Wednesday, April 27, 2011

[fanfic] AU AkixYuuki - Rest

Author: Icha & Panda
Pairing: Akiyama ShintaroxKubota Yuuki
Fandom: Prince of Tennis Musical
Rating: NC-17
Warning: Boy/boy. AU. OOC. NSFW
Disclaimer: We are only a humble panda & tanuki who don't own anything and/or anyone
Notes: JADI, pada suatu hari yang cerah ceria, panda & tanuki berusaha untuk membuat sesuatu yang tidak icha icha. Ceritanya pengen bikin yang santai aja gitu. But who are we to deny our nature, eh.




Kubota Yuki berdiri di depan pintu gerbang rumah bergaya tradisional itu dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia memiringkan kepala, mencoba mendengarkan apakah ada suara-suara yang menunjukkan bahwa pemilik rumah ada di tempat.

Sunyi.

Iseng didorongnya daun pintu dengan ujung sandalnya. Agak kaget juga saat melihat daun pintu itu mengayun terbuka. "Kok tidak dikunci sih," desisnya sambil melangkah masuk dan menaiki tangga menuju beranda. "Akiiii?" panggilnya.

Akiyama Shintaro berbaring telungkup di beranda yang menghadap taman belakang rumahnya. Bukan pingsan apalagi mati, hanya berbaring mencari udara segar. Rhyme bergelung di dekat kakinya. Didengarnya anjing kecilnya menyalak dan Shintaro tetap bergeming. Mungkin Naito yang datang. Samar didengarnya suara langkah kaki. Dahinya mengernyit. Suara langkah yang ini lebih berat dari langkah anaknya. Tapi Shintaro tetap tak bergerak. Didengarnya derap kaki-kaki kecil Rhyme dan salakan ramah. Kemudian mendengar namanya dipanggil. 

"Haiiii!" jawabnya keras meski teredam karena kepalanya pun tertelungkup ke lantai kayu yang sejuk.

Lagi-lagi Yuki memiringkan kepalanya mendengar suara sahutan yang lamat-lamat sampai ke tempatnya berdiri di tangga. Ia lalu mengurungkan niat naik ke teras dan malah turun menyusuri halaman rumah, terus hingga ke halaman belakang hingga dilihatnya sesosok makhluk tertelungkup di lantai kayu teras belakang. 

Didekatinya makhluk--er maksudnya orang--itu, kemudian setelah menimbang-nimbang sesaat, menusuk sisi tubuh orang itu dengan ujung sandal. "Hoi."

Shintaro menggerung saat merasakan sesuatu berujung tumpul dan keras menusuk sisi tubuhnya. Dibukanya satu matanya, mengintip siapa yang kira-kira berani mengganggu ketenangannya meski Shintaro sudah bisa menebak dari suaranya. Dan dia tak mungkin salah mengenali sosok cukup tinggi yang berdiri membelakangi sinar matahari sore itu.

"Yo, Yuki." ujarnya seraya mengangkat tangan sebisanya.

Yuki memandangi laki-laki jangkung yang tampak seperti lumba-lumba terdampar yang hidup segan mati pun tak mau itu. "Ngapain di sini?" tanyanya agak heran.

Tangan Shintaro terangkat lagi, kali ini mengacungkan telunjuknya. "Itu, harusnya jadi kalimatku kan?" 

Sejurus kemudian ia akhirnya mengangkat tubuhnya dan berbaring miring, menumpu kepala dengan satu tangan. Dilihatnya sudut mulut Yuki yang berkedut tak suka dan wajahnya masih saja manis. 

Shintaro nyengir dan menepuk lantai dengan cuek. "Duduk. Memangnya tidak pegal berdiri terus?"

Sudut bibir Yuki berkedut lagi. Sebenarnya ia merasa tidak akan sanggup bangkit lagi kalau duduk sekarang, dan terkapar di teras rumah pria di hadapannya ini rasanya bukanlah pilihan pertamanya untuk beristirahat dengan nyaman. Tapi melihat Shintaro menepuk-nepuk lantai kayu yang sepertinya sejuk dan nyaman itu mau tidak mau Yuki tergoda. Apalagi Shintaro tampak begitu nyamannya berbaring di sana. Sambil menghembuskan napas kesal, ia mendaratkan pantatnya di sisi Shintaro. Kesejukan lantai kayu langsung menyapa kulitnya, menembus bahan celana kargo tanggung yang dipakainya. Tanpa sadar ia mengerang pelan. Rasanya enak sekali bisa duduk.

Satu alis Shintaro terangkat. Lucu sekali melihat temannya itu mendesah dengan begitu enaknya seolah-olah lantai kayu rumahnya jauh lebih empuk dari sofa atau tempat tidur manapun. Sudut bibirnya mulai membentuk senyum dan disentuhkannya lututnya ke punggung Yuki. 

"Kau terlihat seperti habis menghadapi kawanan ibu-ibu tetangga yang histeris."

Yuki berjengit karena sentuhan ringan lutut Shintaro ke punggungnya tepat mengenai otot yang tegang dan nyeri di sana. Pelan-pelan diselonjorkannya kedua tungkainya. 

"Percayalah, kau tak akan mau tahu." 

Shintaro mengangkat bahunya. "Baiklah." Namun matanya sempat menangkap jengitan sekilas di wajah Yuki. Disentuhnya sekali lagi titik itu dengan lututnya dan Yuki langsung memukulnya. Shintaro malah tergelak meski meringis kesakitan. Kali ini ditariknya dokter itu hingga berbaring telungkup di sebelahnya. 

"Keseleo punggung?" tanya sambil meletakkan tangan di punggung temannya yang merengut itu.

Yuki makin merengut karena Shintaro malah sengaja menyentuh bagian punggungnya yang nyeri. Bahkan sudah dipukul pun ia malah tertawa. Tapi Yuki sendiri tak sanggup menolak saat Shintaro menariknya untuk berbaring. Sengaja memalingkan muka menjauh dari temannya itu, Yuki menghela napas menikmati sejuknya lantai kayu yang menyentuh kulit pipinya yang rasanya lebih hangat dari biasa. 

Tanpa diminta Shintaro langsung kembali menyentuh punggungnya, memberikan tekanan-tekanan lembut yang membuat Yuki mendesah tanpa sadar. Beberapa operasi berturut-turut dengan komplikasi tak terduga yang membuat waktu operasi bertambah lama cukup membuat badannya sakit semua.

"Kok sepi?"

Shintaro tersenyum miring sementara tangannya masih terus menjelajah punggung Yuki dan menekan di sana-sini. Sebenarnya dia tidak begitu tahu tentang pijat memijat tapi selama ini tak pernah ada yang protes dengan hasilnya. 

"Hmm? Oh, pelayan-pelayan sedang libur." jawab Shintaro sekenanya.

Yuki meregangkan tubuhnya dan memejamkan mata dengan nyaman. Kalau ia tahu Shintaro pijatannya seenak ini mungkin lebih baik dia ke Osaka setiap terserang pegal dan minta dipijat gratis. 

"Si kecil di mana?"

Shintaro terbahak mendengar istilah Yuki. "Maksudmu Naito? Sebesar itu kau bilang kecil? Dia sudah tak bisa digendong, tahu. Kalaupun aku mau, dia pasti menendangku." lanjutnya dengan tawa makin kencang. 

Sejurus kemudian ditepuk-tepuknya punggung Yuki dengan lembut. Lalu ia bangkit, bergerak untuk mengangkangi Yuki. Kedua telapak tangannya di satukan dan diletakkan pada sendi tulang belakang Yuki. 

"Tahan lenganmu di depan dada." ujarnya lalu menekan sendi Yuki dengan hentakan keras.

Yuki agak terkejut saat Shintaro bangkit menjulang di atas tubuhnya, tapi menuruti saja kata-kata temannya itu, tak punya tenaga untuk membantah. Terdengar bunyi derak halus dari punggungnya dan Yuki tak tahan untuk tidak mengerang panjang. 

"Anak itu masih kecil kalau dibandingkan denganmu," sahut Yuki. "Ah ya, di situ pegal sekali."

Shintaro menekan lagi lebih ke bawah. "Yang benar saja. Kalau dibandingkan begitu ya jelas saja." Dua kali menekan lagi dan Shintaro kembali menepuk-nepuk punggung temannya dengan senyum puas terulas di bibir. 

"Mau makan?" tanyanya kemudian, masih belum turun dari atas punggung Yuki yang entah kenapa selalu terasa nyaman untuk ditunggangi.

"Tidak," cetus Yuki, memaksa pria jangkung yang menduduki punggungnya untuk berbaring kembali kemudian beringsut menyandarkan kepala ke lengan Shintaro. "Aku capek. Lihat makanan saja mual."

Shintaro menjangkau rokoknya yang tergeletak di dekat tiang rumah. Terkekeh pelan, dinyalakannya sebatang dan menawarkan pada Yuki "Kau kan capek, bukan hamil." Diam sesaat lalu dengan perlahan Shintaro menoleh pada dokter itu dengan ekspresi horor. "Yuki.... jangan bilang..."

Yuki memejamkan matanya tapi tidak bergerak dari tempatnya. "Kalau saja aku masih punya tenaga untuk bergerak, sudah kutendang kau."

Shintaro pura-pura menghela nafas lega. "Baguslah. Aku tak mau disuruh tanggung jawab soalnya." Dilemparnya kotak rokok yang diacuhkan Yuki. Meskipun begitu, Shintaro menyelipkan lengan ke bawah leher Yuki untuk menyangga kepalanya. 

"Kudengar Kazuki akan menyusul si bungsu ya? Adik-adikmu semangat ya." Shintaro terkekeh.

"Kalaupun aku hamil, apa yang membuatku harus minta tanggung jawab kepadamu, penulis mesum?" ujar Yuki datar, tapi ia tahu Shintaro paham. "Justru bagus mereka cepat-cepat menikah dan tidak merepotkanku lagi. Sekarang tinggal berharap Sainei menemukan wanita yang mampu membuatnya berhenti jadi playboy kacangan," lanjut Yuki sambil tertawa kecil mengingat adik-adiknya.

"Hei, aku cuma memastikan." Shintaro mengedikkan bahu. Shintaro menekuk lengan untuk menyentuh rambut Yuki. Dipilinnya ujung rambut pria itu. Kepalanya bergerak, menghirup pelan aroma rambut Yuki yang segar sementara pria itu mulai tampak nyaman bersandar padanya.

"Kuharap kau tidak sibuk hari ini," ujar Yuki, makin merasa nyaman karena Shintaro mengusap rambutnya. "Karena aku tidak mau bergerak dari sini. ...dan tidak bisa."

"Hmm... sudah dekat deadline sih tapi aku sedang malas. Jadi sebenarnya kau datang di saat yang tepat." Shintaro menggerak-gerakkan alisnya seperti ulat bulu. "Mau digendong ke kamar? Sepertinya aku punya tali yang cukup kuat untuk menyeretmu."

Yuki mengangkat kepalanya curiga. "Entah kenapa perasaanku tidak enak."

Shintaro nyengir kuda. "Eksperimen sedikit."

Setelah mengernyitkan dahi beberapa saat Yuki lalu menyandarkan kepalanya kembali. "Dame. Besok aku kerja."

Shintaro mengerucutkan bibirnya, pura-pura kecewa. "Bhuu~ tidak seru~" Pun begitu, pria itu menggerakkan kepalanya untuk mengecup sekilas bibir Yuki.

Yuki tertawa kecil, mengecup pipi Shintaro. "Kau tak pantas cemberut begitu. Lagian memangnya kau mau kutinggal tidur di tengah-tengah?”

Shintaro tertawa, menusukkan hidungnya yang mancung ke pipi Yuki. "Aku akan membuangmu dari Menasa Osaka kalau kau begitu." Perhatiannya kemudian teralih karena rasa panas di jarinya. Shintaro cemberut karena mendapati rokok di tangannya sudah nyaris terbakar habis. Dijentikkannya puntung itu ke arah halaman dengan tak acuh. Kemudian diperhatikannya wajah Yuki yang memang terlihat sangat lelah. Dikecupnya kantong mata yang menebal di bawah mata Yuki. Meskipun nampaknya sudah ingin tidur saja, Shintaro paham di saat-saat seperti ini Yuki sedang mencari perhatian sekali. 

Tak ada yang benar-benar mengerti Yuki di rumahnya sana kecuali Kazuki tapi tak mungkin Yuki seperti ini pada adiknya. Dan Shintaro memang tak akan pernah menolak tuan muda yang satu ini. Memang, meski mereka sudah setua ini, Shintaro menganggap tak ada yang berubah dari temannya itu dan akan selamanya jadi tuan muda yang tak akan dan tak mau ditolak.

"Makanya tidak usah macam-macam," Yuki meleletkan lidah, menikmati sentuhan bibir Shintaro di kulit wajahnya. Kemudian ia menggeliat, meregangkan badan dan menguap lebar. "Ya ampun, aku capek sekali sampai tidur pun tak bisa," keluhnya.

"Jadi kau mau apa, bocchan?" tanya Shintaro sambil nyengir dan siap-siap kabur sebelum dihajar Yuki.

Yuki menggerut kain yukata yang dikenakan Shintaro. "Yang bocchan itu Masahiro," cetusnya membenamkan giginya keras-keras ke dada Shitaro.

"Aw, aw, aw!" Shintaro berjengit dan mengusap-usap dadanya yang nyeri. "Sadiiiis." Ditariknya lengan Yuki pelan, membuat pria itu berbaring di atas tubuhnya. "Tapi Masahiro bukan bocchanku. Coba kutanya, dengan siapa lagi kau bisa begini, hah?" tanyanya jumawa.

"Bocchan-MU?" Yuki mengangkat sebelah alis. "Kau pikir siapa aku ini, Akiyama Shintarou?"

Shintarou memiringkan kepalanya. "Umh.... Kubota Yuki. 43 tahun. Anak sulung keluarga Keigo. Dokter spesialis tulang di rumah sakit keluarga? Betul kan?" ujarnya berusaha tampak polos. "Tapi kau benar. Bocchanku itu Naito." sambungnya sambil nyengir.

Yuki terdiam beberapa saat, sebelum tidak bisa bertahan lagi dan tertawa tergelak-gelak sampai harus menyandarkan dahinya ke dada Shintarou. Memang tidak salah berkunjung ke tempat ini, karena pria yang sedang berada di bawah tubuhnya ini tak pernah gagal membuat Yuki tertawa. Lembut dielusnya rahang Shintarou yang kukuh. 

"Benar kok," ucapnya kemudian memagut bibir temannya itu.

Disambutnya pagutan bibir tipis itu dengan pagutan lain. "Hmm? Apa? Mendadak kau mengaku sebagai bocchanku?" Tangannya mengelus punggung Yuki dengan lembut. "Tak berpendirian deh."

"Mmmhmm, mungkin. Dan karena aku bocchanmu, kau harus melakukan semua yang kukatakan," sahut Yuki sambil mengigit bibir Shintarou. 

