Sunday, September 18, 2011

[fanfic] Someday

Cast: Furukawa Yuuta, Daito Shunsuke
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anyone
Note: Iseng aja nih :p



Yun melirik sekilas. Tangannya sibuk mencampur gula dan susu ke dalam cangkir kopi lalu menuang susu ke dalam cangkir kopi yang lain. Ia melirik lagi sebelum membawa dua cangkir berisi kopi yang menguarkan asap tipis dan aroma yang begitu harum itu ke ruang tengah. Shunsuke mendongak dari kesibukannya: kertas-kertas, handphone, iPad juga beberapa lembar foto dan pamflet; ia tersenyum saat Yun meletakkan sebuah cangkir di dekat iPad-nya.

"Arigatou." Gumamnya lalu kembali berkutat pada berkas di atas pangkuannya.

Yun mengecup pelipisnya sekilas lalu menempatkan dirinya di sebelah pengacara tampan itu. Cukup dekat hingga ia bisa melihat apa yang sedang dibaca Shunsuke.

"Kasus pembunuhan itu jadi tanggung jawabmu?" Tanyanya sekilas.

Shunsuke mengangguk. "Lusa sidang terakhir."

Yun ikut mengangguk. Mereka memang tak banyak membicarakan pekerjaan masing-masing. Terutama karena pekerjaan Shunsuke yang mengharuskannya menyimpan banyak berkas rahasia. Shunsuke pun tak banyak bertanya kecuali Yun bercerita tentang pekerjaannya. Seperlunya. Yang penting mereka tahu apa yang dilakukan pasangan mereka.

Shunsuke mendesah seraya menjangkau cangkir kopinya. Disesapnya perlahan dan dinikmatinya cairan hitam itu. Sesaat Yun mengira ia akan berhenti karena Shunsuke menyingkirkan berkas di pangkuannya ke atas meja, tapi ia malah meraih tumpukan kertas lain. Kali ini berisi sebuah daftar dan deretan angka. iPad-nya berbunyi dan dalam sekejab, Shunsuke langsung sibuk chatting dengan beberapa orang.

Beberapa pesan disertai foto, Yun langsung mengerti kali ini urusannya sudah berganti dengan urusan pernikahan teman Shunsuke. Yun mengangguk-angguk.

"Pink dan merah? Apa tidak terlalu perempuan?" Celetuk Yun saat sebuah gambar contoh dekorasi muncul di layar iPad Shunsuke. Pengacara itu terkekeh dan mengetikkan komentar Yun.

-My thought exactly- komentar seseorang bernama Aoki Tsunenori muncul di layar.

Yun tersenyum miring. Shunsuke tertawa sambil menggelengkan kepala. Beberapa saat kemudian ia mematikan aplikasi ngobrol itu lalu mengangkat kedua lengannya ke udara untuk meregangkan badan. Kepalanya digerakkan ke kiri dan ke kanan, menimbulkan bunyi keretak pelan dan pengacara tampan itu pun mendesah.

Jari-jari panjang Yun menyentuk tengkuk Shunsuke dan mulai memijat lembut. "Sudah semakin dekat ya?"

Shunsuke mengerang pelan, "Iya."

"Semuanya lancar?"

"Sejauh ini." Shunsuke mengangguk. "Ngomong-ngomong, Tori berterima kasih sekali karena kau mengenalkan Takiguchi-kun padanya."

Yun mengedikkan bahu. "Aku cuma mengenalkan. Bagus kalau memang bisa membantu."

Shunsuke tersenyum dan memajukan kepalanya untuk mencium Yun. Rubah besar itu pun dengan sigap merengkuh Shunsuke dalam pelukannya, memiringkan kepala agar ia bisa mencium Yun dengan sedikit lebih leluasa. Aroma kopi, susu dan mint bercampur jadi satu, berpadu dengan sentuhan lembut dan penuh hasrat. Shunsuke melingkarkan lengan ke sekeliling leher Yun, bergerak merapat lebih dekat dan mengerang pelan.

