Thursday, February 24, 2011

[fanfic] Ma-kunxTori - Cheat

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori
Rating: PG-13
Warning: BL. AU. OOC. Cheesy.
Disclaimer: I do not own anything. I've never been to Lake Como or Italy. Settings are based on wikitravel and browsing ninjas.
Note: Setting setelah mereka menikah. Untuk Nei yang lagi kangen sama pasangan eksibisionis ini dan gue juga kangen sama mereka sih LOL Gombal mampus. Awas muntah. SATC, cintakuuuuh~~~





Dia jatuh cinta.

Begitulah yang disimpulkan Tori sejak kali pertama dia menginjakkan kaki di villa milik keluarga Keigo itu. Entah ada berapa villa, tempat peristirahatan atau apapun lah namanya yang dimiliki keluarga itu dan tersebar di mana saja, Tori tak peduli. Yang satu ini, membuat Tori jatuh cinta setengah mati. Tak pasti pada villa-nya yang berdinding batu dan dibalur cat putih atau pemandangan Danau Como yang terhampar cantik tepat di depan beranda kamar atau kota Menaggio yang begitu indah di musim gugur seperti ini atau deretan kafe-kafe kecil di sepanjang jalan yang menyajikan berbagai makanan lezat khas Italia atau mungkin...

Matanya tertuju pada sosok yang duduk mengangkat kaki di balkon kecil kamar mereka sambil menikmati sarapan yang dibuatkan Tori. Seperti biasa, hanya telur, bacon dan roti panggang karena Tori malas bergerak di pagi hari - terutama tidak setelah semalam suntuk bercinta dengan Masahiro - dan Masahiro menolak untuk memanggil pelayan karena mereka tak ingin diganggu. Wajar kan, namanya juga sedang bulan madu. 

Tori menggelengkan kepalanya saat teringat betapa polosnya dirinya karena mengira mereka hanya akan pergi ke Hokkaido begitu Masahiro memberi petunjuk ‘tempat yang sejuk’. Waktu Tori protes (karena merasa terlalu mahal dan hampir sebagian besar uangnya sudah terpakai untuk biaya pernikahan), Kubota menyela dan bilang kalau itu adalah hadiah dari dirinya, Kazuki dan Sainei. Kalau sudah dibilang begitu, jelas saja Tori tak bisa menolak.

Tori menyukai semua yang dilihat, ditemui dan dicicipinya. Sekali itu, Masahiro sama sekali tak protes tiap kali Tori melesat ke gerai gelatto atau makanan manis lainnya. Menyusuri Danau Como dengan perahu, berciuman di sudut jalan di bawah lampu jalanan, membuat Masahiro tersipu karena Tori melarangnya menutup pintu kamar mandi saat Masahiro sedang berdiri di bawah shower, mengunjungi kebun anggur, berbelanja oleh-oleh dan menonton opera. Malam kedua, dia merasa sedikit kewalahan tapi tatapan khawatir Masahiro membuatnya memutuskan untuk tak langsung menolak apapun yang diberikan padanya - selama menurutnya masih dalam batas wajar.


Sambil meletakkan secangkir kopi di depan Masahiro, Tori menunduk dan mencuri kecupan dari bibir pemuda itu. Masahiro nyengir saat ibu jari Tori mengusap remah roti dari sudut bibirnya. Tori menarik bangku kayu di hadapan Masahiro dan duduk di sebelah pemuda itu. Ikut mengangkat kedua kakinya, meletakkan cangkir kopi bagiannya di atas lutut dan meniup pelan asap yang menguar. Masahiro melirik pada kepala Tori yang bersandar nyaman di lengannya. Udara pagi itu pun terasa sejuk dan Masahiro cukup takjub mereka bisa bangun sepagi itu setelah aktivitas semalam.

“Hari ini mau ke mana?” tanyanya sambil mengunyah. “Kemarin Tori bilang ingin ke Pompeii ya? Agak jauh sebenarnya tapi kalau kita berangkat sebelum makan siang...”

Tori menggeleng. “Aku mau tidur,” tukasnya.

Satu alis Masahiro terangkat, merundukkan kepalanya agar bisa melihat wajah Tori dengan sedikit lebih jelas dan memastikan kalau Tori sedang tidak bercanda. Tori mengangkat kepalanya dan melengos. “Sudah tiga hari jalan-jalan terus, aku capek. Ma-kun juga tidak membiarkanku tidur nyenyak tiap malam kan?” ujarnya sambil menusuk pinggang Masahiro dengan telunjuknya.

Masahiro menggeliat menjauh dan nyengir lebar. “Tori juga tidak keberatan kan? Atau...” Masahiro menjulurkan sebelah lengannya untuk mengusap punggung dokter itu dan pura-pura pasang tampang khawatir. “...punggung Tori sakit?”

“Bukan itu masalahnyaa...” Cubitan gemas di pinggang pemuda itu membuat Masahiro tergelak. Lengan Masahiro bergerak melingkari pinggang Tori dan mengelus sisi tubuh pria itu dengan sayang. Tori beringsut lebih dekat dan mengecup pipi pemuda itu. “Tiba-tiba saja tak ingin kemana-mana. Lagipula kita masih punya waktu tiga hari lagi kan?”

Masahiro menggigit bibir, “Sebenarnya aku ingin ke toko barang antik yang kemarin kita lihat itu...” ujarnya setengah merajuk.

Tori mengangkat bahu. “Kalau begitu, Ma-kun pergi saja. Tempatnya kan tidak jauh. Aku akan menunggu di sini.”

“Mana bisa? Kalau Tori dicuri orang, bagaimana?” protes pemuda itu tanpa basa-basi.

Tori tergelak. “Ih! Memangnya siapa yang mau menculikku?” tukasnya sambil menusuk dada Masahiro dengan gemas.

Masahiro mencibir. “Entah. Mungkin pak tua di seberang itu. Kelihatannya dia suka sekali sama Tori.” ujarnya sambil menggerakkan dagunya ke arah pizzeria yang terletak bersilangan dengan villa Keigo itu. Pemiliknya seorang pria Italia setengah baya yang hobi menyanyi. Dia memberikan macam-macam mulai dari roti manis sampai sebotol wine tiap kali Tori dan Masahiro lewat di depan tokonya. Tori tergelak. Diletakkannya cangkir kopinya ke atas meja lalu menggamit lengan Masahiro dengan manja.

“Boleh dong. Penggemar keduaku setelah Yuzawa-sensei. Memangnya Ma-kun saja yang boleh punya penggemar?”

Pemuda di sebelahnya menegakkan badan. “Semua pasien Tori itu memangnya apa? Terutama adiknya Kato-senpai itu! Apa? Mau bilang kalau mereka cuma pasien? Aku tidak terima! Lalu Daito-san? Wada-sensei?”

Tori terkikik geli. Ditariknya lengan pemuda itu sampai Masahiro harus merunduk supaya Tori bisa menciumnya. Masahiro memutar bola matanya saat Tori memagut pelan bibirnya. Sekali lagi dan Masahiro menggeram. Pemuda itu menyerah kalah saat Tori menjilat bibirnya, memaksanya untuk membiarkan Tori memasukkan lidahnya. Semenit kemudian Masahiro nyaris menarik Tori duduk di pangkuannya dan Tori tertawa kecil sambil mengusap bibir Masahiro dengan ibu jarinya.

“Aku suka deh kalau Ma-kun sedang cemburu begini.”

Masahiro menggigit ujung hidung Tori dengan kesal. Bibir Tori merengut imut dan dikecupnya sudut bibir Masahiro. Jemari tangannya mengelus rambut Masahiro dengan sayang. “Pasien ya pasien. Mereka cuma bisa menemuiku saat berobat atau berkonsultasi. Adiknya Kato-san juga begitu. Shunsuke kan sudah punya pak guru tampan itu, Ma-kun masih cemburu?” Masahiro melipirkan matanya ke samping. Tori terkikik. “Lalu kenapa bawa-bawa Wada? Dia itu temanku sejak kuliah loh. Sama sekali tak pernah ada apa-apa di antara kami. Lagipula Yuuki-chan terlalu menyita perhatiannya.”

Masahiro menggerundel. “Tori terlalu baik. Terlalu mudah suka dan percaya pada orang. Kenapa cuma aku yang harus menunggu dua tahun?”

Mataaa?”

“Jangan tertawa!” sungut Masahiro sambil mengeratkan pelukannya. Kali ini Tori benar-benar harus berpindah ke pangkuan Masahiro dan bangku kayu itu berderit pelan.

“Coba pikir,” Tori mengambil satu tangan Masahiro dari pinggangnya dan mengaitkan jari-jari mereka. “Itu membuat Ma-kun istimewa kan?”

Pipi Masahiro menggembung sebal. Masih tak mau menyahuti Tori. Tori mendekatkan mulutnya ke telinga Masahiro seperti anak kecil yang ingin berbagi rahasia dengan temannya. “Aku tak bisa berhenti memikirkan Ma-kun sejak Ma-kun menciumku untuk yang pertama dulu itu loh.”

