Friday, May 4, 2012

[fanfic] Suki Dakara, Suki

Fandom: Tennis no Ouji-sama Musical 2nd Season
Cast: Sexy-san to Otome-nyan
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I own nothing
Note: Hanya obrolan ngalor-ngidul dan sayang2an. XD




“Mau tinggal di tempatku?”

 

“Eh? Nande?”

 

Pria itu mengerutkan bibirnya lalu mengedikkan bahu dengan acuh. “Ada banyak tempat di rumahku. Tak ada salahnya menampung satu orang lagi. Yah, kalau kau tak mau juga tak apa sih. Aku cuma menawarkan.” Ujarnya sambil bersiap balik badan untuk berlalu.

 

Dengan cepat, ia menangkap lengan pria itu. “Un! Aku mau!”

 

*****

 

Lapisan tipis titik-titik air turun dengan perlahan. Tidak deras, tapi hujan seperti ini bisa membuat perasaan pun jadi berubah. Daisuke memutuskan kalau ia tak perlu membuka payung meskipun ada satu tersimpan di dalam tasnya. Dia lebih memilih merapatkan trenchcoat-nya, menegakkan kerah lalu berjalan menembus gerimis dari stasiun menuju apartemennya.

 

Sepanjang jalan, ia beberapa kali berhenti untuk memperhatikan etalase toko yang masih buka di jam yang sudah mulai larut seperti itu. Senyumnya mengembang lebar saat melihat patisserie langganannya masih buka. Dengan riang dan langkah yang nyaris melompat senang, Daisuke masuk ke toko itu dan keluar tak berapa lama kemudian dengan bungkusan berlogo pattiserie itu di satu tangan dan siulan riang.

 

Hujan memang tidak bertambah deras tapi Daisuke memutuskan untuk mempercepat langkah. Kurang dari 5 menit, ia sudah sampai di gedung apartemen yang masuk dalam hitungan apartemen mewah di daerah itu. Daisuke menekan kodekunci di dekat pintu utama gedung itu, menyapa petugas jaga malam sebelum memeriksa kotak posnya lalu menuju lift untuk naik ke apartemennya.

Beberapa tahun yang lalu, ia tak akan bisa membayangkan dirinya pulang menaiki lift melewati beberapa belas lantai untuk menuju lantai paling atas yang berupa penthouse. Dia baru datang ke Tokyo saat itu, berjuang mengumpulkan biaya untuk kuliah dengan bekerja di sebuah klub. Ia hanya memberitahu ibunya di kampung kalau pekerjaannya hanyalah mengantarkan minuman. Ibunya tak perlu tahu kalau ada hal-hal lain yang terpaksa harus dilakukannya seperti duduk menemani tamu dan kadang membiarkan tamunya meletakkan tangan di beberapa bagian tempat yang sungguh membuatnya merasa risih. Tapi bayarannya sungguh lumayan untuk biaya kuliahnya jadi Daisuke menelan ludah dan memaksa sudut-sudut bibirnya untuk tersenyum.

 

Dua tahun yang lalu, semua itu berubah. Seseorang datang dalam hidupnya, menawarinya tempat tinggal yang baik, mengenalkannya pada seorang pemilik klub jazz yang mempekerjakannya mengantar minuman dan hanya itu saja tanpa embel-embel lainnya, membantunya mendaftar program beasiswa dan membuat hatinya begitu tentram.

 

Bunyi berdenting pelan dan pintu lift yang mulai membuka otomatis memberinya tanda bahwa ia sudah sampai di rumah. Tanpa menunggu pintu lift terbuka sempurna, Daisuke menyelip keluar dan mengeluarkan kunci. Bagian dalam penthouse itu remang-remang saat ia masuk. Daisuke menutup pintu di belakangnya, meletakkan kunci ke dalam mangkuk kaca yang terletak di atas kotak sepatu di genkan sambil mendorong lepas sepatunya dengan tumitnya.  Matanya mengerjap beberapa kali untuk membiasakan dengan suasana yang remang. Tak butuh banyak usaha karena ada cahaya yang datang dari lampu duduk di ruang tengah.

 

“Tadaima~” ujarnya riang sambil menggantung trenchcoat-nya di gantungan di dekat pintu lalu mendekat pada sosok yang berbaring di sofa. Kepala orang itu bersandar nyaman di lengan sofa yang empuk. Kedua matanya tertutup sebelah lengan sementara tangan yang satunya tertumpu pada sebuah buku yang tergeletak di atas perutnya. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur dan perlahan.

