Monday, August 29, 2011

[fanfic] Whattaya Want From Me

Fandom(s): Tennis no Ouji-sama Musical, Cocoa Otoko
Cast: Kubota Yuuki, Hosogai Kei
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC, too much conversation in english while the fic itself is in bahasa.
Disclaimer: I do not own anything and/or anyone
Note: Oh, gue cinta Kei-chan. Semoga bisa menghibur untuk Lebaran yang tertunda #eh



"You know what? I never imagine that 'once in a full moon' could span so long it turned into 'once every hundred full moons'."

Sudut-sudut bibir Kubota Yuuki tertarik membentuk cengiran lebar. "Aku kan sibuk."

"Yeah, yeah. Spare me the bullshit."

Lagi-lagi dokter itu hanya sanggup nyengir. Dihampirinya sosok di hadapannya, kedua tangannya menjangkau pegangan kursi roda dan mendorong pelan. "Keluar yuk. Udara segar mungkin bisa membuatmu sedikit ramah padaku, Kei-chan."

Pria yang dipanggil Kei-chan itu hanya memutar matanya dan menurut saja didorong keluar ruangan praktek Kubota. "Buy me a drink." Ujarnya tanpa mau ditawar.

Mereka berhenti di depan mesin penjual minuman dan menekan dua tombol berbeda. Bunyi kaleng berdentangan dan Kubota merunduk untuk mengambil minuman mereka. Diserahkannya satu pada teman sekaligus pasiennya itu. Kei menyambut dengan sedikit terpana.

"White grape juice. You remember." Gumamnya.

"Told you. Aku selalu memikirkan dirimu."

Kei mendengus. "You expect me to believe that?"

Kubota mengedikkan bahu tak acuh dan melanjutkan langkah menuju taman. Kali ini dibiarkannya Kei mengikutinya di sampingnya. Kubota mengambil tempat di salah satu bangku taman yang terletak di bawah rimbunan pohon wisteria. Kei menghentikan kursi rodanya di hadapan dokter itu, menyesap minumannya tanpa banyak cakap.

Kubota menatap temannya itu. Tak banyak yang berubah dari Hosogai Kei sejak terakhir kali mereka bertemu. Tubuhnya masih saja ramping dengan tinggi yang nyaris menyamai Kubota kalau Kei berdiri. Sayangnya, penyakitnya membuat kakinya tak bisa berlama-lama menopang berat badannya. Kei menghabiskan lebih banyak waktu di kursi roda. Meski saat ia sedang bisa berdiri, ia akan mondar-mandir kesana kemari walaupun harus ditopang tongkat. Wajahnya manis cenderung cantik meski suaranya berat dan lidahnya tajam. Sarkasme-nya selalu membuat Kubota merasa terhibur. Dan entah bagaimana, Kei malah terlihat semakin seksi.

Hosogai Kei, orang Jepang yang tinggal di Amerika sejak SMU. Anak kenalan ibunya dan mereka dikenalkan saat Kubota harus menemani ibunya yang diopname karena usus buntu. Pemuda yang menarik meski tak seaneh Shintarou. Mereka sempat berkencan beberapa waktu tapi karena satu dan lain hal, hubungan itu tak berlanjut.

Hosogai Kei, 35 tahun, satu-satunya orang yang sanggup membuat Kubota Yuuki sempat berpikir serius tentang pernikahan. Walau pada akhirnya tak diungkapkan.

"Still can't believe you refused to inherit such facility." Kei berujar, membuyarkan lamunan Kubota. Kebiasaannya berbicara dalam bahasa inggris meski mengerti bahasa jepang pun tak berubah.

Dokter itu lagi-lagi hanya nyengir dan merogoh kantong untuk mengeluarkan sekotak rokok. Kei mengangkat alis. Kubota menunjuk tanda di sudut taman yang mengatakan kalau di situ diperbolehkan merokok. Lagipula, ia kakak pemilik rumah sakit.

"Kau pasien." Ujarnya saat Kei mengulurkan tangan lalu tertawa saat Kei mendelik padanya. Diangsurkannya kotak rokoknya lalu berbagi api dengan pria itu.

Beberapa kali tarikan dan hembusan, Kubota menoleh pada temannya itu. "Kau selalu menolak untuk dirawat sebelumnya. What's the change of heart?"

Kei melirik ke arahnya dan mengangkat bahu. "I'm tired."