Yun tampak sedikit bingung meski bibirnya tersenyum saat Shunsuke mundur. "Untuk apa yang barusan?" Dikecupnya ujung hidung Shunsuke, tepat di tahi lalat imut yang bertengger di situ. Shunsuke nyengir. "Tanda terima kasih?"

Rubah itu tertawa. "Jadi kalau Matsuzaka-sensei menyampaikan terima kasihnya secara langsung, aku juga akan mendapatkan ciuman seperti tadi?"

"Maumu." Cibir Shunsuke.

"Tak ada salahnya berharap, dong." Yun menjulurkan lidahnya dan langsung mengaduh karena Shunsuke menggigitnya.

Shunsuke lalu merebahkan kepala di lengan Yun, bersandar nyaman pada tubuh Yun yang kurus. Yun menoleh, mengecup sekilas rambut Shunsuke yang beraroma apel.

"Mengurus pernikahan itu seru juga ternyata ya." Ujarnya pelan. "Waktu kau menikah dulu, apa juga seseru ini?"

Yun menyesap kopinya. "Hmm... Tidak. Aku kan masih muda sekali waktu itu. Sederhana saja. Cukup keluarga dan teman dekat. Sudah. Lagipula, almarhum ibunya Hide sudah mengandung Hide waktu itu."

"Ah, begitu." Shunsuke mengerutkan dagu. "Tapi mau yang sederhana ataupun yang mewah, pernikahan tetap saja sesuatu yang sakral dan indah ya?"

Yun mengangguk. Sejenak kemudian, mata rubahnya bersinar nakal. "Kenapa, Pak Pengacara? Kau mau menikah juga jadinya?"

Shunsuke tertawa pelan. "Tidak. Cuma mengucapkan pendapat saja kok." Pria beralis tebal itu mengangkat kepalanya, menatap Yun dengan penasaran. "Apa kau sendiri ingin menikah lagi?"

Yun kembali mengedikkan bahu. "Terserah padamu."

"Terserah aku?" Shunsuke mengangkat alisnya. Ditatapnya Yun dalam-dalam, mencari-cari apakah rubah jahil itu benar-benar serius atau tidak. Yun menggenggam tangannya lalu mengecup pergelangan tangannya dengan lembut. Senyum Shunsuke melebar. Direbahkannya kembali kepalanya, beringsut mencari posisi yang lebih nyaman dalam pelukan Yun. Diputarnya tangannya yang masih digenggam Yun agar ia bisa mengaitkan jemari mereka.

"Nanti." Jawab pengacara itu. "Kalau Halu dan Hide sudah lulus, punya pekerjaan dan bisa berdiri sendiri. Kalau kau sudah pensiun jadi guru dan kalau aku sudah punya firma hukum sendiri. Kalau sepuluh tahun dari sekarang aku masih merasa seperti ini padamu, saat itu, aku mungkin akan menikahimu, Pak Guru."

Yun meletakkan dagunya di atas kepala Shunsuke, memperhatikan jemari mereka yang bertaut dan diletakkan dengan nyaman di atas perut Shunsuke. Bibir tipisnya membentuk senyum lebar mendengar kata-kata Shunsuke.

"Oke."

-end-

Sunday, September 11, 2011

[fanfic] KenkixMicchi -Aitai Kimochi

Cast : Yamaguchi Kenki, Mitsuya Ryou, cameo Ogoe Yuuki & Koseki Yuta
Rating: R
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I am but a humble fangirl. Do not own anything or anyone




Di waktu-waktu seperti ini, Kenki merasa seperti orang bodoh. Padahal ada hal penting yang harus dilakukan. Berkonsentrasi belajar karena ia sedang ujian akhir, misalnya. Hanya saja otaknya seperti tak ingin bekerja sama dan terus menerus menampilkan bayangan tunangannya. Ia tak bisa berhenti melirik jam, mengingat-ingat apa yang biasanya dilakukan Mitsuya pada jam itu.

Kenki tertawa geli lalu menepuk-nepuk pipinya sendiri. Mitsuya pun sekarang sedang sibuk mempersiapkan diri untuk pertandingan nasional. Tak ada gunanya ia merengek minta bertemu. Meskipun tidak disepakati secara langsung, mereka berdua membatasi diri dengan telepon dan email seolah sadar ini waktu yang sangat penting dan mereka butuh konsentrasi penuh.

