Tuesday, June 12, 2012

[fanfic] Kore Kara Mo Zutto

Cast: Takagi Kyoushiro, Takahashi Fumiya
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I only owned the plot
Note: Shirason Kyoudai AU. Untuk Tacchin sayang dan penggemar KyoFumi lainnya yang bisa dihitung sebelah tangan di luar sana XD Ini jinak kok, Tacc dan gak jadi pake iklan obat mata itu LOL



Fumiya yakin dia tak pernah punya selimut berwarna coklat di kamarnya. Tambahan lagi, sejak kapan kasurnya terasa lebih keras dari biasanya?

Fumiya mengerjap bingung. Dia pasti belum bangun dan masih bermimpi tapi dentuman keras dan rasa berat di bagian belakang kepalanya ini sepertinya bukan mimpi. Pemuda itu mengerutkan kening dan mengerang sebal. Sial, berapa gelas yang dihabiskannya semalam? Mengingat dirinya cukup tahan alkohol berarti memang banyak sekali yang ditenggaknya di kedai sake itu.

Kenapa juga dia minum sebanyak itu semalam? Kepalanya benar-benar tidak dalam kondisi bisa diajak berpikir apalagi mengingat tapi ia sungguh penasaran. Pemuda itu berputar dan membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Hmm, kenapa wangi bantalnya pun beda ya? Apa dia mengganti pewangi cuciannya?

Ia mengerang lagi. Dia benci sekali saat-saat seperti ini. Padahal hari ini dia harus melakukan inventaris buku-buku baru. Mana bisa dia berdiri di atas tangga atau berjalan mondar-mandir kalau kondisinya begini? Atasan dan teman kerjanya pasti akan menegurnya karena masuk kerja dengan keadaan hang over berat begitu.

“Sudah bangun ya? Bisa duduk? Sebaiknya minum ini dulu supaya lebih enak.”

Otomatis, tubuhnya bergerak; berputar pelan lalu mengulurkan tangan dan merasakan dua butir pil diletakkan di telapak tangannya yang terbuka. Dengan patuh dan setelah susah payah menarik tubuhnya untuk duduk, ia menelan pil-pil itu lalu meminum air putih yang disodorkan berikutnya. Fumiya mendesah lalu berusaha membuka matanya.

Seorang pria bertubuh lumayan besar, berkulit coklat berdiri di dekat tempat tidur, tersenyum ramah padanya. “Dou?”

Fumiya mengangguk kecil.

Siapa?

“Jam berapa?” Tanya Fumiya sambil memicingkan mata karena sinar matahari yang masuk dari jendela di sebelah kanan tempat tidur itu terlalu menyilaukan untuknya. Hmmm, sepertinya jendela di kamarnya di sebelah kiri.

Pria itu melirik arloji di pergelangan tangannya. Kenapa orang ini sudah serapi itu? Ini kan masih pagi sekali. “Jam tujuh seperempat. Masih ada waktu, kok.”

Fumiya mengangguk-angguk lagi sambil menghabiskan air putih di dalam gelas yang masih dipegangnya lalu diulurkannya pada pria itu yang menyambut masih dengan senyum.

“Aku sedang buat sarapan. Mau makan? Ada kopi juga, kalau mau.”

Siapa orang ini?

Fumiya mengangguk. “Un. Kopi.”

Pria itu ganti mengangguk kemudian berlalu keluar kamar sementara Fumiya kembali merebahkan tubuhnya dan menutup matanya lagi. Minum-minum di hari kerja. Poin minus, Takahashi Fumiya, rutuknya dalam hati. Sekali lagi, Fumiya mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Ia ingat dia lembur untuk menyiapkan inventarisasi hari ini. Hitung-hitung mengurangi beban pekerjaan supaya tak terlalu repot dan lembur dua malam berturut-turut. Padahal teman kerjanya sudah bilang bersedia datang lebih pagi dan membantu Fumiya tapi ia memaksa. Kenapa? Fumiya memaksa otaknya untuk mengingat.