"Karena harus menjelaskan pada orang-orang dan bosan dikasihani?" Tanya Kubota.

Kei memutar matanya lagi. "Of the chair."

"Ah." Kubota manggut-manggut. "Tapi kenapa harus di Jepang? Di Amerika kan juga ada pengobatan yang tak kalah bagus dengan di sini."

Kali ini Kei tak menjawab. Ia menyesap minumannya lagi dan hanya menatap Kubota dari tepi kaleng minumannya. Kubota menangkap pandangan itu dan tersenyum simpul.

"Kangen padaku?"

Kei mendengus. "You're the only one I can trust."

Kubota menundukkan kepalanya dengan gaya. "I'm flattered."

"You should."

Dokter itu tertawa lagi dan sungguh, hatinya melonjak senang saat melihat Kei pun ikut tersenyum. "Aku tak akan jadi satu-satunya yang merawatmu loh. Ada Souta-sensei dan Matsuzaka-sensei yang akan ikut menanganimu."

Kei hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban. "As long as you trust them."

"Mereka dokter yang kompeten."

"Then it's fine for me."

Mereka terdiam beberapa lama. Kei memejamkan mata, nampak menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya dan bunyi desir daun wisteria di dekat mereka. Kubota menyalakan sebatang rokok lagi, ikut menghanyutkan diri dalam diam. Ia melambai sejenak pada Tori dan Takuma yang kebetulan melintas. Hanya tersenyum pada ekspresi keheranan mereka. Ia pun mengerutkan kening saat tangan Kei terulur ke arahnya. Perlahan, disambutnya diselipkannya tangan itu ke dalam genggamannya dan mengelus buku jarinya yang agak kasar.

"Masih main bass?" Tanyanya pelan dengan penuh ingin tahu.

"From time to time." Balas Kei masih dengan mata terpejam.

"Masih sendiri?" Lanjut Kubota, mengelus pangkal jari manis Kei dengan ibu jarinya.

"Same as you." Kei membuka matanya.

Kubota mengangguk dan sebelum ia sempat bertanya lagi, Kei menduluinya. "Still seeing him?"

Dokter itu terdiam sesaat lalu mengangguk. "Kadang."

Kei mengangguk-angguk. Kubota mengulum senyum. "Cemburu?"

Lagi-lagi ia mendengus. "I never even met him." Kei mendesah. "And you did say you have no intention to marry him."

"......Memang."

Mereka terdiam lagi. Sama-sama menahan diri agar tidak terjebak dalam pertanyaaan seperti 'kau menganggapku apa'.

"Kudengar dari Ibu kalau kau sempat dekat dengan seseorang? Penyanyi kalau tak salah?"

"Drummer." Koreksi Kei cepat.

Kubota mengangguk-angguk. "Dia membuatmu kesal?"

"Not as much as you."

Kubota tertawa renyah. "You'll meet someone."

"Oh, don't give me that." Kei terdengar sedikit kesal. "You're the only one I want to marry. But you never trust marriage. So, you see, I have no option." Pria itu menatap lurus-lurus ke arahnya. Kubota mengerang.

"Apa kau mencoba membuatku merasa bersalah?"

Kei memajukan tubuhnya, satu sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring dan terlihat sedikit licik. Matanya meredup saat wajah mereka begitu dekat dan Kubota bisa merasakan hembusan nafas Kei di wajahnya. "Every second of my life."

Kubota balas nyengir. "Perjuanganmu berat, kau tahu." Ia beringsut mendekat hingga ujung hidung mereka saling bersentuhan. Perasaan hangat dan geli di bagian bawah perutnya ini terasa begitu familiar.

Senyum Kei melebar. "Do you think I'm that weak?" Ujung-ujung jemarinya menyentuh garis rahang Kubota.

Kubota mengedikkan bahu dan menarik tengkuk pria itu untuk menciumnya.

"Think your brother will kill us if he catch us making out here?" Bisik Kei sambil mengecup dagu kokoh Kubota.

"Probably." Gumam Kubota acuh.

Kei tertawa dan menjauh. "You never change." Ujarnya, menjetikkan jari di ujung hidung Kubota yang sedang menjilat bibir.

"Kau juga."

Mereka tersenyum lagi. Kei mengeratkan genggaman tangan mereka yang masih terjalin. "Drive me home? Or I have to wait until you're finished?"

Kubota melirik arlojinya. "Aku harus rapat dengan Kazuki setengah jam lagi. Kalau kau tak keberatan menunggu di kafetaria, aku akan minta Matsuzaka menemanimu."

