Thursday, December 29, 2011
[fanfic] Daishuuryou/Takeru - Bound part 3
Monday, December 19, 2011
[fanfic] Wedding checklist - Tension
Terakhir kali ia melihat apartemennya dalam keadaan luar biasa berantakan adalah beberapa tahun lalu saat ia pindah ke apartemen mungil itu. Saat ini kondisinya bisa dibilang sangat mirip dengan ketika itu: kardus-kardus bertumpuk dan tersebar di beberapa tempat, bungkusan-bungkusan yang entah apa isinya tergeletak di beberapa sudut ruangan, tumpukan kertas, baju-baju dan benda lain yang Tori tak berani menyingkirkan atau dia akan lupa di mana tempatnya. Sofa ruang tamunya pun penuh terhuni Shunsuke yang duduk bersilang kaki dan sibuk dengan laptop canggihnya. Sudut satunya diambil alih oleh Mitsuya yang sedang menelepon dengan nada tinggi. Televisi disetel tanpa benar-benar ditonton dan Mitsuya melotot ke arahnya saat Tori hendak mematikan.
Untunglah orang tuanya baru akan datang besok pagi dan mereka setuju saja saat Tori bersikeras agar mereka menginap di hotel karena jelas apartemen mungilnya tak akan sanggup menampung semua orang itu. Pun, seminggu terakhir ini apartemennya begitu sumpek karena sahabat-sahabatnya dan Mitsuya kadang tak datang sendiri. Hampir tiap hari Takuma datang bersama Yuuki. Ia tak enak karena pacarnya itu – meskipun Takuma sudah menjelaskan dan Yuuki pun mengaku sudah memaklumi- tetap merengut karena terlalu sering diacuhkan. Pemuda mungil itu akan duduk di meja makan mengerjakan PR-nya, kadang sendiri namun seringkali bersama Mitsuya. Setelahnya ia akan ikut duduk di ruang tengah, mengamati kesibukan yang terjadi.
Tunangan Mitsuya yang tampan itu pun beberapa kali mampir, membawakan baju ganti dan camilan ringan. Senyumnya yang ramah dan pertanyaan apakah ada yang bisa dia bantu selalu disambut baik oleh Tori yang menyilakannya masuk dan menawarinya ikut minum kopi bersama. Tori senang melihatnya selalu menempatkan diri di dekat Mitsuya yang sudah sibuk sendiri dengan pilihan bahan kain untuk dekorasi atau sibuk menelepon supplier tanaman dan agen persewaan perlengkapan pesta. Pun dengan senang hati turun ke dapur dan membuatkan makan malam.
Kekasih Shunsuke hanya mampir satu kali. Tubuhnya yang tinggi menjulang dan wajahnya yang tampan menarik perhatian semua orang di dalam ruangan, tak terkecuali Yuuki dan Mitsuya yang langsung berseru, “Sensei?! Kenapa ada di sini?” bahkan sebelum diperkenalkan oleh Shunsuke. Pria yang tampak seperti rubah itu tersenyum tipis dan pamit dengan sopan setelah ikut makan malam.
Tori menghela nafas.
Tiga hari lagi.
Undangan sudah disebar dan jawabannya pun datang dengan cepat. Beberapa menyertakan permintaan maaf tak bisa hadir berserta hadiah yang diletakkan Tori di bawah tempat tidurnya karena sudah tak ada tempat lagi. Dua hari yang lalu Nagayama-san baru saja mengantarkan pakaian mereka yang sudah jadi. Senyumnya nampak begitu sumringah dan terlihat begitu puas saat dirinya, Tori, Takuma, dan Shunsuke berdesak-desakan di dalam kamar Tori untuk fitting sekali lagi. Ia buru-buru pamit karena masih akan mampir ke rumah Masahiro sebelum pemuda itu terbang ke Amerika.
