepon terus dengan pacar tercinta?”
“A, aku bukan pacarnya!” sanggah pemuda yang duduk di hadapan Kyoushirou dengan wajah luar biasa merah sementara Kyoushiro hanya nyengir.
Mao kembali mengangkat alisnya, “Memangnya aku bicara tentangmu, Fuumin?”
“Hidoi! Mou, Kyou-chan! Katakan sesuatu dong.” Protesnya.
“Eeeh? Memangnya aku harus bilang apa? Aku kan memang suka teleponan denganmu. Yah, meskipun kau bukan pacarku.”
“Kyou-chaaaaaaaaan~”
Youichirou terbahak-bahak sementara Mao tersenyum miring sembari mengulum sendok es krimnya. Saat itu sesosok tegap masuk dari bagian belakang toko, membawa sebuah nampan dengan tiga gelas es teh di atasnya.
“Kalian ribut sekali,” komentarnya, meletakkan masing-masing gelas di hadapan seorang pemuda cantik berwajah lancip yang menggumamkan terima kasih, Mao dan Fumiya yang masih sibuk merajuk. Yuusuke tersenyum lebar saat melihat Kinari. “Ah, kau datang rupanya. Sudah selesai kerja sambilannya?”
Kinari mengangguk. “Aku minta es jeruk saja.” Ujarnya pelan.
Yuusuke mengangkat alis. “Tidak mau matcha dan vanilla seperti biasa?”
Kinari menggeleng. Youichirou terkekeh geli. “Kareshi-san sepertinya mood-nya sedang buruk, Yuusuke-san. Sejak tadi cemberut terus loh.”
“Uruse.” Cetus Kinari seraya melengos, pura-pura sibuk dengan handphone-nya. Ia pura-pura tuli saat Yuusuke bertanya ada apa dan membiarkan yang lain menjawab untuknya. Apapun itu, dia tak begitu menyimak. Terserah saja mereka mau bilang apa. Kinari hanya berharap mereka akan cepat pergi jadi ia bisa berduaan dengan Yuusuke.
Kinari menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan-lahan saat Yuusuke kembali dan meletakkan segelas es jeruk di hadapannya. Ditahannya dirinya agar tak mengangkat kepala karena Yuusuke tetap berdiri di hadapannya. Ia yakin Yuusuke pasti sedang menatapnya dengan pandangan bertanya dan mungkin juga tak senang karena ia bertingkah seperti anak kecil yang ngambek karena tak dibelikan mainan.
Tapi sungguh, ia benar-benar tak peduli saat ini. Seharian ini rasanya semua hal tak bisa berjalan dengan semestinya dan tiap kejadian hanya membuatnya makin kesal. Jadi sebelum ia meledak, Kinari memutuskan untuk pergi saja dan menemui pacarnya. Ia tahu Yuusuke akan bisa membuatnya lebih tenang dengan nasehatnya yang entah kenapa selalu terdengar masuk akal.
Ya, julukan Youichirou padanya itu memang benar. Sejak ia pacaran dengan Yuusuke dua tahun yang lalu, dia dijuluki begitu. Kinari tak begitu mengenal orang-orang itu kecuali Mao yang sudah berteman dengan Yuusuke sejak lama. Youichirou pun dikenal Kinari karena pacaran dengan Mao. Kyoushiro pelanggan tetap toko es krim itu dan ia selalu datang dengan Fumiya dan mengaku kalau tak ada apa-apa di antara mereka. Kazuhiro tinggal tak jauh dari situ dan masih bersaudara dengan Yuusuke jadi ia sudah sering mampir sejak kecil. Entah bagaimana akhirnya mereka semua bisa saling kenal satu sama lain dan sering main bersama.
Ia sendiri mengenal Yuusuke beberapa tahun yang lalu ketika ia masih duduk di bangku SMU. Saat itu ia datang melihat-lihat pertandingan inter high yang diikuti sekolahnya dan iseng menonton pertandingan kendo. Ia ingat ia melihat sosok yang begitu menarik perhatian di tengah arena. Wajahnya memang tertutup pelindung kepala tapi orang ini mengeluarkan aura yang tidak bisa disepelekan. Permainan kendonya pun luar biasa. Ayunan pedangnya mantap dan seruannya pun benar-benar membuat lawannya mengkerut. Sungguh tak aneh ketika akhirnya orang itu berhasil meraih medali emas.
Ia sama sekali tak menyangka kalau orangnya berwajah sangat ramah dan senyumnya pun begitu bersahabat. Mungkin bisa dibilang kalau Kinari sudah sangat tertarik sejak mereka berjabat tangan berkat teman Kinari yang ikut klub kendo dan mengenal Yuusuke. Baru beberapa tahun setelah itu Kinari memberanikan diri mengajak Yuusuke kencan dan ia senang luar biasa karena Yuusuke tak menolak.
Kinari pun cukup takjub bahwa teman dekat Yuusuke adalah mantan berandalan nomor dua di kota itu (sekarang mengurus kedai sake milik keluarga dan pacarnya pun orang yang menarik). Nomor satunya pun (Kinari sempat tak percaya orang secantik itu mantan berandalan) bahkan cukup akrab dengan Yuusuke. Menurutnya, mereka sebenarnya orang baik, hanya sering disalahpahami.
Sungguh, dilihat dari sisi mana pun, Yuusuke adalah sosok anak idaman. Tampan, mandiri, bertanggung jawab, tegas dan sungguh bertanggung jawab. Ia tak memprotes meskipun harus rela tak kuliah dan mengambil alih usaha keluarganya ini. Katanya, ia senang membuat es krim dan senang melihat wajah orang-orang yang datang menjadi bahagia karena memakan es krimnya. Kinari mengejeknya dan Yuusuke hanya tertawa. “Memang kenyataannya begitu, kok.” ujar Yuusuke waktu itu dan Kinari tak bisa menyangkal karena es krim buatan toko milik Yuusuke itu sangatlah enak, jauh melebihi es krim di toko manapun.
