Saturday, January 29, 2011

[fanfic] AU TakumaxYuuki - Closer

Fandom: Musical Prince of Tennis 2nd Season
Pairing: Wada Takuma x Ogoe Yuuki
Rating: NC-17
Warning: AU. OOC. NSFW
Disclaimer: I just thought up the idea. I do not own the characters. No harm intended and no profit gained
Note: Mari kita masuk neraka bersama-samaaaaa syalalalalalalalala



Entah bagaimana, seseorang yang hanya mengenakan kemeja putih kebesaran dan dikancing dengan asal saja selalu jadi pemandangan yang memanjakan mata sekaligus sangat seksi. Takuma pun akan dengan setuju menganggukkan kepalanya. Apalagi kalau pemandangan seperti itu sekarang terpampang jelas di depannya. Ditambah lagi, Yuuki baru saja selesai mandi dan tengah duduk di atas tempat tidur Takuma sambil memeluk bantal. Tangannya sibuk dengan ponselnya. Kedua kakinya disilangkan dan Takuma tak bisa menahan matanya untuk tidak bergerak ke bagian kulit Yuuki yang begitu putih mengintip malu-malu dari balik kerah dan dari bawah bantal di pangkuannya. Belum lagi 18 tahun dan anak itu sudah terlihat begitu menggoda. Rasanya sedikit salah tapi Takuma bukan seseorang yang suka mengeluh. Untuk hal-hal tertentu. Yang jelas, dia tak akan mengeluh soal yang satu ini.

Yuuki tersenyum lebar saat menyambut segelas coklat hangat yang dibawa Takuma. Meskipun Takuma sempat mendelik tapi Yuuki merengek seraya berjanji kalau dia akan sikat gigi lagi sebelum tidur. Anak itu memegang cangkir dengan satu tangan, beringsut pelan memberi tempat saat Takuma naik ke tempat tidur tapi masih sibuk berkutat dengan ponselnya.

"Mitsuya?" Takuma tak tahan bertanya.

Yuuki hanya mengangguk dan beberapa saat kemudian baru menutup ponselnya. Menjulurkan badan di atas badan Takuma yang sudah tiduran untuk meletakkan ponsel di atas bufet. Tangan Takuma menggenggam pergelangan Yuuki sebelum Yuuki sempat menarik tangannya. Anak itu menoleh ke arahnya sambil mengangkat alis. Takuma hanya tertawa pelan, menarik tangan itu untuk membawa pemiliknya bersandar ke dadanya. Yuuki tersenyum-senyum, menyesap coklat dari cangkir yang masih dibawanya dan meletakkannya di atas dada Takuma. Dokter gigi itu mendesis.

"Kuma, coklatnya kurang manis." Protes Yuuki sambil pura-pura merengut imut.

Takuma menyingkirkan anak rambut yang jatuh menutupi kening Yuuki. Rambutnya masih lembab. Hidung Takuma menangkap aroma shampoo yang begitu familiar. Rupanya Yuuki menggunakan shampoonya. "Tak baik untuk gigimu."

Yuuki menggembungkan pipinya yang kini mulus bebas jerawat. Takuma mencubitnya gemas. Pemuda mungil itu masih merengut dan Takuma pun mengecup bibirnya sekilas. Yuuki nyengir puas dan membalas dengan memagut dan mengulum bibir bawah Takuma. Dan seolah tak ada apa-apa, kembali menyesap coklatnya dengan inosen. Pundaknya bersandar ke dada Takuma, beringsut nyaman saat Takuma memeluk pinggangnya dengan dua tangan.

Wajah Takuma terjulur untuk mengulum daun telinga Yuuki yang mengintip dari antara helaian rambutnya yang dibiarkan memanjang. Yuuki berjengit geli, mendorong pelan dengan bahunya tapi tak benar-benar berontak.

Setelah meletakkan cangkir di atas bufet, Yuuki melingkarkan kedua lengannya ke leher Takuma. "Besok praktek pagi?" Tanyanya dengan setengah berbisik menggoda.

Takuma mengangkat alis. "Ada pasien kontrol jam 11." Ujarnya, mengelus pelan punggung Yuuki.

Sudut-sudut bibir Yuuki melengkung membentuk cengiran nakal. "Hmmm..." Gumamnya sambil mulai mengecupi pipi dan rahang Takuma. Takuma mengangkat alis.

"Yuuki nakal." Godanya meski tak urung beringsut untuk rebah dan membuat Yuuki berbaring di atasnya.

"Salah Kuma kenapa tampan sekali." Yuuki bergerak untuk mengapit pinggul Takuma dengan kedua lututnya. Merasa senang ketika Takuma mengeratkan pelukan di pinggangnya dan tertawa mendengar dokter itu mengerang pelan seraya balas memagut bibir Yuuki yang menciumnya. Tahu dengan pasti kalau Takuma sudah menyerah meskipun tahu akan bangun kesiangan.

Takuma pun tak berbuat apa-apa saat Yuuki menyelipkan tangan ke antara tubuh mereka dan mulai melepaskan kancing piyama dokter tampan itu. Dinikmatinya telapak tangan Yuuki yang terasa panas mengelus dada dan perutnya lalu bergerak ke sisi tubuhnya. Entah bagaimana Yuuki bisa tahu kalau Takuma suka disentuh begitu. Bagian bawah perut dan punggungnya sudah mulai terasa seperti dirayapi sesuatu saat Yuuki menunduk untuk mengecup dada Takuma. Dan langsung tercekat melihat sepasang bibir mungil kemerahan itu membuka untuk mengulum putingnya.

Takuma menggeram rendah dan suaranya nyaris terdengar seperti beruang betulan. Yuuki terbahak dan Takuma menciumnya untuk membuat anak itu diam. "Kuma seram." Bisik Yuuki dengan suara serak dan senyum simpul. Takuma tak menanggapi, hanya menyusupkan wajah untuk menyerang leher dan rahang Yuuki sampai pemuda itu mengeluarkan suara seperti dekukan pelan.

"Kucing nakal," Takuma menggigit kulit di pangkal leher Yuuki.

"Mou. Aku tak mau tahu kalau besok semua orang menuduh Kuma oom-oom mesum karena aku akan bilang ini hasil perbuatan Kuma." Lagi-lagi Yuuki merengut, pipinya menggembung lucu.

Takuma menjilat dagu Yuuki. "Itu lebih baik daripada dikira ayahmu."

Yuuki tertawa geli. "Aku heran kalau masih ada yang berpikir begitu." Dan menciumnya dengan sangat manis. Begitu dia menjauh, Takuma harus menahan nafas melihat hasrat di mata Yuuki. "Ne, Kuma~"

Takuma mengelus pipinya dengan sayang. "Hmm?"

"Hayaku?"

"..............Un."



Yuuki tak mengerti kenapa setiap kali menyentuh atau disentuh Takuma, seluruh tubuhnya selalu terasa seperti kena setrum. Bukan hentakan yang mengejutkan tapi getaran lembut yang menjalar ke tiap syarafnya. Kehilangan pendengaran selama beberapa lama membuat indera Yuuki yang lain jadi lebih sensitif. Mungkin itu sebabnya, mungkin juga bukan. Dia juga tak pernah mengira kalau perasaan itu bisa berubah menjadi sesuatu yang meledak-ledak yang membuatnya menggigit bibir, membuatnya mengerang seperti kucing kelaparan atau membuatnya mengangkat pinggul dan meminta lebih saat Takuma menyentuhnya di bawah sana.

Dan hal-hal itulah yang dirasakannya sekarang. Masih berbaring di atas Takuma, Yuuki harus menutup mata dan membenamkan wajahnya ke dada Takuma untuk meredam erangannya karena jari-jari Takuma yang bergerak keluar masuk tubuhnya. Tidak lembut tapi juga tidak kasar. Takuma selalu seperti ini, mempersiapkan Yuuki dengan hati-hati sambil sesekali mengecup puncak kepala Yuuki. Yuuki tak tahan untuk tidak menyelipkan tangan ke antara tubuh mereka lagi dan menyentuh dirinya sendiri. Digigitnya pelan pundak Takuma yang kokoh itu.

"Mou ii~" ujarnya memberitahu Takuma. Takuma tertawa. Tawa rendah dan seksi yang hanya didengar Yuuki saat mereka sedang bersenang-senang di tempat tidur.

Perlahan, Takuma menarik keluar jari-jarinya, iseng membelai belahan pantat Yuuki yang membuat anak itu mengerang dan menggigit dadanya. Lagi-lagi tawa itu terdengar. Yuuki mengangkat wajahnya dan menjilat bibir meskipun di saat seperti ini, jantungnya selalu berdebar begitu keras.

Takuma beringsut. Meremas pantat Yuuki dengan sedikit kencang dan Yuuki bisa merasakan sesuatu yang hangat menekan jalan masuk ke tubuhnya. Mereka bertatapan dan Yuuki memeluk leher Takuma, menciumnya dengan lembut.

"Hairu yo." Bisik Takuma di telinganya. Hembusan nafasnya membuat Yuuki resah dan mengangguk tak sabar. Menarik nafas tajam dan mengerang panjang seraya mengernyit saat menyambut Takuma ke dalam tubuhnya. Yuuki tak pernah terlalu menyukai proses itu. Rasanya aneh dan agak sakit. Takuma selalu terasa begitu besar dan Yuuki tak tahu apakah dia akan terbiasa.

