Monday, July 16, 2012

[fic] Shiawase ni

Cast: Aoki Tsunenori, Wada Takuma, cameo Inoue Masahir, Matsuzaka Tori
Rating:PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything
Note: AU di mana Kuma adalah dokter gigi ganteng (yg ntah kenapa kalo gue yg nulis selalu terlihat keren orz tapi tak apa, kau memang ganteng kok, Kuma XD). Setelah sekian lama, akhirnya selesai juga 1 fic. Ahe~ Banyak ide, tapi ntah kenapa susah banget nulisnya *palms face*. Anyway, ini untuk Anne dan Nei yang sudah begitu lihai dengan ninja skills-nya XDDD



Tsune tak akan pernah menyangka kalau ia akan duduk di sofa itu, dengan sebotol bir di tangan –yang seharusnya tidak diminumnya karena asupan alkoholnya sudah melebihi kuota normal tapi peduli apa, dia kan sedang di pesta. Jas-nya sudah ditanggalkan sejak dua jam yang lalu, begitu juga dasinya dan kancing kemejanya sudah terlepas 3 buah. Yang terakhir itu bukan perbuatannya tapi Tomoru yang menariknya ke sudut dan bermesraan penuh hasrat dengannya sebelum mendadak ia tertidur di tengah-tengah. Tsune hanya bisa menghela nafas berkali-kali sambil menidurkan Tomoru di kamarnya dan berniat untuk menimpakan kesalahan pada Daiki yang tidak menjauhkan alkohol dari Tomoru. Masalahnya, dia tak bisa menemukan sahabat Tomoru itu di manapun. Dipikir lagi, dia juga tak melihat Kikuchi sejak tadi.


Dengan acuh, Tsune mengangkat bahu dan menenggak birnya lagi. Sebaiknya dia mencari sesuatu untuk dilakukan tapi apa? Sebentar lagi pestanya akan selesai – ia mengingat samar-samar jadwal acara yang dibuatnya bersama Kimito, Takuma dan Shunsuke – yang tersisa hanya menggiring kedua pengantin itu untuk mengejar pesawat terakhir ke Italia. Mungkin sebaiknya dia beranjak dari situ dan naik ke kamar Masahiro untuk memastikan kalau semua perlengkapan bepergian sepupunya itu sudah selesai dipak.


Sekali lagi ia menghela nafas. Sejak kapan dia mau repot seperti ini untuk adik sepupu yang manja itu?


Mau tak mau, Tsune meletakkan botol birnya ke atas meja. Sekalian saja menengok keadaan Tomoru dan mengecek ke mana perginya dua temannya itu. Namun niatnya itu terhambat oleh Takuma yang menghampiri dan duduk di sebelahnya. Sepasang mata tajam Tsune meneliti sahabat Tori itu baik-baik. Kerutan samar di dahi Takuma menarik perhatiannya dan mata hitam-biru Tsune pun mengikuti ke arah mana Takuma memandang. Masahiro dan Tori tengah duduk dua meja di seberang mereka, bercakap-cakap dengan fotografer kenalan Masahiro dan kalau tak salah yang seorang lagi itu perancang busana mereka.


Tsune mengambil birnya lagi dan menenggaknya dengan santai, “Kalau memandang mereka terus seperti itu, orang akan berpikir Anda tidak setuju dengan pernikahan ini loh, Sensei.”


Takuma nampak tersentak dan buru-buru menutupi kegugupannya dengan tertawa. Tangannya menyisir rambutnya yang kecoklatan dengan gugup. Hmm, dokter ini memang tampan, batin Tsune. Kenapa dengan orang setampan itu di dekatnya, Tori sama sekali tak tertarik? Tsune paham sekali dengan Masahiro tapi kalau menebak dari sifat Tori sepanjang beberapa bulan Tsune mengenalnya, kelihatannya Takuma akan lebih cocok dengan dokter itu dibanding Masahiro.


Diperhatikannya Takuma yang juga membawa bir bagiannya sendiri dan menyesap perlahan. Dokter itu juga sudah menanggalkan jasnya dan menggulung kedua lengan kemejanya.


“Mana pacar Sensei yang manis itu?” tanya Tsune lagi, memutuskan kalau ia mungkin sungguh tak ingin tahu Takuma akan berkomentar apa soal celetukannya tadi.


