Forbidden Colors
Sunday, August 12, 2012
[fanfic] Koi ni Ochittara
Monday, July 16, 2012
[fic] Shiawase ni
Rating:PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything
Note: AU di mana Kuma adalah dokter gigi ganteng (yg ntah kenapa kalo gue yg nulis selalu terlihat keren orz tapi tak apa, kau memang ganteng kok, Kuma XD). Setelah sekian lama, akhirnya selesai juga 1 fic. Ahe~ Banyak ide, tapi ntah kenapa susah banget nulisnya *palms face*. Anyway, ini untuk Anne dan Nei yang sudah begitu lihai dengan ninja skills-nya XDDD
Tsune tak akan pernah menyangka kalau ia akan duduk di sofa itu, dengan sebotol bir di tangan –yang seharusnya tidak diminumnya karena asupan alkoholnya sudah melebihi kuota normal tapi peduli apa, dia kan sedang di pesta. Jas-nya sudah ditanggalkan sejak dua jam yang lalu, begitu juga dasinya dan kancing kemejanya sudah terlepas 3 buah. Yang terakhir itu bukan perbuatannya tapi Tomoru yang menariknya ke sudut dan bermesraan penuh hasrat dengannya sebelum mendadak ia tertidur di tengah-tengah. Tsune hanya bisa menghela nafas berkali-kali sambil menidurkan Tomoru di kamarnya dan berniat untuk menimpakan kesalahan pada Daiki yang tidak menjauhkan alkohol dari Tomoru. Masalahnya, dia tak bisa menemukan sahabat Tomoru itu di manapun. Dipikir lagi, dia juga tak melihat Kikuchi sejak tadi.
Dengan acuh, Tsune mengangkat bahu dan menenggak birnya lagi. Sebaiknya dia mencari sesuatu untuk dilakukan tapi apa? Sebentar lagi pestanya akan selesai – ia mengingat samar-samar jadwal acara yang dibuatnya bersama Kimito, Takuma dan Shunsuke – yang tersisa hanya menggiring kedua pengantin itu untuk mengejar pesawat terakhir ke Italia. Mungkin sebaiknya dia beranjak dari situ dan naik ke kamar Masahiro untuk memastikan kalau semua perlengkapan bepergian sepupunya itu sudah selesai dipak.
Sekali lagi ia menghela nafas. Sejak kapan dia mau repot seperti ini untuk adik sepupu yang manja itu?
Mau tak mau, Tsune meletakkan botol birnya ke atas meja. Sekalian saja menengok keadaan Tomoru dan mengecek ke mana perginya dua temannya itu. Namun niatnya itu terhambat oleh Takuma yang menghampiri dan duduk di sebelahnya. Sepasang mata tajam Tsune meneliti sahabat Tori itu baik-baik. Kerutan samar di dahi Takuma menarik perhatiannya dan mata hitam-biru Tsune pun mengikuti ke arah mana Takuma memandang. Masahiro dan Tori tengah duduk dua meja di seberang mereka, bercakap-cakap dengan fotografer kenalan Masahiro dan kalau tak salah yang seorang lagi itu perancang busana mereka.
Tsune mengambil birnya lagi dan menenggaknya dengan santai, “Kalau memandang mereka terus seperti itu, orang akan berpikir Anda tidak setuju dengan pernikahan ini loh, Sensei.”
Takuma nampak tersentak dan buru-buru menutupi kegugupannya dengan tertawa. Tangannya menyisir rambutnya yang kecoklatan dengan gugup. Hmm, dokter ini memang tampan, batin Tsune. Kenapa dengan orang setampan itu di dekatnya, Tori sama sekali tak tertarik? Tsune paham sekali dengan Masahiro tapi kalau menebak dari sifat Tori sepanjang beberapa bulan Tsune mengenalnya, kelihatannya Takuma akan lebih cocok dengan dokter itu dibanding Masahiro.
Diperhatikannya Takuma yang juga membawa bir bagiannya sendiri dan menyesap perlahan. Dokter itu juga sudah menanggalkan jasnya dan menggulung kedua lengan kemejanya.
“Mana pacar Sensei yang manis itu?” tanya Tsune lagi, memutuskan kalau ia mungkin sungguh tak ingin tahu Takuma akan berkomentar apa soal celetukannya tadi.
Kali ini Takuma langsung menjawab, “Sepertinya di atas dengan adikku dan Suda. Kubota-sensei menunjukkan ruang mainan Masahiro dan membiarkan mereka main di sana.”
“Ah,” Tsune mengangguk, “Aku yakin Masahiro tak akan keberatan.”
“Apa itu sarkasme?” Takuma mengangkat alis.
Tsune tertawa, “Sama sekali bukan. Masahiro memang manja tapi kalau sama anak kecil, he’s amazingly adorable and nice.”
Takuma menyahut dengan kekehan kecil. “Yah, dia pemuda yang luar biasa.”
Alis Tsune terangkat sebelah, “You think?”
Dokter itu menyandarkan punggung dan merilekskan tubuhnya. Kepalanya yang tampan mengangguk, “Yah. Memang butuh waktu untuk menyadari itu tapi seperti yang dibilang Matsuzaka, mungkin itu yang membuat orang suka pada Inoue-kun,” ucapnya tulus. “Dan membuat Matsuzaka jatuh cinta.”
Kalimat yang terakhir itu diucapkan Takuma dengan pelan dan Tsune nyaris tidak mendengar. Ada sesuatu dalam nada bicara Takuma dan Tsune berharap ia salah mengartikan. Atau mungkin sebaiknya dia tidak berpikir saat alkohol sedang menguasai sebagian besar sistem tubuhnya. Tapi Takuma menoleh padanya dan tertawa,
“Sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan, Aoki-kun,” jelas Takuma pendek.
Tsune mengangkat alis dan mengedikkan bahu. “Kalau begitu jangan ucapkan dengan nada yang membuat orang bertanya-tanya seperti itu.” Tsune melambaikan tangan pada seorang pelayan yang membawakannya dua botol bir lagi. Diserahkannya satu pada Takuma yang menyambut dengan senyum.
“Aku ini bukan tempat curhat Masahiro,” ucap Tsune lagi, “dan jujur saja, aku baru tahu soal kisah cintanya ini saat aku datang kemari karena diminta. Bayangkan saja kagetnya saat diberitahu kalau anak bengal dan manja itu mau menikah. Aku nyaris saja bertaruh kalau Matsuzaka-sensei mungkin menyelundupkan organ manusia atau menggelapkan uang rumah sakit atau apalah lalu ketahuan oleh Masahiro dan Masahiro menuntut untuk menikahinya atau ia akan buka mulut. Atau semacamnya.”
Lagi-lagi Tsune hanya mengedikkan bahu saat Takuma menatapnya tak percaya. “What? It’s a plausible cause!”
Tawa terbahak-bahak Takuma yang menyusul kemudian mau tak mau membuat Tsune pun ikut tersenyum miring seraya menenggak birnya. “Yah, Sensei tak bisa menyalahkan aku karena berpikir begitu kan?”
Takuma terbatuk dan mengikuti contoh Tsune menenggak birnya, “Tidak,” ia terbatuk lagi, “Sama sekali tidak.” Takuma menggenggam botol birnya dengan kedua tangan dan menumpu kedua sikunya di atas lutut dan mengarahkan pandang kea rah sahabatnya lagi. “Tapi kau tak perlu khawatir, Aoki-kun. Sama sekali tak ada paksaan kok.”
“Then, I’m glad,” sahut Tsune.
“Tapi pembicaraan seperti ini sepertinya sudah telat sekali, kan? Kalau mau protes, bukannya seharusnya dari kemarin?” Takuma melirik ke arahnya.
Tsune mengangkat kedua tangannya, “Hei, aku ini bukan tukang ikut campur. Aku mungkin sudah ketularan Aniki-tachi yang kelewat khawatir soal bocah itu. Kadang saja aku lupa kalau umurnya sudah 20. Tapi benar deh, aku sih terserah saja dia mau apa. Dan ini bukan protes, loh. Hanya mengungkapkan rasa penasaran saja.”
Takuma ganti mengangkat alisnya. Tsune tertawa kecil, “Kan sudah kubilang tadi, Masahiro bukan tipe yang suka curhat padaku. Waktu kutanya-tanya soal Matsuzaka-sensei, dia malah menuduh aku tertarik. Wajar saja kalau aku tertarik kan? Matsuzaka-sensei akan jadi keluarga!”
“Memang susah untuk diajak berpikir logis ya?” Takuma terkekeh.
“Aku sungguh mengerti perasaan Aniki-tachi yang selalu kerepotan,” gerutu Tsune pelan.
Takuma menarik nafas dan menenggak birnya pelan-pelan. Tsune melakukan hal yang sama.
“Dan apakah Sensei sudah protes pada Matsuzaka-sensei?”
Detik berikutnya, Tsune menyesali pertanyaannya sendiri karena Takuma melirik tajam padanya dan sekali itu, Tsune berpikir kalau Takuma bukan lawan yang enteng. Entah kenapa. Ia hanya bersyukur Takuma sama sekali tak ada hubungannya dengan Tomoru atau Tsune mungkin akan khawatir sekali. Dan itu membuat Tsune semakin bertanya-tanya.
“Aku tidak keberatan, Aoki-kun,” sahut Tsune sesaat kemudian. Pandangan matanya sudah meredup normal. “Sejak dulu, Matsuzaka cenderung melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya dan sebagai teman, tentu saja aku khawatir. Matsuzaka paham ini. Aku berusaha berbesar hati memberi kesempatan pada Inoue-kun untuk membuktikan kalau ia akan membuat Matsuzaka bahagia dan Matsuzaka bilang dia bahagia. Itu saja.”
Tsune mengangguk-angguk. “Kurasa aku mengerti itu,” gumamnya.
Selama beberapa saat, kedua pria itu terdiam. DJ yang disewa Kimito sudah mengganti lagu dengan irama yang lebih pelan dan beberapa orang turun untuk berdansa dengan pasangannya masing-masing. Mereka memperhatikan Tori berdiri dan mengulurkan tangan pada Masahiro yang menyambut dengan cengiran lebar. Senyum Tori melebar saat Masahiro melingkarkan lengan ke pinggangnya dan Tori menarik pemuda jangkung itu merapat padanya. Mereka berciuman mungkin untuk keseribu kalinya hari itu.