Sebenarnya, Kenki tak pernah punya masalah menjaga fokusnya. Ia bisa dengan mudah melakukannya, kalau ia mau. Tapi tak ada salahnya berjaga-jaga kan?

Tapi lagi, sudah seharian ini ia tak bisa berkonsentrasi sama sekali. Lelah sudah mulai mengambil alih dan bahan yang harus dipelajarinya seperti tak habis-habis. Mengambil waktu sejenak untuk istirahat, membuat kopi dan sarapan, pikirannya malah jadi melayang kemana-mana. Mitsuya belum mengiriminya email atau menelepon sejak semalam dan Kenki jadi agak bertanya-tanya. Tanpa ragu, disambarnya ponselnya dan mengirim email pada tunangannya itu.

Balasannya datang setengah jam kemudian.

-Gomen! Seharian kemarin aku diajak ke Osaka untuk mengunjungi sekolah lain dan ponselku kehabisan batere. Semuanya baik-baik saja? Jangan lupa makan dan tidur yang cukup ya? Ada seleksi regular di klub hari ini. Ganbarou!! XOXO-

Kenki tersenyum lebar dan membalas hanya dengan ucapan sayang.

Menjelang tengah hari, keadaannya tak menjadi lebih baik. Kedua pundaknya terasa berat, tegang dan mulai sakit. Untung saja ia bisa menyelesaikan ujian hari itu dengan baik. Oumi, teman sekelasnya, menepuk pundaknya dengan prihatin dan Kenki harus tertawa melihat lingkaran hitam yang begitu tebal di bawah mata temannya itu. Setelah gelas kopi ketiganya, Kenki tahu hanya ada satu yang harus dilakukannya.

*****

"Eeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeh?"

Nyaris semua orang di dekat situ, tak hanya yang berseragam putih biru tapi juga yang bergakuran dan berseragam sailor, menoleh karena teriakan terkejut Mitsuya. Kenki hanya tertawa lebar seraya melambaikan tangannya.

Yuuki, yang kebetulan berdiri paling dekat dengannya, langsung melambaikan tangan dengan semangat ke arah Kenki dan baru saja hendak mendekat tapi didului Mitsuya yang melesat cepat ke arah pagar pembatas.

"Eh? Nande? Nande? Kenapa datang ke sini? Ujiannya bagaimana? Eeeh?" Mitsuya merepet tanpa jeda. Kedua tangannya mencengkeram besi pagar pembatas. Kenki nyengir.

"Ujiannya hari ini cuma satu. Karena tak ada kerjaan, jadi kupikir aku mau lihat Micchi latihan saja."

"Tapi Kenki kan harus belajar. Ujiannya masih ada dua hari lagi kan?"

Kenki menjulurkan jarinya, menyentil ujung hidung Mitsuya dari antara besi pagar. "Tak usah khawatir. Aku sudah memperhitungkan kok."

Kedua pipi pemuda cantik itu menggembung sebal. Kenki tersenyum meyakinkan. "Daijoubu."

"Hontou?" Mitsuya masih tak percaya.

"Hontou."

Meski belum sepenuhnya yakin, Mitsuya tak tega juga mengusir Kenki pergi dan terus terang, dia senang karena Kenki datang. "Tapi kami belum mulai loh. Nanti Kenki menunggu terlalu lama."

"Aku bilang apa tadi? Aku datang karena ingin melihat Micchi." Kenki mengerling.

Mitsuya melengos, mencoba menyembunyikan telinganya yang memerah. "Ini kan bukan pertandingan," gerutunya.

"Kenki-nii!" Sapaan ceria Yuuki memotong balasan Kenki. "Sudah selesai ujiannya?"

Kenki menggeleng. "Aku punya waktu, jadi mampir sebentar."