Butuh dua menit lebih sampai Takuma sepenuhnya berada nyaman di dalam tubuh Yuuki. Pria besar itu memandangnya penuh cinta dan menciumnya dengan lembut sebelum bergerak pelan, membuat Yuuki lupa akan rasa sakitnya dan menggantinya dengan kenikmatan berkali-kali lipat.

Dia tak peduli dianggap terlalu cepat dewasa. Senang bisa membalas senyuman penuh arti fukubuchou-nya dengan cengiran dan tanda victory sementara teman-temannya memandang heran meski buchou-nya menghela nafas dan menggelengkan kepala. Seluruh tubuhnya seperti berpendar dan emosinya meluap-luap. Perasaan yang hanya bisa dimengerti saat kita benar-benar menyayangi seseorang dan bisa berasa sedekat ini dengan orang itu.

Telinganya menangkap erangan Takuma dan Yuuki membuka mata. Kekasihnya itu mengernyit. "Jangan mencengkeram sekencang itu."

Yuuki meleletkan lidah. Mencium Takuma dan mengangkat tubuhnya. Kedua tangannya bertumpu di dada Takuma dan mulai menggerakkan pinggulnya. Dengan sengaja menengadah dan mengeluarkan erangan yang terlalu seksi seraya mengapit Takuma dengan erat di dalam tubuhnya.

"Yuuki!" Takuma mencengkeram pinggul anak itu, tersengal.

Yuuki beringsut agar Takuma bisa menekan masuk dari sudut yang berbeda. "Aku tak keberatan Kuma selesai duluan."

Takuma menggeram. "Siapa yang mengajarimu jadi mesum seperti ini?"

Yuuki mengedikkan bahunya dengan genit tapi langsung bungkam karena Takuma menghentak cepat dan menyentuh titik sensitifnya. Wajahnya yang berpeluh semakin memerah. Tanpa malu-malu mulai mengerang-erang nikmat.

"Kumaa~" Yuuki menjangkau kemaluannya sendiri sekali lagi. Tangannya bergerak seiring gerakan pinggul mereka. Matanya menatap mata Takuma lekat-lekat. "Naka ni dashite~"

Cengkeraman yang semakin erat, hentakan yang makin cepat dan kuat juga pinggul yang mengejang. Takuma menggerung dan Yuuki menjerit.



Takuma menggerut rambut seraya menghela nafas. Sesekali mengerang pelan karena orgasmenya belum benar-benar selesai. Yuuki memandangnya dengan penuh minat sambil sesekali menciumnya meski masih agak tersengal.

"Terima kasih." Takuma berbisik di telinganya tak berapa lama kemudian. Tertawa pelan melihat ekspresi Yuuki yang terlihat begitu puas. Gemas melihat itu, diremasnya tubuh Yuuki dalam pelukannya.

"Mou~ Kuma masih di dalam~" protes Yuuki seraya menggeliat.

"Ah, maaf, maaf." Takuma baru saja hendak mengangkat pinggul Yuuki ketika tangannya ditahan. Yuuki menggeleng pelan.

"Sebentar lagi saja. Ya?" Yuuki memiringkan kepalanya. "Aku masih ingin merasakan Kuma.

Takuma yakin dia orgasme untuk yang kedua kalinya.

Thursday, January 27, 2011

[fanfic] Ma-kunxTori - Morning After

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori
Rating: PG-13
Warning: AU. BL. OOC. 
Disclaimer: I do not own any of the character. No profit gained.
Note: Gue nulis apa sih iniiiiiiiiiii? Nei, maafkan akuuuu~~ 
Anyway. Timeline-nya adalah setelah Interlude.



Masahiro tampak sibuk memandangi isi kulkas Tori. Bibirnya mengerut lucu sambil sesekali meraih sesuatu dan meletakkannya kembali ke dalam kulkas. Sementara itu mata Tori menatap lekat-lekat sambil bertanya-tanya apa pemuda itu tidak kedinginan bertelanjang dada seperti itu. Diam-diam menikmati pemandangan kulit Masahiro yang putih dan teringat bagaimana dia menciumi beberapa bagian kulit itu semalam. Wajahnya buru-buru dialihkan, pura-pura tertarik memandang ketel di atas kompor, saat Masahiro menoleh dan menutup pintu kulkas dengan bunyi berdebam pelan. Tori nyaris terlonjak begitu mendengar suara Masahiro dekat sekali di telinganya.

“Kulkasmu kosong.”

Bahu Tori terguncang dalam kekehan pelan dan menolak menoleh ke arah pemuda itu karena tak ingin wajahnya yang memerah terlihat. Setelah semalam, rasanya jantungnya tak kuat berada dekat-dekat pemuda itu.

“Aku memang belum sempat belanja.” Ujar Tori sambil beringsut menjauh. Sedikit menyesal hanya mengenakan atasan piyama (bawahannya dipakai Masahiro) karena kakinya mulai kedinginan. Tangan Tori terulur untuk mengambil spatula dan buru-buru ditarik karena tak sengaja menyentuh dada Masahiro. Dengan salah tingkah, Tori memutari pemuda yang berdiri di dekatnya itu untuk mengambil spatula, kembali memutar dan mengaduk susu dengan penuh minat. Masahiro bersandar ke counter dapur mungil itu. Kedua lengan dilipat di depan dada dan kakinya disilangkan dengan santai. Tori melirik. Ugh, seksi sekali.

Pemuda itu sepertinya sadar Tori mencuri-curi pandang ke arahnya. Bibirnya mengulum senyum geli. Ditekannya niat isengnya karena masih ingin menikmati pemandangan di depannya. Tori dengan rambut berantakan sehabis bangun tidur (dan setelah bercinta dua kali semalam. Ya, dua kali), cambang dan pipinya yang menggoda untuk dikecup, atasan piyama yang tak dikancing rapi dengan kerah memamerkan leher dan sedikit pundaknya yang seksi itu (Masahiro nyengir puas melihat beberapa tanda kemerahan di sana),  juga kaki jenjang Tori yang tak tertutup. Kalau jadi model, Tori pasti banyak dapat tawaran iklan pakaian dalam.

Tak tahan, Masahiro menjulurkan badannya dan mengecup pundak Tori. Tarikan nafas tajam dokter itu membuatnya tersenyum simpul. Jarinya menarik pelan kerah piyama putih itu dan mendaratkan bibirnya di lekuk leher Tori. Tak puas, Masahiro membuka bibirnya untuk memagut pelan.

Tori berjengit geli dan menggeliat menjauh tapi Masahiro langsung menangkapnya. Nyaris saja pemuda itu membawanya ke kamar tidur lagi kalau bukan karena bunyi keras dari ketel di atas kompor menandakan air di dalamnya sudah mendidih. Masahiro menatap ketel itu dengan kesal. Tori terkikik, mendorong tubuh Masahiro menjauh dan mematikan kompor. Tangannya meraih ke atas untuk membuka lemari.

”Aku hanya punya ini. Tak apa-apa ya?” Tanyanya dengan senyum manis, menggoyangkan sekotak besar cornflake dalam genggamannya.

Masahiro mengedikkan bahunya. ”Apa saja deh. Aku lapar,” ujarnya menjilat bibir.

Seandainya Tori melihat itu, wajahnya pasti sudah memerah tapi dokter itu sudah sibuk mengeluarkan mangkuk dan mengambil susu dari kulkas. ”Punya Masahiro mau ditambah buah?” tanyanya dari balik pintu kulkas.

Masahiro mengangguk. Duduk di depan counter dapur dengan pergelangan kaki kanan ditumpukan di atas lutut kiri, diamatinya pacarnya itu mondar-mandir mengeluarkan mangkuk, memotong-motong jeruk dan strawberry, mencampur semua bahan dan meletakkanya di hadapan Masahiro. Matanya masih tak mau beralih ketika Tori menuang susu ke dalam mangkuk cornflake-nya, pergi untuk membuka jendela dan menyalakan rokok lalu beralih menuang kopi untuk dirinya sendiri.

Pemandangan yang asing untuk Masahiro. Sebelumnya, dia tak pernah peduli untuk menikmati pagi dengan pacarnya meski malam sebelumnya mereka b bercinta. Masahiro tetap sarapan seperti biasa, menjawab dengan acuh jika kakak-kakaknya bertanya, dan tak ambil pusing bahkan untuk sekedar memberi kecupan ringan di pipi sebelum pergi. Sebaliknya, Tori sepertinya biasa melakukan ini.

Tori menghembuskan asap tipis dari mulutnya, menengok saat melihat Masahiro melambaikan tangan padanya supaya Tori mendekat. Dokter itu tersenyum manis dan duduk di sebelah Masahiro dengan kedua kaki didekap di dada.

”Asapnya tidak mengganggu?” tanyanya

Masahiro menggeleng. ”Tak apa. Tori tidak sarapan?”

Tori mengangkat bahu. ”Sedang tak ingin.” Dijentikkannya abu rokok ke dalam asbak kaca di dekat gelas kopinya. Tawanya tersembur saat Masahiro mengacungkan sesendok penuh cornflake dengan potongan strawberry ke depan mulutnya. Tori menggeleng-gelengkan kepalanya tapi membuka mulut juga. Masahiro nyengir senang dan menyuapi Tori sebanyak tiga sendok sebelum Tori menampik.

