Thursday, March 31, 2011

[fanfic] AU Ma-kunxTori - Pictures

Author: Panda & Icha
Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori
Rating: NC-17
Warning: BL, AU, OOC, NSFW
Disclaimer: I don't own anyone and/or anything
Note: Jadi, ceritanya kan ada majalah AnAn yang sangat ndosani itu. Trus Anne langsung nyikut gue begitu liat Shunsuke yang TAMPAK SANGAT YUMMY DI TEMPAT TIDUR HANYA TERTUTUP SELIMUT DI PINGGUL *coughs* dan dia menuntut dibikinin fanfic. Lalu, karena danna-sama tanuki mesum tersayang jadi ngebayangin celengdebu yang pose kaya gitu (jsdkfjsgdkjfgsdkjfgskjdgfksjdgfsajgbcskdhfhaskldhflkfghldkfghkldhsgdajgds!!!!!), jadilah stensilannya Ma-kunxTori dan bukannya YunxShunsuke. Sekian. Selamat menikmati~




Masahiro menatap kotak terbungkus kertas cokelat yang dipegangnya. Di bagian alamat pengirim hanya tertulis nama Yuzawa-sensei. Dimiringkannya kepalanya sembari mengguncang kotak itu di dekat telinga. Terdengar suara seperti tumpukan kertas bergesekan. Ah, pasti hasil pemotretan yang diceritakan Tori beberapa waktu yang lalu. Masahiro penasaran seperti apa hasil fotonya, karena Yuzawa-sensei melarangnya datang dan melihat. Tori juga meyakinkan bahwa ia tak perlu datang karena toh pemotretannya di apartemen Tori. Tapi setelah lama bekerja sama dengan Yuzawa-sensei, Masahiro tahu bahwa yang ditangkap kamera fotografer itu seringkali tidak biasa, maka ia tetap saja penasaran. 

"Tori, ada kiriman dari Yuzawa-sensei! Boleh kubuka?"

Tori menata peralatan makan yang baru saja dicuci dan dilap ke dalam lemari gantung. Nyaris saja menjatuhkan gelas yang tengah dipegangnya saat mendengar suara Masahiro dari ruang depan. Tak sampai sebulan sebelumnya, Yuzawa-san menghubunginya dan mengutarakan niat kalau dia mau memotret Tori. Tori paham kalau dia jadi model dadakan saat kebetulan menemani Masahiro pemotretan tapi Tori sama sekali tak mengerti kenapa Yuzawa-san sampai mau memotretnya secara khusus. Yuzawa-san tertawa dan bilang kalau dia sudah ingin memotret Tori dari pertama dia melihat Tori.

Setelah dibujuk rayu seharian, akhirnya Tori mau. Tapi dia nyaris saja mengusir Yuzawa-san pergi saat fotografer itu datang dan meminta Tori berpose hanya dengan sehelai selimut sebagai kostumnya. Itupun Yuzawa-san harus bersumpah kalau hasilnya tak akan dipublikasikan kemana-mana dan hanya boleh ditunjukkan pada Masahiro. Dan sepertinya yang sedang ada di tangan Masahiro sekarang adalah hasilnya. Tori penasaran juga sih.

"Umh... ya, buka saja." serunya seraya menyelesaikan pekerjaannya dengan wajah merah. Entah kenapa.

Masahiro membawa kotak itu ke meja dapur dan duduk di sana sementara Tori masih sibuk membereskan peralatan makan yang mereka pakai sarapan. Beberapa menit kemudian ia sudah selesai membuka bungkus kertas cokelat kiriman itu. Di dalamnya terdapat kotak hitam polos yang dikenali Masahiro sebagai wadah favorit Yuzawa-sensei untuk mengirimkan foto kepada orang lain.

"Sepertinya foto hasil pemotretan yang Tori ceritakan padaku kapan hari itu ya? Sensei memang suka sekali memotret Tori ya," ujar Masahiro sembari membuka kotak itu dan mengambil setumpuk foto berukuran kartu pos dari dalamnya. 

Foto yang pertama mengabadikan Tori di ruang tamu apartemen itu, sedang menonton TV hanya dengan memakai kaus tak berlengan dan celana katun. Foto berikutnya menunjukkan Tori di dapur, sedang mengisi gelas dengan air dari kran di wastafel, dan kemudian meneguknya di foto berikutnya. Melakukan hal-hal yang begitu biasa namun entah kenapa terlihat amat seksi. Hanya melihat pantulan cahaya dan bayangan bermain di tonjolan jakun di leher Tori saja dapat membuat Masahiro menelan ludahnya dengan mata terpaku. Yuzawa-sensei memang bukan fotografer sembarangan. Atau modelnya yang bukan model sembarangan--Masahiro tak begitu paham dan tak peduli juga sebenarnya. Napasnya mulai terasa berat saat entah foto keberapa menunjukkan punggung Tori yang setengah terbuka, kausnya sedang ditarik setengah terlepas, sebelah bahunya ditimpa cahaya dari jendela yang setengah terbuka. Tonjolan otot dan tulang belikatnya terlihat jelas di bawah kulit cokelatnya yang berkilau dan Masahiro harus menahan napas.

Dipaksanya tangannya untuk bergerak dan memperlihatkan foto selanjutnya, dan Masahiro sukses tersedak. Di lembar berkilau itu tercetak sosok Tori yang duduk di tempat tidur, punggungnya bersandar ke dinding, hanya tertutupi selembar tipis kain putih. Sebelah lengannya tertekuk bersandar pada tumpukan bantal di sisi kirinya sedangkan lengan kanannya tertekuk di depan tubuh, telunjuknya menyentuh tempat di mana sepasang tulang selangkanya bertemu tulang dada, rambutnya acak-acakan seperti baru bangun tidur. Atau mengajak tidur.

Masahiro menelan ludah susah payah sebelum akhirnya berhasil bersuara, "Tori, um. Pemotretannya kemarin seperti apa?"

Tori tertawa malu. Pura-pura mengelap counter sebelum berbalik dan menyilangkan tangan di depan dada. Menggaruk ujung hidungnya dengan tersipu-sipu dan sejenak salah tingkah.

"Umh... yah... bilang dibilang... seperti waktu Ma-kun pemotretan katalog pakaian dalam dulu... sih."

Dan dilihatnya wajah Masahiro yang berekspresi begitu aneh. Tori meringis dan maju beberapa langkah. "Kenapa? Hasilnya jelek ya? Aku bukan Ma-kun yang profesional sih."

Masahiro menatap Tori beberapa saat sambil berkedip. Bagaimana mungkin orang yang berdiri dengan pipi bersemu merah ini ternyata sama dengan makhluk berkulit kecokelatan yang terlentang di atas sprei acak-acakan hanya memakai celana dalam saja, menatap kamera dengan begitu sensualnya. Tanpa sadar ibu jari Masahiro menyusuri paha makhluk di foto itu dan berhenti di bagian selangkangan, napasnya seakan tercekat. 

"I...ini... aku tidak tahu harus bagaimana mengatakannya," sahut Masahiro sambil sedikit menyorongkan foto di tangannya ke arah Tori.

Tanpa sadar Tori menggembungkan pipinya. "Mou. Bilang saja kalau jelek." Namun tak urung didekatinya juga Masahiro dan diambilnya foto yang dipegang pacarnya itu. Tori tak pernah percaya diri kalau harus memamerkan tubuhnya. Di kolam renang atau di depan pacar, itu masalah lain. Sewaktu Yuzawa-san memintanya melepas pakaian pun, Tori harus benar-benar berusaha keras tak terlihat tersipu. Tapi memang Yuzawa-san benar-benar fotografer yang handal. Dia bisa membuat Tori merasa sangat nyaman dan tak mempedulikan kamera. Diamatinya foto di tangannya dan wajah Tori langsung memanas. Tori seperti melihat orang lain. Orang lain yang berpose begitu menggoda dan.... entahlah. Tori jadi merasa agak tak nyaman. Diulurkannya foto itu kembali pada Masahiro dan tanpa berkata apa-apa beranjak ke kamar.

"Tori?" Masahiro memandangi Tori yang melangkah menuju kamar dengan bingung. Tanpa berpikir panjang diikutinya tunangannya itu, masih sambil membawa sebagian tumpukan foto itu. "Hei, ada apa?"

Tori duduk melipat kaki di atas tempat tidur. Bagian bawah wajahnya ditutup dengan tangan. Ditatapnya Masahiro dengan wajah masih memerah. "Ma-kun.... tidak risih lihat foto itu?"

Masahiro tersenyum, meletakkan foto-foto yang dipegangnya di sisi tempat tidur lalu memanjat naik dan duduk di depan Tori. Tangan kirinya meraih wajah Tori sementara tangan kanannya menarik lembut tangan Tori menjauh dari wajahnya agar dapat melihat semu merah di pipi Tori. "Kenapa aku harus merasa risih?"

Tori beringsut mendekat. Balas menggenggam tangan Masahiro dengan pelan. "Umh... aku tak tahu kenapa mau saja disuruh berpose seperti itu oleh Yuzawa-san. Tak menyangka saja kalau..." Tori mengedikkan bahu. "...hasilnya akan seperti itu. Aku bahkan tak sadar memasang muka seperti itu." Dokter muda itu mendesah lagi. "Aku tidak nyaman saja melihatnya. Ma-kun juga kan? Karena itu tadi wajahmu aneh."

Masahiro tersenyum lagi. "Wajahku aneh karena Tori kelihatan mengagumkan," ujarnya sambil menggenggam jemari Tori. "Tadinya aku bahkan berpikir kenapa Tori tidak menjadi model saja, sayang sekali kemampuan seperti ini disia-siakan," Masahiro mengecup buku-buku jari Tori lembut. "Tapi lalu aku bersyukur Tori bukan seorang model. Karena yang bisa melihat Tori seperti itu... dan menyentuh Tori yang seperti itu, hanya aku seorang saja." Masahiro menggesekkan ujung hidungnya ke ujung hidung Tori kemudian mengecup lembut bibir dokter muda itu.

Tori balas mengecup dan memagut pelan bibir atas dan bibir bawah Masahiro bergantian. Kemudian mengecup ujung hidup Masahiro dan menggigit pelan. "Waktu pertama berpose seperti itu, Masahiro tidak risih?" bisiknya. Tangannya bergerak melingkari leher Masahiro dan mengelus tengkuk pemuda itu. 

"Mmmmm," Masahiro memutar matanya ke atas sambil mengusap-usap pipi Tori dengan ibu jarinya. "Tidak terlalu. Habisnya aku hanya mengikuti petunjuk pengarah gaya. Kalau lama-lama pakai acara risih segala nanti bisa-bisa masuk angin. Jadi sebisa mungkin cuek saja, hehehe."

"Dasar tukang pamer." Tori terkekeh pelan. Mendadak melupakan rasa malunya dan memiringkan kepala ke sentuhan tangan Masahiro. Ditarik-tariknya ujung rambut Masahiro dengan sayang. "Menurutmu fotoku tadi bagus? Perlu dipajang di ruang tamu?"

"Eh tidak usah!" Masahiro buru-buru menyergah sambil agak cemberut. "Nanti kalau orang lain lihat bagaimana? ...kutaruh di dompetku saja, ya?"

"Untuk apa ditaruh di dompet?" Tori memiringkan kepala lagi.

Masahiro mencondongkan kepalanya dan menggigit lembut leher Tori. "Untuk ganti kalau Tori sedang tidak bersamaku," bisiknya.

Tori menggeram pelan. "Hmmm...mesum." Kepalanya dimiringkan, seperti sengaja memberikan lebih banyak kulit untuk dinikmati tunangannya.

"Mau bereaksi bagaimana lagi kalau diperlihatkan yang seperti itu," kilah Masahiro sambil mulai menjilati kulit leher dan bahu Tori. Dengan bibir tersenyum nakal ia membawa tangan Tori yang masih digenggamnya ke selangkangannya, menyentuhkan telapak Tori ke bagian yang sudah bereaksi dengan bersemangat sejak melihat foto-foto itu pertama kali. "Satu-satunya yang membuat aku tidak nyaman hanya ini."

Tori tertawa pelan. Tangannya menangkup tonjolan itu dengan otomatis. Menggenggamnya dengan erat dan tersenyum senang saat merasakannya melonjak senang dalam genggamannya. Tangannya mulai bergerak, menyentak pelan ke atas dan ke bawah. Tori lalu bergerak, memposisikan dirinya di pangkuan Masahiro.

Masahiro mendesis seiring sentuhan Tori. Matanya terpejam beberapa saat sebelum Tori naik ke pangkuannya. Kemudian dilingkarkannya kedua tangannya di pinggang Tori, sebelah tangannya menyusup ke balik kaus yang dikenakan Tori. 

"Aku ingin Tori berpose seperti itu," bisik Masahiro. "Tapi kali ini hanya untukku."

Tori menggesekkan ujung hidungnya ke pipi Masahiro. Wajahnya memerah lagi. "Memangnya apa bedanya dengan foto yang itu?" bisiknya parau. Pun begitu, jemarinya bergerak melepas kancing teratas kemeja yang dikenakannya sembari memaguti rahang dan pipi Masahiro.

Masahiro membantu melepaskan kancing-kancing kemeja Tori. Dinikmatinya setiap inci kulit kecokelatan Tori yang muncul dengan terbukanya setiap kancing. Tangannya kemudian mengusap punggung Tori, beralih ke pinggul, kemudian ke dada Tori. "Tentu beda, karena dengan begini aku bisa menyentuh kulit Tori yang indah," ujarnya sambil merunduk dan menjilat tonjolan di dada Tori.

Punggungnya melengkung nikmat, diiringi dengan desahan pelan yang meluncur dari bibirnya. Tori setengah bersyukur ini hari libur atau otaknya sudah akan mengingatkan kalau mereka sungguh tak punya waktu untuk bersenang-senang lagi di tempat tidur seperti ini. Tapi mungkin juga dia tak akan peduli. Cara Masahiro menatapnya penuh dengan pujaan dan hasrat yang tak pernah ditutupi dan membuat Tori tak lagi canggung dengan masalah foto itu. Karena itu, didorongnya lepas kemejanya dan melemparnya ke lantai. 

Tori mengangkat tubuhnya -mendesis pelan karena kulitnya tergesek ujung gigi Masahiro- dan berkutat dengan ikat pinggang dan kancing celananya. Tori tertawa pelan saat Masahiro membantunya beringsut keluar dari celananya dan menjatuhkan diri ke kasur. Tangannya menggerut selimut untuk menariknya dengan satu hentakan. Tori beringsut lebih ke atas, berbaring nyaman bersandar bantal dan menutupi dengan asal saja bagian pinggul dan selangkangannya dengan selimut putih itu.

"Kalau tak salah, begini ya?" ujarnya dengan suara serak, menatap Masahiro dengan mata setengah tertutup dan mengangkat sebelah kakinya.

Masahiro menelan ludah lagi, kepalanya serasa berasap melihat pemandangan menggairahkan yang tersaji di depannya. Perlahan ia mengulurkan tangan, ujung-ujung jemarinya menyentuh tungkai Tori hingga ke lutut. Kemudian diusapnya kedua paha Tori lembut. Terasa hangat dan lembut dan tatapan Tori dengan kelopak mata setengah terpejam sungguh membuat Masahiro junior melonjak gembira. Tangan Masahiro terus merayap naik dan berhenti di pangkal paha Tori, merasakan denyut bersemangat di selangkangan Tori tanpa menyentuh.

"Ya, begitu," ujar Masahiro parau sambil beringsut mendekat dan menjilat Tori dari pusar hingga ke tulang selangka.

Sentuhan lembut Masahiro membuat punggung Tori melengkung. Bibirnya mengeluarkan gumaman nikmat. Sentuhan basah lidah Masahiro pun terasa seperti membakar kulitnya, membangkitkan insting liar dan hasratnya makin menggebu. Tapi Tori menahan diri. Mereka punya banyak waktu dan pengalaman dengan Masahiro selalu membuktikan kalau akhirnya pasti tak akan pernah mengecewakan. Pun begitu, Tori tak bisa menahan tangannya untuk tak menyentuh dadanya dan jemarinya bermain dengan tonjolan di sana sementara bibirnya bergerak, menjilat dan memagut rahang Masahiro dengan menggoda.

"Fotoku itu membuat Ma-kun berpikir begini ya?" bisiknya yang langsung diputus erangan.

"Mmm, sebenarnya ada yang kurang," ujar Masahiro sebelum memagut bibir Tori. Tangannya bergerak di luar selimut untuk menyentuh selangkangan Tori dan menggenggam kemaluan Tori. Ia mulai menggerakkan genggamannya dari ujung hingga ke pangkal, kemudian sebaliknya sementara bibirnya beralih ke pangkal leher Tori dan menggigit serta mengisap lembut. Tangan Masahiro bergerak cepat, kemudian lambat, lalu ia menambah putaran pergelangan tangannya--dalam cara yang ia tahu disukai oleh Tori. Suara erangan Tori membuatnya makin bersemangat. Masahiro menyentuhkan ibu jarinya ke ujung kemaluan Tori, kemudian menarik tubuh menjauh dan berlutut di hadapan Tori.

"Nah, sekarang lebih mantap," cetusnya sambil nyengir, menatap Tori yang masih bersandar di bantal. Namun kini rambut dokter muda itu acak-acakan, bibirnya memerah karena dicium, serta ada bekas perbuatan Masahiro di pangkal lehernya. Tak ketinggalan, selimut yang menutupi pinggulnya tampak terangkat di bagian depan karena menyembunyikan sesuatu yang berdiri tegang dan bersemangat. Bahkan telah ada pola cairan menyebar tepat di puncak tonjolan selimut yang tak seberapa tebal itu. Masahiro menjilat bibirnya tanpa sadar, tak sabar untuk melahap Tori.