Tsune melirik dan menangkap Takuma mengangkat kelingking untuk menyentuh sudut matanya. Pria itu berdeham dan menenggak birnya lagi. Ada sesuatu dan Tsune curiga kalau rasanya sangat mirip dengan kekhawatirannya pada Tomoru sebelum ia meminta Tomoru jadi pacarnya. Atau mungkin saja tebakannya salah. Yang manapun, Tsune merasa itu bukan urusannya. Semoga saja.
Walaupun begitu, Tsune tetap ingin bertanya, “Apakah kau bahagia, Wada-sensei?”
“Are you, Aoki-kun?”
Tsune tertawa. Dia berdiri dan melambaikan tangan pada Takuma. Didekatinya pasangan yang tengah berdansa itu dan menepuk pundak Masahiro. Sepupunya itu menoleh dan Tsune nyengir, “Aku belum dapat kesempatan dansa dengan Matsuzaka-sensei, loh. Kau tak keberatan kan, Masahiro?”
Masahiro mengernyit tak senang pada cengiran Tsune yang menurutnya terlalu lebar dan terlihat sangat jahil. “Sepuluh menit,” gerutunya sambil berlalu ke arah Kimito yang tampak tertarik pada hiasan di sudut tenda.
Tori tertawa lebar dan menyambut uluran tangan Tsune bahkan sebelum Masahiro sempat protes. “Tentu saja, Aoki-kun. Dengan senang hati.”
Tsune meletakkan satu tangan di pinggang Tori, “Sensei boleh memanggilku Tsune saja.” Ujarnya sambil mengerling.
Lagi-lagi Tori tertawa lebar dan semu merah yang menjalar sampai ke telinganya itu sungguh sangat menawan. Tsune melirik melewati bahu Tori, pada Takuma yang masih terduduk di kursinya, menatap mereka sambil tersenyum samar. Tsune memutar langkah dengan lihai dan mengangkat alis pada Tori,
"Sensei kelihatan bahagia."
Kerlingan dan sinar di mata Tori sungguh membuat Tsune cemburu dan iri. "Sangat, Tsune-kun. Sangat."
-end-
Tuesday, June 12, 2012
[fanfic] Kore Kara Mo Zutto
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I only owned the plot
Note: Shirason Kyoudai AU. Untuk Tacchin sayang dan penggemar KyoFumi lainnya yang bisa dihitung sebelah tangan di luar sana XD Ini jinak kok, Tacc dan gak jadi pake iklan obat mata itu LOL
Fumiya yakin dia tak pernah punya selimut berwarna coklat di kamarnya. Tambahan lagi, sejak kapan kasurnya terasa lebih keras dari biasanya?
Fumiya mengerjap bingung. Dia pasti belum bangun dan masih bermimpi tapi dentuman keras dan rasa berat di bagian belakang kepalanya ini sepertinya bukan mimpi. Pemuda itu mengerutkan kening dan mengerang sebal. Sial, berapa gelas yang dihabiskannya semalam? Mengingat dirinya cukup tahan alkohol berarti memang banyak sekali yang ditenggaknya di kedai sake itu.
Kenapa juga dia minum sebanyak itu semalam? Kepalanya benar-benar tidak dalam kondisi bisa diajak berpikir apalagi mengingat tapi ia sungguh penasaran. Pemuda itu berputar dan membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Hmm, kenapa wangi bantalnya pun beda ya? Apa dia mengganti pewangi cuciannya?
Ia mengerang lagi. Dia benci sekali saat-saat seperti ini. Padahal hari ini dia harus melakukan inventaris buku-buku baru. Mana bisa dia berdiri di atas tangga atau berjalan mondar-mandir kalau kondisinya begini? Atasan dan teman kerjanya pasti akan menegurnya karena masuk kerja dengan keadaan hang over berat begitu.
“Sudah bangun ya? Bisa duduk? Sebaiknya minum ini dulu supaya lebih enak.”
Otomatis, tubuhnya bergerak; berputar pelan lalu mengulurkan tangan dan merasakan dua butir pil diletakkan di telapak tangannya yang terbuka. Dengan patuh dan setelah susah payah menarik tubuhnya untuk duduk, ia menelan pil-pil itu lalu meminum air putih yang disodorkan berikutnya. Fumiya mendesah lalu berusaha membuka matanya.
Seorang pria bertubuh lumayan besar, berkulit coklat berdiri di dekat tempat tidur, tersenyum ramah padanya. “Dou?”
Fumiya mengangguk kecil.
Siapa?
“Jam berapa?” Tanya Fumiya sambil memicingkan mata karena sinar matahari yang masuk dari jendela di sebelah kanan tempat tidur itu terlalu menyilaukan untuknya. Hmmm, sepertinya jendela di kamarnya di sebelah kiri.
Pria itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Kenapa orang ini sudah serapi itu? Ini kan masih pagi sekali. “Jam tujuh seperempat. Masih ada waktu, kok.”
Fumiya mengangguk-angguk lagi sambil menghabiskan air putih di dalam gelas yang masih dipegangnya lalu diulurkannya pada pria itu yang menyambut masih dengan senyum.
“Aku sedang buat sarapan. Mau makan? Ada kopi juga, kalau mau.”
Siapa orang ini?
Fumiya mengangguk. “Un. Kopi.”
Pria itu ganti mengangguk kemudian berlalu keluar kamar sementara Fumiya kembali merebahkan tubuhnya dan menutup matanya lagi. Minum-minum di hari kerja. Poin minus, Takahashi Fumiya, rutuknya dalam hati. Sekali lagi, Fumiya mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Ia ingat dia lembur untuk menyiapkan inventarisasi hari ini. Hitung-hitung mengurangi beban pekerjaan supaya tak terlalu repot dan lembur dua malam berturut-turut. Padahal teman kerjanya sudah bilang bersedia datang lebih pagi dan membantu Fumiya tapi ia memaksa. Kenapa? Fumiya memaksa otaknya untuk mengingat.
Karena orang itu. Orang yang dua bulan belakangan ini datang ke perpustakaan umum tempatnya bekerja. Orang itu datang hampir tiap hari sepulang jam kerja, mengambil kamus dan buku panduan bahasa Inggris lalu duduk di sudut. Ia akan duduk di situ sampai perpustakaan tutup jam setengah sembilan malam. Fumiya yang membantunya mencari buku karena bulan-bulan ini sedang gilirannya shift malam. Semalam, entah kenapa, Fumiya mengajak pria itu ke kedai sake di blok tiga dan entah kenapa pula pria itu mau. Padahal mereka sama sekali tak pernah bicara lebih dari tiga kalimat sebelumnya dan itu pun hanya menanyakan buku ini ada di mana dan oh, ada di rak keempat dua baris dari kiri.
Orang itu. Fumiya membuka matanya dan duduk tegak lagi. Mereka mulai minum dan Fumiya mulai mengoceh tentang banyak hal dan mungkin beberapa di antaranya terlalu pribadi. Pria besar itu yang tadi memberinya aspirin dan air dan tersenyum dengan ramah dan penuh pengertian. Kenapa orang itu bisa ada di sini?
Perlahan-lahan, Fumiya mulai memperhatikan isi kamar itu dan mulai menyadari kalau kamar berukuran enam kali enam itu sama sekali bukan kamarnya. Juga, kenapa ia tidak pakai baju?
Dalam sekejab, Fumiya terlanda panik.
“USOOOO!!!”
*****
Takagi Kyoushiro terbahak pelan sementara pemuda mungil yang duduk di hadapannya di meja makan itu merengut sebal dan menolak memandang ke arahnya. Diperhatikannya Fumiya yang lebih tertarik mengobrak-abrik telur dadarnya dibanding memakannya. Ia sendiri memaksa dirinya untuk menelan makanannya dan berharap kopinya cukup ampuh untuk mengusir pusing.
Mungkin seharusnya dia tidak minum-minum semalam tapi siapa yang bisa menolak kalau yang mengajak semanis itu? Pakai acara malu-malu segala, lagi. Selama ini Kyoushiro berpikir dia bukan tipe pria yang mau saja pergi minum dengan orang yang tidak dikenalnya dengan baik (kecuali klien dan itu lain soal). Dia tak suka kalau harus berurusan dengan implikasi apapun yang umumnya timbul akibat mabuk dengan orang tak dikenal.
Tapi Kyoushiro tidak menyesali yang satu ini. Sama sekali tidak.
Petugas perpustakaan yang manis itu, yang biasanya selalu menghindari tatapan mata Kyoushiro dan langsung buru-buru pergi setelah menjawab pertanyaannya, semalam tanpa sungkan langsung nyerocos tentang kehidupan pribadinya setelah menghabiskan 3 gelas bir. Kyoushiro tersenyum simpul mengingat itu. Lucu sekali. Mungkin ia butuh teman dan kalau tak salah, Fumiya mengaku ia tak punya teman dekat. Tinggal sendirian di Tokyo dan jauh dari orang tua rupanya cukup membuatnya stres. Kyoushirou paham sih. Dia sendiri tak begitu dekat dengan teman sekolah ataupun teman kuliah tapi sampai tiga bulan yang lalu, dia punya pacar jadi rasanya tak sesepi itu.
“Ano, Takagi-san…”
Kyoushiro mengangkat kepalanya, “Ah, gomen. Hanya teringat sesuatu. Mau tambah kopinya?”
Fumiya mengerjap lalu menggeleng. “…Arigatou. Umh, maksudku,” pemuda itu berhenti sejenak dan semburat merah menjalari leher dan telinganya. Sekali lagi, Fumiya menolak melihat ke arahnya. “Iie, nandemonai.”
Kyoushiro mengangkat alis. “Tidak apa-apa loh. Kalau memang ada yang ingin dikatakan, katakan saja. Toh, Fuumiya-kun sudah bercerita banyak hal padaku kan semalam?” Kyoushirou mencoba tersenyum.
“…sore dake ka?” Fumiya bergumam.
“Eh?”
“Iie.” Fumiya buru-buru menggeleng dan kembali sibuk dengan makanannya. Kali ini dia menyuap beberapa kali dan Kyoushiro senang melihatnya.
“Apa rasanya enak?”
Fumiya menatapnya dengan bingung.
Kyoushiro menggaruk bagian belakang kepalanya dengan sedikit salah tingkah, “Ah, maksudku, selama ini aku hanya masak untuk diriku saja dan dulu selalu pacarku yang memasak untukku jadi aku tak yakin dengan rasanya.”
“….Takagi-san punya pacar?”
Kyoushiro tidak yakin kenapa Fumiya terlihat begitu terkejut. “Dulu ya.”