Karena orang itu. Orang yang dua bulan belakangan ini datang ke perpustakaan umum tempatnya bekerja. Orang itu datang hampir tiap hari sepulang jam kerja, mengambil kamus dan buku panduan bahasa Inggris lalu duduk di sudut. Ia akan duduk di situ sampai perpustakaan tutup jam setengah sembilan malam. Fumiya yang membantunya mencari buku karena bulan-bulan ini sedang gilirannya shift malam. Semalam, entah kenapa, Fumiya mengajak pria itu ke kedai sake di blok tiga dan entah kenapa pula pria itu mau. Padahal mereka sama sekali tak pernah bicara lebih dari tiga kalimat sebelumnya dan itu pun hanya menanyakan buku ini ada di mana dan oh, ada di rak keempat dua baris dari kiri.

Orang itu. Fumiya membuka matanya dan duduk tegak lagi. Mereka mulai minum dan Fumiya mulai mengoceh tentang banyak hal dan mungkin beberapa di antaranya terlalu pribadi. Pria besar itu yang tadi memberinya aspirin dan air dan tersenyum dengan ramah dan penuh pengertian. Kenapa orang itu bisa ada di sini?

Perlahan-lahan, Fumiya mulai memperhatikan isi kamar itu dan mulai menyadari kalau kamar berukuran enam kali enam itu sama sekali bukan kamarnya. Juga, kenapa ia tidak pakai baju?

Dalam sekejab, Fumiya terlanda panik.

“USOOOO!!!”

*****

Takagi Kyoushiro terbahak pelan sementara pemuda mungil yang duduk di hadapannya di meja makan itu merengut sebal dan menolak memandang ke arahnya. Diperhatikannya Fumiya yang lebih tertarik mengobrak-abrik telur dadarnya dibanding memakannya. Ia sendiri memaksa dirinya untuk menelan makanannya dan berharap kopinya cukup ampuh untuk mengusir pusing.

Mungkin seharusnya dia tidak minum-minum semalam tapi siapa yang bisa menolak kalau yang mengajak semanis itu? Pakai acara malu-malu segala, lagi. Selama ini Kyoushiro berpikir dia bukan tipe pria yang mau saja pergi minum dengan orang yang tidak dikenalnya dengan baik (kecuali klien dan itu lain soal). Dia tak suka kalau harus berurusan dengan implikasi apapun yang umumnya timbul akibat mabuk dengan orang tak dikenal.

Tapi Kyoushiro tidak menyesali yang satu ini. Sama sekali tidak.

Petugas perpustakaan yang manis itu, yang biasanya selalu menghindari tatapan mata Kyoushiro dan langsung buru-buru pergi setelah menjawab pertanyaannya, semalam tanpa sungkan langsung nyerocos tentang kehidupan pribadinya setelah menghabiskan 3 gelas bir. Kyoushiro tersenyum simpul mengingat itu. Lucu sekali. Mungkin ia butuh teman dan kalau tak salah, Fumiya mengaku ia tak punya teman dekat. Tinggal sendirian di Tokyo dan jauh dari orang tua rupanya cukup membuatnya stres. Kyoushirou paham sih. Dia sendiri tak begitu dekat dengan teman sekolah ataupun teman kuliah tapi sampai tiga bulan yang lalu, dia punya pacar jadi rasanya tak sesepi itu.

“Ano, Takagi-san…”

Kyoushiro mengangkat kepalanya, “Ah, gomen. Hanya teringat sesuatu. Mau tambah kopinya?”

Fumiya mengerjap lalu menggeleng. “…Arigatou. Umh, maksudku,” pemuda itu berhenti sejenak dan semburat merah menjalari leher dan telinganya. Sekali lagi, Fumiya menolak melihat ke arahnya. “Iie, nandemonai.”

Kyoushiro mengangkat alis. “Tidak apa-apa loh. Kalau memang ada yang ingin dikatakan, katakan saja. Toh, Fuumiya-kun sudah bercerita banyak hal padaku kan semalam?” Kyoushirou mencoba tersenyum.

“…sore dake ka?” Fumiya bergumam.

“Eh?”

“Iie.” Fumiya buru-buru menggeleng dan kembali sibuk dengan makanannya. Kali ini dia menyuap beberapa kali dan Kyoushiro senang melihatnya.

“Apa rasanya enak?”

Fumiya menatapnya dengan bingung.

Kyoushiro menggaruk bagian belakang kepalanya dengan sedikit salah tingkah, “Ah, maksudku, selama ini aku hanya masak untuk diriku saja dan dulu selalu pacarku yang memasak untukku jadi aku tak yakin dengan rasanya.”