"I have no problem waiting. Been doing it since I met you." Ujar Kei, mengibaskan tangan dengan acuh.

"Kei-chan."

"Yuuki-chan."

Kubota mendesah kalah. "Fine. Stay around. And we'll see. But I can't promise you anything."

"That is why I love you, Yuuki-chan." Ujar pria itu sambil tersenyum miring. "But you're still driving me home."

Kubota menggeleng-gelengkan kepalanya lalu mendesah lagi. "You're evil."

"That's why you love me."

-end?-

Saturday, August 6, 2011

[fanfic] AU Keigo Kyoudai - Oyasumi

Fandom: Prince of Tennis Musical
Cast: Katou Kazuki, Inoue Masahiro, Kubota Yuuki
Rating: G
Warning: AU, OOC, bromance
Disclaimer: actors are belonged to their respective agencies. No profit gained, no harm intended
Note: iseng sore-sore dan pendek saja deh :D





"Nii-san."

Kazuki mengangkat kepalanya, mengalihkan pandang dari novel detektif yang ada di pangkuannya. Dilihatnya sesosok mungil tersembul dari pintu kamarnya yang terbuka. Kazuki mengerutkan kening.

"Masahiro? Ada apa?"

Anak laki-laki itu menggerut bantal yang ada dalam pelukannya. Kerah piyamanya yang bermotif beruang agak merosot di pundak kanan. Masahiro melirik takut-takut ke arah jendela. Hujan sejak sore dan makin deras seiring malam datang bahkan disertai petir dan guntur. Gemuruh suara dari luar dan bunyi dahan-dahan pohon membentur kaca membuat Masahiro tak bisa tidur. Maka ia lari ke kamar kakaknya. Ryuuji, yang kamarnya paling dekat dengan Masahiro, tak membukakan pintu dan Masahiro berjinjit untuk membuka sendiri tapi pintunya dikunci. Samar, Masahiro ingat gadis cantik yang datang dengan kakaknya tadi sore dengan keadaan basah kuyup.

Jadi kaki kecilnya pun berlari menuju kamar Kazuki. Untunglah Kazuki belum tidur. Kakak keduanya itu masih duduk duduk di tempat tidur, membaca dengan diterangi lampu tidur. Masahiro malu menjawab kalau ia takut tapi Kazuki memandangnya dengan khawatir.

"Masahiro?"

Nyala terang kilat membuat ruangan itu terang sesaat diikuti dengan suara menggelegar keras yang membuat jendela bergetar dan Masahiro pun berlari, dengan sigap melompat ke tempat tidur lalu meringkuk di sebelah kakaknya. Tubuhnya gemetar dan kepalanya disurukkan ke antara bantal yang menyangga punggung Kazuki dan lengan besar kakaknya. Kedua tangannya menutupi telinganya.

Kazuki mengernyit. Petir barusan memang kencang sekali. Diliriknya sosok adik bungsunya yang meringkuk ketakutan. Dokter muda itu tersenyum, ditutupnya novel bacaannya, menyingkirkannya ke atas meja dan merengkuh tubuh Masahiro dalam pelukannya.

"Kamu ini, sudah kelas 6 masa masih takut sama petir?" Kelakarnya sambil menepuk-nepuk gundukan kecoklatan rambut Masahiro.

Masahiro hanya menggerung sambil menggelengkan kepalanya yang disurukkan makin dalam ke dada sang kakak. Kazuki menghela nafas dan memeluk sang adik dengan lebih erat.

Masahiro nyaris jatuh tertidur. Rasanya nyaman sekali dipeluk Kazuki. Kakak keduanya itu biasanya selalu serius dan tak akan segan memarahi Masahiro yang memang tak bisa diam dan selalu membuat onar. Tetapi sentuhan tangannya di kepala Masahiro, pelukan dan senyumnya selalu terasa hangat dan Masahiro tahu kalau kakaknya itu sangat sayang padanya.

"Sudah tenang? Petirnya sudah berhenti tuh." Suara Kazuki terdengar samar. Masahiro mengangkat kepalanya perlahan, mengintip ragu ke arah jendela dan telinganya mendengar dengan waspada. Sudah tak ada petir, yang tersisa hanya suara gemuruh hujan yang belum reda.

