Sunday, June 3, 2012
[fanfic] Wagamama
Rating: PG-13
Warning: BL, OOC, bad English
Disclaimer: I own nothing
Note: Entah kenapa ini jadinya hanya potongan dialog saja ORZ
Hirose turns to lie on his side and pouts to his phone that clamed to his ear for the last ten minutes. On the other end, Jinnai laughs.
“What are you sulking about? I called you this morning and explained that I really couldn’t stay and talk with you because well, I’m not actually a morning person and I had a job to do. And if you checked my blog, and I know you did so don’t say the otherwise, I’ve blogged about it and now we’re talking.”
Hirose pouts, “Because it’s not fair~”
“What is?” Jinnai laughs again.
This time, the sweet boy sighs and turns to lie on his other side, “I made you a surprise party!”
“I did say that today was a no go, right? I think I’ve made it clear and I think you understood.” Jinnai raises an eyebrow.
Hirose shrugs, “Well, I... I thought you weren’t serious and it was just something to take my mind off from expecting a surprise party. I even went so far as lingering at the rehearsal hall longer, expecting you and the guys to appear, bringing cake and...everything...” His voice turns softer. Absentmindedly, his finger traces an invisible line on the bedsheet.
“.....Seriously?”
“You can’t blame me for hoping! I gave you one and it’s only polite that you do the same for me.” Hirose protested defensively, another pout takes place on his thin lips. Jinnai would’ve pinched on his cheek if he was there with Hirose. And Jinnai is laughing again and it only makes Hirose pouts even more. “Jinshan~” he whines, sitting up and drags a pillow to his embrace.
“Sorry. Hahaha... umh... okay, right. Sorry.” Jinnai says, concealing his laugh by coughing several time, “No, really. What are you saying, Daisuke? You know that when I said I can’t go, it means that I really can’t and if I can make it, I always make sure I make it there. Don’t I always like that? Besides, if there really was a surprise party for you, belive me, it won’t be my idea.”
“Jinshaaaaaaaaan~”
“it’s true! It would be Kenta’s or Shoutaro’s or Kensho’s.” Jinnai shrugs.
Adjusting his phone to another ear, Hirose stands up and starts to pace around the room. “Mou. That’s why I said it’s not fair.”
Jinnai chuckles. “You’re really impossible. Fine, I’ll hold a party for you next week. How about that?”
Hirose’s eyes alight as he hears that, “Hontou ni? Hontou ni hontou?”
“Hon~ma. Just... tell me what do you want. I’ll make sure everybody come.”
Hirose bounces where he’s standing, clutching the hem of his pajamas excitely. “But, but, wait. Don’t tell me when and who will be coming. It’s absolutely have to be a surprise.”
“..............Daisuke?”
“Hai?”
“I just told you it’ll be next week.”
“So I’m stopping you from giving me anymore details! Mou!”
“I...Whatever,” Jinnai sighs while messanging the bridge of his nose but he’s smiling, anyway. “So, how was today? Did you have fun?”
“Of course I did! The cake was super delicious and I went out drinking with Mossan and the others after rehearsal. I also got bunch of gifts! I had to make Mossan and Shinchi walked me home and helped me with all those gifts!” Hirose gigles. “Demo ne, I prefer Jinshan to be there today.” He chews on his lower lip, hand reaching out to touch the curtain of his bedroom window.
He hears Jinnai chuckles softly. “Ne, are you standing near your window right now?”
Hirose frowns. “Yeah, why?”
“Nothing. It’s really nice outside. The air is crisp and it smells really nice. It’s too bad that the oden stall is not open today.”
Hirose’s frowns deepen, “How do you know that the oden stall is not open? Jinshan? You’re not...” Hirose draws open the curtain and tries to take a look at the street from his window.
“Are you looking outside your window now?”
“Yes. Wait.” Hirose puts down his phone so he can use both hands to open the window. He shivers at the breeze but shaking it away and takes his phone again. “Hello?”
“Still here. You’re really looking out your window?”
“I am! Where are you?” Hirose cranes his neck and squints so he can get a better vision but even his glasses are not doing that much for him. “Jinshan, I can’t see you. Mou, just step into the light so I can see you or why don’t you just come upstairs? It’s not like you don’t have keys.” Hirose is still craning his neck but sees nothing and to annoy him, Jinnai is laughing.
“Of course you can’t see me! I’m in my room, you idiot.” He laughs so loud Hirose suspects Jinnai must have rolling on the couch because of it.
“JINSHAN! It’s not funny!!”
Jinnai still laughs. “Hahahaha, sorry. Look, I’ve told you my schedule is pretty tight for the moment. You think I’ll jeopardize it by going there and spend the night with you?”