Kepala Masahiro bergerak perlahan, menatap Tori dengan agak tak percaya dan sedikit penuh minat. Matanya mengerjap pelan. Tori mengecup pipinya dan melanjutkan berbisik. “Juga mulai berpikir mesum tentang Ma-kun waktu Ma-kun datang ke rumah sakit dengan seragam sekolah basah karena kehujanan.”

Masahiro terperangah. Mulutnya terbuka lebar sementara Tori menjauhkan wajahnya yang bersemu merah seraya menggigit bibir menahan cengiran. Pemuda itu menelan ludah. Tori yang selalu menegurnya dengan keras kalau mendapati Masahiro sedang membuka situs dewasa, Tori yang selalu memukulnya kalau Masahiro membisikkan hal-hal mesum ke telinganya, Tori yang selalu protes (meski tak menolak juga) kalau Masahiro menyeretnya ke tempat tidur atau sofa atau meja makan, Tori yang hanya bersemangat kalau sedang sugar high, Tori yang seperti itu sekarang membisikkan hal senakal itu padanya. Masahiro ingat kejadian itu. Hari itu hujan lebat dan dia kebasahan saat berlari dari parkiran menuju lobi rumah sakit. Kazuki masih terjebak rapat penting dan Masahiro sudah bersin-bersin hebat. Tori muncul dan menemaninya. Menyampirkan jas dokternya di pundak Masahiro dan menawari secangkir teh hangat.

Perlahan, sudut-sudut bibir Masahiro tertarik menjadi cengiran meski tak urung telinganya terasa panas. Tangannya mengelus punggung Tori dengan pelan. “Lalu? Bagaimana mungkin Tori bisa mendekatiku dan menawari jas dokter Tori padaku begitu saja?”

“Aku harus begitu supaya tidak keterusan berpikir macam-macam, tahu.” Tori mengalihkan perhatian dengan mencolek selai blueberry dari roti panggang di piring Masahiro.

Masahiro menangkap tangannya dan memasukkan jari Tori ke dalam mulutnya. Dikulumnya jari itu dengan lembut dan sengaja menghisap pelan sebelum melepaskannya. Tori memutar bola matanya dan mencium pemuda itu karena gemas.

“Jadi karena hal-hal itu aku istimewa?” bisik Masahiro dengan suara serak, susah payah menelan ludah dan menikmati bagian bawah tubuhnya yang mulai berdenyut hangat.

Tori tersenyum. “Itu dan banyak hal lainnya. Tapi tak akan kukatakan sekarang.” jawabnya, mengecup kening Masahiro dan ujung hidungnya. “Yang terutama, karena aku menikahi Masahiro kan? Bukan orang-orang itu.”

Masahiro mengerang. “Curang.” sungutnya.

Tori mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa aku curang?”

“Curang. Karena Tori membuatku jatuh cinta lagi.”

Tori mengedikkan bahu dan menyambut ciuman Masahiro dengan antusias, pun tertawa lepas saat Masahiro membopongnya ke tempat tidur.

----

“Tori,”

“Hmm?”

“Aku masih simpan seragamku loh.”

“........................................”


Monday, February 21, 2011

[fanfic] AU KenkixMitsuya - Irresistible

Fandom: D2 / Prince of Tennis Musical - 2nd Season
Pairing: Yamaguchi Kenki x Mitsuya Ryou
Rating: PG-13
Warning: BL. AU. OOC
Disclaimer: I do not own any of the characters
Note: Buat tacchin dan Nei. ORZ Maafkan karena tidak seimut punya Nei ya. Aku akan berusaha di kesempatan berikutnya. YOSH~!



Mitsuya sebenarnya tak pernah terlalu suka menginap di apartemen Kenki. Menurutnya tempat itu terlalu... hambar dari segi penataan ruangan dan warna. Apartemen itu terlalu monokrom untuk seleranya. Berkali-kali dia mencoba mendekor ulang apartemen mungil itu dan berkali-kali pula Kenki hanya senyum-senyum melihatnya mondar-mandir mengganti korden atau lampu duduk dan begitu Mitsuya kembali ke situ, semuanya kembali ke sedia kala. Kalau Mitsuya sewot dan menggerundel sepanjang hari sambil berusaha (lagi) mencerahkan isi apartemen itu, Kenki hanya akan duduk di meja makan dan minum kopi atau kalau dia sudah merasa cukup, menggamit pinggang Mitsuya dan menghempasnya ke sofa. Atau menarik Mitsuya keluar untuk karaoke.

Bukan berarti Mitsuya benci sih. Toh Kenki akhirnya merelakan karpet di depan TV-nya diganti dengan motif checker-box hitam-fuschia dan Mitsuya menyukai boneka-boneka Kenki yang memang berwarna-warni. Juga satu bantal kursi berwarna ungu yang selalu dipeluk Mitsuya saat menonton televisi dan Kenki tak tega menyingkirkan atau Mitsuya akan bawel sepanjang hari. Entah kenapa urusannya lebih fatal dibanding lampu duduk atau korden yang diganti. Ditambah lagi, sepasang mug berwarna ungu yang dibiarkan Kenki terpajang di dekat mesin pembuat kopi.

Pagi itu pun Mitsuya bangun lebih dulu, seperti biasa. Malas mencari pakaiannya yang tercecer, Mitsuya menyambar kemeja biru yang tersampir di punggung kursi. Melindungi kakinya dengan selop kamar, Mitsuya tersuruk-suruk menuju dapur sambil menguap. Rambutnya acak-acakan karena digosok asal sementara tangan yang lain meraba-raba mencari tombol lampu dapur. Langit masih belum terang dan jalanan di depan bangunan apartemen Kenki masih lengang. Memang masih pagi sekali dan Mitsuya agak sebal dengan jam badannya yang terbiasa bangun pagi meski di akhir minggu. Badannya pun otomatis bergerak mengaktifkan mesin pembuat kopi, membuka kulkas untuk mengambil roti, bacon, telur dan sekotak susu. Mencemplungkan roti ke alat pemanggang dan mulai menggoreng telur dan bacon. Usianya memang masih 16 tapi kebiasaan mengurus sepupunya dan tinggal jauh dari orang tua membuat Mitsuya cekatan untuk urusan dapur dan bersih-bersih. 

Ditumpuknya roti yang sudah matang ke atas piring, mengangkat telur dan bacon yang sudah renyah menggoda, lalu menuang kopi dan mencampur susu. Mitsuya mulai makan dalam diam sambil menatap ke jendela dapur yang dibiarkan terbuka semalaman karena Kenki lupa menutupnya; terlalu asyik berusaha menggeret Mitsuya ke kamar sementara Mitsuya sendiri masih mau menonton peragaan koleksi musim semi-musim panas Marc Jacobs di tv kabel. Mitsuya merutuk. Pokoknya nanti dia tak boleh ketinggalan siaran ulangnya. Peduli setan Kenki mau bilang apa.

Suara langkah kaki yang diseret-seret dan kuapan yang tak ditutupi membuat Mitsuya menoleh. Tunangannya mendekat sambil menggaruk rambut dan perut. Entah bagaimana Kenki berhasil memakai celana dan tank top padahal dia terlihat lebih mengantuk dibanding Mitsuya. Dengan lemas, pemuda itu duduk di bangku tinggi di sebelah Mitsuya lalu menyandarkan kepala di atas meja makan dan tertidur lagi. Mitsuya memutar matanya.

“Kenapa keluar kalau masih ngantuk?” Mitsuya bergumam dari tepi mug-nya.

“Bau kopi-nya enak.” Gumam Kenki, masih tak membuka mata.

Mitsuya mencibir. ”Aku tidak buatkan untukmu loh.”

”Aku bisa minum punyamu.”

”Enak saja. Buat sendiri.” Mitsuya menarik mug-nya menjauh meski Kenki masih tak bergerak dari posisinya.

”Pelit.”

”Pemalas.”

”Aku kan punya pacar. Buat apa dong?” Detik berikutnya Kenki mengaduh keras karena lengannya dicubit Mitsuya tanpa ampun. ”Micchi sadis.” keluh Kenki sambil meniup-niup kulitnya yang memerah. Mitsuya mencibir. ”Merah nih.” ujarnya masih mengeluh. Kali ini sudah duduk tegak, menyodorkan lengannya pada Mitsuya yang mendelik. Mitsuya memutar matanya dan melengos. Mengalah dan menuangkan kopi untuk Kenki dengan gula yang agak banyak tanpa susu. Kenki nyengir, masih mengusap lengannya. Cengirannya makin lebar saat Mitsuya menyodorkan roti panggang beroles selai marmalade yang sebenarnya tak begitu disukai Kenki tapi memang rasanya cocok dengan kopinya yang manis. Seperti yang dikatakan Mitsuya berulang kali. 

”Semalam ibumu menelepon loh.” Ujar Kenki sambil bersenandung senang.

Mitsuya mengangkat kepalanya dari majalah mode yang baru saja dibukanya. ”Kapan? Kenapa kamu yang ditelepon?”

Kenki mengangkat bahu. ”Kamu sudah tidur. Cuma menanyakan kabar sih. Lalu ngobrol sedikit.”