Ini yang membuat Tori makin tertekan. Maya-san meminta anak bungsunya itu untuk tinggal dengannya di Amerika selama seminggu sebelum hari H dan kemudian akan sama-sama kembali ke Jepang bersama-sama. Masahiro ngambek selama berhari-hari, berteriak pada seluruh isi rumah dan menuduh semua orang sebenarnya ingin membatalkan pernikahannya dengan Tori lalu mengunci diri di dalam kamar. Tori harus menelepon calon ibu mertuanya itu dan meminta penjelasan karena sungguh, dia sedang tak ingin menghadapi Masahiro yang seperti itu saat ini.
“Aku hanya ingin memanjakannya sebagai anakku sebelum ia menikah. Apakah tak boleh? Atau sebenarnya kau khawatir aku tak akan memulangkannya kembali ke Jepang?” ujar wanita itu di telepon.
Tori mendesah, “Maaf, Okaa-sama. Saya tahu Okaa-sama tentunya tidak bermaksud buruk. Saya hanya ingin memastikan karena saat ini Masahiro bahkan tak mau mengangkat telepon dari saya.”
“Begitu? Dasar Masahiro.” Wanita itu tertawa kecil dan mau tak mau Tori pun ikut tertawa. “Kalau memang terlalu merepotkanmu dan membuatmu bertambah pusing, bilang saja padanya kalau dia tak perlu pergi ke sini. Aku mengerti, kok.”
Tori sungguh tak enak mendengar nada bicara calon ibu mertuanya yang terdengar agak sedih itu. Hari berikutnya, sepulang dari rumah sakit, ia mampir ke rumah Keigo dan menyelipkan secarik kertas melalui bawah pintu kamar Masahiro.
Jangan harap aku akan muncul di hadapanmu di depan altar nanti kalau menghormati keinginan ibumu saja kau tak bisa –Tori-
Malam harinya, Tori harus menyiapkan makan malam sambil tertawa geli pada Masahiro yang tengahberkutat di depan laptopnya; memesan tiket pesawat sambil menggerutu.
Semalam Masahiro baru saja meneleponnya. Seperti biasa kalau mereka sedang terpisah jauh, pembicaraan telepon mereka selalu menghabiskan waktu berjam-jam diselingi video call beramai-ramai dengan para pendamping pria, Mitsuya, dan Takiguchi-kun karena mereka harus berdiskusi tentang beberapa persiapan akhir. Akhirnya Tori mengusir mereka semua keluar dari kamarnya karena ia sedang kangen sekali pada Masahiro.
Tori melirik ke dalam kamar tidurnya, mendapati Masaki yang tengah tertidur pulas. Anak itu datang segera setelah jadwal operasinya selesai dan menuntut dibuatkan omelet. Sambil tersenyum, ditutupnya pintu kamarnya dengan perlahan dan beralih menuju dapur karena ia sungguh butuh minum kopi dan mungkin sebatang rokok.
Namun begitu melihat Takuma yang tengah berdiri di dekat konter dapur, sibuk memperhatikan beberapa lembar kertas berisi pengaturan duduk para tamu undangan, hal pertama yang dilakukannya adalah mengulurkan kedua lengannya pada sahabatnya itu. Mengerutkan kening dengan sedikit heran, Takuma pun merengkuhnya dalam pelukan hangat dan erat. Dokter gigi nan tampan itu menepuk-nepuk pundak Tori dan mengelus punggungnya dengan sayang sementara Tori membenamkan wajahnya ke dalam pundak Takuma dan menghela nafas berkali-kali. Rasanya begitu nyaman dan untuk sesaat, Tori merasa semuanya akan berjalan lancer.
“Kenapa tidak tidur saja?” Tanya Takuma sambil mengecup rambut Tori.
Tori menggeleng. “Tak bisa,” ujarnya sambil menjauh sedikit meski tak melepaskan pelukan.
Takuma tersenyum. “Aku tadi buat kopi. Mau?”