Hirose throws himself to the bed again, letting the window open. He sighs loudly and pouting again. “It’s my birthday! I’m entitled to nice surprises and getting everything I want!”
“Of course, you do. I’d love to be there if it’s not for my job.”
Hirose curls up, hugging both of his knees with one arm and tossing around on the bed. “Ne, Jinshan.”
“Hmm?”
“So, if, say, you can skip tomorrow’s schedule, you’d happily come here?”
“That’s what I said.”
Hirose chews on his lower lip. “Hontou?”
“Un.”
“Hontou ni hontou?
“Honma.”
“Jinshan.”
“Hmm?”
“You really must not forget about that surprise party, okay?” Hirose presses on.
Jinnai chuckles but if only Hirose can see him, Jinnai is nodding. “I won’t. I promise.”
“Jinshan,”
“What, Daisuke?”
“I really miss you today.”
“....I think about you, too.”
Hirose smiles a little. “Call me again tomorrow?”
“You’re the one who insist that you want to talk as long as possible with me.” Jinnai sounds amused.
“But I’m really sleepy. Rehearsal will be at nine.”
“Ouch.”
“You know how it is.”
“Yeah.” Jinnai agrees. “I won’t be in until after midnight, though.”
“I’ll wait! It’s okay. I’ll wait.” Hirose answers quickly.
“If you insist,” Jinnai says. “Fine. I’ll let you know if I finish early.”
“Un. Now, give me a kiss?”
Jinnai laughs.
-end-
Friday, May 4, 2012
[fanfic] Suki Dakara, Suki
“Mau tinggal di tempatku?”
“Eh? Nande?”
Pria itu mengerutkan bibirnya lalu mengedikkan bahu dengan acuh. “Ada banyak tempat di rumahku. Tak ada salahnya menampung satu orang lagi. Yah, kalau kau tak mau juga tak apa sih. Aku cuma menawarkan.” Ujarnya sambil bersiap balik badan untuk berlalu.
Dengan cepat, ia menangkap lengan pria itu. “Un! Aku mau!”
*****
Lapisan tipis titik-titik air turun dengan perlahan. Tidak deras, tapi hujan seperti ini bisa membuat perasaan pun jadi berubah. Daisuke memutuskan kalau ia tak perlu membuka payung meskipun ada satu tersimpan di dalam tasnya. Dia lebih memilih merapatkan trenchcoat-nya, menegakkan kerah lalu berjalan menembus gerimis dari stasiun menuju apartemennya.
Sepanjang jalan, ia beberapa kali berhenti untuk memperhatikan etalase toko yang masih buka di jam yang sudah mulai larut seperti itu. Senyumnya mengembang lebar saat melihat patisserie langganannya masih buka. Dengan riang dan langkah yang nyaris melompat senang, Daisuke masuk ke toko itu dan keluar tak berapa lama kemudian dengan bungkusan berlogo pattiserie itu di satu tangan dan siulan riang.
Hujan memang tidak bertambah deras tapi Daisuke memutuskan untuk mempercepat langkah. Kurang dari 5 menit, ia sudah sampai di gedung apartemen yang masuk dalam hitungan apartemen mewah di daerah itu. Daisuke menekan kodekunci di dekat pintu utama gedung itu, menyapa petugas jaga malam sebelum memeriksa kotak posnya lalu menuju lift untuk naik ke apartemennya.
Beberapa tahun yang lalu, ia tak akan bisa membayangkan dirinya pulang menaiki lift melewati beberapa belas lantai untuk menuju lantai paling atas yang berupa penthouse. Dia baru datang ke Tokyo saat itu, berjuang mengumpulkan biaya untuk kuliah dengan bekerja di sebuah klub. Ia hanya memberitahu ibunya di kampung kalau pekerjaannya hanyalah mengantarkan minuman. Ibunya tak perlu tahu kalau ada hal-hal lain yang terpaksa harus dilakukannya seperti duduk menemani tamu dan kadang membiarkan tamunya meletakkan tangan di beberapa bagian tempat yang sungguh membuatnya merasa risih. Tapi bayarannya sungguh lumayan untuk biaya kuliahnya jadi Daisuke menelan ludah dan memaksa sudut-sudut bibirnya untuk tersenyum.
Dua tahun yang lalu, semua itu berubah. Seseorang datang dalam hidupnya, menawarinya tempat tinggal yang baik, mengenalkannya pada seorang pemilik klub jazz yang mempekerjakannya mengantar minuman dan hanya itu saja tanpa embel-embel lainnya, membantunya mendaftar program beasiswa dan membuat hatinya begitu tentram.