Kazuki melepas kacamatanya dan menyimpannya dengan rapi di atas novelnya. Dibiarkannya Masahiro beringsut turun dari pangkuannya meskipun kedua lengannya masih memeluk erat lengan Kazuki.

"Nii-san tidak takut petir?" Tanyanya lugu.

Kazuki tertawa kecil. "Takut. Tentu saja takut. Kalau tersambar kan berbahaya."

"Mou." Masahiro merengut, pipi bulatnya menggembung sempurna dan Kazuki mencubitnya dengan gemas.

"Sudah diajari caranya menghindari petir kan di sekolah?"

Masahiro mengangguk.

"Masahiro tahu kalau rumah kita ini dilengkapi penangkal petir?"

Kepala mungil itu mengangguk lagi. Kazuki tersenyum. "Nah, berarti Masahiro tak perlu takut dengan petir kan? Karena Masahiro aman di dalam rumah."

Masahiro menggigit bibir lalu melirik pada Kazuki yang memandangnya, menunggu jawaban dari sang adik. Masahiro beringsut, berbaring miring tanpa mau melepaskan lengan sang kakak yang terasa nyaman, hangat dan aman.

Kazuki mengacak rambut sang adik dengan gemas. "Masih takut?"

Masahiro menggeleng. "Tapi aku boleh tidur sama Nii-san kan?"

Kazuki tertawa lalu menghela nafas. Ditariknya selimut untuk menutupi tubuh mungil adiknya. Pria itu merunduk untuk mendaratkan sebuah kecupan di kening Masahiro.

Masahiro beringsut lagi, mencari posisi yang benar-benar nyaman sebelum menutup mata. Ia menguap lebar dan menggumamkan "Oyasumi, Nii-san."

Kazuki tersenyum. "Oyasumi, Masahiro." Lalu mengambil kacamata dan novelnya lagi.

------

Kazuki mengangkat kepalanya dari bacaannya saat mendengar pintu kamarnya diketuk. Kazuki mengernyitkan kening, melirik jam dan baru sadar kalau malam sudah larut sekali.

"Ya?" Sahutnya saat pintunya diketuk lagi.

Kubota melangkah masuk. "Hei, belum tidur?"

Kazuki mengangkat novelnya. "Ada apa, Yuuki?"

"Tadi petirnya kencang sekali kan? Aku ke kamar Masahiro untuk melihat keadaannya tapi ia tak ada." Jawab Kubota dengan wajah setengah khawatir.

Kazuki tak menjawab, hanya menoleh pada gundukan di sampingnya. Kubota menghela nafas lega. Ditutupnya pintu, melangkah masuk dan duduk di tepi tempat tidur Kazuki. Diliriknya adik bungsu mereka yang sudah tertidur dengan lelapnya. Dengan iseng, ditusuknya pipi bulat sang adik dan tertawa saat Masahiro menggumam sebal.

"Yuuki." Tegur Kazuki.

Kubota hanya menjulurkan lidah. Petir menyambar lagi di luar sana. Kazuki mengernyit tapi tak berkata apapun dan melanjutkan membaca. Saat tak mendengar apa-apa dari sang kakak, Kazuki melirik. Didapatinya Kubota sedang memandangnya dengan senyum lembut.

"Apa?"

"Kau tak apa-apa?"

Kazuki mengangkat alis tak mengerti.

"Masih juga takut petir? Karena itu kau tak pernah tidur dan membaca sampai larut kalau ada badai kan?"

Tanpa sadar, Kazuki merengut. Semburat merah menjalari leher dan telinganya. Pria itu melengos dan Kubota tertawa seraya menjulurkan tangan untuk menepuk-nepuk lutut Kazuki yang tertutup selimut. Lalu ia naik ke tempat tidur, menyusup ke balik selimut dan berbaring di sebelah Masahiro.

Kazuki menatapnya. "Sedang apa sih?"

Kubota menghela nafas dengan santai. "Menjaga adikku. Tidurlah."

Kazuki ikut menghela nafas, mengernyit kala petir menyambar lagi. Kali ini ia menyerah dan ikut berbaring. Kedua pria itu merapat pada Masahiro yang menggeliat pelan dan bergumam sesuatu dalam tidurnya.

Kazuki tersenyum kecil, menatap Kubota dengan sayang. "Oyasumi, ......Nii-san."

Kubota nyengir. "Oyasumi."

