Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger/GOLD *dihajar*
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori, Sorimachi Takashi x Amami Yuki
Cast: Inoue Masahiro, Matsuzaka Tori, Sorimachi Takashi, Amami Yuki
Rating: PG
Warning: AU. BL. OOC. Cheesy.
Disclaimer: I do not own any of the characters.
Note: Buat SATC-ERs tercintaaaaaaah~~
Tori mengerang sebal saat terbangun gara-gara ponselnya yang berdering nyaring. Dia yakin hari ini dia cuti dan sudah meminta ijin jauh-jauh hari sebelumnya, jadi tak ada alas an bagi siapapun untuk mengganggunya sepagi itu kecuali untuk urusan hidup dan mati. Sambil menggeram sebal, tangannya terulur meraba-raba dan akhirnya menemukan ponselnya terselip di bawah bantal.
“Moshi-moshi.” Sapanya dengan nada menggerutu.
“Bangun! Kau pikir ini sudah jam berapa?”
Tori mengernyit. “Kaa-san?”
“Bukan. Aku perdana menteri Jepang. Memangnya kau piker siapa lagi?” sahut suara di seberang. Terlalu nyaring menurut telinga Tori.
Tori berbalik dan mengambil arlojinya dari atas meja. Matanya memicing. “Kaa-san, ini masih jam enam pagi.” Keluh Tori sambil mendesah. “Ada apa?”
“Aku tak mengerti bagaimana mungkin kau bisa tidur nyenyak di hari sepenting ini. Ada apa katamu? Memangnya tak jadi ke rumah? Jangan macam-macam ya.”
Mendesah sekali lagi, Tori akhirnya menarik badannya untuk duduk dengan susah payah dan bersandar ke dinding. Sejenak menyingkap tirai untuk mengintip ke luar. Matahari belum lagi terbit sempurna di luar sana. Tori mengusap wajahnya dan menguap. “Iya, iya, jadi kok. Tapi kan janjinya makan siang.” Protesnya pada sang ibu.
Didengarnya ibunya mendengus. “Kami pasti akan datang, koook” Tori berusaha menenangkan. “Kaa-san tak usah panik begitu, dong.”
“Aku tak pernah panik.” Kilah ibunya cepat.
“Hai, hai. Lalu? Kaa-san meneleponku pagi-pagi buta begini hanya untuk meneriakiku?” Tori mengangkat sebelah alisnya.
“Anak kurang ajar. Aku hanya ingin tanya apa Masahiro alergi sesuatu. Aku terlanjur beli banyak seafood. Atau jangan-jangan dia tak suka seafood? Masih banyak waktu untuk ke swalayan sih. Aduh, semoga Takashi-san belum berangkat.”
Tori menghela nafas dan memejamkan matanya. Tangannya terangkat lagi untuk memijat batang hidungnya. ”Dia tak punya alergi apa-apa, kok. Sejauh yang aku tahu, sih. Lagipula dia kan sudah pernah makan masakan Kaa-san.”
”Tapi kan bukan seafood.” Potong ibunya cepat. “Apa sih sebenarnya makanan kesukaannya? Mungkin aku bisa buatkan.”
”Yah, dia sering minta dibuatkan nabe sih.” Tori meringis.
”Nabe? Nabeeeeeeee? Kenapa tidak bilang dari kemarin? Aku ditawari Ootsuka-san shiitake bagus-bagus tapi kutolak. Aargh! Semoga masih dia simpan. Takashi-san! Jangan berangkat dulu!”
Hubungan pun terputus. Tori memandangi ponselnya selama beberapa saat sebelum akhirnya mendesah sambil geleng-geleng kepala. Diletakkannya ponsel itu di atas meja dan baru saja beringsut mencari posisi yang nyaman untuk tidur lagi, didapatinya sosok yang tertidur di sebelahnya sudah membuka mata. Sepasang mata kecoklatan itu memandangnya dengan mengantuk.
Tori tersenyum lembut dan beringsut mendekat. ”Maaf ya. Terbangun karena suaraku?” tanyanya dalam bisikan pelan.
”Siapa?” tanya Masahiro sambil menguap.
”Ibuku.” Jawab Tori singkat.