Shintarou mengangkat alis, menjilat bibirnya yang digigit lalu balas menggigit bibir Yuki. "Tentu saja. Tapi bayaranku mahal loh."

Yuki menarik wajahnya menjauh, sepasang alisnya terangkat jumawa. "Kau pikir aku tidak sanggup membayar, aaahn~?"

Shintaro mendekap erat tubuh pria itu, sedikit tak peduli meski Yuki mengernyit karena badannya masih pegal-pegal. "Hmm... memangnya kau mau aku melakukan apa sekarang? Jadi kasurmu seperti ini tak cukup?"

"Sebenarnya aku hanya ingin tidur," Yuki memajukan bibirnya dan bersandar kembali ke dada Shintarou. "Kalau kau bisa membuatku tidur beberapa jam saja, mungkin aku bisa memikirkan beberapa hal menarik untuk dilakukan denganmu, Sensei~"

Shintaro memagut bibir yang mengerucut lucu itu. Tahu dengan pasti kalau Yuki tertidur, pasti tak akan bangun sampai esok pagi. Tapi toh dia tak keberatan ditinggal tidur karena ia tahu itulah alasan sebenarnya Yuki datang. 

"Perlu kunyanyikan lagu pengantar tidur?" ujarnya sambil mengelus lembut garis rambut Yuki, dekat dengan pelipisnya.

Yuki menggigit bibirnya dan menyurukkan kepala ke lekuk leher Shintarou. "Tidak usah." Suara dalam itu, dengan logat Osaka yang kental, sepertinya justru membuat orang tak ingin tidur mendengarnya. Malah mengajak tidur bersama.

"Tsk." decak Shintaro kecewa. "Naito saja suka loh." Shintarou berbisik rendah di sebelah telinga Yuki. "Kujamin kau pasti mimpi indah."

"Dasar mesum," tuduh Yuki. "Terserah kau mau melakukan apa, tapi aku tak mau bergerak dari sini." 

"Mau meninabobo kok malah dibilang mesum." Shintarou mengelus sisi tubuh Yuki. Gerakan pundak temannya itu menunjukkan kalau Yuki bernafas dengan pelan dan tenang. Tandanya juga, pria itu mulai benar-benar merasa rileks meski matanya tak terpejam juga. Tangan Shintarou bergerak menangkup wajah Yuki dan memperhatikan dengan seksama. Kemudian dikecupinya wajah manis itu mulai dari kening, alis, kelopak mata, hidung, pipi lalu ke bibir. Kecupan-kecupan ringan tanpa maksud membangkitkan apapun. "Kawaee..." bisiknya.

"Matamu sakit ya Aki, masa yang seperti aku kau bilang kawaii," Yuki tertawa kecil, sedikit terguncang di atas dada Shintarou. "Kalau kakkoii baru benar, fuh."

"Kalau sedang begini, kawaee." Tukasnya, mengecup dagu Yuki. "Tak usah protes kalau dipuji." 

"Apa katamu sajalah," kembali tersenyum, Yuki beringsut nyaman dan memejamkan mata.

Shintaro nyengir lebar, menyentuhkan bibirnya ke kening Yuki dan bergumam pelan. "Pasrah sekali. Kalau kumakan hidup-hidup bagaimana?"

Yuki tak menjawab, malahan menyurukkan kepalanya ke dada Shintarou makin dalam. Lengannya memeluk tubuh jangkung temannya itu. Ia sudah begitu nyaman dengan hanya berada di samping pria itu, dan percaya bahwa apapun yang dilakukan Shintarou pasti untuk kebaikannya.

Cengirannya melebar lagi karena tingkah Yuki yang tampak seperti anak kecil kalau sedang begini. Satu tangannya kemudian menyelip ke balik kaus yang dikenakan pria itu, menyentuh kulit yang hangat dengan telapaknya dan ibu jarinya mengusap lembut.

Mau tak mau Yuki mendesah karena usapan telapak tangan Shintarou yang besar dan hangat sungguh menyenangkan. Ia beringsut ke atas sedikit, menyentuhkan bibirnya ke leher Shintarou, merasakan denyut nadi Shintarou di bawah kulitnya. "Hari ini Naitou pulang?" tanyanya pelan.

"Mungkin. Tapi mungkin baru besok." jawabnya sekenanya. Menengadahkan kepalanya sedikit, agar kepala Yuki bisa lebih nyaman berada di lekuk lehernya. "Kenapa? Takut kepergok Naito kita sedang begini?" Diusapnya lagi punggung temannya dan menekan pelan di satu sisi yang membuat Yuki menggeliat pelan karena geli. "Dia pengertian kok."

"Aku tidak sepertimu yang bisa menodai mata anak sendiri dengan pemandangan mesum begini, sensei," Yuki menggeliat kemudian menggigit lembut leher Shintarou. "Jangan-jangan dia juga membaca buku karanganmu ya? Kau merusak anakmu sendiri."

"Hahahahaha. Oh, ayolah. Kau tahu aku tidak sesuci itu. Kau juga kan?" Tangan Shintarou bergerak turun dan meremas bokong Yuki dengan iseng. "Dia kan sudah besar. Sekalipun dia tak baca buku-bukuku, aku yakin teman-temannya pasti jadi sumber yang cukup."

Yuki mengerang lirih dan beringsut di atas tubuh temannya yang tangannya mulai nakal. "Teman-temannya yang membaca bukumu, maksudmu?" goda Yuki sambil mengulum cuping telinga Shintarou.

Shintarou menjilat rahang yang menggoda di depan matanya. "Aku tak bertanggung jawab soal itu. Mana aku tau toko bukunya akan menjualnya pada anak-anak di bawah 18 tahun?" Shintarou menyelipkan satu kakinya ke antara kaki Yuki.

"Lari dari tanggung jawab," tuduh Yuki sambil beringsut lagi. Kaki Shintarou yang menyelip dan menekan ringan mulai membuatnya gelisah.

"Sama sekali tidak." ujar Shintarou, sengaja merendahkan suaranya. Digigit-gigitnya pelan pipi dan rahang Yuki. "Tentu saja aku akan menghukum Naito kalau dia berbuat yang aneh-aneh. Menyerahkan diri pada sembarang orang misalnya." Lututnya bergerak sekilas. "Setidaknya dia harus mencari orang yang sekeren aku."

"Jadi kau...ngh," Yuki terpaksa berhenti berbicara karena napasnya tercuri oleh gerakan lutut Shintarou di antara kakinya. "...kau merasa dirimu keren?" Sebagai balasan, ia meraih dada Shintarou, mengusap tonjolan yang tertutup kain yukata.

Shintarou mendesis pelan. Meski sentuhan Yuki terasa menggoda, tetap saja ia mengangkat hidungnya dengan bangga. "Tentu saja. Aku penulis terkenal dan digilai para perempuan. Kau pikir?"

Shintarou pun mulai menggerakkan pinggulnya, pelan saja karena tak ingin membuat Yuki terlalu bersemangat. Bagaimanapun, Shintarou tak ingin ditendang kalau akhirnya Yuki malah tak jadi istirahat nantinya.

"Maksudmu... perempuan-perempuan itu... mmmh, meneriakimu gila, begitu?" Yuki mendesah, menikmati tekanan Shintarou di selangkangannya. "Bukankah kita seharusnya... ah, pindah ke tempat yang lebih... tertutup?"

Shintaro menekan keras. "Setidaknya aku membuatmu gila kan? Hmm?" Shintarou menyentuhkan bibirnya dengan bibir Yuki, "Dan kenapa kita harus pindah ke tempat yang lebih tertutup? Katamu tadi kau tak bisa bergerak, sensei?" Tangannya bergerak lebih rendah lagi, mengelus celah bokong Yuki melalui bahan celana katun yang dikenakannya lalu kembali meremas bulatan sempurna bokong Yuki dengan gemas. "Tak akan ada yang melihat kok." cengirnya.

"Aki sialan," gerutu Yuki, balas menekankan pinggulnya ke bawah membalas perbuatan Shintarou, tapi malah tersipu karena merasakan tonjolan bersemangat di selangkangan Shintarou. Bagian itu menusuk pahanya dengan gembira dan walaupun Yuki mencoba biasa saja wajahnya tetap memerah. 

"Memang tidak ada orang yang melihat, tapi... aku tidak punya hobi bermesraan sambil ditonton binatang peliharaan," tersengal, Yuki menggerakkan dagunya menunjuk ke arah sisi mereka. Di mana Rhyme-chan sedang duduk manis memandangi mereka penuh minat.

Shintarou mengangkat kepalanya sedikit, mengintip melalui bahu Yuki dan menatap anjing kesayangannya. Sesaat kemudian dia terbahak dan menjulurkan kakinya sedikit sampai mengenai kaki Rhyme-chan yang menyalak pelan. 

Shintarou mengedikkan bahu. "Aku tak keberatan kok dapat penonton." cengirnya sambil mulai menggerakkan pinggulnya. Meski kemudian satu tangannya menjangkau ke samping dan melempar sesuatu yang langsung dikejar Rhyme-chan.

"Sudah gila ya?!" Yuki tergelak dan menggeliat. Tapi Shintarou tak kunjung melepaskannya dan Yuki mulai merasa tubuhnya merespon. Ia menggerung dan menggigit bahu Shintarou cukup keras hingga meninggalkan bekas. 

"Kamar. Ranjang. Sekarang, Aki."

Shintarou mendesis. "Sakit, dong!" Kepalanya menoleh untuk meniup-niup bahunya tapi kemudian melihat wajah Yuki yang kelihatan sudah siap benar-benar menendangnya kali ini, Shintarou tertawa. Ia bangkit duduk, menahan punggung Yuki dengan kedua lengannya dan menopang tubuhnya saat menariknya berdiri. Sebenarnya tak sejauh itu jarak ke kamarnya. Beberapa langkah dan Shintarou membuka salah satu pintu geser. Bukan kamar tidurnya, tapi kamar yang dipakainya untuk tidur kalau sedang menulis tapi setidaknya di situ ada futon yang cukup nyaman. 

Dibaringkannya Yuki di atas futon yang sudah tergelar --seolah tahu akan digunakan-- dan menggeser kembali shoji itu sampai setengah menutup. 

"Lepas pakaianmu." ujarnya sambil berbaring.

Wajah Yuki makin memanas menyadari pintu ruangan itu hanya separuh tertutup, siapapun yang lewat akan bisa melihat yang terjadi di dalam. Tapi rumah itu benar-benar sunyi dan ruangan itu gelap karena semua jendelanya tertutup tirai, dan sepertinya ia harus puas dengan itu. 

"Aku sudah bilang, bocchan ini tak mau bersusah-susah melakukan apa-apa hari ini," Yuki melirik Shintarou dengan senyum miring. Digesekkannya lututnya ke selangkangan temannya, masih sambil terlentang pasrah. "Kenapa bukan kau yang melepas pakaianku, hm? Aku tahu kau ingin."

Shintarou berdecak. "Benar-benar bocchan yang menyusahkan." ujarnya sok mengeluh. Toh, dia bangkit juga, berlutut di hadapan Yuki dan menarik lepas kaus yang dikenakan pria itu, mengecup leher dan dadanya seraya melempar kaus itu ke samping. Shintaro agak bersyukur karena celana katun yang dikenakan Yuki berpinggang karet hingga ia tak perlu berkutat dengan kancing dan risleting. Benar-benar bocchan, seenaknya saja keluar rumah dengan pakaian sesantai itu. 

Tanpa susah payah, Shintarou menarik lepas celana itu dan melemparnya ke samping, menjadi tumpukan yang sama dengan kaus Yuki. Shintarou mengangkat alis, menikmati pemandangan tubuh telanjang Yuki yang tak pernah membosankan untuk dipandang. Sejurus kemudian, diambilnya ujung simpul ikatan obinya dan menjulurkannya pada temannya.

Yuki tersenyum puas setelah seluruh pakaiannya telah dilepas. Dengan satu tangan ia menarik ujung simpul sederhana obi yukata yang dikenakan Shintarou hingga terlepas sementara tangannya yang lain menarik kerah yukata itu agar Shintarou merunduk. Diselipkannya tangannya ke dalam celah yukata dan mengelus sisi tubuh jangkung Shintarou kemudian menarik yukata itu lepas. 

"Hmmm, apa kau memang selalu berkeliaran tanpa pakaian dalam, sensei?" tanya Yuki, nyengir sambil menyentuh ujung kemaluan Shintarou. 

Shintarou bergidik senang dan menggeram pelan. "Ini kan di rumah. Lagipula, orang seseksi aku, tak perlu pakai pakaian dalam." Celetuknya bangga. 

Shintaro menggerakkan pinggulnya, membuat kemaluannya bergerak ke dalam genggaman tangan Yuki seraya menggigit bibir. Tanpa membuang waktu, Shintarou melebarkan kaki Yuki, mengangkatnya ke sisi hingga kedua lututnya menyentuh dada dan menekankan dua jarinya ke jalan masuk ke tubuh Yuki. Dia tahu dia tak perlu bersusah payah bersikap lembut karena tubuh Yuki selalu menyambutnya dengan senang. Yah, alih-alih jengit nyeri di wajah manis temannya itu dan pukulan yang diterimanya di lengan. Tapi Shintarou acuh. Kedua jarinya menekan lebih jauh ke dalam, langsung menuju ke satu titik yang akan membuat Yuki menjerit. 

"Di sini kan?" dengusnya seraya menjilat bibir.

"Iteeeeee!" pekik Yuki kesal begitu dua jari Shintarou menyerbu masuk begitu saja ke tubuhnya. Sendi-sendi dan otot-otot tubuhnya yang pegal menjerit begitu Shintarou memaksanya menekuk lutut sedemikian rupa. Apalagi mereka sudah lama tak bertemu, Yuki sibuk di rumah sakit dan Shintarou sibuk mengejar deadlinenya. Menggertakkan gigi menahan nyeri, ia melayangkan kepalan tangan ke lengan temannya itu, setengah mati berusaha merilekskan tubuhnya. Tapi Shintarou gila itu sepertinya tak peduli dan malah terus menekan jemarinya makin dalam. 

Dan oh. 

Tepat di situ. Yuki tak sanggup mencegah tubuhnya merespon. Punggungnya melengkung dan pinggulnya terangkat dari futon dengan sendirinya. Mungkin memang ini yang dibutuhkan Yuki saat ini, sentuhan yang tanpa tedeng aling-aling, secepat mungkin membawanya ke puncak kenikmatan. "Ngh. Ya. Anh... di situ. Mmmmh," Yuki menggerakkan pinggulnya, membawa jemari Shintarou makin dalam.