Pinggul Tori terangkat dengan sukarela, bergerak seiring dengan hentakan tangan Masahiro. Dia pun mengerang sesekali saat gerakan Masahiro atau ciumannya terasa begitu nikmat. Wajahnya bersemu merah saat mendapati bercak basah di selimut yang menutupi bagian tubuhnya yang sudah bersemangat sekali namun bibirnya tersenyum. Tori mengangkat kepalanya, mengejar bibir Masahiro yang menggoda dan menjilat garis bibir Masahiro. "Apa yang kurang?"

Masahiro menggigit bibirnya menahan gemas, kemudian ia beringsut maju kembali. Jemarinya menemukan tonjolan di dada Tori dan mulai memainkannya sambil menciumi rahang Tori yang kukuh. "Yang kurang adalah suara Tori menjeritkan namaku," bisik Masahiro.

Mendengar itu, Tori tertawa pelan dan rendah. Sekali lagi memastikan dia mengerang dengan begitu menggodanya sesuai dengan keinginan tunangannya itu. Diam-diam, Tori selalu menikmati bagaimana mata Masahiro menyala tiap kali mendengarnya mengerang. 

Ada saat-saat Tori sengaja memancing Masahiro untuk menggodanya dan membuatnya mengerang sampai Masahiro tak tahan untuk tidak menariknya ke ranjang, sofa, meja atau dalam beberapa kesempatan, memepet Tori ke dinding. Kali ini pun, Tori sengaja memposisikan bibirnya di dekat telinga Masahiro agar pemuda itu bisa mendengar dengan jelas. 

"Kalau begitu...mmh... buat aku menjerit..."

Suara Tori yang begitu dekat dengan bibirnya membuat Masahiro menggeram dan harus menggigit kulit leher Tori lagi. Diam-diam Masahiro menganggap salah satu hal yang membuatnya jatuh cinta pada Tori adalah suaranya yang dalam, selalu tegas dan berwibawa saat berbicara dengan orang lain dan akan berubah menjadi begitu parau dan seksi jika mereka sedang bercinta. Diangkatnya sebelah paha Tori sambil beringsut mendekat, menumpangkan paha Tori di atas pahanya dan menggerakkan pinggulnya ke depan. Kemaluannya yang masih terbungkus celana bergesekan dengan kemaluan Tori yang sama tegangnya dengan miliknya, dan Masahiro mendesis. Dikecupinya sisi leher Tori, terus ke belakang telinga dan ke pelipis Tori yang mulai basah oleh keringat sambil terus menekankan pinggulnya 

"Mmmh, Tori~"

Tekanan pinggul Masahiro membuat Tori menarik nafas tajam. Seprai lembut yang menutupi kemaluannya menggesek kulitnya dan memberi sensasi nyeri yang nikmat. Melihat Masahiro yang bahkan tak ambil pusing untuk menyingkirkan selimut itu atau celananya sendiri, Tori tahu dia sukses membuat pemuda itu lupa diri. Kedua tangannya diletakkan di atas dan sisi kepala Masahiro, membimbing pemuda itu ke tempat-tempat yang Tori ingin disentuh. Pinggulnya pun mulai bergerak pelan, balas menekan ke atas dan ke bawah, bergesekkan dengan milik Masahiro meski terhalang selimut dan bahan celana cargo. Tapi rasanya nikmat sekali dan Tori memberitahu Masahiro lewat erangannya.

Masahiro menggeram rendah merasakan Tori mulai membalas tekanannya, membuat gesekan ke selangkangannya semakin memberikan rasa nyeri yang nikmat walaupun masih terhalang berlapis-lapis kain. Tapi ia tidak berniat untuk menghilangkan penghalang di antara mereka itu, tidak saat itu juga karena rasanya ia sudah tak sanggup menahan nafsu. Ada kalanya Masahiro ingin membuat permainan mereka bertahan selama mungkin, membuat Tori terengah nyaris kehabisan napas dan suara. Tapi tidak saat ini. 

Tangan kanannya terus menarik dan menekan tonjolan di dada Tori sementara tangan kirinya menyusup ke antara tubuh mereka, menggenggam dirinya dan Tori bersamaan. Bibirnya melumat erangan Tori dalam-dalam, menyapu langit-langit mulut Tori dan menggoda lidah Tori.

Merasakan getaran suaranya sendiri di dalam tenggorokannya, Tori menyambut lidah Masahiro dengan tak kalah bernafsu. Ditangkapnya lidah itu dan dihisapnya dengan kuat lalu melepas untuk menjentikkan ujung lidah mereka dan kembali melumat bibir Masahiro saat tunangannya itu menggeram rendah.

"Amnh... Ma-kun..." Tori menggerakkan pinggulnya, menekan ke bawah saat Masahiro bergerak ke atas, terjepit erat cengkeram tangan Masahiro dan terbalut lapisan bahan kain. Letupan familiar itu sudah menjalari sekujur tubuhnya. Tori mengangkat satu kakinya, mengaitkan tungkainya dengan betis Masahiro, membiarkan selimut putih itu membelit bagian bawah tubuh mereka.

"Motto...ah...ah...ahn..."

Sungguh suara Tori memang seksi. Entah bagaimana terbetik dalam benak Masahiro bahwa ia mungkin bisa klimaks dengan mendengar suara Tori. Suara Tori yang tersengal dan mengerangkan namanya dengan panjang, meminta sesuatu yang lebih. Masahiro memejamkan mata dan membenamkan wajahnya ke bahu Tori, membiarkan ujung-ujung rambut Tori menggelitik sisi wajahnya. Tangan kanannya merayap ke punggung Tori dan terus ke bawah, meraih bokong Tori dan menariknya merapat seiring dengan gerakan pinggulnya menekan ke depan dan genggaman jemarinya makin merapat. Masahiro mengerang, merasakan percikan-percikan kenikmatan menjalari tubuhnya.

Tori menyelipkan kedua tangannya ke bawah lengan Masahiro dan berpegangan pada bahu pemuda itu. Tori merasakan bagian bawah tubuhnya sudah basah sekali. Pinggulnya bergerak lebih cepat, mengejar kenikmatan yang sudah mulai mengaburkan pandangannya. Tori menengadahkan kepalanya, membiarkan Masahiro menikmati kulitnya. Dirasakannya Masahiro menekan dengan lebih keras dan hentakan juga cengkeram tangannya semakin kuat. Tori mengerang tanpa henti. Tak peduli apapun. Tubuhnya sudah tak terkendali dan lepas begitu saja.

"Ahn...Ma-kun... Ma-kun... ah! Mou... I... iku...aaah..."

Masahiro menggerakkan pergelangan tangannya, menekan titik-titik yang ia tahu dapat membuat Tori menjerit. Senang sekali rasanya saat merasakan Tori menggelinjang dan mengerang panjang. Dari gerakan pinggul Tori yang menjadi semakin cepat dan tidak beraturan dan tungkai Tori yang tak henti menariknya merapat, Masahiro tahu klimaks Tori sudah dekat. Bagus juga, karena ia sendiri juga rasanya tak akan tahan lebih lama lagi.

Diselipkannya jari tengah tangan kanannya menyusup ke celah di antara bokong Tori dan menekan jalan masuk ke tubuh Tori sambil berbisik parau di telinga Tori, "Ii yo. Ore mo... hnnngh, mou dame."

Sentuhan jari Masahiro di bagian belakang tubuhnya membuat tubuh Tori menggelinjang hebat. Tangannya sendiri mencengkeram pundak Masahiro dengan lebih erat, tak peduli apakah ia melukai pemuda itu atau tidak. Pinggulnya tersentak kuat dan kemaluannya bergesek kencang dengan milik Masahiro. Sekujur tubuhnya menegang dan bibirnya terbuka, melepaskan jeritan panjang seiring dengan sesuatu yang meledak di dalam dirinya dan meluncurkan cairan hangat dari kemaluannya. Pandangannya berubah putih dan pinggulnya menyentak-nyentak pendek, membisikkan nama kekasihnya selama ombak kenikmatan itu menyapu sekujur tubuhnya.

Masahiro dapat merasakan denyutan keras kemaluan Tori dalam genggamannya seiring menegangnya tubuh Tori dalam dekapannya. Hari ini Tori sungguh tak menahan diri sama sekali, dan jeritannya saat mencapai klimaks disertai rasa hangat dan basah yang membuat genggaman jemari Masahiro sedikit tergelincir membuat Masahiro melepaskan kendali dirinya. Membiarkan dirinya meledakkan gelenyar-gelenyar nikmat ke seluruh tubuh sementara tangannya tetap menggenggam dan menarik. Bisikan namanya dari bibir Tori seiring dengan sentakan-sentakan halus tubuh Tori membuat Masahiro tak tahan untuk tidak mencium kekasihnya.

Ciuman Masahiro membuat klimaksnya terasa makin nikmat. Tori balas memagut dan mengulum pelan bibir penuh cinta itu. Sentakan halus tubuh Masahiro dan geraman lirihnya disambut Tori dengan erangan pelan di sela ciuman mereka. Tori kemudian membenamkan wajahnya ke sisi wajah Masahiro, mengecup pipi dan pelipis pemuda itu yang tertutup peluh. Tori tertawa pelan. "Hmmm... kurasa tak ada buruknya aku sering-sering berpose seperti itu ya." Dikulumnya cuping telinga Masahiro.

Masahiro tertawa pelan, menusukkan hidungnya ke pipi Tori yang empuk. "Tentu saja, asal tiap memperlihatkan padaku Tori ada di sisiku. Kalau tidak aku bisa repot," candanya.

"Hmmm..." Tori bergerak, memeluk tunangannya dengan gemas. "Kalau aku tak ada, Masahiro mau bagaimana?" tanyanya menggoda.

"Hmmm, bagaimana ya," Masahiro mengulum senyum dan menarik tubuh sedikit menjauh. Sebenarnya ia tidak ingin melepaskan Tori, namun celananya mulai terasa tidak nyaman. Dengan cuek ditariknya celana kargo longgar yang dipakainya hingga lepas kemudian dilemparkannya asal saja ke salah satu sudut ruangan. Lalu dicarinya mata Tori lagi. 

"Sepertinya, aku akan memandangi foto Tori itu, membayangkan Tori di depanku, menggeliat sementara aku menyentuh Tori... sambil melakukan ini," Masahiro berbicara dengan suara rendah sembari mengusap rahang Tori dengan ibu jarinya. Sedangkan sebelah tangannya menyentuh dirinya sendiri, masih terasa tegang walaupun baru saja klimaks.

Tori mengerjap, sedikit terpana melihat Masahiro kecil yang perlahan mulai menegang lagi. Dia seharusnya tahu Masahiro tak akan puas dengan yang barusan saja meski rasanya cukup intens. Sudut bibit Tori terangkat dan matanya berkilat. Tangannya terulur untuk menangkup tangan Masahiro dan mengikuti gerakannya. "Seperti ini juga kalau sedang tak bisa bertemu denganku?"

Pemandangan jemari Tori yang bertaut dengan jemarinya sendiri--sedikit basah oleh sisa klimaksnya tadi--melingkari kemaluannya yang tampak mulai memerah bersemangat lagi memang menggairahkan. 

"Mmm, kadang-kadang. Aku kan pemuda sehat dan aktif," sahut Masahiro sambil tertawa kecil kemudian tersedak saat Tori menekan satu titik. "Tapi kalau Tori sedang tidak di sisiku, rasanya selalu ada yang kurang," Masahiro mengaku sambil mengecup kening Tori.

Tori merasa kepalanya melambung mendengar perkataan Masahiro. Dikecupnya ujung hidung Masahiro dengan gemas. Tangannya yang lain diletakkan di bahu Masahiro dan mendorongnya ke samping sampai pemuda itu rebah. Setelah menyingkirkan selimut yang membelit pinggulnya yang mulai terasa mengganggu, Tori memanjat ke atas Masahiro. Duduk di atas paha tunangannya, Tori kembali menggerakkan tangannya bersama tangan Masahiro, menekan di beberapa titik yang Tori tahu dengan pasti bisa membuat pemuda yang dicintainya itu lupa diri. 

Dua jari tangannya dikulum lalu dibawanya untuk menyentuh bagian bawah tubuhnya, menekan seraya mengerang, mempersiapkan tubuhnya sendiri lalu membungkuk untuk berbisik, "Aku juga sama kok. Ma-kun ga boku no naka ni... saikou..." Disusupkannya wajahnya ke lekuk leher Masahiro dan mulai mengecup dan menjilat kulit kekasihnya.

Masahiro mendesis dan melepaskan genggamannya, ganti meraih pergelangan Tori dan tertawa kecil dengan susah payah. "Kalau begitu singkirkan tangan Tori atau aku tidak akan sempat menggunakan tempat ini," ujarnya dengan jari tengah meraba jalan masuk tubuh Tori dan dua jari Tori yang bergerak keluar masuk. Ditatapnya kekasihnya yang super seksi itu, mengagumi ekspresi Tori setiap kali jemarinya menyentuh titik yang membuatnya meraskan kenikmatan. Masahiro menyentuh rahang Tori dan nyengir.

"Apa ini yang Tori lakukan kalau sedang tidak bersamaku?"

Tori menggeliat dan mengerang karena sentuhan Masahiro menambah kenikmatan yang sedang dirasakannya. Wajahnya bersemu merah dan menggeleng pelan, "Sabar dong...Mmnh..." Tori mengangkat pinggulnya, membawa jari tengah Masahiro masuk bersama dua jarinya sendiri dan melenguh.

"Hmm...Tidak selalu sih... ah... kalau sedang benar-benar kangen saja...mmh"

Sesaat kemudian, karena sudah merasa tak kuat, Tori membuka bibirnya, mengulum jemari Ma-kun yang berada dekat dengan mulutnya.

Masahiro beringsut mendekatkan bibirnya ke telinga Tori dan berbisik bertanya sembari menarik keluar jarinya dari jalan masuk tubuh Tori, "Lalu seberapa sering Tori merindukanku setengah mati?"

Ditariknya Tori mendekat dan menggesekkan ujung kemaluannya ke jalan masuk tubuh Tori, hanya menyentuh sedikit dan kemudian menjauh kembali, "Seminggu sekali? Tiga hari sekali?"

Dengan seksama diamatinya wajah Tori dan menekan masuk sedikit , hanya menembus lingkaran otot pertama dan kemudian menarik diri keluar kembali, perlahan. Amat perlahan. "Atau tiga kali sehari?" tanyanya dengan suara rendah.

Tori meletakkan tangannya di sisi pinggang Masahiro. Menjilat bibir dan mendesah lirih tiap kali Masahiro menekan masuk dan mengerang protes saat Masahiro sudah menarik diri sebelum benar-benar masuk. Pun begitu, dinikmatinya permainan kekasihnya yang manja itu. Tori menelan ludah dan sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring.

"Hmm... dua bulan sekali..."

Masahiro tergelak, menjepit puting Tori di antara ibu jari dan telunjuknya, menarik dan memutarnya perlahan hingga menegang. Ditariknya Tori mendekat, mengulum cuping telinga Tori dan menggigitnya lembut kemudian berpindah menjilat bagian belakang telinga Tori. 

"Pembohong," tuduhnya sembari menekan masuk dengan cepat, hanya sampai separuh jalan dan kemudian menarik keluar lagi.

Tori tergelak yang langsung terputus erangan pendek. Pundaknya menggeliat geli karena cumbuan bibir Masahiro di dekat telinganya dan Tori mendesah. Nafasnya mulai memburu dan Tori menggigit gemas pipi Masahiro. 

"Kau kan tidak tahu aku bohong atau tidak..." sahutnya seraya mengerang lagi karena Masahiro kembali menekan masuk. Bosan dipermainkan Masahiro yang langsung menarik keluar lagi kemaluannya, Tori pun menggerakkan pinggulnya, menggesek kemaluan Masahiro dengan celah bokongnya. "Memangnya Ma-kun melakukannya tiga kali sehari?" cengirnya.

Masahiro menggigit bibirnya dan mendesis saat kulitnya yang terasa amat sensitif bergesekan dengan kulit bokong Tori yang hangat. Tak tahan lagi, ia mendorong tubuh Tori hingga rebah menyamping. Ia beringsut merapatkan dadanya ke punggung Tori. Diposisikannya kemaluannya di celah bokong Tori dan tangannya mengelus paha mulus Tori, mengaitkan tangan di belakang lutut kanan Tori. Masahiro mengangkat paha kanan Tori, membuka selangkangannya dan menekan masuk dalam satu tarikan napas, langsung membenamkan diri hingga ke pangkal seraya menggeram. "Mmmh, mungkin saja."

Tarikan nafas tajam mengiringi sensasi nyeri yang terasa seperti menariknya ke segala arah. Bibirnya membuka melepaskan erangan panjang. Rasanya memang tidak terlalu sakit karena Tori sudah mempersiapkan dirinya dan kegiatan mereka sebelumnya sudah cukup membuat Tori siap menyambut Masahiro ke dalam tubuhnya. Tapi memang perasaan seperti ini, ketika Masahiro yang terasa besar, keras dan berdenyut di dalam tubuhnya, selalu sukses membuat Tori merasa seperti terlempar ke dimensi lain yang memabukkan. Nafas hangat Masahiro di dekat tengkuknya membuat Tori merinding dan sungguh-sungguh tak tahan.