Telinganya menangkap suara tawa orang-orang itu yang meledak begitu kerasnya. Mau tak mau, Kinari melirik dan melihat mereka sedang menertawakan Fumiya yang entah berbuat apa hingga wajahnya merah dan nyaris menangis. Kyoushiro menepuk-nepuk punggungnya, berusaha menenangkan meskipun wajahnya berkerut aneh karena menahan tawa. Fumiya memeluknya dan menepuk dada Kyoushiro dengan sebal. Yuusuke pun ikut terbahak-bahak dan mengacak-acak rambut Fumiya dengan gemas.
“Nih, kuberi es krim strawberry gratis. Jangan menangis lagi ya,” ujar Yuusuke.
“Aaaaah, curang! Masa harus menangis dulu baru diberi gratisan?” tukas Kazuhiro iri dan disetujui oleh Youichirou dan Mao yang ikut protes.
“Kalian jahat!” seru Fumiya keras meski teredam kemeja Kyoushiro yang masih belum berhasil melepaskan pelukan Fumiya dan hanya pasrah saja kemejanya jadi agak basah terkena airmata.
Kyoushiro akhirnya menepuk-nepuk kepala Fumiya dengan lembut. “Sudah, sudah. Salahmu sendiri salah ambil kan? Yuk, pulang. Aku akan masak makan malam untukmu.”
“Hontou?” Fumiya mengangkat kepalanya, “Aku mau hamburg steak plus spaghetti dan omelet!”
“Oi, oi!”
“Ii na,” komentar Youichirou sambil mengambil mantelnya juga karena Mao member isyarat kalau mereka juga sebaiknya pulang saja, “Mao-san mau masak makan malam untukku juga tidak?”
Mao mendengus, “Kecuali kau mau makan menu yang sama dengan keponakanku, aku tak keberatan.” Pria mungil itu kemudian membuat tanda salut dengan dua jarinya pada Yuusuke, “Jya ne, Yuusuke.”
Yuusuke mengangguk, “Ou. Hati-hati di jalan, kalian semua~”
Youichirou membungkuk lalu mengejar Mao yang sudah berlalu meninggalkan toko, “Chotto matte yo, Mao-san!”
Kazuhiro pun ikut membereskan barang-barangnya, berujar kalau sudah waktunya ia harus berangkat kerja sambilan. Yuusuke membekalinya sekotak manisan buatan ibunya untuk diberikan pada ibu Kazuhiro. Pemuda berwajah lancip itu nyengir senang lalu mengatakan kalau toh manisannya akan dihabiskan olehnya. Kyoushiro menunggu Fumiya yang minta ijin menggunakan kamar mandi tamu untuk cuci muka. Kinari masih menghabiskan es jeruknya dengan malas-malasan.
“Nanda, Kinari-kun? Dari tadi terlihat bosan sekali.” Tegur Kyoushiro ramah.
Kinari mengerjap. Pria itu memandangnya sambil tersenyum tapi Kinari paham dia sedang dikritik. Kinari pun jadi agak segan karena Kyoushiro lebih tua dari mereka semua yang tadi ada di situ. Ia berdeham, “Umh. Maaf. Aku hanya…” ia mendesah, “Hari ini capek sekali dan… maaf ya, Kyou-chan.”
Kyoushiro mengibaskan tangannya dengan segan, “Eh? Kenapa minta maaf padaku?” pria itu tertawa, “Tumben saja loh, Kinari-kun datang dengan wajah masam begitu. Apalagi sama sekali tidak tersenyum pada Yuusuke-san. Sedang bertengkar? Ah, tapi kalau bertengkar, tak mungkin Kinari-kun datang kemari ya?”
Kinari baru saja membuka mulut untuk menjawab tapi Fumiya sudah kembali, kelihatan lebih segar, dan mengenakan jaketnya. “Yuk, Kyou-chan.”
Kyoushiro mengangguk dan pamit pada Yuusuke yang mengantar mereka sampai ke pintu. “Datang lagi ya. Hati-hati di jalan.”
Suara pintu geser menutup dan helaan nafas Yuusuke mendului suasana yang mendadak sepi. Yuusuke tertawa pelan. “Selalu ramai kalau ada mereka ya. Begitu pergi langsung terasa sepinya.”
Kinari mengangguk. Ia masih tak mau menatap Yuusuke yang sudah bergerak membereskan mangkuk-mangkuk bekas es krim dan gelas-gelas. Kinari memperhatikan Yuusuke yang sibuk bergerak ke sana kemari dan sempat mengangkat telepon yang berdering beberapa kali lalu kembali membereskan meja dan menyusun menu baru juga menyambut satu dua orang pengunjung lain. Bibirnya mengerut tak senang, pun ia hanya mengangguk berterima kasih saat Yuusuke meletakkan segelas es jeruk baru di hadapannya dan mengambil gelasnya yang sudah kosong.
Nampaknya memang ia harus bersabar sampai toko tutup dua jam lagi atau pulang saja.
*****
Yuusuke menarik kursi di hadapan Kinari setelah meletakkan sepiring mochi dango di atas meja bersama dua gelas ocha hangat. “Haaaaah, akhirnya selesai juga.” Ujarnya seraya melipat celemek hitamnya dengan rapid an meletakkan di atas meja, di dekat tangan Kinari. “Ah, setelah ini harus mengecek persediaan buah-buahan dan kue kering. Ah, lapar tidak? Aku tidak sempat masak apa-apa hari ini jadi kita ke tempat Sho-chan saja yuk.”
Kinari menarik nafas, “Aku pulang saja deh,” cetusnya cepat dan langsung berdiri untuk mengenakan jaket dan menyandang tasnya.
“Eh?” Yuusuke mengerjap bingung. “Pulang? Kita kan belum bicara sama sekali, loh.”
Kinari merengut, “Memangnya salah siapa?”
Alis tegas Yuusuke terangkat sebelah. Pandangan matanya tak lepas dari sosok Kinari yang entah kenapa Nampak kesulitan dengan jaketnya. “Duduklah.” Ujarnya pelan.