Kening Masahiro berkerut. ”Ada masalah?”
“Tidak. Biasa kalau mau kedatangan tamu, Ibu selalu seperti itu. ” Tori tertawa kecil.
”Hmm.” Masahiro memandangnya sambil berkedip-kedip seperti masih berusaha mencerna apa yang dikatakan Tori dengan otaknya yang jelas belum bekerja dengan baik.
Tori memeluknya dan mengecup ujung hidung Masahiro. ”Tidur lagi saja. Masih jam enam, kok.”
Masahiro bergumam tak jelas, menarik Tori mendekat dan membenamkan wajahnya ke lekuk leher pacarnya itu sebelum kembali mendengkur pelan.
****
”Okaa-san suka bunga, tidak?” tanya Masahiro sambil mencuri pandang ke arah spion.
Tori memiringkan kepalanya. ”Tidak terlalu sih. Otou-san tidak pernah membelikannya bunga.”
“Tapi bukan berarti tak suka, kan? Mampir sebentar ke toko bunga, yuk.” Masahiro menawari.
”Masahiro kan sudah beli Barbie untuk Kaa-san.” Tori mengingatkan sambil mengalihkan pandangan dari pemandangan di sisinya ke arah sang pacar yang sibuk menyetir.
”Okaa-san suka tidak, ya?” Tanya Masahiro masih tak yakin.
Tori tertawa. ”Tunggu sampai kau lihat koleksinya di rumah nanti”. Tangannya kemudian terulur untuk menyentuh lutut Masahiro dan meremas lembut. ”Masahiro tak perlu khawatir. Kaa-san dan Tou-san pasti senang, kok.”
Pemuda jangkung itu berusaha membalas senyuman Tori tapi kemudian ekspresinya langsung berubah. Tori harus berpegangan pada dashboard karena pemuda itu mengerem mendadak. Untung jalanan sedang sepi. Tori menoleh dan memukul lengan Masahiro dengan sebal.
”Ma-kun! Apa-apaan sih?” serunya.
Masahiro tak menyahut. Kepalanya dibenturkan ke roda setir dengan dramatis. ”Aku lupa tak beli apa-apa untuk ayahmu. Aaaargh! Bagaimana mungkin aku bisa lupaaaa? Dan kenapa Tori tidak mengingatkaaan?”
Tori mendengus. Tak percaya karena dua kali dalam pagi itu dia harus mengurusi dua orang panik hanya karena masalah sepele. Yah, setidaknya sepele untuk Tori. ”Tou-san tak suka diberi hadiah. Menurutnya itu terlalu basa-basi. Kalau ingin memberi ya memberi saja. Beliau selalu bilang begitu.”
”Tapi kaaaaan...” Masahiro masih merajuk.
”Aku sudah beli sekotak cerutu, kalau itu bisa membuatmu lega.” Ujar Tori akhirnya.
Masahiro mengangkat kepalanya. ”Sungguh? Kenapa tidak bilang dari tadi?”
”Kamu kan tidak tanya. Sekarang, jalan. Kita mengganggu lalu lintas.”
Masahiro menoleh dan benar saja, di belakang mereka sudah ada tiga mobil yang mengklakson ribut. Masahiro membuka jendela dan mengacungkan jari tengahnya pada mereka sambil menginjak pedal gas.
Tori memukul keras-keras lengan pemuda itu. ”MA-KUN!!”
****
Amami Yuki meletakkan boneka Barbie barunya ke dalam lemari kaca sambil bersenandung senang. Sementara itu di belakangnya, Masahiro terperangah melihat jejeran boneka cantik berambut pirang di dalam lemari kaca besar itu. Di sebelahnya, Tori terkikik geli.
”Ternyata memang suka sekali ya.” Gumam Masahiro.
”Kubilang juga apa.” Sahut Tori.
”Jangan bisik-bisik di belakangku.” Tegur Yuki sambil berkacak pinggang. ”Sana, ajak Masahiro berkeliling. Makan siangnya baru siap setengah jam lagi.” Titah wanita cantik itu pada anaknya sambil mengibaskan tangan.
”Ha~i.” jawab Tori. Digamitnya tangan Masahiro untuk menariknya pergi. ”Yuk.”