Shintarou nyengir senang. Otot tubuh Yuki mulai mencengkeram jari-jarinya dan ia pun tak menunggu lagi untuk bergerak. Shintarou nyengir senang. Otot tubuh Yuki mulai mencengkeram jari-jarinya dan ia pun tak menunggu lagi untuk bergerak. Nafas pria itu pun mulai tersengal saat Shintarou menekuk jari-jarinya. Menekan kuat di titik itu tiap kali dan dia tahu kalau diteruskan Yuki akan klimaks dengan cepat. Shintarou merunduk, mencium Yuki sekilas dan kembali merendahkan suaranya 

"Kore de ee?" tanyanya dengan senyum miring. Menekan dan menggetarkan jari-jarinya di titik sensitif itu.

Yuki mencoba memikirkan kalimat yang cukup cerdas dan tajam untuk memarahi Shintarou, tapi demi Tuhan ia tidak bisa menemukan satupun. Jemari Shintarou yang begitu mengenal tiap inci tubuhnya menekan titik sensitifnya tanpa ampun dan ia mengerang. Kalau ia membiarkan Shintarou terus melakukannya, ia yakin akan mencapai klimaks dalam sekejap mata, tapi bukan itu yang diinginkannya. Satu tekanan kuat membuat punggungnya melengkung jauh dari futon dan ia tersengal-sengal saat kembali berbaring. 

"Iya, motto...," akhirnya Yuki menemukan suaranya kembali. "Omae ... ore no naka ni. Ngggghhhh!"

"Honma?" tanyanya dengan nada ditarik-tarik. Kalau sedang begini, Yuki selalu tampak menggiurkan. Tubuhnya yang ramping menggeliat dan nafasnya yang tersengal membuat Yuki terlihat seksi sekali. Ditariknya keluar jarinya, sekali lagi menggoda lingkaran otot luarnya dan mencium Yuki. 

Shintaro mengangkat tubuhnya sekilas, mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan pelumas tapi tak menemukan apapun. Sebenarnya dia tak ingin sekasar itu pada Yuki tapi apa boleh buat. Shintarou merunduk, meletakkan kedua tungkai Yuki di atas pahanya dan menekankan ujung kemaluannya ke jalan masuk ke tubuh Yuki.

"Honma ni, kawaee ya de." Bisiknya seraya mulai menekan masuk ke dalam kehangatan yang sudah begitu familiar itu.

Yuki tak berhenti memelototi Shintarou yang terus mengatakan bahwa ia tampak imut. Tapi suara dalam berlogat Osaka itu sungguh seksi dan kalau mau jujur ia sungguh menyukainya. Walau begitu tetap aja ia berharap Shintarou berhenti bicara dan mulai melakukan sesuatu. Ia menarik napas lega saat akhirnya Shintarou memposisikan dirinya di depan jalan masuk tubuhnya, tapi menjarit saat merasakan kemaluan Shintarou menekan masuk tanpa bantuan pelumas apapun. Shintarou memang sudah mempersiapkan dirinya dan ini juga bukan pertama kalinya mereka melakukannya tanpa pelumas, tapi dimasuki oleh sesuatu yang besar dan keras itu rasanya tetap luar biasa. Nyeri dan nikmat yang menegangkan.

"Ngh. Akiiii~" erang Yuki, sebelah tangannya menarik rambut panjang Shintarou sementara yang satunya meraih kemaluannya sendiri. Ia menggenggam dan menarik bagian tubuhnya yang terasa panas itu, mencoba rileks dan membawa kemaluan Shintarou masuk makin dalam.

Shintarou menggeram karena tubuh Yuki yang mencengkeram secara reflek sebagai pertahanan. Memang, bercinta dengan persiapan minim seperti ini rasanya selalu lebih menyiksa tapi entah kenapa juga lebih nikmat dan menggairahkan. Yuki juga tampak mulai menikmati dengan menyentuh dirinya sendiri seperti itu. Shintaro berjengit karena tarikan Yuki di rambutnya dan itu membuatnya makin bersemangat. Kedua tangannya menahan lutut Yuki dan Shintarou mulai bergerak. Hentakan tajam dan pendek yang ia tahu selalu disenangi Yuki dan jarang dilakukannya karena Shintarou senang membuatnya sebal. 

Bagaimana ya, Yuki seksi sekali kalau sedang seperti itu. Shintarou tak akan tahan untuk tidak menggodanya dan membuatnya menjerit dengan cara yang berbeda. Tapi kali ini sepertinya Shintarou kangen juga pada temannya itu. Dan Yuki yang tersengal dan menggeliat di bawahnya ini memang... "Mmnh...kau seksi sekali..." lenguhnya seraya menekan keras.

Yuki tak dapat menahan kelopak matanya untuk tidak terpejam setiap Shintarou menekan masuk dengan kuat dan cepat. Shintarou yang terasa besar dan panas di dalam dirinya menggesek bagian dalam dinding jalan masuk tubuhnya dengan nikmat sekali. Tangannya menarik kemaluannya dengan sedikit gerakan berputar, menikmati getar-getar nikmat yang mulai mengaliri seluruh tubuhnya. Dapat dirasakannya cairan hangat mulai keluar dari ujung kemaluannya. Yuki membiarkan cairan itu melapisi jemarinya dan menggerakkan genggamannya lebih cepat. 

Satu sentakan Shintarou membuat punggungnya melengkung lagi dan ia terengah-engah. Yuki tidak menyangkal bahwa pujian-pujian Shintarou yang beruntun membuatnya makin terangsang. Ditariknya Shintarou mendekat. 

"Akiii. Mmmnh. Motto. Aaah, mada...," Yuki menjilat bibirnya yang tiba-tiba terasa kering. "...mada todoiteru... ore no naka ni... mmh..."

Shintarou menjilat bibirnya lagi. Pinggulnya terus bergerak dengan konstan. Tak ingin buru-buru memenuhi keinginan Yuki. Sedikit kejam, memang, tapi dia suka bertingkah seperti itu. Lagipula, dia ingin membuat Yuki memohon dan mengerang lebih keras lagi. Tak peduli temannya itu akan memukul atau menendangnya, Shintarou tak akan mengabulkan keinginannya sebelum dia puas.

"Demi Tuhan... Argh! Jangan mencengkeram sekencang itu..." Shintarou menggeram.

"Dakara!" Yuki melepaskan lututnya dari pegangan Shintarou kemudian mengaitkan tungkainya ke punggung Shintarou, menariknya merapat sembari mencengkeram kuat-kuat. Pantatnya membentur pinggul Shintarou, menimbulkan suara basah yang membuatnya makin bersemangat. "Berhenti menggodaku, Aki! Hngh!"

Shintarou melenguh karena Yuki sepertinya sama sekali tak berniat untuk mengendurkan pertahanannya. Mungkin juga karena sudah tak tahan. Shintarou suka sekali. Diletakkannya kedua tangannya di pinggul temannya untuk mempercepat hentakannya. Cengirannya bertahan untuk beberapa saat sampai dilihatnya kening Yuki yang berkerut tak suka sementara wajahnya sudah merah sekali. Shintarou pun beringsut, menggeser pinggulnya sedikit dan menghujam dalam-dalam ke tempat yang diinginkan Yuki. 

"Ugh! Totemo...anta no naka ni... saikou"

"Ngh. Tentu saja," Yuki berusaha mengangkat dagu sombong seperti biasa tapi tak kuasa karena sentakan Shintarou tepat ke tempat yang diinginkan dan dibutuhkannya. Memang suatu permainan yang selalu mereka mainka setiap kali bertemu, Shintarou akan menggodanya setengah mati dan Yuki akan selalu memarahinya dengan angkuh. Tapi Yuki harus mengakui bahwa hanya pria ini saja yang mampu membuatnya benar-benar rileks dan menjadi dirinya sendiri. 

Bukan sebagai anak tertua keluarga Keigo, bukan sebagai dokter bedah ortopedi yang cukup ternama. Hanya sebagai Kubota Yuki, laki-laki lajang yang memiliki teman bernama Akiyama Shintarou.

Shintarou tahu dia bisa membawa permainan mereka ini sepanjang waktu yang ia mau. Bertahun-tahun melakukan ini, Shintarou tahu dengan baik kemampuan tubuh Yuki. Di mana harus disentuh, di mana Yuki tak suka disentuh. Di mana harus menekan keras atau di mana harus memperlakukan dengan lembut. Tentu saja mereka bukan partner eksklusif. Shintarou tetap tidur dengan orang lain dan dia tahu Yuki pun kadang begitu. Tapi memang tak ada yang bisa benar-benar membuatnya merasa sepuas dengan Yuki. Hentakannya melambat, menekan lebih dalam karena tak ingin Yuki selesai terlalu cepat.

Yuki menarik napas dan meraih wajah Shintaro, menyentuh pipinya lembut. "Sebentar, Aki. Ah. Ahnnn~ jangan bergerak dulu."

Shintarou terengah, memfokuskan perhatiannya pada perkataan Yuki. Gerakannya makin melambat sebelum benar-benar berhenti. Digesekkannya ujung hidungnya dengan hidung Yuki yg mancung. 

"Hmm? Nanya?"

Yuki melingkarkan lengannya di bahu Shintaro dan menarik tubuhnya bangkit, perlahan-lahan karena Shintarou masih berada di dalam tubuhnya hingga ia berada dalam posisi berlutut di pangkuan temannya itu. Yuki bergerak sedikit dan mendesah pelan. Dengan begini ia lebih bisa mengendalikan permainan mereka, dan juga bisa dengan leluasa melumat bibir Shintarou yang menggoda. "Mmmmh, Aki~"

Gerakan Yuki membuat Shintarou menggeram rendah karena selangkangan terasa tertarik dan terjepit kuat. Pun begitu, ia nyengir lebar saat Yuki duduk di pangkuannya dan menciumnya. Dipeluknya pinggang dokter itu dan mengelus punggungnya. Shintarou beringsut dan mulai menekan ke atas dengan tajam hingga kepala Yuki terlempar ke belakang Shintarou melesakkan giginya ke leher jenjang nan putih menggoda itu. "Koko ya de?" bisiknya.

"Nnngh, ah~" Yuki membiarkan punggungnya melengkung dengan sendirinya akibat sentuhan Shintarou jauh di dalam tubuhnya. Jemarinya mencengkeram kuat bahu dan rambut Shintarou sementara ia menggerakkan pinggulnya dengan bersemangat, menggesekkan kemaluannya ke perut Shintarou sekaligus membawa Shintarou masuk lebih dalam. "Kimochi ii, Aki~"

Dia tak peduli dibilang sombong tapi desahan Yuki adalah sesuatu yang sudah diketahuinya dengan pasti. Tak urung kepalanya tetap melambung mendengarnya dan dilumatnya bibir Yuki tanpa ampun. Kepalanya pun mulai terasa pening dan Shintarou sesekali memejamkan matanya seraya melenguh. 

"Nnngh... Yuki...Ikisou." desisnya seraya mempercepat gerakannya, menghujam lebih dalam dan keras.

Jemari Yuki menggenggam bahu Shintarou yang makin licin oleh keringat, napasnya memburu tak tertahan. Penglihatannya sudah tertutup percikan-percikan cahaya yang semakin besar dengan sentakan Shintarou yang semakin dalam dan tepat ke tempat yang diinginkannya. 

Digigitnya leher Shintarou yang jenjang, kemudian berbisik di telinga pria itu. "Buat aku merasakannya, Aki."

Getaran halus suara Yuki dan hembusan nafasnya dibalas Shintarou dengan geraman rendah. Satu tangannya menyelip ke antara tubuh mereka, menggenggam bagian tubuh Yuki yang berdenyut hangat dengan mantab dan menyamakan gerakan tangannya seiring dengan gerakan pinggulnya meski berlawanan arah. Tangannya menghentak ke bawah jika pinggulnya menyentak ke atas. Bibirnya mengincar tonjolan di dada Yuki dan Shintarou nyengir lebar saat tubuh Yuki bereaksi dengan hebat dan tersengal tak putus.

"Mngh...sugoi...kawaee ya de... Yuki." bisiknya setelah memaksa Yuki untuk balas menatapnya.

Yuki melemparkan kepalanya ke belakang dan mengeratkan cengkeramannya pada Shintarou. Digerakkannya pinggulnya, sudah nyaris tak beraturan karena ia sungguh sudah nyaris tak tahan lagi.

"Berhenti menyebutku... angh, seperti itu, mmmh," Yuki melumat bibir Shintarou lagi dan berbisik di depan bibirnya, "Ikitai." 

Shintarou tertawa pelan. Entah bagaimana dia bisa melakukannya karena saat ini tubuhnya dilingkupi sensasi yang begitu nikmat, siap menariknya ke dalam pusaran kenikmatan tiap saat. Pinggulnya menyentak secepat ia bisa, membuat tubuh mereka terguncang tak beraturan. Shintarou menarik nafas tajam, menahan diri agar Yuki mencapai klimaksnya lebih dulu karena sungguh, ia ingin melihat ekspresi Yuki saat ia tiba di puncak kenikmatan itu. 

"Aku tak akan...argh...berhenti bilang itu... mngh... Yuki." Ibu jarinya menekan ke dalam celah di ujung kemaluan Yuki dan jari-jarinya menekan keras. "Totemo...kawaee ko yakara..."

Yuki memejamkan mata, menikmati cumbuan Shintarou yang membuat seluruh tubuhnya bergetar tak terkendali. Tubuhnya mengejang kuat saat jemari Shintarou menggenggam erat kemaluannya. Dicengkeramnya Shintarou kuat-kuat, merasakan gesekan kulit Shintarou yang panas dengan bagian dalam tubuhnya, memberikan gelombang kenikmatan yang mulai menyapunya dengan kuat. Kemudian dirasakannya ujung jari Shintarou menekan ujung kemaluannya, dan Yuki tak tahan lagi. Dibiarkannya gelombang itu menyeretnya, menghempaskannya dan meledak dalam tubuhnya seiring suaranya menyebut nama Shintarou setengah terisak.

Shintarou menatap lekat-lekat wajah Yuki. Bagaimana matanya terpejam karena nikmat yang tak tertahan, bagaimana namanya meluncur dari bibir Yuki yang basah dan begitu merah, bagaimana tubuhnya mengejang dan mencengkeram erat. Sebuah senyum puas menghiasi bibir Shintarou dan matanya terpejam karena kenikmatan itu mulai mendesak kuat dalam tubuhnya sendiri. Dia menghentak beberapa kali lagi sebelum akhirnya menyerah dan membiarkan dirinya tersapu gelombang kuat itu. Terengah, Shintarou mengecupi wajah Yuki dengan sayang.

Yuki membiarkan tubuhnya menyelesaikan klimaksnya, menikmati getaran-getaran lezat itu, dan rasa hangat dari Shintarou yang mengisi penuh tubuhnya. Dibalasnya kecupan-kecupan hangat Shintarou dengan lembut, menyibakkan rambut Shintarou untuk menatap langsung ke matanya. 

"Itsumademo kawaranai, omae," tiba-tiba Yuki tak tahan untuk tidak tersenyum dan mengecup lembut ujung hidung Shintarou.

Kedua lengannya memeluk erat pinggang Yuki, menikmati percikan-percikan kecil di sekujur tubuhnya. Mendengar perkataan Yuki, Shintarou nyengir, memagut rahang persegi Yuki pelan-pelan. 

