Thursday, July 28, 2011

[fanfic] AU Wedding Checklist - Caterer

Cast: Matsuzaka Tori, Inoue Masahiro, Wada Takuma, Daito Shunsuke, Takiguchi Yukihiro
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything. Steps on picking a wedding caterer are taken from here 
Note: Nei, mana bagian Bestmen-nya?



1. Ask around in your own circle for references to a good wedding caterer. And by the way, 'wedding' is the operative word here - lots of caterers may not necessarily have experience with weddings, and that particular experience is important.

"Memangnya tidak ada yang lebih mahal lagi ya?" Tori bertanya sarkastis sambil mengibaskan tangannya ke arah tumpukan pamflet penyedia jasa katering pernikahan yang berserakan di atas meja ruang tengah keluarga Keigo.

Masahiro merengut. "Itu semua harganya masuk di tengah-tengah, kok." Mata pemuda itu mendelik. Dia sudah susah payah mengumpulkan semua pamflet itu dan memilih dengan hati-hati. Bukan salahnya kalau Tori menganggap harga yang tertera masih mahal.

Tori mendengus dan membolak-balik sekali lagi beberapa pamflet yang sepertinya cukup menarik meskipun paket harga yang tertera di dalamnya tetap membuatnya mengernyit. Tentu saja dia tahu kalau katering pernikahan adalah bisnis mencari uang yang besar sekali dan yang masuk kategori murah pun pasti akan tetap membuat Tori mengernyit. Rekomendasi dari ibunya pun ditolak Tori mentah-mentah meskipun Tori tahu kateringnya berkualitas. Dia yakin di suatu tempat pasti ada katering yang berkualitas dengan harga yang masih masuk akal.

Tunangannya mengambil duduk di sebelah Tori setelah akhirnya memutuskan kalau dia sudah lelah berdiri terus sejak tadi. Pemuda jangkung itu menjangkau sehelai katering. "Ini yang biasa kami pakai kalau ada acara di rumah ataupun di rumah sakit. Tori tahu kualitas makanannya seperti apa." ujarnya hati-hati. "Tori suka creme brulee dan strawberry sorbet-nya kan?"

Tori merengut sebal seraya menyisihkan pamflet berwarna hitam-emas itu ke sebelahnya.



2. If that doesn't work, check with well-known local venues (even if you're not having your wedding in one of them). Local venues will work with local wedding caterers, and their reputation depends on having quality wedding caterers available to choose from.

Takuma menyodorkan segelas es kopi pada Tori sambil tersenyum. "Tak perlu cemberut begitu dong. Begitu menyebut 'pesta pernikahan', otomatis mereka pasti akan menaikkan harganya."

Tori mendengus, menyambut es kopinya sambil menggumamkan "Terima kasih." Dia menyesap minumannya dengan kesal sampai Shunsuke terkikik geli dan Tori melotot padanya dengan tak senang.

"Maaf, maaf." Kilah Shunsuke sambil menyodorkan sepotong apple pie ke hadapan temannya itu. "Habis wajahmu lucu sekali sih."

"Lagipula mencari katering saja kenapa susah sekali sih?" Tori bersungut-sungut, menusuk-nusuk apple pie-nya.

"Kalau tak mau makan, berikan saja padaku." Takuma menjulurkan tangannya dan langsung ditepis Tori dengan sigap.

"Maksudku, memangnya apa bedanya sih dengan katering pesta biasa? Kenapa harganya harus dibedakan semahal itu? Rasanya toh juga sama saja." Takuma dan Shunsuke hanya tersenyum-senyum menanggapi omelan teman mereka itu. Dalam hati mereka maklum kalau Tori kesal. Sudah nyaris dua bulan dan mereka belum menemukan jasa katering yang bagus. Banyak di antaranya ditolak Tori dan Masahiro menolak beberapa yang lain karena tak suka melihat wajah si pemilik.

Shunsuke mengusap remah kulit pie yang menempel di pipi Tori dengan ibu jarinya. "Aku baru ingat, Yun bilang juniornya di Prince Agency jago masak loh. Konon orang tuanya dulu punya restoran Italia. Kau mau coba menemuinya? Mungkin dia bisa membantu."

Tori mendesah sesaat sambil mengunyah apple pie-nya dengan pelan. "Aku sebenarnya tak ingin terlalu banyak melibatkan kakak-kakaknya Masahiro." ujarnya sambil mengernyit.

Shunsuke mengangguk mengerti. "Tapi ini kan proyek pribadi loh. Kau tidak akan menggunakan Prince Agency untuk menghubungi dia."

"Memangnya mereka boleh ambil pekerjaan di luar Agency?" Tori mengerutkan kening.

Shunsuke menggeleng seraya mengedikkan bahunya dengan acuh. "Yun bilang sih tak apa. Dia juga sering memberi les privat di luar agency kok."

Takuma menggelengkan kepalanya. "Kau ini. Kau kan memacari adik pemiliknya. Masa yang begitu saja tidak tahu."

"Kan tak ada hubungannya!" Protes Tori. "Ryuji-san jarang ada di rumah kalau aku datang ke rumah mereka. Kalau sedang bertemu pun pasti ngobrol hal lain. Tidak sopan kan tanya-tanya yang seperti itu."

"Iya, tahu kok." Takuma mengusap-usap rambut Tori dengan sayang dan Shunsuke mencubit pipinya dengan gemas.

 

3. The next step is to interview the wedding caterers - again, this will confirm a 'feeling' for the company, and also allow you to tell them about you and your wishes, and get their feedback.

"Tidak."

Masahiro mendelik. "Tapi mereka bisa membuat kue pengantin yang tinggi lima tingkat loh."

"Untuk apa?"

"Tamunya kan banyak. Kalau kue-nya tidak besar, nanti kalau ada yang tak kebagian bagaimana?"

Tori mengangkat sebelah alisnya. Masahiro menggaruk bagian belakang kepalanya. "Umh... kuenya dipotong-potong kecil lalu dijadikan dessert? Jadi kita bisa  mencoret dessert dari daftar pesanan kita. Katanya Tori ingin hemat kan?"