Bunyi berdenting pelan dan pintu lift yang mulai membuka otomatis memberinya tanda bahwa ia sudah sampai di rumah. Tanpa menunggu pintu lift terbuka sempurna, Daisuke menyelip keluar dan mengeluarkan kunci. Bagian dalam penthouse itu remang-remang saat ia masuk. Daisuke menutup pintu di belakangnya, meletakkan kunci ke dalam mangkuk kaca yang terletak di atas kotak sepatu di genkan sambil mendorong lepas sepatunya dengan tumitnya. Matanya mengerjap beberapa kali untuk membiasakan dengan suasana yang remang. Tak butuh banyak usaha karena ada cahaya yang datang dari lampu duduk di ruang tengah.
“Tadaima~” ujarnya riang sambil menggantung trenchcoat-nya di gantungan di dekat pintu lalu mendekat pada sosok yang berbaring di sofa. Kepala orang itu bersandar nyaman di lengan sofa yang empuk. Kedua matanya tertutup sebelah lengan sementara tangan yang satunya tertumpu pada sebuah buku yang tergeletak di atas perutnya. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur dan perlahan.
Daisuke tersenyum geli. Diletakkannya semua bawaanya di atas meja kopi di depan sofa lalu duduk di tepi sofa, menghadap pada sosok yang tengah tertidur itu. Daisuke membungkuk dan menjulurkan kepalanya untuk mengecup lembut pipi pria itu. Hanya gumaman pelan menyambutnya. Daisuke menciumnya sekali lagi dan kali ini menusukkan jari telunjuknya ke pipi orang itu. Kali ini tangan pria itu bergerak menangkap jari Daisuke.
“Kau mau jarimu kugigit sampai putus ya?” Gumam pria itu masih dengan mata tertutup.
Daisuke terkikik geli lalu mengecup ujung hidung pria itu. “Kalau tidur di sini tanpa selimut, nanti masuk angin, Jinshan.”
Jinnai hanya bergumam, membuka sebelah matanya lalu tertawa melihat rambut Daisuke yang agak lembab. “Bilang lagi soal aku yang tidur di sini dan bisa masuk angin, kau sendiri hujan-hujanan.”
Daisuke menyisir poninya yang basah, merengut. “Aku tak akan masuk angin hanya karena hujan gerimis begini.”
Jinnai beringsut, membiarkan Daisuke berbaring di atasnya dan menyingkirkan bukunya ke atas meja. “Sou? Baiklah. Kalau besok pagi kau bangun dengan hidung tersumbat dan bersin-bersin, jangan harap aku akan merawatmu ya.”
Daisuke mencibir, “Bilang begitu lagi, aku akan kabur ke tempat Mossan.”
Jinnai mengangkat alisnya pada ancaman itu. “Oh? Silakan saja loh. Jangan harap kau bisa makan sup miso dan kare enak di tempat Mossan.”
Daisuke terdiam sejenak. “M, maa… Kalau hanya miso dan kare, aku sudah bisa buat sendiri loh! Jinshan kan juga sudah mengakui kalau buatanku sudah lumayan enak.”
Jinnai nampak berpikir sejenak lalu mengangguk. “Un. Sou ne. Kalau begitu, karena kau akan pindah ke tempat Mossan, sebaiknya kubatalkan saja ya niat untuk buat éclair isi cream cheese dan raspberry-nya ya.”
“Eeeeh? Hidoi!” Daisuke menegakkan tubuhnya dan memukul dada Jinnai, “Pakai taktik seperti itu curang namanya! Jinshan kan tahu aku suka sekali éclair isi cream cheese dan raspberry! Mou!”
Jinnai terbahak-bahak sambil berusaha berkelit dari serangan Daisuke meskipun itu bukan hal mudah karena Daisuke masih menindih tubuhnya dan sekarang malah bisa dibilang pemuda itu sudah menduduki perut Jinnai. “Taktik apa? Aku memang berencana buat éclair itu kok. Minggu depan aku mau mampir ke tempat Waka dank arena Waka bilang ingin coba, jadi aku memang mau buatkan. Bukan karena mau mencegahmu pindah ke tempat Mossan, kok.”
Daisuke merengut hebat. “Bhu!”
“Lagipula,” Jinnai menarik Daisuke ke arahnya dan melingkarkan lengan ke sekeliling pinggang Daisuke yang ramping (kalau tak mau dibilang terlalu kurus) dan Daisuke menurut saja, “kau yang tukang cari perhatian seperti ini, mana mungkin bisa tahan bersaing dengan Shinchi, Utsumi dan Acchan? Buntut-buntutnya kau pasti akan meneleponku sambil mengeluh panjang lebar lalu minta kujemput. Begitu kan?”