"Nanya? Kau ingin aku berubah? Nanti kecewa? Nanti tak mau main denganku lagi?"

"Mmmhm," Yuki memagut pelan bibir Shintarou. "Karena kau tak pernah berubah makanya aku terus kembali ke sini." Disurukkannya wajahnya ke lekuk bahu Shintarou, lalu menghembuskan napas dan tertawa. "Demi Tuhan, aku tidak bisa bergerak sedikitpun."

"Senang bisa memuaskanmu, Bocchan." gumamnya sambil cengengesan lalu ikut tertawa bersama temannya. Dengan pelan didorongnya tubuh Yuki sampai terbaring di futon lalu perlahan menarik tubuhnya keluar. Lengannya kemudian menjangkau kotak tisu dan mengambil beberapa lembar untuk membersihkan tubuhnya dari bekas bercinta mereka. Beralih pada Yuki sembari terkekeh dan melakukan hal yang sama. Baru kemudian berbaring di sebelah temannya itu.

Pelan Yuki mengerang saat Shintarou menarik dirinya keluar. Saat itu selalu berbahaya karena bisa saja ia atau Shintarou terangsang lagi. Tapi hari itu setelah hasratnya terpuaskan, seluruh kelelahan yang tadinya terlupakan kembali melanda. Tapi bukan kelelahan bercampur rasa gelisah seakan-akan ada yang kurang seperti yang dirasakan Yuki sebelum bertandang ke tempat ini. Sekarang ia merasa damai dan tenang, melihat sosok Shintarou yang dengan hati-hati membersihkan tubuh mereka berdua dari bekas bercinta. Ditariknya lengan Shintarou agar temannya itu ikut berbaring di sisinya. Sepertinya ia tetap butuh kehangatan seseorang untuk tertidur.

Shintarou menciumnya, hangat dan lembut. Tanpa banyak protes mengikuti keinginan Yuki dan menariknya merapat padanya. Tuan muda yang satu ini memang tak bisa ditolak dan Shintarou selalu dengan senang hati menuruti keinginannya. Ditariknya pelan selimut tipis untuk menutupi tubuh mereka karena meskipun cuaca sedang bagus, jatuh tertidur tanpa busana bukan pilihan bijaksana. Kepalanya terangkat sekilas ke arah shoji yang setengah terbuka. Lalu tertawa pelan mendapati sebuah nampan dengan dua gelas teh dingin terdorong perlahan.

"Nanti saja tehnya." ujarnya pada siapapun yang membawa teh itu tanpa mengalihkan perhatian dari Yuki yang menyandarkan kepala di atas lengan Shintarou.

Yuki membenamkan wajah ke dada Shintarou, menyusup dalam-dalam ke balik selimut. Getaran halus akibat tawa Shintarou membuatnya membuka sebelah mata. "Teh apa?"

Shintarou menyentuhkan bibirnya ke kening Yuki. "Hmm? Oh. Ada yang mengantar teh. Mungkin Naito." ujarnya santai.

Kedua mata Yuki langsung membelalak terbuka dan ia mengangkat kepalanya. Tapi hanya mengangkat kepala beberapa senti saja sudah membuat pandangannya berputar, dan ia terpaksa menyandarkan kepalanya kembali. "Menurutmu apa dia melihat kita?" tanya Yuki, memejamkan mata lagi dan menghirup dalam-dalam aroma Shintarou.

Shintarou mengedikkan bahunya. "Kalaupun iya, biar saja. Dia kan sudah besar." Jari-jarinya menyentuh cambang halus di sisi wajah Yuki dan mengelus pelan. Tahu bahwa sentuhan seperti itu selalu membuat Yuki merasa nyaman. "Kau keberatan?" tanyanya.

Sentuhan lembut Shintarou membuat Yuki makin merasa nyaman dan matanya terpejam perlahan. "Mmmm. Aku tidak peduli. Itu kan urusanmu," sahutnya dengan senyum miring di bibirnya. 

Shintarou nyengir. Dikecupnya lagi ujung hidung Yuki dengan lembut. "Nara ee. Tidurlah. Nanti kubangunkan kalau waktunya makan."

Yuki menyusupkan wajahnya semakin jauh ke lekuk leher Shintarou dan melingkarkan lengannya di perut temannya itu, pertama kalinya merasa benar-benar nyaman dalam beberapa minggu terakhir. Kantuknya datang tanpa bisa ditahan dan ia terlelap di dalam pelukan hangat temannya.

Shintarou sama sekali tak mengantuk, sebaliknya sebenarnya dia malah segar sekali. Namun dibiarkannya temannya itu terlelap dalam pelukannya dan sedikit merasa seperti seorang suami yang sangat memanjakan istrinya. Shintarou tertawa geli tanpa suara dan menatap langit-langit kamar itu, berpikir mungkin kalau yang barusan bagus juga kalau dijadikan bahan tulisan untuk novel berikutnya. Shintarou mengangguk-angguk puas.

-end-

Ih, terakhirnya gejeh banget deh LOL

Sunday, April 24, 2011

[fanfic] AU Ma-kunxTori - Of Late Supper and Being Together

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori
Rating: PG-13. R-ish at the end.
Warning: BL, AU, OOC. Men in bed.
Disclaimer: Toei, Top Coat, Box Corp. I do not own anything and/or anyone
Note: Setting in the future while I gather information about their wedding.




Sedan sport merah itu berhenti dengan mulus di dalam garasi. Mesinnya yang halus nyaris tak menimbulkan suara hingga pengemudinya tak perlu khawatir membuat keributan saat hari sudah sangat larut seperti itu. Sekejab kemudian lampunya padam dan pintu mobil terbuka, menguak sosok jangkung yang melangkah keluar, membungkuk sejenak untuk mengambil tas dan jaketnya, menutup pintu, menekan tombol pengunci otomatis dan melangkah masuk ke dalam rumah melalui pintu penghubung dari dalam garasi.

Di dalam rumah sudah gelap dan Masahiro harus meraba-raba agar tak menabrak atau menjatuhkan sesuatu. Tas dan jaketnya diletakkan di atas counter dapur yang dilewatinya, membuka kulkas untuk mengambil minum. Setelah dahaganya terpuaskan, pemuda jangkung itu mendesah dan berusaha melirik arlojinya. Sudah nyaris jam 2 pagi. Badannya rasanya sudah mau rontok karena sudah tiga hari berturut-turut pulang pagi.

Masahiro benci kesibukan seperti itu karena membuatnya jadi tak bisa melakukan yang lain tapi dia tak punya pilihan lain selain mengerjakan semuanya sampai tuntas. Mendesah sekali lagi, Masahiro membiarkan kaki panjangnya melangkah ke sudut lain rumah, ke kamar tidurnya.

Kamar itu juga gelap. Mungkin lebih tepat dibilang temaram karena tirainya tak ditutup, membuat lampu yang menerangi halaman belakang ikut menyusupkan sinar ke dalam kamar itu. Samar, Masahiro menangkap gundukan di salah satu sisi tempat tidur besar di tengah ruangan. AC menyala dengan suhu tak terlalu dingin, cukup terasa nyaman untuk mengantar tidur. Masahiro mendekati sisi tempat tidur itu dan tersenyum saat melihat Tori berbaring miring, tidur dengan lelapnya dan bibirnya sedikit terbuka.

Masahiro menunduk, menyibak dengan hati-hati rambut yang menutupi kening Tori dan mengecup pelan. Sebisa mungkin tak membangunkan pria itu. Namun tindakannya itu tetap membuat Tori beringsut dalam tidurnya dan bergumam pelan. Masahiro memberanikan diri untuk mengecup hidung Tori dan Masahiro tahu dia sudah membuat pria itu terbangun.

Dikecupnya bibir tipis yang selalu terasa manis itu dan tersenyum saat mendapat balasan. Sekali pagutan pelan lalu kecupan ringan dan mata Tori mulai terbuka dengan kerjapan pelan.

"Maaf membangunkanmu." Bisiknya seraya duduk di sisi Tori.

Tori bergumam, memiringkan tubuhnya lebih dalam dan mengecup dagu pemuda itu. "Baru pulang?"

Masahiro mengangguk. Ditahannya lengan Tori agar pria itu tak bangkit. "Tori tidur lagi saja. Aku mau makan dan mandi setelah itu tidur."

"Hmm..." Tori berbaring telentang. "Ada lasagna di microwave. Ma-kun panaskan saja."

Lagi-lagi Masahiro mengangguk dan mengecup lembut kulit di bawah bibir Tori sebelum beranjak meninggalkan kamar. Dia kembali ke dapur, membuka microwave dan mendapati lasagna yang dimaksud Tori. Ditekannya tombol dan membiarkan microwave bekerja sementara membuka-buka kulkas untuk mencari-cari makanan yang lain. Ada puding susu yang dibuat Masaki dua hari yang lalu, sayur dan buah, beberapa batang coklat dan setengah kotak fruit cake La Petite. Masahiro mengerucutkan bibirnya lalu beralih mengambil botol jus.

Suara pintu kamar yang membuka dan menutup lagi membuatnya mengangkat kepala dan melihat Tori berjalan ke arahnya. Tangannya ditangkupkan di depan wajah untuk menutup kuapan dan Tori tersenyum padanya.

"Kok bangun?" Tanya Masahiro saat Tori berdiri di dekatnya, mengamati bungkusan anggur di tangan Masahiro. "Nanti shift pagi kan?"

Tori menggeleng. "Tak apa. Ma-kun mau buat apa?"

"Entah. Aku lapar sekali."

Tori mengerutkan kening tak suka. "Tadi tidak makan malam ya?"

Masahiro meringis. "Makan kok. Sedikit." Tambahnya nyaris tak terdengar.

Tori mendengus. "Kalau maagnya kambuh, aku tak mau tahu ya." Dia berbalik dan membuka kulkas, mengeluarkan bawang bombay, daun selada, irisan salmon dari freezer dan meraih roti tawar dari atas counter.

"Eeh? Tori mau apa? Tidur saja! Nanti mengantuk loh. Aku tak mau Tori dimarahi Aniki." Masahiro memprotes tapi langsung terdiam begitu Tori mengambil pisau dan mengacungkannya dengan mengancam. "Duduk saja." Perintahnya pelan tapi tak bisa dibantah.

Masahiro menurut dan duduk setelah mengeluarkan lasagna panas dari dalam microwave. Diamatinya Tori mencuci daun selada dan bawang bombay, memotong-motongnya lalu beralih memotong-motong roti tawar menjadi kubus kecil-kecil dan memanggangnya di dalam microwave. Sementara menunggu, Tori meletakkan ketel di atas kompor dan merebus air. Tak lama, dia sibuk mencampur semua sayuran dan roti panggang ke dalam mangkuk beserta potongan tipis daging salmon dan memercikinya dengan minyak zaitun.

Dengan pelan diletakkannya di hadapan Masahiro beserta secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Masahiro mengangkat kepala dan tersenyum. Meskipun tak bisa menyembunyikan kerutan di keningnya melihat Tori menyalakan rokok dan menyesap kopi.

"Kenapa malah bikin kopi? Nanti tak bisa tidur loh."

Tori tertawa kecil. "Hmm... Aku bisa tidur kalau aku mau. Ma-kun harusnya tahu itu kan?"

Masahiro merengut dan Tori menjulurkan badannya untuk mengecup bibirnya. Cengirannya tampak begitu lucu karena wajahnya yang masih terlihat sangat mengantuk. Masahiro mencubit hidungnya dengan gemas dan memagut bibir Tori dengan pelan sebelum melanjutkan makan. Dengan sebelah tangan, Masahiro mengisyaratkan Tori untuk duduk di sebelahnya dan Tori menurut. Tori mengusap tengkuknya dan menyesap kopinya perlahan.

"Aku tak harus ditemani loh. Tori tidur saja. Jangan memaksa begitu." Gumam Masahiro di tengah kunyahannya.

"Dibilang, aku tak apa-apa kok. Kalau tak begini, minggu ini aku kan tak akan ketemu Ma-kun sama sekali." Bisik Tori sambil menyandarkan pelipisnya di pundak Masahiro.

Masahiro terdiam. Pekerjaannya memang sedang banyak sekali. Dia selalu pulang larut dan kadang baru bangun kalau Tori sudah berangkat. Memang sih mereka tetap menelepon dan bertukar pesan tapi tetap saja rasanya aneh kalau sudah tinggal serumah tapi hanya sempat bertemu dalam waktu yang sangat singkat. Pekerjaan Tori juga sedang banyak karena sepertinya peserta interhigh tahun ini brutal-brutal sekali sampai banyak yang terluka.

Masahiro sudah bosan meyakinkan dan Tori pun tak benar-benar mengeluh. Dikecupnya puncak kepala Tori dengan lembut dan mengangsurkan sesuap salad saat Tori hendak menghisap rokoknya. Tori tertawa pelan dan membuka mulutnya dengan senang.

"Enak?" Masahiro mengangkat alis saat Tori mengunyah.

"Tentu enak dong. Kan aku yang buat." Tegasnya sambil mengecup Masahiro sekali lagi. Masahiro tertawa dan memeluk pinggang Tori dengan erat, menghabiskan makanannya dengan lebih lahap.


Masahiro mengangkat alis saat mendapati Tori belum tertidur juga saat ia keluar dari kamar mandi, merasa lebih rileks dan segar sehabis mandi. Tori hanya tersenyum lembut dan mengundang Masahiro dalam pelukannya. Alis Masahiro terangkat makin tinggi saat ia memanjat naik ke tempat tidur, menyelusup ke dalam selimut dan berbaring di atas Tori, membalas pelukannya dengan hangat.

Pagutan pelan bibir Tori yang hangat di bibirnya membuat Masahiro mendesah dan merasa begitu nyaman. Kepalanya dimiringkan untuk memaksa Tori membuka bibirnya dan membiarkan Masahiro mereguk lebih banyak rasa manis yang bercampur pahit kopi dan getir nikotin. Tori mengelus dada dan punggungnya dengan sayang. Hangat telapak tangannya menembus piyama yang dikenakan Masahiro dan pemuda itu tak bisa menahan erangan puas meluncur dari bibirnya.

Tori menangkupkan tangannya di sisi wajah Masahiro, menatapnya penuh arti saat Masahiro menjauhkan wajahnya. "Capek?"

Masahiro tersenyum miring. "Aku tak pernah terlalu capek untuk yang satu ini, sensei." Bisiknya dengan suara yang agak serak.

Tori tertawa pelan, menyelipkan satu kakinya ke antara kaki Masahiro dan menggesek lembut. Masahiro merunduk untuk menciumnya dengan penuh hasrat.

Sejenak Masahiro tak peduli dengan pekerjaannya, tak peduli apakah mereka akan bangun terlambat nanti, tak peduli seberapa sering kesibukan semacam ini akan membuat mereka sulit bertemu. Karena saat Tori tersenyum padanya, saat Tori menciumnya, saat Tori mendesahkan namanya dengan lirih, saat Tori menyambutnya ke dalam tubuhnya yang hangat, saat Masahiro membuatnya menjerit dan berbisik di telinganya betapa ia mencintai Tori, Masahiro tahu saat-saat seperti itu lebih berharga dari apapun dan tak akan bisa ditukar dengan apapun.