Sebuah sandal rumah mendarat tepat di kening Masahiro.

 


4. Once you have a list of three or four wedding caterers to choose from, call, email or visit the website for each of them. Apart from getting a 'feel' for the company, you can also find out other specifics 

Masahiro menyilangkan kedua lengannya di depan dada sementara keningnya dikerutkan dengan tak yakin. "Serius? Anak buahnya Ryuuji-nii?"

Tori mengangguk. "Orangnya baik sekali. Masakannya juga enaaaaak sekali." Dokter itu mendesah. "Wajahnya juga tampan."

Masahiro mendengus tak suka. "Oh, begitu. Jadi kemarin itu pergi untuk bergenit-genit dengan tukang masak ganteng, begitu?"

Tori memukul bagian belakang kepala pemuda jangkung itu. "Jangan sembarangan kalau bicara! Mana aku tahu kalau ternyata orangnya tampan."

Masahiro mengusap kepalanya dengan gusar. "Kalau begitu, aku tak suka."

Tori terperangah sampai mulutnya terbuka. "Apa-apaan itu?"

"Mana bisa aku membiarkan calon suamiku sibuk merayu pria lain. Maaf saja ya."

"Ma-kun."

"Tori."

Mereka bertukar pandangan tajam selama beberapa saat sampai akhirnya Tori mendelik. "Pokoknya kalau bukan Takiguchi-kun yang menangani kateringnya, aku tak mau. Kalau Ma-kun tak suka, lebih baik lupakan saja pernikahan ini."

"KOK BEGITU?"

Tori melengos lagi.

Masahiro mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. "Baiklah. Terserah. Mau Takiguchi, Takizawa, apapun, terserah Tori!"

Tori melirik tunangannya itu dan nyengir penuh kemenangan. Dikecupnya bibir Masahiro yang masih merengut dengan lembut. "Atta boy."


 
5. In order to do a process of elimination, the final step you can take is to do a 'taste test' of some food samples from one or two of them. Ask for an appointment, and let them know you'd like a couple of samples of the type of food you would order for your wedding.

"350 orang?" Takki bertanya. Matanya berkedip bingung mendengar jumlah yang disebutkan Tori.

Masahiro mengangguk. "Itu sudah dikurangi loh. Tadinya sih 500."

Tori menyikut perut Masahiro dan mendorongnya minggir. "Umh, tidak sanggup ya?"

Takki menggaruk keningnya seraya meringis. Pria tampan itu tampak berpikir sejenak. "Full course?"

Tori mengangguk. "Ya. Karena nanti semua tamu akan duduk di meja. Mungkin beberapa penganan kecil juga minuman selama pesta."

"Champagne, wine, spritzer, bir, soft drink, air putih, orange juice, cocktail?"

Tori mengedikkan bahunya sementara Masahiro menganggukkan kepalanya. "All that  jazz." ujarnya dengan gaya.

Takki menggigit bibir, tampak berpikir lagi. "Tak masalah kan kalau aku mengajak teman untuk membantuku? Dia punya kafe di dekat sini. Jadi aku akan sangat terbantu untuk urusan bar dan pelayannya nanti."

Tori menoleh pada Masahiro. "Kurasa tak masalah ya?" Masahiro kembali mengangguk-angguk. "Yang penting, kami mempercayakan urusan katering padamu, Takiguchi-kun. Termasuk pelaksanaannya nanti."

Takki tersenyum lebar dan Tori membalas dengan tak kalah manis. "Baiklah, kalau begitu. Biar kubicarakan dengan temanku dulu ya. Minggu depan aku akan memberikan beberapa pilihan menu pada Anda, Sensei."

Tori mengangguk puas. 

"Ah, kue pengantinnya bagaimana?" Takki bertanya lagi sambil menuangkan teh mengisi ulang gelas tamunya yang kosong. Tori sangat menyukai teh apel buatan tuan rumahnya itu.

Tori menggelengkan kepalanya. "Untuk masalah itu, sudah ada orang lain yang mengurus kok."

"Oh? Kalau boleh tahu, siapa?" 

Masahiro menyesap tehnya dengan cepat. "Kami punya teman di La Petite."

"La Petite? Oooh, yang di dekat stasiun itu ya? Kue-kue di sana memang luar biasa enak. Aku tak bisa menyarankan yang lebih baik lagi." Takki mengangguk-angguk, seolah setuju dengan pilihan kedua tamunya. "Semoga semuanya lancar ya."

"Terima kasih, Takiguchi-kun." Tori tersenyum sumringah. Senyumnya makin lebar saat Takki menyodorkan sebungkus lemon cookies sebagai oleh-oleh.

 

Saturday, July 16, 2011

[fanfic] AU - KenkixMicchi

Fandom: D2/Prince of Tennis Musical 2nd Season
Cast: Yamaguchi Kenki, Mitsuya Ryou, cameo Ogoe Yuuki
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything
Note: Selamat ulang tahun, Kenki-papaaaaa!! *nemplok dengan senang* semoga bahagia selalu sama Mama dan anakmu yang baru yaaaa *kisses and hugs*





Dulu, Kenki tak pernah menganggap ulang tahun adalah sebuah perayaan yang luar biasa. Bukan berarti dia tak suka. Kenki suka perayaan. Apapun itu. Ulang tahun, kelulusan, hari jadi, tahun baru, Natal, festival musim panas, melihat bulan, semuanya. Kenki akan dengan bersemangat ikut serta. Karena merayakan sesuatu adalah sesuatu yang menyenangkan untuk siapapun, bukan? Entah itu sebagai bayaran atas kerja keras atau sekedar ingin bersenang-senang. Sesederhana apapun, semeriah apapun.

Hanya saja, ia tak pernah merasa perlu untuk repot-repot memaksakan merayakan apapun. Kalau bisa akan menyenangkan, kalau tak bisa pun ia tak akan begitu kecewanya. Kenki tahu ada banyak cara untuk merayakan sesuatu. Sebotol bir pun kadang cukup mewakili sebagai sebuah perayaan.