“Jadi sekarang… tidak?”
“Tidak,” Kyoushirou menggeleng, “Sama sekali tidak.” Ia kemudian mengerutkan kening, bingung kenapa harus mengatakannya seperti itu. Ia kemudian menyesap kopinya, pura-pura tak melihat Fumiya menghela nafas dan mencoba tidak mempertanyakan apapun itu.
“Rasanya enak, kok.” Fumiya kemudian berujar pelan. “Setidaknya, ini lebih enak dari masakanku.”
Kyoushiro tersenyum. “Yokatta.”
*****
Fumiya membenamkan wajah ke balik lipatan syal yang membelit lehernya. Sarapan singkat yang lebih banyak dihabiskan dalam diam itu tak membuat perasaannya jadi lebih baik. Mungkin dia harus pesan makan siang yang banyak nanti. Dan dua gelas kopi lagi.
Berkali-kali, ia melirik ke arah pria besar yang berjalan di sampingnya itu. Kyoushiro menjaga jarak yang cukup aman dengan dirinya. Tidak jauh tapi juga tidak terlalu dekat sampai membuat mereka merasa tak nyaman. Dibilang begitu pun, rasa tak nyaman itu tetap ada. Kyoushiro terlihat begitu santai dan Fumiya merasa ini tidak benar.
“Ano, Takagi-san,”
“Ah! Kalau tidak keberatan, besok mau pergi bersama lagi?” Kyoushiro memotong niatnya bertanya dan membuat Fumiya menatapnya dengan mata terbelalak. Orang ini serius, ya? Fumiya sungguh tak habis pikir. Kyoushiro sepertinya tidak menyadari ekspresi Fumiya dan melanjutkan pertanyaannya. “Aku tahu kedai es krim enak di sekitar sini. Mungkin Takahashi-kun mau coba?”
“Nande?”
“Eh? Karena es krim di kedai itu enak sekali. Aku sudah dua kali ke sana dan Takahashi-kun suka yang manis-manis kan?”
“Nande?”
“Eh?” Kyoushiro tertawa bingung dan Fumiya jadi kesal. “Ya, karena seperti yang sudah kukatakan tadi. Apa Takahashi-kun keberatan keluar denganku lagi?”
“Bukan itu masalahnya kan?!” Suara Fumiya meninggi dan tanpa sadar, kedua tangannya mengepal menahan marah. “Kenapa Takagi-san bisa sesantai ini? Apa selalu seperti ini dengan semua orang yang mengajakmu minum lalu tidur bersama? Aku tidak bilang aku tidak salah tapi setidaknya katakan sesuatu dong. Aku tidak biasa seperti ini dan aku belum tentu mau bertemu dengan Takagi-san lagi kan? Kenapa bisa sesantai itu bicara, membuatkan sarapan segala lalu mengajakku keluar lagi. Memangnya Takagi-san tidak merasa aneh?”
Fumiya yakin ia nyaris menangis. Rasanya mau lari saja karena Kyoushiro menatapnya dengan pandangan yang begitu bingung. Oke, ralat. Dia ingin memukul Kyoushiro. Kalau pria itu tidak berkata apapun juga, Fumiya bersumpah dia akan memukul pria itu.
“Anu, Takahashi-kun, memangnya kita tidur bersama?”
“…………Eh?”
Kyoushiro balas menatapnya.
“Tidak?”
Kyoushiro menggeleng.
“Nande?”
“Nande tte…” Kyoushiro tertawa gugup. “Apakah seharusnya kita tidur bersama?”
“Bukan itu maksudku!” Fumiya buru-buru membuang muka. Merasa begitu malu dan bodoh karena sudah berpikir yang tidak-tidak. Tapi kan bukan salahnya. Terbangun di kamar asing dan tidak pakai baju setelah mabuk dengan orang tak dikenal, biasanya mengarah ke situ kan? Lagipula, kalau Kyoushiro punya keberanian untuk melucuti pakaiannya, kenapa dia tidak melakukan apa-apa? Memangnya dirinya sebegitu tidak menariknya sampai Kyoushiro tidak menyentuhnya sama sekali?
Fumiya buru-buru menepis pikiran itu. Apa-apaan sih? Sekarang bukan waktunya!
Lagi-lagi Kyoushiro menggaruk bagian belakang kepalanya. “Gomen. Aku bukannya biasa seperti ini tapi semalam menyenangkan sekali, loh. Aku senang kamu mengajakku minum dan bercerita banyak hal padaku. Padahal kupikir kamu takut padaku, loh. Karena itu semalam aku senang sekali dan kalau bisa jadi berteman denganmu, aku tidak keberatan.”
Teman?
“Tapi Takagi-san kan jauh lebih tua dariku. Memangnya tidak apa-apa?”
Kyoushiro mengangkat bahu. “Aku rasa itu bukan masalah kan? Buktinya semalam Takahashi-kun bisa bicara panjang lebar denganku.”
Fumiya membuang muka dan bergumam, “Aku kan mabuk.”
“Takahashi-kun takut padaku?” Kyoushiro bertanya dengan hati-hati.
Fumiya ingin menggeleng. “…..Un.”
“Jya, kenapa mengajakku keluar semalam?”
Kali ini ia menggeleng, “Tidak tahu. Rasanya ingin menangis tapi aku tidak tahu kenapa aku mengajakmu keluar semalam. Hanya ingin saja. Entahlah. Jangan tanya lagi.”
Kyoushiro tertawa pelan. Dengan lembut, diletakkannya tangannya di atas kepala Fumiya dan menepuk pelan. “Karena itu, aku mengajakmu keluar lagi. Supaya Takahashi-kun tidak takut lagi padaku. Aku ini benar-benar tidak menggigit loh.”
Fumiya terdiam lalu memandang Kyoushiro dengan tak yakin. Kyoushiro tersenyum dan untuk pertama kalinya, Fumiya merasa senyum pria itu manis sekali dan Kyoushiro sama sekali tak terlihat seram atau menakutkan.
“Kedai es krim?”
Kyoushiro mengangguk antusias. “Iya. Tempatnya tidak begitu ramai tapi es krimnya enaaaaaaaaak sekali.”
“Takagi-san yang bayar?”
Kyoushiro terbahak. “Baiklah. Pertama kali aku yang traktir.”
“Takagi-san,”
“Hai?”
Fumiya mendului pria itu dan membungkuk di depannya, “Yoroshiku.”
Kyoushiro tersenyum lebar. “Un. Yoroshiku na.”
-end-
Sunday, June 3, 2012
[fanfic] Wagamama
Rating: PG-13
Warning: BL, OOC, bad English
Disclaimer: I own nothing
Note: Entah kenapa ini jadinya hanya potongan dialog saja ORZ
Hirose turns to lie on his side and pouts to his phone that clamed to his ear for the last ten minutes. On the other end, Jinnai laughs.
“What are you sulking about? I called you this morning and explained that I really couldn’t stay and talk with you because well, I’m not actually a morning person and I had a job to do. And if you checked my blog, and I know you did so don’t say the otherwise, I’ve blogged about it and now we’re talking.”
Hirose pouts, “Because it’s not fair~”
“What is?” Jinnai laughs again.
This time, the sweet boy sighs and turns to lie on his other side, “I made you a surprise party!”
“I did say that today was a no go, right? I think I’ve made it clear and I think you understood.” Jinnai raises an eyebrow.
Hirose shrugs, “Well, I... I thought you weren’t serious and it was just something to take my mind off from expecting a surprise party. I even went so far as lingering at the rehearsal hall longer, expecting you and the guys to appear, bringing cake and...everything...” His voice turns softer. Absentmindedly, his finger traces an invisible line on the bedsheet.
“.....Seriously?”
“You can’t blame me for hoping! I gave you one and it’s only polite that you do the same for me.” Hirose protested defensively, another pout takes place on his thin lips. Jinnai would’ve pinched on his cheek if he was there with Hirose. And Jinnai is laughing again and it only makes Hirose pouts even more. “Jinshan~” he whines, sitting up and drags a pillow to his embrace.
“Sorry. Hahaha... umh... okay, right. Sorry.” Jinnai says, concealing his laugh by coughing several time, “No, really. What are you saying, Daisuke? You know that when I said I can’t go, it means that I really can’t and if I can make it, I always make sure I make it there. Don’t I always like that? Besides, if there really was a surprise party for you, belive me, it won’t be my idea.”
“Jinshaaaaaaaaan~”
“it’s true! It would be Kenta’s or Shoutaro’s or Kensho’s.” Jinnai shrugs.
Adjusting his phone to another ear, Hirose stands up and starts to pace around the room. “Mou. That’s why I said it’s not fair.”
Jinnai chuckles. “You’re really impossible. Fine, I’ll hold a party for you next week. How about that?”
Hirose’s eyes alight as he hears that, “Hontou ni? Hontou ni hontou?”
“Hon~ma. Just... tell me what do you want. I’ll make sure everybody come.”
Hirose bounces where he’s standing, clutching the hem of his pajamas excitely. “But, but, wait. Don’t tell me when and who will be coming. It’s absolutely have to be a surprise.”
“..............Daisuke?”
“Hai?”
“I just told you it’ll be next week.”
“So I’m stopping you from giving me anymore details! Mou!”
“I...Whatever,” Jinnai sighs while messanging the bridge of his nose but he’s smiling, anyway. “So, how was today? Did you have fun?”
“Of course I did! The cake was super delicious and I went out drinking with Mossan and the others after rehearsal. I also got bunch of gifts! I had to make Mossan and Shinchi walked me home and helped me with all those gifts!” Hirose gigles. “Demo ne, I prefer Jinshan to be there today.” He chews on his lower lip, hand reaching out to touch the curtain of his bedroom window.
He hears Jinnai chuckles softly. “Ne, are you standing near your window right now?”
Hirose frowns. “Yeah, why?”
“Nothing. It’s really nice outside. The air is crisp and it smells really nice. It’s too bad that the oden stall is not open today.”
Hirose’s frowns deepen, “How do you know that the oden stall is not open? Jinshan? You’re not...” Hirose draws open the curtain and tries to take a look at the street from his window.
“Are you looking outside your window now?”
“Yes. Wait.” Hirose puts down his phone so he can use both hands to open the window. He shivers at the breeze but shaking it away and takes his phone again. “Hello?”
“Still here. You’re really looking out your window?”