"KENKI-NII!!!" Satu sapaan ceria lagi, kali ini datang dari tengah lapangan, dari Yuuta yang sepertinya sedang bersiap bertanding. Anak itu melompat-lompat senang seraya melambaikan kedua lengannya. Kenki balas melambai dan tertawa saat melihat kepala anak itu disambit bola oleh Ikepi yang kesal menunggu.

"Sudah mau mulai ya?" Tanya Kenki pada Mitsuya dan Yuuki. Kedua pemuda itu mengangguk.

"Aku nanti lawan Micchi loh." Yuuki tersenyum miring seraya memasang topi putihnya. "Aku ke lapangan duluan ya."

"Ganbatte, Yuuki-chan."

"Chi-zu."

Sementara itu sudut bibir Mitsuya berkedut, dagunya terangkat sementara matanya memicing berbahaya. "Hih. Kupukul jatuh nanti."

"Tampaknya seru ya." Komentar Kenki. "Aku iri deh."

Mitsuya mengerjap tapi tak berkomentar apapun. "Kenki duduk di dalam saja. Nanti aku bilang Kapten."

"Di sini saja tak apa, kok."

"Dame." Mitsuya menggeleng tegas. "Udaranya dingin. Duduk di pinggir lapangan saja. Yanagi-senpai tadi bawa sup dan teh hangat banyak sekali. Sepertinya ibunya khawatir kami akan kena flu. Ya?"

Nada yang digunakan Mitsuya sama sekali bukan nada yang bisa dibantah. Kenki mengangguk dan Mitsuya membukakan pintu pagar lalu melesat ke arah kaptennya yang duduk bersebelahan dengan Takuya. Dilihatnya mereka berbicara sejenak dan pemuda pucat ber-coat merah itu pun mengangguk.


Rasanya seperti melihat pertandingan yang biasa ditontonnya. Hanya saja semua orang yang bertanding memakai seragam yang sama. Kenki dibuat sangat kagum dengan persaingan di dalam tim itu. Tak seorang pun yang suka mengalah dan bisa dibilang bahkan lebih serius dibanding saat mereka maju ke pertandingan sebenarnya.

Si Kapten yang tadinya nampak tidur pun tak lama membuka matanya dan memperhatikan dengan serius. Dua lapangan, dua pertandingan. Entah mana yang benar-benar diperhatikannya tapi pemuda pucat itu tersenyum tipis.

Kenki, tentu saja, hanya memperhatikan Mitsuya yang tengah melawan Yuuki. Lucu juga melihat sepupu yang biasanya akrab itu saling berhadapan dengan gigihnya. Mitsuya yang biasanya protektif terhadap Yuuki pun tampak begitu serius. Seperti biasa, setiap kali sebelum mulai bertanding, Mitsuya akan menoleh ke arah Kenki dan mengerling. Kenki selalu mengacungkan ibu jarinya sebagai balasan.

Kali ini pertandingannya berlangsung cepat sekali. Yuuki merengut kesal, jatuh terduduk di dekat net dengan nafas tersengal. Mitsuya mendekat, mengulurkan tangan yang disambut Yuuki dengan sedikit kasar. Pemuda cantik itu nyengir.

"Boku ni katsu no ha, mada hayai yo." Komentarnya yang dibalas Yuuki dengan pukulan di lengan. Mitsuya kemudian tertawa dan merangkul sepupunya dengan erat.

"Hamburger pakai saus demi-glass!" Sungut pemuda mungil itu. "Apple pie juga!"

"Hai, hai." Ujar Mitsuya sambil menggeretnya ke pinggir lapangan.

"Otsukare," ucap Takuya sambil mengulurkan handuk dan botol air pada dua anak itu sementara Kenki berdiri memberi tempat agar Yuuki juga bisa duduk.

"Lututnya tak apa-apa?" Tanya Kenki pada Mitsuya yang tengah memutar-mutar kakinya.

Mitsuya mengangguk. "Un." Ia lalu melompat-lompat kecil. "Matsuzaka-sensei menyuruhku untuk menemuinya sebelum pertandingan. Hanya untuk mengecek saja, kok." Mitsuya buru-buru menambahkan karena dahi Kenki mengerut sekilas.