-end-

Saturday, April 23, 2011

[fanfic] AU - Attention

Fandom: TeniMyu 2nd Season/Shinkenger/Decade
Cast: Wada Takuma, Matsuzaka Tori. Ogoe Yuuki, Koseki Yuuta, cameo Inoue Masahiro
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC, random
Disclaimer: I do not own anything
Note: Hahahaha.... Gue nulis apaan sih ini?


"Terima kasih," ujar Takuma dengan suara parau, mengangsurkan gelas yang sudah kosong setelah isinya habis ditenggaknya.

Tori tersenyum, mengambil gelas itu dari tangan Takuma dan mengisyaratkan dokter gigi itu untuk berbaring lagi. "Obatnya sudah diminum?" Tanyanya seraya merapikan selimut Takuma. Yang ditanya mengangguk dan meraih tisu untuk menyusut hidung. Tori menepuk-nepuk dada Takuma yang tertutup selimut.

"Kau sendiri? Baik-baik saja?" Tanya Takuma yang langsung disambung dengan bersin-bersin.

Tori tersenyum geli. "Aku selalu pakai masker, kok. Ada yang ribut kalau aku sampai lupa meskipun sudah kubilang kalau aku cukup tahan serbuk bunga."

Takuma meringis, melempar gulungan tisu ke arah tempat sampah yang dipindah tempat ke sebelah tempat tidurnya. "Bikin iri saja."

"Loh?" Tori tertawa. "Yuuki-chan tidak tahu kalau kau alergi?"

"Tahu. Aku sudah dimarahi kok." Tukas pria tampan itu setengah mengerutkan kening. "Siapa sangka punya pacar lebih muda tapi tak kalah cerewet denganmu."

Tori memukul lengannya dengan keras sampai Takuma mengaduh kencang. Ingin tertawa tapi keburu bersin-bersin lagi.

"Jangan kasar sama orang sakit dong." Ujarnya pura-pura merengut.

"Tidur lagi, sana! Aku mau buat makan malam." Tori mendengus seraya beranjak.

"Masak apa?" Tanya Takuma dengan mata berbinar.

Tori mengangguk. "Sup ginseng untukmu. Aku mau buat spaghetti untuk Yuuta-kun."

"Cih. Curang."

"Kau kan sedang sakit!"

"Cuma alergi!"

"Sampai demam begitu! Tak usah protes, deh."

Takuma menggerutu dan Tori menghela nafas. "Aku lupa kalau kau bisa manja begini kalau sedang sakit." Dengusnya sambil geleng-geleng kepala.

Takuma nyengir. "Siapa suruh kau baik padaku."

Tori mencibir dan berlalu keluar kamar. Dibongkarnya dapur kecil apartemen Takuma, mencari-cari celemek. Mengenakannya sambil bersiul-siul dan mengirim pesan pada Masahiro kalau dia sedang ada di tempat Takuma dan sepertinya akan pulang larut jadi pemuda itu tak perlu repot menjemput ke rumah sakit.

Sebenarnya hari itu Tori tak ada jadwal praktek tapi dia menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk pasiennya yang sedang ikut program rehabilitasi. Sewaktu mampir ke poligigi untuk mencari teman makan siang, dia diberitahu kalau Takuma ijin karena alerginya kambuh dengan parah sampai badannya demam. Tanpa berpikir dua kali, Tori langsung mengarahkan mobilnya ke apartemen Takuma setelah sebelumnya mampir di supermarket untuk membeli bahan makanan.

Dan benar saja, Takuma membukakan pintu untuknya dengan tampang kucel; mengenakan jersey Adidas biru lama kesukaannya, rambutnya berantakan tak disisir, hidungnya merah karena terus-terusan menyusut lendir, matanya juga merah dan berair. Tori buru-buru mendorongnya ke kamar dan memaksanya tidur seraya mengomel kenapa tidak telepon kalau memang butuh ditemani. Takuma hanya nyengir dan bilang kalau hanya demam seperti itu dia tak apa-apa sendirian. Tori menjitak kepalanya, masih terus mengomel tentang Yuuta yang pasti jadi merana karena tak ada yang mengurus sementara Takuma sakit.

Tori berdecak menatap bungkusan bekas pesan antar yang memenuhi tempat sampah dapur mungil itu. Mau bagaimana lagi? Takuma pasti tak bisa memasak dan meminta Yuuta untuk memesan makanan. Dibongkarnya belanjaannya; roti, susu, telur, bubur dan mie instan, buah-buahan, sayur-sayuran, daging dan bahan lain. Disimpannya dengan rapi di dalam kulkas dan lemari dapur.

*****

"Tadaimaaaa~!!"

Tori mengalihkan perhatian dari saus daging yang tengah dibuatnya, mengecilkan api dan melongok ke ruang depan. "Yuuta-kun? Okaeri~"

Dilihatnya Yuuta melepas sepatunya dan melemparnya dengan tak rapi di genkan. Anak itu tersenyum lebar saat melihat Tori. "Tori-nii san!! Yay! Yay! Makan enaaaak!!"

Tori tertawa lalu menoleh pada Yuuki yang berdiri terpaku di belakang Yuuta. Yuuki menatapnya dengan bingung. "Kenapa Matsuzaka-sensei ada di sini?" Lalu seperti sadar kalau mungkin ucapannya tak sopan, Yuuki buru-buru menunduk. Tori tersenyum dan melambaikan tangannya pada anak itu.

"Wada di kamar." Ujarnya memberitahu sementara Yuuta melonjak-lonjak mengitari Tori dengan senang sampai Tori harus menangkap anak itu karena dia mulai pusing melihatnya.

"Tori-nii san! Tori-nii san! Masak apa? Baunya enak!"

"Spaghetti."

"Yaaaaay!! Spaghetti! Spaghetti!"

Tori menyentil kening adik Takuma yang lucu itu. "Sebentar lagi jadi, kok. Yuuta-kun ganti baju dan cuci tangan dulu ya. Jangan berisik, kasihan Wada."

"Un! Are? Ogoe-kun mana?"

Tori menunjuk ke arah pintu kamar Takuma. Yuuta mengangguk-angguk. Anak itu melompat-lompat ke kamarnya dan sebentar kemudian keluar lagi. Sudah mengganti pakaiannya dengan kaus dan celana pendek dan memutuskan untuk mengamati Tori membuat makan malam. Tori meladeni celotehannya dengan senang sambil melirik ke arah pintu kamar Takuma dan tersenyum kecil.

Alisnya terangkat saat melihat Yuuki keluar dari kamar itu dan menutup pintu dengan pelan. Anak itu duduk di sebelah Yuuta dan ikut mengamati Tori memasak.

"Tidur?" Tanya Tori.

Yuuki mengangguk. "Masih demam ya, sensei?"

"Tadi sih masih." Jawab Tori sambil menaburkan oregano ke dalam saus daging. "Tapi kurasa tak terlalu parah kok. Yuuki-chan tenang saja. Besok juga sudah baikan."

"Onii-chan tidak gampang mati, kok" celetuk Yuuta sambil mencolek saus daging yang sudah matang. Pelototan Yuuki dan tawa Tori malah membuatnya memasang tampang polos tak berdosa.

"Sensei pintar masak ya?" Komentar Yuuki seraya ikut mencicipi saus daging kemerahan di dalam panci.

Tori mengedikkan bahu. "Aku tinggal dengan Nenek waktu SMU. Beliau mengajariku macam-macam dan bilang kalau tak ada salahnya laki-lakipun bisa masak. Benar juga sih, aku jadi bisa menghemat banyak waktu tinggal sendiri. Lagipula, ini tak seberapa kok." Ujarnya setengah tersipu.

"Bohooong! Masakan buatan Tori-niisan lebih enak dari buatan Onii-chan." Tukas Yuuta lagi dan kali ini disetujui Yuuki yang mengangguk-angguk.

"Sou?" Tori terpingkal. "Terima kasih. Kalau begitu, kalian mau makan apa lagi? Aku tadi belanja banyak."

Yuuta dan Yuuki berpandangan lalu menjawab bersamaan sambil mengangkat tangan, "Hanbagaaaaaaa~~!!!"

******

Takuma benar-benar heran bagaimana caranya dia akan istirahat kalau rumahnya jadi ramai begini. Tidur beberapa jam memang membuat demamnya turun dan saat keluar kamar didapatinya dapurnya penuh dengan Tori, adiknya dan Yuuki. Dua anak laki-laki itu tampak seru memperhatikan Tori yang berkutat di depan kompor. Mereka bersorak seru saat Tori membalik daging dengan melemparnya dan mendarat dengan sempurna di atas wajan lagi.

Takuma menggelengkan kepalanya, mencuri kesempatan untuk mengecup pipi Yuuki yang masih tak sadar kalau dia ada di situ.

"Kuma!" Yuuki mendesis kaget dan menoleh. "Kok sudah bangun? Demamnya bagaimana?"

"Sudah baikan kok."

"Mana?" Sela Tori seraya melangkah maju dan menyentuhkan keningnya dengan kening Takuma. Diam sesaat lalu Tori mengangguk. "Memang sudah mendingan sih."

"Kalian buat apa sih? Berisik sekali." Takuma buru-buru melangkah mundur karena Yuuki sudah siap merengut.

Tori pun meringis menyadari itu dan mendorong Yuuta dengan lembut agar menyingkir dari kompor karena anak itu berdiri terlalu dekat. "Makan malam." Jawab Tori pendek. "Daripada itu, kalian harus mandi dulu sebelum makan ya."

"Asyik! Mandi bareng yuk, Ogoe-kun!" Pekik Yuuya seraya menyeret Yuuki yang meronta. Takuma terperangah dan Tori menjatuhkan sendok kayu dalam genggamannya.

"Oi, Yuutaaa!! Mandi sendiri! Kalian kan sudah besar!" Seru Takuma seraya menyusul kedua anak itu ke kamar mandi sementara Tori sudah terpingkal-pingkal.

Takuma kembali ke dapur dan duduk di meja makan seraya berdecak kesal. "Dasar anak kecil." Tampaknya gagal membujuk dua anak itu untuk mandi sendiri-sendiri.

Tori melepas celemeknya dan bergabung dengan Takuma di meja makan seraya membawa secangkir kopi. "Iri ya? Padahal kau kan yang ingin mandi berdua Yuuki-chan?" Godanya.

Takuma hanya mencibir. Ditatapnya kopi di cangkir Tori dengan ingin dan Tori mencibir. "Jangan berani-berani. Kau sedang minum obat."

"Tahu." Sungutnya sambil menyusut hidung. Pun diraihnya cangkir itu untuk menghirup aroma kopi yang menguar lalu ia mendesah. Tori memutar matanya dan buru-buru mengambil cangkirnya lagi sebelum Takuma benar-benar tergoda untuk meminum isinya.

"Maaf ya, kau sampai repot begini." ujar Takuma kemudian, mengamati Tori menata meja makan. Tori menyikut kepalanya sambil lewat. "Ngomong apa sih? Ini kan tak seberapa. Anggap saja aku mencicil hutangku."

Takuma mendengus. "Memangnya aku bilang kalau bayarannya boleh dicicil?"

"Wada kan baik." Tori iseng mengecup pelipis temannya itu.

PRAK!

Kedua pria itu menoleh kaget. Yuuki berdiri terpaku tak jauh dari mereka, koran-koran yang ditumpuk Takuma di dekat lemari es jatuh berantakan di dekat kaki Yuuki. Matanya yang besar melotot dan wajahnya merona menahan amarah.

"Ah, Yuuki-chan! Maaf ya. Yang barusan cuma bercanda, kok." Tori buru-buru menjelaskan sementara Takuma menjitak kepalanya dan melambaikan tangan agar Yuuki mendekat. Anak itu duduk di sebelah Takuma, masih memandang tak suka lalu mendesis saat Takuma meletakkan tangan di bahunya.

"Itu bukan apa-apa. Dia cuma iseng dan sudah kupukul kan?" Bisik Takuma.

"Bercandanya tidak lucu." Yuuki menukas dengan ketus.

"Gomen. Nanti hamburger bagianku untuk Yuuki-chan, deh. Maafkan aku ya." Tori masih berusaha membujuk.

Yuuki tampak menimbang sesaat. "Traktir aku es krim saja. Yang besar. Dan harus ada sekarang."

"Oi, Yuuki." Tegur Takuma dan lagi-lagi dibalas Yuuki dengan mendesis tajam.

Kedua alis Tori terangkat. "Es krim? Oke." Tori mengeluarkan ponselnya dari dalam saku lalu sibuk mengirim pesan. Tak lama, dokter itu tersenyum. "Sebentar lagi es krim-nya datang."

"Es kriiim!" Yuuta muncul begitu saja dan menggelayut di leher Tori. "Aku suka Tori-niisan!"

"Hai, hai." Tori menepuk lengan Yuuta yang mencekiknya. "Lepaskan lalu bantu aku menata makan malam ya. Wada, mandi sana."

"Apa maksudmu es krimnya akan datang sebentar lagi?" Tanya Takuma tak mengerti. Seingatnya konbini dekat rumahnya tak melayani pesan antar.

Tori nyengir. "Tambah satu orang lagi tak apa-apa ya, Wada? Masahiro ngambek karena aku seharian di sini."

Takuma mendesah. "Ya sudah. Setidaknya kalau ada Inoue-kun, kau tak akan iseng lagi dan membuat Yuuki cemberut. Apa maksudnya sih yang tadi itu? Kau mau aku diputuskan ya?"

"Bercanda, Wada. Kau kan tahu aku sayang padamu. Mana tega aku melihatmu merana. Mandi!"

Takuma bersungut-sungut dan menyeret tubuhnya ke kamar mandi. Rasanya air hangat akan membuatnya merasa lebih enakan karena kepalanya mulai terasa pusing. Entah karena demamnya atau karena suasana yang ramai itu. Takuma tak terbiasa dengan rumah yang ramai. Dia bisa saja meminta Tori pulang tapi tentu saja dia tak akan melakukannya karena Yuuta tampak senang. Yuuki pun, meski cemberut, mau membantu Tori karena sudah diiming-imingi es krim.

Tentu saja makan malamnya pun riuh karena Masahiro datang tak lama kemudian bukan hanya dengan 2 mangkuk besar es krim berukuran 1 liter tapi juga membawa choco lava dari La Petite. Pelipis Takuma berkedut melihat banyak makanan manis di dalam lemari esnya. Pun menatap iri pada spaghetti dan hamburger buatan Tori karena ia hanya boleh makan sup ginseng.