”Tapi kenapa kamu yang ditelepon?” kening Mitsuya berkerut hebat.

”Tidak tahu, Micchi. Tanya saja sama ibumu sana.” tukas Kenki sambil menggigit rotinya. ”Jangan merengut begitu ah. Nanti cepat tua loh.”

Mitsuya mendengus. ”Kan kamu sering bilang kalau aku memang kelihatan tua.”

Kenki tertawa, mencubit pipi Mitsuya dengan gemas. Jemarinya melingkar di dagu pemuda itu dan menariknya mendekat untuk mengecup pipi yang baru saja dicubitnya dengan sayang. ”Memang.”

Mitsuya mendorong pemuda itu menjauh, semburat merah di wajahnya membuatnya terlihat makin menggemaskan. ”Ibu tanya apa?” Mitsuya bertanya, mencuil roti yang dipegang Kenki.

Kenki mengangkat alis. ”Cuma apakah aku sehat, apa aku sering ketemu kamu, apa aku tahu kamu sudah berhasil masuk klub tenis atau belum, apa aku menonton pertandinganmu, apa kau makan dengan benar atau tidak, begitulah.”

Mitsuya membenamkan wajahnya ke telapak tangannya. ”Aaargh. Ibu itu ngomong apa siiih? Yang begitu itu kan tanya langsung saja padaku. Teleponku kan aktif terus. Ada-ada saja.”

Melihat pacarnya menggerundel begitu, Kenki tertawa dan mengelus kepala Mitsuya. ”Ibumu kan hanya ingin tahu. Tidak salah kok. Aku tidak keberatan ditanya begitu. Toh bukan pertanyaan yang tak bisa kujawab.”

”Seperti apa?” Mitsuya mengangkat alis.

”Hmm?”

”Pertanyaan seperti apa yang diajukan ibu yang tak bisa kau jawab?” Mitsuya menatapnya dengan mengangkat dagu.

Alih-alih menjawab, Kenki menarik lengan Mitsuya dan memaksa pemuda itu berdiri di antara kedua pahanya. Mitsuya memiringkan kepala dengan penasaran, tak protes dengan lengan Kenki yang melingkar erat di pinggangnya. “Mungkin kalau melihat kita seperti ini?”

Mitsuya tak pernah mengerti kenapa dia tak pernah bisa menolak pemuda itu. Sejak pertama kali mereka bertemu sampai detik itu ketika Kenki menciumnya. Padahal bisa saja Mitsuya berkeras untuk menolak dan mengusir pemuda itu jauh-jauh tapi Mitsuya tidak berminat cari ribut. Awalnya dia pikir Kenki akan bosan sendiri dengan tingkahnya tapi pemuda itu tak pernah mengalihkan pandangan sedikitpun. Meski Mitsuya marah-marah karena dibuat menunggu, meski dicereweti soal selera pakaian atau penataan apartemennya, meski berjam-jam diajak putar-putar pusat perbelanjaan hanya karena Mitsuya belum sreg dengan satu syal saja, meski Mitsuya kerap lebih memilih terpaku menatap koleksi foto Inoue Masahiro dibanding menjawab pertanyaan Kenki tentang pertandingan tenisnya. 

Pun tak bisa menolak saat Kenki mengeratkan pelukannya, menarik Mitsuya mendekat dan memperdalam ciumannya, membuatnya melupakan sarapan di atas meja. Kenki akan dengan santai membuang makanan yang dibuat Mitsuya dan membuatkan sarapan yang baru sementara Mitsuya pasti menggerundel tentang makanan yang jadi mubazir. 

----

”Ne,”

”Hmm?”

”Kenapa suka sekali menarikku lagi ke tempat tidur begini? Nanti kan bisa telat.”

”Serius nih?”

Mitsuya mengangkat alis.

Kenki tertawa dan menciumnya. ”Karena.”





Sunday, February 20, 2011

[fanfic] AU AkixYuuki - Complicated

Fandom: Tennis no Oujisama Musical, Kamen Rider Decade, Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Akiyama Shintaro x Kubota Yuuki, cameo Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori
Rating : PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything
Note: ah, hanya ingin saja menulis mereka lagi ehehehe maaf pendek saja.




"Pacarnya Kubo-nii?" Masahiro mengangkat alis pada pacarnya yang mengangguk. Pemuda itu menusukkan garpunya ke buah bit di piring salad Tori karena tahu Tori tak suka. "Kenapa Tori mau tahu?"

Tori mengedikkan bahunya. "Ingin tahu saja. Katou-sensei kan punya Takuya-kun dan kalau Ryuuji-san aku mengerti. Kurasa tak mungkin Kubota-sensei tak punya seseorang yang istimewa."

"Kenapa?"

Tori mengulum garpunya dengan imut. "Umh... entahlah. Karena dia tampan?"

Masahiro mencibir, tak rela mendengar Tori memuji pria lain meski itu kakaknya sendiri. Tapi tak urung keningnya membentuk kerutan kecil seraya mengunyah lamat-lamat. "Hmm... Aku tak begitu tahu. Memang ada sih yang dekat sama Kubo-nii. Tapi sepertinya hubungan mereka agak rumit. Aku tak begitu paham. Kazu-nii yang mengerti. Tanya saja sama dia."

Tori menusuk lengan Masahiro dengan satu jari. "Mana mungkin aku tanya sama Katou-sensei?"

Masahiro tertawa dan menggeliat menjauh dari jari Tori yang masih menusuk lengannya. "Ya tak usah ingin tahu saja kalau begitu."

Melihat Tori merengut, Masahiro memajukan wajahnya untuk mencuri kecupan dari bibir Tori. Lengannya dicubit sebagai tanggapan.

"Aduh, aduh! Hahaha iya, maaf. Aku bercanda kok." Masahiro berdeham dan Tori menghentikan serangannya. "Tapi aku benar-benar tidak begitu tahu. Kalau bertanya, aku pasti dipukul."

Tori tertawa dan mencubit pipi Masahiro yang menggembung seraya mengangguk-angguk.

"Apa orang yang selalu ditemui Kubota-sensei di Osaka?"

Kali ini pemuda itu mengangguk. "Kami sih kenal orangnya. Tapi karena Okaa-sama dan kakak-kakakku yang lain tak pernah meributkan soal itu jadi ya sudah, aku juga tak tertarik untuk bertanya."

Di satu sudut, sesosok tinggi mengenakan seragam tim medis memandang ke arah mereka. Bibirnya membentuk senyum simpul.

Orang lain memang tak akan mengerti.

----

Kubota mengenal pria itu sejak mereka masih di bangku sekolah. Punya selera humor yang nyaris sama anehnya dengan Kubota dan sepertinya satu-satunya orang yang bisa menolak semua keinginan Kubota kalau sedang merasa tidak mood untuk menuruti. Kedua orang itu pun langsung jadi mencolok karena selalu berdua kemana-mana. Juga karena keduanya tampan tapi mungkin lebih kepada tingkah keduanya yang suka bikin onar di sekolah.

Kubota juga tak begitu ingat sejak kapan persisnya mereka mulai tidur bersama. Kalau tak salah sekitar musim panas di tahun terakhir mereka atau setelahnya? Entahlah. Tapi tak pernah ada janji yang diikat. Mereka bebas datang dan pergi semau mereka. Tak ada tuntutan, tak ada sakit hati. Kubota hanya tahu dia bisa tenang tiap kali bersama Shintaro. Pria itu pun tak pernah mengusirnya pergi. Ketika Shintaro memutuskan untuk kembali ke Osaka pun tak ada ribut-ribut yang terjadi.

Sesekali berkirim pesan kalau sedang ingin atau menelepon kalau Kubota sedang tak ingin dapat kabar dalam bentuk tulisan. Kadang bisa berjam-jam, kadang hanya tiga menit. Shintaro hanya akan tertawa. Kubota pun tak pusing ketika Shintaro bercerita tentang Naito juga tak bertanya siapa ibunya. Selama Shintaro masih menyambutnya tiap kali Kubota muncul di depan apartemen atau rumahnya, Kubota tak akan berpikir macam-macam. Dia tak berminat untuk itu.

Kalau ditanya apa dia ingin menikah, sekali dua kali tentu saja hal itu terlintas di benaknya tapi langsung dikesampingkan begitu saja karena merasa pernikahan bukan untuknya. Kalau ditanya apa dia tidak lelah dengan hubungan seperti itu, Kubota hanya akan tertawa dan mengangkat alis. Orang kebanyakan akan merasa seperti itu tapi seperti yang selalu dikatakannya, Kubota bukan orang kebanyakan.

Kalau ditanya apa dia puas, jelas saja dia akan menjawab tidak. Mana ada manusia yang puas dengan segala sesuatunya kan? Meski jujur, Kubota tak akan tahu jawabannya jika ditanya bagaimana seandainya dia tak pernah bertemu dengan Shintaro. Kubota pria yang santai. Dia tahu apa yang dia mau dan tahu bagaimana cara mendapatkan keinginannya. Seandainya tak ada Shintaro, mungkin akan ada orang lain. Entahlah.