Matanya berkedip pelan, merasakan sentuhan lembut ibu jari Masahiro yang terulur mengusap sudut mulutnya dan membawanya ke depan mulutnya sendiri untuk dijilat. Pemuda bengal itu lalu nyengir dan mengerling nakal. Tori tertawa seraya memukul pelan lengan pemuda itu.

Tori menghisap pelan rokok di tangannya, dagunya tertopang di atas lutut. ”Masahiro manis ya.” komentarnya sambil tersenyum.

Sendok di tangan pemuda itu nyaris jatuh. ”Terima kasih?” ujarnya bingung.

Tori tertawa pelan. Diambilnya satu tangan Masahiro dan menggenggam dengan lembut. ”Tidak pernah ada yang bilang begitu?”

Masahiro menggeleng. ”Kalau dibilang ganteng sih sering.”

Suara tawa Tori menggema di seluruh apartemen mungil itu. Masahiro mendadak lupa bagaimana caranya mengunyah saat Tori mengaitkan jari-jari mereka satu sama lain dan ibu jarinya mengelus punggung tangan Masahiro penuh sayang. Tori terlihat begitu terpana memandang tangan mereka yang terjalin erat. Sedetik terlihat tak percaya lalu perlahan senyumnya mengembang. Masahiro menelan dengan susah payah dan meletakkan sendoknya.

Senyum Tori melebar dan menutup mata saat nafas Masahiro menghembus pelan dan hangat di wajahnya. Tak peduli rokoknya sudah nyaris terbakar habis dan jarinya mulai terasa panas.

”Memang manis sekali kok.” bisiknya sebelum membalas ciuman Masahiro. 

Tuesday, January 25, 2011

[fanfic] AU Takuma/Tori - Nostalgia

Fandom: Samurai Sentai Shinkenger/Musical Prince of Tennis
Cast: Wada Takuma, Matsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: AU. OOC. Changing timeline.
Disclaimer: I do not own any of the characters. No profit gained.
Note: Iseng menunggu approval kerjaan. Maaf kalo gejeh.


Bangku di bawah pohon di taman tengah rumah sakit itu tetap jadi tempat favorit Takuma untuk makan siang. Biasanya selalu sepi dan jarang ada yang menempati seolah semua orang sudah tahu kalau itu adalah tempat seorang dokter gigi tampan berkacamata beristirahat. Takuma kadang meringis. Toh dia tidak pernah menempel peringatan: ‘Milik Wada Takuma. Tidak boleh diduduki’. Dia senang sih, karena tak harus balik arah mencari tempat lain atau makan di kafetaria yang bising.

Siang itu, seperti biasa, Takuma membawa segelas kopi, sekotak salad dan sekotak sandwhich menuju bangku di bawah pohon itu. Langkahnya terhenti sejenak begitu melihat sudah ada yang duduk di sana tapi dilanjutkannya melangkah dan duduk tepat di sebelah orang itu.

”Tumben,” komentarnya sambil menyesap kopinya.

Tori melihat ke arahnya dengan pandangan bertanya sambil tersenyum. ”Apanya?”

”Jarang-jarang melihatmu sendirian. Biasanya selalu dengan Inoue-kun kan? Atau dengan Kubota-sensei tachi.” Takuma mulai membuka bungkusan sandwhich-nya.

Tori tertawa renyah dan mengangkat bahu. ”Sedang ingin sendirian saja.”

Takuma menatapnya dan mengangkat bahu. Digigitnya pelan sandwhich-nya dan bergumam. ”Kamu tak berubah ya.”

------

Pintu kamarnya diketuk dan dibuka tanpa menunggu jawaban. “Yo, Wada~ Mau senbe? Ibuku kirim banyak nih.”

Takuma memutar kursi belajarnya dan mendapati tetangga asramanya masuk dengan menjinjing dua bungkusan besar senbe. ”Trims, Matsuzaka. Baru dapat kiriman?”

Tori mengangguk dan meletakkan bawaannya di lemari kecil tempat Takuma menyimpan makanan kecil yang diimpor langsung oleh Tori dari kamarnya tiap kali kiriman dari Kanagawa datang. Takuma diam-diam bersyukur karena berseberangan kamar dengan pemuda baik hati itu. Tori tak pernah segan untuk menolong dan berbagi apapun yang dia punya. Orangtuanya memang lebih mampu dan Tori mungkin kasihan pada Takuma yang sebatang kara dan kuliah dengan beasiswa. Tapi temannya itu tak pernah mengungkit-ungkit soal itu dan sepertinya memang tulus berteman dengan Takuma.

Sejak disenyumi dan disapa pertama kali sewaktu masuk ke asrama, lama-lama mereka jadi lumayan akrab. Mulai dari sekedar ngopi di waktu senggang, bertukar diktat kuliah umum sampai minta sabun mandi atau pasta gigi. Takuma pun kadang ikut menemani anak kecil jenius teman sekamar Tori dan Tori kerap mengajaknya makan malam di kamar Tori kalau akhir bulan tiba.

Tentu saja yang namanya gosip asrama tidak bisa dihindari. Pertama kali Takuma merasa risih tapi Tori hanya tersenyum-senyum. Beberapa hari kemudian, dia mengenalkan seseorang pada Takuma. Rupanya pemuda dari kampus sebelah yang sering dilihat Takuma jalan bareng Tori itu adalah pacarnya. Takuma pun mulai mengacuhkan semua gosip-gosip itu. Tori sepertinya cinta sekali dengan pacarnya itu. Kelihatan dari matanya yang berbinar-binar kalau membicarakan orang itu sampai rela bolos kuliah kalau orang itu menuntut untuk bertemu. Sekali waktu, Takuma memberanikan diri untuk menegur tapi Tori hanya mengangkat bahu seraya menatapnya dan Takuma pun mundur teratur.

Beberapa kali Takuma mendapati Tori duduk sendirian sambil melamun. Sebagai teman yang baik, Takuma pun bertanya dengan hati-hati tapi Tori hanya tersenyum dan menjawab, ”Hanya sedang ingin sendirian, kok.” Takuma hanya mengangguk, menepuk pelan pundak Tori dan berlalu. Kalau memang ada masalah, dia tak ingin ikut campur. Akhirnya Takuma tahu kalau Tori selalu seperti itu setiap habis bertengkar.


”Wada-chan, semalam papa nangis.” Lapor Suda sambil memakan es krim yang dibelikan Takuma.

Takuma memiringkan kepalanya. ”Kenapa?”

”Tidak tahu. Terima telepon, bicara dengan suara keras lalu menangis.” Suda mengangkat bahu.

”Suda tidak tanya?”

Suda menggeleng. ”Papa menyuruhku cuci kaki, tidur lalu mematikan lampu.”

Takuma menyesap kopinya sambil mengangguk-angguk.


Tiga kali Suda bercerita seperti itu dan terus terang, Takuma agak khawatir. Apalagi melihat Tori berlari turun dari sebuah mobil jeep dan menyeberangi halaman asrama saat sedang hujan lebat sampai esoknya demam tinggi. Makin hari terlihat makin murung sampai suatu malam Takuma mendengar sesuatu pecah terbanting dan Suda berlari ke kamarnya dengan wajah ketakutan.

Esoknya, seperti yang bisa diduga, Tori tak kelihatan di kampus. Takuma menemukannya duduk termenung di bawah pohon dengan tatapan kosong dan terlihat seperti orang linglung. Dengan hati-hati, Takuma duduk di sebelahnya. Tori juga tak berkata apa-apa. Takuma enggan bertanya, pun tak tahu apa yang membuatnya mengangkat tangan dan mengusap pelan punggung Tori seperti berkata, ”Tak apa-apa. Menangis saja.” Tori tersenyum lemah, menyuruhnya berbalik, dan Takuma hanya ingat suara isakan pelan dan punggung kemejanya basah.

Sudah lewat tiga bulan sejak kejadian itu dan perlahan Tori mulai kembali jadi Tori yang biasa. Berujar sambil tersenyum sedih kalau dia tak ingin punya pacar lagi kalau akhirnya hanya akan sakit hati. Lagi-lagi Takuma hanya bisa menepuk punggung Tori dengan penuh simpati. Dan sepenggal kisah sedih itu pun seperti tak pernah terjadi. Tori kembali menyapa dan mengajaknya ngobrol dengan ceria dan senyum yang biasa, merengut lucu kalau ada sesuatu yang membuatnya sebal, memanjakan Suda seperti biasa. Meski kadang sesekali Takuma harus menariknya pergi kalau mendapati Tori menatap sebuah jeep hitam melintas pelan di depan kampus.

-------

Tori mengerjap pelan lalu tertawa. Ujung telinganya bersemu merah. ”Jangan begitu dong. Aku  benar-benar sedang butuh udara segar kok.”

Takuma mengangkat alis dari balik gelas kopinya. Tori menyambar gelas kopi itu dan menyesap kopi yang masih tersisa setengah itu.

“Oiii~” protes Takuma.

Tori hanya nyengir. “Akhir-akhir ini Kubota-sensei dan Sota-sensei sedang senang menggodaku.” Gumam Tori. Kali ini tangannya terjulur mengambil potongan sandwhich yang belum disentuh Takuma.

Takuma tertawa geli. “Mereka kan memang begitu.”

”Tapi kalau terus-terusan seperti ini, aku kan malu juga.” Tori berkilah sambil membuang muka. Wajahnya yang bersemu merah membuat Takuma terbahak dan menusuk pelan pipi Tori yang menggembung lucu. Tori menepis tangan temannya itu sebal.