Kenki mengangguk lalu seperti biasa pula, dipeluknya tunangannya itu, mengucap "Otsukare" seraya mengecup kening Mitsuya. Ia kemudian menoleh pada Yuuki yang masih tampak agak ngambek. Ditepuknya kepala anak itu dengan lembut. "Don't mind."

"Bhu~"

"Nanti kutraktir parfait kesukaannya Yuuki-chan itu. Bagaimana?" Kenki menawarkan.

Wajah Yuuki langsung berubah cerah dan tanpa basa-basi, dipeluknya orang yang sudah dianggapnya kakak sendiri itu. "Kenki-nii daisuki!"

"Kenki-nii, aku ikut yaaa!" Yuta mendadak muncul entah dari mana dan bergelayut di leher Kenki.

"Yuta-chan kan tidak kalah. Kenapa ikut-ikut sih?" Yuuki memprotes.

Yuta menjulurkan lidah. "Tak apa dong. Boleh ya, Kenki-nii? Ya? Ya?"

Mitsuya menarik lepas lengan Yuuta dari leher Kenki. "Hai, hai. Lepas atau Kenki tak akan bisa menraktir kita parfait karena kau cekik, Yuta-chan."


"Daijoubu?" Mitsuya melirik tunangannya saat mereka berjalan ke arah mobil satu jam kemudian. Kenki balas melirik ke arahnya dan mengangkat bahu.

"Shouganai deshou?" Ujarnya sambil tertawa senang. Dan ia memang tak keberatan. Yang penting, Mitsuya ada di dekatnya. Kenki pun menggamit tangan Mitsuya dan menggenggamnya hangat. Pemuda cantik itu melirik tersipu dan berjalan lebih rapat dengan tunangannya.

*****

Satu hentakan dan semuanya lepas begitu saja. Gelombang itu membawanya melayang begitu tinggi, membuat seluruh tubuhnya bergetar dan bibirnya membisikkan nama orang yang paling disayanginya. Terasa hangat, penuh, bahagia, berputar dan menghantam dengan cepat.

Kenki mengerjap, membiarkan kesadarannya kembali dengan perlahan. Nafasnya masih memburu dan seluruh tubuhnya basah oleh peluh. Satu persatu indranya mulai bekerja kembali. Mendapati sosok cantik dalam pelukannya, hangat dan terasa begitu wajar. Wangi yang khas dan perasaan yang familiar. Disambutnya bibir Mitsuya yang mencari, menghujani dengan kecupan-kecupan kecil penuh sayang dan pujian.

Dijatuhkannya tubuhnya ke atas kasur, membawa Mitsuya berbaring di atasnya karena Kenki belum rela melepasnya dari pelukan. Didengarnya Mitsuya mengerang lirih dan Kenki tertawa pelan.

"Daijoubu?" Tanyanya dengan suara agak serak, diiringi kecupan di dahi yang tertutup helaian rambut yang lembab.

Mitsuya terkekeh pelan. Kepalanya mengangguk. "Daijoubu."

Kenki mengusap rambut Mitsuya dengan sayang, sekali lagi mengecup kening tunangannya.

Beberapa saat kemudian, Kenki baru rela melepaskan Mitsuya. Dibiarkannya kekasihnya itu berbaring di sebelahnya, menatapnya dengan matanya yang besar. Kenki menyentil ujung hidungnya. "Apa?"

"Kenki baik-baik saja? Ujiannya lancar kan?"

Kenki mengangguk, mengerti kekhawatiran Mitsuya yang sama sekali belum terjawab sejak ia datang tadi sore. "Aku hanya sedang suntuk. Jadi kupikir, daripada aku memaksa, lebih baik aku bertemu Micchi saja."

Mitsuya tersenyum dan beringsut mendekat untuk mengecup pipi Kenki. "Syukurlah kalau tak ada apa-apa."

Kenki mengangguk, ditariknya Mitsuya mendekat agar ia bisa mencium Mitsuya dengan leluasa. Mitsuya tertawa pelan dan membalas ciumannya dengan tak kalah bersemangat.