Masahiro menurut dan mengikuti Tori.
”Dan jangan bermesraan sembarangan!” seru Yuki lagi ke arah punggung dua lelaki itu.
Tori memutar bola matanya sementara Masahiro menggaruk kepalanya dengan salah tingkah. Tori mengajaknya ke halaman belakang rumah yang cukup asri. Ada kolam koi di sudut halaman, lengkap dengan gazebo kecil di atas kolam itu. Masahiro memilih untuk duduk-duduk di sana.
”Wah, koi-nya gemuk-gemuk.” komentar Masahiro sambil melongok.
”Yang di rumah Masahiro juga sama ’kan?” Tori membuka sebuah kaleng kecil dan melempar sedikit isinya ke kolam. Ikan-ikan berwarna-warni itu langsung berkecipak ribut dan berlomba merebut makanan.
”Tapi tak sebanyak ini jumlahnya.” Masahiro berkilah.
Tori tertawa. ”Itu kan karena kolam ini tak sebesar kolam di rumahmu.”
Pemuda itu akhirnya melengos. ”Mungkin juga.” Pemuda itu kemudian duduk di atas pembatas gazebo sambil memperhatikan bangunan rumah keluarga Tori. Ukurannya memang tak bisa dibilang kecil tapi masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan rumah keluarganya. Rumah besarnya selalu terkesan sepi dan lengang kecuali kalau Masahiro kecil sengaja membuat keributan sampai harus dikejar-kejar ketiga kakaknya, pengasuh dan para pelayan. Sebaliknya, rumah Tori lebih berkesan damai, meskipun sesekali suara keras sang nyonya rumah terdengar memecah ketenangan.
Tori duduk di samping Masahiro. Kepalanya dimiringkan untuk mengintip wajah pacarnya yang tampak termenung. ”Kenapa?” tanyanya sambil tersenyum.
Masahiro menggeleng. ”Ini rumah Tori dibesarkan ya?”
Tori tertawa kecil. ”Hmm. Meskipun sejak SMU aku tinggal dengan Nenek dan rumah ini dibangun waktu aku kuliah.”
Masahiro mengerjap-ngerjapkan matanya. ”Rasanya pernah dengar.” gumamnya.
”Apa?”
Pemuda itu buru-buru menggeleng. ”Nandemonai. Begitu ya? Jadi Tori tak punya banyak kenangan di sini ya?”
“Siapa bilang?” tukas Tori sambil tertawa. “Maksudku, rumah ini tadinya tak sebesar ini. Hanya halamannya saja yang luas sekali. Tadinya ukuran aslinya hanya sebesar ruang tamu dan ruang tengah. Selebihnya bangunan baru.” Tori menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk bagian rumah yang dimaksud.
“Tadinya Kaa-san tak ingin tinggal terlalu jauh dari kantornya tapi Tou-san tak mau pindah.” Tori melanjutkan bercerita. “Beliau suka udara di sini dan dekat dengan pelatihan renang tempatnya mengajar. Jadi Kaa-san mengalah. Ah, aku jadi cerita terus. Membosankan ya?” Dokter tampan itu meringis.
Masahiro menggeleng meskipun tersenyum geli karena Tori terlihat begitu antusias. Diambilnya tangan Tori untuk dikecup. ”Aku senang kok. Habis Tori kan jarang cerita tentang keluarga Tori.”
”Sou? Maaf ya.” Tori balas menggenggam tangan Masahiro. ”Aku bukannya tak ingin cerita tapi memang belum ada yang pernah kuajak kemari sebelumnya.”
Masahiro mengangkat alisnya. Sudut bibirnya bergerak membentuk cengiran bangga. Tori melihat itu dan mencubit hidung Masahiro yang kembang kempis. ”Jangan GR. Kamu Cuma beruntung.”
Tetap saja Masahiro mengangkat dagunya dengan sombong. Tori menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. Sambil pura-pura mendesah, dikecupnya pipi pemuda itu.
”Aku kena sial apa ya, sampai bisa begitu sayangnya sama kamu.” ujarnya sambil mengulum senyum.