Sambil menyentuh kemaluannya sendiri, Tori mulai membawa Masahiro masuk lebih jauh ke dalam tubuhnya. "Hmm... aaahnn... Ma-kun mesum sekali ya...Ahn!"

Masahiro menarik napas tersengal. Perasaan diselimuti oleh bagian dalam tubuh Tori yang mencengkeram hangat saat menekan masuk pertama kali tidak akan membosankan berapa kali pun ia merasakannya. Setiap kali selalu terasa seperti pulang ke tempat di mana ia seharusnya berada, seperti melengkapi suatu ruang kosong dalam hatinya.

Digigitnya pundak Tori dan mulai bergerak tanpa menunggu Tori terbiasa dengan ukuran tubuhnya. Ada kalanya Tori ingin diperlakukan lembut, dimanjakan dengan tekanan lembut yang meregangkan dirinya perlahan-lahan sedikit demi sedikit. Tapi Masahiro tahu, tidak kali ini. Karena Tori juga tak berpikir panjang dan langsung menggerakkan pinggulnya menyambut hentakan pinggul Masahiro yang kuat dan tajam.


"Aku kan...hngh... hanya mengimbangi Tori saja."

Tori menggerut ujung bantal yang menyangga kepalanya. Punggungnya melengkung seperti sendok menjaga pinggulnya tetap rapat dengan pinggul Masahiro yang menyentak tajam dan cepat. Tori menyukai cara Masahiro mengganti-ganti kecepatannya, menggoda tubuh mereka untuk tak cepat-cepat mencapai puncak kenikmatan itu. Tori pun menyamakan gerakan tangannya lalu menoleh, menyentuhkan ujung hidungnya dengan ujung Masahiro dan mencari bibirnya.

"Aku seperti ini...hnnngh... hanya untuk Masahiro...ah! Ahn! Mmnnh..."

Mendengar ucapan Tori yang seperti itu, Masahiro menggerung dan menopang tubuh bagian atasnya dengan siku kiri, melumat bibir Tori. Pinggulnya terus menghentak pelan dan dalam, kemudian berganti cepat dan tajam. Dijilatinya bibir Tori lalu memasukkan lidahnya ke dalam mulut Tori, menggoda lidah Tori hingga keluar untuk kemudian dihisapnya ke dalam mulutnya sendiri. Ia baru melepaskan ciuman mereka setelah terengah nyaris tak bisa bernapas. Tersengal, Masahiro menarik lutut Tori lebih lebar lagi dan mulai menyentak masuk dengan sudut yang lain.

"Kenapa? ...apa karena... argh. Hanya aku yang bisa membuat Tori menjerit seseksi ini?"

"Aaaaghn!" Tori mengerang keras. Ujung kemaluan Masahiro menemukan titik sensitif di dalam tubuhnya dan hentakannya membuat tubuh Tori menggelinjang hebat. Tersengal-sengal, Tori membenamkan sisi wajahnya ke dalam bantal dan mengerang tak putus. Sesaat dia kehilangan ritme-nya namun setelah mencuri kesempatan untuk menarik nafas (yang nyaris tak mungkin), Tori kembali mengimbangi gerakan kekasihnya. Sekujur tubuhnya terasa panas dan menggelenyar nikmat. Tori melirik ke arah Masahiro, menatap ekspresinya yang penuh konsentrasi karena menahan diri. Tori mengencangkan otot tubuhnya, mencengkeram dengan kuat seraya tersenyum lagi.

"Himitsu..."

"Hrrgggghhhh!" Masahiro menghujamkan giginya ke bahu Tori nyaris tak kuat menahan diri karena tiba-tiba Tori mencengkeramnya begitu erat. 

"Pelit," cetus Masahiro di sela tarikan napasnya. Membalas perbuatan Tori, Masahiro menarik kemaluannya keluar nyaris seluruhnya kemudian menekan masuk dengan cepat dan dengan sudut yang sangat dikenalnya. Ia menyentak berulang kali dalam sudut yang sama, kadang pelan kadang cepat, menikmati gesekan kulitnya dengan otot di dalam tubuh Tori yang amat nikmat.

"Ima... kimochii ka?"

Tori menggigit bibir kuat-kuat meski kemudian tetap tak bisa menahan erangannya yang makin keras dan makin tak terkendali. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan, antara menahan kenikmatan begitu membuncah dan menjawab Masahiro. Ada beberapa hal yang sebaiknya disimpannya sendiri. Dia tak sejujur itu dan membuat Masahiro penasaran adalah salah satu kesenangan Tori yang lain. Daripada itu, saat ini otaknya sudah tak sanggup berpikir apapun. Disambutnya hujaman tubuh Masahiro dengan cengkeraman yang makin erat. Tangan di kemaluannya bergerak makin cepat, membuat kemaluannya yang kemerahan terasa makin nyeri dan nikmat.

"Mmmmmnh... Ma-kun...Ii yo~ Nnngh..." Tori sudah tak sanggup. Dia butuh pelepasan itu sekarang juga.

Masahiro menjilat leher Tori kemudian menggigit rahang Tori yang terbentuk bagus. Sentakan pinggulnya berubah sedikit lambat, karena dengan cengkeraman Tori yang sekuat itu, ia akan selesai dalam beberapa kedipan mata saja. 

"Kochi?" Masahiro menekan masuk dengan pelan namun kuat, membuat pinggul Tori terangkat dari kasur. "Doko ka ii?" tanyanya. "Kochi?" tanyanya lagi, melepaskan tumpuan di lengan kiri dan menyusupkan tangan kirinya ke bawah tubuh Tori dan menyentuh ujung kemaluan Tori yang sudah begitu basah.

"Aaa~hn! Soko! Mmmngh..." Tori tak tahu lagi bagaimana mungkin Masahiro masih sanggup menahan diri sementara dirinya sendiri sudah yakin dia akan meledak setiap saat. Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya, Tori mengangkat tubuhnya. Mengerang lirih karena gesekan kemaluan Masahiro di dalam tubuhnya dan duduk di pangkuan pemuda itu. Kakinya mengait di belakang punggung tunangannya, kedua lengannya menggantung di leher Masahiro. Tori mendesah keras, kembali menggerakkan pinggulnya. Kembali mencengkeram tanpa ampun. Digigitnya leher dan rahang Masahiro lalu bibirnya yang penuh dan kemerahan.

"Ahn... soko ga ii....mmmnh... dakara... haanh..." Tori menekan turun, membawa Masahiro terbenam hingga ke pangkal. Tori mengunci pandangannya dengan sepasang lautan gelap di hadapannya, mengelus penuh sayang pelipis dan pipi Masahiro. "Dakara... ahn...boku no tame ni...aaaahngh.... itte?"

Masahiro melenguh keras saat Tori tiba-tiba mengubah posisi, membuat kemaluannya tertanam jauh di dalam tubuh Tori. Jelas menunjukkan bahwa kekasihnya itu sudah nyaris tak tahan lagi. Cengkeraman Tori yang erat bukan main disertai pinggulnya yang tak berhenti bergerak kontan membuat kendali apapun yang masih tersisa dalam diri Masahiro lenyap tertiup angin. Diraihnya pinggul Tori, mengangkatnya menjauh hingga nyaris melepaskan kemaluannya kemudian menariknya merapat seiring hentakan pinggulnya menekan masuk. 

Masahiro membalas tatapan Tori dan mencium kelopak mata Tori, lidahnya mencicipi setitik air mata di sudut kelopak. Dan setiap denyut nadi terasa membawa gelombang kenikmatan yang bertubi-tubi, sungguh membuatnya kecanduan. Di tengah semuanya itu, Masahiro kembali menangkap tatapan Tori yang lurus-lurus ke arahnya, bagaikan sepasang pusaran angin yang menariknya berputar dan tenggelam ke dalam pesona lelaki tampan di dalam dekapannya itu. Kekasihnya. Orang tercintanya. Calon suaminya. 

Sesuatu yang sejak tadi memuncak di dalam diri Masahiro pun membuncah dan meledak tanpa bisa ditahan lagi, pandangannya dibutakan cahaya menyilaukan dan ia menjeritkan nama Tori tanpa suara.

Tori yakin otaknya berhenti bekerja begitu Masahiro menghentak dengan makin cepat dan tajam nyaris tak terkendali. Tersengal-sengal hebat, Tori kembali mengecupi rahang Masahiro, tak berhenti mengerang dan melenguh. Selama beberapa detik, Tori menganggap Masahiro terlihat begitu tampan dan seksi dan Tori mencintai pemuda ini. Beberapa hentakan dan Tori merasakan tubuh Masahiro mengejang dan langsung disusul oleh sesuatu yang menyembur hangat ke dalam tubuhnya. Tori mencengkeram erat-erat dan melempar tubuhnya ke dalam gelombang besar kenikmatan itu.

Masahiro terengah-engah, masih membenamkan wajahnya ke lekuk leher Tori sementara tubuhnya tersentak-sentak sendiri. Samar dirasakannya cairan yang hangat mengalir di perut dan selangkangannya. Butuh waktu cukup lama sampai klimaksnya selesai, dan sepanjang waktu tersebut ia mendekap Tori erat-erat bagaikan tak ingin melepaskannya lagi.

Sambil balas memeluk erat tubuh tunangannya, Tori merasa dadanya sedikit sesak. Mendadak diingatkan kembali kenapa dia bisa jatuh cinta sebegitu parahnya dengan pemuda yang akan segera dinikahinya tak lama lagi ini. Rasanya penuh sekali sampai rasanya ingin menangis tapi Tori tak akan melakukannya. Dieratkannya pelukannya sampai orgasmenya perlahan-lahan berlalu. 

Dikecupnya rambut Masahiro yang lembab, menghirup dalam-dalam wangi tubuh Masahiro. Tori tahu dia tak akan pernah bosan berada bersama Masahiro. Dikecupnya telinga Masahiro dengan lembut, menggoda daun telinga pemuda itu dengan pucuk hidungnya dan berbisik dengan lirih, "Aishiteru."

Napas Masahiro tercekat sesaat mendengar bisikan Tori di telinganya. Begitu lirih namun begitu jelas terdengar, merasuk hingga ke dadanya. Ia terpaksa bungkam beberapa saat untuk mengambil nafas panjang yang bergetar sebelum meraih wajah Tori dan menatapnya dalam. "Ore mo."

"Aishiteru," bisiknya sembari mengecup dahi Tori yang dibasahi keringat. "Aishiteru," ulangnya sambil mengecup puncak hidung Tori. Disandarkannya dahinya ke dahi Tori, tertawa kecil kemudian tersenyum bahagia. "Aishisugiru."

Sungguh senyum pemuda itu memang menular. Tori tak pernah bisa tak ikut tersenyum tiap kali melihat Masahiro tertawa. Tori balas mengecup kening, hidung, pipi kemudian mengecup ringan bibir Masahiro. Ibu jarinya mengusap lembut rahang Masahiro, tertawa kecil dan terdengar begitu senang dan bahagia. 

"Hari ini di rumah saja ya..." bisiknya manja.

Masahiro tergelak dan menggigit pucuk hidung Tori pelan. Tangannya mengusap punggung Tori yang bersimbah keringat.

"Memangnya Tori belum puas ya?"

"Hmmm..." Tori menjilat dagu Masahiro "Sedang ingin berduaan dengan Ma-kun saja." Ujarnya seraya mengulum cengiran. "Lagipula, aku belum sempat lihat foto-fotoku. Siapa tahu saja kan?"

Masahiro menarik wajahnya menjauh dari Tori, memasang wajah terkejut dan membulatkan matanya lebar-lebar. "Tori bisa terangsang melihat foto-foto Tori sendiri? Oi, narsis juga ada batasnya."

"Sembarangan!" Tori mencubit dada tunangannya dengan gemas. "Maksudku, siapa tahu ada yang cukup bagus untuk dikirimkan ke rumah." ujarnya sambil pasang tampang polos.

Masahiro mengerutkan keningnya dan memajukan bibirnya sedikit. "Kurasa ayah Tori tidak berminat melihat anaknya telanjang. Apalagi Okaasan. Bisa-bisa aku dilemparnya dengan poci teh."

Tori tergelak lagi. "Kamu kan tak begitu tahu orang tuaku. Tou-san dulu pernah jadi model pakaian renang loh." 

Sejurus kemudian, Tori mengangkat pinggulnya, mengerang pelan saat kemaluan Masahiro tertarik keluar bersamaan dengan cairan putih yang mengalir pelan. Kemudian ditariknya pemuda itu untuk rebah membiarkan Masahiro setengah berbaring di atas tubuhnya. Mereka masih berpelukan erat , berbagi ciuman lembut dan senyum penuh cinta. Tori tak tahu lagi apakah ada lagi perasaan senyaman ini.

Masahiro mendesah nyaman, menyurukkan wajahnya ke leher Tori dan memejamkan mata. Rasanya nyaman sekali dan ia langsung merasa mengantuk. 

"Sepertinya hari ini memang harus di rumah saja," ujar Masahiro, menghirup aroma Tori dalam-dalam dan menarik selimut yang tidak basah hingga menutupi tubuh mereka. Dilingkarkannya lengannya di pinggang Tori. "Aku tidak mau melepaskan Tori," ujarnya sebelum jatuh tertidur.

Tori tersenyum dan mengecup kening Masahiro. Sejak tanggal pernikahan mereka ditentukan, pemuda itu sepertinya agak merasa tak tenang. Tori pun sebenarnya juga mulai gugup tapi berusaha meyakinkan diri kalau semuanya akan baik-baik saja. Sekilas terbersit di ingatannya kalau dirinya sempat menganggap tak akan pernah mengalami kebahagiaan seperti ini. Tori mengusir ingatan itu dan membenamkan wajahnya ke dalam helaian rambut Masahiro dan mengusap pelan punggung Masahiro, merasakan nafasnya yang tenang berhembus membelai kulit Tori. 

"Tidak. Aku yang tak akan pernah melepaskanmu." bisiknya lirih.

Sunday, March 27, 2011

[fanfic] AU KumaxTori - Friends Should Not Go That Way

Fandom: Prince of Tennis Musical 2nd Season/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Wada Takuma x Matsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: BL. AU. OOC.
Disclaimer: The characters are not mine.
Note: Buat Anne. Maafkan gejeh m(_ _)m



Suasana kedai kopi dekat kampus mereka itu biasanya selalu ramai dengan mahasiswa. Berkumpul di sudut-sudut sambil membicarakan tugas, mengerjakan tugas atau sekedar menghabiskan waktu menunggu kuliah selanjutnya. Takuma tak terlalu suka datang ke tempat itu. Paling-paling hanya mampir untuk membeli segelas kopi lalu dibawanya ke kampus atau ke asrama. Maka dari itu, kalau sore itu Tori tidak mengajaknya bertemu di situ, Takuma yang memang tak terlalu suka keramaian tak akan duduk di salah satu sudut cafe itu. Itu pun dia sengaja mencari pojokan yang agak jauh dari keramaian –untung saja sore itu tak terlalu ramai karena sedang tanggal tua- dan memasang earphone ke telinganya.

Untung saja Tori tak membuatnya menunggu terlalu lama. Pemuda itu datang sambil tersenyum lebar dan meletakkan dua gelas kopi di atas meja. Disodorkannya satu pada Takuma yang mengangkat alis sambil melepas earphone. Dia hanya pesan teh tadi (sekali lagi, tanggal tua). Tori melepas jaket tebalnya dan menyampirkannya ke punggung kursi sebelum duduk. Tak lama seorang barista datang membawakan dua piring masing-masing berisi cheese cake. Takuma makin mengangkat alisnya.

“Aku kemarin bertemu ayahku dan aku diberi uang tambahan. Hehehe.” Tori terkekeh setelah melihat wajah Takuma. 

”Terima kasih.” Takuma bergumam seraya menyingkirkan gelas teh-nya dan menyesap kopi. Dalam sekejab langsung merasa lebih segar. Sementara di depannya, Tori mulai menikmati cheese cake-nya dengan semangat. “Suda bagaimana?”

Tori mengunyah cheese cake-nya. “Sudah mau diajak bicara kok. Dia akhirnya mau menerima beasiswa ke Cina itu. Tapi tampaknya aku harus menemaninya, paling tidak untuk beberapa waktu.”

“Dia yang minta?” Takuma mengangkat alis lagi. Diambilnya garpu dan mulai mencuil cheese cake bagiannya dengan sedikit skeptis.

Tori mengangkat bahu. ”Pamannya yang bicara padaku sih.”

”Lalu?”

Tori memiringkan kepalanya. ”Ya, tidak pakai lalu-lalu lagi. Mau bagaimana lagi dong? Aku juga sudah bicara dengan orang tuaku kok. Ibuku juga lumayan suka pada Masaki, jadi ibuku sih mengijinkan saja aku menemaninya.”

Takuma mengangguk-angguk. “Kalau begitu kenapa tidak ambil spesialisasi di sana saja sekalian? Kan kau bisa sekalian menemani Suda.”

Bibir Tori mengerucut lucu. ”Tidak ah. Aku mau di sini saja. Katou-sensei sudah terlalu baik karena menawarkan dan aku juga sudah mengiyakan. Tak enak kalau tiba-tiba aku bilang tidak jadi kan? Lagipula, waktunya tak cukup kalau aku mau sekalian ambil spesialisasi di sana.”

”Hmmm... ”

Mereka terdiam beberapa saat sementara Tori menghabiskan cheese cake-nya lalu menatap penuh harap ke arah cheese cake di piring Takuma yang baru dihabiskan seperempat bagian. Takuma tertawa lalu mendorong piringnya ke arah Tori. ”Habiskan saja.”