Namun, tidak begitu halnya dengan Mitsuya. Tunangan tercintanya itu selalu sibuk: memikirkan kado, mencari tempat, apakah perlu mengundang orang, memasang dekorasi, dan entah apa lagi. Kenki sampai terpana ketika menemukan apartemennya penuh gantungan kertas dan balon warna-warni lengkap dengan Mitsuya dan Yuuki yang mengenakan topi pesta sambil tersenyum, menyerukan "Otanjoubi omedetou~!!" pada dirinya saat ulang tahunnya dua tahun yang lalu.

Kejutan yang menyenangkan, tentu saja. Kenki sampai tak tahu harus berkata apa selain tertawa dan menggumamkan terima kasih berkali-kali. Toh, binar mata kedua anak laki-kali itu jauh lebih menyenangkan untuk dilihat dibanding dekorasi kamarnya dan kue ulang tahunnya.

Mitsuya selalu berusaha membuat kejutan-kejutan seperti itu untuknya dan Kenki menghargai usahanya setulus hati. Meskipun dalam hati ia tahu tak ada yang bisa mengalahkan ekspresi terkejut Mitsuya saat Kenki menghadiahinya kalung perak yang sangat diinginkan Mitsuya di hari ulang tahunnya atau dompet Louis Vuitton ungu yang sudah diincar tunangannya sejak lama di ulang tahun Mitsuya yang berikutnya dan mengajaknya makan malam di Roppongi.

"Gaya sekali, sih" komentar Mitsuya saat itu.

Kenki hanya tertawa dan menjulurkan lidah. "Ini sih tak seberapa dibandingkan pesta kejutan Micchi untukku kan?"

--------

"Demam?"

"Un." Suara Yuuki menyahut dari seberang. "38 derajat."

"Setinggi itu?" Kenki menutup pintu lemari es dengan kaki, ponselnya terjepit antara bahu dan telinga kanan. "Sejak kapan?"

"Tadi siang, sepertinya. Dia tidur terus di ruang kesehatan karena tak enak badan. Tadi sore waktu aku jemput, suhu badannya naik."

Kenki meneguk air mineral dari botol yang baru saja diambilnya. "Sudah ke dokter?"

"Sudah, kok. Tadi diantar Kuma. Sudah diberi obat juga tapi Micchi tak mau makan. Bahkan Kuma yang memaksa pun dia tutup mulut." Yuuki terdengar sedih dan jengkel. Kenki bisa membayangkan anak itu pasti cukup kerepotan saat ini.

"Ya sudah. Aku ke situ sekarang." Ujarnya mengakhiri pembicaraan.

Kenki bergegas menyimpan makan malamnya yang belum sempat tersentuh ke dalam kulkas, mengambil beberapa helai baju ganti, menyambar diktat dan laptop lalu melesakkan semuanya ke dalam ransel. Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, ia menyambar jaket dan kunci mobil.


"Kemarin melakukan apa sih? Kok bisa sampai demam tinggi begini?" Gumam Kenki sambil mengibaskan termometer dan meletakkannya di atas meja.

Mitsuya tak menjawab, hanya melipirkan mata menghindari pandangan Kenki. Tubuhnya tertutup selimut sampai ke dagu, dahinya tertutup plester penurun panas dan wajahnya bersemu merah.

"Kemarin latihan sampai malam dan hujan-hujanan. Aku sudah bilang kalau hari ini tak usah sekolah saja, tapi Micchi malah ngotot." Yuuki menjelaskan sambil meletakkan nampan berisi semangkuk bubur di dekat Kenki.

Kalau saja kepalanya tidak pusing sekali, Mitsuya pasti sudah akan melotot pada sepupunya itu. Yuuki mencibir dan Mitsuya membuang muka. Kenki menggelengkan kepalanya sambil meniup-niup asap samar yang dari mangkuk bubur yang sekarang sudah ada dalam genggamannya.

"Bisa bangun?" Kenki bertanya pelan.

Mitsuya menggeleng. "Tak mau makan." Gumamnya.

Kenki menatapnya.

"Mulutnya tak enak." Erang Mitsuya.

Kenki masih menatapnya. Mitsuya merengut.

"Sepuluh suap." Ujar Kenki pendek. "Wada-sensei dan Yuuki-chan sudah susah-susah membuatkan bubur ini untuk Micchi."

Mitsuya melirik ke arah Yuuki yang mengangguk-angguk menyetujui ucapan Kenki. Pemuda cantik itu akhirnya menyerah dan mengangkat tubuhnya dengan susah payah dan Yuuki buru-buru membantunya duduk. Kenki menyuapinya perlahan-lahan, memastikan Mitsuya mengunyah dan menelan dengan baik sampai di suapan kesepuluh, sesuai janji, Kenki berhenti. Dibantunya Mitsuya minum juga meminum obatnya lalu membantunya kembali berbaring.

Yuuki membawa pergi bekas makan sepupunya sambil menyinggung Mitsuya tentang kebiasaannya memarahi Yuuki kalau sedang susah makan sampai pemuda cantik itu merengut hebat dan nyaris saja nekat melempar gelas ke arah Yuuki kalau saja sepupunya itu tak keburu menghilang keluar kamar.

"Sakit-sakit kok masih galak begitu sih." Goda Kenki sambil mengusap rambut Mitsuya dengan sayang.

Mitsuya melengos tapi tak urung memiringkan tubuhnya menghadap Kenki yang masih tersenyum. Tangannya terulur dan disambut Kenki dalam genggaman erat. Tangan Kenki terasa sejuk di kulit Mitsuya yang hangat.

"Kenki tidak marah?" Bisiknya lirih.

Kenki memiringkan kepala tanda tak mengerti.

"Aku tak bilang kalau aku sakit." Gumam Mitsuya dengan takut-takut.

Kenki tersenyum. "Sedikit sebal tapi aku tak akan meributkan itu sekarang."

".....Gomen."

"Daijoubu."

Mereka terdiam sesaat dan Kenki mengecup kening tunangannya dengan sayang. Mitsuya mendesah.