Selesai makan, Takuma merebahkan tubuhnya di sofa, menyandarkan kepala di pangkuan Yuuki yang sudah duduk di situ lebih dulu sambil menikmati es krim. Yuuta dan Masahiro membantu Tori mencuci piring. Tak lama mereka muncul di ruang tengah dan Yuuta sudah sibuk mengunyah kue coklat yang dibawakan Masahiro tadi.

"Jangan lupa sikat gigi ya." Gumam Takuma dan dua anak laki-laki di dekatnya itu spontan menyahut. "Haai." Takuma hanya sanggup geleng-geleng kepala.

Setelah Tori dan Masahiro pamit pulang, Takuma langsung mendesah lega. Dia beringsut agar bisa berbaring lebih nyaman dan membenamkan kepalanya ke perut Yuuki. Wajah Yuuki langsung merona.

"Kuma..." Bisiknya. "Ada Koseki-kun."

Takuma hanya bergumam tak jelas. Melirik sekilas dan melihat Yuuta ikut menyandarkan kepala ke lutut Yuuki. Yuuki menghela nafas. Telapaknya menyentuh kening Takuma dengan lembut. "Demam lagi ya?"

Takuma menggeleng. "Tidak. Capek saja."

"Kenapa tadi tidak tiduran saja di kamar?"

"Bau masakan Matsuzaka terlalu menggoda. Sampai-sampai hidungku tak mampet lagi." Gelaknya.

"Senang ya? Ditemani Matsuzaka-sensei?" Cibir Yuuki, mengulum sendok es krim.

"Tentu saja senang. Dia telaten kalau disuruh mengurus orang. Tapi aku lebih senang karena Yuuki ada di sini. Bagaimanapun, yang pacarku kan Yuuki."

"Gombal." Yuuki pura-pura merengut. Meski kemudian dia merunduk dan mengecup kening Takuma. "Cepat sembuh ya. Aku kangen masakan Kuma."

Takuma tersenyum dan memejamkan mata. Mungkin tak ada buruknya juga sesekali berkumpul ramai-ramai seperti tadi. Meski digoda Tori, meski Yuuta tak bisa berhenti melonjak-lonjak, meski Yuuki cemberut, dan meski Masahiro pun mengerutkan kening saat melihat Tori mengusap punggung Takuma, ia merasa diperhatikan dan sangat disayang.

-end-

Saturday, April 16, 2011

[fanfic] AU - Ma-kunxTori - Wedding Checklist : Invitation

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: BL. AU. OOC.
Disclaimer: I do not own anything and/or anyone.
Note: supaya PR gue gak makin numpuk, jadi lebih baik ini dimulai saja. Sorry kalo gejeh.




Masahiro meringis melihat wajah Tori yang berjengit kala memandang daftar tamu undangan yang baru saja diselesaikannya dengan Masaki. Buku tulis itu penuh dengan coretan berwarna-warni dan terisi nyaris seperempat jumlah keseluruhan halaman.

Tori membuka mulut dan Masahiro menahan nafas.

"Apa kita harus mengundang semua orang ini?"

Masahiro menggigit biskuit almond yang sejak tadi dipegangnya. "Umh... Makanya kan kuperlihatkan pada Tori dulu. Aku tak ingin ada yang terlewat."

Tori terdiam, sekali lagi menyusuri nama-nama yang tertera lalu bergumam. "Ini nyaris 500 orang loh, Ma-kun."

"Banyak kolega penting di situ."

Tori menggigit bibir. "Berarti tidak bisa tidak?"

Masahiro mengunyah dengan kesal. "Kalau tak diundang, aku bisa dimarahi Kazu-nii." Tukasnya.

"Aku bahkan tak tahu sebagian besar nama orang-orang ini." Gumam Tori lagi. Kedua kakinya diangkat ke sofa dan ditekuk di depan dada sebagai penyangga buku itu.

Pemuda jangkung di sebelahnya menggaruk tengkuk dengan frustrasi. "Tori mau bilang apa sih? Aku tak mengerti nih. Keberatan mengundang orang sebanyak itu? Bilang saja begitu kenapa sih?"

Tori merengut. "Biayanya pasti besar sekali kan kalau harus mengundang orang sebanyak ini?"

Masahiro mendesah. "Kenapa dipusingkan sih? Semuanya kan akan ditanggung keluargaku." Pemuda itu mengibaskan tangannya tak acuh.

Tori mengangkat jari telunjuknya. "Tunggu. Kapan itu diputuskan?"

Masahiro mengedikkan bahu. "Wajar saja kan? Aku yang melamar Tori jadi keluargaku yang akan menanggung semuanya." Ditatapnya tunangannya itu dengan tak mengerti sementara Tori mengusap bagian bawah wajahnya dengan tangan. Sebuah desahan pelan meluncur dari bibir dokter itu dan Tori melepas kacamatanya, mengetuk-ngetuk permukaan buku dengan ujung bingkai kacamatanya.

"Toriii~" Masahiro menggerung sebal.

"Masalahnya, kupikir kita sudah pernah bicara kalau kita akan menanggung biayanya berdua?" Tori meringis. "Kenapa sekarang tiba-tiba daftarnya jadi panjang sekali dan diputuskan berbeda begitu?"

Masahiro memutar tubuhnya untuk duduk menyamping dan agar bisa menatap Tori dengan lebih jelas. Tangannya menangkup di pergelangan kakinya yang disilangkan di atas sofa. "Aku sudah memberitahu aniki-tachi loh dan mereka bilang kita tak perlu memikirkan yang seperti itu. Cukup bilang saja undangannya berapa orang dan mau temanya seperti apa, nanti akan disampaikan ke wedding organizer kenalan Ryuuji-nii."

"Dan kapan persisnya kamu akan memberitahu itu padaku?" Tori melirik pada Masahiro yang meringis.

"Er...baru saja?"

"Ma-kun!" Tegur Tori setengah kesal. "Serius sedikit dong."

"Memangnya siapa yang tidak serius?" Sungut Masahiro sambil menarik-narik kaus kakinya dan bibirnya mengerucut sebal.

Tori bangkit dengan sebal pula dan berjalan cepat ke dapur. Diambilnya sekotak rokok dari dalam lemari di atas microwave dan membuka jendela dapur dengan agak kasar. Asap pertama dihembuskannya bersamaan dengan helaan nafas panjang. Kenapa dia harus langsung sekesal itu, Tori juga tak mengerti. Oke, dia mengerti. Dia ingin ini jadi peristiwa yang istimewa untuknya dan Masahiro, bukannya sekedar pesta lain untuk membina hubungan dengan kolega. Dia tahu Kazuki sama sekali tak bermaksud buruk. Sudah kebiasaan seperti itu dan yang pasti, Kazuki hanya ingin yang terbaik untuk Masahiro.

Tapi Tori sama sekali tak ingin pernikahannya nanti jadi sesuatu yang tak bisa dinikmati dan dikenang dengan hanya senyuman dan perasaan gembira. Kenapa rasanya susah sekali untuk membuat Masahiro mengerti itu?

Kepalanya tertoleh, menangkap bunyi kursi digeret ke dekatnya dan Masahiro yang duduk mengangkang. Dagunya ditumpukan di atas sandaran punggung. "Tori marah ya?" Tanyanya pelan seraya menyentuh punggung tangan Tori dengan ujung jarinya.

Tori mendesah, digenggamnya tangan pemuda itu dan menggigit bibirnya. "Aku tidak marah, kok."

"Aku tahu Tori sibuk sekali karena sedang musim pertandingan dan nanti harus ambil cuti." Masahiro mengusap punggung tangan Tori dengan ibu jarinya. "Karena itu kupikir akan lebih mudah kalau kita mengikuti saran aniki-tachi dengan menyewa wedding organizer. Aku tak begitu paham urusan seperti ini. Kalau sudah begitu, Tori pasti akan mengambil alih kan? Aku tak ingin Tori kecapaian dan nanti malah sakit lagi." Tanpa sadar, kedua pipinya menggembung. "Aku cerita pada Aniki soal rencana kita untuk membeli rumah. Kurasa itu sebabnya kenapa mereka bilang kita tak perlu memikirkan soal biaya sama sekali."

Tori menjentikkan abu ke bak cuci piring. "Dananya kan bisa diatur." Gumamnya pelan.

Pundak Masahiro terangkat pelan. "Mereka bermaksud baik loh. Tori jangan salah sangka ya. Aku juga ingin kita berusaha sendiri tapi aku juga tak yakin kalau biayanya akan cukup."

"Rumahnya kan tak perlu dibeli sekarang." Tori masih bersikeras dan membuat Masahiro tak bisa berargumen lagi. Tunangannya itu memang bisa keras kepala untuk beberapa hal. Pemuda itu menghela nafas.

"Ya sudah. Aku akan bicara lagi dengan aniki-tachi." Ujarnya mengalah dan merasa lega karena usahanya tak sia-sia saat melihat sudut-sudut bibir Tori mulai terangkat membentuk senyum kecil.

"Ma-kun jangan tersinggung ya." Tori berucap seraya membuang puntung ke dalam tempat sampah dan memeluk tunangannya. "Tapi ini kan keputusan kita berdua. Aku hanya tak ingin terlalu banyak orang ikut campur. Kita akan minta tolong kalau memang tak bisa."

Masahiro menggeleng, tangannya yang besar mengusap punggung Tori dengan sayang. "Seharusnya aku memberitahu Tori lebih awal."

Tori mengecupnya lembut. "Maaf ya."

Masahiro tertawa pelan. "Daijoubu. Aku yang salah kok."

"Wow. Kau mengaku salah? Aku tak salah dengar kan?" Tori melebarkan matanya.

Masahiro menggigit bibir Tori dengan gemas. "Jangan mengejek."

Tori mendesis dan menarik Masahiro merapat padanya. "Bercanda kok. Besok kita bicara dengan kakak-kakakmu ya."

"Kakak Tori juga kan?"

Entah kenapa, wajah Tori bersemu mendengar itu. "Hmm..." Gumamnya. "Belum resmi."

---

Friday, April 15, 2011

[fanfic] AU KumaxYuuki - Indulgent

Fandom: Musical Tennis no Ouji-sama 2nd Season/Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Wada TakumaxOgoe Yuuki, Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC. No plot just boys making out.
Disclaimer: MMV, Box Corp, Top Coat & respective offices. No profit gained. No harm intended. I do own anything
Note: MARI KITA SEMBAH HOMME 12!!!! *kasih dupa*



Takuma tak benar-benar tahu apa yang terjadi hari ini tapi dia senang sekali saat Yuuki menyambutnya dengan hangat. Lebih hangat dari biasanya dan bahkan menciumnya tanpa diminta. Padahal mereka berencana untuk bertemu dengan Tori dan Masahiro hari ini untuk makan siang bersama tapi rencana itu tampaknya sudah terlupakan dengan posisi mereka saat ini: berbaring nyaman di sofa empuk ruang tengah dengan Yuuki menindih Takuma dengan nyamannya.

Tentu saja Takuma tak mungkin keberatan dengan kondisi itu. Satu tangannya menyelip ke balik T-shirt Yuuki, mengelus kulit punggungnya dengan lembut sementara Yuuki memeluk pinggangnya dengan posesif dan sibuk menikmati leher dan rahang Takuma. Tangan Takuma yang lain menyingkirkan rambut Yuuki yang menggelitik hidungnya, beringsut dengan sukarela saat Yuuki menyelipkan satu kaki ke antara kedua kaki Takuma.

Berbagi kecupan lembut dan belaian sayang. Tertawa pelan dan lirih jika salah satu menyentuh tempat yang sensitif. Tak benar-benar berniat melakukan lebih meski bagian bawah tubuh mereka berdenyut nyaman dan kadang saling menekan dengan menggoda. Merasakan kulit yang hangat melalui lembaran pakaian, menghirup wangi tubuh yang segar, dan memuja tatapan penuh cinta yang diberikan.

Takuma mengecup ujung hidung Yuuki, menggeram pelan saat lutut Yuuki menggesek pelan selangkangannya.

"Nnh...Kuma..." Yuuki tak bisa menahan erangannya karena jemari Takuma mengusap pelan tonjolan dadanya dari balik T-shirtnya. Dipagutnya pelan bibir kekasihnya itu. "Tidak memberitahu Matsuzaka-sensei kalau kita akan telat?" Bisiknya dengan nafas agak tersengal.

Takuma mengangkat alis. "Aku harus bilang apa? 'Maaf ya, Matsuzaka. Tapi aku sedang ditindih Yuuki. Jadi akan terlambat datang.' Begitu?" Bisiknya di depan bibir Yuuki yang sudah begitu merah karena terlalu sering dicium.

Wajah Yuuki merona dan digigitnya bibir bawah Takuma. "Memangnya Kuma berani bilang begitu?"

Takuma mengelus sisi tubuh Yuuki dengan sayang. "Matsuzaka sih paling hanya akan tertawa. Dia kan pengertian sekali."

Bibir Yuuki mengerut sebal. Tubuhnya diangkat menjauh sedikit. "Kuma mau membuatku cemburu ya?"

Dokter itu mengerjap bingung. "Loh?" Lalu tertawa pelan. Ditariknya tengkuk Yuuki ke bawah lagi untuk menciumnya dengan hangat. "Aku tak bermaksud begitu kok. Tapi memang kenyataannya begitu. Lagipula dia kan bersama Inoue-kun, pasti tak akan sadar juga kalau kita terlambat."

Yuuki mengerang pelan, menyusupkan lidahnya ke dalam mulut Takuma. "Hmmm..." Gumamnya, sudah tak begitu peduli dengan apapun yang dikatakan Takuma. Toh, dia tak benar-benar merasa terganggu. Tampaknya kekasihnya itu pun paham karena sama sekali tak berusaha meyakinkan Yuuki lagi dan kembali menyambut ciuman Yuuki dengan tak kalah antusias.

Tubuh Takuma menggeliat pelan saat Yuuki menyelipkan tangan ke antara tubuh mereka dan jemarinya menari-nari di dada Takuma. Ditariknya tubuh Yuuki untuk makin merapat padanya, membiarkan Yuuki menggesekkan selangkangannya dengan pelan di paha Takuma.

"Mmh... Kita harus benar-benar pergi ya?" Bisik Yuuki parau.

Takuma menggeram pelan, menjilat kulit di belakang telinga Yuuki yang membuat pemuda itu mengerang resah. Tangannya berusaha menjangkau ponsel di saku belakang celananya sementara masih sibuk meladeni Yuuki yang kembali mengecupi lehernya dengan menggoda.

---------

Ponsel Tori bergetar pelan di dalam sakunya dan sang pemilik harus susah payah melepaskan tangannya dari cengkeraman sang kekasih dengan melempar tatapan tajam.

"Pasti Wada sudah sampai deh," sungutnya seraya menarik keluar ponselnya dan menekan beberapa tombol untuk membuka pesan.

Tori mengerjap pelan lalu tertawa geli. Masahiro mengerutkan kening tak suka. Tori memutar ponselnya supaya Masahiro bisa membaca isi pesan dari teman Tori itu.


To: Matsuzaka Tori
From: Wada Takuma
Subject: Makan malam?