Kinari memandangnya lalu perlahan duduk kembali, sebal karena tak bisa melawan kalau Yuusuke sudah menggunakan suara pelan namun tegasnya. Meski begitu, Kinari duduk menyamping dan sibuk memainkan ujung jaketnya. Ia hanya bisa mengerjap saat Yuusuke mengambil satu tangannya dan menggenggam dengan erat.
“Ada apa sih? Yang seperti itu tadi tak sopan sama yang lain, loh. Kalau memang kesal padaku dan ingin marah, tidak harus ditunjukkan ke semua orang kan?”
Kinari menghela nafas. Memang beginilah. Dia susah menduga kalau Yuusuke pun sadar kalau mood-nya sedang tidak bagus. “Aku bukannya marah padamu, kok.”
“Sou?”
Kinari mengangguk.
“Yokatta,” Yuusuke tersenyum, mengeratkan genggaman, “ Jya, nande?”
Kinari menghela nafas lagi lalu memutar duduknya menghadap Yuusuke lagi. “Hari ini… tidak enak saja. Rasanya semuanya salah. Mulai dari bangun tadi, keran kamar mandi rusak lalu petugas yang kupanggil tidak datang juga jadi aku telat datang ke tempat baito. Karena itu, jadinya aku dimarahi dan kau tahu bosku kan? Kalau sudah kesal, semua kesalahan sampai yang terkecil pun diungkit terus. Padahal aku sudah minta maaf loh dan aku juga sudah kirim email sebelumnya kalau aku akan telat datang. Lalu teman kerjaku di tempat yang satu lagi tidak masuk jadi aku harus jaga sendiri padahal ada rombongan yang datang. Mana mereka semua cerewet dan bosku juga jadi senewen sekali. Kunci sepedaku hilang, pula. Aaaaargh, pokoknya aku kesal sekali. Jangan tertawa dong, Yuusuke!”
Yuusuke menutup mulutnya dengan tangannya yang satu lagi dan menggigit bibirnya keras-keras karena Kinari benar-benar kelihatan kesal. Ia berdeham saat Kinari mendelik padanya. “Hai, wari, wari.” Yuusuke berdeham sekali lagi. “Lalu? Ke sini naik apa?”
Kinari menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, “Tentu saja jalan kaki. Kan tidak begitu jauh.”
“Ah,” Yuusuke mengangguk-angguk. Ditekannya ibu jarinya ke punggung tangan Kinari lalu mengelus dengan lembut. “Pasti capek sekali ya. Waktu sampai ke sini ternyata sedang ramai jadi kau tambah kesal?”
“Maa,” bisik Kinari.
“Coba kalau bilang begitu dari tadi, aku kan bisa menyuruh mereka pergi saja atau mengajakmu ke dalam.”
Kinari memutar matanya, “Mana mungkin kan? Memangnya kau bisa mengusir mereka? Bagaimanapun mereka kan pelangganmu juga dan kalau di dalam, aku harus melakukan apa? Nanti malah mengganggu.”
“Tidur saja di kamarku. Kan tak ada yang melarang.”
Entah kenapa, Kinari merasa pipinya memanas. Ditekannya tangan Yuusuke sambil tersipu dan Yuusuke balas menggenggam sambil nyengir lebar.
“Tapi mereka itu orang-orang yang menyenangkan loh. Aku tak bisa jadi sebal kalau ada mereka.” Yuusuke berujar lagi, menusuk sebutir dango dengan tusuk bamboo dan mengunyah. Kinari mengikuti contohnya. Dia suka sekali mochi dango buatan Yuusuke itu. “Aku tahu sih.”
Tanpa diduganya, Yuusuke menarik tangan Kinari yang sejak tadi digenggamnya dan mendaratkan bibirnya ke punggung tangan Kinari. “Aku tahu. Maaf ya. Mungkin seharusnya aku lebih sensitif untuk urusan seperti ini.”
“Maa ii.” Bisik Kinari sambil melepaskan tangannya. Dia sebenarnya tak bermaksud membuat Yuusuke ikut merasa tak enak. Bagaimanapun, hari buruknya sama sekali bukan karena Yuusuke. Toh, dia datang ke sini juga untuk bertemu Yuusuke dan mencari ketenangan. Bukannya cari ribut atau semacamnya. “Maaf ya. Seharusnya aku tidak bertingkah seperti tadi,” Kinari membungkuk.
Tak ada jawaban dari Yuusuke yang hanya memandangnya beberapa saat. Pria itu lalu menggerakkan jari-jarinya, member isyarat pada Kinari untuk mendekat. Kinari memajukan tubuhnya, “Apa?”
Yuusuke masih menggerakkan tangannya sampai akhirnya Kinari berdiri dan berjalan ke arahnya. Ketika Kinari berdiri di sebelahnya dengan pandangan tak mengerti, Yuusuke pun berdiri. Kedua lengannya yang kokoh merengkuh pundak Kinari dan menarik pemuda itu dalam pelukan. Kinari hanya sanggup tertegun meski detik berikutnya ia balas melingkarkan lengannya ke pinggang Yuusuke dan merebahkan kepala ke pundak Yuusuke.
Dihirupnya wangi Yuusuke yang manis seperti es krim dan buah-buahan segar, juga sedikit berbau susu bercampur dengan parfum Yuusuke yang maskulin. Yuusuke menyusupkan wajah ke antara helaian rambut Kinari yang lembut dan Kinari mengeratkan pelukannya. Begitu saja dan Kinari mulai merasa mood-nya membaik.
Mereka berdiri seperti itu selama beberapa menit yang terasa begitu lama sampai Yuusuke mengecup pucuk kepala Kinari dengan sayang dan mengusap-usap punggung Kinari.
“Masih tidak mau bertemu orang lain?” tanyanya lembut sambil menunduk.
Kinari mendongak dan memiringkan kepalanya sedikit, “Kenapa memangnya?”
“Mau temani aku makan malam di tempat Sho-chan? Aku tidak tahu mau masak apa untuk makan malam dan kamu pasti juga lapar kan?”
Kinari mengangguk. “Mulai lapar juga sih.”
Yuusuke tersenyum dan mengangguk. “Tak usah khawatir. Ini kan masih tengah minggu. Tempatnya Sho-chan tak akan terlalu ramai.”