"Maaf juga karena aku jadi tak bisa menyiapkan apapun padahal Kenki kan besok ulang tahun."

Kali ini Kenki tertawa, menatap tunangannya yang cantik itu dengan tak percaya. "Masih memikirkan itu juga? Sudahlah. Itu tak penting."

Mitsuya merengut. "Penting dong! Ini kan ulang tahun Kenki."

Kenki menyentil ujung hidung Mitsuya pelan. "Saat ini ulang tahunku sama sekali tak penting. Yang penting sekarang adalah Micchi cepat sembuh. Itu saja."

Mitsuya masih menggembungkan pipi. Kenki mengelus pipinya dengan buku jari. "Selama ini Micchi selalu melakukan banyak hal untukku tapi sungguh deh, ucapan selamat dan kecupan dari Micchi saja sudah cukup kok."

Mitsuya yakin demamnya makin parah karena wajahnya terasa makin panas. Dikecupnya punggung tangan Kenki seraya menatap Kenki dengan matanya yang besar. Kenki tersenyum lembut, membalas pandangan Mitsuya lalu merunduk.

"Nanti tertular." Bisik Mitsuya sambil menutupi bagian bawah wajahnya dengan selimut.

"Kalau begitu, begini saja. Tak akan tertular kan?" Ujar Kenki sambil mendekatkan wajahnya dan mencium Mitsuya dari balik selimut itu.

-------

Mitsuya terbangun, merasa kalau nafasnya terasa begitu berat dan panas. Pandangannya juga sedikit kabur. Matanya mengerjap pelan, memandang samar di tengah cahaya yang temaram. Rupanya Kenki sudah mematikan lampu dan menyalakan lampu baca di meja sebelah tempat tidur.

Mitsuya menoleh, merasakan sesosok kepala terkulai di atas sepasang lengan sebagai tumpuan di dekat bahunya. Kenki tertidur lelap dan Mitsuya ingin membangunkan karena pasti rasanya pegal sekali tidur dengan posisi seperti itu. Tapi ia juga tak tega karena pemuda itu tampak begitu pulas.

Diliriknya jam digital di atas meja. 00:15. Sudah tanggal 17 Juli. Ulang tahun Kenki.

Ia merasa sedikit kecewa karena tak sempat memikirkan acara untuk merayakan ulang tahun Kenki. Tahun lalu ia mengajak Kenki piknik tengah malam di dekat Tokyo Tower bersama Yuuki, Wada-sensei dan beberapa teman dekat Kenki. Sangat kurang kerjaan tapi seru sekali. Tahun ini ia malah belum tahu sama sekali hendak melakukan apa.

Mitsuya mendesah. Pokoknya, setelah ia sembuh nanti harus ada pesta untuk Kenki. Harus.

Sementara itu...

Pemuda cantik itu beringsut pelan, mendekatkan wajahnya ke kepala Kenki dan mengecup rambut Kenki dengan penuh perasaan.

"Terima kasih sudah jadi tunangan paling hebat sedunia." Bisiknya. "Otanjoubi omedetou, Yamaguchi Kenki-san."

Kepala Kenki bergerak pelan. Mitsuya sudah takut Kenki terbangun tapi Kenki tak bergerak lagi. Mitsuya pun tersenyum dan kembali terlelap. Sama sekali tak menyadari sudut bibir Kenki yang terangkat membentuk senyum.

Friday, July 8, 2011

[fanfic] AU Strike Two

Fandom: TeniMyu/Fujoshi Kanojo
Cast: Daito Shunsuke, Harukawa Kyousuke, Sasaki Yoshihide
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: Own nothing
Note: Untuk tanuki sayang yang hari ini abis dilepeh sama singa XDD Ganbatte, bb!! Juga buat Anne yang udah nge-spam yukata dua hari yang lalu. Dan buat Nei yang udah sukses bikin ngakak hari ini. Mama-san senang sekali hari ini *kecup2 semuanya*

ETA: poster made by Nei



Sudah nyaris satu jam Halu berdiri di depan cermin besar itu. Keningnya berkerut hebat sementara wajah dan punggungnya mulai basah oleh keringat meskipun pendingin ruangan dinyalakan dengan kekuatan penuh. Ia tak peduli kakak dan ayahnya akan ngomel-ngomel tentang biaya listrik bulan ini. Musim panas sudah mulai dan hari itu panasnya luar biasa. Dia belum mau kulitnya yang seputih susu jadi kecoklatan seperti sang kakak (meskipun sang kakak justru kelihatan manis karenanya). Untuk kesekian kalinya, Haru menghela nafas dengan frustrasi. Yukata-nya tak juga terpasang dengan rapi dan dari tadi ia tak bisa menyimpul obi-nya dengan baik. Kurang kencang, tak rapi atau bentuknya tak jelas. Berulang kali dilepas dan diikat lagi, malah membuat yukatanya ikut berantakan.

Kenapa sih dia harus setuju memakai yukata ke festival musim panas di kuil dekat rumah? Pergi dengan celana pendek dan kaus tanpa lengan kan lebih praktis dan dia tak perlu repot seperti ini. Pemuda berkulit putih itu menggerundel pelan, menarik-narik obinya sekali lagi.

Karena ayahnya sudah membelikan dua stel yukata masing-masing untuknya dan Hide. Itu sebabnya. Tentu saja dia tak bisa begitu saja menolak untuk mengenakannya. Apalagi yukata kan tidak murah. Ditambah lagi, yang didapatnya ini motifnya bagus sekali: gradasi warna coklat -terang di atas dan makin gelap di bagian bawah- dengan sulaman benang emas berbentuk helain daun ginko di bagian lengan dan bagian bawah yukatanya. Senada dengan motif daun ginko-nya, obinya pun berwarna emas polos. Sungguh, dia lebih senang mengenakan jinbei yang jauh lebih praktis. 

Halu mendesah keras. Akhirnya menyerah dan menarik lepas obi-nya. Mungkin sebaiknya dia minta bantuan Hide saja untuk mengenakan yukatanya. Atau cuek saja pakai baju biasa dan minta maaf pada ayahnya kalau ditanya. 