Tapi kenyataannya, ada Shintaro di suatu tempat dalam kehidupannya. Kubota tak suka menyia-nyiakan apa yang dia punya. Mungkin Shintaro juga berpikir hal yang sama. Toh untuk beberapa hal mereka memang mirip. Kalau dibilang memanfaatkan, toh mereka berdua sama-sama dapat untung. Manusia butuh teman untuk berbagi; perasaan senang, bahagia, sedih, kesal, hasrat, impian dan lain-lain. Dengan caranya sendiri, Kubota membaginya dengan Shintaro. Tidak dengan kata-kata atau curhat panjang bahkan sentuhan lembut dan kadang cukup hanya duduk bersebelahan melewatkan malam.

-------

"Kupikir kau sudah kembali ke Tokyo." Shintaro berkata sambil tersenyum simpul pada Kubota yang sibuk bermain dengan Rhyme.

"Memang. Tapi ada yang harus diantarkan." Ujar Kubota sambil mengulurkan sesuatu pada temannya.

Shintaro mengangkat alis. Diambilnya amplop dari tangan Kubota. "Apa ini?"

"Undangan pernikahan Masahiro." Ucap Kubota singkat, sibuk menggelitik perut Rhyme dengan gemas. "Kamu tambah ndut yaaa..."

Shintaro tertawa. Dilemparnya undangan itu ke atas meja tanpa berniat membukanya dan menghempaskan pantat ke atas sofa. "Anak bengal itu? Sama siapa?"

"Kolegaku di rumah sakit. Nanti lah aku cerita." Sahutnya tanpa menoleh.

Shintaro menyenggolkan lututnya ke bahu Kubota yang duduk di lantai. Kubota melengos. Shintaro tertawa lagi. Tangannya terulur mengelus rahang Kubota. Kubota mengangkat satu tangannya dan merengkuh tangan Shintaro. Pria berkacamata itu tersenyum.

"Ne, Aki."

"Hmm?"

"Pernah berpikir untuk menikah lagi?"

Shintaro terdiam sesaat. Bergerak pelan untuk memeluk temannya dari belakang. Bibirnya mengecup lembut telinga Kubota.

"Tidak."

-------

Saat-saat mereka berdua hanya jadi milik mereka. Apa yang dirasakan pun hanya jadi milik mereka. Entah itu cinta atau hanya sebatas saling menyenangkan, hanya mereka yang tahu. Tak perlu dibahas, tak perlu diuucapkan.

--end--

Monday, February 14, 2011

[fanfic] AU YutaxShunsuke - Chance

Fandom: Fujoshi Kanojo
Pairing: Furukawa Yuta x Daito Shunsuke
Rating: NC-17
Warning: BL. AU. OOC. NSFW.
Disclaimer: I do not own any of the characters. No profit gained. No harm intended
Note: Stensilan gejeh. Tidak usah dibaca kalau tak suka. Buat Icha dan Nei. *sighs* I need sleep




"Ne, Yuta."

"Nani?"

Shunsuke menarik nafas. Memutar kursi kerjanya menghadap tempat tidur supaya bisa memandang Yun yang duduk di sana. Yun tidak menoleh atau mengangkat kepala, masih duduk santai bersandar ke sandaran tempat tidur, asyik dengan novel detektif yang disandarkan ke lututnya.

"Mungkin sebaiknya kita putus saja ya." Ujar Shunsuke.

Pria di tempat tidur itu mengangkat kepala, menatap Shunsuke dengan teliti. Mata rubahnya tak berkedip sedikitpun dan Shunsuke menelan ludah. Perlahan, Yun menutup novelnya, menyingkirkannya ke samping dan melepas kaca mata.

"Aku tak pernah suka mendengar pernyataan tanpa alasan kuat." Nada tegas dalam suaranya membuat Shunsuke menunduk.

"Shunsuke?" Yun mengangkat sebelah alisnya. Garis wajahnya mengeras dan sudut bibirnya berkedut pelan.

Shunsuke menarik nafas. "Aku... boleh bertanya?"

Yun mengangkat bahu. "Seharusnya aku yang bertanya tapi sudahlah. Mau tanya apa?"

Merasa sedikit tak nyaman, Shunsuke duduk sedikit lebih tegak. Ibu jarinya menggaruk ujung alisnya yang tebal.

"Apa membiarkan aku bertemu dengan anak-anakmu adalah caramu untuk bilang padaku bahwa aku tak perlu berharap apapun darimu karena apapun yang terjadi, kau hanya akan serius jadi pacarku tapi tak lebih dari itu?"

Yun mengerjap. Otaknya perlahan memroses pertanyaan Shunsuke yang terdengar begitu rumit. "Apa yang membuatmu berpikir begitu? Kau yang bilang kalau kau ingin bertemu mereka."

Shunsuke mengangguk. "Itu artinya kau tak akan pernah mempertemukan aku dengan anak-anak itu kecuali aku minta kan?"

Yun diam. Shunsuke menghela nafas. "Yappari ne... Memang seharusnya aku tak percaya begitu saja waktu kau bilang tak keberatan pacaran denganku. Hahaha, aku ini naif juga ya. Mana mungkin aku bisa masuk ke tengah keluargamu kan."

"Hei."

Shunsuke memutar kursinya, memunggungi Yun. Tak ingin melihat pria itu karena takut pendiriannya runtuh. Meskipun Hide-kun dan Haru-kun sudah mau menyambutnya dengan lebih ramah, tetap saja ada jurang yang rasanya tak mungkin bisa diseberangi Shunsuke. Dia tak pernah punya niat untuk ikut mengambil peran Yun sebagai ayah. Dia hanya ingin diakui sebagai orang yang dianggap penting oleh Yun. Karena tak mungkin dia ada di samping Yun dan sama sekali tak berinteraksi dengan dua anak itu.

Mungkin cukup hanya dengan sama-sama tahu saja tapi Shunsuke tak bisa begitu. Dia tak akan tahan terus menerus diperlakukan seperti orang luar yang sama sekali tak ada hubungannya. Shunsuke tak bisa protes karena kedua bocah itu jelas punya hak 100% atas Yun. Sementara dia tidak.

Akal sehatnya sebenarnya tahu resikonya akan seperti ini. Yun menjawab dengan terlalu mudah dan sama sekali tak ambil pusing untuk menjelaskan dengan hati-hati. Mungkin sebaiknya dihentikan sekarang sebelum Shunsuke terlanjur jatuh cinta dan menuntut yang tidak-tidak. Karena kalau disuruh memilih, jelas Yun tak akan menoleh padanya.

Lamunannya buyar ketika dengan sebuah sentakan, kursinya berputar dan merasakan tubuhnya terangkat lalu terhempas ke atas kasur. Matanya mengerjap dan tahu-tahu saja Yun sudah berada di atasnya. Kedua lengannya memerangkap tubuh Shunsuke dengan kuat. Wajahnya yang cantik tampak sedikit datar tapi mata rubahnya menyelidiki dengan tajam. Reflek, mata Shunsuke terpejam ketika wajah Yun bergerak turun dan bibirnya menekan lembut bibir Shunsuke.

Tangan Shunsuke pun otomatis menyentuh lengan Yun saat pria jangkung itu memagut bibirnya dan menghisap pelan; mengulum bibir Shunsuke dengan sedikit bersemangat. Satu gigitan pelan di bibir Shunsuke akhirnya berhasil membuat Shunsuke mengerang lirih. Sambil merengut, lengannya melingkari leher Yun dan balas memagut bibir pria jangkung itu. Kesal karena tak bisa menolak dan begitu mudahnya perhatian teralih.

Jari-jari panjang Yun mengusap rambut Shunsuke dengan lembut dan ciuman mereka pun berubah jadi kecupan-kecupan ringan. Yun tersenyum kecil melihat ekspresi Shunsuke yang masih agak merengut meski wajahnya merah.

"Mau mendengarkan?" Yun bertanya dengan lembut.

Shunsuke mengangkat bahu, memainkan helaian kecoklatan rambut Yun dengan satu jari.

"Masih ingat waktu kubilang aku tak punya waktu untuk main-main?" Yun tak menunggu Shunsuke untuk menyahut atau mengangguk. "Aku bilang begitu karena itu kenyataannya. Memang, bukan cuma kamu yang kudekati hanya karena aku tertarik tapi tak ada yang kutemui lagi setelahnya."

Dibelainya sisi wajah Shunsuke dengan satu jari. "Aku tak tahu anak-anak itu bilang apa padamu. Kau seharusnya tahu lebih baik untuk tidak memasukkannya dalam hati. Mereka khawatir padaku. Cuma itu."

Shunsuke tak tahu semerah apa wajahnya saat itu. Yang pasti, kepalanya terasa panas. Jari-jarinya menelusuri kerah piyama Yun lalu menggerut pelan. "Memangnya apa yang kau lakukan sampai membuat mereka khawatir?"