Kinari berpikir sejenak lalu mengangguk. “Terserah Yuusuke saja deh.”
Jemari Yuusuke menyisir poni Kinari, “Jangan begitu, dong. Kalau kamu lebih ingin di sini saja, kita bisa telepon pesan antar saja.”
Kinari mengedikkan bahu. “Tak apa. Benar, kok.”
“Honma?”
Kinari mengangguk. “Hontou. Tapi,” Kinari kembali merebahkan kepalanya ke pundah Yuusuke, “Begini saja dulu sebentar lagi saja tak apa kan?”
Yuusuke tersenyum lebar dan kembali mengeratkan pelukannya. “Ee wa.”
Saturday, February 18, 2012
[fanfic] Kitchen
Rating: G
Warning: AU, OOC, implied BL
Disclaimer: I do not own anything
Note: percakapan random karena saya tak ada kerjaan di hari hujan ini.
Hari masih pagi ketika Yuusuke tiba di depan sebuah kedai sake. Jalanan di depannya pun masih sepi. Hanya tampak satu-dua orang yang sedang bebersih di depan toko milik mereka. Kedai yang menjual bento sudah ramai sejak pagi buta tapi Yuusuke tak berniat mampir ke situ. Dicobanya untuk membuka pintu kedai sake yang masih tertutup - norennya pun belum dipasang karena belum waktunya buka - sambil berujar, "Gomen kudasai."
Bagian dalam kedai itu pun masih lengang dan lampu di bagian tempat makan belum dinyalakan. Kursi-kursi masih terletak terbalik di atas meja-meja. Ada dua buah panci besar bertengger di atas kompor yang menyala. Asap tipis menguarkan wangi yang diterjemahkan otak Yuusuke sebagai sup dan rebusan sayuran. Beberapa bahan makanan lain teronggok di sebuah meja.
Yuusuke mencoba lagi, "Gomen kudasai," dan tersenyum saat mendengar ada jawaban. Kepala Jinnai menyembul dari balik pintu di bagian belakang dapur. "Ah, Ue-chan! Sudah datang ya."
Yuusuke mengangkat tangannya, "Yo."
"Taruh saja bawaanmu di atas. Aku buang sampah dulu."
Yuusuke menurut dan menapaki tangga mungil yang terletak di sebelah kiri dapur. Jaket dan tasnya diletakkan di dekat meja di ruang duduk mungil di lantai dua. Sekilas ia mengintip ke arah sebuah pintu yang setengah terbuka. Seorang pria setengah baya sedang tertidur pulas dan Yuusuke tak berniat mengganggu maka ia pun turun lagi.
Sambil menggulung lengan bajunya, Yuusuke mencari celemek dan mulai memilah-milah sayuran di atas meja. Jinnai kembali tak lama kemudian, mencuci tangan dan bergabung untuk memberi petunjuk pada Yuusuke apa yang harus dilakukan.
Jinnai sedang menghitung persediaan sake dan minuman lainnya ketika didengarnya Yuusuke bertanya, "Pacarmu yang manis itu ke mana?"
Jinnai tertawa. "Hari ini dia sibuk di kampus katanya. Ada perayaan atau apa begitu. Nanti sih katanya mau datang dengan teman-temannya."
Yuusuke mengangguk-angguk sementara tangannya terus bekerja memotong-motong sayuran. "Kupikir dia akan datang dan membantumu. Biasanya begitu kan?"
"Yah, hidupnya kan tidak berputar di sekitarku saja." Jinnai mengedikkan bahu.
"Tapi tampaknya seperti itu loh." Potong Yuusuke sambil tersenyum lebar. "Kelihatannya merepotkan tapi kau senang kan?"
"Dou deshou ka," sahut Jinnai namun ia tak bisa menahan cengiran yang muncul. Yuusuke tertawa.
"Ii jyan?"
"Maa ne."
Kedua laki-laki itu tertawa lagi. Saat itu pintu kedai terbuka dan terdengar suara berat yang familiar di telinga Jinnai, "Ojamashima- eh, Ue-chan? Ue-chan da! Hisashiburiiiii!"
"Mitsuya-kun!" Yuusuke pun buru-buru berdiri namun Mitsuya sudah menghampirinya dengan langkah cepat dan menepuk2 pundak pria yang lebih tinggi darinya itu.
"Eh? Eh? Sudah lama sekali ya. Sedang apa di sini? Memangnya tidak buka toko? Wah, kau tambah tampan ya? Sho-chan, Ue-chan loh!"
"Hisashiburi, Mitsuya-kun. Yappari masih tetap semangat seperti dulu ya." Yuusuke menyalaminya sambil tertawa. "Aku diminta Sho-chan bantu-bantu. Kebetulan aku tak ada pekerjaan karena toko sedang direnovasi."
Tanpa basa-basi lagi, Mitsuya melepas mantelnya dan menarik sebuah kursi agar ia bisa duduk di dekat Yuusuke. "Eh? Paman sakit? Atau sedang pergi?"
Jinnai menghampiri mereka dan meletakkan dua cangkir teh hangat di hadapan kedua temannya itu. "Sakit pinggangnya kumat. Aku tak bisa buka toko sendirian di hari sabtu seperti ini."
"Ah, sou? Boleh kujenguk? Sebentar ya, Ue-chan!" Dan Mitsuya pun langsung melesat ke lantai dua, meninggalkan Jinnai yang geleng-geleng kepala dan Yuusuke yang menahan tawa.
"Dia sudah berubah ya?" Komentar Yuusuke sambil menyesap tehnya.
"Apanya?" Jinnai menggaruk bagian belakang kepalanya. "Sama saja, kok. Masih saja cengeng dan gampang naik darah."
"Tapi aku senang loh, kalian sudah berhenti berkelahi."
"Berkelahi itu kan bukan mau kami, loh. Orang-orang saja yang terus-terusan mencari. Lagipula, tak bisa seperti itu seumur hidup kan? Lagipula, itu kan sudah lama sekali, Ue-chan. Tak usah diungkit lagi." Tukas Jinnai seraya mengibaskan tangan.