Matanya berkedip saat membuka pintu kamar kakaknya setelah mengetuk sekali dan mendapat jawaban. Kakaknya itu sedang berdiri di dekat tempat tidur, terbalut yukata berwarna merah darah dengan motif capung berwarna hitam di bagian bawahnya. Kedua lengannya terangkat, menggenggam lengan yukata agar memudahkan Shunsuke yang sedang berlutut di belakangnya memasang obi-nya yang juga berwarna hitam bermotif aliran air. 

Akrab sekali, pikirnya, masih agak tak rela karena Hide sudah menyambut Shunsuke dengan lebih terbuka. Yang lebih membuat sebal lagi, Shunsuke mengenakan jinbei berwarna hijau tua bermotif jalinan tali tipis berwarna putih. Pria itu leluasa bergerak berjongkok, berdiri, merapikan lipatan dan kerut di yukata Hide. Tangannya juga seolah mahir sekali membuat simpul obi. Halu menatap tak rela.

Hide menoleh. "Loh, dari tadi belum selesai?"

Halu mencibir. "Curang sekali, sih. Hide-kun kan sudah pintar pakai yukata. Kenapa masih dibantu?"

Hide hanya menjulurkan lidah. "Habis Shunsuke-san menawarkan membantu. Kata Tou-san kan tak baik menolak kebaikan orang."

Alis Halu berkedut. Shunsuke-san. Sejak kapan?

Shunsuke terkekeh pelan. Ditepuknya kai no kuchi musubi yang baru dibuatnya. "Hai. Dekita." Pria itu berdiri, mengibas debu yang tak kelihatan dari pundak Hide sambil menoleh pada Halu. "Haru-kun mau dibantu juga?"

Hide mengangkat alis pada sang adik yang hanya terdiam namun sejenak kemudian mendekat sambil mengulurkan obinya. Shunsuke hanya nyengir, menyambut obi yang dilulurkan dan meletakkannya di atas tempat tidur Hide. Dilepasnya tali putih penahan yukata dari pinggul Halu. Digenggamnya kedua ujung tepi kain yukata dan ditarik-tariknya sedikit untuk menyamakan panjang. Sisi kanan ditariknya masuk dan diisyaratkannya Halu untuk menahan dengan tangannya sendiri di bagian pinggul.

Halu melipirkan matanya ke atas, merasa tak nyaman karena dibantu. Hide duduk di tepi tempat tidur, menutup wajah dengan uchiha sementara bahunya berguncang pelan karena menahan tawa. Halu mendelik padanya dan sudah membuka mulutnya tapi terhenti karena Shunsuke memintanya menahan sisi yukata yang sebelah kiri agar Shunsuke bisa mengikat tali penahan dengan mudah. Hide sukses terkikik geli tanpa ditahan lagi.

"Hide-kun, berisik! Bantu Tou-san sana!" sentak Halu dengan wajah sedikit memerah.

"Ini kan kamarku. Terserah aku dong mau melakukan apa."

Shunsuke melirik pada pemuda berkulit putih itu dan nyengir. "Haru-kun selalu galak begitu ya kalau jadi kapten?"

Halu mendelik. "Bukan urusan Daito-san kan?"

"Haru-kun." tegur Hide seraya menggelengkan kepalanya tanda tak setuju. Halu merengut lagi lalu menggerundel. "Biasa saja, kok. Aku dipilih jadi kapten bukan karena aku galak."

Shunsuke tertawa pelan. "Untunglah. Aku tak begitu tahu tenis, tapi sepertinya kalian berdua cukup jago ya." ujar Shunsuke sambil mengikat kuat tali penahan dan beringsut mengambil obi.

Halu tak menjawab, hanya mengangkat hidung tinggi-tinggi. Dadanya juga sedikit membusung. "Yah, kami cukup sering menang sih."

Shunsuke mengangguk-angguk. Kedua lengannya terjulur melingkarkan obi di sekeliling pinggul Halu dan tubuh Halu tersentak canggung. Hide beranjak mendengar Yun memanggilnya. Halu sudah ingin menjitak kakaknya yang tampaknya senang sekali meninggalkannya satu ruangan dengan Shunsuke. Hide mungkin saja sudah tak punya masalah dengan pria itu tapi Halu masih belum percaya kalau Shunsuke tak punya motivasi tertentu mendekati ayahnya.

Dia juga agak heran kenapa akhir-akhir ini Shunsuke seperti tak berusaha lagi untuk menyenangkan dirinya dan Hide. Mungkin sudah merasa menang karena sudah berhasil menaklukan Hide atau bagaimana, Halu tak begitu paham. Kalau memang benar begitu, maaf-maaf saja. Dia tak akan semudah itu ditaklukan seperti kakaknya itu. Dia masih yakin dalam waktu tak sampai setengah tahun dari sekarang, Shunsuke pasti akan bosan sendiri atau ayahnya yang akan bosan duluan. Selalu seperti itu kasusnya. Beberapa kali ada yang datang, berusaha bermanis-manis dengannya atau Hide (bahkan tanpa dikenalkan Yun lebih dulu) lalu pergi dengan alasan tak siap menghadapi kedua anak Yun itu. Halu sampai kesal sekali. Memangnya dia dan Hide itu dianggap apa?

Shunsuke berputar ke belakang anak laki-laki itu dan berlutut, mulai menyimpul sisa obi menjadi simpul kerang. "Terlalu kencang?"

Halu menggeleng, menggeser sedikit posisi obi agar lebih nyaman. "Tidak."

"Kalau ada yang mau dikatakan, silakan saja loh. Aku orang yang cukup terbuka pada kritikan kok. Aku ini kan pengacara." seloroh Shunsuke sambil tersenyum. Alisnya yang tebal bergerak-gerak geli.

Halu menoleh sekilas, tak benar-benar bisa melihat ke arah pria yang masih berlutut di belakangnya itu. "Tak ada yang perlu dikatakan kok. Daito-san sudah tahu apa pendapatku."