Tori bersorak senang dan mulai mengunyah lagi. Takuma menghela nafas. Temannya itu tampan dan sangat menarik, tapi kalau sudah berurusan dengan yang manis-manis, tingkahnya langsung jadi seperti anak kecil. 

”Wada,”

Takuma mengangkat kepala. ”Ya?”

”Beberapa hari yang lalu Masaki bertanya padaku. Soal kita.”

Takuma mengerjap. ”Maksudnya?”

Tori mengulum garpunya, memandang lurus melewati bahu temannya yang tampan itu. ”Dia tanya kenapa aku sering tidur di kamarmu tapi tiap ditanya aku selalu bilang kalau kau bukan pacarku. Dia bilang dia tak mengerti orang dewasa waktu kubilang masalahnya bukan sekedar aku tidur di kamarmu saja.”

Takuma berdeham. ”Ternyata tak mudah juga menjelaskan pada Suda ya?” ujarnya sambil tertawa canggung.

Tori ikut tertawa. ”Anak itu terlalu pintar. Katanya dia memang tidak berminat untuk pacaran atau punya teman dekat, tapi kalau hal-hal seperti perasaan suka dan ingin selalu bersama dia paham. Karena itu dia tak habis pikir kenapa aku bilang kita tidak pacaran.”

Takuma menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil meringis. Suda memang sudah tak pernah mengadu apa-apa lagi pada Takuma begitu Takuma dan Tori mulai tidur bersama. Tapi ternyata anak itu pengamatannya terlalu tajam sementara otaknya yang jenius itu sepertinya tidak bisa mengerti kalau yang namanya perasaan, tak bisa dijelaskan dengan gampang. Sejenak kemudian ditatapnya Tori yang tengah menghabiskan suapan terakhirnya lalu menyesap kopi dengan pelan. 

Takuma melipat tangan dan bertanya hati-hati. ”Kau ingin kita pacaran?”

Jawabannya tak langsung datang dan Takuma bersyukur karena dia jadi punya waktu untuk berpikir juga. Jujur, dia tak tahu harus bagaimana kalau seandainya Tori menganggukkan kepalanya. Apa yang terjadi di antara mereka bukan hal yang mudah untuk dijelaskan dan dimengerti orang. Takuma sudah rela dan siap dengan segala resikonya. Tapi Takuma tak pernah memasukkan pacaran dengan Tori ke dalam jajaran resiko yang akan ditempuhnya. Mungkin pacaran dengan Tori akan membuat masalahnya jadi lebih sederhana tapi Takuma merasa kalau sampai jadi seperti itu, Tori pasti memaksakan diri sekali. Jujur, Takuma tak tahu apakah dia siap untuk berkorban lebih banyak lagi demi temannya itu.

Tori menoleh ke arahnya dan menggeleng. ”Tidak.”

Tanpa sadar, Takuma menghela nafas lega. Pun begitu, ada satu bagian kecil di dalam dadanya yang terasa perih. 

”Aku hanya bercerita karena kupikir kau harus tahu. Maksudku...” Tori melanjutkan. ”...Kau sudah berkorban banyak untukku, Wada. Aku tak mungkin meminta lebih lagi darimu. Yang sekarang sudah lebih dari cukup. Aku tak tahu bagaimana harus membalasmu kalau kita lebih dari ini.”

”Hei, aku yang menawarkan loh.” sergah Takuma sebelum Tori bicara lebih banyak lagi. ”Lagipula, biasanya orang-orang tak pernah ada yang membahas seperti ini kalau mereka ada di posisi kita loh. Tidakkah kau pikir kita ini aneh?”

Tori merengut. ”Kalau begitu, itu kan malah makin tak adil buatmu.”

Takuma tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya yang manis seraya mengerling. “Aku kan sudah bilang kalau tiba saatnya, aku akan meminta bayaran sangat mahal darimu.”

Tori tertawa lalu menghela nafas. ”Serius deh, Wada.”

”Aku juga serius, kok.”

Tori menopang dagu dan menatap Takuma dengan penuh terima kasih atau mungkin yang lainnya lagi, Takuma tak begitu paham. Yang jelas, tatapan Tori membuat wajahnya bersemu merah. Tori tertawa lagi, tangannya terulur menyentuh pipi Takuma.

”Yang kelak jadi pacarmu nanti pasti beruntung sekali ya, Wada.” gumam Tori. Terdengar tulus dan mungkin sedikit iri.

”Dan semoga yang jadi pacarmu nanti akan sanggup membuatmu benar-benar bahagia, Matsuzaka.”

Tori tersenyum sedih. Takuma menepuk pelan tangan Tori yang masih menyentuh pipinya dan diambilnya untuk digenggam dengan hangat. Tori hanya sanggup balas menggenggam dengan sedikit lebih erat.

”Terima kasih.”

Saturday, March 26, 2011

[fanfic] KenkixMitsuya - Communicate

Fandom: D2/Musical Tennis no Oujisama 2nd Season
Pairing: Yamaguchi Kenki x Mitsuya Ryou
Cast: Yamaguchi Kenki, Mitsuya Ryou, Ogoe Yuuki, cameo Wada Takuma
Rating: PG
Warning: AU, BL, OOC
Disclaimer: I do not own the characters. No harm intended.
Note: Buat tanuki mesum yang hari ini gue anggurin *ketjup*





06.35 AM

To: Yamaguchi Kenki
From: Mitsuya Ryou
Subject: Ohayou!

Sudah bangun? Hari ini dingin sekali. Jangan lupa pakai jaket ya? Dan pakai jaket yang lain! Yang biasanya itu sudah perlu dicuci!

x.x.x


Kenki mengucapkan terima kasih pada barista yang melayaninya dan mengambil segelas kopi dan sebungkus sandwich. Melangkah keluar dari kedai kopi itu sambil bergidik pelan karena angin dingin yang berhembus. Diletakkannya kopi dan sandwich di kursi penumpang dan menyetir dengan hati-hati ke arah kampus.

-------

07.35 AM

To: Mitsuya Ryou
From: Yamaguchi Kenki
Subject: Samui!

Maaf, aku baru baca pesanmu. Aku sudah di kampus. Hari ini sepertinya akan sibuk. Micchi ada latihan juga ya?


Mitsuya meletakkan pelurus rambut dan mencabut kabelnya. Setelah beberapa saat memastikan hasilnya sempurna, Mitsuya mengangguk puas dan beranjak untuk berpakaian. Bersiul-siul sambil memeriksa barang yang harus dibawa hari itu: buku pelajaran, alat tulis, raket, baju ganti, jaket, alat mandi, tas make-up, handuk dan sepatu.

"Micchiiiiii! Nanti telaaaat!" Didengarnya sayup-sayup suara Yuuki dari arah pintu depan.

Mitsuya mendengus. "Iyaaaaa!"

-------

08.45 AM

To: Yamaguchi Kenki
From: Mitsuya Ryou
Subject: Aku butuh kopi

Baru saja selesai latihan pagi. Senang deh aku bisa memukul jatuh Sakurada-senpai ehehehehe. Hari ini ingin potong rambut deh. Nanti selesai jam berapa?

x.x.x


Kenki sebenarnya tak terlalu suka kuliah pagi. Otaknya tak pernah bisa diajak kompromi penuh sebelum jam 10 pagi. Untungnya dosen yang satu ini mengijinkan mahasiswanya membawa kopi ke dalam kelas dan kuliahnya tak pernah membosankan. Pun begitu, Kenki tak bisa menahan diri untuk tidak menguap.

-------

10.35 AM

To: Mitsuya Ryou
From: Yamaguchi Kenki
Subject: Lapar

Hmm... Belum tahu selesai jam berapa. Temanku mengajak mengerjakan tugas bersama karena waktunya sudah mepet sekali. Tak usah dipotong rambutnya. Aku suka yang sekarang loh. Rasanya enak kalu dibelai sambil memeluk Micchi.


"Mitsuya-kun, tak enak badan? Wajahnya merah loh."

Mitsuya menggeleng dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dengan cepat sebelum gurunya melihat dan kembali pura-pura sibuk dengan percobaan di lab kimia. Temannya mengangkat bahu dan mengangsurkan lembaran kerja untuk diisi Mitsuya.

-------

12.05 PM

To: Yamaguchi Kenki
From: Mitsuya Ryou
Subject: Kare

Huh. Aku hair spa saja kalau begitu. Dasar gombal.

x.x.x

-------

12.15 PM

To: Mitsuya Ryou
From: Yamaguchi Kenki
Subject: Ramen

Aku kan cuma bilang kenyataan. Kok dibilang gombal?

------

12. 24 PM

To: Yamaguchi Kenki
From: Mitsuya Ryou
Subject: Puding buah

Hmph.

-------

12. 35 PM

To: Mitsuya Ryou
From: Yamaguchi Kenki
Subject: Opera cake

Aku serius. Tapi terserah Micchi saja. Makan puding begitu, perutnya tidak dingin?

------

12. 44 PM

To: Yamaguchi Kenki
From: Mitsuya Ryou
Subject: Mau opera cake-nya!

Tidak apa-apa kok. Kenki kan tahu aku tidak gampang sakit. Duh, habis ini fisika. Rasanya mau kabur ke ruang kesehatan saja deh.

x.x.x

------

12. 52 PM

To: Mitsuya Ryou
From: Yamaguchi Kenki
Subject: Pemalas

Katanya guru kesehatan di sekolahmu seram? Ups, dosennya sudah datang. Jangan bolos ya! Baca saja majalahmu. Sayang Micchi ya.

------

12. 58 PM

To: Yamaguchi Kenki
From: Mitsuya Ryou
Subject: *gigit*

Sayang Kenki juga.

x.x.x

-------

02.15 PM

To: Yamaguchi Kenki
From: Mitsuya Ryou
Subject: Aku selamat!

Hihihihi gurunya tak masuk. Kena flu berat. Jadi aku tadi ke lapangan dan menemani fukubuchou mendesain seragam baru Seigaku. Seru deh! Nanti aku kasih lihat!


Kenki mengangkat tangannya ke udara dan meregangkan tubuhnya seraya mengerang pelan. Kuliah terakhir untuk hari ini tapi masih ada banyak tugas yang harus diselesaikan. Mumpung di kampus, lebih baik dia mendekam di perpustakaan dan mulai mengerjakan daripada ditunda-tunda lagi. Banyak yang harus dikumpulkan sebelum minggu depan dan tiga di antaranya kerja kelompok. Mumpung semua teman-temannya sedang muncul di kampus juga. Dia juga harus mulai memikirkan topik skripsi untuk tahun depan.

Kenki memutuskan untuk mampir ke kantin dulu sebelum menuju perpustakaan.

------

02.38 PM

To: Mitsuya Ryou
From: Yamaguchi Kenki
Subject: Menarik

Boleh saja. Eh, tadi aku lihat ada orang yang bawa-bawa katalog barunya Inoue Masahiro. Micchi sudah punya? Mau kubelikan dulu?


Mitsuya berharap guru bahasa inggrisnya ini mau berhenti bercuap-cuap karena toh sebagian besar isi kelas sudah nyaris tertidur. Heran deh. Guru membosankan macam ini kok bisa diterima mengajar sih?

Sambil lirik kiri-kanan, Mitsuya pun mengeluarkan secarik kertas berisi coret-coretan hasil karyanya dengan Yanagishita-senpai tadi siang dan mulai mencoret-coret lagi.

"Mitsuya-kun, kalau memang tidak berminat dengan pelajaranku, sebaiknya berdiri di luar saja ya."

Mitsuya menelan ludah.

-------

03:18 PM

To: Yamaguchi Kenki
From: Mitsuya Ryou
Subject: Sebal! Sebal!

Eh? Tak usah! Aku sudah pesan di toko buku dan pulang nanti mau kuambil. Aku mau pemanasan dulu. Sudah dilihatin Buchou. Aku tak mau digigit. Sepertinya Sakurada-senpai mau balas dendam gara-gara kukalahkan tadi pagi. Duuuh, kakiku pegal gara-gara disuruh berdiri di luar. Mou.

x.x.x


Kenki mengerjap. Ah, pasti ketahuan baca majalah atau ketiduran deh, pikirnya. Dasar Micchi.

"Oi, Yamaguchi! Cepat! Lama deh!" Tegur temannya dengan nada kesal. Kenki buru-buru menutup ponselnya dan menyebutkan pesanannya pada barista Starbucks.

--------

04:21 PM

To: Mitsuya Ryou
From: Yamaguchi Kenki
Subject: Kopi kedua

Ada-ada saja.


Mitsuya menyambut uluran tangan Yuuki yang membantu berdiri.

"Micchi sih. Sudah tahu Sakurada-senpai itu paling tak mau mengalah. Nanti kalau lututnya luka lagi, bisa-bisa dimarahi Matsuzaka-sensei dan tak boleh ketemu Inoue-niisan lagi loh."

Mitsuya merengut namun tetap melingkarkan lengannya ke leher Yuuki dan berjalan tertatih-tatih ke ruang ganti.

--------

06:15 PM

To: Yamaguchi Kenki
From: Mitsuya Ryou
Subject: :(

Aku tak mau dengar apa-apa. Lututku sakit.

-------

06:18 PM

To: Mitsuya Ryou
From: Yamaguchi Kenki
Subject: [no subject]

Sekarang di mana?

-------

06:21 PM

To: Yamaguchi Kenki
From: Mitsuya Ryou
Subject: Lapar

Dari rumah sakit. Diantar pulang sama Wada-sensei. Mau ditraktir sushi. Aaaah! Aku belum ambil katalog-nya Masahiro-kun!

---------

06:25 PM

To: Mitsuya Ryou
From: Yamaguchi Kenki
Subject: sudah sampai rumah?

[Message empty]

--------

06:34 PM

To: Yamaguchi Kenki
From: Mitsuya Ryou
Subject: Marah ya?

Baru saja sampai. Wada-sensei baik deh. Tadi mau saja waktu kuminta mampir ke toko buku dulu. Sushi-nya banyaaaaak! Hihihihhi, Yuuki sepertinya sebal karena Wada-sensei lupa beli coklat. Sekarang sedang pergi lagi ke conbini untuk beli coklat.

--------

09.15 PM

Mitsuya memandangi ponselnya yang sunyi. Lututnya terbalut penyangga lutut yang Matsuzaka-sensei menekankan tak boleh dilepas selama dua minggu. Atau.

Mata besarnya menatap dengan sedikit iri pada Takuma dan Yuuki yang sedang cuci piring berdua di dapur. Mesra sekali sih. Sementara hari ini dia belum dengar suara Kenki sama sekali. Meski bertukar pesan terus menerus, Mitsuya sebenarnya sedang ingin bertemu Kenki. Tentu saja dia tak akan bilang terus terang. Tapi sejak semalam, dia kangen sekali dengan tunangannya itu. Dan biasanya Mitsuya sudah puas kalau ditelepon sekali saja. Tapi karena Kenki sudah bilang kalau hari ini dia sibuk, Mitsuya tak ingin mengganggu dengan bilang ingin ditelepon atau menelepon Kenki.

Tapi sekarang mood-nya jadi tak enak karena Kenki tak membalas pesan terakhirnya. Sepertinya memang marah karena Mitsuya tak bilang kalau lututnya sakit lagi dan harus ke rumah sakit untuk diperiksa. Lagi-lagi, Mitsuya beralasan dia tak ingin mengganggu.

Nyatanya, dia jadi sebal sendiri. Ditarik-tariknya karet pelindung lututnya sambil merengut sementara tangan yang satunya membolak-balik katalog Masahiro dengan sedikit tak berselera. Pun hanya melambai lemah saat Takuma pamit pulang.

Apa telepon saja ya? Pikirnya. Toh, sudah jam segini. Mungkin Kenki sudah pulang. Tapi kalau teleponnya tak diangkat bagaimana? Kenki yang sedang ngambek atau marah adalah sesuatu yang tak pernah dihadapi Mitsuya selama dua tahun mereka kenal. Bibirnya digigit-gigit dengan resah sambil tangannya memutar-mutar ponselnya.

Mitsuya baru saja mau berseru kesal saat sebuah tangan yang besar dan hangat menepuk-nepuk kepalanya. Mitsuya terpaku dan saat mendongak, matanya melotot.

"Kok... Ada di sini?" Tanyanya spontan.

Yuuki nyengir. "Tadi bertemu di bawah waktu aku mengantar Kuma. Dibawakan kue loh, Micchi."

Mitsuya masih menatap tunangannya yang sudah menarik tangannya dan duduk di hadapannya. Ekspresi wajahnya tak menunjukkan apapun tapi tidak tersenyum juga. Sekilas ditatapnya lutut Mitsuya yang terbalut dan meletakkan tangannya dengan hati-hati di atas lutut itu.

"Wah! Opera cake!" Seru Yuuki dari arah dapur.

"Jangan dimakan kalau sudah sikat gigi. Nanti dimarahi Wada-sensei loh." Kelakar Kenki tanpa menoleh dari Mitsuya yang sudah mengalihkan pandangan ke katalog di atas meja karena tak berani memandang Kenki.

Yuuki menjulurkan lidah dan memasukkan kotak kue itu ke dalam kulkas. Matanya mengerjap melihat dua orang yang duduk berhadapan di ruang tengah itu dan mendadak Yuuki merasa dia seperti mengganggu.

"Aku tidur duluan ya." Ujarnya sambil melambaikan tangan. "Kenki-san kalau mau kopi, ambil sendiri ya. Masih ada tuh di mesin."

"Un. Arigatou. Oyasumi." Balas Kenki.

"Oyasumi, Yuuki."

Yuuki melambaikan tangan sekali lagi dan menghilang ke lantai atas. Mitsuya menghela nafas pelan, membalik halaman katalog dengan pelan pula. Kenki masih diam dan hanya menatap berganti pada Mitsuya dan lutut Mitsuya. Lalu menghela nafas.