Yuusuke mengangguk-angguk. "Tak menyangka saja dia akan menikah lebih dulu dan... berapa anaknya sekarang?"
"Hmm... Empat?"
"Sugoi~" Yuusuke tertawa.
Jinnai pun terkekeh. "Begitulah. Lagaknya saja marah-marah tapi sebenarnya suka sekali kok."
"Kau juga lega karena tak harus menjaganya terus kan?" Yuusuke mengangkat alis.
"Haaah?" Jinnai menuding temannya dengan sebilah pisau. "Dengar ya, saling menjaga itu insting untuk bertahan hidup, tahu. Sama sekali tak ada unsur romantisnya."
Yuusuke menepis tangan Jinnai dengan tenang. "Aku juga tak bilang begitu, kok. Maksudku, hidupmu jadi lebih tenang kan?"
Jinnai memiringkan kepala, "Yah, dibilang lebih tenang sih..."
"Ah, tidak juga ya." Yuusuke tertawa lagi.
"Sou."
Mitsuya kembali bergabung dengan dua teman lamanya itu tak lama kemudian. "Paman sempat bangun sebentar tadi, tapi sudah tidur lagi." Ujarnya sambil menduduki kursinya lagi dan menjangkau seikat sawi putih.
Jinnai mengangguk lalu mengangkat alis. "Sedang apa?"
Mitsuya balas mengangkat alis. "Aku sedang tak ada kerjaan jadi ikut bantu tak apa kan? Toh, sudah lama tidak bertemu Ue-chan. Ne?" Ujarnya sambil mengangguk pada Yuusuke.
Jinnai memukul bagian belakang kepala Mitsuya dengan kesal dan membuat Mitsuya mengaduh keras dan balas memukul lengan Jinnai. "Apa sih tujuanmu kemari? Kau kan tahu kedai tak akan buka sampai jam 7 malam."
Mitsuya mengerjap. "Ah! Sou!" Dia menepuk tangan seolah baru ingat akan tujuannya mendatangi kedai itu pagi-pagi. "Tak ada apa-apa sih. Hehehe."
"Hah?" Tangan Jinnai sudah terangkat hendak memukul Mitsuya lagi namun temannya yang cantik itu merengut.
"Habis, Kenki sedang dinas ke luar kota. Anak-anak juga sedang study tour ke Osaka. Mereka tak akan pulang sampai lusa. Aku tak ada kerjaan nih." Keluhnya.
Jinnai menghela nafas. Yuusuke tersenyum lebar. "Tak apa kan, Sho-chan. Semakin banyak yang membantu kan enak. Kau jadi punya waktu memperhatikan paman juga."
"Ya sudah." Jinnai melengos ke arah dapur. "Sini. Bantu aku memotong daging ayam untuk yakitori." Ujarnya. "Setelah itu angkat krat bir dari belakang ya."
"Eeeeeh?"
"Katanya mau bantu. Aku bosnya di sini. Kalau tak mau kerja, kau tak akan kubagi sarapan. Atau lebih baik lagi, pulang saja sana." Tukas Jinnai dengan tegas seraya mengacungkan sumpit masak dengan jumawa.
Mitsuya menggembungkan kedua pipinya. Ia makin merengut karena ditertawakan Yuusuke yang geli melihat tingkah dua orang itu. Meskipun begitu, lelaki cantik itu menurut juga dan menghampiri Jinnai untuk mengambil baskom berisi potongan daging ayam dan mulai bekerja dengan tekun.
Sesuai perkataannya, Jinnai membuatkan sarapan yang lezat untuk mereka meskipun sederhana: sup miso, tempura dan asinan sayur menemani nasi hangat yang mengepul wangi. Yuusuke menyumbang tenaga membuatkan yakitamago yang luar biasa enak. Sementara kedua temannya makan, Jinnai menghilang sebentar ke lantai dua mengantarkan bagian ayahnya.
"Banyak sekali ya," komentar Mitsuya setelah mereka selesai makan dan kembali bekerja, memandang tumpukan sayur, daging, ikan dan bahan-bahan lain yang siap diolah setengah jadi.
Yuusuke mengangsurkan ujung sendok kayu yang digunakannya mengaduk campuran bumbu yakitori pada Jinnai. Menggunakan kelingkingnya, Jinnai mencolek sedikit bumbu dari sendok kayu itu, mengecap sejenak, "Mirin-nya ditambah sedikit lagi," pintanya. "Yah, beginilah kalau akhir minggu. Makanya aku minta Ue-chan membantu."
Mitsuya meletakkan satu krat bir di lantai dan mulai mengatur isinya ke dalam lemari pendingin. "Anak itu tidak akan cemburu?"
Jinnai mengangkat alis. "Maksudmu Daisuke?"
Mitsuya mengangguk.
"Kenapa harus? Kedai ini kan milik keluargaku. Dia saja yang seenaknya memutuskan dia punya hak untuk ikut repot." Jinnai berkilah.
"Sho-chan," tegur Yuusuke halus.
"Iya, bercanda." Sela Jinnai. "Aku malah senang kalau dia tak sering-sering muncul dan lebih konsentrasi belajar. Aku tak ingin dilabrak ibunya kalau sampai nilainya hancur karena terlalu sering main di sini. Yah, meskipun dia juga belajar di sini sih."
Mitsuya mendekat dan menusuk pipi temannya itu, "Sho-chan, kawaii."
"Uruse." Jinnai menepis tangan Mitsuya dan berpura-pura sibuk memeriksa kaldu untuk kuah oden.
"Ne," Yuusuke berujar, tanpa menoleh karena menjaga agar bumbu yakitori yang sedang dibuatnya tidak terlalu mendidih, "apa kau akan mengambilnya masuk ke keluargamu? Paman pasti akan senang sekali punya anak semanis itu."
Jinnai tertawa dan mengedikkan bahu. "Saa ne. Mungkin? Aku masih belum tahu."
"Sudah ditanya?"
"Tentu saja belum."
"Nandee?"
"Micchi, uruse."
"Nandeeee?"
Jinnai menghela nafas. "Belum saja. Kalau dia punya cita-cita yang lebih hebat daripada sekedar menemaniku mengurus kedai sake ini, aku kan tak bisa melarang."