Matsuzaka, kita geser ke makan malam saja ya? Aku harus mengurus seekor kucing dulu.


Masahiro masih tak mengerti apa maksud pesan itu tapi pertanyaan yang sudah siap meluncur dari bibirnya tertelan begitu saja karena Tori melingkarkan lengan ke lehernya dengan manja dan matanya yang meredup menggoda sungguh tak bisa ditolak Masahiro.

"Bilang saja datang telat untuk makan malam pun tak apa-apa kok." Bisiknya, menjilat dagu Tori dan mengusap pinggang tunangannya.

"Hmm... Tak perlu dijawab." Gumam Tori seraya mencium Masahiro.

-end-

[fanfic] AU - Taking Chances

Fandom: Fujoshi Kanojo/Musical Tennis no Ouji-sama
Pairing; Furukawa YutaxDaito Shunsuke, brothership!Halu/Hide
Cast: Daito Shunsuke, Furukawa Yuta, Sasaki Yoshihide, Harukawa Kyousuke
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: respective agency offices. I do not own anyone. No profit gained. No harm intended.
Note: OKEH!!! Inilah saat di mana kita bergerak maju dengan alistebel versus rubah cantik huehehehehhe Maaf kalo gejeh, yes. Enjoy!




Sendi-sendi tubuhnya berderak pelan saat Shunsuke menarik lengannya ke atas seraya menguap. Helaan nafas panjang mengiringi, juga kerjapan mata yang masih mengantuk. Tapi tubuhnya sudah menolak untuk tidur lagi. Tangannya terulur ke arah samping, mengambil arlojinya dan mengintip dengan satu mata terpejam. Masih jam 6 pagi. Shunsuke mendesah lagi. Padahal semalam ia tidur cukup larut gara-gara rubah besar yang entah kenapa mendadak jadi tuli akan protes Shunsuke dan membuatnya terjaga sampai lewat tengah malam. Diliriknya pria yang masih terlelap di sampingnya itu. Sebuah senyum samar tersungging di bibirnya dan Shunsuke tak bisa menahan diri untuk tidak mengecupnya dengan gemas. Yun bergumam pelan dan sama sekali tak bangun. Shunsuke tersenyum geli, mengecupnya sekali lagi dan akhirnya memutuskan untuk bangun. Segelas kopi tampaknya ide yang bagus.

Shunsuke bergerak dengan pelan dan berusaha tak menyenggol apapun saat ia berpakaian, menyelipkan kedua kakinya ke dalam sandal rumah dan berjingkat turun ke dapur melewati lorong dan ruang tamu yang masih gelap. Kepalanya dimiringkan saat melihat lampu dapur ternyata menyala. Disibakkannya tirai pendek yang menutupi ambang pintu dan mengintip ke dalam dapur mungil itu. Dilihatnya pintu kulkas terbuka dan sebentuk pinggang dan pantat menyembul dari baliknya, juga gumaman pelan sebelum akhirnya bagian atas tubuh Hide terangkat saat pemuda itu menutup pintu kulkas.

"Banyak sekali yang harus dibeli." Gumamnya. Dan mungkin mewarisi insting Yun yang tajam, ekor matanya melirik dan kepalanya menoleh. Mata rubahnya mengerjap heran saat melihat Shunsuke di situ.

"Daito-san. Kapan datang?" Tanyanya lugas dan entah kenapa terdengar seperti apa-yang-kau-lakukan-pagi-buta-begini-di-rumahku-awas-kalau-berani-macam-macam di telinga Shunsuke.

Pengacara muda itu tersenyum canggung, mengusap tengkuknya dengan salah tingkah. "Umh, maaf mengganggu. Kami sampai sekitar jam 10? Sepertinya kalian berdua sudah tidur."

Hide mengangkat dagu lalu mengangguk. Tanpa berkata apa-apa, anak laki-laki itu bergerak ke sudut dapur tempat mesin kopi dan microwave diletakkan lalu mulai sibuk mengeluarkan cangkir dan mengaktifkan mesin kopi. Tak tahu harus apa, Shunsuke melangkah masuk dengan ragu dan duduk di meja makan. Dalam hati ia berharap semoga diamnya pemuda itu hanya karena alasan yang biasa dan bukan karena dia mendengar mereka semalam. Shunsuke sudah berusaha sekuat tenaga untuk tak mengeluarkan suara. Hal yang nyaris mustahil dilakukan kalau sudah disentuh Yun.

Tapi Hide masih diam dan mengacuhkannya, seperti biasa. Shunsuke merasa agak lega sedikit. Kalau Hide mendengar sesuatu semalam, mungkin dia sudah ditendang dari rumah itu sekarang. Diperhatikannya rubah cilik itu mondar-mandir membuka tutup lemari dan menulis di selembar kertas. Shunsuke memutuskan untuk meracik sendiri kopinya sambil terus memperhatikan Hide memeriksa kotak-kotak susu dan sereal. Bibirnya yang sintal merengut lucu saat harus membuang sesuatu yang masih berjumlah banyak tapi sudah tak bisa dipakai karena kadaluarsa.

"Mau pergi belanja?" Shunsuke akhirnya tak bisa menahan keingintahuannya.

Hide melirik lalu mengangguk. "Tou-san terlambat mengirimkan uang. Seharusnya aku sudah belanja dari minggu kemarin." Jelasnya tanpa diminta dan Shunsuke ikut merengut sebal. Dasar Yun. Kenapa bisa selalai itu sih? Tapi pikirannya teralih saat melihat daftar panjang yang sedang dilipas Hide untuk dimasukkan ke dalam saku celana.

"Sebanyak itu, tak apa-apa sendiri?" Tanyanya.

"Aku bisa membangunkan Haru-kun, kok." Hide mengangkat bahu.

Shunsuke menggigit bibir lalu berujar. "Bagaimana kalau aku saja yang pergi denganmu? Aku bawa mobil kok. Belanjaan sebanyak itu sepertinya tak akan bisa dibawa dua orang sekalipun."

Hide menatapnya tajam seperti menimbang-nimbang maksud di balik tawaran Shunsuke. Pengacara muda itu memasang tampang lurus karena sungguh, dia tak bermaksud merayu atau apa. Hanya ketulusan biasa karena kalau dia bisa membantu, apa salahnya?

Nyaris lima menit kemudian, Hide akhirnya mengangkat bahu dan mengangguk. Shunsuke tersenyum dan mengisyaratkan kalau dia akan ke atas sebentar untuk mengambil jaket, dompet dan kunci mobilnya. Tak lama, mereka sudah menuju daerah pertokoan dengan Hide sebagai petunjuk jalan.

Shunsuke harus mengakui kalau Hide sangat mahir dengan apa yang dilakukannya saat mengeluarkan daftar belanjaan, berjalan menuju toko-toko sayuran, buah, daging, ikan dan bahan persediaan lainnya. Beberapa pedagang menyapanya dengan ramah dan satu dua bahkan menawarkan diskon khusus untuk Hide. Shunsuke hanya sanggup mengikuti dari belakangnya, menjinjing beberapa tas penuh bahan makanan.

Mereka melewati sebuah kios kecil yang menjual gorengan dan Shunsuke berhenti sejenak, membeli dua kroket besar yang masih mengepul dan terguyur saus kental. Hide mendelik saat Shunsuke mengulurkan satu padanya.

"Dari mana Anda tahu aku suka kroket?" Gumamnya pelan sembari meniup dan menggigit kroket itu.

Shunsuke tertawa seraya mengedikkan bahunya. "Sama sekali tidak. Tapi ini tadi kelihatan... UWOH! Ini ENAK!" Serunya sambil mengunyah.

Hide tersenyum miring. "Makanan Osaka memang nomor satu."

"Eh, maji! Ini enak sekali! Tunggu sebentar ya. Aku mau beli lagi."

Hide tak sempat berkata apa-apa karena Shunsuke sudah melesat dan kembali beberapa saat kemudian dengan bungkusan besar. "Banyak sekali," komentarnya.

"Aku belikan untuk Haru-kun dan ayahmu juga."

Hide mengangguk-angguk. Mereka mengunjungi dua toko lagi untuk membeli makanan kalengan dan kopi sebelum Hide mengecek daftar belanjaannya dan berkata kalau semuanya sudah terbeli. Dalam perjalanan ke mobil, Shunsuke tertarik dengan mitarashi dango dan lagi-lagi membeli dua porsi untuk dirinya dan Hide.


Hide berharap, sungguh-sungguh berharap, pria yang tengah memotong-motong wortel di sebelahnya ini punya sifat yang jahat dan menyebalkan. Karena dengan begitu dia bisa dengan mudah membenci dan menendangnya keluar rumah setiap saat. Tapi tidak. Daito Shunsuke sungguh pria yang baik dan sepertinya semua perbuatannya tulus. Hide jadi makin tak punya alasan untuk tak menyukainya.

Sekedar menudingnya dan berseru, "Kau mau mengambil ayahku dan Haru-kun!" saja tak akan cukup. Ayahnya tetap pulang ke rumah seperti biasa, tetap datang ke pertandingan mereka, tetap memarahi mereka kalau mereka nakal dan tetap mampir untuk mengucapkan selamat malam seperti biasa sebelum tidur. Sama sekali tak ada yang berubah. Hanya saja akhir-akhir ini ayahnya lebih banyak tersenyum.

Yun pernah berkata kalau dia menemukan seseorang yang disukainya, dirinya dan Haru lah yang akan pertama tahu. Yun menepati itu. Sebelum Shunsuke muncul untuk pertama kali, Yun menceritakan pada mereka bahwa ada seseorang yang tengah dekat dengannya. Hanya itu. Yun tak meminta apapun. Tak meminta mereka untuk berbaik-baik dengan Shunsuke atau menerimanya begitu saja.

Tentu saja yang ada di dalam pikirannya dan Haru adalah yang terburuk. Seperti yang dikatakan Haru, kenapa dia mau saja berada di sisi Yun? Dia hanya guru, tak punya banyak uang dan sudah punya dua orang anak. Apa yang diharapkan Shunsuke, pengacara muda sukses dan pastinya hidup cukup berlebih, dari pria seperti Yun?

Dalam hati ia tahu, ini bukan salah Shunsuke karena kalau melihat sifat Yun, sudah jelas pasti ayahnya itu yang bergerak lebih dulu. Dan Shunsuke memang pria yang menarik.

Dan bau masakannya sungguh menggugah selera.

Hide menjulurkan wajahnya. "Ini mau dibuat apa?" Tanyanya sambil menunjuk roti tawar, telur dan susu.

Shunsuke menoleh. "Oh. French toast. Hide-kun tahu caranya?"

"Umh...aku belum pernah buat."

"Oh ya? Gampang loh! Sebentar." Shunsuke memasukkan wortel dan buncis yang baru dipotong-potongnya ke dalam panci untuk direbus, mengelap tangan dengan apronnya dan menghampiri Hide. "Caranya begini."

Hide memperhatikannya merendam roti dengan susu lalu mencampur telur dengan sedikit garam dan merica. Menyalakan kompor, melelehkan mentega di wajan datar lalu mengajari Hide untuk mencelupkan roti tadi ke dalam telur dan memanggangnya.

Shunsuke menggerakkan tangannya agar Hide mencium aroma yang menguar. "Baunya enak kan?"

Hide mengangguk antusias. "Un. Cukup begini saja?"

"Perhatikan saja. Kalau sudah cukup kecoklatan, dibalik lalu angkat. Mudah kan?" Shunsuke nyengir.

Hide kembali mengangguk-angguk. Shunsuke tersenyum lalu beralih mengurus daging babi yang baru mereka beli tadi. Rubah kecil di sebelahnya tampak tertarik lagi saat Shunsuke menghancurkan roti baguette dan beberapa lembar daun mint dengan blender. Memipihkan daging dengan palu khusus, menyisihkan tepung, telur dan remah roti di mangkuk berbeda. Hide makin antusias memperhatikan pria itu mencelupkan daging ke dalam tepung, telur lalu remah roti bergantian. Semuanya dilakukan dengan rapi dan cekatan. Rubah kecil itu nyaris lupa dengan french toast karena terlalu asyik memperhatikan.

"Ini chicken katsu?" Tanyanya seraya mematikan kompor.

Shunsuke terbahak. "Ini namanya wiener schnitzel."

"Apa?"

"Wiener schnitzel. Makanan jerman."

"Ah." Kepalanya mengangguk-angguk sok mengerti.

"Hide-kun bisa buat mashed potato?" Tanya Shunsuke lagi.

"Bisa!"


Shunsuke menikmati ini. Sungguh. Sepertinya ketidaksukaan anak itu padanya meluap untuk sesaat karena begitu tertarik dengan masakan yang dibuatnya. Bertanya ini itu, berdebat dengan bumbu yang harusnya digunakan dan akhirnya mengobrol tentang banyak hal. Meskipun anak laki-laki menjauh dengan defensif saat Shunsuke bertanya ada apa dengan lengannya yang selalu terbalut.

"Temanku dokter spesialis olahraga. Mungkin dia bisa bantu menyembuhkan lenganmu. Kalau kamu mau."

Hide mengalihkan pandang, mencampur kentang rebus yang sudah dihancurkan dengan sedikit susu. "Ini sudah sembuh kok."

"Kalau begitu, kenapa masih dibalut terus?"

"Daito-san. Terlalu banyak pertanyaan."

Shunsuke tertegun dan menundukkan kepalanya. Sepertinya dia sudah melangkah terlalu jauh. "Maaf. Aku tak akan bertanya lagi."

Mereka pun terdiam, sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sampai Hide bergumam. "Tanya yang lain saja."

Shunsuke tersenyum kecil. Diangkatnya daging-daging yang sudah tergoreng dengan matang dan meletakkannya di atas piring besar beralas tisu.

"Hmm...baiklah. Apa Hide-kun punya pacar?"

Kali ini giliran Hide yang nyaris menjatuhkan sendok kayu yang tengah dipegangnya. Semburat merah menyebar sampai ke tengkuknya sementara kedua mata yang sipit melebar. Shunsuke tertawa dan mengangkat kedua tangannya.

"Baiklah. Tak boleh tanya itu juga? Kupikir, kau dan Haru-kun kan sudah 18 tahun. Dan...umh... Aku melihatmu cukup dekat dengan pemuda jangkung pasanganmu bermain ganda tempo hari. Dia bahkan membawakan tasmu."

Hide meletakkan mangkuk berisi mashed potato ke atas meja. "Bukan pacarku." Gumamnya agak tak jelas.

"Oh. Oke." Shunsuke manggut-manggut mengerti dan Hide harus memukul lengannya dengan ujung sendok kayu.

"Jangan bilang Tou-san. Awas ya." Ancamnya seraya menyipitkan matanya dengan mengancam.

Shunsuke menutup mulutnya dengan berdeham. "Hei, bukan urusanku. Tapi, kenapa?"

"Aku yang akan bilang sendiri. Nanti." Ujarnya.

Memang benar-benar anak Yun, pikir Shunsuke seraya tersenyum geli.