Tori mengangguk, kali ini membiarkan Takuma melepaskan dirinya dan menuangkan secangkir kopi untuknya. Diambilnya rokok simpanannya dari dalam lemari dapur, membuka jendela dan mendudukkan dirinya di atas konter sambil menyalakan rokok. Takuma menghampirinya dengan secangkir gelas yang menguarkan asap tipis. Tori menerimanya dengan senyum penuh terima kasih dan meletakkan cangkir itu di dekat pahanya. Takuma bersandar di sebelahnya, mengambil sebatang rokok dari dalam kotak yang masih digenggam Tori, membuat sahabatnya itu tertawa.
“Apa?” Takuma mengangkat alis, menyelipkan rokok ke antara bibirnya.
Tori menggeleng lagi, mengulurkan korek dan menyalakannya untuk Takuma.
Mereka terdiam sejenak, menikmati kopi dan menghembuskan nikotin beberapa kali.
“Yuuki-chan tidak marah kau menginap di sini sampai beberapa hari ke depan?” Tanya Tori kemudian.
Takuma terkekeh. “Marah sih tidak. Hanya cemberut. Tapi Micchi juga sudah ikut membujuknya dan dia di rumah ditemani Yamaguchi-kun dan Yuta. Ngomong-ngomong, terima kasih sudah mengundang mereka juga.”
Tori mengibaskan tangannya. “Tentu saja mereka kuundang. Kau ini bicara apa?”
Kedikkan bahu dan hembusan asap menjawab Tori. Takuma terbatuk dan memutuskan mematikan rokoknya. “Aku tak pernah terbiasa dengan ini,” komentarnya dengan wajah sedikit memerah.
“Itu karena kau dokter gigi,” ucap Tori sambil nyengir.
Takuma membalas cengirannya. Diperhatikannya baik-baik wajah Tori yang tampak lelah dan sedikit tegang. Garis di bagian bawah matanya mulai menebal dan Takuma tahu yang bisa menyembuhkannya hanya sepuluh jam tidur. Mungkin sebentar lagi dia harus memaksa Tori masuk ke kamar untuk bergelung di sebelah Suda tapi saat ini, sepertinya pria itu hanya butuh teman ngobrol. Masahiro begitu jauh dan Tori pasti sedang butuh seseorang untuk membantunya tak merasa begitu tertekan.
Karena itu Takuma meletakkan tangan di atas paha Tori, telapak tangan terbuka seolah mengundang untuk digenggam. Tanpa ragu, Tori menyambut. Digenggamnya dengan erat tangan Takuma dan meremas beberapa kali.
“Kitto, daijoubu yo ne.” ujarnya lirih dan sedikit bergetar.
Takuma mengangguk mantab, balas meremas tangan Tori. “Kitto. Daijoubu.”
Tuesday, December 13, 2011
[translation] Sairen, Hinata de Kagayaite
Monday, December 12, 2011
[fanfic] Partner
Cast: Kikuchi Takuya, Ise Daiki
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything
Note: gara2 Tacchin nyepam kemarin malam dan obrolan tak tentu arah sama Neitai XDDD Pendek aja dan maaf kalo gejeh.
Hawa dingin dari dalam kulkas menerpa kulit dada dan pundaknya yang tak tertutup baju. Kikuchi merinding sekilas sementara tangannya terulur, menjangkau ke dalam salah satu rak, dan menarik keluar sekaleng bir. Ditutupnya pintu kulkas dengan kaki sementara tangannya sibuk berkutat membuka bir itu. Beberapa tegukan dan pemuda jangkung itu menghela nafas lega dengan keras. Memang tak ada yang lebih nikmat selain bir dingin setelah berendam air hangat.
Kaki jenjangnya membawanya ke ruang depan apartemennya. Satu tangannya sibuk menggosok rambut dengan sehelai handuk yang tersampir di pundak. Dengan pose sedikit jumawa, ia berdiri di dekat sofa yang sudah dihuni pemuda berambut gelap yang tengah tengkurap; membaca novel sambil mengudap kripik kentang.