”Bagus kan? Tandanya mereka perhatian. Aku lebih senang melihatmu digoda seperti itu daripada kamu yang dulu.” Takuma mengangkat alis.

”Tak usah dibahas lagi!” Tori menukas sambil memukul lengan Takuma.

Lagi-lagi dokter gigi itu terbahak dan mengacak-acak rambut Tori dengan gemas.

”Aku ikut senang loh.” Ujarnya sungguh-sungguh dan tulus begitu Tori berhenti memberontak dan sibuk menghabiskan salad milik Takuma.

Tori menjulurkan leher untuk melihat wajah temannya dengan lebih jelas. Didorongnya lengan Takuma, menyuruhnya menghadapkan punggung pada Tori. Terkekeh pelan, Takuma menurut. Tori pun tersenyum geli dan perlahan menyandarkan kepalanya ke punggung kokoh Takuma.

”Terima kasih.” ujarnya sambil tersenyum lebar.

Monday, January 24, 2011

[fanfic] AU Ma-kunxTori - Strawberry Sex

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori
Rating: NC-17
Warning: BL. AU. OOC. pure pr0n. NSFW
Disclaimer: I do not own any of the characters. No profit gained.
Note: Prompt dari Nei. Setting setelah mereka nikah. Ma-kun sudah kerja di advertising agency sebagai art director sekaligus masih nyambi jadi model.


Masahiro tersenyum lebar saat melihat Tori berdiri di ambang pintu ruang kerjanya; masih terlihat rapi meskipun baru saja selesai tugas jaga. Tangannya menjinjing tas kerja dan sebuah kardus kecil berwarna putih yang bisa dikenali Masahiro sebagai bungkusan khas ‘La Petit’. Pemuda itu melambaikan tangan, memberi isyarat pada Tori untuk masuk dan dokter itu pun melenggang santai mendekat. Tasnya diletakkan di atas kursi di depan meja kerja Masahiro dan sambil meletakkan kardus kecil itu di samping laptop Masahiro, Tori mencondongkan tubuhnya untuk mengecup pipi pemuda itu.

“Hai.”

Masahiro nyengir, balas mengecup ujung hidung Tori. “Hai. Apa ini?” tanyanya sambil menarik kardus putih itu dan mengintip isinya.

Strawberry Vanilla Shortcake,” jawab Tori pendek sambil memutari meja dan berdiri di belakang Masahiro. Wajahnya dimajukan untuk melihat melewati bahu pemuda itu, menatap laptop Masahiro yang penuh dengan foto-foto dan hasil design yang tak terlalu dimengerti Tori. ”Masih lama?” tanyanya.

Masahiro mengambil sepotong cake dan menggigit. Rupanya dia memang agak lapar dan tak ingat apakah dia sudah makan malam atau belum. Kepalanya menggeleng sebagai jawaban untuk Tori karena mulutnya sibuk mengunyah. Menelan pelan-pelan dan menggigit lagi. Tori tertawa kecil.

“Lapar?”

Masahiro mengangkat bahu. Sebelah tangannya bergerak menyentuh mouse, menge-save pekerjaannya dan berusaha menulis email dengan satu tangan. Tori menggelengkan kepalanya sambil tertawa geli. Tanpa malu-malu, dilingkarkannya kedua lengannya memeluk pundak Masahiro. Menggenggam lebih erat, dikecupnya pipi pemuda itu dengan gemas. Masahiro menyodorkan cake di tangannya ke depan wajah Tori dan dokter itu langsung menggigit tanpa basa-basi. Masahiro tertawa, merengkuh dagu Tori dan menjilat krim yang menempel di sudut bibir Tori. Tak membuang kesempatan untuk mencuri kecupan dari bibir Tori. Tak disangkanya kalau Tori bereaksi dengan cepat dan balas memagut bibir bawah Masahiro dengan sedikit bernafsu. Masahiro terkekeh dari dalam tenggorokannya, meladeni dan balas mencium sampai lehernya terasa sedikit kebas. Sejenak tak peduli apakah pintu ruangannya tertutup atau tidak.

Tori menjauh setelah menjilat bibir Masahiro diiringi erangan pelan. Matanya menatap Masahiro dengan sedikit lapar dan Masahiro menelan ludah. Dikecupnya pria itu lagi dan berbisik dengan suara serak,

“Tori tahu kan kalau ruanganku ini bersebelahan dengan ruangan bosku?”

Tori mengangkat bahu. Sudut bibirnya melengkung nakal. Tangannya terulur mengambil sisa cake yang toppingnya sudah nyaris meleleh dari tangan Masahiro. Dihabiskannya cake itu dalam dua gigitan dengan dagu terangkat dan mata redup menatap Masahiro penuh arti lewat sela bulu matanya yang panjang. Mendadak Masahiro merasa tenggorokannya begitu kering saat melihat Tori menjilati jari-jarinya yang belepotan krim, dengan sengaja menjilat dan mengulum dengan perlahan. Celananya pun mendadak terasa begitu ketat ketika Tori melakukan hal yang sama dengan jari-jari Masahiro. Menjilat tiap buku jari Masahiro dengan ujung lidah, mengecup ujungnya dan memasukkan jari Masahiro ke dalam mulutnya dengan begitu sugestif. Tak lupa mengulum dan menggunakan lidahnya untuk menjilat krim yang menempel sampai Masahiro bergerak gelisah di kursinya.

”Tori~” desisnya menahan lenguhan yang nyaris keluar. Lagi-lagi Tori hanya bereaksi dengan sudut bibirnya yang membentuk cengiran nakal. Lidahnya terjulur menjilat bibirnya sendiri.

”Murai-kun makin pintar buat kue ya?” bisiknya di depan bibir Masahiro dan beringsut untuk memagut garis rahang pemuda itu yang belakangan ini jadi makin terlihat tegas karena Masahiro mengurus. Beberapa kali Tori merengut sebal karena iri tapi selalu dipatahkan Masahiro dengan balas menciumi pipi dan rahang Tori sambil bergumam kalau ”yang ini lebih enak.” Lagipula, Tori tak bisa memungkiri kalau suaminya itu malah jadi makin tampan dengan potongannya yang sekarang.

Masahiro memutar matanya. Tangannya melingkar ke pinggang Tori dan menariknya agar pria itu berdiri di hadapannya agar bisa mencium Tori dengan lebih leluasa. ”Tadi sudah makan cake-nya berapa?” tanyanya ingin tahu. Tori meringis. ”Dua? Dua setengah dengan punya Ma-kun barusan.”

“Sudah kuduga. Lapar sekali?” Masahiro menjilat bibir atas Tori. Tori hanya tertawa. Tangannya terulur menjangkau kardus lagi, mencolek krim dari satu-satunya kue yang tersisa dan menjilat dengan lidahnya. Masahiro menatap ujung lidah tertutup krim itu dan tanpa basa-basi menangkap dengan bibirnya; menghisap dan mengulum pelan. Tawa rendah dan seksi dokter itu menyelingi erangan-erangan pelan mereka berdua.

”Bosmu benar-benar ada di sebelah?” Tori berbisik di telinga Masahiro. Tangannya sudah berada di antara paha Masahiro dan mengelus perlahan. Menekan sedikit lalu menjauh dan menggoda dengan menarik-narik risleting celana Masahiro. Masahiro menggeram dan menggeleng.

“Entah.” Bisiknya parau.

Senyum nakal di bibir Tori membuat Masahiro lagi-lagi tak bisa berkata apa-apa. Dia menurut saja ketika Tori mengambil tangannya dan mengajaknya untuk duduk di sofa merah yang terletak di sudut ruang kerjanya. Tak memperhatikan kalau Tori juga mengambil kardus kue di atas meja dan meletakkannya di dekat paha Masahiro begitu pemuda itu duduk. Perhatiannya tersita oleh Tori yang duduk di pangkuannya, kedua pahanya menjepit pinggul Masahiro dan mencium Masahiro dengan menggoda. Otaknya lebih memilih untuk bekerja sama dengan bagian bawah tubuhnya dan merespon dengan senang gerakan pinggul Tori.

Tapi tetap saja ada bagian kecil dari otaknya yang berhasil mendobrak dan membuatnya bertanya. “Ada apa?”

Tori mengangkat bahu. “Tidak boleh begini dengan suami sendiri?”

Wajah Masahiro bersemu merah. Semua ciuman dan tindakan mesum itu tapi malah ucapan Tori tentang statusnya yang membuatnya tersipu-sipu. Tapi Tori sepertinya tak berniat untuk menjawab dan malah kelihatan sedikit kesal kenapa Masahiro harus bertanya di saat seperti itu. Masahiro tersenyum dan mengusap punggung Tori dengan sayang. Memutuskan untuk mencium Tori agar dokter itu tidak ngambek dan malah meninggalkannya begitu saja. Masahiro sedang tak mau mengunci diri di kamar mandi selama lima belas menit. Bibirnya menggigit pelan daun telinga Tori dan memagut rahang Tori yang seksi itu. Saat itu juga, mata Tori kembali berkilat penuh hasrat, mendorong Masahiro sampai pemuda itu harus bersandar ke punggung sofa. Geraman Masahiro ke dalam mulutnya membuat Tori makin bersemangat dan tangannya pun kembali berkutat dengan ikat pinggang dan risleting celana Masahiro.