Thursday, August 4, 2011

[fanfic] Bound

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Daishuuryou!Tsuka/Shiba Takeru
Rating: R
Warning: AU, BL, OOC, might NSFW
Disclaimer: I do not own anything and/or anyone. The silver chain thing is snatched from Stardust.
Note: Written in English, unbeta so please forgive the grammar error, typo and everything.

For Anne. This is supposed to be my share in exchange of you donating for Japan some time ago. Sorry, no throne!pr0n :p 







He hardly can remember the first time he was brought to the castle. Or why he was brought to the castle. He can only remember that there was a war -a dragging and frustrating one, but war is always like that, right? The reason for the war is already become so vague. He thinks that it was suppose to be between them and Chimatsuri Doukoku's side but then another party was coming in. A rider, or something, with his friends and then there was another bunch of people under Daishuuryou banner or something and then the rider was caught and then he became their leader and everything turned in to a blur. If someone asked him to draw a map of event, Takeru might as well commit suicide.

All he knows is that he is now a prisoner in this castle. It has been for a length of time. Maybe a year or maybe a couple of weeks or maybe merely days. The castle’s dungeon is closed and solid with no windows. Takeru knows this only by the appearance of the cell he is locked in. It’s dark -a candle is all that spare him from total darkness. He can hear sobs and a couple of time, screams. He suspects he also hears scratching sound. It’s all unnerving and almost drives him to madness. 

They don’t treat him badly. They feed him a loaf of bread and water. Standard procedure to keep a prisoner alive, Takeru thinks gravely. But he really can’t complain, right? Takeru sits still in a meditating pose. Eyes closed, he tries to remember his retainers, no, friends’ faces. Jii’s face. Replaying their voices, laughs, the quiet busy bustling of the kurokos. Sometimes, if he felt he has the strength, Takeru will do some training with imagery sword. That calms him. Sort of. At least he hasn’t gone mad. Or so he hopes.

They move him from the dungeon. Takeru doesn’t ask why. Perhaps it’s best not to ask questions. Still, he is scared as to where they are bringing him. The corridor is long and unwinding. Doors, guards, more doors, more guards, people moving, another doors and guards. His vision is blurry. Perhaps they will bring him to trial (on what ground, he doesn’t know) or perhaps they will send him to death right away. 

They send him to what seems like a servant quarter, instead. He can see better now. Solemn but terrified expressions, bowed heads, matching dust colored tunics, and the sound of chains rattling. They are bound around their feet. They hand him to two servants, commanding them to take care of him. Takeru can’t think.

The servants bring him to another room. They release him from the chain around his wrist and ankles. They undress him. “What?” Takeru can hear himself blurts the question. One of the servant only smiles at him. The other snorts. “Consider yourself lucky,” he says. Takeru can feel a frown takes residence on his forehead.

“Why?” he asks again.

“You’re to serve Daishuuryou-sama, you idiot.” The reply is far from what he is expecting. But Takeru doesn’t ask anymore. He feels dizzy. He suspects the scent of the incense causes it. It smells sweet. Too sweet Takeru feels nauseous. And then they bathe him; they put him into a large tub. The water is hot and scented like grass and honey. It’s frustratingly comfortable. They scrub every dirt from his body, they wash his hair, and before he knows it, Takeru already dress in a piece of yukata. 

Silk, Takeru feels with his palm. They put another chain on him but it’s different from the previous. This one is so thin and made of silver. It binds beautifully around his left ankle, like a jewel. But it can not be broken. Takeru tries several time after the servants left him alone in another room. The chain breaks easily but quickly joins itself while the other end is tied to a column. Takeru suspects it’s no use trying to break that end either.

He waits. Quite a long time before someone arrives with his food. No more bread and water but he gets a full course menu. He finds himself hungry. Very hungry he finishes the food in a blink of an eye. And then he falls asleep. It seems that no one comes for him while he is sleeping. Another portion of food replaces the ones he finishes earlier. Takeru eats them as well. And then he goes back to sleep.

Three days and Takeru finds his strength again. The chain let him goes wherever he wants to go but still remains unbroken. Takeru starts to consider it as a part of his own body. It’s no use to fight it. Takeru tries to go out of the room. The door is unlocked but there are guards outside. One kicks him, sending him flying back into the room. His fellow guard scolds him, reminding him that he will face a dire consequent if ever their lord finds out that the prisoner is injured. Takeru never tries to go out again. 