“I am! Where are you?” Hirose cranes his neck and squints so he can get a better vision but even his glasses are not doing that much for him. “Jinshan, I can’t see you. Mou, just step into the light so I can see you or why don’t you just come upstairs? It’s not like you don’t have keys.” Hirose is still craning his neck but sees nothing and to annoy him, Jinnai is laughing.
“Of course you can’t see me! I’m in my room, you idiot.” He laughs so loud Hirose suspects Jinnai must have rolling on the couch because of it.
“JINSHAN! It’s not funny!!”
Jinnai still laughs. “Hahahaha, sorry. Look, I’ve told you my schedule is pretty tight for the moment. You think I’ll jeopardize it by going there and spend the night with you?”
Hirose throws himself to the bed again, letting the window open. He sighs loudly and pouting again. “It’s my birthday! I’m entitled to nice surprises and getting everything I want!”
“Of course, you do. I’d love to be there if it’s not for my job.”
Hirose curls up, hugging both of his knees with one arm and tossing around on the bed. “Ne, Jinshan.”
“Hmm?”
“So, if, say, you can skip tomorrow’s schedule, you’d happily come here?”
“That’s what I said.”
Hirose chews on his lower lip. “Hontou?”
“Un.”
“Hontou ni hontou?
“Honma.”
“Jinshan.”
“Hmm?”
“You really must not forget about that surprise party, okay?” Hirose presses on.
Jinnai chuckles but if only Hirose can see him, Jinnai is nodding. “I won’t. I promise.”
“Jinshan,”
“What, Daisuke?”
“I really miss you today.”
“....I think about you, too.”
Hirose smiles a little. “Call me again tomorrow?”
“You’re the one who insist that you want to talk as long as possible with me.” Jinnai sounds amused.
“But I’m really sleepy. Rehearsal will be at nine.”
“Ouch.”
“You know how it is.”
“Yeah.” Jinnai agrees. “I won’t be in until after midnight, though.”
“I’ll wait! It’s okay. I’ll wait.” Hirose answers quickly.
“If you insist,” Jinnai says. “Fine. I’ll let you know if I finish early.”
“Un. Now, give me a kiss?”
Jinnai laughs.
-end-
Friday, May 4, 2012
[fanfic] Suki Dakara, Suki
“Mau tinggal di tempatku?”
“Eh? Nande?”
Pria itu mengerutkan bibirnya lalu mengedikkan bahu dengan acuh. “Ada banyak tempat di rumahku. Tak ada salahnya menampung satu orang lagi. Yah, kalau kau tak mau juga tak apa sih. Aku cuma menawarkan.” Ujarnya sambil bersiap balik badan untuk berlalu.
Dengan cepat, ia menangkap lengan pria itu. “Un! Aku mau!”
*****
Lapisan tipis titik-titik air turun dengan perlahan. Tidak deras, tapi hujan seperti ini bisa membuat perasaan pun jadi berubah. Daisuke memutuskan kalau ia tak perlu membuka payung meskipun ada satu tersimpan di dalam tasnya. Dia lebih memilih merapatkan trenchcoat-nya, menegakkan kerah lalu berjalan menembus gerimis dari stasiun menuju apartemennya.
Sepanjang jalan, ia beberapa kali berhenti untuk memperhatikan etalase toko yang masih buka di jam yang sudah mulai larut seperti itu. Senyumnya mengembang lebar saat melihat patisserie langganannya masih buka. Dengan riang dan langkah yang nyaris melompat senang, Daisuke masuk ke toko itu dan keluar tak berapa lama kemudian dengan bungkusan berlogo pattiserie itu di satu tangan dan siulan riang.
Hujan memang tidak bertambah deras tapi Daisuke memutuskan untuk mempercepat langkah. Kurang dari 5 menit, ia sudah sampai di gedung apartemen yang masuk dalam hitungan apartemen mewah di daerah itu. Daisuke menekan kodekunci di dekat pintu utama gedung itu, menyapa petugas jaga malam sebelum memeriksa kotak posnya lalu menuju lift untuk naik ke apartemennya.
Beberapa tahun yang lalu, ia tak akan bisa membayangkan dirinya pulang menaiki lift melewati beberapa belas lantai untuk menuju lantai paling atas yang berupa penthouse. Dia baru datang ke Tokyo saat itu, berjuang mengumpulkan biaya untuk kuliah dengan bekerja di sebuah klub. Ia hanya memberitahu ibunya di kampung kalau pekerjaannya hanyalah mengantarkan minuman. Ibunya tak perlu tahu kalau ada hal-hal lain yang terpaksa harus dilakukannya seperti duduk menemani tamu dan kadang membiarkan tamunya meletakkan tangan di beberapa bagian tempat yang sungguh membuatnya merasa risih. Tapi bayarannya sungguh lumayan untuk biaya kuliahnya jadi Daisuke menelan ludah dan memaksa sudut-sudut bibirnya untuk tersenyum.
Dua tahun yang lalu, semua itu berubah. Seseorang datang dalam hidupnya, menawarinya tempat tinggal yang baik, mengenalkannya pada seorang pemilik klub jazz yang mempekerjakannya mengantar minuman dan hanya itu saja tanpa embel-embel lainnya, membantunya mendaftar program beasiswa dan membuat hatinya begitu tentram.
Bunyi berdenting pelan dan pintu lift yang mulai membuka otomatis memberinya tanda bahwa ia sudah sampai di rumah. Tanpa menunggu pintu lift terbuka sempurna, Daisuke menyelip keluar dan mengeluarkan kunci. Bagian dalam penthouse itu remang-remang saat ia masuk. Daisuke menutup pintu di belakangnya, meletakkan kunci ke dalam mangkuk kaca yang terletak di atas kotak sepatu di genkan sambil mendorong lepas sepatunya dengan tumitnya. Matanya mengerjap beberapa kali untuk membiasakan dengan suasana yang remang. Tak butuh banyak usaha karena ada cahaya yang datang dari lampu duduk di ruang tengah.
“Tadaima~” ujarnya riang sambil menggantung trenchcoat-nya di gantungan di dekat pintu lalu mendekat pada sosok yang berbaring di sofa. Kepala orang itu bersandar nyaman di lengan sofa yang empuk. Kedua matanya tertutup sebelah lengan sementara tangan yang satunya tertumpu pada sebuah buku yang tergeletak di atas perutnya. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur dan perlahan.
Daisuke tersenyum geli. Diletakkannya semua bawaanya di atas meja kopi di depan sofa lalu duduk di tepi sofa, menghadap pada sosok yang tengah tertidur itu. Daisuke membungkuk dan menjulurkan kepalanya untuk mengecup lembut pipi pria itu. Hanya gumaman pelan menyambutnya. Daisuke menciumnya sekali lagi dan kali ini menusukkan jari telunjuknya ke pipi orang itu. Kali ini tangan pria itu bergerak menangkap jari Daisuke.
“Kau mau jarimu kugigit sampai putus ya?” Gumam pria itu masih dengan mata tertutup.
Daisuke terkikik geli lalu mengecup ujung hidung pria itu. “Kalau tidur di sini tanpa selimut, nanti masuk angin, Jinshan.”
Jinnai hanya bergumam, membuka sebelah matanya lalu tertawa melihat rambut Daisuke yang agak lembab. “Bilang lagi soal aku yang tidur di sini dan bisa masuk angin, kau sendiri hujan-hujanan.”
Daisuke menyisir poninya yang basah, merengut. “Aku tak akan masuk angin hanya karena hujan gerimis begini.”
Jinnai beringsut, membiarkan Daisuke berbaring di atasnya dan menyingkirkan bukunya ke atas meja. “Sou? Baiklah. Kalau besok pagi kau bangun dengan hidung tersumbat dan bersin-bersin, jangan harap aku akan merawatmu ya.”
Daisuke mencibir, “Bilang begitu lagi, aku akan kabur ke tempat Mossan.”
Jinnai mengangkat alisnya pada ancaman itu. “Oh? Silakan saja loh. Jangan harap kau bisa makan sup miso dan kare enak di tempat Mossan.”
Daisuke terdiam sejenak. “M, maa… Kalau hanya miso dan kare, aku sudah bisa buat sendiri loh! Jinshan kan juga sudah mengakui kalau buatanku sudah lumayan enak.”
Jinnai nampak berpikir sejenak lalu mengangguk. “Un. Sou ne. Kalau begitu, karena kau akan pindah ke tempat Mossan, sebaiknya kubatalkan saja ya niat untuk buat éclair isi cream cheese dan raspberry-nya ya.”
“Eeeeh? Hidoi!” Daisuke menegakkan tubuhnya dan memukul dada Jinnai, “Pakai taktik seperti itu curang namanya! Jinshan kan tahu aku suka sekali éclair isi cream cheese dan raspberry! Mou!”
Jinnai terbahak-bahak sambil berusaha berkelit dari serangan Daisuke meskipun itu bukan hal mudah karena Daisuke masih menindih tubuhnya dan sekarang malah bisa dibilang pemuda itu sudah menduduki perut Jinnai. “Taktik apa? Aku memang berencana buat éclair itu kok. Minggu depan aku mau mampir ke tempat Waka dank arena Waka bilang ingin coba, jadi aku memang mau buatkan. Bukan karena mau mencegahmu pindah ke tempat Mossan, kok.”
Daisuke merengut hebat. “Bhu!”
“Lagipula,” Jinnai menarik Daisuke ke arahnya dan melingkarkan lengan ke sekeliling pinggang Daisuke yang ramping (kalau tak mau dibilang terlalu kurus) dan Daisuke menurut saja, “kau yang tukang cari perhatian seperti ini, mana mungkin bisa tahan bersaing dengan Shinchi, Utsumi dan Acchan? Buntut-buntutnya kau pasti akan meneleponku sambil mengeluh panjang lebar lalu minta kujemput. Begitu kan?”
“M, maa…” Daisuke memiringkan kepala lalu menundukkan kepala. Jemarinya menggerut kemeja yang dikenakan Jinnai lalu bergumam sebal. “Begini saja aku harus bersaing dengan Hiramaki-san kan?”
“He?” Jinnai mengangkat kepalanya, menunduk sedikit agar bisa menatap Daisuke dengan baik. “Bilang apa?”
Daisuke menelan ludah mendengar nada suara Jinnai yang terdengar sedikit waspada seolah memastikan ia sungguh tak salah dengar. Pemuda itu berpikir mungkin sebaiknya ia diam saja lalu pergi mandi dan tidur. Ia sudah menyenggol hal yang tak seharusnya ia ungkit. Ia sudah tahu bagaimanapun sayangnya ia pada Jinnai dan seberapapun Jinnai punya perasaan yang sama padanya, Daisuke tak akan mungkin bisa bersaing dengan orang itu. Jinnai rela mati untuk orang itu.