“M, maa…” Daisuke memiringkan kepala lalu menundukkan kepala. Jemarinya menggerut kemeja yang dikenakan Jinnai lalu bergumam sebal. “Begini saja aku harus bersaing dengan Hiramaki-san kan?”
“He?” Jinnai mengangkat kepalanya, menunduk sedikit agar bisa menatap Daisuke dengan baik. “Bilang apa?”
Daisuke menelan ludah mendengar nada suara Jinnai yang terdengar sedikit waspada seolah memastikan ia sungguh tak salah dengar. Pemuda itu berpikir mungkin sebaiknya ia diam saja lalu pergi mandi dan tidur. Ia sudah menyenggol hal yang tak seharusnya ia ungkit. Ia sudah tahu bagaimanapun sayangnya ia pada Jinnai dan seberapapun Jinnai punya perasaan yang sama padanya, Daisuke tak akan mungkin bisa bersaing dengan orang itu. Jinnai rela mati untuk orang itu.
Meskipun begitu, entah kenapa ia merasa tidak bersalah sama sekali. “Demo, benar kan? Kalau aku menelepon dan bilang, ‘Jinshan, aku keseleo.’ Jinshan akan bilang, ‘Jangan banyak bergerak. Pulangnya naik taksi saja,’ atau ‘Tunggu saja di situ. Nanti setelah kujemput.’ Coba kalau Hiramaki-san yang bilang begitu, Jinshan pasti langsung lari tanpa pikir dua kali lagi.” Ujarnya panjang, menirukan gaya bicara Jinnai tanpa cela. Wajahnya memerah menahan emosi. Entah marah, entah kesal atau mungkin juga ia malu.
Dia bersikap seperti anak kecil. Cemburu seperti ini rasanya bodoh sekali.
Jinnai mengerjap lalu seperti yang sudah diduga Daisuke, pria itu tertawa terbahak-bahak. Kemudian, Jinnai mengangkat satu jarinya. “Satu. Waka tak akan meneleponku hanya karena ia keseleo. Orang pertama yang akan dihubunginya jika itu terjadi adalah tetangganya atau Takiguchi-san untuk membantunya mengurus restorannya. Baru setelah itu Waka akan memberitahuku lalu Mossan dan Taku-san. Dua,” Jinnai mengangkat satu lagi jarinya.
“Hai, hai. Aku menyesal sudah bilang begitu. Lupakan saja.” Potong Daisuke cepat sebelum Jinnai sempat mencelanya. Ia sudah tahu Jinnai akan bicara apa.
Namun seolah tuli, Jinnai tetap melanjutkan, “Apa kau serius beranggapan aku benar-benar tak peduli padamu?”
“Sou! Yang seperti itu!” Tuding Daisuke. “Jinshan tak pernah menjawab pertanyaanku secara langsung! Selalu berputar-putar seperti itu! Memangnya aku ini bisa menebak apa yang ada di kepala Jinshan? Aku ini kuliah ekonomi dan bukan psikologi atau ilmu ajaib lainnya, tahu!”
Bodoh. Bodoh sekali. Daisuke mengutuk diri dalam hati. Rasanya seperti ingin menangis. Padahal waktu pulang tadi, ia sedang merasa senang sekali tapi kenapa jadi begini? Daisuke mengusap pipinya dengan telapak tangan, menolak untuk melihat ke arah Jinnai lagi meskipun masih membiarkan Jinnai memeluknya.
“Aku sama sekali tidak berniat membanding-bandingkan. Sungguh, loh. Tapi—“ perkataannya belum selesai, terputus begitu saja oleh bibir Jinnai yang menangkup cepat dan tegas di atas bibirnya sendiri. Daisuke mengerjap. Sesaat, ia tak bereaksi meskipun Jinnai bergerak mengecup dengan lebih lembut lalu sekali lagi.
“Nande?” bisiknya serak beberapa saat kemudian, meskipun bibirnya sendiri kemudian bergerak mencari bibir Jinnai.
“Aku tidak melakukan ini dengan Waka, loh.” Ujar Jinnai, membalas ciuman Daisuke dengan kecupan lembut di sudut bibir Daisuke. Hidungnya digesekkan dengan hidung Daisuke, “Kore de jyuubun deshou? Aku mungkin saja langsung lari ke tempat Waka kalau ada sesuatu tapi aku hanya begini denganmu, loh.”
Daisuke menjerit pelan saat Jinnai bergerak dan berputar dengan cepat hingga punggung Daisuke terhempas ke bantalan sofa. Pemuda itu hanya sanggup menatap Jinnai dan membiarkan kedua tangannya bergerak melingkari pundak dan leher Jinnai secara insting. Kakinya mengait dengan tungkai Jinnai dan Daisuke menarik menutup mata saat Jinnai mengecup keningnya.