"Aku harus pulang." Bisik Kenki tak lama kemudian.

Mitsuya melirik ke arah jam di dinding. Sudah hampir jam sebelas dan besok Kenki masih ada ujian. Meski tak rela, ia mengangguk mengerti. Meskipun begitu, mereka tetap mengambil waktu untuk berlama-lama di kamar mandi dan bercumbu lagi sebelum akhirnya Mitsuya mengantar Kenki ke pintu (tak lupa membekali Kenki dengan apple pie sisa makan malam tadi).

"Ngomong-ngomong, Micchi manis sekali hari ini, loh." Bisik Kenki sebelum memberikan ciuman selamat malam pada Mitsuya yang langsung tersipu dan memukul lengannya.

"Sayang Micchi ya."

"Sayang Kenki juga." Balas Mitsuya sambil melambaikan tangan dan menutup pintu.

-end-

Thursday, September 1, 2011

[fanfic] Wedding Checklist - Fitting

Cast: Matsuzaka Tori, Wada Takuma, Daito Shunsuke, Nagayama Takashi
Rating: G
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything and/or anyone


"Oh ya ampun, kau ganteng sekali." Ujar Tori sambil mendesah penuh kekaguman, matanya memandang dengan pujaan yang tak ditutupi.

Shunsuke, yang tengah berdiri di depan cermin besar, meringis lebar. "Terima kasih?"

Tori menyesap kopinya, "Aku serius. Ya kan, Wada?" Dokter itu menoleh pada Takuma yang duduk di sebelahnya. Takuma mengangguk setuju. "Potongannya pas sekali, Shunsuke-san."

Shunsuke tertawa. "Terima kasih. Tapi aku masih kalah denganmu, Takuma-san. Nagayama-san saja sampai tak berhenti memuji tadi."

Takashi, yang tengah berkutat dengan kerah jas yang tengah dicoba Shunsuke tertawa. "Aku sering bertemu orang tampan dan cantik, tapi harus kuakui kalau anda adalah dokter paling tampan yang pernah kutemui, Wada-san."

Wajah Takuma bersemu merah dan dia langsung pura-pura sibuk dengan ponselnya. Tori tertawa terbahak-bahak seraya mendorong lengan sahabatnya yang salah tingkah itu. Takuma menggerundel pelan, mengulurkan tangan untuk mengambil kopi bagiannya.

Hari ini mereka bertiga dipanggil oleh Takashi untuk mengepas kemeja yang sudah setengah jadi. Perancang busana itu tampak sangat bersemangat dan Tori -yang aslinya sedang agak stres setelah semalam menghitung total biaya pernikahannya- jadi tertular gembira. Dua temannya pun menyertai meski Takashi dengan tegas mengatakan kalau Masahiro dan pendamping prianya akan mengepas di hari lain.

"Aku orang yang cukup tradisional, Matsuzaka-sensei. Saling lihat dalam busana pengantin sebelum hari H bisa bawa sial." Sahut Takashi saat Tori bertanya dan Masahiro menggerundel sepanjang malam karena sama sekali tak diperbolehkan ikut.

Takashi memberi tanda di beberapa tempat agar potongan jas itu makin pas di tubuh Shunsuke. Dia mengangguk puas dan asistennya membantu Shunsuke melepas jas itu lalu membantu Shunsuke mengenakan kimono dan hakama yang harus disesuaikan panjangnya. Tori berdiri menghampiri, ikut memperhatikan dari dekat sementara Takashi kembali sibuk dengan jarum dan ujung hakama. Tori sama sekali belum dapat giliran untuk mengepas. Takashi ingin menyelesaikan mengepas Takuma dan Shunsuke terlebih dahulu karena pakaian mereka lebih sederhana dibanding yang akan dikenakan Tori.

Sementara itu, Takuma sudah membuka agenda-nya dan sibuk berkonsultasi melalui telepon dengan Tsune tentang pengaturan tempat duduk untuk pestanya nanti. Sesekali ia berdiri dan mendatangi Tori, menunjukkan beberapa foto contoh dekorasi dari Mitsuya dan penataan meja dari Takki. Beberapa kali Tori meminta Takuma untuk meneruskan foto-foto itu pada Masahiro.