Masahiro menutup mata, mendesah dengan pasrah dan nikmat begitu jari-jari Tori meyentuhnya. Menekan di tempat-tempat yang paling disukainya dengan ujung jari yang sesekali menggesek nakal ujung kemaluan Masahiro.  Dia nyaris terlonjak saat merasakan sesuatu yang luar biasa dingin di kemaluannya. Masahiro mengumpat pelan dan membuka mata. Menunduk, dilihatnya Tori mengoleskan es krim topping cake mulai dari ujung sampai ke tengah. Mendapati tatapan heran Masahiro, Tori hanya nyengir nakal. Diacungkannya dua jari yang belepotan es krim di depan mulut Masahiro. Entah dia harus bersyukur atau apa karena tiap kali Tori mengkonsumsi makanan manis, pasti akan berakhir dengan dia repot mengejar-ngejar Tori atau Tori yang jadi luar biasa kinky seperti ini. Dengan patuh, dikulumnya jari-jari itu sambil menatap penuh tantangan pada Tori.

Tentu saja Masahiro tak akan protes kalau hasil dari perbuatannya itu adalah Tori yang bergerak turun dari pangkuannya, berlutut di antara kakinya dan membuka mulutnya untuk menjilat bersih es krim dan saus strawberry itu. Satu tangan  mengusap paha Masahiro sementara tangan yang lain menggenggam pangkal kemaluan Masahiro. Tori tak benar-benar mengulum, hanya menggunakan bibir dan lidahnya, kadang berhenti untuk menelan atau mengunyah potongan kecil strawberry. Masahiro nyaris mimisan melihat pemandangan itu.

Kepala Tori terangkat, seperti sadar kalau diperhatikan. Bibirnya membentuk senyum penuh arti. Masahiro harus mengulurkan tangan dan menarik pelan rambut Tori, sudah mulai tak bisa menahan kalau Tori terus-terusan menggodanya seperti itu. Tori tertawa dan getarannya sama sekali tak membantu. Tangan Tori bergerak pelan.

”Tahan sebentar lagi ya.” Bisiknya seraya menghadiahi Masahiro dengan kecupan pelan di ujung kemaluannya.

Masahiro melenguh. ”Mana mungkin~”

”Kalau begitu... mau diteruskan di rumah?” Satu alis Tori terangkat penasaran.

Masahiro menutup wajahnya dengan satu tangan dan menggeramkan protesnya. Tori tertawa lagi. Rupanya benar-benar berniat meneruskan menyiksa Masahiro dengan mengoleskan es krim sekali lagi, kali ini menelusuri satu jari penuh krim mulai dari pangkal sampai ke ujung. Masahiro sudah benar-benar ingin protes tapi langsung bungkam. Tori mengecupi seluruh bagian yang terkena es krim dan ketika tiba di ujung, mulutnya terbuka lagi. Lidahnya melingkari ujung kemaluan Masahiro, bibirnya mengatup dan mengunyah pelan potongan strawberry yang ditemukannya. Perlahan, Tori bergerak turun dan menelan kemaluan Masahiro untuk mengulum dan menghisap dengan kuat. Masahiro mengumpat keras.

*****

Tori membuang kotak kue itu ke dalam keranjang sampah di samping meja kerja Masahiro. Senyum puas menghiasi bibirnya saat mengambil tisu untuk membersihkan mulut dan tangannya yang terasa lengket. Sementara Masahiro masih tak bergerak dari posisinya semula. Dadanya bergerak naik turun seiring nafasnya yang masih agak tersengal. Tori duduk di sebelahnya, terkikik melihat Masahiro dan membantunya mengancingkan kembali celananya.

“Kalau besok aku dipecat, ini semua salah Tori.” sungutnya sambil masih menolak melihat ke arah dokter itu.

Tori balas merengut. “Yang berisik kan Masahiro.”

“Gara-gara siapa coba?” Masahiro menoleh dengan sebal.

Tori tak membalas lagi, malah mengecup pipi suaminya itu dengan sayang dan manja. “Habis aku kan kangen Ma-kun.”

Masahiro mengerjap.

Tori mendesah. “Akhir-akhir ini kita hanya bertemu saat sarapan kan? Itu pun jarang karena biasanya Masahiro masih tidur karena pulang nyaris dini hari atau sedang ke luar kota karena ada pemotretan.” Tak sadar, pipinya menggembung. ”Besok juga harus pergi lagi kan?”

Masahiro terdiam dan mengecup bibir Tori sebagai permintaan maaf. “Minggu depan sudah tidak seperti ini kok,” bisiknya. “Tori ingin aku berhenti dan tetap jadi model saja?”

Tori menggeleng dan balas mencium. “Aku cuma ingin mengeluh kok. Bukan berarti aku ingin Masahiro berhenti.”

Tampak berpikir sejenak, Masahiro megecup kening Tori. ”Kalau begitu, besok Tori ikut aku saja.”

”Kenapa?”

Masahiro nyengir dan mengerling nakal. ”Yang kangen kan bukan cuma Tori.”





Thursday, January 20, 2011

[fanfic] AU TsukasaxTakeru - Rain

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Kadoya TsukasaxShiba Takeru
Rating: NC-17
Warning: Pr0n. NSFW
Disclaimer: I don't own any of the characters
Note: Written as a spin-off of Nei's Innocent Bird. I think this is pretty much the beginning of everything (read: my obsession to Ma-kunxTori) so this DESERVES to repost everywhere XDDD;;; So I took time to send this to my beta reader and she sent it back to me with reds everywhere LOL. Much love to all SATC-ERs. You guys made me do it *kisses* Oh yeah, this is in english.


Tsukasa hadn’t been lying when he said he liked the smell of rain, and Takeru smelled like it tonight, even though he’d just taken a shower not long before. The smell of the skin under Tsukasa’s lips was sweet and fresh. It tasted sweet and fresh, too. Tsukasa wanted more and quickly changed from licking that skin, to biting it. Just a little. He didn’t want to be greedy.

A smile then formed on his lips as he heard a gasp, accompanied by a shudder that ran under Takeru’s skin. He kissed the spot he’d just bit--a moan came this time--and looked up. Takeru’s eyes, bright brown eyes that had captured his attention earlier, were a little clouded around the corners. He looked uncertain and like maybe he was seriously reconsidering the whole idea of letting Tsukasa climb into his bed not half an hour ago.

“I’m not stopping,” Tsukasa stated in a whisper.

And Takeru moved, closing the distance between their already-close faces to kiss Tsukasa. Tsukasa blinked but didn’t take too long to ponder (and how could you ponder in moments like this?) and kissed him back. Then he moved down to kiss Takeru’s collarbone, kissing once again the place he’d bit earlier, worked his way up along Takeru’s neck. It excited him how Takeru threw his head back. He nipped the skin just under Takeru’s lips and was a bit surprised when Takeru smiled.

“This is the second time you smiled. You should do it more often,” he said against Takeru’s lips.

Takeru gave him a look and caught Tsukasa’s lower lip. He nipped the tender flesh gently, making Tsukasa smirk, startling Takeru by forcing his tongue into his mouth. Takeru didn’t protest, though. He welcomed the assault with an eagerness that matched Tsukasa’s.

It was different than the attention Takeru was used to receiving, though he couldn’t really put his finger on why. But he thought that maybe receiving such attention (and maybe a little bit of affection) from a total stranger was what made it so different.

“Gods, don’t think about anything else while we’re doing this,” he heard the long legged stranger – Tsukasa? – say, scowling.

Takeru blinked and suddenly felt something actually happening near his pelvic region.

“Sorry.” Takeru grimaced. “But you said you weren’t going to stop.”

“I did. But it would help if you put a little more feeling into this.”

Takeru was ready to make a reply but quickly shut his mouth when Tsukasa began to use his lips and tongue to explore the inner side of his thigh.

“It takes two to tango, you know,” Tsukasa said. "Or to have sex."

“I don’t tango.” Takeru rolled his eyes.

Tsukasa bit Takeru’s sensitive skin and smiled deviously when Takeru gasped and looked down at him, eyes eager to accept anything Tsukasa might do to him next. However, Tsukasa chose to enjoy himself by kissing, licking and nipping Takeru’s inner thigh while his left hand rubbed teasingly at the other side of his thigh, just inches from Takeru’s balls. Then Tsukasa felt a hand touch his cheek, caressing him for a moment before he went up to touch his head. The fingers grabbed a handful of Tsukasa’s hair. Not rough, just tugging gently to signal that Tsukasa should really get going with what he was doing, or else.

Tsukasa abandoned the abused thigh, now red, with visible kiss marks in several places, and crawled up to look right into Takeru’s eyes, searching. Takeru looked down. Tsukasa tilted his head to the side.

Leaning in, he pressed his mouth against the corner of Takeru’s eye and whispered, “Don’t look away. And don’t give me that look either.”

“What look?” Takeru asked, still not looking at Tsukasa. Not directly, anyway. His eyes were fixed on Tsukasa’s long, lean neck. It was white compared to the rest of his tanned body. Takeru lifted his hand to touch it, and let his fingers glide along Tsukasa’s neck and collarbone. He ducked and kissed that delicious looking neck, just like Tsukasa had done earlier.

Ne,” he murmured against Tsukasa’s Adam’s apple.