“Wakaru?”
Daisuke mengangguk, “Tabun.”
Jinnai tertawa, menunduk untuk mencium Daisuke sekali lagi. “Orang merepotkan sepertimu ini, benar-benar membuatku pusing.”
Daisuke merengut, menggigit bibir Jinnai dengan gemas. “Shouganai deshou? Jinshan ga suki dakara.”
“Suki?” Jinnai bertanya, satu alisnya terangkat, menggerakkan bibirnya ke bibir Daisuke lalu beralih mengecup hidung Daisuke.
Daisuke mengejar bibir itu, “Un. Suki desu. Zutto.”
Sudut bibir Jinnai membentuk senyum miring. “Kochira koso.”
Daisuke tertawa. “Dasar curang!”
Sunday, February 5, 2012
[fanfic] Just His Luck
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I own nothing
Note: I hate my blekberi keypad -_-
Suara pisau beradu dengan talenan dengan ritme yang teratur mengisi dapur mungil itu. Sesekali terhenti untuk kemudian berlanjut lagi. Asap tipis mengepul dari sela tutup panci di atas kompor. Wangi samar daging, sayuran segar, harum bawang bombai dan beberapa bumbu lain memenuhi udara. Daisuke mengendus pelan, memejamkan mata sementara sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyum. Lengannya yang panjang mendekap lutut di depan dada, seolah tak begitu peduli kalau kakinya tak tertutup apapun. Matanya kemudian terbuka, kembali terarah pada sosok yang tengah sibuk memindahkan sayuran yang sudah dipotong-potong untuk direbus di dalam panci.
"Madaaaa?" Tanyanya sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri.
"Sabar sedikit. Lagipula, aku yang lebih lapar, kan?" Jinnai melempar beberapa jumput garam dan merica ke dalam panci lalu melempar sejumput melewati bahu.
Melihat itu, Daisuke mengerjap. "Kenapa melakukan itu?"
"Apa?" Jinnai bertanya tanpa menoleh.
"Itu, melempar garam ke belakang."
"Oh." Jinnai melirik sekilas lalu tersenyum miring. "Untuk mengusir nasib buruk yang selalu ada di belakangku."
Sesaat, Daisuke mengerjap, berusaha mencerna ucapan Jinnai lalu menggembungkan pipi dengan sebal saat mengerti apa maksudnya. "Mou! Jadi maksudmu aku ini nasib buruk, begitu?"
Jinnai terbahak, berhenti untuk mencicipi masakannya lalu nyengir lebar, "Maa ne."
"Jinshan!"
Suara tawa Jinnai kembali terdengar sementara si pemilik suara kembali sibuk berkutat dengan masakan lain: meletakkan penggorengan penuh berisi minyak dan menyalakan kompor. Sepasang lengan yang mendadak melingkari pinggang mengejutkannya.
"Kalau begitu, aku akan jadi nasib buruk yang tak mudah diusir dengan taburan garam dan akan mengikuti Jinshan ke manapun seumur hidup."
Jinnai menepuk lengan itu, "Komatta na." Ia kemudian berputar, menghadapi Daisuke yang masih mendekapnya dan menunduk untuk mengecup kening pemuda itu. "Keberuntunganku sepertinya memang sudah habis sejak menolongmu tempo hari. Jadi, Nasib Buruk-kun, sebaiknya kau membantuku meracik salad atau kau tak akan kubagi sup bola daging dan kroketnya." Ujarnya sambil menepuk punggung Daisuke.
"Huh." Daisuke melengos. "Berbahagialah karena nasib buruk yang satu ini suka masakanmu." Cibirnya sembari melipir ke lemari es dan mengambil bahan-bahan untuk salad.
Sambil menggoreng kroket, Jinnai melirik pada Daisuke yang sudah sibuk di sebelahnya. Ia menggigit bibir agar tak mengomentari jersey Daisuke yang panjangnya hanya mencapai setengah pahanya. Pemuda itu bahkan tak ambil pusing untuk mengenakan celemek dan meracik salad dengan tekun. Mau tak mau Jinnai nyengir melihat pemuda itu membuat salad seperti yang biasa disajikan di kedai. Daisuke memperhatikannya saat datang ke kedai di tengah jam sibuk. Siapa sangka Daisuke ingat bagaimana membuatnya.
Daisuke mencicipi campuran saus yang dibuatnya. Cengirannya melebar dan lalu mengulurkan jari telunjuk yang berbalut saus di ujungnya pada Jinnai. Dengan patuh, Jinnai membuka mulut. Bahu Daisuke berkedik senang saat Jinnai mengangguk, menyetujui rasa sausnya lalu beralih membawa mangkuk berisi salad ke meja makan.