Tak sadar, Mitsuya mengernyit.

"Micchi membuatku khawatir." Suara Kenki terdengar. Tenang dan jelas. Mitsuya merasa jantungnya mencelos. Ujung jarinya memainkan tepi halaman katalog.

"Kamu marah?" Gumamnya pelan.

Kenki mengelus pelan lutut Mitsuya. "Bukan marah. Hanya khawatir." Ulangnya menegaskan.

"Tidak parah, kok." Tak sadar, Mitsuya menggembungkan pipinya dan nadanya terdengar setengah merajuk setengah manja tak ingin disalahkan. "Matsuzaka-sensei bilang ini hanya untuk jaga-jaga."

"Sou?"

Mitsuya mengangguk. Kenki mengangkat tangannya dan kembali diam. Mitsuya jadi merasa bersalah sekali dan akhirnya memberanikan diri melirik ke arah tunangannya. Garis rahang Kenki terlihat lebih tegas dari biasanya. Bibirnya juga terlihat lebih tipis. Mitsuya jadi merasa tak karuan melihatnya.

Mitsuya lega saat dia beringsut, menjulurkan lengan untuk memeluk Kenki dan Kenki tak menolaknya. Lengan Kenki balas melingkar di pinggangnya dan Mitsuya mengeratkan pelukannya. Dibenamkannya wajahnya ke pundak Kenki, bergumam lirih ke dalam sweater biru tua yang dikenakan tunangannya itu.

"Maaf."

Didengarnya Kenki mendesah dan dirasakannya usapan pelan dan penuh sayang di punggungnya juga Kenki yang kemudian ikut mengeratkan pelukannya. Lalu dijauhkannya tubuh Mitsuya agar bisa melihat wajah Mitsuya dengan baik. Mata hitamnya menatap tajam ke dalam bola mata Mitsuya yang besar.

"Untuk yang seperti ini, meskipun aku bilang aku sibuk, Micchi tetap harus bilang ya. Aku bertanggung jawab atas Micchi. Aku tak mau aku tahu belakangan meskipun sudah ada yang menolong Micchi seperti Wada-sensei misalnya."

Mitsuya menunduk. Tangannya menggerut sweater di bagian pundak Kenki. "Aku tak suka-"

"Iya, aku tahu." Potong Kenki. "Micchi tak suka merepotkan. Tapi aku ini apanya kamu?" Kenki menangkup pipi Mitsuya dengan kedua tangannya.

Telinga Mitsuya memerah. ".....Tunanganku."

"Betul." Kenki mengangguk. "Dan aku sayang padamu."

Semburat merah menjalari wajah Mitsuya. Disentuhnya pipi Kenki dengan bibirnya. "Maaf ya." Bisiknya lagi.

Kenki balas mengecup pipi Mitsuya dan memandangnya dengan sayang. Dilepasnya pelukannya dan menunduk untuk mengecup lutut Mitsuya. "Masih sakit?"

Mitsuya menggeleng. "Cuma nyeri. Tidak terlalu mengganggu kok."

Kenki menggumamkan sesuatu yang tak jelas ditangkap telinga Mitsuya. Jantungnya berdebar karena Kenki mengelus paha dan kakinya. Tidak dengan menggoda tapi dengan sayang dan penuh perhatian. Mitsuya menyentuh tangan Kenki, menggenggamnya erat dan memeluk Kenki sekali lagi.

Kenki membenamkan wajahnya ke dalam helain halus rambut Mitsuya dan menghirup dalam-dalam wangi lavender dari helain kecoklatan itu.

"Ngantuk?" Bisiknya.

Mitsuya mengangguk. Kenki tersenyum dan membimbing Mitsuya ke kamar. Dimatikannya lampu lalu membuka pakaiannya, melipatnya dengan rapi dan menyusul Mitsuya ke tempat tidur.

Mitsuya mendesah saat Kenki menariknya ke dalam pelukan. Wajahnya disurukkan ke lekuk leher Kenki. Kaki mereka saling mengait dengan otomatis. Mitsuya sebenarnya masih tak begitu mengerti kenapa Kenki begitu tak suka dengan tindakannya kali ini tapi dia tak akan komentar apa-apa dan memilih untuk menurut saja. Kenki ada di sini, memeluknya dengan hangat. Saat ini, itu saja yang akan diterima dan dimengerti Mitsuya.

Tuesday, March 22, 2011

[fanfic] AU KimitoxRyouta - Hitomi no Jyuunin

Author: Panda & Icha
Fandom: Kamen Rider Decade/Prince of Tennis Musical
Rating: NC-17
Warning: BL. AU. NSFW
Disclaimer: We do not own the characters. No profit gained. No harm intended.
Note: Icha-icha selanjutnya!! Douzo~!!

Ryouta mendesah pelan dan lirih. Bagian dalam mulutnya digigit sementara wajahnya memerah dan terasa panas. Namun dia tak berani mengarahkan pandang ke arah pemuda yang tengah menikmati lehernya. Sentuhan basah bibir dan lidah Kimito membuatnya dadanya berdebar kencang dan mengirim sinyal ke bagian bawah perutnya yang membuat celananya terasa lebih ketat. Rasanya agak aneh karena tak sampai sejam yang lalu, mereka baru saja berdebat agak keras yang nyaris membuat Ryouta kehilangan kesabaran. Tapi sekarang perdebatan itu seperti tak pernah terjadi. Ryouta menarik nafas tajam, jemarinya menggerut bagian belakang sweater yang dikenakan Kimito, dan menggigit bibir untuk menahan erangan yang siap meluncur lagi.

Kimito mengecupi leher Ryouta yang kukuh dari bawah telinga hingga ke tulang belikat, kemudian memberikan satu jilatan panjang ke arah atas kembali. Digigitnya sudut rahang Ryouta, kemudian tersenyum senang merasakan tubuh yang sedang disentuhnya bergetar halus. Sepertinya dirinya sungguh bodoh karena menunggu selama ini untuk mencicipi leher Ryouta yang menggoda, bahkan perlu dipicu kejadian luar biasa dahulu untuk memulainya. Kimito meraih wajah Ryouta kemudian menatap dalam-dalam ke manik mata cokelat gelap pacarnya itu. 

"Jangan menggigit bibir sekeras itu," Kimito mengecup sekilas sepasang bibir kemerahan itu. "Aku ingin mendengar suaramu."

Ryouta tak menjawab. Kepalanya terasa seperti berasap. Biasanya, kalau Kimito menciumnya, Ryouta tak pernah menahan diri seperti ini. Entah kenapa dia merasa sedikit malu. 

"Umh... aku takut berisik..." kilahnya sambil membuang muka.

Kimito berkedip sesaat menatap wajah Ryouta yang memerah. Manisnya bahkan mengalahkan krim paling manis yang pernah dicicipinya. Imutnya mengalahkan cupcake paling imut yang pernah dibuatkan Ryouta untuknya. Kimito jadi tak tahan dan diciumnya bibir itu. Dipagutnya bergantian dengan bersemangat sambil menarik Ryouta semakin rapat dengannya, dijilatinya menuntut agar diberi jalan. Mereka sudah beberapa kali berciuman sebelumnya--walaupun tidak seperti pasangan lain yang bermesraan di mana saja kapan saja--dan biasanya Ryouta selalu memberi respon yang sama bersemangatnya dengan Kimito. Namun tidak hari ini. Mungkin karena hari ini memang berbeda. 

Bibir Ryouta membuka, entah mengambil napas atau memang memenuhi permintaan Kimito, Kimito tak peduli. Tanpa menunggu dimasukkannya lidahnya ke mulut pacarnya, menjelajah dan menyapu semua bagian, menggoda lidah Ryouta yang refleks mengejarnya, mencicipi rasa Ryouta yang entah kenapa selalu manis. Senyum Kimito tak tertahan ketika Ryouta tersengal dan mengerang rendah. Suara itu bagaikan masuk langsung ke tubuhnya, merambati punggungnya dan membuat kemaluannya bereaksi dengan gembira.

Mungkin salahnya karena kali ini Ryouta tak menutup matanya. Tapi ketika Kimito mulai menciumnya tadi, matanya begitu terpaku pada ekspresi di wajah Kimito dan memilih untuk meredup daripada tertutup sempurna. Kimito terlihat tampan sekali dari jarak sedekat ini. Matanya yang selalu berkilat jahil, kali ini berbaur dengan sesuatu yang lain. Bibirnya yang tengah mencium Ryouta terasa begitu hangat dan manis dan menggoda dengan lebih berhasrat dan bersemangat dari biasanya. 

Mau tak mau, Ryouta mengerang karena kepalanya terasa seperti melayang dan ada sesuatu yang menyala di dalam tubuhnya. Sesuatu yang membuatnya membuka bibirnya dan membuatnya mengerang lebih keras. Sentuhan lembut tangan Kimito dan hangat tubuhnya yang menempel padanya. Semua itu membuat Ryouta tersengal dan beringsut karena selangkangannya sungguh tak nyaman. Dilebarkannya kedua kakinya, dengan maksud agar celananya tak terasa terlalu ketat, tapi malahan membuat pinggul Kimito merapat padanya.

"Mnnh..." Ryouta menggigit bibir lagi.

Kimito menghentikan gerakannya sesaat ketika bagian depan jeansnya bergesekan dengan celana jersey Hyoutei yang dikenakan Ryouta. Bukan karena kaget atau ragu, tapi karena harus bersusah payah menahan diri agar tidak melakukan tindakan yang membuat Ryouta terkejut. Mungkin hanya dirinya sendiri yang tahu seberapa sering ia harus menahan hasrat melihat senyum Ryouta, berusaha agar tidak menuruti nafsu untuk melahap Ryouta yang tertidur tanpa pertahanan sama sekali di sofa apartemennya. Mungkin hanya dirinya dan dinding kamar mandinya, karena ke sanalah Kimito melarikan diri untuk menenangkan diri--dan kadang menyentuh dirinya sendiri, karena Kimito hanya laki-laki biasa. Namun memang selalu ada sesuatu yang menghalangi dirinya sendiri untuk melangkah sejauh ini sebelumnya. Kenyataan bahwa ia tidak bisa 'melihat' hal paling berarti bagi Ryouta. Kenyataan yang selalu membuatnya merasa tidak percaya diri dan kuatir Ryouta memilih orang lain. 

Tapi tidak kali ini. Kali ini Kimito menekan pinggulnya merapat dan bergerak sedikit--mencoba. Sungguh senang saat didapatinya Ryouta tidak menjauh. Tangannya mulai merayap masuk dari ujung bawah t-shirt yang dikenakan Ryouta, mengusap otot perut Ryouta yang mengagumkan dan terus naik ke dada. Dijilatnya cuping telinga Ryouta sambil,menggoda tonjolan di dada Ryouta dan menikmati erangan pacarnya itu.

Ryouta menarik nafas tajam. Sentuhan Kimito memang lembut dan terkesan sedikit hati-hati tapi rasanya seperti membakar kulitnya. Dia juga sedikit terkejut karena ternyata dia suka disentuh seperti itu. Selama ini hanya dirinya sendiri yang tahu di mana dia suka disentuh. Dan saat pinggul Kimito menekan pelan, Ryouta tak sanggup menahan diri untuk tidak merespon. Rasanya terlalu nikmat dan tubuhnya menggelenyar seiring dengan getaran halus merayapi punggung dan bagian bawah perutnya. 

Ryouta pemuda yang sehat dan dia heran kenapa dia bisa menahan diri untuk sesuatu yang dia tahu bisa senikmat ini. Pun punggungnya melengkung dan Ryouta tersengal hebat saat jari-jari Kimito menggoda tonjolan di dadanya. Kemaluannya bereaksi dan menegang dengan cepat. Entah kenapa, tiba-tiba saja Ryouta merasa begitu gugup dan takut. Tangannya pun reflek mendorong dada Kimito menjauh. 

"Tu..tunggu! Kimi-chan....!" serunya sedikit panik.

Kimito melepaskan cuping telinga Ryouta yang sejak tadi dikulumnya, menimbulkan bunyi yang sebenarnya membuat dirinya makin bersemangat. Namun Ryouta tampak tidak nyaman, maka ia mengangkat tubuhnya menjauh dari tubuh Ryouta. Masih di atas Ryouta yang telentang di atas tempat tidurnya, tapi tidak lagi mencumbu maupun menekan selangkangan pacarnya. Tangannya meninggalkan tonjolan di dada Ryouta, namun dibiarkannya tetap di perut Ryouta. Hanya menyentuh saja, tidak ada belaian maupun usapan. Ia tak ingin Ryouta merasa makin tak nyaman. Kimito tahu bahwa ia adalah pacar pertama Ryouta. Pemuda yang selalu sibuk dengan toko kue dan tenis itu belum pernah punya orang istimewa. Dan kalau melihat dari reaksinya yang seperti ini, juga belum pernah disentuh seperti ini oleh siapapun. Kimito tersenyum sambil menyentuh pipi Ryouta lembut dengan buku-buku jarinya. 

"Hmmm? Kenapa?"

Ryouta menunduk, tak berani mengangkat wajah untuk menatap sang pacar. Sedikit tersengal, ia berusaha mengatur nafas dan emosinya yang tak karuan. Pun, dia sadar sekali Kimito memperhatikannya. Meskipun nadanya terdengar lembut, Ryouta tahu pacarnya itu pasti sedikit kesal karena didorong menjauh. Tapi Ryouta butuh bernafas sejenak sebelum meneruskan bercumbu dengan Kimito. Dia paham sekali ke mana cumbuan ini mengarah. Setelah menarik nafas panjang beberapa kali, Ryouta akhirnya memberanikan diri mengangkat kepalanya dan nyaris tercekat. Kimito yang sedang menahan hasrat seperti itu terlihat tampan sekali. Diulurkannya tangannya untuk menyentuh pipi Kimito dan membelai helaian rambutnya yang melewati bahu. Ryouta menggeleng pelan.

"Tidak..." bisiknya. Ditariknya pelan kepala Kimito dan mengecup lembut bibir tipis itu. Kemudian ditatapnya Kimito dan bertanya tak pasti. "Kimi-chan yakin? Aku tidak tampan, tidak cantik, tidak seksi. Yakin?"

Tanpa sadar Kimito menghembuskan napas lega dan tersenyum. Ternyata Ryouta bukannya tidak ingin disentuh olehnya. Dengan lembut diusapnya kulit di antara kedua lengkungan alis Ryouta yang berkerut tanpa disadari pemiliknya, membujuk agar guratan rasa khawatir itu hilang dari wajah Ryouta. Matanya tetap menatap sepasang mata Ryouta yang biasanya selalu menatap yakin ke depan--dengan serius menekuni resep baru maupun mengincar bola yang melambung untuk dikembalikan ke lapangan lawan. Namun kali ini dalam sepasang mata itu ada rasa ragu, ada rasa cemas dan tidak percaya diri. Diam-diam Kimito merasa tersanjung karena Ryouta mau menunjukkan sisi yang rapuh kepada dirinya. Dikecupnya dahi Ryouta penuh sayang. 

"Kalau kau tidak tampan dan seksi, untuk apa aku cemburu?"

Ya, hanya beberapa jam sebelumnya Kimito memang sedang terbakar rasa cemburu yang luar biasa.

Ryouta menggaruk ujung hidungnya dengan salah tingkah. Senang karena akhirnya Kimito mengaku kalau dia cemburu. Juga besar kepala karena dibilang tampan dan seksi. Tak pernah ada yang memujinya seperti itu sebelumnya. Dia hanya sering disebut 'anak manis'. Ryouta mengangkat wajahnya lagi dan mengecup pipi Kimito. "Umh...terima kasih..." Bibirnya berpindah ke bibir Kimito, menekan pelan lalu memagut dan tersenyum manis. 

Senyum Ryouta berubah tersipu saat tangannya melingkar ke pinggang Kimito dan menariknya mendekat lagi. Setelah mendengar kata-kata Kimito, Ryouta seperti mendapat keberanian untuk mengaitkan satu tungkainya ke betis Kimito, mengunci lembut dan menjaga tubuh mereka saling merapat erat. Ryouta mendesah. Senang karena hangat tubuh dan detak jantung Kimito, juga denyut hangat bagian bawah tubuhnya. Ryouta memiringkan kepalanya, menjilat pelan kulit di bawah bibir Kimito.

Kimito nyengir senang ketika Ryouta menariknya mendekat. Untung episode galau Ryouta tak terlalu lama, karena bisa-bisa ia selesai tanpa disentuh karena melihat Ryouta yang seperti itu. Ia menggosokkan hidungnya ke pipi Ryouta dan tangannya kembali merayapi kulit tubuh Ryouta. Sungguh, ia tidak hanya merayu saat mengatakan bahwa Ryouta tampan dan seksi. Mata pacarnya itu tajam, dinaungi sepasang alis yang tegas. Walaupun tidak setinggi Kimito, badan Ryouta tidak bisa dibilang jelek. Bagus sekali malahan untuk ukuran orang yang bercita-cita menjadi pemilik patisserie. 

Pertama kali melihatnya saat Ryouta harus berganti baju karena kehujanan saat menuju apartemennya, Kimito nyaris tak bisa bernapas melihat otot-otot yang terbentuk bagus di perut Ryouta. Otot-otot yang sama dengan yang sedang disentuhnya sekarang. Kimito menarik napas dan membenamkan wajah ke lekuk bahu Ryouta, menghirup aroma khas tenis bercampur krim gula, dan membiarkan pinggulnya menekan selangkangan Ryouta.