Meskipun begitu, entah kenapa ia merasa tidak bersalah sama sekali. “Demo, benar kan? Kalau aku menelepon dan bilang, ‘Jinshan, aku keseleo.’ Jinshan akan bilang, ‘Jangan banyak bergerak. Pulangnya naik taksi saja,’ atau ‘Tunggu saja di situ. Nanti setelah kujemput.’ Coba kalau Hiramaki-san yang bilang begitu, Jinshan pasti langsung lari tanpa pikir dua kali lagi.” Ujarnya panjang, menirukan gaya bicara Jinnai tanpa cela. Wajahnya memerah menahan emosi. Entah marah, entah kesal atau mungkin juga ia malu.
Dia bersikap seperti anak kecil. Cemburu seperti ini rasanya bodoh sekali.
Jinnai mengerjap lalu seperti yang sudah diduga Daisuke, pria itu tertawa terbahak-bahak. Kemudian, Jinnai mengangkat satu jarinya. “Satu. Waka tak akan meneleponku hanya karena ia keseleo. Orang pertama yang akan dihubunginya jika itu terjadi adalah tetangganya atau Takiguchi-san untuk membantunya mengurus restorannya. Baru setelah itu Waka akan memberitahuku lalu Mossan dan Taku-san. Dua,” Jinnai mengangkat satu lagi jarinya.
“Hai, hai. Aku menyesal sudah bilang begitu. Lupakan saja.” Potong Daisuke cepat sebelum Jinnai sempat mencelanya. Ia sudah tahu Jinnai akan bicara apa.
Namun seolah tuli, Jinnai tetap melanjutkan, “Apa kau serius beranggapan aku benar-benar tak peduli padamu?”
“Sou! Yang seperti itu!” Tuding Daisuke. “Jinshan tak pernah menjawab pertanyaanku secara langsung! Selalu berputar-putar seperti itu! Memangnya aku ini bisa menebak apa yang ada di kepala Jinshan? Aku ini kuliah ekonomi dan bukan psikologi atau ilmu ajaib lainnya, tahu!”
Bodoh. Bodoh sekali. Daisuke mengutuk diri dalam hati. Rasanya seperti ingin menangis. Padahal waktu pulang tadi, ia sedang merasa senang sekali tapi kenapa jadi begini? Daisuke mengusap pipinya dengan telapak tangan, menolak untuk melihat ke arah Jinnai lagi meskipun masih membiarkan Jinnai memeluknya.
“Aku sama sekali tidak berniat membanding-bandingkan. Sungguh, loh. Tapi—“ perkataannya belum selesai, terputus begitu saja oleh bibir Jinnai yang menangkup cepat dan tegas di atas bibirnya sendiri. Daisuke mengerjap. Sesaat, ia tak bereaksi meskipun Jinnai bergerak mengecup dengan lebih lembut lalu sekali lagi.
“Nande?” bisiknya serak beberapa saat kemudian, meskipun bibirnya sendiri kemudian bergerak mencari bibir Jinnai.
“Aku tidak melakukan ini dengan Waka, loh.” Ujar Jinnai, membalas ciuman Daisuke dengan kecupan lembut di sudut bibir Daisuke. Hidungnya digesekkan dengan hidung Daisuke, “Kore de jyuubun deshou? Aku mungkin saja langsung lari ke tempat Waka kalau ada sesuatu tapi aku hanya begini denganmu, loh.”
Daisuke menjerit pelan saat Jinnai bergerak dan berputar dengan cepat hingga punggung Daisuke terhempas ke bantalan sofa. Pemuda itu hanya sanggup menatap Jinnai dan membiarkan kedua tangannya bergerak melingkari pundak dan leher Jinnai secara insting. Kakinya mengait dengan tungkai Jinnai dan Daisuke menarik menutup mata saat Jinnai mengecup keningnya.
“Wakaru?”
Daisuke mengangguk, “Tabun.”
Jinnai tertawa, menunduk untuk mencium Daisuke sekali lagi. “Orang merepotkan sepertimu ini, benar-benar membuatku pusing.”
Daisuke merengut, menggigit bibir Jinnai dengan gemas. “Shouganai deshou? Jinshan ga suki dakara.”
“Suki?” Jinnai bertanya, satu alisnya terangkat, menggerakkan bibirnya ke bibir Daisuke lalu beralih mengecup hidung Daisuke.
Daisuke mengejar bibir itu, “Un. Suki desu. Zutto.”
Sudut bibir Jinnai membentuk senyum miring. “Kochira koso.”
Daisuke tertawa. “Dasar curang!”
Wednesday, April 18, 2012
[fanfic] Waka-san
Cast: Hiramaki Jin, Jinnai Sho, Motokawa Shota, Kishimoto Takuya
Rating: PG
Warning: AU, OOC, sedikit slash?
Disclaimer: I don't own anything and/or anyone
Note: Ini gegara shindanmaker dari Tacchin XD untuk prompt: 'yang terperangkap itu aku'
Jin tak pernah menyukai hari-hari seperti ini.
Hari di mana ia harus berdiri di tengah deretan orang yang bersumpah setia padanya –atau lebih tepatnya, keluarganya – bahkan sampai ke tingkat rela mati demi itu. Ia tak pernah suka hari dimana ia harus mempertahankan diri dengan kepalan tangan atau tendangan kaki dan yang ada dalam pikirannya hanya apa yang enak untuk makan malam hari itu. Ia benci ketika mereka harus lari sambil menahan rasa sakit akibat satu-dua tulang rusuk yang patah saat mendengar bunyi sirene dari kejauhan. Lebih lagi, ia membenci hari ketika salah satu atau beberapa dari wajah-wajah yang ia kenal, sosok yang biasa dilihatnya, terbujur kaku di sudut jalan atau rumah sakit atau rumah duka. Ia membenci hidupnya.
“Waka,”
Jin menoleh pada panggilan itu, meskipun tak ingin. Ia juga membenci panggilan itu. Ia punya nama.
Hiramaki Jin.
*****
Denting bel pertanda pintu depan dibuka membuat Jin mengangkat kepala sejenak dari crepe suzette yang tengah dibuatnya. Hari ini sebenarnya hari restorannya tutup tapi ia memang tak mengunci pintu depan meski tanda ‘Tutup’ tetap dipasang di samping pagar depan. Sesosok pria berpakaian cukup gaya melangkah masuk melewati ambang pintu. Bibirnya sedikit dimajukan dan satu tangannya dimasukkan ke saku celana sementara tangan yang lain membawa sebotol wine.
“Jangan bilang baru aku yang datang,” ujar pria itu sambil mendekati Jin.
Jin tertawa pelan, “Bukan pertama kalinya kan, Sho-chan?”
Pria yang disapa Sho-chan itu ikut tertawa. Tanpa bertanya, ia meletakkan botol wine di atas pantry dan mengambil celemek dari dalam lemari di dekat kulkas lalu mengenakannya. Pun tanpa basa-basi membantu Jin membuat saus jeruk untuk hidangan pencuci mulut itu.
“Apa itu tidak terlalu kental?” Jin mengernyit pada saus yang tengah dimatangkan Sho.
Sho menggeleng. “Tidak, tidak. Tenang saja. Di tempatku memang dibuat sekental ini dan rasanya memang lebih asam tapi percaya deh, rasanya akan enak sekali. Waka tidak terlalu suka manis kan?”
Jin mendengus seraya menyikut lengan Sho, “Aku memang tidak terlalu suka manis. Dan jangan panggil aku begitu.”
Sho hanya nyengir. Dia tak ingin membantah namun tak akan menuruti Jin untuk hal yang satu ini. Dia menghormati Jin dan untuknya, Jin selamanya akan tetap jadi tuan mudanya. ‘Waka’-nya. Sho tahu bukan hanya dirinya yang berpikir begitu. Seolah diberi tanda oleh isi kepalanya, pintu depan terbuka, diiringi bunyi denting bel yang disusul sapaan hangat dan kelewat ceria dari dua orang pria bertubuh jangkung. Sosok mereka masuk berturut-turut melewati ambang pintu,
“Gomen kudasai!” seru seorang yang lebih tinggi, mengenakan beanie warna merah bata dan jaket kulit. “Ara! Perkiraanku salah ternyata, Takuya. Sho-chan sudah duluan di sini. “
Pria berambut panjang di belakangnya nyengir lebar. “Seharusnya kau mendengarkan aku, Mossan. Bangun lebih pagi lalu pergi ke tempat Sho-chan supaya kita bisa pergi sama-sama. Setidaknya, Dai-chan akan membuatkan kita kopi yang enak.”
Sho tertawa keras, “Yah, memang cuma itu yang dia bisa.”
Jin ikut tertawa, mengelap tangannya agar ia bisa menyambut pelukan Takuya. “Kau menginap di tempat Mossan lagi, Taku-san?”
Shota melompat ke meja pantry dan mencolek sedikit saus jeruk dari crepe suzette yang baru saja diletakkan Sho di dekat pahanya. “Un. Kami pergi minum-minum semalam. Sebenarnya ingin ke tempat Sho-chan tapi Taku-san ingin makan oden, jadi kami ke kedai di blok empat.”
Sho memukul tangan Shota yang sudah siap mencolek saus jeruk lagi. “Hentikan kalau tak ingin tanganmu patah, Mossan.”
“Uwah, kowai!” Shota berjengit dan menurut. “Oi, Takuya! Mau sampai kapan kau memeluk Waka? Nanti kita tak jadi makan.”
“Urusee, Mossan! Aku ini kan kangen sekali sama Waka.” Tukas Takuya sambil menyusut hidung dan menyeka sudut matanya dengan ibu jari.
“Kenapa kau menangis, Takuyaaaa? Kita kan baru bulan lalu bertemu!” kali ini Jin menyela dan menepuk-nepuk punggung Takuya seraya mencoba melepaskan diri dari pelukan temannya itu. “Dan kalian semua harus berhenti memanggilku begitu.”
Ketiga pria itu saling melempar pandang lalu menjawab serentak, “Yada.”
Jin mendesah, “Mossan, turun dari situ dan bantu aku menata meja. Takuya, bantu Mossan,” ujarnya kemudian dengan nada tegas dan kedua pria itu pun menurut. Sho terkekeh-kekeh kecil sembari memberikan sentuhan terakhir pada hidangan pencuci mulut yang tengah dikerjakannya sementara Jin mengeluarkan seloyang butter bread dari dalam oven. Ruangan itu pun makin wangi dan Shota berdendang senang.