"Hmm... Memangnya tidak lelah ya, mencurigaiku terus menerus?" cetus Shunsuke yang membuat Halu agak terkejut karena sama sekali tak ditutupi. Shunsuke tertawa pelan. "Melihat ayahmu, dan cara kalian berkomunikasi, aku yakin tak ada gunanya menutup-nutupi apapun." Shunsuke memastikan simpul yang dibuatnya cukup erat dan rapi sebelum berdiri dan merapikan kain yukata Halu. Pengacara tampan itu berjalan memutar dan berdiri di depan Halu yang menolak melihat ke arahnya.

"Kalau kau tak suka padaku, aku tak akan memaksa. Mau bagaimana lagi? Tapi aku tak ingin kau curiga terus menerus padaku karena sungguh, aku tak punya maksud apa-apa berteman dekat dengan ayahmu. Selain karena tertarik dan aku sayang padanya. Itu saja, kok."

Halu mendengus. 

Shunsuke melipat tangan dan tertawa. "Haru-kun tak punya orang yang disayangi? Selain ayahmu dan Hide-kun ya."

Kening Halu berkerut tanda tak suka dengan pertanyaan Shunsuke. Pria itu tertawa pelan. "Niatku hanya ingin punya teman istimewa untuk diajak berbagi. Lebih dari saudara atau sahabat. Aku yakin kalau kamu punya seseorang yang disayang, kamu mengerti apa maksudku. Ayahmu pria yang hebat dan aku bersyukur karena dia melihatku. Itu saja cukup untukku. Tentu saja aku akan senang kalau Hide-kun dan kamu mau menerimaku. Kalau tidak, aku tak bisa memaksa."

Pemuda berkulit putih itu makin mengerutkan keningnya. "Memangnya tidak ada maksud melangkah lebih jauh dari sekarang? Pasti ada kan? Pasti ingin tinggal berdua dengan Tou-san kan? Bebas dari aku dan Hide-kun."

Shunsuke mengedikkan bahu. "Meskipun ingin sekali begitu, aku tak bisa memintanya memilih kan? Aku yakin kalian jauh lebih berharga dibanding aku dan kalau aku meminta Yun memilih, jelas aku akan kalah. Dan sekali lagi kubilang, aku tak bisa begitu dengannya. Aku juga tak berniat begitu."

"Kalau sudah tahu ada aku dan Hide-kun, kenapa tetap mau jalan dengan Tou-san? Tou-san memang tampan, tapi dia kan cuma guru. Pemasukannya bahkan tak seberapa dibanding Anda yang pengacara."

Shunsuke terbahak dan mengibaskan tangannya. "Kankeinai yo."

"Lalu kenapa?"

"Karena aku suka. Sudah kubilang tadi kan?"

Saat itu, Halu ingin sekali memukul pria itu karena terdengar begitu mirip dengan ayahnya, juga karena merasa kalah dan tak bisa membalas lagi karena semua perkataan pria itu bisa dimengerti Halu. Memang, saat ini belum ada orang yang benar-benar istimewa yang disukainya, tapi rasanya Halu bisa menyamakan dengan perasaannya pada ayahnya dan Hide. Karena ia sayang kedua orang itu, rasanya tak butuh alasan lain untuk ada di dekat mereka. 

Karena suka. Karena sayang.

Halu menggigit bibir. Shunsuke tersenyum dan menepuk pundaknya. "Tak usah memaksa. Aku tidak. Yun juga tidak. Aku yakin Hide-kun pun tidak. Nanti sakit perut loh." Shunsuke mengerling.

Wajah Halu bersemu merah. Ia menundukkan kepalanya, menggenggam tepi yukatanya dengan erat. "Aku mungkin tak akan pernah benar-benar rela mengijinkanmu ada di dekat Tou-san loh. Ibuku pergi begitu saja. Aku tak mau mengalami hal yang sama lagi."

Shunsuke mengangguk dan mengulurkan tangan untuk mengusap kepala pemuda itu dengan sayang. "Sekali lagi, aku sama sekali tak memaksa. Sungguh. Kalau aku berbuat aneh di kemudian hari, Halu-kun boleh memukulku sekeras mungkin."

Halu mengangguk. Meskipun dalam hati, ia mengernyit karena sama sekali tak menyukai rasa hangat yang menyelinap ke dalam hatinya dari sentuhan tangan Shunsuke di kepalanya.

Hide menyembulkan kepalanya. "Belum selesai?"

Kedua orang itu menoleh. Hide melangkah masuk. Satu sisi rambutnya sudah terjalin rapi dan ditahan tali rambut berwarna maroon. Halu yakin pasti dia harus sibuk mengusir pergi orang-orang yang menggoda kakaknya begitu mereka berjalan di festival nanti. Shunsuke tersenyum lebar.

"Hide-kun, manis sekali~" pujinya.

Hide mengibaskan tangan. "Ini kerjaan Tou-san. Shunsuke-san dicari Tou-san, loh."

"Un." Pria itu mengangguk, menepuk pundak Halu sekali lagi sebelum berlalu pergi.

Hide melirik ke arah adiknya yang masih berdiri mematung di tempat. "Ada apa?" Kepalanya dimiringkan dan mata rubahnya mengerjap pelan.

Halu mendesah lalu menyentil ujung hidung Hide. "Nandemonai."

Hide menatap sang adik dan seolah paha, tersenyum sambil menusuk pipi Halu yang menggembung tanpa sadar sambil nyengir.

Halu menepisnya dengan sebal.