Sepertinya bibirnya nyaris berdarah karena digigit terlalu kencang. Tapi Ryouta masih belum berani bersuara dengan lepas. Meskipun pinggulnya kini mulai terangkat sedikit, menyambut dan membalas tekanan pinggul Kimito. Karena itu, diciumnya Kimito dalam-dalam, memilih untuk mengerang ke dalam mulut pacarnya. Tak peduli meski itu justru membuat erangannya tak berhenti. Tangannya yang melingkar di pinggang Kimito bergerak turun dan menarik ujung kaus yang dikenakan Kimito. 

Kimito melahap mulut Ryouta dengan tak sabar, sudah melepaskan pertahanan dirinya sedikit demi sedikit karena merasakan reaksi Ryouta yang mulai bersemangat. Saking bersemangatnya, pacarnya itu mulai bergerak hendak melucutinya. Kimito memagut bibir bawah Ryouta sedikit kuat, kemudian melepaskannya dan menegakkan tubuh. Masih sambil berlutut di antara kedua kaki Ryouta, ia menarik lepas kaus yang dikenakannya. Setelah mengibaskan rambutnya yang tergerai ke wajah, ia nyengir lebar.

"Tidak adil dong kalau aku saja yang buka baju," ucapnya seraya mendorong ujung t-shirt Ryouta, memperlihatkan perut indah pacarnya itu. Tak tahan, Kimito merunduk dan menjilat, dari batas pinggang jersey Ryouta hingga ke tonjolan di sebelah kiri dadanya.

Untuk beberapa detik, Ryouta seperti lupa bagaimana caranya bernafas. Tentu saja ini bukan kali pertama untuknya melihat Kimito bertelanjang dada. Hasil foto-foto Kimito untuk katalog pakaian dalam bersama Inoue-kun sukses membuat Ryouta tak bisa tidur nyenyak. Kali ini yang ada di depannya sungguh membuat selangkangannya menjerit gembira. Kulit Kimito yang putih dan otot-ototnya memang tak menonjol tapi terbentuk bagus dan halus. Ryouta baru saja hendak mengulurkan tangan untuk menyentuh tapi perbuatan Kimito membuatnya mengerang pelan dan panjang. 

"Mmmh..." Ryouta bisa merasakan punggungnya melengkung lagi. Kedua tangannya akhirnya menjangkau ujung kausnya dan menariknya lepas dengan agak susah payah. Kemudian ditariknya tengkuk Kimito, "Celananya juga?" tanyanya sambil memagut bibir Kimito.

Kimito menarik dirinya menjauh lagi agar dapat lebih mudah memandangi pemandangan indah yang tergelar di hadapannya. Murai Ryouta, tak tertutupi apapun dari leher hingga pinggul. Ada rona merah di tulang pipi Ryouta, yang menyebar hingga pangkal lehernya. Sungguh menggiurkan, dan membuat Kimito nyaris tak tahan untuk melahap Ryouta saat itu juga kalau saja ia tidak khawatir Ryouta akan menarik diri dan kabur menjauh lagi. Apalagi ditambah pertanyaan Ryouta yang entah serius atau menggoda, tapi yang pasti membuatnya makin terangsang 

"Hmmm, terserah saja," Kimito menyahut sambil mengulum senyum. Jari telunjuknya mengusap bagian depan celana Ryouta yang tampak menonjol, "Kecuali kau tahan begini terus."

Ryouta tertawa pelan meski pinggulnya bereaksi terhadap sentuhan Kimito. Sentuhan singkat yang sungguh menggoda. Jelas tak mungkin dia akan tahan kalau Kimito menggodanya seperti itu terus. Disentuhnya pipi Kimito dan ditatapnya Kimito dengan senyum terulas di bibir. Meski jantungnya berdebar tak karuan karena memikirkan kalau dia, kalau mereka akan segera telanjang. Dengan malu-malu, Ryouta mengangkat pinggulnya.

Kimito menggigit bibirnya gemas. Campuran antara ekspresi malu-malu Ryouta yang polos dengan tindakannya yang tidak polos sama sekali sungguh memang khas Ryouta sekali. Dua sisi yang sepertinya bertolak belakang tetapi dapat berbaur dengan indah dan bahkan menciptakan kombinasi yang bahkan lebih menarik dari kedua sisi tersebut jika dijumlahkan. Dan Kimito bersyukur, sungguh-sungguh bersyukur bahwa Ryouta berkenan menunjukkannya kepada dirinya. Hanya kepada dirinya. Dan terutama tidak pada kaptennya yang tampan itu. 

Ya, kapten klub tenis Ryouta memang tampan, luar biasa ramah dan jika sedang menatap tajam bisa terlihat amat seksi, Kimito harus mengakui. Jadi jangan salahkan Kimito kalau ia merengut setiap kali Ryouta permisi untuk menjawab sms atau mengangkat telepon dari si kapten. Bukan salah Kimito juga kalau ia merasa cemburu luar biasa saat melihat Ryouta di dalam dekapan si kapten itu. Tapi, kalau dipikir-pikir juga, kalau tidak ada kejadian itu mungkin sekarang tidak ada Ryouta yang berbaring telentang di ranjangnya, mengangkat pinggul untuk memudahkan Kimito menarik lepas celana jersey yang dikenakannya. 

Kimito menuruti permintaan pacarnya dan melempar celana itu sekenanya ke belakang. Ujung lidahnya merayap keluar dari sudut bibir saat melihat celana dalam Ryouta yang tertarik meregang oleh sesuatu yang menegang bersemangat di baliknya. Sesuatu yang bagian ujungnya mulai membentuk pola basah di kain celana dalam itu. Kimito menjilat bibirnya, kemudian merunduk dan membuka mulut, memasukkan tonjolan yang masih terbungkus itu ke dalam mulutnya.

"Ki...Kimi-chan!" Ryouta memekik terkejut karena sama sekali tak menduga tindakan Kimito. Pun begitu, tangannya yang otomatis mencengkeram pundak Kimito, sama sekali tak berniat untuk mendorongnya pergi. Kulitnya yang sangat sensitif terasa nyeri tergesek bahan kain celana dalamnya meski kehangatan mulut Kimito membuatnya tak peduli akan rasa nyerinya. Lagi, Ryouta berpikir saat Kimito mulai menggunakan lidahnya dan menggerakkan kepalanya. Ryouta melenguh, mengangkat pinggulnya. 

Oh, ya Tuhan. Lagi. Pikirnya seraya membenamkan kepalanya ke dalam bantal. Tangannya menyelip ke dalam helaian panjang rambut Kimito yang lembut, menarik-narik pelan seiring gerakan kepala Kimito.

Kimito mengulum tonjolan terbungkus kain itu dengan rakus, memainkan lidahnya di bagian bawahnya kemudian mengisap lembut. Rasanya makin bersemangat saja saat tindakannya membuat pinggul Ryouta terangkat, nyata-nyata meminta lebih. Dihisapnya kemaluan Ryouta lebih kuat, merasakannya semakin tegang dan membesar di atas lidahnya. Ingin mendengar Ryouta mengerang, digeseknya kain yang teregang itu dengan giginya. Namun tarikan tangan Ryouta membuatnya melepaskan benda di mulutnya dengan bunyi 'Pop!' yang membuat kemaluannya sendiri melonjak gembira. Masih memposisikan mulutnya di depan selangkangan Ryouta dan dengan sengaja menghembuskan napas hangat ke sana, Kimito bertanya, "Hmmm?"

Ryouta menggelengkan kepalanya, kecewa karena Kimito menghentikan kenikmatan yang diberikannya. Mengerang pelan karena hembusan nafas Kimito membuat ujung kemaluannya berdenyut. Nafasnya masih tersengal, masih ingin merasakan lagi. Tapi sepertinya tak adil kalau hanya dia yang menerima terus sejak tadi. Ryouta bangkit, menarik nafas panjang dan mendorong bahu Kimito sampai pemuda jangkung itu rebah. 

Ragu-ragu, Ryouta merunduk dan mulai menghujani dada dan perut Kimito dengan kecupan-kecupan ringan. Tangannya membelai sisi tubuh Kimito, tersenyum senang ketika tubuh kurus itu bereaksi pada sentuhannya. Ryouta ragu sejenak ketika bibirnya berada dekat dengan tonjolan di dada Kimito. Dia hanya tahu yang seperti ini dari majalah dan film porno juga eksperimen kecilnya dengan tubuhnya sendiri. Bibir Ryouta terbuka, lidahnya terjulur sedikit dan menjilat tonjolan itu seperti anak kecil menjilati permen.

Kimito menggigit bibirnya dan mendesis lirih begitu lidah Ryouta menyentuh dadanya. Didorong Ryouta sampai terlentang saja sudah membuat celananya terasa dua kali lebih sempit. Apalagi melihat Ryouta merunduk dengan lidah merah jambu menjilati tonjolan di dadanya dan sesekali menatap ke arahnya. Sungguh seksi sekali. Kimito mengusap tengkuk Ryouta dengan satu tangan dan mengelus rahang Ryouta dengan tangan lainnya sambil berjanji dalam hati bahwa ia akan berusaha agar Ryouta tidak akan menunjukkan wajah seperti itu kepada orang lain.

Sentuhan tangan Kimito di wajahnya membuat Ryouta sedikit tersipu sekaligus jadi lebih berani. Ryouta mengatupkan bibirnya di tonjolan itu dan menghisap pelan. Lidahnya bergerak menjilat lagi lalu meninggalkan tonjolan itu untuk mengecupi yang satunya. Melakukan hal yang sama sementara tangannya menjelajah ke perut Kimito. Dia tersenyum-senyum senang. Seperti pertama kali menginjakkan kaki ke lapangan untuk pertandingan pertamanya. Hanya saja, yang ini ribuan kali lebih menyenangkan.

Ryouta mengangkat wajahnya, mengecup sekilas bibir Kimito lalu turun kembali. Menelusuri kontur dada dan perut Kimito dengan bibir dan jemarinya. Wajahnya memerah saat bibirnya menyentuh garis pinggang celana Kimito. Ibu jarinya mengusap lembut perut Kimito sementara Ryouta mengumpulkan keberanian dan mengaitkan telunjuknya untuk menarik turun celana pacarnya. Sedikit saja sampai garis halus yang menuju ke selangkangan Kimito terlihat dan Ryouta mengikuti jalur itu dengan bibir dan lidahnya. 

Telinganya menangkap tarikan tajam nafas Kimito dan Ryouta menusuk tonjolan hangat di dekat wajahnya dengan ujung hidungnya dan mengecup bagian yang bernoda basah. Tampaknya Kimito sudah begitu terangsang dan Ryouta bangga karena dirinya penyebabnya. Matanya terpaku pada bagian itu dan dengan penuh konsentrasi, Ryouta menarik turun celana Kimito. Nafasnya tercekat.

Kimito menghembuskan napas lega lalu langsung mendesis saat kemaluannya yang sejak tadi terkurung celana piyama tersentuh udara kamar yang dingin. Sungguh mengagumkan melihat kemaluannya berdiri bangga di depan wajah Ryouta. Entah dari mana Ryouta belajar cara mencumbu, namun yang jelas sentuhan jemari dan bibir serta lidahnya pada kulit Kimito sukses membuat pemuda itu terangsang luar biasa. Dan lagi, melihat Ryouta mengamati bagian tubuhnya yang amat pribadi membuat Kimito makin bersemangat. Tapi ia juga butuh menyentuh Ryouta. Butuh mencium sepasang bibir Ryouta yang memerah. Diulurkannya tangannya mengusap pipi Ryouta penuh sayang. "Hei." 

Entahlah. Ryouta tak pernah tertarik dengan prospek melihat kemaluan milik orang lain sebelumnya. Apalagi sesama laki-laki. Tapi mungkin karena kali ini urusannya beda. Ini Totani Kimito. Pemuda yang tiba-tiba saja muncul di kehidupannya dan mengisi hari-harinya seperti dia punya hak. Pemuda yang membuatnya jatuh hati. Pacarnya. Bagian tubuh yang terpampang di depan matanya terlihat begitu....indah, kalau bisa dibilang begitu. Ryouta menelan ludah. Sesaat tak tahu harus berbuat apa. Ingin menyentuh, ingin mengecap tapi tak tahu harus mulai dari mana. Didengarnya suara Kimito dan Ryouta mengangkat kepala. "Hmm?"

Menatap gemas pacarnya yang kadang bisa kurang cepat tanggap, Kimito menarik Ryouta mendekat dan menciumnya dalam-dalam. Bagaimana ia tidak cemas terus kalau Ryouta bisa bertampang seperti anak kecil yang gampang dibujuk orang asing begitu? 

Sebelah tangan Kimito yang tidak sibuk mengusap sisi tubuh Ryouta merayap ke bagian belakang tubuh pacarnya itu. Terus merayap turun ke antara kedua belahan bokong Ryouta yang kencang dan bagus, kemudian beberapa jari menarik tepi lubang celana sebelah kiri, memberikan ruang bagi jari tengah Ryouta untuk menyelinap masuk dan menyentuh jalan masuk ke tubuh Ryouta.

Tanpa ragu, Ryouta membalas ciuman Kimito. Mungkin lebih baik daripada dia mencoba melakukan sesuatu dan malah melukai Kimito. Tangannya menyelip ke antara tubuh mereka dan mengelus perut Kimito dengan sayang. Pinggulnya menekan turun, tak sengaja menyentuh lutut Kimito dan Ryouta mendesis. Namun perhatiannya teralih oleh sentuhan lain di bagian belakang tubuhnya. Ryouta tersentak, tak sengaja menggigit bibir Kimito.

"Nnh...nani..."

"Aw!" Kimito mencetus, lebih karena kaget dibandingkan rasa sakit. Tapi melihat wajah Ryouta yang sepertinya juga terkejut, ia tertawa. Ditariknya jemarinya menjauh dari belakang tubuh Ryouta. "Aku hanya memastikan. Tapi kalau kau belum ingin disentuh di sana, tidak apa-apa," tangan Kimito yang tadi mengusap sisi tubuh Ryouta kini mengelus pipi pacarnya 
menenangkan, sementara yang sebelah lagi berpindah ke bagian selangkangan Ryouta. "Kita bisa bersenang-senang dengan cara lain. Aku tidak mau kau merasa tidak nyaman." Lembut dipijatnya tonjolan di selangkangan Ryouta itu.

Mendengar perkataan Kimito, mau tak mau wajahnya memerah. Diciumnya Kimito, menjilat dengan lembut bagian yang tergigit. 

"Umh..." bisiknya di sela erangan karena sentuhan Kimito di selangkangannya. "...aku belum pernah... umh..." Ryouta tak kuasa menahan pinggulnya untuk beringsut mengejar sentuhan tangan Kimito. "Kimi-chan... sudah pernah kan? Aku hanya... umh..."Kimito terlihat ingin tertawa geli karena tingkahnya itu dan Ryouta merutuki dirinya sendiri. Ryouta menarik nafas, membenamkan wajahnya ke lekuk leher jenjang Kimito. "Apa rasanya akan tidak nyaman?" tanyanya pelan.

Kimito sebenarnya ingin tertawa mendengar pertanyaan Ryouta yang begitu menggemaskan itu, tapi tidak ingin Ryouta merasa sia-sia sudah menaruh kepercayaan pada dirinya. "Mmm, bagian awalnya sepertinya tidak enak, tapi kau lihat saja Matsuzaka-sensei, apa dia kelihatan menderita?" bisiknya di telinga Ryouta. 

Ryouta memukul dada Kimito. "Ma...Mana aku tahu?!" lalu merengut. "Aku serius nih. Jangan bercanda, dong."

Diangkatnya dagu Ryouta hingga dapat menatap langsung ke manik mata hitamnya. "Tapi aku mau tanya satu hal. Apa Ryouta percaya padaku?" 

Ryouta balas menatap mata pacarnya itu. Apa dia percaya pada Kimito? Ryouta sama sekali tak pernah mempertanyakan hal itu sebelumnya. Bahkan tak pernah pusing apakah Kimito akan muncul lagi di hadapannya dengan membawa sesuatu untuk diubah jadi kue atau makanan apapun. Hanya karena Kimito selalu muncul. Selalu menepati kalau dia bilang mau datang. Juga tak berkata apa-apa kalau memang tidak bisa datang. Tapi bukannya Ryouta tak berharap. Jadi apa Ryouta percaya padanya?

Perlahan, Ryouta membuka mulutnya. "....Entahlah." Buru-buru melanjutkan begitu melihat ekspresi Kimito berubah. "Tapi... aku tahu Kimito tak akan menyakitiku."

Kimito mendorong tubuh Ryouta dengan lembut hingga terlentang, kemudian menatap Ryouta sambil tersenyum. Tangannya membelai pipi Ryouta lembut, memainkan anak-anak rambut yang dibasahi keringat di pelipis Ryouta. "Mau mencoba dulu? Ryouta boleh menyuruhku berhenti atau menendangku kalau aku menyakiti Ryouta," senyum Kimito berubah menjadi cengiran. "Tapi kau benar. Aku tidak akan menyakitimu. Kau tahu kenapa?"

Ryouta memekik pelan saat tubuhnya terdorong telentang lagi. Kimito kembali berada di atasnya dan jantung Ryouta berdebar makin keras. Bersenang-senang dengan Kimito di tempat tidur seperti ini ternyata memang menyenangkan. Rasa geli dari dalam perutnya, kulitnya yang mendadak jadi begitu sensitif jika disentuh, denyut nyeri di selangkangannya, dan gelenyar di tulang belakangnya; Ryouta diam-diam menikmati semua itu. Kepalanya dimiringkan, mengusapkan pipinya ke dalam sentuhan telapak tangan Kimito. Tangannya sendiri terangkat untuk menyingkirkan rambut Kimito yang menutupi keningnya. 