Yuusuke mengangguk-angguk. "Kita punya kewajiban keluarga ya. Bukannya terpaksa sih."
"Sou. Kau mengerti maksudku kan, Ue-chan?"
Yuusuke mengangguk lagi. Mitsuya ikut mengangguk. "Anak itu tak pernah pergi dari sampingmu sih, ya. Bagus juga kalau sesekali dia melakukan hal lain. Demo, iinjyanai? Begini saja kau bahagia kan? Memang tak perlu buru-buru ya. Namanya juga Sho-chan."
Kali ini Jinnai tersenyum lebar. "Sou desu ne."
-end-
Sunday, February 5, 2012
[fanfic] Just His Luck
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I own nothing
Note: I hate my blekberi keypad -_-
Suara pisau beradu dengan talenan dengan ritme yang teratur mengisi dapur mungil itu. Sesekali terhenti untuk kemudian berlanjut lagi. Asap tipis mengepul dari sela tutup panci di atas kompor. Wangi samar daging, sayuran segar, harum bawang bombai dan beberapa bumbu lain memenuhi udara. Daisuke mengendus pelan, memejamkan mata sementara sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyum. Lengannya yang panjang mendekap lutut di depan dada, seolah tak begitu peduli kalau kakinya tak tertutup apapun. Matanya kemudian terbuka, kembali terarah pada sosok yang tengah sibuk memindahkan sayuran yang sudah dipotong-potong untuk direbus di dalam panci.
"Madaaaa?" Tanyanya sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri.
"Sabar sedikit. Lagipula, aku yang lebih lapar, kan?" Jinnai melempar beberapa jumput garam dan merica ke dalam panci lalu melempar sejumput melewati bahu.
Melihat itu, Daisuke mengerjap. "Kenapa melakukan itu?"
"Apa?" Jinnai bertanya tanpa menoleh.
"Itu, melempar garam ke belakang."
"Oh." Jinnai melirik sekilas lalu tersenyum miring. "Untuk mengusir nasib buruk yang selalu ada di belakangku."
Sesaat, Daisuke mengerjap, berusaha mencerna ucapan Jinnai lalu menggembungkan pipi dengan sebal saat mengerti apa maksudnya. "Mou! Jadi maksudmu aku ini nasib buruk, begitu?"
Jinnai terbahak, berhenti untuk mencicipi masakannya lalu nyengir lebar, "Maa ne."
"Jinshan!"
Suara tawa Jinnai kembali terdengar sementara si pemilik suara kembali sibuk berkutat dengan masakan lain: meletakkan penggorengan penuh berisi minyak dan menyalakan kompor. Sepasang lengan yang mendadak melingkari pinggang mengejutkannya.
"Kalau begitu, aku akan jadi nasib buruk yang tak mudah diusir dengan taburan garam dan akan mengikuti Jinshan ke manapun seumur hidup."
Jinnai menepuk lengan itu, "Komatta na." Ia kemudian berputar, menghadapi Daisuke yang masih mendekapnya dan menunduk untuk mengecup kening pemuda itu. "Keberuntunganku sepertinya memang sudah habis sejak menolongmu tempo hari. Jadi, Nasib Buruk-kun, sebaiknya kau membantuku meracik salad atau kau tak akan kubagi sup bola daging dan kroketnya." Ujarnya sambil menepuk punggung Daisuke.
"Huh." Daisuke melengos. "Berbahagialah karena nasib buruk yang satu ini suka masakanmu." Cibirnya sembari melipir ke lemari es dan mengambil bahan-bahan untuk salad.
Sambil menggoreng kroket, Jinnai melirik pada Daisuke yang sudah sibuk di sebelahnya. Ia menggigit bibir agar tak mengomentari jersey Daisuke yang panjangnya hanya mencapai setengah pahanya. Pemuda itu bahkan tak ambil pusing untuk mengenakan celemek dan meracik salad dengan tekun. Mau tak mau Jinnai nyengir melihat pemuda itu membuat salad seperti yang biasa disajikan di kedai. Daisuke memperhatikannya saat datang ke kedai di tengah jam sibuk. Siapa sangka Daisuke ingat bagaimana membuatnya.
Daisuke mencicipi campuran saus yang dibuatnya. Cengirannya melebar dan lalu mengulurkan jari telunjuk yang berbalut saus di ujungnya pada Jinnai. Dengan patuh, Jinnai membuka mulut. Bahu Daisuke berkedik senang saat Jinnai mengangguk, menyetujui rasa sausnya lalu beralih membawa mangkuk berisi salad ke meja makan.
"Perlu mangkuk?"
"Kecuali kau mau makan langsung dari panci,"
Daisuke terkikik, melewati Jinnai untuk menjangkau lemari gantung di atas kompor. Sejenak kemudian, ia sudah sibuk menata meja sementara Jinnai memberikan sentuhan-sentuhan akhir pada masakannya. Tak lama, pemuda itu menatap antusias pada sup bola daging, kroket, salad dan nasi hangat yang tersaji di hadapannya.
"Uwa, uwa, uwaaaaa~ Jinshan memang hebaat!" Daisuke bertepuk tangan ceria dan Jinnai harus meletakkan jari di depan bibir agar pemuda itu memelankan suara karena khawatir akan membangunkan ayahnya yang sudah tidur. Daisuke ikut meletakkan jari di depan bibirnya sendiri dan mengangguk minta maaf. "Paman tidurnya cepat ya?" Komentarnya sambil menjangkau sumpit.
Jinnai duduk di sebelahnya, di sisi lain meja. "Biasanya sampai larut juga kok tapi sepertinya sedang agak tak enak badan."
Mereka mengangkat sumpit ke depan dada dan bersama-sama mengucapkan "itadakimasu". Daisuke menjumput saladnya, "Kalau begitu, besok akan seharian di kedai ya?"
Jinnai mengangguk. "Mungkin. Kenapa?"
Daisuke menggelengkan kepala. "Nandemonai," dan mengunyah pelan. "Umai~" komentarnya pada sebuah gigitan kroket.