Tak lama mereka sudah duduk mengitari satu meja yang sudah tertata rapi. Sepinggan ravioli isi daging dan keju yang masih mengeluarkan bunyi berdesis, sekeranjang butter bread hangat dan sebuah mangkuk besar berisi French onion soup yang wangi dengan crouton, potongan bacon dan keju brie meleleh di atasnya. Sho menuangkan wine yang tadi dibawanya ke masing-masing gelas, mengitari tiap sisi meja dengan gaya seorang maitre d’ yang anggun dan profesional.
Setiap orang memutar-mutar gelas mereka lalu mengendus pelan. Jin tersenyum lalu mencicip sedikit. “Enak sekali,” dan disetujui oleh yang lain. Sho kembali ke tempat duduknya, melakukan hal yang sama dengan yang lain lalu mengangkat gelasnya, “Jya, untuk Waka.”
“Untuk Waka.”
“Untuk Waka.”
Jin tertawa namun mengangkat gelasnya juga lalu mendentingkannya dengan gelas-gelas yang lain. “Untuk kalian juga.”
Sambil menikmati makan siang yang sederhana itu, Jin memperhatikan teman-temannya satu per satu. Ia sudah mengenal mereka semua sejak lama. Ayah Sho adalah tangan kanan ayah Jin dan mereka tumbuh besar bersama. Jin bertemu Shota dan Takuya saat masih SMU, saat kelompok kecil yang dipimpinnya saat itu ditantang oleh kelompok pimpinan Shota. Setelah dikalahkan, Shota dan Takuya memutuskan untuk masuk ke kelompok pimpinan Jin dan bersumpah untuk mengikuti Jin kemanapun. Ayah Jin pun menyukai ketiga “bawahan” anak lelakinya itu. Saat Jin memutuskan untuk keluar dari rumah, beliau mengijinkan ketiga pria itu untuk tidak terlibat langsung dengan urusan kelompok mereka agar mereka bisa menjaga dan melindungi Jin juga melapor pada beliau jika sesuatu terjadi.
Ketiga pria itu memilih tempat tinggal dalam radius tak lebih dari 1 kilometer dari tempat Jin tinggal. Meskipun Sho memiliki sebuah restoran Perancis kelas atas di Roppongi, Shota mengurus beberapa tempat pemandian umum kelas atas dan serangkaian tempat pijat dan Takuya mengelola tempat pachinko dan sebuah game center; mereka akan dengan mudah mendatangi Jin jika sesuatu terjadi.
Mereka merahasiakan niat itu dari Jin tapi tentu saja Jin tahu. Tak mungkin ayahnya akan diam saja dan bukan tak mungkin, jika kelompok mereka tak juga menyerah dan menemukan calon penerus untuk ayahnya, mereka akan memaksa Jin untuk kembali ke rumah. Jin sama sekali tak ingin itu terjadi dan berharap tak ada sesuatu pun yang menimpa Shota karena kalau ia beruntung, musim semi tahun depan, rapat besar kelompok mereka akan menunjuk Shota sebagai penerus ayah Jin.
“…soal geng di blok dua itu. Mungkin sebaiknya kau mengirim beberapa anak buahmu untuk mengawasi mereka, Taku-san.” Jin mendengar Shota berujar.
Takuya mengangguk sambil menyobek sebuah butter bread dan mencelupkannya ke dalam sup. “Sudah. Aku memang tak senang dengan keadaan ini. Daerah itu memang banyak sekolah, sih. Kenalannya Waka juga sekolah di daerah itu kan?”
Jin mengangguk. Tentu saja mereka pun tahu soal Yuta. “Dia belum pernah cerita apapun tentang diganggu berandalan atau semacamnya. Tapi dia memang pernah bilang kalau belakangan ini semakin banyak gerombolan yang nongkrong di daerah sekitar sekolahnya.”
“Apa aku perlu mengirim orang untuk menjaganya, Waka?” Tanya Shota dengan wajah serius.
Jin menghela nafas. Dia tahu Yuta tak pernah pulang-pergi sendiri. Entah diantar Takuma kalau sedang sempat atau bersama temannya tapi ia tahu kalau kegiatan geng-geng itu makin meningkat dan mulai mengganggu, mungkin ada baiknya kalau ia tahu Yuta dan teman-temannya aman.
Saat Jin tak menjawab, Sho menopang dagu sambil menatap tuan mudanya, “Apa dia tak tahu kau ini siapa, Waka?”
Jin balas mengangkat alisnya pada Sho, “Memangnya aku ini siapa, Sho-chan?”
Sho menatapnya beberapa saat lalu mengedikkan bahu. “Hanya saja, suatu saat harus diberi tahu. Apalagi kalau Waka tak berniat menjauh dari anak itu. Harus kuakui kalau dia lucu.”
Sikut Jin terpeleset dari pinggir meja dan ia berusaha agar wajahnya yang memerah tak terlalu kentara. “Anak itu memang lucu dan kepribadiannya menarik. Mungkin kalau kuceritakan soal keluargaku,” Jin mengedarkan pandang pada mereka satu per satu, “dia akan tertarik dan berujar, “Sugooi!” begitu. Tapi kakaknya pasti akan histeris.” Jelas Jin sambil nyengir.
Takuya tertawa, “Ahahahaha! Tahu! Tahu! Dokter gigi tampan itu memang nampaknya agak panikan meskipun sadis sekali kalau sudah berhadapan langsung dengan pasiennya,” ujarnya sambil bergidik lalu mengelus pipinya sendiri.
Jin menatap setengah terperangah. Mereka bahkan sudah mendatangi Takuma. Apa mereka benar-benar berpikir kalau Yuta selamanya akan ada di dekat Jin? Tapi tentu saja mereka akan melakukan itu. Siapapun yang dekat dengan Jin akan dicari tahu latar belakangnya; siapa keluarganya, datang dari mana, siapa saja teman dan kenalannya, apakah orang ini punya maksud tertentu mendekati Jin dan lain sebagainya. Jin ingin mencegah itu tapi ia tahu mereka tak akan mendengarkannya untuk yang satu ini.
Takuya menangkap pandangan Jin lalu mengibaskan tangannya. “Bukan apa-apa kok, Waka. Aku memang sakit gigi tempo hari lalu Sho-chan memaksaku ke rumah sakit. Kebetulan saja di sana aku melihat Koseki-chan di ruang tunggu ruang praktek.”
Jin memicingkan mata. Takuya buru-buru mengangkat kedua lengannya sebagai tanda mengalah. “Aku tidak bicara padanya. Sumpah!”
Sho menyesap wine-nya lalu berujar dengan santai, “Tapi tak ada salahnya loh mengenalkannya pada kami, Waka. Aku saja mengenalkan Daisuke pada kalian kan? Ne, Mossan?”
Shota tertawa pelan lalu nyengir, “Dai-chan itu beda kasus. Dia tak pernah pergi dari sampingmu. Jujur saja aku masih cemburu loh.”
“Oi!” Sho memukul lengan Shota dengan serbet makannya. “Memangnya tak cukup kau dikelilingi Shinchi dan Utsumi-chan? Lalu siapa itu namanya? Acchan? Kau masih juga mengejar Daisuke?”
Shota berkelit menghindar. “Bercanda, Sho-chan! Bercanda! Wakaaaa, katakan padanya kalau aku cuma bercanda!”
Jin mengulum senyum, “Saa. Mossan kan selalu begitu dari dulu. Mana aku tahu kalau kau benar-benar sudah berhenti mengejar Daisuke?”
“Wakaaa~~!”
Jin melengos sementara Sho sudah bangkit untuk memiting Shota. Takuya terbahak sampai terbungkuk-bungkuk. Sejenak, Jin membiarkan saja mereka begitu sementara ia memikirkan tentang Yuta.
Suatu saat. Suatu saat mungkin dia memang harus bercerita pada Yuta. Ia menghela nafas. Kenapa yakin sekali kalau Yuta akan selalu ada di dekatnya? Anak itu menganggapnya teman dan Jin sungguh tak bisa menjawab kalau ditanya apakah ia menyukai Yuta secara romantis. Mungkin.
Jin menggigit bagian dalam mulutnya dengan resah. Ini bukan saatnya untuk mengkhawatirkan kehidupan asmaranya. Ia mengangkat kepala, menatap lurus pada Shota yang sedang bersujud di depan Sho. “Mossan,” panggilnya pelan dan jelas. Dalam sekejab, Shota langsung menegakkan tubuhnya.
“Pastikan kalau Yuta dan teman-temannya aman. Tapi jaga jangan sampai ia sadar.”
Shota mengangguk. Begitu juga dengan Sho dan Takuya. “Wakatta.”
Jin menghela nafas.
Ia benci saat-saat seperti ini.
-end-
Monday, April 2, 2012
[fanfic] Help
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I own nothing
Note: Happy belated birthday, Ue-chaaaaaaaaan!!
Kalau belum terlalu larut, mampir ke rumah ya.
Pesan singkat itu terpampang di layar handphone-nya, membawa seulas senyum di bibir Yuusuke. Ibu jarinya baru saja hendak menekan tombol ‘reply’ ketika sebuah pesan baru masuk.
Jam berapapun, pokoknya datang saja ya.
Kali ini Yuusuke tertawa dan harus menutup mulut dengan tangannya karena beberapa tamu kedainya melirik ke arahnya dengan tatapan bingung. Yuusuke membungkuk minta maaf dan buru-buru mengantongi kembali handphone-nya. Ia merasa Kinari tak menunggu jawaban darinya.
Pintu kedai terbuka dan Yuusuke menoleh, “Irassh---“
“OTANJOUBI OMEDETOU, YUUSUKE! –SAN!”
Yuusuke merasa ia nyaris saja tuli dengan seruan yang datang dari teman-temannya itu. Semua orang di dalam kedai menoleh terperangah, termasuk Yuusuke yang memandang teman-temannya dengan bingung. Wajah-wajah yang tertawa atau tersenyum sumringah. Oumi berdiri menjulang di tengah, kedua tangannya membawa sebuah cake dengan beberapa lilin menyala. Menit berikutnya, Yuusuke tertawa dan menghampiri teman-temannya itu.
“Ke, hahahaha, kenapa kalian tahu ulang tahunku?” tanyanya, menerima kue yang diulurkan Oumi.