Kekehan pelan Yun mengiringi kecupan lembut di bibir Shunsuke. "Entahlah. Mungkin hal-hal seperti mendekati pengacara tampan dan lucu seperti yang ini." Tangannya yang besar bergerak mengelus sisi tubuh Shunsuke dan menyelinap ke balik piyama untuk menyentuh kulit yang hangat. Shunsuke menggeliat pelan dan beringsut saat Yun menyelipkan kaki ke antara kedua kakinya.

Shunsuke beringsut, menggigit bibir karena lutut Yun menggesek selangkangannya. "Tapi awalnya kau juga tak ingin aku menemui mereka." Tarikan nafas tajam menyusul ucapannya; ibu jari Yun bergerak pelan di dadanya.

Yun menggeleng; membenamkan kepalanya ke lekuk leher Shunsuke dan mulai memagut pelan. "Kita baru sebentar bersama. Aku tak ingin kau kecewa atau berharap terlalu banyak. Aku serius, Shunsuke tapi kalau kau berpikir aku akan sesigap temanmu dan melamarmu sekarang juga, aku takut kau hanya akan kecewa."

Shunsuke menundukkan kepala dan menepuk pelan dada pria jangkung itu. Berusaha tak terlihat kalau dia tersipu-sipu. "Aku tidak berpikir sampai situ, tahu." Shunsuke menghela nafas, menengadah sedikit dan membiarkan Yun menikmati lehernya. Tertawa pelan saat mendapati kancing piyamanya sudah terbuka semua dan tak keberatan saat Yun menarik lepas celananya.

"Aku terlalu banyak berpikir ya?" Gumamnya sambil mendorong Yun menjauh dan melucuti piyama kekasihnya itu. Yun tak langsung menanggapi, lebih memilih untuk mencium Shunsuke.

"Biar mereka jadi urusanku." Bisik pria cantik itu seraya menggigit pelan kulit di pundak Shunsuke. "Mereka tahu kalau mereka nakal, aku akan menggantung terbalik mereka di teras." Ujarnya singkat seraya menyeringai.

Alis tebal Shunsuke mengerut. "Kau tega?"

"Menurutmu?"

"............Baiklah. Lebih baik aku tak usah tahu."

Yun tertawa lalu memandang Shunsuke dalam-dalam. Shunsuke tak bisa mengalihkan pandangan dan menelan ludah melihat kilatan penuh nafsu di sepasang mata rubah itu. Telapak tangannya mengelus punggung Yun, bergerak turun untuk meremas pelan dan merapatkan pinggul mereka. Shunsuke mendesah.

Rubah itu menjilat bibir. "Jadi apa rencanamu, pak pengacara?"

Menarik turun leher Yun supaya bisa menciumnya dengan lebih mudah, Shunsuke mengedikkan bahu dengan manja. "Entahlah. Menurutmu aku harus apa, pak guru?"

"Sekarang?" Yun menarik pelan lengan Shunsuke, memberi tanda agar pria mungil itu berbaring tengkurap. Shunsuke tertawa pelan, mengaitkan jari-jarinya dengan jemari Yun sementara tangan Yun yang lain menyelip di antara tubuh Shunsuke dan kasur. Shunsuke menggigit bibir dan mengangkat pinggulnya. Dirasakannya dada Yun di punggungnya dan nafas Yun di telinganya juga bisikan Yun yang parau namun terdengar begitu seksi.

"Sekarang aku hanya ingin kau mengerang, memohon dan menjeritkan namaku. Berkali-kali." Dan mencium Shunsuke dengan penuh nafsu.

Shunsuke membenamkan wajahnya ke dalam bantal. Tangannya yang bebas mencengkeram seprai saat Yun memasuki tubuhnya. Tanpa malu-malu mengerang dan memohon di mana dia ingin disentuh. Menyamakan irama tubuhnya dengan Yun dan memenuhi keinginan Yun dengan menjeritkan nama kekasihnya, mencengkeram kuat sampai Yun menggerungkan namanya lalu melenguh panjang dan rendah seraya meledak di dalam tubuh Shunsuke.

-------

"Aku boleh berkunjung ke Osaka lagi?"

"....Tak usah buru-buru."

"Tidak, kok. Aku hanya ingin tahu apakah aku akan selalu dibukakan pintu."

"......Asal kau tahu sopan santun dan menelepon dulu sebelum datang."

"Hai, Sensei."

-end-

Saturday, February 12, 2011

[fanfic] TakumaxYuuki - Surrender

Fandom: Tenimyu 2nd Season
Pairing: Wada Takuma x Ogoe Yuuki
Rating: NC-17
Warning: BL. AU. OOC. NSFW.
Disclaimer: I do not own any of the characters
Note: dibikin di tengah shooting, maaf kalo gejeh dan tak bagus. Buat Icha yg lg pengen stensilan.




Celana pendek harus dimasukkan dalam daftar barang yang dicekal negara. Begitulah yang disimpulkan Takuma sambil balik badan dan menutup hidung karena takut mimisan saat melihat Yuuki, mengenakan kaus dan celana pendek setengah paha, nungging di depan lemari es yang terbuka; mencari minuman kaleng dingin. Sedikit saja Yuuki bergerak lebih rendah dan garis celana itu akan naik lebih tinggi sampai Takuma nyaris bisa melihat garis bokong anak laki-laki itu.

Sambil menarik nafas, dokter gigi itu meraih pundak Yuuki dan menariknya menjauh dari depan lemari es. "Biar aku yang ambilkan. Fanta strawberry kan?"

Yuuki mengerjap bingung meski tetap mengangguk. "Kulkas Kuma penuh sekali." Rajuknya.

Takuma menyerahkan minuman yang dicari Yuuki. "Kemarin aku belanja dengan Matsuzaka."

Yuuki menarik cincin pembuka kaleng dan menyesap minumannya. Satu alisnya terangkat. "Kenapa tidak ajak aku?"

Takuma mengangkat bahu. "Kemarin Yuuki latihan sampai malam kan? Matsuzaka sekalian minta ditemani makan malam karena Inoue-kun sibuk." Diikutinya Yuuki ke ruang tamu dan mereka duduk bersebelahan di sofa. Sesaat tak ada jawaban dan Takuma melirik ke arah Yuuki. Anak itu menyesap minumannya pelan-pelan sementara kepalanya mengangguk-angguk.

Pria itu mengusap kepala Yuuki sambil tersenyum. Mau tak mau, matanya kembali tertuju pada sepasang paha putih yang terekspos begitu saja tanpa malu-malu. Takuma menusukkan telunjuknya ke paha samping Yuuki.

"Tidak dingin? Celanamu pendek sekali." Gumamnya sambil membuang muka.

Seolah tak paham, Yuuki hanya mengangkat bahu. Kembali menikmati minuman dinginnya tanpa rasa bersalah. Takuma menggerundel pelan. "Ganti baju sana."

"Kenapa sih?" Sela Yuuki sedikit sebal. "Aku suka pakai celana ini."

"Terlalu pendek." Tukas Takuma.

".............."

Pelan, Yuuki meletakkan kaleng minumannya ke atas meja, berdiri dan melepas celananya lalu duduk lagi sambil mendengus. "Puas?"

Takuma terperangah. Mulutnya terbuka tutup beberapa kali. "A..apa yang kau lakukan? Pakai lagi!"

Yuuki merengut. "Tadi katanya Kuma tak suka celanaku. Sekarang disuruh pakai lagi. Yang mana yang benar?"

"Aku tidak menyuruhmu buka celana, tahu! Aku memintamu ganti baju!" Seru Takuma, agak histeris. Tanpa sadar beringsut ke sudut sofa dan merapatkan kedua kakinya. Mendadak bagian bawah tubuhnya jadi bersemangat.

"Hmph." Yuuki mendengus. "Dasar om-om mesum. Pasti berpikir yang tidak-tidak deh."

"Bukan salahku." Tukas dokter itu sambil membuang muka. Telinganya dan lehernya memerah dan Yuuki menganggap Takuma yang seperti itu sangatlah manis. "Takuya-kun bilang kalau fukubuchou-mu itu tahu ini itu. Kamu terlalu banyak bergaul dengannya ya?" Omel Takuma.

Yuuki mengangkat alis. "Apa? Kuma tak suka lihat aku begini? Tak mau melakukan ini dan itu denganku?" Tanyanya sambil beringsut mendekat.

Takuma nyaris saja naik ke atas sandaran lengan sofa. "Aku bisa masuk penjara, tahu."

"Memangnya Kuma tidak tahu kalau di negara kita umur 16 sudah boleh menikah?" Yuuki beringsut makin dekat.

"Itu kan untuk anak perempuan!" Tukas Takuma cepat, menahan pundak Yuuki agar anak itu tak bisa bergerak lebih dekat lagi. "Lagipula kan masalahnya bukan itu."

Yuuki menggembungkan pipinya dan merengut dengan imutnya. Takuma benci kalau sudah begitu. Terlalu sulit untuk tidak mencium Yuuki kalau pacarnya itu sudah pasang tampang begitu.

"Kalau begitu yang tempo hari itu apa? Aku sampai bolos latihan karena punggungku sakit."

Takuma mengerang. "Jangan diingatkan. Itu khilaf."