Menyadari bayangan yang jatuh di atas novelnya, Daiki mengangkat kepala dan nyengir setelah memperhatikan pemuda jangkung di hadapannya sekilas. "Nice undies," komentarnya.
Kikuchi mengarahkan pandang ke bawah, pada celana boxer berwarna hijau bermotif kunang-kunangnya lalu balas nyengir. Diperhatikannya TV yang menyala dan memutuskan kalau acara TV-nya sama sekali tak menarik. Kedua bahunya dikedikkan acuh. Diputarinya sofa mungil itu dan ditendangnya kaki Daiki supaya pemuda itu mau bergeser untuk memberinya tempat. Dilesakkannya pantatnya ke sofa dan memutar matanya saat Daiki, alih-alih bergeser, malah menukar posisinya dengan merebahkan kepala di paha Kikuchi.
"Aku bukan bantal, oi!" Protesnya sambil menjangkau remote TV dan menekan tombol, mencari acara yang lebih menarik untuk ditonton.
"Jangan pelit. Tsunenori saja tak keberatan kalau aku begini," Daiki menggembungkan pipinya sementara tangannya terulur menjejalkan beberapa potong keripik ke dalam mulut Kikuchi.
Pemuda jangkung itu memberontak dan menepis tangan Daiki. Diambilnya kepingan-kepingan keripik dari tangan Daiki dan mengunyah sendiri. Tak lupa memukul kening Daiki dengan keras. Daiki mengusap-usap keningnya dengan sebal meski tak bisa menahan cengiran yang timbul karena melihat sudut-sudut bibir Kikuchi yang tertarik membentuk cengiran pula.
"Mereka memang membuat iri ya," ujar Kikuchi kemudian, membiarkan Daiki bergelung nyaman di sebelahnya.
Daiki mengangkat alis. "Kenapa tiba-tiba?"
Kikuchi mengedikkan bahu, "I'm just saying."
"Heeee," Daiki mengangkat tubuhnya, duduk menghadap teman dekatnya itu seraya memeluk kedua lututnya. "Kau serius naksir Akazawa?" Tanyanya jahil.
Kikuchi memukul kepalanya sekali lagi. "Jangan sembarangan kalau bicara."
"Habis," Daiki mengulum cengirannya kali ini. Sedetik kemudian, ia menutup mulutnya dengan dramatis, "Jangan-jangan kau naksir Tsunenori?"
Sekali lagi, kepala Daiki menerima pukulan. Kali ini lebih keras. "Kubilang jangan sembarangan kalau bicara. Aku memang tampan dan tak ada seorang pun yang bisa menolakku, tapi naksir sahabat sendiri itu sama sekali tak ada dalam kamusku, tahu."
Daikio mencibir, masih tak rela kepalanya dipukul berkali-kali. Kepalanya dimiringkan, menatap sosok samping wajah Kikuchi yang tampan. Sebuah cengir jahil kembali menempati sudut-sudut bibirnya.
Kikuchi mengerjap saat sepasang lengan melingkari pundaknya dan tiba-tiba saja Daiki sudah duduk di pangkuannya. Wajahnya begitu dekat dan Kikuchi tak sempat mengeluarkan protes apapun saat Daiki menciumnya. Kedua lengannya yang panjang balas memeluk pinggang Daiki dan menariknya mendekat.
Getar tawa Daiki merambati telinga dan tenggorokannya dan Kikuchi balas menyeringai. Dibalasnya tiap kecupan dan pagutan mesra di bibirnya lalu berpindah menghujani rahang dan leher Daiki dengan kecupan ringan.
"So," Daiki berdeham karena merasa suaranya agak serak, "I could consider myself lucky that even though we're friends, I get to do these kind of things with you?"
Kikuchi menggigit kulit di bawah dagu Daiki, "Don't get cocky. I can throw you out anytime if you get ahead of yourself."
Daiki tertawa pelan dan kembali mencium temannya itu. "Oh, even if you did, I know you can't stay away from me for too long. After all, we're partners in crime."
Kikuchi nyengir. "We are, indeed."
-end-