Kali ini Takuma langsung menjawab, “Sepertinya di atas dengan adikku dan Suda. Kubota-sensei menunjukkan ruang mainan Masahiro dan membiarkan mereka main di sana.”


“Ah,” Tsune mengangguk, “Aku yakin Masahiro tak akan keberatan.”


“Apa itu sarkasme?” Takuma mengangkat alis.


Tsune tertawa, “Sama sekali bukan. Masahiro memang manja tapi kalau sama anak kecil, he’s amazingly adorable and nice.”


Takuma menyahut dengan kekehan kecil. “Yah, dia pemuda yang luar biasa.”


Alis Tsune terangkat sebelah, “You think?”


Dokter itu menyandarkan punggung dan merilekskan tubuhnya. Kepalanya yang tampan mengangguk, “Yah. Memang butuh waktu untuk menyadari itu tapi seperti yang dibilang Matsuzaka, mungkin itu yang membuat orang suka pada Inoue-kun,” ucapnya tulus. “Dan membuat Matsuzaka jatuh cinta.”


Kalimat yang terakhir itu diucapkan Takuma dengan pelan dan Tsune nyaris tidak mendengar. Ada sesuatu dalam nada bicara Takuma dan Tsune berharap ia salah mengartikan. Atau mungkin sebaiknya dia tidak berpikir saat alkohol sedang menguasai sebagian besar sistem tubuhnya. Tapi Takuma menoleh padanya dan tertawa,


“Sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan, Aoki-kun,” jelas Takuma pendek.


Tsune mengangkat alis dan mengedikkan bahu. “Kalau begitu jangan ucapkan dengan nada yang membuat orang bertanya-tanya seperti itu.” Tsune melambaikan tangan pada seorang pelayan yang membawakannya dua botol bir lagi. Diserahkannya satu pada Takuma yang menyambut dengan senyum.


“Aku ini bukan tempat curhat Masahiro,” ucap Tsune lagi, “dan jujur saja, aku baru tahu soal kisah cintanya ini saat aku datang kemari karena diminta. Bayangkan saja kagetnya saat diberitahu kalau anak bengal dan manja itu mau menikah. Aku nyaris saja bertaruh kalau Matsuzaka-sensei mungkin menyelundupkan organ manusia atau menggelapkan uang rumah sakit atau apalah lalu ketahuan oleh Masahiro dan Masahiro menuntut untuk menikahinya atau ia akan buka mulut. Atau semacamnya.”


Lagi-lagi Tsune hanya mengedikkan bahu saat Takuma menatapnya tak percaya. “What? It’s a plausible cause!”


Tawa terbahak-bahak Takuma yang menyusul kemudian mau tak mau membuat Tsune pun ikut tersenyum miring seraya menenggak birnya. “Yah, Sensei tak bisa menyalahkan aku karena berpikir begitu kan?”


Takuma terbatuk dan mengikuti contoh Tsune menenggak birnya, “Tidak,” ia terbatuk lagi, “Sama sekali tidak.” Takuma menggenggam botol birnya dengan kedua tangan dan menumpu kedua sikunya di atas lutut dan mengarahkan pandang kea rah sahabatnya lagi. “Tapi kau tak perlu khawatir, Aoki-kun. Sama sekali tak ada paksaan kok.”


“Then, I’m glad,” sahut Tsune.


“Tapi pembicaraan seperti ini sepertinya sudah telat sekali, kan? Kalau mau protes, bukannya seharusnya dari kemarin?” Takuma melirik ke arahnya.


Tsune mengangkat kedua tangannya, “Hei, aku ini bukan tukang ikut campur. Aku mungkin sudah ketularan Aniki-tachi yang kelewat khawatir soal bocah itu. Kadang saja aku lupa kalau umurnya sudah 20. Tapi benar deh, aku sih terserah saja dia mau apa. Dan ini bukan protes, loh. Hanya mengungkapkan rasa penasaran saja.”


Takuma ganti mengangkat alisnya. Tsune tertawa kecil, “Kan sudah kubilang tadi, Masahiro bukan tipe yang suka curhat padaku. Waktu kutanya-tanya soal Matsuzaka-sensei, dia malah menuduh aku tertarik. Wajar saja kalau aku tertarik kan? Matsuzaka-sensei akan jadi keluarga!”