Yuuki mendengus. "Baiklah. Kalau begitu, Kuma harus buat surat perjanjian kalau Kuma tak akan menyentuhku sedikitpun, termasuk menciumku atau aku cerita pada Micchi."

"Kau gila ya!" Sergah Takuma. "Aku bisa dibunuh Mitsuya!"

"Jadi? Mau bikin surat perjanjiannya? Yakin Kuma bisa tahan?"

Takuma membenturkan kepalanya ke sandaran sofa. Jelas tidak mungkin dia akan bisa menahan diri kalau terus menerus berdekatan dengan anak semanis Yuuki. Toh, Yuuki sudah SMU. Wajar kalau punya hasrat yang sama dengan dirinya yang berusia 25 tahun. Lagipula mereka sudah terlanjur melakukannya. Satu kali. Itupun sampai membuat Takuma tak bisa tidur berhari-hari karena berpikir seharusnya dia bisa lebih bertanggung jawab. Meskipun Takuma tak bisa menyangkal kalau dia juga senang.

"Aku ini apanya Kuma sih?" Anak itu memiringkan kepalanya dengan penasaran. Beringsut mendekat dan membuka kaki untuk ditumpangkan di atas masing-masing paha Takuma. Takuma meletakkan tangannya di atas lutut Yuuki dengan hati-hati.

"Umh...pacar?" Gumam Takuma tak yakin.

Sudut-sudut bibir Yuuki melengkung membentuk cengiran lebar. Wajahnya bergerak maju dan Takuma berkedip merasakan bibir Yuuki menyentuh ujung hidungnya. "Kalau begitu, Kuma harus tanggung jawab karena sudah membuatku seperti ini."

Tanpa banyak bicara, Yuuki mengambil satu tangan Takuma dari atas lututnya dan membimbingnya ke antara kaki Yuuki. Dokter itu menarik nafas tajam. Tonjolan hangat dibalik celana dalam biri tua bergaris fuschia itu berdenyut pelan saat tersentuh tangan Takuma. Yuuki menggigit bibir dengan penuh hasrat saat tangan yang besar itu menangkup secara reflek. Pria itu menelan ludah.

"Masih siang..." Bisik Takuma parau.

"...aku tak akan mengadukan Kuma ke polisi kok..." Goda Yuuki, berusaha tertawa pelan yang langsung tertelan tergantikan desahan pelan seraya menggerakkan pinggulnya.

Tak ada jalan lain untuk Takuma selain menyerah. Cekikikan senang Yuuki terdengar saat Takuma akhirnya mendorongnya sampai anak laki-laki itu terbaring di sofa dan Takuma menggigit pangkal leher Yuuki seraya menggeram.

"You're impossible." Gumam Takuma seraya menarik lepas kaus yang dikenakan Yuuki sampai rambutnya berantakan. Lagi-lagi Yuuki terkikik senang. Kedua lengannya dilingkarkan ke leher Takuma dan dijilatnya bibir pria itu seraya nyengir nakal. Takuma menciumnya sekilas dan Yuuki masih tak bisa menyembunyikan senyumnya saat Takuma bergerak turun, bibir dan lidahnya menggelitik kulit dada dan perut Yuuki.

Satu persatu kaki Yuuki dikaitkan ke pundak Takuma dan pria itu tak membuang waktu untuk mengelus paha putih mulus dan menggigit gemas paha bagian dalam seperti yakin kalau rasanya pasti manis. Desahan dan erangan tertahan Yuuki membuat bagian bawah tubuh Takuma ikut bersemangat dan melonjak gembira.

Memang sudah terlanjur, pikir Takuma. Mau diapakan lagi. Jemarinya melingkar di seputar selangkangan Yuuki dan erangan Yuuki memang sesuatu yang juga harus masuk daftar cekal. Pun, dokter gigi itu tersenyum miring ketika tumit Yuuki menekan punggung dan jari-jarinya yang menyusup di antara helai rambut Takuma mencengkeram: Takuma mengulum pangkal kemaluannya sementara menggoda Yuuki dengan menekan celah bokongnya dengan dua jari.

"Kumaaa..." Yuuki mengerang panjang.

Takuma mengecup kemaluan Yuuki yang berdiri tegak di depan wajahnya. Jari-jarinya menekan sekali lagi dan dengan sengaja digetarkan. Yuuki mendengkur seksi dan menarik rambut Takuma sekali lagi.

"Kuperingatkan ya. Aku sedang tak punya persediaan pengaman. Yuuki harus puas dengan ini." Takuma meniup ujung kemaluan Yuuki, nyengir melihat kemaluan Yuuki berdenyut karena perbuatannya.

Kedua tangan Yuuki bergerak untuk menangkup pipi Takuma. Mata lebarnya menatap mata Takuma dalam-dalam dan mengangguk. Punya pacar semuda itu tapi bisa tampak begitu menggiurkan, Takuma tak tahu dia harus bersyukur atau mengutuk Siapapun Di Atas Sana.

Kepala Yuuki menengadah, mengerangkan nama Takuma sembari merasakan bibir dan mulut Takuma menyelimuti kemaluannya perlahan-lahan. Yuuki nyaris menjerit karena tak siap dengan jari-jari Takuma yang menekan masuk, bergerak pelan dan menekuk sampai menyentuh bagian dalam tubuhnya yang membuat Yuuki melengkungkan punggung, mengangkat pinggul dengan tak sabar dan membuat jari-jari kakinya melengkung. Juga bintang-bintang yang dilihatnya di balik matanya saat Yuuki menjerit dan semuanya berubah jadi putih.

-----

"Apa ini?"

Yuuki menyembunyikan cengiran di balik kausnya.

"Kenapa kau bawa-bawa ini di tasmu?" Takuma mengacungkan bungkusan persegi kecil di tangannya. Dipungutnya dari antara isi tas Yuuki yang berserakan karena tertendang.

"Diberi fukubuchou." Yuuki masih nyengir dan menggigit kausnya. "Katanya aku harus harus siap setiap saat."

"Siap apa? Dan memangnya kau tidak takut kena razia sekolah? Bagaimana kalau ibumu sampai tahi? Aaargh, aku akan benar-benar masuk penjara!" Takuma menggerut rambut dengan frustrasi.

"Bercanda. Itu tadi beli waktu kita mampir ke conbini kok." Sergah Yuuki.

"Itu lebih buruk lagi." Takuma melolong.

Yuuki menutup mulut Takuma dengan punggung tangan dan memanjat ke pangkuannya. "Daripada itu, Kuma tak mau membawaku ke tempat tidur?" Tanyanya sambil mengangkat alis dan senyum menggoda.

"Yuuki....."

-end-

Tuesday, February 8, 2011

[fanfic] AU YunxShunsuke - Attraction

Fandom: Fujoshi Kanojo, Samurai Sentai Shinkenger, Kamen Rider Decade, TeniMyu, Tumbling dan entah apa lagi *digampar*
Pairing: Furukawa Yuta x Daito Shunsuke, mention of Ma-kunxTori
Rating: PG-13
Warning: BL. AU. OOC. Bingung sama hubungan para karakter? Silakan main ke tempatnya Nei untuk mencari tahu :)
Disclaimer: I do not own the characters. No profit gained. No harm intended.
Note: Inilah akibat nonton Fujoshi Kanojo. Salahkan Shunsuke yang manis dan uke banget di situ juga Yun yang tetep cakep seksi ndosani.



Shunsuke tak pernah menyangka kalau kencan semalam seperti ini bisa jadi sesuatu yang benar-benar luar biasa. Apalagi dengan seseorang yang baru ditemuinya malam itu.

Pria itu sudah memberitahu Tori kalau dia sedang ada di Tokyo untuk urusan pekerjaan dan sepertinya bisa tinggal sampai akhir minggu. Tori membalas pesannya dengan menulis: 
Aah, gomen. Kebetulan minggu ini jadwalku penuh sekali. Tapi hari Minggu sepertinya sudah kosong. Mau bertemu untuk makan siang? 
Sekarang masih Jumat malam dan Shunsuke sudah nyaris mati bosan. Berjalan sendirian menyusuri wilayah Roppongi, asal saja masuk ke sebuah club yang tampaknya menarik, duduk dan menyesap wine sambil menikmati musik jazz dan melihat pria itu. Duduk di seberang Shunsuke, tubuhnya tinggi dan wajahnya cantik (karena tak bisa dibilang tampan); lancip seperti rubah. Shunsuke memandanginya karena merasa wajahnya unik dan memang enak untuk dilihat. Hidung mancung, dagu dan rahang yang melekuk mulus dan runcing, mata sipit yang persis sekali mata rubah dan bibir tipis kemerahan yang juga menyungging senyum agak misterius. Kesannya agak seram tapi Shunsuke tak bisa mengalihkan mata. Sejenak menyesali kenapa tak pernah ada yang seperti itu di deretan foto omiai. Dia berkedip bingung saat pria itu berdiri, membawa minumannya dan menghampiri Shunsuke.

”Boleh duduk di sini?” pria itu bertanya sambil menepuk sandaran kursi di sebelah kursi Shunsuke dan tersenyum dengan begitu menghanyutkan. Mungkin orang ini memang penjelmaan rubah, pikir Shunsuke.