Mao nyengir, “Tentu saja kami tahu ulang tahunmu, kau pikir kami teman macam apa?”
Yuusuke tertawa lagi. Ia tersenyum malu-malu dan membungkuk, “Terima kasih, ya.”
“Ayo, ditiup dong.” Sergah Fumiya tak sabar.
“Ah, hai, hai.” Yuusuke menarik nafas dan meniup semua api lilin yang menyala dalam sekali tiupan. Teman-temannya bertepuk tangan dan berseru riang, begitu juga tamu-tamu yang lain. Pria itu membungkuk beberapa kali, berterima kasih pada tiap orang.
“Ini dari kami,” Fumiya dan Okazaki mengulurkan masing-masing satu kantong kertas berukuran sedang yang diterima Yuusuke dengan satu tangan. “Ah, arigatou.”
“Yang ini titipan dari Jinnai,” Mao mengulurkan sebotol sake. “Akan kusimpankan untukmu,” ujarnya lagi karena kedua tangan Yuusuke sudah penuh dan menghilang ke bagian belakang toko. Yuusuke meminta seorang asisten tokonya untuk mengambilkan pisau. Ia memutuskan untuk membagi-bagi kue ulang tahunnya dengan semua orang yang ada di situ.
“Ah, aku tadi mencoba menelepon Kareshi-san tapi katanya dia masih sibuk di tempat baitonya. Tapi kurasa dia pasti sudah menelepon Yuusuke-san, ya.” Komentar Oumi sambil melepas jaketnya dan duduk di salah satu kursi.
Yuusuke hanya tersenyum. “Sebut saja kalian mau apa, ya. Khusus hari ini, es krimnya gratis.”
“YEEEEEEEEEEEEEEEEEYYYYYYYYYYYYYY!!!!”
*****
Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam ketika Yuusuke mengeluarkan sepedanya dari garasi di samping rumah. Pintu samping terbuka, menyembulkan wajah ibunya yang mengingatkannya untuk berhati-hati di jalan dan jangan lupa untuk mampir ke apotik 24 jam sebelum pulang karena obat maag ayahnya sudah habis. Yuusuke menaiki sepedanya dan melambaikan tangan.
Udara malam itu masih cukup dingin dan Yuusuke setengah menyesal kenapa ia tak mengenakan jaket yang lebih tebal tapi buru-buru dibuangnya jauh-jauh perasaan itu karena hari ini ia cukup senang. Teman-temannya tinggal sampai makan malam, ibunya membuat shabu-shabu spesial untuk mereka semua, Mitsuya dan Jinnai mampir sebentar dan Yuusuke akhirnya membuka botol sake yang dibawakan Mao tadi. Ia pun akhirnya tak tahan untuk tidak mengirim pesan pada Kinari dan meledeknya karena tak datang dan melewatkan semua kesenangan itu. Kinari tak menjawab.
Lima belas menit kemudian, Yuusuke memarkir sepedanya di parkiran sepeda di depan gedung apartemen dimana Kinari tinggal. Pria itu memilih untuk lewat tangga menuju lantai lima dibanding naik lift. Langkah-langkahnya terasa ringan saat menapaki dua anak tangga tiap kali. Ia menimbang-nimbang mungkin sebaiknya ia memberitahu Kinari kalau ia sudah sampai; mengingat hari sudah cukup larut, rasanya agak tak enak kalau harus menekan bel tapi niat itu tak terlaksana. Jendela di samping pintu apartemen bernomor 507 itu masih menunjukkan kalau lampu di dalamnya masih menyala. Yuusuke berusaha mengintip ke dalam tapi pandangannya terhalang korden yang tertutup rapat.
Mungkin sebaiknya mengetuk saja, pikirnya. Tangannya sudah terangkat ketika didengar suara benda jatuh dari dalam apartemen diikuti umpatan tertahan. Ia mengenali suara itu. Suara barang lain jatuh, kali ini lebih pelan dari yang pertama, lagi-lagi disusul dengan umpatan; kali ini lebih panjang dari yang pertama. Yuusuke tak perlu berpikir dua kali dan mengetuk pintu dengan tak sabar.
“Kinari? Ada apa? Kinari!”
Kembali terdengar suara-suara disusul suara gerendel pintu dan kunci dibuka. Yuusuke mundur selangkah, tepat saat pintu didorong membuka dari dalam. “Maaf, tadi hanya tempat sampah yang tertendang dan--- Yuusuke!”
Kinari sendiri yang membuka pintunya tapi bukan itu yang membuat Yuusuke tak segera menjawab. Kinari tampak… berantakan. Rambutnya yang biasanya jatuh dengan lembut membingkai wajahnya kali ini terlihat sedikit acak-acakan. Kaus yang dikenakannya basah di bagian depan dan Yuusuke bisa mencium samar aroma sake dari kekasihnya itu. Ia bertelanjang kaki dan nampak kesal dan lelah.
“Ada a--- ah!” Kinari menepuk keningnya, satu tangannya menggenggam lap meja. “Aku kan memintamu mampir ya. Aku benar-benar lupa.” Dilihatnya Kinari melirik ke dalam rumah dengan ekspresi sedikit khawatir sebelum kembali memandangnya. Kinari melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya. Diremas-remasnya lap tangan yang dibawanya itu dengan gelisah. “Ahaha, padahal aku sendiri yang mengundangmu kemari ya,” Kepalanya tertunduk memandang kakinya, “Umh, maaf, tapi sepertinya….”
Kalimatnya terputus oleh Yuusuke yang melangkah maju dan meletakkan kedua telapak tangannya di masing-masing pipi Kinari; dengan lembut memaksa Kinari untuk memandangnya. Yuusuke meneliti wajah kekasihnya itu baik-baik. Kedua mata kecoklatan Kinari terlihat sedih, khawatir, kesal dan lelah sekaligus sedikit takut. Satu ibu jari Yuusuke bergerak menghapus sisa air mata di sudut mata Kinari.
“Ah,” Kinari tertawa canggung dan mengangkat tangannya sendiri untuk mengusap matanya dengan punggung tangan. “Kemasukan debu. Aku… sedang bersih-bersih, hahaha…”
“Kinari,” Yuusuke memanggil namanya dengan lembut dan Kinari pun terdiam, “Ada apa?”
Tangan Kinari mendarat di atas tangan Yuusuke yang masih menyentuk pipinya, sedikit gemetar. Kinari menggigit bibirnya kuat-kuat dan ia menggelengkan kepalanya keras-keras hingga Yuusuke takut Kinari akan jadi pusing karenanya. Disambutnya Kinari yang melingkarkan kedua lengan ke sekeliling tubuh Yuusuke dengan erat dan mungkin terlalu kencang tapi Yuusuke tak terlalu peduli.
*****
Kinari menyusut hidungnya dengan sapu tangan lalu tertawa pelan, “Maaf ya, Yuusuke.”
Yuusuke mengangsurkan sekaleng kopi hangat yang baru saja dibelinya di mesin otomatis di seberang apartemen Kinari. “Kenapa minta maaf?” tanyanya sambil mendudukkan diri di sebelah Kinari di atas bangku kayu di taman itu. Yuusuke tadi mengajaknya turun ke taman apartemen (mungkin setengah menggeret Kinari karena pacarnya itu nampak enggan bergerak dan lebih memilih untuk tetap memeluknya saja) dan duduk di bangku taman. Suasana lebih tenang di taman itu dan supaya tak mengganggu tetangga Kinari karena Kinari tampak agak enggan membiarkan Yuusuke masuk ke dalam apartemennya.
“Karena kamu harus melihatku seperti ini,” ujar Kinari sambil menyesap kopinya.
Yuusuke tertawa pelan sambil mengusap lembut kepala Kinari. “Daijoubu. Sesekali melihatmu seperti ini bagus juga, kok.”
“Mou,” Kinari menyenggol pundak Yuusuke dengan pundaknya sendiri dan tak bisa menahan senyum karena Yuusuke pun tersenyum padanya.
Mereka terdiam beberapa lama. Kinari menyandarkan pelipisnya di ujung pundak kokoh kekasihnya dan Yuusuke hanya menikmati kopi bagiannya tanpa berkata apa-apa. Beberapa jenak kemudian, Yuusuke menggerakkan kepalanya untuk mengecup pucuk kepala Kinari, membuat pemuda itu mendesah pelan dan akhirnya duduk tegak lagi. Kinari menarik dan menghela nafas beberapa kali. Yuusuke melirik ke arahnya dan sekali lagi menepuk bagian belakang kepala Kinari dengan sayang.
“Aku hanya berharap kau mau lebih percaya padaku,” ujarnya lembut.
Kinari menggigit bibir, “Aku… hanya tak ingin kau ikut repot gara-gara Ibuku.”
Yuusuke mengetuk-ngetuk pinggiran kaleng kopinya dengan ujung jemarinya. “Dulu, Sho-chan sering marah padaku karena katanya aku ini terlalu suka ikut campur urusannya tiap kali kutegur sehabis berkelahi, kau tahu?” Kinari menggelengkan kepalanya. “Aku hanya berpikir, karena ia temanku dan kupikir potensi seperti itu sebaiknya disalurkan di tempat lain yang lebih berguna.”
“Yuusuke sekali ya,” ujar Kinari sambil tertawa pelan, “Selalu positif tentang orang lain.”
“Ahahaha, sou yade? Yah, mungkin memang begitu ya. Tapi, kamu ini kan bukan sekedar temanku, loh. Kamu pacarku. Kalau aku tak diberitahu hal seserius ini, aku tidak tahu harus bagaimana.”
“Aku pun tidak tahu harus bagaimana,” Kinari bergumam sambil mengangkat bahunya dengan tak bersemangat. “Aku…”
“Kupikir ibumu ada di pusat rehabilitasi?”
Kinari mengangguk, “Sampai dua minggu yang lalu.” Pemuda itu menengadahkan kepala, memandang kosong ke arah lampu taman di seberang mereka. Yuusuke memperhatikan helaian poni panjangnya yang bergerak lembut dan menjulurkan tangan untuk menyelipkan helain halus itu ke belakang telinga Kinari.
“Aku sudah cerita kan, Ibu jadi seperti itu sejak Ayah pergi. Dengan keputusan keluarga, kami memasukkan Ibu ke pusat rehabilitasi. Tapi, keluarga pamanku yang selama ini membiayai perawatan Ibu sedang kesusahan. Mereka butuh biaya banyak untuk memperbaiki rumah mereka yang terbakar juga membayar sewa apartemen sementara. Karena itu, tak ada pilihan lain selain membawa Ibu pulang dan merawatnya di rumah. Kondisi Ibu pun sedang baik.”