“Hmn?” Tsukasa bit down on the moan that was about to escape from his lips. The rumbling of Takeru’s voice against his neck caused a delicious sensation.

“Why are you doing this?” Takeru moved and kissed the patch of skin just behind Tsukasa’s skin.

This time, Tsukasa couldn’t hold back the moan. "Dammit," he cursed with a hoarse voice.
Tsukasa sighed. "I don't know. You just... look like you need this."

Takeru seemed a bit amused though he wasn’t smiling. "You think I need to get laid? Do you really think I’m a host?"

"Are you really?" Tsukasa cocked a brow. Then he moved to kiss the smaller boy again and rolled Takeru on top of him. They shifted and wrestled a bit to find a more comfortable position and Tsukasa stopped moving when Takeru slipped one leg between his long limbs and rubbed. He grunted into the kiss and his hands moved to pat and squeeze Takeru's ass. This action seemed to encourage Takeru, because the boy was practically raping Tsukasa's mouth with his own and Tsukasa was sure that his balls were already bruised at this point due to the intensive rubbing of Takeru's knee against him.

Not that he had any objection to it. Not at all.

Then Takeru's hand closed around him and gave him a hard jerk once.

Definitely no objection at all.

Tsukasa couldn't help when his hip jerked off the bed as Takeru ran his thumb across his tip and scratched him a little bit, right under the head. He withdrew from the kiss because things had started to go in an entirely different direction than he’d intended. Takeru seemed to be in the mood though, and really into it. But then he stopped. As he’d observed before, Takeru looked really lonely and Tsukasa wondered again if maybe Takeru really did need this. That need to touch, to be touched. And so he searched for Takeru's eyes again and this time they were looking at him. Still unsure, dark, and dubious, but he could see some expectation, some hope, and of course, lust.

Tsukasa kissed those eyes again, kissed Takeru on the lips--along his jaw, his neck, his chest, stopping to lick one nipple, and then the other, before he went back to kissing Takeru again. Takeru moaned appreciatively at everything and jerked, squeezing and pressing at those sensitives places along Tsukasa's shaft. Tsukasa could feel that his cock was dripping shamelessly, and judging by the hard wet length poking against his thigh, Tsukasa knew that Takeru was too. He cursed when Takeru pressed his thumb against the base of his penis.

He bit his lower lip and took a deep breath. He was really close.

On the other side, Takeru was feeling a bit proud that he’d succeeded in turning Tsukasa into such a wreck. Well, almost a wreck. Tsukasa appeared to have more self control than he’d thought. But Takeru had to admit that he was a little desperate at the moment. They needed to continue or he'd come right then and there, all over Tsukasa's thigh and stomach. It would be so humiliating. But then he gasped. One of Tsukasa's hands had wandered down from his back to his ass and was teasing his opening. He felt a finger press and then carefully thrust inside. And then another followed.

Tsukasa moved his fingers experimentally, pressing here and there and when Takeru moaned loudly, the boy smirked and made sure to hit that spot every time. Takeru was gasping and moaning, and his hand moved again, jerking Tsukasa, matching his movement with Tsukasa's fingers fucking him. Until at one point, when Takeru thought that he couldn't take it anymore, he let go of Tsukasa's penis and kissed him hungrily.

"I want." He whispered the statement. "Now."

Tsukasa smirked, pressing his fingers repeatedly on that same spot inside Takeru which made the boy growl and bite at Tsukasa's lower lip. His hand went south to grab Tsukasa by the balls and he squeezed hard.

"Fuck!" Tsukasa cursed.

Takeru gave him a look, and Tsukasa chuckled. Gently, he kissed Takeru's cheek and put his arms around Takeru's waist. With one motion, he brought them into a sitting position. Takeru blinked but didn't have a chance to say or do anything because Tsukasa was kissing him again. Instinctively, his hands clung onto Tsukasa's neck and shoulder while both of his legs wrapped around Tsukasa's waist. Tsukasa's hand kneaded along Takeru's back then came to rest on Takeru's hips. His thumb rubbed the skin in a circular movement, making Takeru moan and press his body even closer to Tsukasa.

"Tsukasa," Takeru moaned, sounding a little bit desperate, as if only his ego was keeping him from begging.

Tsukasa finally took pity on him and tugged at Takeru's hips. They shifted, still maintaining their closeness. Takeru unconsciously took a deep breath when Tsukasa guided himself against Takeru's opening. Tsukasa looked up, and Takeru squeezed Tsukasa's shoulders, his eyes closed. Tsukasa touched Takeru's chin with his knuckle until Takeru opened his eyes. Tsukasa smiled a little and ran his thumb across Takeru's lower lip, as gently as he would a flower petal. Takeru blinked. He didn't know how to react to that so he kissed Tsukasa's forehead, right between his eyebrows.

Then the blunt sting of penetration took over. Both of them moaned as Tsukasa slowly seated himself inside Takeru. They stayed still for a while. Tsukasa could hear Takeru's heavy breathing beside his ear. He kissed the spot where Takeru's neck and shoulder met and started to thrust upwards slowly. Takeru gasped and tightened his grip on Tsukasa's shoulder, not caring if he bruised the other man.

Tsukasa didn't actually care either, though. He kept on thrusting and moving slowly, getting more and more excited every time his thigh slapped against Takeru's ass. Takeru placed his hand on Tsukasa's head, pushing it down towards his chest. Taking the cue, Tsukasa obediently kissed and licked Takeru's chest and nipples. Takeru's shameless moans were a nice reward.

Soon enough, they had found their rhythm. Takeru would press down as Tsukasa thrust up and vice versa. Tsukasa hissed when Takeru clawed into his shoulder as he shifted to thrust at a slightly different angle.

"Am I hurting you? Because you’re sure hurting me," Tsukasa gasped.

Takeru groaned. "You, ah, it's your own fault. Ah. Oh, gods." And then he started to make all kinds of noises.

Tsukasa would find these noises really cute and sexy if Takeru wasn't rolling his hips and clenching really tight every time he pressed down.

"Gods, don't clench so tight. I’ll come too fast." Tsukasa grunted.

Takeru gasped but managed to give Tsukasa a look and poked him in the chest. He may have pouted a little, too. Tsukasa kissed him, hard, and startled Takeru by pushing him down against the mattress. He put his hand behind Takeru's left knee and pushed it up. He positioned himself on one elbow and fucked the smaller boy deeper, gradually speeding up his thrusts. He sank his teeth in to Takeru's neck and mumbled that god, it felt so good.

Takeru's moan was uncontrollable. His hand fisted the blanket while the other went to close around his own erection, jerking it. Takeru's other leg had gone around Tsukasa, holding him tight and needy. It had become unbearable for Takeru, judging by the way he’d thrown his head back onto the mattress. Tsukasa dived and kissed that delicious, exposed neck.

"Come for me," Tsukasa whispered against his throat.

Takeru groaned as he felt his body became taut. He moaned long and loud as he clenched impossibly tight around Tsukasa. A few more thrusts and Tsukasa followed Takeru and came with strong shudder, showering Takeru's face with kisses.

*****

Tsukasa made sure he didn't make too much noise getting dressed. Takeru had practically passed out after they’d finished and was now snoring softly, comfortably snuggled underneath the fresh blanket Tsukasa had provided from the little cabinet beside the table. He would like to stay, but knew he had to leave. Besides, he knew that he had no other purpose to stay and linger in this world.

He tiptoed gently to pick up his camera and stole a look at Takeru. He blinked when he saw a small smile, just barely visible on the corner of Takeru's mouth. Tsukasa smirked and pointed his camera to take a picture of that sleeping face. The picture would be a sufficient memory for him. He leaned in to touch Takeru's lips with his finger. Takeru stirred but didn't wake up. Tsukasa took a deep breath and turned around. But his steps halted as he saw a picture of Takeru that he had taken earlier lying on the floor.

He took it, looking at it closely before he wrote a little message on it before putting it on the table so that Takeru would see it when he woke up.

Then he stepped out of the door and proceeded to another world. The rain had stopped.

Wednesday, January 19, 2011

[fanfic] AU Ma-kunxTori - Meet The Parents

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger/GOLD *dihajar*
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori, Sorimachi Takashi x Amami Yuki
Cast: Inoue Masahiro, Matsuzaka Tori, Sorimachi Takashi, Amami Yuki
Rating: PG
Warning: AU. BL. OOC. Cheesy.
Disclaimer: I do not own any of the characters.
Note: Buat SATC-ERs tercintaaaaaaah~~



Tori mengerang sebal saat terbangun  gara-gara ponselnya yang berdering nyaring. Dia yakin hari ini dia cuti dan sudah meminta ijin jauh-jauh hari sebelumnya, jadi tak ada alas an bagi siapapun untuk mengganggunya sepagi itu kecuali untuk urusan hidup dan mati. Sambil menggeram sebal, tangannya terulur meraba-raba dan akhirnya menemukan ponselnya terselip di bawah bantal.

“Moshi-moshi.” Sapanya dengan nada menggerutu.

“Bangun! Kau pikir ini sudah jam berapa?”

Tori mengernyit. “Kaa-san?”

“Bukan. Aku perdana menteri Jepang. Memangnya kau piker siapa lagi?” sahut suara di seberang. Terlalu nyaring menurut telinga Tori.

Tori berbalik dan mengambil arlojinya dari atas meja. Matanya memicing. “Kaa-san, ini masih jam enam pagi.” Keluh Tori sambil mendesah. “Ada apa?”