Rubah, eh, pria yang mengenalkan dirinya sebagai ”Yuta. Namaku Yuta.” itu sepertinya benar-benar pandai membuat orang terpikat. Obrolannya dengan Shunsuke begitu lancar dan Shunsuke sama sekali tak merasa canggung. Berbeda dengan saat pertama kali melihat Tori yang membuat Shunsuke ingin memeluk dan mencubit pipinya dengan gemas, pria satu ini membuatnya ingin duduk di lantai dan bersandar pada lutut Yuta sementara Yuta mengelus-elus kepalanya. Entahlah. Aneh memang.

Shunsuke tak ingat berapa banyak alkohol yang dikonsumsinya tapi dia masih cukup sadar saat Yuta mencondongkan tubuhnya dan mulai bicara sambil berbisik langsung di telinga Shunsuke. Dan Shunsuke menciumnya. Mungkin karena pengaruh alkohol atau mungkin karena Yuta terlihat begitu cantik dari jarak sedekat itu. Yuta sepertinya tak keberatan. Digerutnya pelan kerah kemeja Shunsuke dan menariknya untuk balas mencium. Shunsuke tak begitu ingat apakah dia atau Yuta yang menawarkan untuk kembali ke kamar hotel tempat Shunsuke menginap.

Ikut omiai berpuluh-puluh kali, beberapa lanjut sampai pacaran tapi tak pernah ada yang serius, dan pertemuan tak terduga seperti ini yang membuat Shunsuke bertekuk lutut.

Yuta pria yang seksi. Sangat seksi. Mungkin yang terbaik yang pernah Shunsuke tahu.

Sekarang, beberapa jam setelah itu, Shunsuke terbaring tengkurap tak berdaya. Sekujur tubuhnya tertutup peluh, berusaha sekuat tenaga meredakan nafasnya yang memburu, punggungnya pegal luar biasa meski ia menikmati percikan-percikan nikmat yang masih menjalar di tiap bagian tubuhnya.

Tiga kali. Shunsuke tak pernah tahu dia sanggup bertahan selama itu dan masih hidup.

Dirasakannya kasur empuk itu melesak pelan dan bibir Yuta yang hangat mengecup pundak Shunsuke. ”Tak apa-apa?” bisiknya. Shunsuke bisa merasakan kalau pria itu tersenyum.

Shunsuke tertawa pelan, menelan ludah karena tenggorokannya terasa begitu kering. ”Kau bercanda ya? Masih bisa bertanya seperti itu?”

Yuta mengecup pundaknya sekali lagi. Yuta berbaring miring dan menyangga kepala dengan satu tangan sementara tangan yang lain mengusap lembut rambut Shunsuke yang hitam dan agak lembab. Dia terkekeh geli. ”Maaf ya. Aku terlalu bersemangat?”

Shunsuke mengangkat kepala dengan sekuat tenaga untuk melihat ke arah pria itu melewati bahu. ”Menurutmu?”

Yuta terbahak dan entah kenapa suaranya terdengar begitu merdu di telinga Shunsuke. Kepalanya terlempar ke belakang, memamerkan leher jenjang yang mengundang untuk dicium. Shunsuke menelan ludah lalu beringsut pelan untuk berbaring telentang. Yuta merendahkan kepalanya untuk menatap teman tidurnya itu. Tangannya terulur untuk menyentuh wajah Shunsuke. Pengacara itu mengangkat alisnya yang tebal.

”Apa?” tanyanya setengah tersipu.

Yuta tersenyum manis. ”Tak apa. Kamu manis.”

”Umh...terima kasih? Kamu juga. Eh, tidak...” Shunsuke ganti menjulurkan tangannya dan menyentuh dagu Yuta. ”....Kamu cantik.”

Yuta berkedip dan senyumnya bertambah lebar sampai matanya menghilang. Perlahan tangannya bergerak menyentuh tangan Shunsuke yang masih menyentuh dagunya dan menggenggam hangat. Dikecupnya pelan punggung tangan Shunsuke dan menatapnya penuh arti dan membuat wajah Shunsuke terasa panas.

”Terima kasih.” Shunsuke berujar spontan.

Yuta mengangkat alis. ”Untuk apa?”

Shunsuke tertawa pelan, berbaring miring untuk menghadap Yuta. Membiarkan pria itu tetap menggenggam tangannya. Rasanya hangat dan Shunsuke tak tahu kenapa dia merasa ini wajar saja. “Entahlah. Karena Yuta membuatku senang malam ini?”

Pria itu tersenyum dan mengecup tangan Shunsuke lagi. “Sama-sama.”


”Ne,” Yuta berkata beberapa lama kemudian, duduk bersandar ke kepala tempat tidur sambil merokok.

”Hmm?” Shunsuke mengangkat kepalanya, sudah kembali tengkurap karena punggungnya benar-benar pegal.

”Aku boleh menemuimu lagi?”

Shunsuke menatap Yuta beberapa lama. Kepalanya direbahkan ke bantal. ”Kenapa?”

Yuta menggaruk ujung hidungnya, sedikit tersipu dan Shunsuke senang melihat semburat merah di telinga pria itu. ”Kurasa aku suka padamu. Tak apa kan?”

Shunsuke menggaruk kepalanya. ”Aku senang sih kau bilang begitu. Tapi....” Dia mendesah. ”Aku sedang tak berminat dengan hubungan kasual macam apapun.”

Yuta menoleh dan bertanya dengan hati-hati, ”Maksudmu?”

“Belakangan ini temanku menasehati kalau aku harus cari pacar. Maksudku, pacar serius. Dan kupikir dia mungkin ada benarnya, apalagi melihatnya yang begitu bahagia karena akan segera menikah.” ujar Shunsuke. ”Jadi... maaf kalau aku terdengar kasar, tapi kalau kau hanya berminat untuk yang seperti itu, aku terpaksa menolak.”

Yuta menggaruk dagu, menghembuskan asap rokok dengan pelan. Dijentikkannya ke asbak yang diletakkan di atas pangkuannya. ”Terlalu sering sakit hati?”

Shunsuke tersenyum. ”Bukan. Hanya sudah lelah bermain-main.”

Yuta mengangguk-angguk. “Jadi pacarmu pun, aku tak keberatan kok.” tukasnya lugas dan santai seraya mengedikkan bahu.

”Haah? Memangnya bisa diputuskan segampang itu?” Shunsuke terpana dan tak bisa menahan tawa sampai tergelak. Tatapan Yuta membuatnya bungkam. Shunsuke menelan ludah. ”...Serius?”

”Serius.” Yuta mengangguk mantab. ”Aku punya dua orang anak di Osaka. Kau pikir aku punya waktu untuk main-main?”

Shunsuke membenamkan wajah ke dalam bantal. Kenapa dua orang terakhir yang membuatnya begitu tertarik harus aneh-aneh seperti ini? Pertama Tori yang ternyata sudah punya pacar dan hendak menikah plus anak angkat yang begitu lucu meskipun tingkah lakunya membuat Shunsuke berjengit dan sekarang, pria yang begitu cantik dan sanggup membuat Shunsuke berdebar-debar ternyata hobi memutuskan seenaknya dan punya dua orang anak. Shunsuke mendesah. Mungkin ini karma karena terlalu sering ikut omiai demi mencari calon yang sempurna.

“Shunsuke?” Yuta memanggilnya. Ada sedikit nada khawatir dalam suaranya. Shunsuke mengangkat kepala dan memandang pria itu. Yah, bukannya dia tak suka pada Yuta. Mungkin tak ada salahnya dicoba. Toh, Tori juga bilang Masahiro sama sekali bukan tipenya dan lihat betapa bahagianya mereka sampai membuat iri begitu.

Perlahan, tangan Shunsuke terjulur dan Yuta meraihnya. Susah payah, Shunsuke duduk dan melingkarkan lengannya ke leher Yuta. Yuta menjauhkan rokoknya dan balas memeluk dengan satu tangan. Tersenyum kecil saat Shunsuke mengecup bibirnya perlahan.

”Yah, kurasa sekarang aku bisa bilang pada temanku itu kalau dia tak perlu khawatir lagi karena sekarang aku punya pacar.” ujar Shunsuke sambil tersenyum lebar.

Yuta tertawa, terlihat senang tanpa dibuat-buat. ”Ii ne.”

Monday, February 7, 2011

[fanfic] AU Ma-kunxTori - For Your Eyes Only

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori
Rating: PG-13
Warning: BL. AU. OOC
Disclaimer: I do not own any of the characters. No profit gained. No harm intended
Notes: Seharusnya gue mikirin copy writing buat TVC tapi malah bikin fanfic *menari-nari* Oh, ini pasti gara2 Ma-kun dan tatapannya yang membuat hamil itu.
Buat SATCers tercintaaaah~~ 



Tori melangkah masuk ke dalam gerai Starbucks yang tak terlalu ramai. Tanpa menengok kanan-kiri langsung menuju counter dan memesan grande iced chai tea latte. Setelah seorang barista menyerahkan pesanannya, barulah dokter itu celingukan mencari teman kencannya. Jarang-jarang Masahiro mau diajak bertemu di luar seperti ini. Tori memang sedang tak ingin lama-lama di rumah sakit dan apartemennya sedang dalam kondisi luar biasa berantakan. Tori tak ingin waktunya berduaan dengan sang pacar malah dihabiskan dengan beres-beres. Masahiro hanya tertawa saat Tori memberitahunya dan mengiyakan saja. Tak ada salahnya ganti suasana.