Monday, July 4, 2011

[fanfic] Ma-kunxTori - Weekend

Fandom: KR DCD/Shinkenger
Cast: Inoue Masahiro, Matsuzaka Tori
Rating: PG-13
Disclaimer: Own nothing
Note: Untuk Anne yang sepagian ini berusaha dengan sangat kerasnya XDD;; Well, this is as much as I could do in the middle of deadlines.
Warning: BL, AU, OOC, randomness



Tak ada yang lebih nikmat di dunia ini selain tidur sepuasnya dan bangun siang di akhir minggu. Dengan pikiran itu, Tori menggeram pelan seraya menggeliat. Kedua lengannya meremas bantal di bawah kepalanya dan wajahnya dibenamkan ke dalam gundukan empuk berisi bulu angsa itu. Suasana kamarnya sejuk dan nyaman sekali karena pendingin ruangannya baru saja dibersihkan seminggu yang lalu. Padahal di luar sana, cuaca sudah mulai panas. Dia bahkan tak ambil pusing melirik ponselnya yang bergetar pelan di dekat bantalnya. LCD mungil di bagian depannya menyala samar, memberi tanda kalau ada panggilan masuk.

Dokter muda itu baru benar-benar membuka mata nyaris tengah hari. Itupun masih berguling-guling malas selama beberapa menit sebelum tangannya meraba-raba permukaan kasur mencari ponselnya. Pandangan matanya yang kabur menangkap deretan beberapa notofikasi di layar ponselnya. Tori mengerjap beberapa kali dan pandangannya malah makin kabur. Sial, rupanya semalam ia tidur tanpa melepas lensa kontaknya. Dengan malas, ia bangkit dan menuju kamar mandi dengan terhuyung. Keluar beberapa saat kemudian dengan wajah sedikit lebih segar dan kacamata bertengger di pangkal hidungnya.

Ibu jarinya bergerak lincah di permukaan ponselnya, membuka beberapa pesan yang masuk dari ibunya, Katou-sensei, Masaki, dan Shunsuke. Bibirnya melengkung membentuk senyum geli dan sesekali memutar bola matanya. Setelah membalas semua pesan, barulah ia membuka notifikasi panggilan tak terjawab. Hanya ada satu. Dengan kanji 'Inoue Masahiro' tertera di sebelah jam panggilan tersebut masuk.

Tori tersenyum seraya menggigit bibir, bisa membayangkan dengan jelas tampang sebal pemuda itu saat panggilannya tak dijawab. Sambil membuka tirai kamarnya, Tori menekan tombol 'Call' dan menunggu beberapa saat. Keningnya berkerut saat sebuah melodi musik mengalun samar dari luar ruangannya. Dijauhkannya sedikit ponselnya dari telinganya supaya ia bisa mendengar lebih jelas. Ia kenal sekali musik ini. Kerutan di keningnya makin menjadi dan Tori melirik ponselnya lalu mendengarkan lagi. Melirik ponselnya sekali lagi kemudian mendengarkan lagi. Musik itu makin keras sebelum akhirnya Tori menangkap suara seseorang berdesis dan mengumpat pelan.

"Moshi-moshi." suara yang ditangkap telinganya terdengar bergema. Seperti dua orang bersuara sama berbicara pada saat yang bersamaan.

Tori nyaris tertawa terbahak-bahak. Sambil menghela nafas, kakinya melangkah santai ke luar kamar. "Kapan datang?" Tanyanya pada ponselnya, sementara matanya menangkap sosok pemuda yang berdiri di dekat meja makan, memunggungi pintu kamar Tori.

"Eh? Tori? Bukannya sedang tidur? Eh?"

Tori menggigit bibirnya keras-keras agar tawanya tak tersembur. "Aku baru saja bangun, bodoh. Ada apa menelepon pagi-pagi? Kupikir aku sudah bilang kalau hari ini aku ingin tidur sampai siang." Dilihatnya Masahiro menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Umh, iya. Ingat, kok. Tapi mendadak tadi pagi aku ingin sekali bertemu Tori." Masahiro menurunkan intonasi bicaranya dan meskipun Tori tak bisa melihat ekspresi Masahiro, dia bisa membayangkan dengan mudah semu kemerahan di pipi pemuda itu.

"Oh ya? Lalu karena itu kamu datang ke apartemenku dan menunggu lama sampai aku bangun? Tidak bosan?" Tori menyandarkan sisi tubuhnya ke ambang pintu. Rasanya sudah ingin sekali memeluk dan mencium kekasihnya itu, tapi ia masih bisa menahan dirinya. Diperhatikannya pemuda itu melangkah ke dapur dan sibuk mondar-mandir di depan konter, entah melakukan apa.

"Bosan sih, tapi aku bawa laptopku, kok." ujar pemuda itu singkat.

"Hee~ Lalu, sedang masak apa di dapurku?"

Pemuda itu terkekeh. "Yang simpel saja. Club sandwich. Kenapa sih tidak bilang kalau kulkasmu sudah kosong? Aku kan bisa menemani belanja atau mampir di supermarket sebelum kemari." Langkah pemuda itu terhenti, seperti tersadar akan sesuatu. "Tunggu! Kalau sudah bangun, kenapa malah meneleponku dan..." Masahiro memutar tubuhnya dengan cepat, nyaris menjatuhkan topless biskuit di atas meja makan. Matanya terbelalak lebar saat melihat Tori cengengesan di belakangnya. "Mou~"

Tori terbahak dan memutus sambungan teleponnya. Didekatinya pemuda yang sedang merengut dengan lucunya itu dan menyelipkan kedua lengannya ke sekeliling pinggang pemuda itu. Digerakkannya sedikit tubuh jangkung Masahiro, masih tertawa geli. "Memangnya tidak merasa aneh waktu mengangkat telepon dariku sementara kau sendiri sedang ada di sini?" Tori terkekeh senang.

Masahiro melengos. "Tadi kan kukira orang lain. Aku sudah takut akan membangunkan Tori karena tadi teleponku belum di-silent. Mana aku tahu kalau Tori akan menelepon. Lagipula, kenapa telepon kalau tahu aku di sini?"

Tori menjulurkan lidah, menarik pemuda itu lebih dekat padanya. "Loh, aku tidak tahu kalau Ma-kun ada di sini. Wajar kan kalau aku meneleponmu begitu melihat di ponselku kalau Ma-kun menelepon tadi pagi?" Ditatapnya pemuda itu sambil tersenyum miring.

"Ya memang, sih." Masahiro mendengus. Sedetik kemudian kedua lengannya balas melingkari tubuh Tori dan mendekapnya erat. "Ohayo," ujarnya sambil mengecup kening Tori.