Jinnai memiringkan kepala lalu terbelalak, "Aah! Aku sudah janji mengantarmu ke toko buku ya? Gomen."
Daisuke buru-buru mengibaskan tangan dan menelan sebelum berbicara. "Daijoubu. Aku masih bisa ke sana kapan saja. Tidak butuh buru-buru, kok."
"Hontou?" Jinnai memandang tak percaya namun anggukan kepala Daisuke berusaha meyakinkannya. Jinnai pun mengangguk-angguk meski masih tak melepaskan pandang dari Daisuke yang kini tengah mencicipi sup bola daging buatannya. Mata pemuda itu melebar dan memandang Jinnai dengan kagum.
"Ini enak sekali! Jinshan, maji de~ Umai! Chou umai!" Ucapnya dengan semangat lalu menyeruput kuah sup, "Aaa, rasanya seperti di surga~"
Jinnai terbatuk karena nyaris tersedak mendengar pujian Daisuke. "Sou?" Dia tertawa, beralih sejenak untuk mengambil teh.
"Un! Aaah, aku sungguh beruntung karena bisa merasakan masakan seperti ini terus." Ujarnya seraya mengulum sumpit.
"Terus?"
"Un."
Jinnai menggigit bagian dalam mulutnya, menahan cengiran. "Sou? Aku benar-benar tak bisa mengusir nasib burukku sepertnya ya."
Daisuke tersenyum lebar. "Muri desu."
-end-
Thursday, February 2, 2012
[Fic] Simple
Sunday, January 15, 2012
[fanfic] Honest
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Note: Karena pairing ini sangatlah lucu.
Happy birthday, Jinshaaaaaan!!
"Jinshan!"
Langkah Jinnai terhenti sementara kepalanya menoleh ke belakang melewati bahunya. Seorang pemuda bergakuran berlari-lari kecil ke arahnya sambil melambaikan tangan, sementara tangan yang satu lagi menjaga ransel yang tersampir di pundaknya. Jinnai memutar tubuhnya sedikit.
"Ou. Daisuke ka."
Daisuke menggembungkan pipi dan memukul lengan Jinnai saat ia sudah berada di samping pria itu. "Kenapa seperti tak senang begitu sih?"
Jinnai mendengus dan hanya mengedikkan bahu. Dengan acuh, dia kembali melangkah, membiarkan Daisuke menyusul dan menyejajari langkahnya.
"Mou," pemuda itu masih tak terima. "Kenapa sih? Salah bangun? Dompetnya hilang? Atau dimarahi Paman karena berkelahi lagi?" Tanyanya beruntun. Sebuah sentilan di ujung hidungnya membuatnya memekik terkejut. "Sakit, tahu! Awas kalau sampai aku tak manis lagi karena luka di hidung."
Jinnai tertawa terbahak-bahak. "Memangnya kau ini perempuan?" Ujarnya seraya menyelipkan sebatang rokok ke sela bibirnya.
Daisuke memiringkan kepala, meletakkan jari di pipi lalu tersenyum genit. "Tapi aku tak kalah manis sama anak perempuan, loh. Semua orang bilang begitu."
"Percaya saja, deh." Jinnai mengangguk-angguk. Dia pun tak mau menyangkal. Daisuke memang manis dan sangat ramah pada siapapun. Dipikir lagi, mereka bisa kenal pun karena Daisuke yang manis itu diganggu gerombolan preman dan Jinnai yang kebetulan lewat jadi harus menolong. Dia tidak bilang dia anak baik -reputasinya sebagai orang nomor dua terkuat di wilayah itu setelah setan cantik bernama Mitsuya Ryou sungguh bukan gelar main-main, tapi dia tak suka menggunakan kekuatannya untuk sengaja mengganggu yang lebih lemah. Bukan salahnya ataupun maunya kalau bertahun-tahun setelah itu pun Daisuke masih mengikutinya kemana-mana.
"Ngomong-ngomong, Jinshan mau ke mana?" Daisuke mencondongkan tubuhnya ke depan untuk melihat wajah Jin.
Pelipis Jinnai berkedut, "Kau ini. Mestinya tanya itu dari tadi sebelum mengikutiku kan?"
Daisuke tersenyum. "Daijoubu. Sudah tak ada berani menggangguku lagi sejak aku sering jalan bareng Jinshan, loh!" Jawabnya ceria.
"Tsk." Jinnai berdecak. "Kau memanfaatkan aku nih, ceritanya?"
"Mochiron!"
Jinnai mendesah pasrah. "Aku mau belanja." Ujarnya kemudian.
"He?"
"Keperluan toko."
"Boleh ikut?" Daisuke mengerjap tanpa dosa.
Jinnai memutar kedua bola matanya. "Memangnya kau akan menurut kalau kusuruh pulang?"
Daisuke terkikik dan menggeleng dengan ceria. Tanpa ragu, ia menggamit lengan Jinnai dan bersenandung riang saat mereka melanjutkan langkah.
Mungkin memang ada untungnya membiarkan Daisuke ikut dengannya. Pemuda itu dengan riang dan imutnya menawar semua barang yang hendak dibeli Jinnai. Paman penjual sayur rela memberikan 1/2 kilo lebih banyak dengan harga yang sama yang biasa dibayar Jinnai. Paman penjual daging, setelah disenyumi Daisuke, rela memberikan diskon 1/2 harga. Bibi penjual beras memberikan bonus sekantung kue beras untuk camilan.
Jinnai harus angkat topi untuk pemuda itu. Karena itu, dia tak menolak saat Daisuke menarik-narik lengan bajunya sambil menunjuk-nunjuk toko es krim. "Jinshan, haus!"
Ditepuknya kepala Daisuke sambil menunjuk ke arah lain. "Yang di sana lebih enak." Tukasnya.
Wajah Daisuke berbinar dan ditariknya lengan Jinnai dengan semangat.
"Di sini?" Daisuke menunjuk sebuah toko mungil bergaya tradisional Jepang dengan noren berwarna biru tua bertuliskan kanji es. Jinnai mengangguk lalu mendului Daisuke memasuki toko itu.