Bahunya dikedikkan sekilas. "Kenapa?" bisiknya parau. 

Kimito mengecup kelopak mata Ryouta satu persatu, kemudian berpindah mengecup lembut ujung hidung Ryouta. "Saikou no takaramono, dakara. Ore no takaramono," bisiknya sambil menatap dalam ke sepasang mata Ryouta.

Serius, deh. Siapa yang bisa berkutik kalau disebut seperti itu oleh seseorang? Terutama oleh seseorang yang disayang dan sambil menatap dalam-dalam ke arah kita? Ryouta jelas tak tahu harus berbuat apa. Kaptennya pernah berkata kalau dia berharga untuk tim tapi kalimat itu juga dikatakan Kapten Yui pada tiap anggota tim. Jadi sama sekali tak bisa disamakan dengan apa yang didengarnya sekarang. Ryouta pun yakin wajahnya kini semerah kepiting yang direbus terlalu lama. 

Dimiringkannya kepalanya dengan tersipu dan menarik Kimito mendekat untuk menciumnya. Karena sungguh, Ryouta tak tahu harus bagaimana. Di samping itu, sepertinya selangkangannya jauh lebih gembira mendengar kalimat itu dibanding otak dan perasaannya. 

Kimito membalas ciuman Ryouta dengan bersemangat sambil menggesekkan lututnya ke selangkangan Ryouta. Kemudian bibirnya menjelajah turun ke dagu, leher, dada dan terus turun ke perut, memuja tubuh Ryouta. Dimasukkannya lidahnya ke lubang pusar Ryouta, menggoda sambil menyelipkan tangannya ke belakang dan menarik pinggang celana dalam Ryouta. Setelah pembatas terakhir itu terlepas, Kimito mengangkat wajahnya sesaat, sekadar pemberitahuan sebelum ia menjilat kemaluan Ryouta dari pangkal hingga ke ujung. 

Ryouta mengangkat pinggulnya dengan sukarela, terlalu menikmati kecupan-kecupan Kimito di tubuhnya. Sepertinya Kimito serius dengan perkataannya tadi. Ryouta pun tak lagi menahan diri untuk mengerang dan sepertinya Kimito jadi makin bersemangat begitu mendengar suaranya. Diletakkannya tangannya di kepala Kimito, mengelus helaian rambut Kimito yang ujung-ujungnya menggelitik kulit Ryouta tiap kali Kimito menggerakkan kepalanya.

"Anh...!" Ryouta menggigit bibir, memalingkan wajahnya dan menutup mata. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Sesaat tak berani melihat ke arah Kimito yang tengah menikmati batang kemaluan Ryouta. Bukan Ryouta tak suka tapi rasanya terlalu nikmat. Sadar kalau mungkin Kimito akan mengira kalau dia tak suka, Ryouta menggerakkan tangannya yang masih menyentuh kepala Kimito, menekan pelan dan mengangkat pinggulnya. 

Kimito tersenyum senang mendengar suara erangan dari Ryouta dan merasakan pinggul pacarnya itu terangkat. Dijilatnya kemaluan Ryouta lagi, kali ini dari ujung menuju ke pangkal. Kemudian dilingkarkannya ibu jari dan telunjuknya di pangkal kemaluan Ryouta, hanya sebagai tindakan berjaga-jaga saat ia membuka mulut dan mengulum. Dibiarkannya kulit Ryouta yang yang panas meluncur di atas lidahnya sementara bibirnya dikatupkan di sekeliling Ryouta. Digerakkannya kepalanya ke depan hingga bibirnya nyaris menyentuh selangkangan Ryouta. Ia menghisap sambil menarik kepalanya menjauh, menikmati bagaimana pinggul Ryouta terangkat dan tubuhnya menegang. Dilanjutkannya cumbuannya karena ingin mendengar Ryouta menjerit. Menekan di sana sini, mencari tahu titik mana yang disukai Ryouta. 

"Mnnnh... Angh....Kimi-chan.... Unnh..." Ryouta pun sukses mengerang tanpa malu-malu lagi. Hangat mulut Kimito yang menyelimuti kemaluannya, bagian dalam mulutnya terasa begitu lembut dan tekanan-tekanan lembut jemari Kimito yang menemani hisapan kuatnya. Jari Kimito menekan di bagian tengah batang kemaluannya dan Ryouta merasakan punggungnya melengkung dan pinggulnya menghentak. Lidah Kimito menggoda puncak kemaluannya dan menghisap kuat dan pertahanannya jebol begitu saja. 

Sesuatu melesat cepat ke arah atas dan ke bagian bawah tubuhnya, tubuhnya mengejang dan pandangannya berubah putih. Ryouta hanya tahu sepertinya dia menjerit dan samar merasakan sesuatu yang hangat meluncur dari kemaluannya ke dalam mulut Kimito.

Kimito sedikit gelagapan karena Ryouta klimaks tanpa peringatan, tapi akhirnya mampu menelan tanpa tersedak terlalu parah. Memang tidak tertelan seluruhnya dan sebagian menetes ke dagunya. Ditunggunya Ryouta selesai sambil memijat lembut kemaluan Ryouta. Cengirannya tak pernah lepas dari bibir sambil menikmati memandang wajah Ryouta yang tampak bercampur antara senang dan malu. Ryouta masih sedikit tersengal saat Kimito merunduk untuk menciumnya lagi.

Ryouta merasa malu sekali karena tak bisa mengendalikan diri. Juga tak tahu harus bagaimana begitu menyadari Kimito menelan dan membantunya menyelesaikan klimaksnya. Disambutnya bibir Kimito, balas memagut dengan sedikit berterima kasih. 

".....gomen..." bisiknya sambil menjilat bibir Kimito.

"Ii yo," Kimito mencium Ryouta lebih dalam sekali lagi. Memagut bibir Ryouta sambil mengulurkan tangan ke laci di meja sisi ranjang. Masih sambil mencium Ryouta diambilnya benda-benda yang diperlukannya dari sana. Kimito menyukai kemampuannya melakukan lebih dari satu hal dalam waktu yang sama jika sedang diperlukan seperti ini. Ia jadi bisa mencium Ryouta sambil membuka tutup tube pelumas dan melumuri jemari tangan kirinya. Perlahan disentuhnya jalan masuk tubuh Ryouta untuk kedua kalinya hari itu.

Pinggul Ryouta beringsut, satu kakinya terangkat sebagai reaksi saat jemari Kimito menyentuhnya di bawah sana. "Mmmh..." Ryouta mengerang dari dalam tenggorokannya, menghisap bibir bawah Kimito dengan sedikit antusias. Bagian tubuhnya yang disentuh Kimito terasa lebih sensitif dibandingkan sebelumnya dan ketika jari itu menekan, jantungnya kembali berdebar keras. Tapi ciuman Kimito dan keyakinan kalau Kimito tak akan menyakitinya membuat Ryouta sedikit tenang. Dijilatnya lidah Kimito dan beringsut.

Kimito memagut mulut Ryouta, menelan erangannya ke dalam mulutnya. Jari tengahnya menekan lembut, mengitari daerah sensitif itu kemudian menekan lagi. Begitu diulanginya terus sambil menambah kuat tekanannya hingga akhirnya ujung jarinya menembus lingkaran otot pertama. Kimito menggerakkan jarinya maju mundur perlahan, membuat Ryouta terbiasa sebelum menekan masuk lebih dalam. Sedikit demi sedikit sementara bibirnya bergerak turun mengecupi rahang dan leher Ryouta. Jari tengah itu sudah terbenam nyaris ke pangkal saat Kimito tiba di dada Ryouta. Dimasukkannya jari telunjuknya pelan-pelan sembari menjilat tonjolan di dada Ryouta, menarik dan memagut tonjolan itu hingga berdiri tegang. 

Pinggul Ryouta menyentak pelan saat jari panjang Kimito menekan masuk. Tidak sakit, memang, tapi terasa agak tak nyaman. Ryouta setengah bersyukur karena Kimito mengalihkan perhatiannya dengan bibir dan lidahnya yang masih terus aktif mencumbu 
bagian atas tubuhnya; membuat Ryouta mengerang lebih keras. Ryouta mendesis keras karena sentuhan basah di tonjolan dadanya terasa perih sekaligus menggelitik ditambah getaran lembut yang mulai merayapi tulang belakangnya karena gerakan jari Kimito. Otot tubuhnya mulai merespon pada gesekan jari Kimito dan saat jari kedua menyusul masuk, tubuhnya mencengkeram pelan. Setengah menolak, setengah menyambut. 

"Anh." Tangannya terulur mencari tangan Kimito.

Menyambut uluran tangan Ryouta, Kimito meremas jemari pacarnya itu sambil menjilat kulit Ryouta yang hangat dari tulang belikat hingga dagu. Mulutnya menjelajah rahang Ryouta, meninggalkan gigitan-gigitan lembut hingga ke telinga. Bibir Kimito membuka dan menarik bagian bawah cuping telinga Ryouta yang lembut ke dalam mulut kemudian menghisap lembut. Sementara dua jemarinya terus bergerak di dalam tubuh Ryouta, menekan masuk hingga ke pangkal kemudian menarik hingga nyaris keluar seluruhnya, seraya mencari titik yang bisa membuat Ryouta menjerit. 

Dapat dirasakannya tubuh Ryouta perlahan terbiasa akan ukuran jemarinya. Ada senyum puas di bibirnya saat menarik keluar jemari yang sedikit ditekuk dan tubuh Ryouta menegang. Diangkatnya wajahnya sambil terus menekan titik itu, menikmati melihat kemaluan Ryouta menegang kembali. Kemaluan Kimito sendiri sudah terasa nyeri, dan ia sadar betul akan cairan bening yang mulai menetes dari ujungnya. Tapi untuk sementara ia masih menahan hasratnya sendiri. Masih sambil menekan titik di dalam tubuh Ryouta tanpa ampun, dimasukkannya jari manisnya. 

"Apa yang kau rasakan?" bisik Kimito bertanya di depan telinga Ryouta.

Ryouta beringsut resah. Berusaha mencari posisi yang membuatnya nyaman. Tapi kemudian sadar kalau tak ada yang namanya 'nyaman' dalam urusan seks. Tapi lagi, kenikmatan yang diberikan Kimito padanya begitu menggiurkan. Buktinya, dia mulai terbiasa dengan jari-jari Kimito di dalam tubuhnya, menggesek dinding bagian dalam tubuhnya dan menekan di sana-sini. Ryouta tak mengerti apa tujuannya sampai jemari Kimito menekan di satu titik dan Ryouta memekik karena, demi dewa-dewa rasanya nikmat sekali. Ryouta bisa merasakan dirinya mengeras lagi dan makin menegang karena hembusan nafas Kimito juga gelitik bibir dan lidahnya. 

Ryouta tersengal sambil berusaha tertawa pelan juga meringis. "Entahlah... Mnh... Tapi... Ooh...Di situ..."

Suara Ryouta sungguh sangat menggemaskan sampai Kimito tak tahan untuk tidak memagut gemas leher pacarnya itu hingga menimbulkan bekas kemerahan yang kemudian dijilatnya dengan sayang. Digerakkannya jemarinya lagi, menekan tanpa ampun. 

"Di sini ya?" bisiknya sambil nyengir. "Apa kau ingin merasakan yang lebih nikmat lagi?"

"Nnnnnnnnnnnnngh...." Ryouta mengerang panjang. Bercak-bercak putih terlihat di balik kelopak matanya. Otot tubuhnya mengerat dan Ryouta harus menggigit bibir karena rasanya dia nyaris meledak lagi. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat dan jantungnya berdebar dengan begitu cepat. Dilingkarkannya kedua lengannya ke leher Kimito. Semburat merah di wajahnya menyebar hingga ke leher dan telinganya. Kepalanya mengangguk sebelum diciumnya pemuda jangkung itu dan mengerang sekali lagi.

Kimito menyambut ciuman Ryouta, melahap pacarnya dari dalam ke luar dengan sedikit rakus, kemudian menjauh dan berlutut. Dibukanya tube pelumas dan menekan hingga jelly bening itu menetes ke kemaluannya. Ia mendesis sedikit karena jelly itu terasa dingin di kulitnya yang sensitif dan bagai terbakar. Tapi dilihatnya Ryouta menatapnya, dan ia sengaja berlama-lama. 

"Suka dengan apa yang kau lihat?" tanyanya usil.

Pemandangan di depan matanya membuat Ryouta tak bisa berpaling. Kepalanya kosong dan kerongkongannya terasa kering. Baru kali itu Ryouta menganggap kalau Kimito begitu indah. Kulit putihnya bersemu merah di beberapa tempat, berlapis keringat tipis yang membuat rambutnya basah dan menempel ke sisi wajah dan keningnya, tatapannya tajam dan terfokus pada Ryouta; penuh nafsu dan sesuatu yang lain, kemaluannya berdiri tegak dan bangga dan begitu merah juga meneteskan cairan bening. 

Ryouta tersenyum, mengangkat badannya sedikit dan memberanikan diri menyentuhkan ujung jarinya ke ujung kejantanan Kimito. Matanya mengerjap kagum. Jarinya bergerak, menyentuh bagian yang terkena jelly pelumas dan menyusuri sebuah garis tak tampak kembali ke ujung. "Ini... akan masuk ke dalam kan?" 

Ryouta memiringkan kepalanya. Bergumam pada dirinya sendiri tapi sepertinya masih cukup keras untuk didengar Kimito. "Muat tidak ya?"

Kimito mendesis saat jari Ryouta menyentuh dirinya. Diraihnya sisi wajah Ryouta kemudian dipagutnya bibir bawah Ryouta. 

"Bagaimana kalau kita coba saja?" bisiknya parau di telinga Ryouta yang bersemu merah. Jemarinya meraba jalan masuk tubuh Ryouta, melebarkannya dengan jari telunjuk dan jari tengah, kemudian menekan ujung kemaluannya masuk. 

'Shimattaa...' pikir Ryouta dalam hati karena Kimito benar-benar mendengarnya. Tapi sejurus kemudian, nafasnya tercekat karena sesuatu yang lebih besar dari jari pacarnya menyerbu masuk ke dalam tubuhnya. Ryouta mencengkeram lengan Kimito dan mengerang. Rasanya luar biasa dan sakit. Meski tak begitu menyiksa karena tubuhnya sudah siap. Tetap saja Ryouta mengernyit. dan air matanya terbit. Ryouta mengerjap dan agak tersengal.

"Chotto...itai kedo...mmmnh..."

Kimito berhenti menekan masuk begitu didengarnya Ryouta mengeluh kesakitan. Untuk mengalihkan perhatian Ryouta dari pengalaman yang memang pasti membuat tak nyaman. Diciumnya bibir Ryouta dengan lembut, dan sebelah tangannya menggenggam kemaluan Ryouta, menarik dan menekan lembut. Begitu dirasakannya tubuh Ryouta sedikit rileks, ia kembali menekan masuk perlahan-lahan.

Ryouta mendesah, sedikit demi sedikit mulai bisa menyambut Kimito ke dalam tubuhnya. Sedikit demi sedikit pula Ryouta bisa merasakan gerakan tubuh Kimito dan mengerang lirih. Masih merasa agak tak nyaman tapi hangat tangan Kimito dan hentakan tangannya mengirimkan sinyal ke tubuh Ryouta. Sinyal nikmat dan menyenangkan yang membuatnya beringsut, menarik Kimito lebih dalam lagi. Dibalasnya pagutan bibir Kimito, karena membuatnya merasa tenang. 

"Aah..." desahnya lirih saat merasa Kimito sudah sepenuhnya masuk. Dia tidak benar-benar tahu, hanya merasa demikian. Dipandangnya Kimito dengan penuh cinta dan memiringkan kepala untuk memperdalam ciumannya.

Kimito tersengal memagut bibir Ryouta, mati-matian menahan hasrat agar tidak melahap Ryouta begitu saja. Bagaimanapun juga ini adalah kali pertama untuk Ryouta dan Kimito ingin agar Ryouta benar-benar menikmatinya. Walaupun suara-suara yang tanpa sadar keluar dari sela bibir Ryouta dan hangat tubuh Ryouta yang perlahan-lahan melingkupinya sungguh menggoda dan membuat Kimito merasa tersiksa. Tanpa sadar ia mengertakkan gigi dan mengatur napas sambil menekan masuk kembali, membenamkan tubuhnya seluruhnya. Tatapan Ryouta ke arahnya membuat Kimito tak tahan dan mencium Ryouta dengan rasa syukur dan bahagia karena dapat melihat wajah Ryouta yang seperti itu.

Kimito tersengal lagi dan berbisik meminta izin. "Ngh, boleh aku... akh, jangan mencengkeram seperti itu... akh... boleh aku bergerak?"

Ryouta tak langsung menjawab, masih menikmati mencium pacarnya. Juga karena menemukan bahwa Kimito yang tersengal dan menahan hasrat ternyata begitu menggairahkan. Dielusnya pipi Kimito dengan sayang, menikmati hembusan nafas Kimito yang cepat di telinga dan pipinya. Kemudian sadar sepenuhnya akan denyut hangat kemaluan Kimito di dalam tubuhnya, dan direspon otomatis oleh Ryouta dengan mencengkeram pelan. Menyukai reaksi Kimito yang makin terengah dan menggerung agak tak sabar. 

Ryouta mengangguk. "Un."