"Ohayo." balas dokter muda itu sambil tersenyum lebar. Disandarkannya dagunya di dada pemuda itu, menatap kekasihnya dengan mata yang masih sedikit mengantuk namun terkesan manja. Masahiro menjilat bibirnya sendiri dan mengecup pucuk hidung Tori.

"Aku belum buat kopi karena nanti pasti Tori protes soal rasanya." Masahiro berujar.

Tori tertawa, "Payah deh. Tapi tak apalah. Aku sedang tak ingin minum kopi instan." 

Masahiro mencubit lengannya sebagai bentuk protes dan Tori berjengit. "Sakit dong~ Kalau kasar-kasar, nanti aku usir dari sini loh."

"Pfft."

"Dan Ma-kun tahu aku pasti tega melakukannya."

Pemuda itu terdiam sebelum akhirnya mengangguk. "Tori mau makan sekarang? Sandwich-nya sedikit lagi jadi." ujarnya mengalihkan pembicaraan karena takut Tori benar-benar akan mengusirnya keluar. Dokter itu pernah mengusirnya dari ruang prakteknya dulu karena Masahiro tak bisa diam dan ngotot berada di dalam ruangan meskipun Tori sedang ada pasien. Rasanya tak enak sekali dilempar keluar seperti dulu lagi. Jadi lebih baik sekarang dia menurut saja.

"Hmm...mana ciuman selamat pagiku?" tagih dokter itu sambil mengeratkan pelukannya.

Masahiro nyengir lebar dan menunduk untuk mengecup bibir Tori dengan sayang. Dibiarkannya Tori menariknya lebih dekat lagi hingga dada mereka berhimpitan dan Tori melumat bibir Masahiro dengan agak sedikit bersemangat. Masahiro mengelus punggung Tori dengan sayang, mengerang pelan dan dibalas Tori dengan erangan yang serupa. Mereka bertukar kecupan di hidung sebelum saling melepaskan diri dan Masahiro melanjutkan membuat sandwich (yang ternyata berukuran lumayan besar).

Beberapa saat kemudian, mereka sudah duduk di sofa dengan Tori yang lebih senang menjadikan Masahiro sebagai sandaran dibanding bantalan punggung sofa yang empuk. Masahiro melebarkan kakinya agar Tori bisa duduk dengan nyaman, menyandarkan punggungnya ke dada Masahiro. Piring berisi sandwich didekap di pangkuannya sementara mulutnya sibuk mengunyah. Masahiro tertawa geli, mengecup pipi Tori yang menggembung penuh terisi makanan dan Tori menyikut pelan perut pemuda itu.

Padahal dia sudah membayangkan akan melewatkan hari pertama di akhir minggu itu sendirian saja. Atau paling tidak, hanya bicara dengan Masahiro lewat telepon. Tapi harus diakuinya kalau melewatkan akhir minggu sambil bermalas-malasan ditemani sang kekasih seperti ini, rasanya jauh lebih menyenangkan. Toh, tidurnya sudah cukup lama dan dia sudah merasa jauh lebih segar sekarang. Ia hanya berharap ia tak melakukan sesuatu yang membuat kekasihnya itu jadi bersemangat atau energinya yang sudah terkumpul akan kembali terkuras dengan cepat. Yah, bukan maksudnya benar-benar protes sih. Bersenang-senang dengan Masahiro di tempat tidur (atau sofa atau mungkin karpet ruang tamunya atau mungkin sekali di bath-tub) memang bentuk lain penyegaran tapi sungguh, Tori sedang ingin tidur saja.

Ditambah lagi, dekapan lengan Masahiro dan hangat tubuhnya benar-benar membuat Tori merasa nyaman sekali. Begini saja rasanya cukup dan dia tak ingin melakukan apa-apa lagi. Tori mendesah pelan dan disambut Masahiro dengan senyum dan kecupan pelan di pucuk kepalanya.

"Bukannya Ma-kun bilang ingin keluar dengan Sainei-san hari ini?" Tori bertanya, melipirkan matanya sejenak ke arah TV yang menyiarkan berita infotainment.

Masahiro menjumput sepotong sandwich. "Hmm? Oh. Tidak jadi. Ryuuji-nii tiba-tiba sakit perut. Sepertinya dia dikerjai anak buahnya kemarin malam dan disuruh makan wasabizushi dalam jumlah banyak." ujarnya sambil mengedikkan bahu.

Tori mengangkat alis. "Tak apa-apa, tuh?"

Masahiro mengibaskan tangannya. "Sudah diberi obat sama Kubo-nii, kok. Kazu-nii menyuruhnya diam di rumah hari ini."

Tori mengangguk-angguk. Jemari-nya diusap untuk menjatuhkan serpihan roti ke atas piring dan berdecak karena sandwich-nya sudah habis dimakan. Masahiro tertawa. "Lapar sekali? Kita pesan antar saja ya? Tori mau apa?" Masahiro menjangkau ponsel-nya dari atas meja.

"Kenapa harus pesan antar?" Tori mengangkat alis.

"Karena Tori bilang malas keluar dan ingin tidur saja di rumah juga karena kulkas Tori nyaris tak ada isinya meskipun ini awal bulan?"

Tori terbahak kencang sampai membungkuk-bungkuk. Ia menoleh untuk mengecup pipi pemuda itu. "Hm. Terima kasih karena sudah perhatian sekali. Ma-kun benar-benar calon suami yang baik, deh. Kalau pesan-antar dari restoran Italia yang di Roppongi itu, mungkin tidak?"

Masahiro membusungkan dadanya karena dipuji. "Mereka biasanya tidak melayani pesan antar, tapi kalau kutanya, kurasa mereka mau. Itu saja?"

Tori beringsut, menyandarkan kepalanya ke bahu Masahiro. "Sebenarnya ingin blueberry pie juga. Tapi tak usah deh. Kasihan Murai-kun kalau kau suruh dia mengantar kue ke sini juga."

Masahiro nyengir lebar. "Kan ada Kimito."