“Memang susah untuk diajak berpikir logis ya?” Takuma terkekeh.


“Aku sungguh mengerti perasaan Aniki-tachi yang selalu kerepotan,” gerutu Tsune pelan.


Takuma menarik nafas dan menenggak birnya pelan-pelan. Tsune melakukan hal yang sama.


“Dan apakah Sensei sudah protes pada Matsuzaka-sensei?”


Detik berikutnya, Tsune menyesali pertanyaannya sendiri karena Takuma melirik tajam padanya dan sekali itu, Tsune berpikir kalau Takuma bukan lawan yang enteng. Entah kenapa. Ia hanya bersyukur Takuma sama sekali tak ada hubungannya dengan Tomoru atau Tsune mungkin akan khawatir sekali. Dan itu membuat Tsune semakin bertanya-tanya.


“Aku tidak keberatan, Aoki-kun,” sahut Tsune sesaat kemudian. Pandangan matanya sudah meredup normal. “Sejak dulu, Matsuzaka cenderung melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya dan sebagai teman, tentu saja aku khawatir. Matsuzaka paham ini. Aku berusaha berbesar hati memberi kesempatan pada Inoue-kun untuk membuktikan kalau ia akan membuat Matsuzaka bahagia dan Matsuzaka bilang dia bahagia. Itu saja.”


Tsune mengangguk-angguk. “Kurasa aku mengerti itu,” gumamnya.


Selama beberapa saat, kedua pria itu terdiam. DJ yang disewa Kimito sudah mengganti lagu dengan irama yang lebih pelan dan beberapa orang turun untuk berdansa dengan pasangannya masing-masing. Mereka memperhatikan Tori berdiri dan mengulurkan tangan pada Masahiro yang menyambut dengan cengiran lebar. Senyum Tori melebar saat Masahiro melingkarkan lengan ke pinggangnya dan Tori menarik pemuda jangkung itu merapat padanya. Mereka berciuman mungkin untuk keseribu kalinya hari itu.


Tsune melirik dan menangkap Takuma mengangkat kelingking untuk menyentuh sudut matanya. Pria itu berdeham dan menenggak birnya lagi. Ada sesuatu dan Tsune curiga kalau rasanya sangat mirip dengan kekhawatirannya pada Tomoru sebelum ia meminta Tomoru jadi pacarnya. Atau mungkin saja tebakannya salah. Yang manapun, Tsune merasa itu bukan urusannya. Semoga saja.


Walaupun begitu, Tsune tetap ingin bertanya, “Apakah kau bahagia, Wada-sensei?


Are you, Aoki-kun?


Tsune tertawa. Dia berdiri dan melambaikan tangan pada Takuma. Didekatinya pasangan yang tengah berdansa itu dan menepuk pundak Masahiro. Sepupunya itu menoleh dan Tsune nyengir, “Aku belum dapat kesempatan dansa dengan Matsuzaka-sensei, loh. Kau tak keberatan kan, Masahiro?”


Masahiro mengernyit tak senang pada cengiran Tsune yang menurutnya terlalu lebar dan terlihat sangat jahil. “Sepuluh menit,” gerutunya sambil berlalu ke arah Kimito yang tampak tertarik pada hiasan di sudut tenda.


Tori tertawa lebar dan menyambut uluran tangan Tsune bahkan sebelum Masahiro sempat protes. “Tentu saja, Aoki-kun. Dengan senang hati.”


Tsune meletakkan satu tangan di pinggang Tori, “Sensei boleh memanggilku Tsune saja.” Ujarnya sambil mengerling.


Lagi-lagi Tori tertawa lebar dan semu merah yang menjalar sampai ke telinganya itu sungguh sangat menawan. Tsune melirik melewati bahu Tori, pada Takuma yang masih terduduk di kursinya, menatap mereka sambil tersenyum samar. Tsune memutar langkah dengan lihai dan mengangkat alis pada Tori,


"Sensei kelihatan bahagia."


Kerlingan dan sinar di mata Tori sungguh membuat Tsune cemburu dan iri. "Sangat, Tsune-kun. Sangat."



-end-