 

Daisuke tersenyum geli. Diletakkannya semua bawaanya di atas meja kopi di depan sofa lalu duduk di tepi sofa, menghadap pada sosok yang tengah tertidur itu. Daisuke membungkuk dan menjulurkan kepalanya untuk mengecup lembut pipi pria itu. Hanya gumaman pelan menyambutnya. Daisuke menciumnya sekali lagi dan kali ini menusukkan jari telunjuknya ke pipi orang itu. Kali ini tangan pria itu bergerak menangkap jari Daisuke.

 

“Kau mau jarimu kugigit sampai putus ya?” Gumam pria itu masih dengan mata tertutup.

 

Daisuke terkikik geli lalu mengecup ujung hidung pria itu. “Kalau tidur di sini tanpa selimut, nanti masuk angin, Jinshan.”

 

Jinnai hanya bergumam, membuka sebelah matanya lalu tertawa melihat rambut Daisuke yang agak lembab. “Bilang lagi soal aku yang tidur di sini dan bisa masuk angin, kau sendiri hujan-hujanan.”

 

Daisuke menyisir poninya yang basah, merengut. “Aku tak akan masuk angin hanya karena hujan gerimis begini.”

 

Jinnai beringsut, membiarkan Daisuke berbaring di atasnya dan menyingkirkan bukunya ke atas meja. “Sou? Baiklah. Kalau besok pagi kau bangun dengan hidung tersumbat dan bersin-bersin, jangan harap aku akan merawatmu ya.”

 

Daisuke mencibir, “Bilang begitu lagi, aku akan kabur ke tempat Mossan.”

 

Jinnai mengangkat alisnya pada ancaman itu. “Oh? Silakan saja loh. Jangan harap kau bisa makan sup miso dan kare enak di tempat Mossan.”

 

Daisuke terdiam sejenak. “M, maa… Kalau hanya miso dan kare, aku sudah bisa buat sendiri loh! Jinshan kan juga sudah mengakui kalau buatanku sudah lumayan enak.”

 

Jinnai nampak berpikir sejenak lalu mengangguk. “Un. Sou ne. Kalau begitu, karena kau akan pindah ke tempat Mossan, sebaiknya kubatalkan saja ya niat untuk buat éclair isi cream cheese dan raspberry-nya ya.”

 

“Eeeeh? Hidoi!” Daisuke menegakkan tubuhnya dan memukul dada Jinnai, “Pakai taktik seperti itu curang namanya! Jinshan kan tahu aku suka sekali éclair isi cream cheese dan raspberry! Mou!”

 

Jinnai terbahak-bahak sambil berusaha berkelit dari serangan Daisuke meskipun itu bukan hal mudah karena Daisuke masih menindih tubuhnya dan sekarang malah bisa dibilang pemuda itu sudah menduduki perut Jinnai. “Taktik apa? Aku memang berencana buat éclair itu kok. Minggu depan aku mau mampir ke tempat Waka dank arena Waka bilang ingin coba, jadi aku memang mau buatkan. Bukan karena mau mencegahmu pindah ke tempat Mossan, kok.”

 

Daisuke merengut hebat. “Bhu!”

 

“Lagipula,” Jinnai menarik Daisuke ke arahnya dan melingkarkan lengan ke sekeliling pinggang Daisuke yang ramping (kalau tak mau dibilang terlalu kurus) dan Daisuke menurut saja, “kau yang tukang cari perhatian seperti ini, mana mungkin bisa tahan bersaing dengan Shinchi, Utsumi dan Acchan? Buntut-buntutnya kau pasti akan meneleponku sambil mengeluh panjang lebar lalu minta kujemput. Begitu kan?”

 

“M, maa…” Daisuke memiringkan kepala lalu menundukkan kepala. Jemarinya menggerut kemeja yang dikenakan Jinnai lalu bergumam sebal. “Begini saja aku harus bersaing dengan Hiramaki-san kan?”

 

“He?” Jinnai mengangkat kepalanya, menunduk sedikit agar bisa menatap Daisuke dengan baik. “Bilang apa?”

 

Daisuke menelan ludah mendengar nada suara Jinnai yang terdengar sedikit waspada seolah memastikan ia sungguh tak salah dengar. Pemuda itu berpikir mungkin sebaiknya ia diam saja lalu pergi mandi dan tidur. Ia sudah menyenggol hal yang tak seharusnya ia ungkit. Ia sudah tahu bagaimanapun sayangnya ia pada Jinnai dan seberapapun Jinnai punya perasaan yang sama padanya, Daisuke tak akan mungkin bisa bersaing dengan orang itu. Jinnai rela mati untuk orang itu.