Kimito memejamkan mata lega mendengar jawaban Ryouta. Tapi ia tetap bergerak hati-hati, selain karena tidak ingin Ryouta kesakitan, juga agar sensasi gesekan yang diterima kulitnya dari bagian dalam tubuh Ryouta yang hangat dan berdenyut lembut tidak membuatnya selesai saat itu juga. Diusapnya pinggul Ryouta kemudian terus ke paha, lalu diraihnya bagian belakang lutut Ryouta untuk menarik tungkai Ryouta melebar. Sambil menarik napas, Kimito mulai menggerakkan pinggulnya, menarik diri menjauh kemudian menekan masuk sambil menggeram rendah. Rasanya terlalu nikmat, jauh berbeda dengan apa yang pernah dialaminya dengan orang lain. Mungkin karena kali ini yang bersamanya adalah Ryouta. Ryouta yang tak henti menatapnya hangat dan membuat seluruh tubuhnya menggelenyar 

"Mmmmh, Ryouta," bisiknya parau, pinggulnya mulai menyentak pelan dan dalam.

Rasa sakit itu masih ada tapi seiring jalan, Ryouta menemukan kalau dia merespon gerakan pinggul Kimito, rasa sakit itu perlahan menghilang. Malahan, gesekan yang tercipta bertambah kuat dan rasanya nikmat sekali. Jauh lebih nikmat dari yang diberikan Kimito dengan jari-jarinya. Juga sensasinya jadi berlipat-lipat tiap kali ia mencengkeram. Ryouta agak tak yakin, tapi membiarkan instingnya bekerja. Mencengkeram saat Kimito bergerak mundur dan mengangkat pinggul saat Kimito menekan masuk. Sekilas dirasakannya titik yang sebelumnya membuatnya klimaks tersentuh. Ryouta beringsut, menjilat dagu Kimito dengan menggoda.

"Kimi-chan... di situ... aaah... sentuh aku... di situ... ohhh ya, di situ..."

Kimito tak tahu dari mana Ryouta belajar bercinta, tapi ia sungguh mengagumi responnya yang sungguh sesuai dengan gerakan pinggul Kimito. Ia menggeram saat Ryouta mencengkeram lumayan keras dan membuat matanya nyaris dibutakan oleh percikan-percikan cahaya yang juga menjalari punggungnya. Diangkatnya tungkai Ryouta lebih tinggi agar ia dapat masuk lebih dalam dan pinggulnya mulai menghentak lebih cepat.

"Koko? Ii ka?" tanyanya di sela tarikan napas.

"Aaagh! Un... soko... ii! Mmmh... Kimi-chan..." Ryouta mulai mengerang tak terkendali. Tiap kali tersentuh, tubuhnya akan menggelinjang dan punggungnya melengkung nikmat. Hasratnya meluap-luap dan kepalanya mulai terasa melayang. Sesuatu menjalar cepat ke tiap syaraf dan sudut tubuhnya. Dari friksi yang tercipta, dari sentuhan kulit Kimito ke kulitnya, dari lenguhan dan geraman rendah Kimito di dekat telinganya dan entah dari mana lagi. 

Tapi kali ini Ryouta tak ingin selesai begitu saja seperti yang pertama. Dia ingin melihat Kimito mencapai puncak kenikmatan itu lebih dulu. Ingin melihat ekspresi Kimito saat dia melepaskan seluruh nafsunya akan Ryouta dan karena Ryouta. Ryouta menggigit bibir, menarik nafas dalam-dalam. Dicarinya bibir Kimito untuk dinikmatinya Sungguh nikmat dan indah. Ryouta menyimpulkan dalam hati saat mengintip ekspresi Kimito. Disentuhnya pipi pacarnya itu. 

"Kimi-chan shika...nnnh...minai yo..." bisiknya di sela pagutan bibirnya. "Zutto."

Kimito merasa wajahnya memanas dan digigitnya bibir Ryouta gemas. Ia tahu Ryouta tidak berbohong. Dan ia juga tahu kalau Ryouta tidak sedang merayu atau berlebih-lebihan. Fakta itulah yang membuatnya lebih merasa tersanjung sekaligus tersentuh. 

Ia merasa tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Gabungan dari gerakan pinggul Ryouta, erangannya yang sensual dan ekspresinya membuat Kimito merasa melayang. Kedua tangannya mengusap pinggul Ryouta hingga ke paha kemudian mengaitkan kedua tungkai Ryouta ke bahunya hingga ia dapat menyentak lebih dalam dan memastikan bahwa ia menyentuh titik sensual Ryouta setiap kali, membuat pacarnya itu menggelinjang nikmat.

"Ore mo. Ryouta dake," bisiknya mengakui, wajahnya disurukkan ke lekuk leher Ryouta.

Senyumnya mengembang lebar mendengar pengakuan itu. Entah apa yang sebenarnya dilihat Kimito pada dirinya. Dulu pacarnya itu mengaku kalau dia tak bisa 'melihat' apa yang penting untuk Ryouta. Tapi tadi sore, di tengah perdebatan mereka, mendadak Kimito melihat ke arahnya tanpa berkedip dan dia terdiam dengan wajah memerah. Saat ini, Ryouta tak berharap ia punya kemampuan seperti Kimito. Pengakuan Kimito sudah cukup untuknya. Saat ini ia sangat, sangat ingin mencium Kimito tapi posisinya tidak memungkinkan untuk itu. 

Meskipun olahragawan, tubuh Ryouta tidak sefleksible itu. Pun, hentakan Kimito yang semakin tajam dan cepat lagi-lagi mencuri nafas Ryouta. Tangannya mengepal, menggerut seprai berwarna biru di bawah tubuhnya. Gesekan di dalam tubuhnya semakin intens dan terasa begitu panas. Sentakan tajam di titik sensitifnya juga membuatnya mulai melihat bintang-bintang di balik matanya. Giginya yang putih menggerut bibir bawah dengan resah.

Kimito meraih wajah Ryouta dengan sebelah tangan dan mengecupi pipi dan kelopak mata Ryouta, menggesekkan hidung mereka yang licin oleh keringat dan tersengal di depan bibir Ryouta. Sebelah tangannya menyusup ke antara tubuh mereka, meraih kemaluan Ryouta dan menggenggam. Dapat dirasakannya cairan yang mulai menetes dari bagian vital Ryouta yang berdiri tegang itu, dan Kimito mulai menarik serta menekan sesuai irama pinggulnya menekan masuk. Dirasakannya Ryouta mencengkeram makin erat dan ia nyaris tak tahan lagi. Diciumnya Ryouta dalam-dalam, mencoba menyampaikan betapa ia menyayangi Ryouta dan
bersyukur bahwa Ryouta berada bersamanya.

"Ryouta, hnngh, ... naka ni... ii?" pintanya.

Samar telinganya menangkap suara Kimito. Seluruh indera-nya sudah berpusat pada satu tempat dan tertarik pada satu titik yang menyangga pertahanan dirinya yang makin goyah. Setitik kesadarannya mengatakan saat ini dia adalah milik Kimito dan sebaliknya. Itu saja sudah cukup bagi Ryouta untuk membiarkan otaknya berhenti merasionalkan apapun dan mengangkat tangannya, menangkupkannya ke atas tangan Kimito yang menyentak kemaluannya seirama dengan gerakan pinggul mereka. Susah sekali rasanya untuk membiarkan matanya tetap terbuka tapi Ryouta membulatkan tekad, menggerakkan tangannya bersama Kimito.

"Un... naka ni ii... mnnnnh...."

Pinggul Kimito menyentak semakin dalam mendengar jawaban Ryouta yang setengah mengerang itu. Gerakannya sudah mulai tak beraturan karena kenikmatan yang menyebar hingga setiap sel-sel tubuhnya. Dirasakannya kemaluan Ryouta berdenyut di dalam genggamannya dan ia tahu Ryouta tak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Kimito akhirnya menyerah dan membiarkan insting mengambil alih komando gerakan tubuhnya. Menghentak semakin dalam seraya dicengkeram kuat oleh bagian dalam tubuh Ryouta, menggenggam dan menarik kemaluan Ryouta sambil memutar pergelangannya--menekan di tempat yang (kini) ia tahu membuat Ryouta merasa nikmat. Bibirnya mencari bibir Ryouta, sedikit bergetar. 

Saat Kimito membuka mata dan menatap Ryouta--bukan, 'melihat' Ryouta, sekali lagi dilihatnya sesuatu yang membuatnya tak tahan lagi untuk tidak menarik Ryouta ke ranjang. Sesuatu yang akhirnya meyakinkannya bahwa Ryouta juga menyayanginya, Ryouta juga menganggapnya sebagai seseorang yang istimewa. Seistimewa Ryouta baginya, seberharga setiap tarikan napasnya. Kimito 'melihatnya', benar-benar 'melihat' bahwa sesuatu yang paling berarti untuk Ryouta ternyata adalah Totani Kimito. 

Kimito tersengal dan menekan masuk, merasakan sesuatu meledak dari tengah-tengah dirinya seiring sesuatu yang basah tumpah ke genggamannya.

Nafasnya tercekat saat pandangannya bertemu dengan sepasang mata Kimito yang gelap. Yang kini melihatnya dengan segenap perasaan dan membuat Ryouta merasa tersesat dan tak berniat untuk lari. Deru nafas Kimito menyapu wajahnya dan erangannya menggelitik telinga Ryouta. Hangat tangan Kimito yang menggenggam tubuhnya melipat gandakan kenikmatan di bawah sana dan pertahanan Ryouta pun ambruk begitu saja. Seperti ada sesuatu yang ditarik keluar dengan cepat dari dalam tubuhnya dan Ryouta tak melawan. Merasakan tubuhnya tertarik ke segala arah Bibirnya membentuk senyum kecil, sempat melihat ekspresi wajah Kimito saat melepaskan dirinya ke dalam tubuh Ryouta, sebelum akhirnya menyerah dan menutup mata. Membiarkan kepalanya terlempar ke dalam bantal dan mulutnya terbuka melepaskan erangan keras. Dipeluknya Kimito dengan erat. Sangat erat seperti tak berniat melepaskan. Kimito miliknya. Hanya miliknya.

Kimito menikmati gelombang kenikmatan yang bergulung-gulung membawa dirinya, terengah dengan pinggul masih bergerak lembut menunggu klimaksnya usai. Sepertinya ini klimaks terintens yang pernah dirasakannya. Kimito mendesah dan beringsut dalam dekapan lengan Ryouta. Ia mengerang lirih saat dirinya yang masih berada di dalam tubuh Ryouta ikut bergerak. Perut dan selangkangannya terasa basah dan sedikit lengket, tetapi Kimito belum pernah merasa senyaman ini sebelumnya. Diusapnya tubuh Ryouta yang licin dan hangat kemudian dikecupnya rahang Ryouta yang berlekuk bagus. 

"Terima kasih ya," bisiknya bahagia.

Tubuhnya terasa seperti berpendar dan seperti tersetrum lembut di beberapa tempat. Ryouta menghela nafas panjang berkali-kali. Belum pernah rasanya dia merasa sepuas dan se....penuh ini. Bahkan tidak setelah episode-episode pendek di bawah selimut atau di kamar mandi dengan tangan kanannya. Agak malu-malu, Ryouta melirik kala merasakan sentuhan lembut di rahangnya. Bukan karena sentuhan dan bisikan pelan Kimito tapi karena tubuhnya yang belum benar-benar berhenti mengeluarkan cairan putih hangat. Namun dilihatnya juga pacarnya itu dan balas mengecup pipi Ryouta dan mengelus tempat yang baru saja dikecupnya. 

Matanya mengerjap. "Untuk apa?" tanyanya lirih, masih dengan suara yang agak serak. Karena kalau ada yang harus berterima kasih, Ryouta merasa dialah orangnya.

Kimito menyusupkan wajahnya kembali ke lekuk bahu Ryouta, menikmati aroma tubuh Ryouta yang bercampur aroma seks di udara. Sungguh ia masih belum ingin bergerak menjauh, karena berada di dalam Ryouta seperti itu benar-benar terasa nyaman sekali. 

"Mmm," Kimito menggesekkan hidungnya ke kulit di belakang telinga Ryouta. "Betsuni."

Ryouta tertawa pelan sembari mengelus punggung Kimito yang lembab. Rambutnya yang panjang menggelitik hidung Ryouta, memaksa Ryouta untuk menggerakkan kepalanya, meletakkan dagu di atas kepala Kimito. Berat tubuh Kimito sama sekali tak mengganggunya, juga aroma yang menerpa hidungnya. Ryouta belajar untuk menikmatinya. Juga karena merasa masih seperti di awang-awang. Riak-riak kecil orgasme-nya belum hilang, menerpa lembut dan menggelitik. Rasanya tak percaya kalau dia baru saja bercinta untuk pertama kalinya. Meski punggung dan bagian bawah tubuhnya membuatnya meringis tiap kali dia atau Kimito beringsut, Ryouta merasa itu sepadan dengan kenikmatannya.

"Kimi-chan..."

"Hmmm?" Kimito berdeham sambil menyandarkan pipinya di bahu Ryouta. Ia tahu cepat atau lambat akan harus menjauh dan melepaskan Ryouta, tapi rasanya sungguh tak rela. Ryouta benar-benar terasa pas di pelukannya dan Kimito tidak ingin menjauh. "Kenapa?"

Ryouta menoleh, menggesekkan ujung hidungnya dengan hidung Kimito yang mancung. "Kimi-chan tampan." 

Mungkin terdengar konyol tapi Ryouta serius. Meski sebenarnya bukan itu yang ingin diucapkannya. Saat ini dia merasa Kimito sangat berharga untuknya dan Ryouta belum punya cukup keberanian untuk menyampaikan kalimat sederhana yang kini memenuhi relung hatinya. Mungkin nanti.

Kimito menyembunyikan senyum kemudian mendengus. "Hmph, tentu saja aku tampan. Lebih tampan dari Ma-kun." Lengannya beringsut mendekap Ryouta lebih erat lagi. "Dan tentunya lebih tampan dari kaptenmu itu."

Ryouta balas mendekap Kimito. Tak bisa menahan senyum geli dan tak tahan untuk tidak mengecup pucuk hidung Kimito. "Kapten Yui baik loh. Dia sayang sekali sama kami semua. Juga banyak menolongku saat latihan." Begitu dilihatnya Kimito merengut, Ryouta buru-buru menciumnya. "Bukan berarti aku naksir Kapten Yui loh." "Lagipula, Kapten Yui suka perempuan." jelas Ryouta melanjutkan. "Kimi-chan....masih cemburu?" tanyanya lagi, menilik ekspresi Kimito dengan hati-hati.

Kimito menyorongkan bibirnya sedikit. Kesal karena dia tidak bisa membantu apa-apa kalau soal tenis. "Hmph," dengusnya lagi. Digigitnya cuping telinga Ryouta. "Pokoknya Ryouta milikku. Milikku seorang. Takkan kuserahkan pada siapapun."

Ryouta berjengit geli. "Hmmm... Kimito juga ya. Tak boleh macam-macam dengan siapapun loh. Kemarin Inoue-kun bilang, Kimi-chan suka flirting dengan siapapun di lokasi. Aku tak percaya karena tak lihat sendiri. Tapi sekarang yang boleh begini dengan Kimi-chan hanya aku." Digigitnya gemas pipi Kimito. "Aku bukan orang yang posesif tapi aku tak ingin berpikir macam-macam."

Kimito beringsut sambil nyengir nakal. "Apa boleh buat kan. Aku yang tampan ini kan minna no mono da yo." Sepasang alisnya digerak-gerakkan dan hidungnya terangkat dengan sombong.

Bukannya kesal, Ryouta malah tertawa sampai tubuhnya berguncang. Sejurus kemudia ia berjengit dan melenguh pelan. Gerakannya membuat Ryouta tersadar kalau Kimito masih ada di dalam tubuhnya. Wajahnya bersemu merah. Disurukkannya kepalanya ke leher Kimito dan tak sanggup menahan erangan saat beringsut. 

"Kimi-chan masih di dalam." bisiknya.

Tertawa kecil, Kimito lalu mengigit bibirnya sambil pelan-pelan bergerak menjauh. Ia tidak ingin gesekan kulitnya yang amat sensitif membuatnya terangsang lagi, meskipun merasakan cairan yang turut keluar saat ia menarik diri sungguh menggoda. Saat sudah sepenuhnya di luar, Kimito menggesekkan hidungnya ke pipi Ryouta. Kemudian ia berguling ke samping, masih melingkarkan lengan di pinggang Ryouta sambil menguap. 

Ryouta mengerang pelan saat Kimito menarik tubuhnya keluar. Untuk sesaat ada rasa kosong di dalam dirinya. Ia pun berbaring menyamping, mengikuti gerakan Kimito dan beringsut mendekat. Disusupkannya wajahnya ke lekuk leher Kimito dan mengecup lembut kulit di dekat bibirnya Lalu menengadah untuk mengecup dagu Kimito dengan sayang. Dirasakannya pelukan Kimito mengerat dan nafas Kimito mulai tenang dan dalam.

Tangan Kimito mencari selimut yang tadi tertendang entah ke mana. Kemudian ditariknya selimut itu sampai menutupi pinggang mereka berdua. Daripada rasa lelah, rasa nyaman dan tenang yang lebih membuatnya merasa mengantuk. Dikecupnya kening Ryouta hangat sambil berbisik "Oyasumi," dan kemudian memejamkan mata.

Ryouta tersenyum. Merasa hangat dan nyaman di dalam pelukan Kimito meski ini bukan pertama kalinya mereka tidur berdekapan. "Oyasumi," balasnya dalam bisikan seraya menyandarkan kepala ke dada Kimito.

-end-