Masahiro nyengir, mengambil kesempatan untuk memeluk pinggang Tori dan menariknya mendekat. ”Sial sekali. Aku tak akan pernah lepas dari Tori kecuali Tori mengusirku pergi.”
”Nara, daijoubu.” Sahut Tori sambil mendekatkan wajahnya untuk menyambut ciuman Masahiro.
”Anu... Bisa ditunda sampai nanti? Yuki-chan bilang makan siangnya sudah siap.”
Mereka menoleh dengan terkejut dan melihat seorang pria berdiri di depan gazebo itu. Kulitnya cokelat sehat, perawakannya lumayan kekar dan dia mengenakan kaus pas badan berwarna putih dan jeans berwarna gelap. Sebuah cengiran lebar menghiasi wajah pria itu.
”Ah, Tou-san. Kami segera menyusul.” Jawab Tori dengan cengiran juga meski setengah tersipu.
Sadar pria di hadapannya adalah ayah Tori, Masahiro buru-buru membungkuk sopan. Sorimachi balas mengangguk sambil tetap nyengir lebar.
“Lima menit ya. Jangan sampai Yuki-chan teriak-teriak.” Ujar Sorimachi sambil berlalu dan tersenyum simpul.
“Ha~i!” Mereka berdua menyahut bersamaan.
****
”Duduk sini.” Yuki menepuk-nepuk bantalan sofa sambil menyilangkan kakinya.
Masahiro tampak ragu dan menoleh ke arah Tori dan Sorimachi yang sedang sibuk membereskan meja makan dan mencuci piring sambil mengobrol. Yuki mengibaskan tangannya. ”Tak usah sungkan. Itu sudah jadi tugas mereka sejak dulu kok. Kau kan tamu hari ini. Sini. Atau tak mau duduk dekat-dekat denganku?”
Melihat alis wanita itu yang terangkat mengancam, Masahiro buru-buru duduk manis. Sejenak bingung harus apa. Meskipun sudah beberapa kali bertemu, tetap saja rasanya canggung kalau harus berurusan dengan ibu Tori. Matanya tetap tak bisa berhenti melirik ke arah Tori. Berharap Tori cepat selesai dengan pekerjaannya dan bisa menemaninya.
”Aku tidak menggigit loh, Masahiro-kun.” ujar Yuki sambil tertawa senang.
Digoda begitu, Masahiro langsung jadi salah tingkah. ”Tapi Okaa-san terlihat seperti itu.” dan langsung menutup mulutnya dan menatap takut-takut.
Yuki mendengus. ”Setidaknya aku tak akan menggigit kecuali kalau kau menyakiti anakku.” ujarnya sambil menyeringai.
Masahiro pun bertanya-tanya bagaimana mungkin Tori bisa jadi orang yang selembut dan sebaik itu kalau ibunya semenyeramkan ini.
”Sini. Kukasih lihat sesuatu.” ujar Yuki sambil meraih ke bagian bawah meja dan meletakkan sebuah album berwarna hijau di pangkuannya. ”Tori membuatku bersumpah untuk tidak memperlihatkan ini pada siapapun tapi masa bodohlah. Dia lucu sih.”
Dengan pandangan bertanya, Masahiro beringsut mendekat. Yuki membuka album itu yang rupanya berisi foto-foto masa kecil Tori. Bayi Tori dengan mata yang masih menutup sedang digendong Sorimachi yang tersenyum bangga. Rupanya kulitnya memang sudah coklat sejak lahir. Tori dengan sepeda roda tiga pertamanya. Tori mengenakan hakama pertamanya di acara sichigosan, memegang panah jimat dan nyengir ke arah kamera. Tori, kelas 3 SD, cemberut sambil memegangi pipinya sepulang dari dokter gigi. Berfoto dengan teman-temannya di kolam renang saat kelas 1 SMP. Berdiri di podium bernomor 1 dengan senyum bangga meski hanya mengenakan celana renang dan tubuhnya masih ceking. Tori yang terhimpit di antara teman-teman dan kedua orangtuanya saat berulang tahun yang ketujuh belas. Begitu banyak Tori di dalam album itu dan punya lebih banyak cerita dibanding foto-foto Tori yang disimpan Masahiro di dalam folder khusus laptopnya.