"Perlu mangkuk?"
"Kecuali kau mau makan langsung dari panci,"
Daisuke terkikik, melewati Jinnai untuk menjangkau lemari gantung di atas kompor. Sejenak kemudian, ia sudah sibuk menata meja sementara Jinnai memberikan sentuhan-sentuhan akhir pada masakannya. Tak lama, pemuda itu menatap antusias pada sup bola daging, kroket, salad dan nasi hangat yang tersaji di hadapannya.
"Uwa, uwa, uwaaaaa~ Jinshan memang hebaat!" Daisuke bertepuk tangan ceria dan Jinnai harus meletakkan jari di depan bibir agar pemuda itu memelankan suara karena khawatir akan membangunkan ayahnya yang sudah tidur. Daisuke ikut meletakkan jari di depan bibirnya sendiri dan mengangguk minta maaf. "Paman tidurnya cepat ya?" Komentarnya sambil menjangkau sumpit.
Jinnai duduk di sebelahnya, di sisi lain meja. "Biasanya sampai larut juga kok tapi sepertinya sedang agak tak enak badan."
Mereka mengangkat sumpit ke depan dada dan bersama-sama mengucapkan "itadakimasu". Daisuke menjumput saladnya, "Kalau begitu, besok akan seharian di kedai ya?"
Jinnai mengangguk. "Mungkin. Kenapa?"
Daisuke menggelengkan kepala. "Nandemonai," dan mengunyah pelan. "Umai~" komentarnya pada sebuah gigitan kroket.
Jinnai memiringkan kepala lalu terbelalak, "Aah! Aku sudah janji mengantarmu ke toko buku ya? Gomen."
Daisuke buru-buru mengibaskan tangan dan menelan sebelum berbicara. "Daijoubu. Aku masih bisa ke sana kapan saja. Tidak butuh buru-buru, kok."
"Hontou?" Jinnai memandang tak percaya namun anggukan kepala Daisuke berusaha meyakinkannya. Jinnai pun mengangguk-angguk meski masih tak melepaskan pandang dari Daisuke yang kini tengah mencicipi sup bola daging buatannya. Mata pemuda itu melebar dan memandang Jinnai dengan kagum.
"Ini enak sekali! Jinshan, maji de~ Umai! Chou umai!" Ucapnya dengan semangat lalu menyeruput kuah sup, "Aaa, rasanya seperti di surga~"
Jinnai terbatuk karena nyaris tersedak mendengar pujian Daisuke. "Sou?" Dia tertawa, beralih sejenak untuk mengambil teh.
"Un! Aaah, aku sungguh beruntung karena bisa merasakan masakan seperti ini terus." Ujarnya seraya mengulum sumpit.
"Terus?"
"Un."
Jinnai menggigit bagian dalam mulutnya, menahan cengiran. "Sou? Aku benar-benar tak bisa mengusir nasib burukku sepertnya ya."
Daisuke tersenyum lebar. "Muri desu."
-end-
Thursday, February 2, 2012
[Fic] Simple
Sunday, January 15, 2012
[fanfic] Honest
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Note: Karena pairing ini sangatlah lucu.
Happy birthday, Jinshaaaaaan!!
"Jinshan!"
Langkah Jinnai terhenti sementara kepalanya menoleh ke belakang melewati bahunya. Seorang pemuda bergakuran berlari-lari kecil ke arahnya sambil melambaikan tangan, sementara tangan yang satu lagi menjaga ransel yang tersampir di pundaknya. Jinnai memutar tubuhnya sedikit.
"Ou. Daisuke ka."
Daisuke menggembungkan pipi dan memukul lengan Jinnai saat ia sudah berada di samping pria itu. "Kenapa seperti tak senang begitu sih?"
Jinnai mendengus dan hanya mengedikkan bahu. Dengan acuh, dia kembali melangkah, membiarkan Daisuke menyusul dan menyejajari langkahnya.
"Mou," pemuda itu masih tak terima. "Kenapa sih? Salah bangun? Dompetnya hilang? Atau dimarahi Paman karena berkelahi lagi?" Tanyanya beruntun. Sebuah sentilan di ujung hidungnya membuatnya memekik terkejut. "Sakit, tahu! Awas kalau sampai aku tak manis lagi karena luka di hidung."
Jinnai tertawa terbahak-bahak. "Memangnya kau ini perempuan?" Ujarnya seraya menyelipkan sebatang rokok ke sela bibirnya.