Halu masuk ke dapur saat Shunsuke tengah menata meja makan sementara Hide berkutat mencuci peralatan yang mereka pakai memasak. Keningnya berkerut samar karena bingung mendapati ada Shunsuke sepagi itu di rumah mereka dan lebih bingung lagi karena Hide tampaknya tak keberatan Shunsuke membantunya menyiapkan sarapan. Ditambah lagi, masakannya harum sekali dan tampak begitu lezat.

"Ohayou, Haru-kun." Sapa Shunsuke, mencoba tersenyum pada pemuda berkulit putih itu.

Halu mengangguk singkat. "'Hayou.." Didekatinya sang kakak dan membantu mengeringkan alat-alat masak yang sudah dicuci Hide. Matanya sesekali melirik pada Shunsuke yang menanyakan letak piring disimpan dan Hide menunjukkan dengan senang hati.

Ada apa ini? Bukankah seharusnya mereka masih dalam tahap belum sebegitunya menerima Shunsuke? Apalagi Hide yang paling tak setuju.

Matanya melotot tak setuju saat Hide meminta Shunsuke untuk membangunkan Yun karena sarapan sudah siap. Begitu pria itu menghilang dari dapur, Haru melipat tangannya di depan dada.

"Ada sesuatu yang terjadi?" Tanyanya.

Hide mengangkat bahu, mengelap tangan dan melepas apronnya. "Tak ada apa-apa kok."

"Kok akrab sekali dengan Daito-san?"

Hide masih diam dan Halu mendengus. Sedetik kemudian mulutnya membuka otomatis pada sepotong roti yang dijulurkan Hide. Halu mengunyah pelan dan matanya melebar. "Enak! Apa ini?"

"French toast. Daito-san yang buat."

Halu mengambil sisa potongan roti dari tangan Hide dan menguyah dengan semangat lalu beralih mengambil sepotong lagi.

"Dia....oke." Hide berkomentar sambil membuka kulkas dan mengambil sebotol besar orange juice.

"Jadi, Hide-kun akan menerimanya?"

"Entahlah. Orangnya baik."

Halu terdiam. Berpikir sejenak dan juga karena mulutnya sibuk mengunyah. "Dia akan mengambil Tou-san loh."

"Hmmm... Entahlah. Kalau dipikir lagi, aku merasa tak ada yang benar-benar berubah."

"Hide-kun mau memberinya kesempatan?"

".....mungkin?"

Halu mendesah. "Nii-san."

"Aku tidak tahu, Haru-kun. Sebaiknya bagaimana? Tou-san suka padanya dan Daito-san tampak tulus. Aku tak tahu harus bagaimana." Tukas Hide setengah merajuk. "Ibuku sudah tak ada dan Halu-kun juga tak mau menerima ibu Halu-kun lagi. Tou-san juga tak berniat. Dan Tou-san tampak senang." Hide terdiam sesaat dan melanjutkan dengan lirih. "Aku merasa jahat sekali."

Halu mendekati sang kakak dan melingkarkan kedua lengannya ke pundak Hide. Disentuhkannya kening mereka lalu menggesekkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Hide dengan sayang. "Hide-kun tidak jahat, kok. Kita kan hanya khawatir dengan Tou-san."

Hide menyentuh lengan Halu dan mengangguk. "Aku tak ingin Tou-san sedih."

"Aku juga tidak."


"Apa yang kau lakukan?" Bisik Yun seraya melirik Shunsuke. Kedua pria itu berdiri di ambang pintu dapur tapi menahan diri untuk masuk ke dapur saat menangkap sepenggal pembicaraan kakak beradik itu.

Shunsuke mengangkat bahu dan menggeleng. "Aku tidak melakukan apapun."

Yun terkekeh pelan.

"Sebaliknya," Shunsuke berujar lagi. "Kau beruntung sekali punya mereka."

Yun tersenyum bangga. "Aku tahu." Dan mengecup sekilas bibir Shunsuke sebelum melangkah masuk ke dapur, menggandeng Shunsuke untuk bergabung dengan keluarga kecilnya untuk sarapan.

Shunsuke merasa itu akhir minggu paling hebat dalam hidupnya.

Monday, April 11, 2011

[fanfic] AU Ma-kunxTori - Determination

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anyone. No profit gained. No harm intended.
Note: Karena gue sedang kangen mereka. Karena gue pengen nulis jaman mereka belum pacaran. Karena tanuki mesumku tercinta sedang sibuk. Karena. 

Idenya diambil dari fanfic Nei yang ini. Buat SATC dan semuanya~ Besok jangan lupa siapin kado yaaa~~ *ditimpuk*





Masahiro berguling sebal di atas tempat tidurnya. Bosan sekali rasanya kalau hanya diam di rumah tapi Kazuki sudah melarangnya pergi karena ia mengundang beberapa dokter bawahannya untuk menikmati hanami di pekarangan belakang rumah mereka dan kalau bisa Masahiro juga harus hadir. Salahnya juga menjawab kalau ia tak ada rencana ke mana-mana saat ditanya apakah punya waktu luang di hari yang sama. Tahu begini, lebih baik dia kabur ke tempat Kimito atau ke manapun. Akhirnya dia hanya pura-pura tak enak badan dan kedua kakaknya hanya mengangkat bahu sambil mendesah. Mau bagaimana lagi kalau adik bungsu itu sudah merajuk.

Samar didengarnya dari jendela kamarnya yang terbuka suara-suara dari bawah. Masahiro melongok dan melihat beberapa pria duduk di atas karpet empuk di bawah rimbunan merah muda lembut pohon sakura dan bermain kartu atau board game lainnya. Masahiro mendengus. Seperti anak kecil saja. Pemuda jangkung itu pun kembali melemparkan tubuhnya ke tempat tidur, menyibukkan diri dengan laptopnya.

Entah sudah berapa lama lewat, suara-suara di bawah makin riuh dan Masahiro merengut. Dalam hati tak rela juga ketinggalan keriaan seperti itu. Tapi dia benar-benar malas beramah-tamah dengan dokter-dokter itu meskipun ia tahu mereka orang yang menyenangkan. Akhirnya, dia menyerah juga dan turun karena merasa haus sekali. Mungkin dia bisa mengambil minuman dingin dan beberapa camilan untuk dibawa ke kamarnya dan menelepon Kimito untuk memintanya datang dan bikin rusuh di pesta kecil di bawah sana.

Kakinya yang jenjang pun menyeret tubuhnya dengan malas-malasan. Ditapakinya anak tangga dengan tak tergesa dan melompati dua anak tangga terakhir. Masahiro memiringkan kepalanya karena tampak ada kesibukan di dapur. Ya, wajar saja sih, tamu-tamu itu kan harus disuguhi sesuatu. Dengan cuek, didorongnya pintu dapur sampai membuka dan pemuda itu terpaku.

Di tengah dapur besar itu, di antara seorang koki, dua pelayan, peralatan dapur mewah lainnya, berdiri seorang laki-laki yang sudah lama tak dilihatnya. Seorang laki-laki –seorang dokter, tepatnya- yang mengisi pikiran dan mulai menyelusup ke dalam hati Masahiro selama nyaris setahun belakangan ini. Pemilik sepasang mata gelap yang selalu menatap teduh dan sebuah senyum yang begitu ramah dan menyilaukan. Masahiro nyaris tak percaya kalau dia akan melihatnya lagi setelah sekian lama. Oke, tidak selama itu, hanya beberapa minggu. Program percepatan di sekolahnya membuatnya melompati kelas dan bisa langsung masuk ke universitas tanpa ujian. Persiapannya sungguh merepotkan dan menyita waktu sampai rasanya untuk bernafas saja dia tak punya waktu.

Karena itu dia begitu terpana melihat sosok itu di dapur rumahnya. Tampak nyaman dan santai dengan sweater putih berkerah rendah yang lengannya digulung sampai siku dan celana denim berwarna gelap yang begitu pas di kakinya. Tangannya sibuk menata makanan-makanan kecil ke atas piring saji sambil sesekali menyesap kopi dari cangkir di dekatnya. Pria itu juga tersenyum dan tampak senang berbicara dengan pelayan yang membantunya.

”Matsuzaka.... sensei?”

Mendengar namanya disebut, pria itu menoleh dan tampak sama terkejutnya dengan Masahiro. Namun dengan cepat senyum itu kembali menghiasi bibirnya. ”Inoue-kun! Ohisashiburi~”

Masahiro mengangguk dengan salah tingkah, agak ragu untuk mendekat. Wajahnya terasa sedikit panas, entah kenapa. Mungkin karena sudah begitu lama tak melihat senyum itu, apalagi yang ditujukan langsung padanya seperti itu. Masahiro menggaruk tengkuknya dengan canggung dan melangkah mendekat. Bagaimanapun, dia haus dan letak minumannya ada di dekat Tori.

”Umh... sedang apa... di sini?” tanyanya pelan sambil menjangkau salah satu gelas berisi minuman ringan. 

”Aku diundang Katou-sensei.” Jawabnya. Sesaat tampak ingin bertanya tapi lalu tertawa geli. ”Tentu saja ya. Inoue-kun kan adiknya Katou-sensei. Agak aneh kalau kutanya sedang apa di sini ya?” Tori terkekeh kecil.

”Umh... aku haus.”

Tori menunjuk gelas di tangan Masahiro. “Itu saja cukup?”

Masahiro mengangguk.

Tori masih tersenyum dan kembali meneruskan pekerjaannya. Sambil menyesap minumannya, Masahiro melirik ke arah Tori. Potongan rambutnya lebih pendek dan dia kelihatan lebih segar. Apa saja yang terjadi selama mereka tak bertemu ya? Jangan-jangan Tori sudah punya pacar sekarang. Masahiro bergidik memikirkan kemungkinan itu. 

”Anu...”

”Inoue-kun...”

Mereka terdiam lalu tertawa bersamaan. Tori mengangkat tangannya, mempersilakan Masahiro melanjutkan perkataannya. Masahiro meringis. Disandarkannya punggungnya ke counter, tepat di sisi Tori meski belum berani menatap pria itu.

“Kenapa.... tak pernah menghubungiku? Sensei punya nomorku kan?”

Tori mengangkat alis. ”Hmm... karena Inoue-kun sudah tak pernah datang ke rumah sakit lagi? Begitulah, kupikir Inoue-kun sudah bosan. Aku tak ingin bertanya kalau hanya akan membuat Inoue-kun merasa tak enak lalu datang ke rumah sakit hanya karena aku tanya begitu. Inoue-kun masih tak suka rumah sakit kan?”

Pemuda itu menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. ”Aku bukannya tak suka. Tapi tak sempat.”

Tori memiringkan kepalanya lalu tertawa. ”Tak usah memberi alasan pun tak apa-apa, kok. Inoue-kun kan bukan siapa-siapaku.”

Masahiro merasa ada sesuatu yang lolos dari dalam tubuhnya begitu mendengar kalimat itu. Memang sih, mereka bukan siapa-siapa. Tapi mendengar itu rasanya entah kenapa miris sekali.

”Jadi, kalau aku sudah punya waktu lagi, aku sudah tak boleh menemui Sensei lagi?”

Tori mengerjap. ”Eh? Loh?” Dia terdiam sesaat lalu kembali tertawa pelan seraya mencubit pipi Masahiro dengan gemas. ”Aduh, maksudku bukan itu. Aku kan tak bisa melarang Inoue-kun mau ke mana dengan siapa. Maksudku, mungkin Inoue-kun sudah punya kegiatan lain yang lebih menarik daripada sekedar main-main di rumah sakit dan mengajakku ngobrol. Yah, memang jadi agak sepi sih, tapi apa boleh buat kan?”

”Sensei kesepian kalau aku tak ada?” tanyanya dengan nada penuh harap dan tak dipungkiri matanya berbinar-binar.

Tori tertawa. ”Hahaha, jangan ge er. Tidak sebegitu kesepiannya kok.”

Masahiro menggembungkan pipinya dan tawa Tori makin keras dan entah kenapa, Masahiro malah tak keberatan ditertawakan begitu. Suara Tori yang berat terdengar seperti musik di telinganya dan pemuda itu merutuki dirinya sendiri karena bisa-bisanya membiarkan sesuatu yang membuat jantungnya berdebar-debar seperti ini lewat begitu saja.

Diraihnya tangan Tori yang masih asyik mencubiti pipinya, menariknya lepas dengan pelan lalu digenggamnya tangan itu dengan hangat. Percikan-percikan kecil seperti aliran listrik yang lembut menjalar mulai dari ujung jarinya hingga ke tulang belakangnya. Jantungnya berdebar makin tak karuan dan ibu jari Masahiro mengusap pelan telapak tangan yang digenggamnya.  Sesaat, kilasan kejadian suatu malam di apartemen Tori melintas di kepalanya dan membuat wajahnya memanas.

Tori tampak sedikit salah tingkah karena koki dan para pelayan memperhatikan mereka sambil tersenyum-senyum lalu membuang muka seolah tak melihat apapun. Juga karena Masahiro sudah berdiri begitu dekat dengannya dan menatapnya dengan begitu intens.

”Inoue-kun...” tegurnya lembut.

Masahiro tampak tuli untuk beberapa saat meskipun akhirnya melepaskan juga tangan Tori sambil bergumam minta maaf. Tori menggeleng sambil tersenyum. ”Keluar yuk. Sakura-nya indah sekali loh.” ajaknya sambil menggamit lengan Masahiro yang berdiri terpaku.

Hangat tangan Tori yang melingkari lengannya membuat Masahiro hanya sanggup mengangguk bodoh. ”Un.”

Sebelum Tori membuka pintu yang mengarah ke halaman belakang, Masahiro menggenggam tangannya lagi. ”Aku ingin terus bertemu dengan Matsuzaka-sensei. Masih boleh kan?” tanyanya parau dan sedikit tak yakin.

Tori menatapnya sesaat lalu tersenyum manis seraya mengangguk.

”Tak ada yang akan marah atau kesal?” cetusnya begitu saja. Dia harus tahu.

Tori mengangkat alisnya dengan bingung. ”Tidak.” jawabnya.

”Sungguh?”

Tori mengamati wajah pemuda itu dengan seksama lalu menepuk pelan lengan Masahiro. ”Sungguh. Inoue-kun terlalu banyak berpikir deh.” ujarnya sambil berjinjit dan mendaratkan sebuah kecupan ringan di pipi pemuda itu.

Masahiro tak peduli apapun juga. Juga tak peduli pada Kazuki yang mengerutkan kening dan berkomentar kalau lebih baik dia tidur saja kalau memang tak enak badan karena wajahnya merah. Tori menggigit bibir dan membuang muka dengan tersipu. Masahiro juga tak peduli pada Kubota dan Souta yang tersenyum-senyum penuh arti melihatnya dan Tori yang duduk berdampingan bahkan terlalu dekat. 

Sejak hari itu dia bertekad akan mendapatkan Tori. Apapun yang terjadi. 

 -end-