Perhatiannya kemudian tertuju pada foto-foto saat SMU. Mulai terlihat mirip sekali dengan Tori yang sekarang. Ada satu-dua yang merekam Tori dengan teman-temannya tapi lebih banyak adalah foto Tori dengan seorang wanita tua, terlihat sederhana tapi anggun dengan kimononya.
”Ibu Takashi-san. Nenek Tori. Kau pasti sudah tahu kan kalau anak itu tinggal dengannya sejak SMU?”
Masahiro mengangguk.
”Katanya dia tak tega karena Ibu tinggal sendirian lagipula sekolah pilihannya memang dekat dengan rumah Ibu.” Yuki melanjutkan. ”Sejak dulu, anak itu memang baik hati.”
Masahiro tersenyum dan mengangguk. ”Kadang terlalu baik.”
”Hmmm... Menurutmu begitu?” Yuki mengelus dagu. ”Yah, paling tidak kau sadar kalau kau sebaiknya tidak memanfaatkan kebaikan hatinya itu dan berbuat seenaknya kan?”
Masahiro mengangkat kepala dan pertama kalinya berani menatap wanita itu lekat-lekat. ”Okaa-san. Itu pernyataan yang tidak berdasar sama sekali.”
”Sou?” Yuki kembali mengangkat alis. ”Bagus, kalau begitu. Asal kau tahu saja ya, Takashi-san akan lebih merepotkan untuk dihadapi dibanding aku.”
Masahiro menelan ludah. Yuki kemudian tersenyum lebar dan tertawa. ”Selamat berjuang.”
”Apa yang kalian bicarakan?”
Yuki buru-buru menyambar album itu dan melemparnya ke bawah meja. ”Tak ada apa-apa.” tukas wanita itu sambil mengambil cangkir teh dan menyesap isinya.
Tori melipat tangan di depan dada dan memandang curiga. Masahiro tersenyum dan mengulurkan tangannya. Tori menyambut dengan sedikit ragu apalagi dengan cengiran jahil di wajah pemuda itu.
“Okaa-san baru saja memperlihatkan sesuatu padaku.” ujarnya.
”Apa?”
”Foto gaun pengantinnya dulu. Katanya Tori boleh pakai kalau Tori mau nanti.”
”Ma-kun!”
Yuki tergelak-gelak sampai nyaris tersedak tehnya.
****
Sorimachi melingkarkan lengannya di pundak Yuki sambil melambai pada sedan sport yang bergerak meninggalkan halaman. Dua tangan terulur dari masing-masing jendela pengemudi dan penumpang, balas melambai.
“Sudah kubilang kalau dia akan baik-baik saja kan?” Ujar Sorimachi sambil memandang istrinya.
Yuki mendesah. ”Jangan salahkan aku karena khawatir dong. Kau lihat sendiri bagaimana dia waktu itu. Sampai bilang tak mau berurusan dengan cinta lagi segala. Ibu mana yang tidak khawatir coba?”
Sorimachi terkekeh. ”Seandainya dia bertemu bocah itu sejak dulu ya?”
Yuki menyikut pinggang suaminya. ”Takashi-san, itu namanya pedophilia.”
Sorimachi tergelak dan mengecup kepala istrinya dengan sayang. ”Yang penting sekarang anak itu bahagia.”
”Hmm. Semoga semua baik-baik saja. Aku tak tega melihatnya seperti dulu lagi.” Yuki bergumam pelan.
”Pasti tak apa-apa, kok. Tak lihat mata bocah itu?” Sorimachi mengangkat alisnya.
Yuki menengadah dan tersenyum lebar. ”Persis seperti kau melihatku ya.”
”Persis.”
--end--
.....................................bisa dibunuh Kazuki kalau ketahuan. >9
ReplyDeleteYuki menyikut pinggang suaminya. ”Takashi-san, itu namanya pedophilia.”
Kazuki : *tertusuk*
”Foto gaun pengantinnya dulu. Katanya Tori boleh pakai kalau Tori mau nanti.”
...........................JANGAN. Jangan, Ma-kun! Pakai rok pendek diluar legging sajalah!