Daisuke memiringkan kepala, meletakkan jari di pipi lalu tersenyum genit. "Tapi aku tak kalah manis sama anak perempuan, loh. Semua orang bilang begitu."
"Percaya saja, deh." Jinnai mengangguk-angguk. Dia pun tak mau menyangkal. Daisuke memang manis dan sangat ramah pada siapapun. Dipikir lagi, mereka bisa kenal pun karena Daisuke yang manis itu diganggu gerombolan preman dan Jinnai yang kebetulan lewat jadi harus menolong. Dia tidak bilang dia anak baik -reputasinya sebagai orang nomor dua terkuat di wilayah itu setelah setan cantik bernama Mitsuya Ryou sungguh bukan gelar main-main, tapi dia tak suka menggunakan kekuatannya untuk sengaja mengganggu yang lebih lemah. Bukan salahnya ataupun maunya kalau bertahun-tahun setelah itu pun Daisuke masih mengikutinya kemana-mana.
"Ngomong-ngomong, Jinshan mau ke mana?" Daisuke mencondongkan tubuhnya ke depan untuk melihat wajah Jin.
Pelipis Jinnai berkedut, "Kau ini. Mestinya tanya itu dari tadi sebelum mengikutiku kan?"
Daisuke tersenyum. "Daijoubu. Sudah tak ada berani menggangguku lagi sejak aku sering jalan bareng Jinshan, loh!" Jawabnya ceria.
"Tsk." Jinnai berdecak. "Kau memanfaatkan aku nih, ceritanya?"
"Mochiron!"
Jinnai mendesah pasrah. "Aku mau belanja." Ujarnya kemudian.
"He?"
"Keperluan toko."
"Boleh ikut?" Daisuke mengerjap tanpa dosa.
Jinnai memutar kedua bola matanya. "Memangnya kau akan menurut kalau kusuruh pulang?"
Daisuke terkikik dan menggeleng dengan ceria. Tanpa ragu, ia menggamit lengan Jinnai dan bersenandung riang saat mereka melanjutkan langkah.
Mungkin memang ada untungnya membiarkan Daisuke ikut dengannya. Pemuda itu dengan riang dan imutnya menawar semua barang yang hendak dibeli Jinnai. Paman penjual sayur rela memberikan 1/2 kilo lebih banyak dengan harga yang sama yang biasa dibayar Jinnai. Paman penjual daging, setelah disenyumi Daisuke, rela memberikan diskon 1/2 harga. Bibi penjual beras memberikan bonus sekantung kue beras untuk camilan.
Jinnai harus angkat topi untuk pemuda itu. Karena itu, dia tak menolak saat Daisuke menarik-narik lengan bajunya sambil menunjuk-nunjuk toko es krim. "Jinshan, haus!"
Ditepuknya kepala Daisuke sambil menunjuk ke arah lain. "Yang di sana lebih enak." Tukasnya.
Wajah Daisuke berbinar dan ditariknya lengan Jinnai dengan semangat.
"Di sini?" Daisuke menunjuk sebuah toko mungil bergaya tradisional Jepang dengan noren berwarna biru tua bertuliskan kanji es. Jinnai mengangguk lalu mendului Daisuke memasuki toko itu.
"Irasshai~" sebuah suara yang ramah dan empuk di telinga menyambut begitu Daisuke menyembulkan kepala dari balik noren.
"Yo,Ue-chan!"
"Sho-chan! Hisashiburi!"
Daisuke mengerjap, menatap dengan agak heran pada Jinnai yang ngobrol dengan akrab dengan pelayan toko itu: seorang pemuda bertubuh agak gempal dengan rambut super cepak dan berwajah cukup tampan. Ia mendekat dan mengintip dari belakang punggung Jinnai.
Pemuda pelayan itu mengenakan jinbei bermotif garis vertikal berwarna coklat, juga mengenakan celemek hitam di pinggang. Ia memiringkan kepala lalu tersenyum ramah saat melihat Daisuke. Ia mengangkat alisnya yang tebal pada Jinnai, "Temanmu?"
"Ah, begitulah. Ini--"
"Hirose Daisuke desuu! Yoroshiku!" Daisuke langsung menyambar dengan ceria sampai pemuda di hadapan mereka tertawa.
"Lucu ya. Aku Ueda Yuusuke. Teman lamanya Sho-chan." Balas pemuda itu.
"Aku lucu katanya, Jinshan." Daisuke berucap dengan antusias. "Teman Jinshan berarti temanku juga."
Jinnai menggaruk-garuk kepalanya. "Jangan seenaknya memutuskan begitu, dong. Sana, duduk. Kau mau pesan apa?"
"Ada es krim azuki? Pakai mochi!"