 

Meskipun begitu, entah kenapa ia merasa tidak bersalah sama sekali. “Demo, benar kan? Kalau aku menelepon dan bilang, ‘Jinshan, aku keseleo.’ Jinshan akan bilang, ‘Jangan banyak bergerak. Pulangnya naik taksi saja,’ atau ‘Tunggu saja di situ. Nanti setelah kujemput.’ Coba kalau Hiramaki-san yang bilang begitu, Jinshan pasti langsung lari tanpa pikir dua kali lagi.” Ujarnya panjang, menirukan gaya bicara Jinnai tanpa cela. Wajahnya memerah menahan emosi. Entah marah, entah kesal atau mungkin juga ia malu.

 

Dia bersikap seperti anak kecil. Cemburu seperti ini rasanya bodoh sekali.

 

Jinnai mengerjap lalu seperti yang sudah diduga Daisuke, pria itu tertawa terbahak-bahak. Kemudian, Jinnai mengangkat satu jarinya. “Satu. Waka tak akan meneleponku hanya karena ia keseleo. Orang pertama yang akan dihubunginya jika itu terjadi adalah tetangganya atau Takiguchi-san untuk membantunya mengurus restorannya. Baru setelah itu Waka akan memberitahuku lalu Mossan dan Taku-san. Dua,” Jinnai mengangkat satu lagi jarinya.

 

“Hai, hai. Aku menyesal sudah bilang begitu. Lupakan saja.” Potong Daisuke cepat sebelum Jinnai sempat mencelanya. Ia sudah tahu Jinnai akan bicara apa.

 

Namun seolah tuli, Jinnai tetap melanjutkan, “Apa kau serius beranggapan aku benar-benar tak peduli padamu?”

 

“Sou! Yang seperti itu!” Tuding Daisuke. “Jinshan tak pernah menjawab pertanyaanku secara langsung! Selalu berputar-putar seperti itu! Memangnya aku ini bisa menebak apa yang ada di kepala Jinshan? Aku ini kuliah ekonomi dan bukan psikologi atau ilmu ajaib lainnya, tahu!”

 

Bodoh. Bodoh sekali. Daisuke mengutuk diri dalam hati. Rasanya seperti ingin menangis. Padahal waktu pulang tadi, ia sedang merasa senang sekali tapi kenapa jadi begini? Daisuke mengusap pipinya dengan telapak tangan, menolak untuk melihat ke arah Jinnai lagi meskipun masih membiarkan Jinnai memeluknya.

 

“Aku sama sekali tidak berniat membanding-bandingkan. Sungguh, loh. Tapi—“ perkataannya belum selesai, terputus begitu saja oleh bibir Jinnai yang menangkup cepat dan tegas di atas bibirnya sendiri. Daisuke mengerjap. Sesaat, ia tak bereaksi meskipun Jinnai bergerak mengecup dengan lebih lembut lalu sekali lagi.

 

“Nande?” bisiknya serak beberapa saat kemudian, meskipun bibirnya sendiri kemudian bergerak mencari bibir Jinnai.

 

“Aku tidak melakukan ini dengan Waka, loh.” Ujar Jinnai, membalas ciuman Daisuke dengan kecupan lembut di sudut bibir Daisuke. Hidungnya digesekkan dengan hidung Daisuke, “Kore de jyuubun deshou? Aku mungkin saja langsung lari ke tempat Waka kalau ada sesuatu tapi aku hanya begini denganmu, loh.”

 

Daisuke menjerit pelan saat Jinnai bergerak dan berputar dengan cepat hingga punggung Daisuke terhempas ke bantalan sofa. Pemuda itu hanya sanggup menatap Jinnai dan membiarkan kedua tangannya bergerak melingkari pundak dan leher Jinnai secara insting. Kakinya mengait dengan tungkai Jinnai dan Daisuke menarik menutup mata saat Jinnai mengecup keningnya.

 

“Wakaru?”

 

Daisuke mengangguk, “Tabun.”

 

Jinnai tertawa, menunduk untuk mencium Daisuke sekali lagi. “Orang merepotkan sepertimu ini, benar-benar membuatku pusing.”

 

Daisuke merengut, menggigit bibir Jinnai dengan gemas. “Shouganai deshou? Jinshan ga suki dakara.”

 

“Suki?” Jinnai bertanya, satu alisnya terangkat, menggerakkan bibirnya ke bibir Daisuke lalu beralih mengecup hidung Daisuke.

 

Daisuke mengejar bibir itu, “Un. Suki desu. Zutto.”

 

Sudut bibir Jinnai membentuk senyum miring. “Kochira koso.”

 

Daisuke tertawa. “Dasar curang!”