“….Takagi-san punya pacar?”

Kyoushiro tidak yakin kenapa Fumiya terlihat begitu terkejut. “Dulu ya.”

“Jadi sekarang… tidak?”

“Tidak,” Kyoushirou menggeleng, “Sama sekali tidak.” Ia kemudian mengerutkan kening, bingung kenapa harus mengatakannya seperti itu. Ia kemudian menyesap kopinya, pura-pura tak melihat Fumiya menghela nafas dan mencoba tidak mempertanyakan apapun itu.

“Rasanya enak, kok.” Fumiya kemudian berujar pelan. “Setidaknya, ini lebih enak dari masakanku.”

Kyoushiro tersenyum. “Yokatta.”

*****

Fumiya membenamkan wajah ke balik lipatan syal yang membelit lehernya. Sarapan singkat yang lebih banyak dihabiskan dalam diam itu tak membuat perasaannya jadi lebih baik. Mungkin dia harus pesan makan siang yang banyak nanti. Dan dua gelas kopi lagi.

Berkali-kali, ia melirik ke arah pria besar yang berjalan di sampingnya itu. Kyoushiro menjaga jarak yang cukup aman dengan dirinya. Tidak jauh tapi juga tidak terlalu dekat sampai membuat mereka merasa tak nyaman. Dibilang begitu pun, rasa tak nyaman itu tetap ada. Kyoushiro terlihat begitu santai dan Fumiya merasa ini tidak benar.

“Ano, Takagi-san,”

“Ah! Kalau tidak keberatan, besok mau pergi bersama lagi?” Kyoushiro memotong niatnya bertanya dan membuat Fumiya menatapnya dengan mata terbelalak. Orang ini serius, ya? Fumiya sungguh tak habis pikir. Kyoushiro sepertinya tidak menyadari ekspresi Fumiya dan melanjutkan pertanyaannya. “Aku tahu kedai es krim enak di sekitar sini. Mungkin Takahashi-kun mau coba?”

“Nande?”

“Eh? Karena es krim di kedai itu enak sekali. Aku sudah dua kali ke sana dan Takahashi-kun suka yang manis-manis kan?”

“Nande?”

“Eh?” Kyoushiro tertawa bingung dan Fumiya jadi kesal. “Ya, karena seperti yang sudah kukatakan tadi. Apa Takahashi-kun keberatan keluar denganku lagi?”

“Bukan itu masalahnya kan?!” Suara Fumiya meninggi dan tanpa sadar, kedua tangannya mengepal menahan marah. “Kenapa Takagi-san bisa sesantai ini? Apa selalu seperti ini dengan semua orang yang mengajakmu minum lalu tidur bersama? Aku tidak bilang aku tidak salah tapi setidaknya katakan sesuatu dong. Aku tidak biasa seperti ini dan aku belum tentu mau bertemu dengan Takagi-san lagi kan? Kenapa bisa sesantai itu bicara, membuatkan sarapan segala lalu mengajakku keluar lagi. Memangnya Takagi-san tidak merasa aneh?”

Fumiya yakin ia nyaris menangis. Rasanya mau lari saja karena Kyoushiro menatapnya dengan pandangan yang begitu bingung. Oke, ralat. Dia ingin memukul Kyoushiro. Kalau pria itu tidak berkata apapun juga, Fumiya bersumpah dia akan memukul pria itu.

“Anu, Takahashi-kun, memangnya kita tidur bersama?”

“…………Eh?”

Kyoushiro balas menatapnya.

“Tidak?”

Kyoushiro menggeleng.

“Nande?”

“Nande tte…” Kyoushiro tertawa gugup. “Apakah seharusnya kita tidur bersama?”

“Bukan itu maksudku!” Fumiya buru-buru membuang muka. Merasa begitu malu dan bodoh karena sudah berpikir yang tidak-tidak. Tapi kan bukan salahnya. Terbangun di kamar asing dan tidak pakai baju setelah mabuk dengan orang tak dikenal, biasanya mengarah ke situ kan? Lagipula, kalau Kyoushiro punya keberanian untuk melucuti pakaiannya, kenapa dia tidak melakukan apa-apa? Memangnya dirinya sebegitu tidak menariknya sampai Kyoushiro tidak menyentuhnya sama sekali?