Shunsuke iseng memotret Tori dan Takuma yang tampak akrab dan mengirimkannya pada Masahiro. Telepon Tori pun langsung berdering ribut dan dokter itu harus memukul lengan Shunsuke karena dia jadi repot. Takuma menyembunyikan tawa di balik agendanya sementara Shunsuke terbahak puas.

"Kalian." Tori menghembuskan nafas sembari memencet tombol 'end call' di ponselnya.

Shunsuke menjulurkan lidah. "Kalian lucu sih."

Tori menggembungkan pipinya dengan sebal dan buru-buru menepis tangan Takuma yang siap terulur ingin mencubit. Tapi sejurus kemudian, mau tak mau, ia ikut tertawa juga. Kedua temannya itu tahu Masahiro seperti apa dan mereka makin giat menggoda tunangannya itu begitu tahu kalau Tsune dan Kimito pun tak kalah rajin mengisengi tuan muda yang super posesif itu. Beberapa kali mereka berempat menemani Tori kemanapun dokter muda itu ingin pergi dan dengan sengaja mengirim foto-fotonya pada Masahiro. Sekali waktu mereka bahkan nekat 'menculik' Tori ke taman ria, memaksanya masuk ke rumah hantu dan Tsune dengan gembira mengirim foto Tori yang tengah memeluk Takuma erat-erat karena ketakutan.

Bisa dibayangkan tuan muda itu langsung tergopoh-gopoh menyusul dan membawa Tori pulang. Tori hanya tertawa dan mencium Masahiro dengan sayang.

Tori sendiri tak terlalu keberatan diisengi seperti itu. Persiapan pernikahannya makin lama makin membuat stres. Harus berkali-kali memastikan kalau semuanya sudah dipesan dan Shunsuke membantu dengan membuatkan surat kontrak untuk pihak penyedia tempat resepsi, Takki dan Mitsuya. Untuk jaga-jaga saja, ujar temannya itu. Tak ada yang keberatan dengan usul Shunsuke itu. Dan keisengan empat pendamping itu justru sangat menghibur dan meskipun kesal, Masahiro mau tak mau ikut senang karena Tori tidak begitu stres.

"Baiklah, Matsuzaka-sensei. Bisa berdiri di sini?" Takashi membuyarkan lamunan Tori. Dokter itu menurut dan melangkah menuju ke dalam bilik ganti. Takashi mengikutinya dan membantunya memakai setelan jas panjang yang sudah hampir jadi itu.

Shunsuke dan Takuma tampak terpana begitu Tori melangkah keluar dari dalam bilik ganti. Tori mengangkat alis lalu mengecek penampilannya di cermin panjang. Matanya berkedip tak percaya. Seumur hidupnya, ia tak pernah memuji dirinya sendiri (oke, mungkin pernah. Tapi tak sering) tapi pantulan dirinya yang dilihatnya membuatnya mendesah puas. Ia berputar beberapa kali dan hasilnya sama.

Takashi pun turut mendesah. Kedua tangannya diangkat ke atas lalu dikibaskan dengan dramatis. "Sempurna." Bisiknya lalu ia melesat ke mejanya, mengambil korsase yang kemudian disematkannya di saku dada kemeja Tori. Sekali lagi mengangguk dengan begitu mantab. "Sempurna."

Takuma mendekat, tangannya terjulur meraih kerah kemeja Tori, menarik-narik beberapa kali. Matanya menatap Tori dengan seksama dan pria itu tersenyum. Tori membalas senyum sahabatnya dengan tersipu.

Shunsuke pun ikut berdiri di sebelah Takuma, mengamati Tori dengan seksama. Satu tangan terjulur, menyelipkan sejumput rambut Tori ke belakang telinga dan tersenyum.

"Gorgeous." Bisiknya.

Takuma mengangguk.

Takashi menepuk kedua bahu kliennya, "Inoue-kun memang pantas cemburu kok."

Tori tersenyum lebar. "Mungkin juga."

-end-