Pemuda bernama Yuusuke itu mengangguk. "Kashikomarimashita. Sho-chan yang biasa?"
Jinnai mengangguk kemudian menyusul Daisuke yang sudah menempatkan diri di meja kedua dekat pintu. Toko itu tak terlalu besar, malahan bisa dibilang mungil. Hanya ada 6 meja untuk dua orang dan 1 di ruang tatami di sudut ruangan. Interiornya pun sama sekali tak ada kesan modern kecuali televisi, mesin kasir dan telepon di meja kasir. Daisuke memperhatikan dengan antusias lalu menyibukkan diri melihat menu yang ada di atas meja; ditulis tangan dengan bentuk kanji yang sangat rapi.
"Toko ini sudah lima generasi loh."
Daisuke mengangkat kepala, menerima handuk basah untuk mengelap tangan yang disodorkan Jinnai. "Ih, aku kan tidak tanya." Kikiknya.
"Tapi kau penasaran kan?"
"Hehehe. Yang tadi itu benar temanmu? Bekas berandalan juga?"
Jinnai memukul kepala Daisuke, tak keras tapi cukup membuat pemuda itu mengaduh dan menggembungkan pipi dengan sebal. "Aku kan cuma tanya."
"Ue-chan itu bekas ketua klub kendo. Dia sering mengajakku bergabung dengan klub daripada aku berkelahi terus. Tapi aku tak berminat."
Daisuke mengangguk-angguk sok mengerti. "Jinshan sepertinya suka padanya ya?"
Jinnai memandang Daisuke sejenak lalu menopang dagu sambil tersenyum jahil. "Kalau iya? Apa kau cemburu, Daisuke?"
Daisuke ikut menopang dagu dengan kedua tangannya. Kedua pipinya kembali menggembung. "Jangan menggodaku, ah."
Jinnai mengangkat sebelah alisnya. "Kamu loh yang mengikuti kemana-mana."
"Memang. Begitu saja sudah mengerti kan?" Daisuke melengos.
"Katanya tak mau kelihatan tidak manis? Jangan cemberut dong."
"Bhu."
Jinnai tertawa kencang. Yuusuke yang muncul dengan pesanan mereka (es krim azuki dengan mochi dan es krim mangga) sampai mengangkat alis penasaran. Jinnai hanya nyengir dan Yuusuke pun berlalu setelah dipuji kalau es krimnya enak.
Daisuke masih pasang tampang cemberut meski sudah menghabiskan dua porsi es krim lagi. Ia memandang tak senang pada Jinnai yang tampak tak peduli dan malah berlama-lama ngobrol dengan Yuusuke sebelum mereka pamit pulang.
"Belanjaannya?" Tanya Daisuke saat mereka melangkah meninggalkan daerah pertokoan itu.
"Nanti diantar. Aku kan tak bawa mobil." Jinnai menyahut singkat.
Daisuke mengangguk. Diikutinya langkah Jinnai yang menuju ke arah rumahnya. Hari sudah gelap saat mereka berhenti di depan sebuah rumah berpapan nama 'Hirose'.
"Jya. Mata ne." Ujar Jinnai sambil tersenyum miring dan membuat tanda salut dengan sebelah tangan lalu berbalik.
"Ano, Jinshan!" Panggil Daisuke.
"Hmm?" Jinnai berbalik lagi. "Ada apa?"
Daisuke terdiam sejenak. Saat ia mengangkat kepalanya lagi, senyum lebarnya yang ceria sudah kembali menghiasi wajahnya. "Nandemonai. Mata ne~" ucapnya sambil melambaikan tangan.
Jinnai mengerjap lalu berdecak. "Brengsek." Gumamnya. Tanpa pikir panjang lagi, kedua kakinya melangkah dan ditariknya lengan Daisuke yang baru saja hendak membuka pintu pagar.
"Jinshan?"
Jinnai tak menjawab. Satu lengannya dilingkarkan ke pinggang Daisuke dan menarik pemuda itu merapat pada tubuhnya sendiri dan diciumnya pemuda itu tanpa ragu. Bibir yang hangat, lembut dan terasa manis seperti es krim azuki. Dikecupnya dengan sayang sementara mengeratkan pelukan. Dirasakannya tubuh Daisuke bereaksi padanya dan Jinnai memberanikan diri untuk memagut beberapa kali sebelum melepaskan pemuda itu dari pelukannya.
Daisuke nampak sangat terkejut dan meski wajahnya memerah, matanya berbinar riang dan ia terkikik senang. "Jinshan,"
Jinnai mendengus dan mencubit pipi Daisuke. "Oyasumi."
"Un. Oyasumi."
-end-