"Irasshai~" sebuah suara yang ramah dan empuk di telinga menyambut begitu Daisuke menyembulkan kepala dari balik noren.
"Yo,Ue-chan!"
"Sho-chan! Hisashiburi!"
Daisuke mengerjap, menatap dengan agak heran pada Jinnai yang ngobrol dengan akrab dengan pelayan toko itu: seorang pemuda bertubuh agak gempal dengan rambut super cepak dan berwajah cukup tampan. Ia mendekat dan mengintip dari belakang punggung Jinnai.
Pemuda pelayan itu mengenakan jinbei bermotif garis vertikal berwarna coklat, juga mengenakan celemek hitam di pinggang. Ia memiringkan kepala lalu tersenyum ramah saat melihat Daisuke. Ia mengangkat alisnya yang tebal pada Jinnai, "Temanmu?"
"Ah, begitulah. Ini--"
"Hirose Daisuke desuu! Yoroshiku!" Daisuke langsung menyambar dengan ceria sampai pemuda di hadapan mereka tertawa.
"Lucu ya. Aku Ueda Yuusuke. Teman lamanya Sho-chan." Balas pemuda itu.
"Aku lucu katanya, Jinshan." Daisuke berucap dengan antusias. "Teman Jinshan berarti temanku juga."
Jinnai menggaruk-garuk kepalanya. "Jangan seenaknya memutuskan begitu, dong. Sana, duduk. Kau mau pesan apa?"
"Ada es krim azuki? Pakai mochi!"
Pemuda bernama Yuusuke itu mengangguk. "Kashikomarimashita. Sho-chan yang biasa?"
Jinnai mengangguk kemudian menyusul Daisuke yang sudah menempatkan diri di meja kedua dekat pintu. Toko itu tak terlalu besar, malahan bisa dibilang mungil. Hanya ada 6 meja untuk dua orang dan 1 di ruang tatami di sudut ruangan. Interiornya pun sama sekali tak ada kesan modern kecuali televisi, mesin kasir dan telepon di meja kasir. Daisuke memperhatikan dengan antusias lalu menyibukkan diri melihat menu yang ada di atas meja; ditulis tangan dengan bentuk kanji yang sangat rapi.
"Toko ini sudah lima generasi loh."
Daisuke mengangkat kepala, menerima handuk basah untuk mengelap tangan yang disodorkan Jinnai. "Ih, aku kan tidak tanya." Kikiknya.
"Tapi kau penasaran kan?"
"Hehehe. Yang tadi itu benar temanmu? Bekas berandalan juga?"
Jinnai memukul kepala Daisuke, tak keras tapi cukup membuat pemuda itu mengaduh dan menggembungkan pipi dengan sebal. "Aku kan cuma tanya."
"Ue-chan itu bekas ketua klub kendo. Dia sering mengajakku bergabung dengan klub daripada aku berkelahi terus. Tapi aku tak berminat."
Daisuke mengangguk-angguk sok mengerti. "Jinshan sepertinya suka padanya ya?"
Jinnai memandang Daisuke sejenak lalu menopang dagu sambil tersenyum jahil. "Kalau iya? Apa kau cemburu, Daisuke?"
Daisuke ikut menopang dagu dengan kedua tangannya. Kedua pipinya kembali menggembung. "Jangan menggodaku, ah."
Jinnai mengangkat sebelah alisnya. "Kamu loh yang mengikuti kemana-mana."
"Memang. Begitu saja sudah mengerti kan?" Daisuke melengos.
"Katanya tak mau kelihatan tidak manis? Jangan cemberut dong."
"Bhu."
Jinnai tertawa kencang. Yuusuke yang muncul dengan pesanan mereka (es krim azuki dengan mochi dan es krim mangga) sampai mengangkat alis penasaran. Jinnai hanya nyengir dan Yuusuke pun berlalu setelah dipuji kalau es krimnya enak.
Daisuke masih pasang tampang cemberut meski sudah menghabiskan dua porsi es krim lagi. Ia memandang tak senang pada Jinnai yang tampak tak peduli dan malah berlama-lama ngobrol dengan Yuusuke sebelum mereka pamit pulang.
"Belanjaannya?" Tanya Daisuke saat mereka melangkah meninggalkan daerah pertokoan itu.
"Nanti diantar. Aku kan tak bawa mobil." Jinnai menyahut singkat.
Daisuke mengangguk. Diikutinya langkah Jinnai yang menuju ke arah rumahnya. Hari sudah gelap saat mereka berhenti di depan sebuah rumah berpapan nama 'Hirose'.
"Jya. Mata ne." Ujar Jinnai sambil tersenyum miring dan membuat tanda salut dengan sebelah tangan lalu berbalik.
"Ano, Jinshan!" Panggil Daisuke.
"Hmm?" Jinnai berbalik lagi. "Ada apa?"
Daisuke terdiam sejenak. Saat ia mengangkat kepalanya lagi, senyum lebarnya yang ceria sudah kembali menghiasi wajahnya. "Nandemonai. Mata ne~" ucapnya sambil melambaikan tangan.
Jinnai mengerjap lalu berdecak. "Brengsek." Gumamnya. Tanpa pikir panjang lagi, kedua kakinya melangkah dan ditariknya lengan Daisuke yang baru saja hendak membuka pintu pagar.
"Jinshan?"
Jinnai tak menjawab. Satu lengannya dilingkarkan ke pinggang Daisuke dan menarik pemuda itu merapat pada tubuhnya sendiri dan diciumnya pemuda itu tanpa ragu. Bibir yang hangat, lembut dan terasa manis seperti es krim azuki. Dikecupnya dengan sayang sementara mengeratkan pelukan. Dirasakannya tubuh Daisuke bereaksi padanya dan Jinnai memberanikan diri untuk memagut beberapa kali sebelum melepaskan pemuda itu dari pelukannya.
Daisuke nampak sangat terkejut dan meski wajahnya memerah, matanya berbinar riang dan ia terkikik senang. "Jinshan,"
Jinnai mendengus dan mencubit pipi Daisuke. "Oyasumi."
"Un. Oyasumi."
-end-