Matanya kemudian menangkap sosok berbadan panjang berambut coklat di salah satu sudut.  Tori mendekat sambil tersenyum. Masahiro sengaja mengambil tempat di sudut yang agak tersembunyi oleh pot tanaman. Kaki panjangnya disilangkan dengan santai. Sneaker Puma warna putihnya mencolok kontras dengan celana denim ketatnya yang berwarna gelap. Kaus biru muda berleher rendah dan cardigan panjang abu-abu yang lengannya ditarik sampai siku membuatnya terlihat semakin tampan. Pemuda itu tampak serius mengutak-atik iPhone-nya. Tori tersenyum puas dan bangga.

Dikecupnya pipi Masahiro sekilas, “Hai! Sudah menunggu lama?” tanya Tori sembari menghempaskan tubuh ke sebelah pemuda itu.

Masahiro mengangkat kepalanya dari kesibukannya dan pura-pura merengut. ”Aku nyaris mati bosan. Katanya tak ingin lama-lama di rumah sakit? Itetete~” pemuda itu mengaduh karena lengannya dicubit Tori.

”Serius sedikit dong~”

Pemuda itu mengusap-usap lengannya. ”Iya, bercanda. Baru sepuluh menit kok. Tori kok tidak bisa diajak bercanda sih hari ini?”

Tori merengut dan membuang muka. Dihisapnya minumannya lewat sedotan dengan pipi menggembung. “Aku kan tidak enak kalau kamu menunggu terlalu lama. Kalau di apartemenku atau rumahmu kan kamu bisa tidur tapi ini kan di tempat umum.”

Masahiro mengangkat alis. “Ya, makanya, kalau begitu kenapa tidak di apartemen Tori saja?”

Tori makin merengut. ”Aku kan sudah bilang kenapa.”

Masahiro meletakkan handphone-nya ke atas meja. Sikunya ditumpukan di atas lutut dan menopang dagu. Matanya memperhatikan Tori dengan pandangan menyelidik, mencoba mencari apa yang membuat Tori jadi moody seperti itu. Tapi yang dilihatnya malah membuatnya tersenyum-senyum. Tori agak mengurus belakangan ini. Mungkin karena kunjungan rutinnya ke kolam renang rumah sakit. Jeans yang dikenakannya begitu pas dengan kakinya yang jenjang meski tak sepanjang kaki Masahiro. Polo shirt warna pink dipadu dengan cardigan hitam membuatnya tak terlihat begitu serius dibanding kalau sedang mengenakan seragam prakteknya. Masahiro tahu di balik pakaian itu ada kulit kecoklatan dengan otot yang terbentuk dengan begitu menggoda. Kadang Masahiro iri karena dia tidak memiliki otot sebagus Tori. Tori beralasan itu semua karena dia ikut klub renang sampai SMU dan selalu berenang dengan ayahnya kalau sedang pulang ke Kanagawa.

Masahiro juga tahu kalau ada banyak tahi lalat di tubuh Tori. Masahiro hapal di luar kepala karena sering menciumi tempat-tempat itu hanya demi melihat Tori menggeliat geli atau bahkan mengerang kalau tempatnya cukup strategis. Favorit Masahiro adalah di tengkuk sebelah kiri bawah, di dekat panggul kiri dan dua di paha bagian dalam sebelah kanan. Tori bisa sampai mendengkur seperti kucing kalau sudah disentuh di tempat-tempat itu.

Menggigit ujung jari kelingkingnya, Masahiro meneruskan memandangi pacarnya yang masih merajuk itu. Matanya tertuju pada pundak dan leher Tori. Bagian tubuh Tori yang paling seksi dan sepertinya pemiliknya entah sadar entah tidak selalu memperlihatkan dengan suka rela. Masahiro tahu betapa hangat dan manis rasa kulit Tori di situ. Dia suka meletakkan bibirnya di bagian leher yang berdenyut pelan sambil bergumam, lagi-lagi hanya untuk membuat Tori menggigit bibir dengan resah. Masahiro juga menyukai membenamkan wajahnya di lekuk leher Tori karena selalu terasa begitu nyaman. Wangi parfum bercampur aftershave yang segar atau kadang aroma gurih vanilla bercampur jeruk yang begitu mengundang sampai Masahiro tak tahan untuk tidak mengigit lembut.

Rahang Tori yang bagus pun tak luput dari perhatian Masahiro. Sampai beberapa waktu yang lalu, rahang itu tampak agak membulat tapi sekarang sudah terlihat lagi bentuknya. Masahiro selalu suka bagaimana mata Tori mengatup perlahan setiap kali jari-jari Masahiro mengelus rahangnya dengan begitu lembut dan penuh cinta. Juga bibir Tori yang membuka perlahan saat jari-jari Masahiro menyapu lembut, kadang Masahiro berhenti sejenak untuk membiarkan Tori mengecup buku jarinya seraya membuka matanya dan memandang Masahiro dengan penuh cinta. Sepasang mata kecoklatan yang selalu membuat Masahiro hanyut dan tak tahu harus bagaimana. Kalau sudah begitu, Masahiro tak akan tahan untuk tidak mencium Tori.

Masahiro terpaku sejenak saat mendapati wajah yang sedang diamatinya perlahan bersemu kemerahan. Kedua kakinya diangkat ke atas sofa dan dilipat di depan dada, bergerak sedikit gelisah. Didorongnya lengan Masahiro seraya bergumam,

”Ma-kun~” dengan nada menegur manja.

Masahiro tertawa pelan, tak benar-benar mengalihkan perhatian dari sang pacar. ”Apa?”

Tori melirik ke sekitar mereka dan merendahkan suaranya. ”Jangan memandangku begitu.”

Sebelah alis Masahiro yang tertata rapi terangkat. ”Memangnya kenapa?”

Tori membuang muka dan menatap pot tanaman di dekat sofa yang mereka duduki. Digigitinya sedotan di gelasnya. ”Malu, tahu.” gumamnya agak tak jelas.

Melihat pemandangan yang begitu imut di depannya itu, Masahiro menggigit bibir dan mengambil sati tangan Tori. Menggengam dengan erat dan hangat sebelum membawa tangan Tori ke depan bibirnya dan mendaratkan bibirnya ke pergelangan tangan Tori.

”Salah Tori kenapa mengajak bertemu di tempat seperti ini. Kalau di apartemen kan, kita bisa bebas.” gumam Masahiro.

Tori menarik nafas tajam. Mendadak celana jeans-nya terasa lebih ketat daripada setengah jam yang lalu. Digigitnya bibirnya sekilas, menarik nafas sekali lagi lalu beringsut mendekat. Kepalanya bersandar ke pundak Masahiro. Ditusuknya pelan dada Masahiro.

”Ma-kun harus belajar menahan diri dong.”

Masahiro mengernyit tak suka. ”Kenapa harus?” Diremas-remasnya tangan Tori dengan gusar.

Tori tertawa pelan dan mengangkat kepala untuk memandang Masahiro. ”Hari ini aku kangen sekali dengan Masahiro loh. Tapi aku sedang ingin ngobrol saja dengan Masahiro. Toh, nanti malam Masahiro juga pasti akan ikut pulang ke apartemen kan?” ujarnya sembari meletakkan jari di depan bibir pemuda itu.

Masahiro mengangguk membenarkan meskipun masih sedikit merengut. Dokter itu kembali merebahkan kepalanya ke pundak Masahiro. ”Aku ingin begini dulu. Lagipula, aku sedang ingin pamer.”

”Ha?” Masahiro menunduk.

Tori mengangguk. ”Dari tadi sudah ada lima orang yang melihat ke sini karena mengenali Ma-kun. Begini saja kan sudah cukup untuk bilang kalau mereka tak boleh mendekat karena Ma-kun milikku.”

Tawa pemuda itu tersembur. ”Jadi aku tak boleh memandangi Tori sementara Tori boleh pamer seperti itu?”

Tangan Tori menepuk pelan dada Masahiro. ”Ini dan itu beda dong. Aku tak sevulgar Ma-kun.”

Masahiro mencibir. Tori tertawa dan mengecup rahang pacarnya dengan penuh perasaan. Matanya meredup dan berbisik dengan nada menggoda. “Kalau Ma-kun mau sabar, nanti malam Ma-kun boleh melakukan apapun padaku deh.”

Mata Masahiro melebar dan melempar tatapan menantang pada Tori. ”Kupegang kata-katamu, Sensei.

Tori tersenyum manis dan mengedikkan bahunya. Sekali lagi menyandarkan kepalanya dengan nyaman dan mendesah puas saat melihat beberapa orang mencuri pandang ke arah mereka.