INI KEREN SEKALI AW AW AWWWWWWWW~!!!! *menjepitkan diri ke resleting lagi* manisssssss!!!! (dan Nei terharu tanpa alasan. *sniffffff*)
*Anne lagi kerja*
ReplyDelete*Anne langsung hilang konsentrasi*
*Anne langsung cengengesan sendirian di kantor*
KYAAAAAAAAAAAAAAAAAANNNNNNNNNNNNNN~~~!!
Mengcopy semua kalimat diatas.
ReplyDeleteHarus tampak serius. Harus tampak serius. Harus tampak serius.
IYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAANNNNNNNNN XDDDDDDDDDDDDD
Kyuuuuuuuuunnnnnnnnn manisnyaaa huaungggg!!!
ReplyDeleteMasahiro ngga mengenali kakak beransel merah ya? :3
Nah, siapa yang mau nulis Ma-kun ketemu Keigo-mama?
Partner gw jaga langsung nanya "Kamu kenapa Cha?" liat gw cengengesan ga jelas.
ReplyDeleteYuki: Bisa diatur *evilsmirk*
ReplyDeleteKenapa terharuuuuu? LOL Abis, kan belum ada mereka resmi ketemu orang tua kan? *goyang2*
jangan sampe salah itung gaji orang *pokes*
ReplyDelete*ceritanya jadi mahasiswa* SenseeeiiI~~ ilernya netes tuuuh~~
ReplyDeleteDua orang ini ingatannya parah ternyata ya. Waktu itu Tori belum sekeling dan sedebu sekarang *ninja*
ReplyDeleteMaksudnya Tori ketemu Keigo-mama? *dilindes*
ReplyDelete................mauuuuuuuuuuuuu! eh, nggak jadi.
NPM kamu berapa, Dek? Sini saya catat *tiba2 jadi killer*
ReplyDeleteNgomong2, gw teringat tanpa sadar bahwa gw pernah refleks ngoreksi dengan gaya fujoushi nama Ma-kun waktu mahasiswa gw ngomongin Decade.
Shimattaaaaaaaaaa~, persona cool dan yasashii oneesama gw hilaaaanggg >///
Oh iya, Tori ketemu Keigo-mama XD
ReplyDeleteNgoreksi dengan gaya fujoshi itu gimana, kaka dosen? :3
KENAPA NGGAK JADI? *taser*
ReplyDeleteUntungnya cuma lagi ngerancang nomor induk karyawan. Paling nomornya lompat 1. *ROFL*
ReplyDeleteMampusssssssssssssssssssssss. Fandom ini memang menyenangkaaaaaaaaaaaaaaaaaaan.
tidak akan sefuwa-fuwa ini! Muohohohohohohohoho! *menari-nari*
ReplyDeleteSetujuuuuuuuuu!!! Dulu sensei kan tidak se-debu sekarang, dulu kakak beransel merahnya hitam, kurus, gingsul, sekarang mah hihihihihi...
Bos: Kok, nomer kayanya nomernya kelongkap satu ya?
ReplyDeleteAnne: Umh... Ma-kunxTori happened? :D :D
Gitu? LOL
ALASAN!
ReplyDeletePadahal kalo kakak beransel merah itu sebegitu berkesannya buat Ma-kun, harusnya dia INGET dong ya LMAO Payah amat sih, Bocchan~~
Ma-kun: YANG PENTING KAN DIA JADI MILIKKU SEKARANG~~~
pertanyaan yang sama dengan Icha: iya, kaya apa itu ngoreksi dengan gaya fujoushi?
ReplyDeletePadahal kalo kakak beransel merah itu sebegitu berkesannya buat Ma-kun, harusnya dia INGET dong ya LMAO Payah amat sih, Bocchan~~
ReplyDeleteMa-kun: YANG PENTING KAN DIA JADI MILIKKU SEKARANG~~~
Shunsuke : "Oh ya? Selama belum menikah, semua bisa terjadi..." *gerak-gerakin alis*
KYAAAAAAAAAAAAAAAAAA~!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
ReplyDelete*langsung cengar-cengir kayak orang sinting di kelurahan*
poker face....poker face....poker face.....
Selama janur kuning belum melengkung.... #eh
ReplyDelete