Fumiya buru-buru menepis pikiran itu. Apa-apaan sih? Sekarang bukan waktunya!

Lagi-lagi Kyoushiro menggaruk bagian belakang kepalanya. “Gomen. Aku bukannya biasa seperti ini tapi semalam menyenangkan sekali, loh. Aku senang kamu mengajakku minum dan bercerita banyak hal padaku. Padahal kupikir kamu takut padaku, loh. Karena itu semalam aku senang sekali dan kalau bisa jadi berteman denganmu, aku tidak keberatan.”

Teman?

“Tapi Takagi-san kan jauh lebih tua dariku. Memangnya tidak apa-apa?”

Kyoushiro mengangkat bahu. “Aku rasa itu bukan masalah kan? Buktinya semalam Takahashi-kun bisa bicara panjang lebar denganku.”

Fumiya membuang muka dan bergumam, “Aku kan mabuk.”

“Takahashi-kun takut padaku?” Kyoushiro bertanya dengan hati-hati.

Fumiya ingin menggeleng. “…..Un.”

“Jya, kenapa mengajakku keluar semalam?”

Kali ini ia menggeleng, “Tidak tahu. Rasanya ingin menangis tapi aku tidak tahu kenapa aku mengajakmu keluar semalam. Hanya ingin saja. Entahlah. Jangan tanya lagi.”

Kyoushiro tertawa pelan. Dengan lembut, diletakkannya tangannya di atas kepala Fumiya dan menepuk pelan. “Karena itu, aku mengajakmu keluar lagi. Supaya Takahashi-kun tidak takut lagi padaku. Aku ini benar-benar tidak menggigit loh.”

Fumiya terdiam lalu memandang Kyoushiro dengan tak yakin. Kyoushiro tersenyum dan untuk pertama kalinya, Fumiya merasa senyum pria itu manis sekali dan Kyoushiro sama sekali tak terlihat seram atau menakutkan.

“Kedai es krim?”

Kyoushiro mengangguk antusias. “Iya. Tempatnya tidak begitu ramai tapi es krimnya enaaaaaaaaak sekali.”

“Takagi-san yang bayar?”

Kyoushiro terbahak. “Baiklah. Pertama kali aku yang traktir.”

“Takagi-san,”

“Hai?”

Fumiya mendului pria itu dan membungkuk di depannya, “Yoroshiku.”

Kyoushiro tersenyum lebar. “Un. Yoroshiku na.”

-end-

Sunday, June 3, 2012

[fanfic] Wagamama

Cast: Jinnai Sho, Hirose Daisuke
Rating: PG-13
Warning: BL, OOC, bad English
Disclaimer: I own nothing
Note: Entah kenapa ini jadinya hanya potongan dialog saja ORZ




Hirose turns to lie on his side and pouts to his phone that clamed to his ear for the last ten minutes. On the other end, Jinnai laughs.

“What are you sulking about? I called you this morning and explained that I really couldn’t stay and talk with you because well, I’m not actually a morning person and I had a job to do. And if you checked my blog, and I know you did so don’t say the otherwise, I’ve blogged about it and now we’re talking.”

Hirose pouts, “Because it’s not fair~”

“What is?” Jinnai laughs again.

This time, the sweet boy sighs and turns to lie on his other side, “I made you a surprise party!”

“I did say that today was a no go, right? I think I’ve made it clear and I think you understood.” Jinnai raises an eyebrow.

Hirose shrugs, “Well, I... I thought you weren’t serious and it was just something to take my mind off from expecting a surprise party. I even went so far as lingering at the rehearsal hall longer, expecting you and the guys to appear, bringing cake and...everything...” His voice turns softer. Absentmindedly, his finger traces an invisible line on the bedsheet.

“.....Seriously?”

“You can’t blame me for hoping! I gave you one and it’s only polite that you do the same for me.” Hirose protested defensively, another pout takes place on his thin lips. Jinnai would’ve pinched on his cheek if he was there with Hirose. And Jinnai is laughing again and it only makes Hirose pouts even more. “Jinshan~” he whines, sitting up and drags a pillow to his embrace.

“Sorry. Hahaha... umh... okay, right. Sorry.” Jinnai says, concealing his laugh by coughing several time, “No, really. What are you saying, Daisuke? You know that when I said I can’t go, it means that I really can’t and if I can make it, I always make sure I make it there. Don’t I always like that? Besides, if there really was a surprise party for you, belive me, it won’t be my idea.”