“Ada yang terjadi hari ini?” Yuusuke mengusap punggung Kinari seolah member keberanian untuk melanjutkan ceritanya.
Kinari diam beberapa saat, menyesap kopinya lalu berujar pelan, “Kemarin Ayah menelepon. Biasanya Ayah menelepon hanya di hari Minggu tapi kali ini beliau menelepon karena tahu Ibu ada di rumah dan Ayah ingin bertemu dan ingin bicara pada Ibu. Entah untuk apa. Aku sedang di kamar mandi saat itu jadi Ibu yang mengangkat. Rupanya itu memicu Ibu dan… “ suara Kinari bergetar menahan luapan emosinya, “Ibu mengamuk.”
Yuusuke sama sekali tak tahu harus berkata atau berbuat apa jadi dilanjutkkannya mengusap punggung Kinari yang kembali tampak kesal dan sedih. Ia merasa simpati dan ikut sedih tapi dengan jujur ia akan mengakui kalau ia tak bisa sepenuhnya mengerti perasan Kinari. Ia hanya tahu kalau saat ini Kinari pasti sangatlah marah dan kesal juga sedih, mungkin sedikit merasa tak berdaya.
“Ibu hanya bisa tenang saat tertidur, itu pun setelah kupaksa meminum obatnya. Tapi tadi entah bagaimana Ibu menemukan kunci lemari tempat aku menyembunyikan minuman keras dan…” Kinari melambai pada bagian kausnya yang masih sedikit basah. “Aku tak bisa meninggalkan Ibu yang seperti itu tapi aku tak bisa lama-lama bolos kerja sambilan.”
“Aku sama sekali tak tahu harus bagaimana, Yuusuke.” Kinari mengepalkan kedua tangannya, menjatuhkan kaleng kopinya dan membuat sisa cairan gelap itu tumpah ke tanah.
Yuusuke mengecup keningnya dan memeluknya erat-erat. Tak berkata apa-apa.
*****
To: Ueda Yuusuke
From: Hirano Kinari
Subject: Gomen.
Kemarin terima kasih ya. Dan maaf karena aku jadi mengacaukan ulang tahun Yuusuke. Besok ada waktu? Mungkin aku bisa mampir sebentar ke tempatmu dan membawa kue.
To: Hirano Kinari
From: Ueda Yuusuke
Subject: Iie
Aku sudah dapat kue dari yang lain dan sake dari Sho-chan. Bawakan aku pie lemon-mu yang enak itu :p
To: Hirano Kinari
From: Ueda Yuusuke
Subject: Oh
Lebih baik lagi, tak usah bawa apa-apa :)
*****
Baru kali itu Kinari merasa sedikit gugup saat mau bertemu Yuusuke. Rasanya seperti datang ke kencan pertama mereka dulu. Tapi mungkin kali ini karena ia masih merasa sedikit malu karena sudah kelepasan tak terkendali seperti itu di depan Yuusuke. Memang sih, Yuusuke pacarnya tapi pakai menangis tak terkendali di pelukan Yuusuke itu cukup memalukan untuknya. Karena itu, ia sengaja datang menjelang waktu kedai es krim itu tutup. Dan berharap pada apapun di muka bumi ini kalau rombongan berisik dan selalu ingin tahu itu kali ini, untuk kali ini saja, tak ada di kedai.
Sapaan ramah dan hangat khas kedai itu menyambutnya begitu Kinari membuka pintu. Sayangnya bukan Yuusuke yang berjaga. Pelayan kedai itu tersenyum ramah padanya dan mengatakan kalau Yuusuke sudah berpesan padanya untuk langsung saja masuk ke rumah karena Yuusuke sedang keluar mengantar pesanan untuk pesta.
Kinari duduk menunggu di ruang duduk kecil di bagian belakang kedai yang biasanya digunakan untuk mengurus administrasi kedai itu. Ruang itu tadinya hanya lorong yang menghubungkan kedai dengan bagian rumah tinggal di belakangnya namun diubah fungsinya setelah kedai itu berkembang lebih maju dan ramai pengunjung. Sebuah jendela kecil menghubungkan ruang itu dengan bagian kasir di depannya. Pelayan toko mengantarkan secangkir teh hijau hangat dan semangkuk biskuit beras.
Yang ditunggu datang setengah jam kemudian tapi Kinari masih harus menunggu sedikit lebih lama karena itu bertepatan dengan waktu tutup kedai jadi Yuusuke harus membantu beres-beres sebentar. Ketika akhirnya Yuusuke duduk di depannya, Kinari mengerjapkan kedua matanya dengan heran; memandang dua buah amplop coklat tebal yang diletakkan Yuusuke di atas meja dan didorong pelan ke arahnya.
“A, apa ini?”
Yuusuke tak langsung menjawab, karena itu Kinari mengambil sebuah dan mengintip isinya. Matanya membelalak tak percaya dan detik berikutnya, kedua alisnya berkerut tak senang dan ia menatap Yuusuke dengan curiga.
“Yuusuke, serius. Ini apa?”
Yuusuke menggaruk ujung hidungnya lalu meringis. “Sudah kuduga. Ini…”
“Aku sama sekali tidak mengharapkan ini.” Kinari memotong ucapan pacarnya itu, menahan nadanya agar tak terdengar marah tapi ia tetap tampak tersinggung.
Yuusuke menyentuh tangan Kinari yang terlihat seperti mau melempar amplop itu ke tempat sampah. “Tunggu. Setidaknya dengarkan dulu apa yang mau kukatakan. Ya?”
Kinari menarik nafas lalu meletakkan amplop tebal itu kembali ke atas meja. Yuusuke memiringkan kepalanya sedikit, “Ookini.” Ia kemudian meletakkan tangannya di atas amplop yang tadi diletakkan Kinari. “Aku sudah berpikir panjang dan aku tak peduli kamu mau menganggapku tukang ikut campur atau apapun tapi kupikir, aku sungguh ingin membantumu. Aku berpikir ini hal yang wajar dan kalau aku bisa, kenapa tidak? Dan sebelum kau menyela, aku akan mengatakan ini: Ini bukan pemberian cuma-cuma loh. Aku tahu kau pasti tak akan mau menerima. Karena itu, anggap saja ini pinjaman jangka panjang. Kamu bisa mengembalikannya kapan saja kamu mau atau menyicilnya semampumu, terserah saja.”
Kinari nampak masih tak bisa menerima kata-kata Yuusuke, “Tapi, ini jumlahnya besar sekali. Aku tak bisa…”
“Kinari, aku ingin membantumu. Dan kalau kau sebegitu khawatirnya, aku sudah membicarakan ini baik-baik dengan orang tuaku. Mereka sudah setuju dan berpendapat bahwa kami memang harus membantumu.”
“Tapi---“
“Tentu saja ada syarat lainnya,” Yuusuke tak menggubris protes Kinari.
“Syarat?”
Yuusuke mengangguk. “Kamu harus berkonsentrasi. Istirahat yang cukup, makan yang cukup jadi kau bisa bekerja dengan baik dan suatu hari nanti, kau harus mau meninggalkan rumahmu dan masuk ke rumah ini.”
Kinari terdiam sejenak, berusaha mencerna perkataan Yuusuke. Sesaat kemudian, “Eh?”
Yuusuke mengangguk. “Kurasa aku tak perlu mengulang perkataanku.” Ujarnya sambil tersenyum lebar.
“EH?” suara Kinari meninggi dan wajahnya memerah. “A, aku… itu… me, memangnya tidak apa-apa seenaknya memutuskan begitu?”
Yuusuke menggelengkan kepala, “Semuanya nanti bisa diatur, kok” ujarnya seraya mengerling.
Kinari menunduk. Sekilas, ia masih nampak tersipu tapi kelamaan Yuusuke bisa melihat kalau Kinari kembali terlihat enggan dan tak enak. Yuusuke mengulurkan tangannya; menyentuhkan ujung jari-jarinya dengan ujung jemari Kinari. Dijentikkannya dengan pelan sampai Kinari mau mengangkat wajah dan memandangnya.
“Aku pun ingin Ibumu mendapatkan perawatan yang terbaik dan sembuh secepatnya.” Ujarnya pelan dan bersungguh-sungguh.
Kinari mencerna perkataan Yuusuke sebelum akhirnya mengangguk. Ia kemudian melirik ke arah amplop yang satu lagi. “Ini juga?”
“Ah, yang itu… itu dari Mao dan teman-teman.”
Mata Kinari kembali melebar tak percaya.
“Maaf. Aku… cerita pada mereka karena aku ingin minta saran dan mereka memaksa untuk menyumbang. Mereka tak mau dengar meskipun aku sudah bilang kalau kau pasti tak akan setuju dan akan menolak. Mereka juga menolak untuk dikembalikan. Kupikir, untuk yang satu ini sebaiknya kau menerima perasaan mereka.”
Kinari kembali terdiam.
“Kalau kau mau mengembalikan, silakan kembalikan sendiri pada mereka ya, meskipun aku tak yakin mereka akan mau menerima.” Yuusuke tertawa pelan.
“Aku…” Kinari menarik nafas. “Ini terlalu banyak.”
Yuusuke menggeleng. “Tak usah dipikirkan. Yang harus kau pikirkan saat ini hanya Ibumu dan bagaimana memberi perawatan yang terbaik. Itu saja. Ya?”
Ketika akhirnya Kinari mengangguk dan tersenyum, Yuusuke merasa ia terlihat begitu cantik. Kinari mengangkat tubuhnya dan bergeser ke sebelah Yuusuke. Untuk beberapa lama, ditatapnya pria tampan itu dan ketika Kinari merangkulnya dan menciumnya, Yuusuke mengerti Kinari tengah berusaha menyampaikan rasa terima kasihnya. Yuusuke membalas tatapannya dengan lembut, juga membalas ciumannya dengan senang hati.
“Nande,” Kinari berbisik di sela ciuman mereka, mengusap bibir Yuusuke dengan ibu jarinya, “soko made boku ni tasukete kureta?”
“Nande tte… mochiron deshou?” Yuusuke tertawa pelan dan mengecup Kinari lagi, “Suki yakara de.”
Yuusuke menganggap semu kemerahan di pipi Kinari itu adalah pemandangan paling imut di muka bumi ini. “Boku mo, Yuusuke ga suki.”
-end-