“Aku tak mengerti bagaimana mungkin kau bisa tidur nyenyak di hari sepenting ini. Ada apa katamu? Memangnya tak jadi ke rumah? Jangan macam-macam ya.”

Mendesah sekali lagi, Tori akhirnya menarik badannya untuk duduk dengan susah payah dan bersandar ke dinding. Sejenak menyingkap tirai untuk mengintip ke luar. Matahari belum lagi terbit sempurna di luar sana. Tori mengusap wajahnya dan menguap. “Iya, iya, jadi kok. Tapi kan janjinya makan siang.” Protesnya pada sang ibu.

Didengarnya ibunya mendengus. “Kami pasti akan datang, koook” Tori berusaha menenangkan. “Kaa-san tak usah panik begitu, dong.”

“Aku tak pernah panik.” Kilah ibunya cepat.

“Hai, hai. Lalu? Kaa-san meneleponku pagi-pagi buta begini hanya untuk meneriakiku?” Tori mengangkat sebelah alisnya.

“Anak kurang ajar. Aku hanya ingin tanya apa Masahiro alergi sesuatu. Aku terlanjur beli banyak seafood. Atau jangan-jangan dia tak suka seafood? Masih banyak waktu untuk ke swalayan sih. Aduh, semoga Takashi-san belum berangkat.”

Tori menghela nafas dan memejamkan matanya. Tangannya terangkat lagi untuk memijat batang hidungnya. ”Dia tak punya alergi apa-apa, kok. Sejauh yang aku tahu, sih. Lagipula dia kan sudah pernah makan masakan Kaa-san.”

”Tapi kan bukan seafood.” Potong ibunya cepat. “Apa sih sebenarnya makanan kesukaannya? Mungkin aku bisa buatkan.”

”Yah, dia sering minta dibuatkan nabe sih.” Tori meringis.

”Nabe? Nabeeeeeeee? Kenapa tidak bilang dari kemarin? Aku ditawari Ootsuka-san shiitake bagus-bagus tapi kutolak. Aargh! Semoga masih dia simpan. Takashi-san! Jangan berangkat dulu!”

Hubungan pun terputus. Tori memandangi ponselnya selama beberapa saat sebelum akhirnya mendesah sambil geleng-geleng kepala. Diletakkannya ponsel itu di atas meja dan baru saja beringsut mencari posisi yang nyaman untuk tidur lagi, didapatinya sosok yang tertidur di sebelahnya sudah membuka mata. Sepasang mata kecoklatan itu memandangnya dengan mengantuk.

Tori tersenyum lembut dan beringsut mendekat. ”Maaf ya. Terbangun karena suaraku?” tanyanya dalam bisikan pelan.

”Siapa?” tanya Masahiro sambil menguap.

”Ibuku.” Jawab Tori singkat.

Kening Masahiro berkerut. ”Ada masalah?”

“Tidak. Biasa kalau mau kedatangan tamu, Ibu selalu seperti itu. ” Tori tertawa kecil.

”Hmm.” Masahiro memandangnya sambil berkedip-kedip seperti masih berusaha mencerna apa yang dikatakan Tori dengan otaknya yang jelas belum bekerja dengan baik.

Tori memeluknya dan mengecup ujung hidung Masahiro. ”Tidur lagi saja. Masih jam enam, kok.”

Masahiro bergumam tak jelas, menarik Tori mendekat dan membenamkan wajahnya ke lekuk leher pacarnya itu sebelum kembali mendengkur pelan.

****

”Okaa-san suka bunga, tidak?” tanya Masahiro sambil mencuri pandang ke arah spion.

Tori memiringkan kepalanya. ”Tidak terlalu sih. Otou-san tidak pernah membelikannya bunga.”

“Tapi bukan berarti tak suka, kan? Mampir sebentar ke toko bunga, yuk.” Masahiro menawari.

”Masahiro kan sudah beli Barbie untuk Kaa-san.” Tori mengingatkan sambil mengalihkan pandangan dari pemandangan di sisinya ke arah sang pacar yang sibuk menyetir.

”Okaa-san suka tidak, ya?” Tanya Masahiro masih tak yakin.

Tori tertawa. ”Tunggu sampai kau lihat koleksinya di rumah nanti”. Tangannya kemudian terulur untuk menyentuh lutut Masahiro dan meremas lembut. ”Masahiro tak perlu khawatir. Kaa-san dan Tou-san pasti senang, kok.”

Pemuda jangkung itu berusaha membalas senyuman Tori tapi kemudian ekspresinya langsung berubah. Tori harus berpegangan pada dashboard  karena pemuda itu mengerem mendadak. Untung jalanan sedang sepi. Tori menoleh dan memukul lengan Masahiro dengan sebal.

”Ma-kun! Apa-apaan sih?” serunya.

Masahiro tak menyahut. Kepalanya dibenturkan ke roda setir dengan dramatis. ”Aku lupa tak beli apa-apa untuk ayahmu. Aaaargh! Bagaimana mungkin aku bisa lupaaaa? Dan kenapa Tori tidak mengingatkaaan?”

Tori mendengus. Tak percaya karena dua kali dalam pagi itu dia harus mengurusi dua orang panik hanya karena masalah sepele. Yah, setidaknya sepele untuk Tori. ”Tou-san tak suka diberi hadiah. Menurutnya itu terlalu basa-basi. Kalau ingin memberi ya memberi saja. Beliau selalu bilang begitu.”

”Tapi kaaaaan...” Masahiro masih merajuk.

”Aku sudah beli sekotak cerutu, kalau itu bisa membuatmu lega.” Ujar Tori akhirnya.

Masahiro mengangkat kepalanya. ”Sungguh? Kenapa tidak bilang dari tadi?”

”Kamu kan tidak tanya. Sekarang, jalan. Kita mengganggu lalu lintas.”

Masahiro menoleh dan benar saja, di belakang mereka sudah ada tiga mobil yang mengklakson ribut. Masahiro membuka jendela dan mengacungkan jari tengahnya pada mereka sambil menginjak pedal gas.

Tori memukul keras-keras lengan pemuda itu. ”MA-KUN!!”

****

Amami Yuki meletakkan boneka Barbie barunya ke dalam lemari kaca sambil bersenandung senang. Sementara itu di belakangnya, Masahiro terperangah melihat jejeran boneka cantik berambut pirang di dalam lemari kaca besar itu. Di sebelahnya, Tori terkikik geli.

”Ternyata memang suka sekali ya.” Gumam Masahiro.

”Kubilang juga apa.” Sahut Tori.

”Jangan bisik-bisik di belakangku.” Tegur Yuki sambil berkacak pinggang. ”Sana, ajak Masahiro berkeliling. Makan siangnya baru siap setengah jam lagi.” Titah wanita cantik itu pada anaknya sambil mengibaskan tangan.

”Ha~i.” jawab Tori. Digamitnya tangan Masahiro untuk menariknya pergi. ”Yuk.”

Masahiro menurut dan mengikuti Tori.

”Dan jangan bermesraan sembarangan!” seru Yuki lagi ke arah punggung dua lelaki itu.

Tori memutar bola matanya sementara Masahiro menggaruk kepalanya dengan salah tingkah. Tori mengajaknya ke halaman belakang rumah yang cukup asri. Ada kolam koi di sudut halaman, lengkap dengan gazebo kecil di atas kolam itu. Masahiro memilih untuk duduk-duduk di sana.

”Wah, koi-nya gemuk-gemuk.” komentar Masahiro sambil melongok.

”Yang di rumah Masahiro juga sama ’kan?” Tori membuka sebuah kaleng kecil dan melempar sedikit isinya ke kolam. Ikan-ikan berwarna-warni itu langsung berkecipak ribut dan berlomba merebut makanan.

”Tapi tak sebanyak ini jumlahnya.” Masahiro berkilah.

Tori tertawa. ”Itu kan karena kolam ini tak sebesar kolam di rumahmu.”

Pemuda itu akhirnya melengos. ”Mungkin juga.” Pemuda itu kemudian duduk di atas pembatas gazebo sambil memperhatikan bangunan rumah keluarga Tori. Ukurannya memang tak bisa dibilang kecil tapi masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan rumah keluarganya. Rumah besarnya selalu terkesan sepi dan lengang kecuali kalau Masahiro kecil sengaja membuat keributan sampai harus dikejar-kejar ketiga kakaknya, pengasuh dan para pelayan. Sebaliknya, rumah Tori lebih berkesan damai, meskipun sesekali suara keras sang nyonya rumah terdengar memecah ketenangan.

Tori duduk di samping Masahiro. Kepalanya dimiringkan untuk mengintip wajah pacarnya yang tampak termenung. ”Kenapa?” tanyanya sambil tersenyum.

Masahiro menggeleng. ”Ini rumah Tori dibesarkan ya?”

Tori tertawa kecil. ”Hmm. Meskipun sejak SMU aku tinggal dengan Nenek dan rumah ini dibangun waktu aku kuliah.”

Masahiro mengerjap-ngerjapkan matanya. ”Rasanya pernah dengar.” gumamnya.

”Apa?”

Pemuda itu buru-buru menggeleng. ”Nandemonai. Begitu ya? Jadi Tori tak punya banyak kenangan di sini ya?”