He meditates again, trying to find a peace of mind, if he can or if there’s such thing as peace of mind now. He practices. They are kind to give him a wooden sword this time. They bathe him twice a day, feed him thrice a day, let him go to the lavatory whenever he feels the need to. But nothing is said or related to him about anything. They said he is about to serve Daishuuryou-sama but who is this Daishuuryou-sama? If he is about to serve this Daishhuuryou-sama, why they keep him in this room -Takeru considers it as another shape of a prison cell- instead of giving him something to do? 

He asks for paper and brush and some ink. Maybe practising his calligraphy can be a new and nice distraction for him as well as a good training for his mojikara. But they don’t give him that. They know. Takeru feels a little dejected but he stays silent and practice with his sword again.

He is summoned on the tenth day he is in that room. They bathe him again, this time with water scented of lavender and musk. Smooth and very sexy. Takeru doesn’t bother. They put a nicer yukata on him. Still made of silk but of finer quality and red in color. They bring him to another room. The room is so big and vast but unlike the other part of the castle, this room is so bright. A big window at the end of the room causes this. Takeru can only see the sky from where he is standing and judging from the strong breeze, this room is located on a high level, very high level.

There is a bed. A huge four posted bed in the middle of the room. It is made of hard charcoal wood. The sheets white while everything else is blood red. Takeru let his fingertips touches the surfaces. Silk, satin and velvet. The daybed near the window is as comfortable. Also black and blood red in color. There is a table in front of it. Full of food and refreshment. Takeru stands still while a guard breaks his chain (it encloses again) and pulls the other end around one of the bed post.

He hears them leave. Alone in the room. This must be someone’s room, Takeru thinks. He remembers his own room back at the Shiba mansion. It only tenth in size but it is one of a few rooms he feels safe inside. This room is strange, just like every part of the castle he ever seen. It is so wide but it seems like he can’t touch any end of it even though the chain lets him to. He climbs to the bed, folds himself and sleeps.

When he opens his eyes again, it’s already dark outside but someone has lit the candles inside the room. It’s almost romantic but Takeru is frantic because his hands are now raised above his head, tied securely around the bed posts with the silver chain. To his horror, there is someone beside him.

Takeru frowns. He feels like he knows this man but he can be wrong. “Who are you?” he whispers, a little bit shaky but Takeru can care any less.

The man lays beside him, head propped on one hand while his other hand plays with a length of the silver chain. He cocks an eyebrow to Takeru and smiles wryly at him. “Tsk, it’s very rude not knowing the name of the man you are suppose to serve, ShinkenRed-san.”

“......................Daishuuryou-sama?”

The man nods. 

“You look like someone I know.”

“There is only one me.”

Takeru doesn’t answer that. 

“Do you know why you are brought here, ShinkenRed-san?”

“I do not know many things anymore.” Takeru admits.

Daishuuryou smiles. “Wise answer. Suitable for a lord.”

It sounds like a mockery. A familiar mockery.

Daishuuryou shifts closer. He reaches out, doing something with the bound above Takeru’s head. Takeru lets himself being pulled up and dragged to sit on the man’s lap. He is naked. They are naked. How he just realizes it now, he doesn’t know. The silver chain binds his wrists together, also around their waists. Takeru looks at the man, confuse in his eyes.

“They say I am to serve you.” he whispers. Daishuuryou’s skin is cold. Takeru shivers when he touches him.

“Your friends are dead.” Daishuuryou studies his prisoner’s face for a while. Takeru shows no emotion. He only nods his head a little. Daishuuryou moves and smiles a cocky smile when Takeru gasps.

Takeru takes a deep breath. He shifts closer to the man. The pain is excruciating but he is used to pain. This is nothing than the sudden emptiness that takes over him at the moment. “Has the war ended?”

“I do not like to explain things.” He moves again, sending Takeru to writhes and whimpers. He looks at Takeru’s flushed face and slips some strands of hair behind Takeru’s ear. He kisses the ear and whispers a suggestion so logical and tempting. 

“Forget everything.”

A thrust. Takeru gasps sharply.

“You are bound to me.”

Takeru knows that. He takes a breath. Deeply. Something crawls inside of him and Takeru shakes his head, trying to resist, trying to hold it inside of him but desperately. He knows he is loosing. He moves his head, searching, and finds the other man’s eyes. Devious, passionate, evil, fragile. 

Takeru shakes his head again. He is sobbing now. Not loudly but sad and torn. Daishuuryou kisses him. On his eyes, the tip of his nose, his cheeks and on his lips. 

It breaks loose. 

“...........Tsukasa.”