“Jinshaaaaaaaaan~”

“it’s true! It would be Kenta’s or Shoutaro’s or Kensho’s.” Jinnai shrugs.

Adjusting his phone to another ear, Hirose stands up and starts to pace around the room. “Mou. That’s why I said it’s not fair.”

Jinnai chuckles. “You’re really impossible. Fine, I’ll hold a party for you next week. How about that?”

Hirose’s eyes alight as he hears that, “Hontou ni? Hontou ni hontou?”

“Hon~ma. Just... tell me what do you want. I’ll make sure everybody come.”

Hirose bounces where he’s standing, clutching the hem of his pajamas excitely. “But, but, wait. Don’t tell me when and who will be coming. It’s absolutely have to be a surprise.”

“..............Daisuke?”

“Hai?”

“I just told you it’ll be next week.”

“So I’m stopping you from giving me anymore details! Mou!”

“I...Whatever,” Jinnai sighs while messanging the bridge of his nose but he’s smiling, anyway. “So, how was today? Did you have fun?”

“Of course I did! The cake was super delicious and I went out drinking with Mossan and the others after rehearsal. I also got bunch of gifts! I had to make Mossan and Shinchi walked me home and helped me with all those gifts!” Hirose gigles. “Demo ne, I prefer Jinshan to be there today.” He chews on his lower lip, hand reaching out to touch the curtain of his bedroom window.

He hears Jinnai chuckles softly. “Ne, are you standing near your window right now?”

Hirose frowns. “Yeah, why?”

“Nothing. It’s really nice outside. The air is crisp and it smells really nice. It’s too bad that the oden stall is not open today.”

Hirose’s frowns deepen, “How do you know that the oden stall is not open? Jinshan? You’re not...” Hirose draws open the curtain and tries to take a look at the street from his window.

“Are you looking outside your window now?”

“Yes. Wait.” Hirose puts down his phone so he can use both hands to open the window. He shivers at the breeze but shaking it away and takes his phone again. “Hello?”

“Still here. You’re really looking out your window?”

“I am! Where are you?” Hirose cranes his neck and squints so he can get a better vision but even his glasses are not doing that much for him. “Jinshan, I can’t see you. Mou, just step into the light so I can see you or why don’t you just come upstairs? It’s not like you don’t have keys.” Hirose is still craning his neck but sees nothing and to annoy him, Jinnai is laughing.

“Of course you can’t see me! I’m in my room, you idiot.” He laughs so loud Hirose suspects Jinnai must have rolling on the couch because of it.

“JINSHAN! It’s not funny!!”

Jinnai still laughs. “Hahahaha, sorry. Look, I’ve told you my schedule is pretty tight for the moment. You think I’ll jeopardize it by going there and spend the night with you?”

Hirose throws himself to the bed again, letting the window open. He sighs loudly and pouting again. “It’s my birthday! I’m entitled to nice surprises and getting everything I want!”

“Of course, you do. I’d love to be there if it’s not for my job.”

Hirose curls up, hugging both of his knees with one arm and tossing around on the bed. “Ne, Jinshan.”

“Hmm?”

“So, if, say, you can skip tomorrow’s schedule, you’d happily come here?”

“That’s what I said.”

Hirose chews on his lower lip. “Hontou?”

“Un.”

“Hontou ni hontou?

“Honma.”

“Jinshan.”

“Hmm?”

“You really must not forget about that surprise party, okay?” Hirose presses on.

Jinnai chuckles but if only Hirose can see him, Jinnai is nodding. “I won’t. I promise.”

“Jinshan,”

“What, Daisuke?”

“I really miss you today.”

“....I think about you, too.”

Hirose smiles a little. “Call me again tomorrow?”

“You’re the one who insist that you want to talk as long as possible with me.” Jinnai sounds amused.

“But I’m really sleepy. Rehearsal will be at nine.”

“Ouch.”

“You know how it is.”

“Yeah.” Jinnai agrees. “I won’t be in until after midnight, though.”

“I’ll wait! It’s okay. I’ll wait.” Hirose answers quickly.

“If you insist,” Jinnai says. “Fine. I’ll let you know if I finish early.”

“Un. Now, give me a kiss?”

Jinnai laughs.

-end-