“Siapa bilang?” tukas Tori sambil tertawa. “Maksudku, rumah ini tadinya tak sebesar ini. Hanya halamannya saja yang luas sekali. Tadinya ukuran aslinya hanya sebesar ruang tamu dan ruang tengah. Selebihnya bangunan baru.” Tori menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk bagian rumah yang dimaksud.

“Tadinya Kaa-san tak ingin tinggal terlalu jauh dari kantornya tapi Tou-san tak mau pindah.” Tori melanjutkan bercerita. “Beliau suka udara di sini dan dekat dengan pelatihan renang tempatnya mengajar. Jadi Kaa-san mengalah. Ah, aku jadi cerita terus. Membosankan ya?” Dokter tampan itu meringis.

Masahiro menggeleng meskipun tersenyum geli karena Tori terlihat begitu antusias. Diambilnya tangan Tori untuk dikecup. ”Aku senang kok. Habis Tori kan jarang cerita tentang keluarga Tori.”

”Sou? Maaf ya.” Tori balas menggenggam tangan Masahiro. ”Aku bukannya tak ingin cerita tapi memang belum ada yang pernah kuajak kemari sebelumnya.”

Masahiro mengangkat alisnya. Sudut bibirnya bergerak membentuk cengiran bangga. Tori melihat itu dan mencubit hidung Masahiro yang kembang kempis. ”Jangan GR. Kamu Cuma beruntung.”

Tetap saja Masahiro mengangkat dagunya dengan sombong. Tori menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. Sambil pura-pura mendesah, dikecupnya pipi pemuda itu.

”Aku kena sial apa ya, sampai bisa begitu sayangnya sama kamu.” ujarnya sambil mengulum senyum.

Masahiro nyengir, mengambil kesempatan untuk memeluk pinggang Tori dan menariknya mendekat. ”Sial sekali. Aku tak akan pernah lepas dari Tori kecuali Tori mengusirku pergi.”

”Nara, daijoubu.” Sahut Tori sambil mendekatkan wajahnya untuk menyambut ciuman Masahiro.

”Anu... Bisa ditunda sampai nanti? Yuki-chan bilang makan siangnya sudah siap.”

Mereka menoleh dengan terkejut dan melihat seorang pria berdiri di depan gazebo itu. Kulitnya cokelat sehat, perawakannya lumayan kekar dan dia mengenakan kaus pas badan berwarna putih dan jeans berwarna gelap. Sebuah cengiran lebar menghiasi wajah pria itu.

”Ah, Tou-san. Kami segera menyusul.” Jawab Tori dengan cengiran juga meski setengah tersipu.

Sadar pria di hadapannya adalah ayah Tori, Masahiro buru-buru membungkuk sopan. Sorimachi balas mengangguk sambil tetap nyengir lebar.

“Lima menit ya. Jangan sampai Yuki-chan teriak-teriak.” Ujar Sorimachi sambil berlalu dan tersenyum simpul.

“Ha~i!” Mereka berdua menyahut bersamaan.

****

”Duduk sini.” Yuki menepuk-nepuk bantalan sofa sambil menyilangkan kakinya.

Masahiro tampak ragu dan menoleh ke arah Tori dan Sorimachi yang sedang sibuk membereskan meja makan dan mencuci piring sambil mengobrol. Yuki mengibaskan tangannya. ”Tak usah sungkan. Itu sudah jadi tugas mereka sejak dulu kok. Kau kan tamu hari ini. Sini. Atau tak mau duduk dekat-dekat denganku?”

Melihat alis wanita itu yang terangkat mengancam, Masahiro buru-buru duduk manis. Sejenak bingung harus apa. Meskipun sudah beberapa kali bertemu, tetap saja rasanya canggung kalau harus berurusan dengan ibu Tori. Matanya tetap tak bisa berhenti melirik ke arah Tori. Berharap Tori cepat selesai dengan pekerjaannya dan bisa menemaninya.

”Aku tidak menggigit loh, Masahiro-kun.” ujar Yuki sambil tertawa senang.

Digoda begitu, Masahiro langsung jadi salah tingkah. ”Tapi Okaa-san terlihat seperti itu.” dan langsung menutup mulutnya dan menatap takut-takut.

Yuki mendengus. ”Setidaknya aku  tak akan menggigit kecuali kalau kau menyakiti anakku.” ujarnya sambil menyeringai.

Masahiro pun bertanya-tanya bagaimana mungkin Tori bisa jadi orang yang selembut dan sebaik itu kalau ibunya semenyeramkan ini.

”Sini. Kukasih lihat sesuatu.” ujar Yuki sambil meraih ke bagian bawah meja dan meletakkan sebuah album berwarna hijau di pangkuannya. ”Tori membuatku bersumpah untuk tidak memperlihatkan ini pada siapapun tapi masa bodohlah. Dia lucu sih.”

Dengan pandangan bertanya, Masahiro beringsut mendekat. Yuki membuka album itu yang rupanya berisi foto-foto masa kecil Tori. Bayi Tori dengan mata yang masih menutup sedang digendong Sorimachi yang tersenyum bangga. Rupanya kulitnya memang sudah coklat sejak lahir. Tori dengan sepeda roda tiga pertamanya. Tori mengenakan hakama pertamanya di acara sichigosan, memegang panah jimat dan nyengir ke arah kamera. Tori, kelas 3 SD, cemberut sambil memegangi pipinya sepulang dari dokter gigi. Berfoto dengan teman-temannya di kolam renang saat kelas 1 SMP. Berdiri di podium bernomor 1 dengan senyum bangga meski hanya mengenakan celana renang dan tubuhnya masih ceking. Tori yang terhimpit di antara teman-teman dan kedua orangtuanya saat berulang tahun yang ketujuh belas. Begitu banyak Tori di dalam album itu dan punya lebih banyak cerita dibanding foto-foto Tori yang disimpan Masahiro di dalam folder khusus laptopnya.

Perhatiannya kemudian tertuju pada foto-foto saat SMU. Mulai terlihat mirip sekali dengan Tori yang sekarang. Ada satu-dua yang merekam Tori dengan teman-temannya tapi lebih banyak adalah foto Tori dengan seorang wanita tua, terlihat sederhana tapi anggun dengan kimononya.

”Ibu Takashi-san. Nenek Tori. Kau pasti sudah tahu kan kalau anak itu tinggal dengannya sejak SMU?”

Masahiro mengangguk.

”Katanya dia tak tega karena Ibu tinggal sendirian lagipula sekolah pilihannya memang dekat dengan rumah Ibu.” Yuki melanjutkan. ”Sejak dulu, anak itu memang baik hati.”

Masahiro tersenyum dan mengangguk. ”Kadang terlalu baik.”

”Hmmm... Menurutmu begitu?” Yuki mengelus dagu. ”Yah, paling tidak kau sadar kalau kau sebaiknya tidak memanfaatkan kebaikan hatinya itu dan berbuat seenaknya kan?”

Masahiro mengangkat kepala dan pertama kalinya berani menatap wanita itu lekat-lekat. ”Okaa-san. Itu pernyataan yang tidak berdasar sama sekali.”

”Sou?” Yuki kembali mengangkat alis. ”Bagus, kalau begitu. Asal kau tahu saja ya, Takashi-san akan lebih merepotkan untuk dihadapi dibanding aku.”

Masahiro menelan ludah. Yuki kemudian tersenyum lebar dan tertawa. ”Selamat berjuang.”

”Apa yang kalian bicarakan?”

Yuki buru-buru menyambar album itu dan melemparnya ke bawah meja. ”Tak ada apa-apa.” tukas wanita itu sambil mengambil cangkir teh dan menyesap isinya.

Tori melipat tangan di depan dada dan memandang curiga. Masahiro tersenyum dan mengulurkan tangannya. Tori menyambut dengan sedikit ragu apalagi dengan cengiran jahil di wajah pemuda itu.

“Okaa-san baru saja memperlihatkan sesuatu padaku.” ujarnya.

”Apa?”

”Foto gaun pengantinnya dulu. Katanya Tori boleh pakai kalau Tori mau nanti.”

”Ma-kun!”

Yuki tergelak-gelak sampai nyaris tersedak tehnya.

****

Sorimachi melingkarkan lengannya di pundak Yuki sambil melambai pada sedan sport yang bergerak meninggalkan halaman. Dua tangan terulur dari masing-masing jendela pengemudi dan penumpang, balas melambai.

“Sudah kubilang kalau dia akan baik-baik saja kan?” Ujar Sorimachi sambil memandang istrinya.

Yuki mendesah. ”Jangan salahkan aku karena khawatir dong. Kau lihat sendiri bagaimana dia waktu itu. Sampai bilang tak mau berurusan dengan cinta lagi segala. Ibu mana yang tidak khawatir coba?”

Sorimachi terkekeh. ”Seandainya dia bertemu bocah itu sejak dulu ya?”

Yuki menyikut pinggang suaminya. ”Takashi-san, itu namanya pedophilia.”

Sorimachi tergelak dan mengecup kepala istrinya dengan sayang. ”Yang penting sekarang anak itu bahagia.”

”Hmm. Semoga semua baik-baik saja. Aku tak tega melihatnya seperti dulu lagi.” Yuki bergumam pelan.

”Pasti tak apa-apa, kok. Tak lihat mata bocah itu?” Sorimachi mengangkat alisnya.

Yuki menengadah dan tersenyum lebar. ”Persis seperti kau melihatku ya.”

”Persis.”

--end--