Tuesday, December 28, 2010

[fanfic] AU Ma-kunxTori - Pop Sickle

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: AU. BL. Sapp. Cheesy.
Disclaimer: Characters are not mine.
Note: Dari prompt yang dikasih Nei


Masahiro menatap Tori yang sedang menghabiskan es loli-nya. Tak habis pikir bagaimana mungkin seorang pria dewasa berumur dua puluh empat tahun bisa begitu suka dengan makanan manis. Apalagi ini sudah es loli ketiga yang disantap Tori.

”Habis cuacanya panas sekali~” Tori berkilah sambil merengut saat Masahiro mengulurkan tangan dan mengusap sudut bibir Tori yang sedikit belepotan es rasa vanilla itu. Tori selalu  mencelanya kalau Masahiro makan dengan tak rapi tapi sekarang seolah tak peduli dengan cara makannya sendiri. Apalagi dengan tampang sangat menikmati seperti itu. Harus ya, matanya dipejamkan setiap kali mengulum atau menjilat? Harus ya, pakai acara menghela nafas dan mengerang pelan segala? Harus ya, lelehan es yang lolos dari sudut bibir Tori itu terlihat begitu sugestif?

Masahiro  beringsut ke depan Tori, dengan sengaja menutupi Tori dari pandangan orang lain. Bukan karena tingkahnya yang  seperti anak kecil tapi karena tak ingin orang lain melihat dan tergoda dengan pemandangan yang disuguhkan pacarnya itu. Agak sia-sia sebenarnya, karena mereka sedang di taman kota dan orang masih bisa melihat dari sudut lain.

“Lagipula, kenapa sih, Masahiro mengajakku ke taman? Sudah tahu sedang panas begini.” Tori bergumam dengan es loli di dalam mulutnya.

Masahiro membuang  muka dan bergumam kesal. ”Tori kan yang bilang sedang bosan dan ingin jalan-jalan keluar?”

”Tapi lihat-lihat cuacanya juga dooong.” Tori melanjutkan protesnya.

Masahiro merengut. ”Tori kan bisa menolak waktu kuajak tadi.”

”Mana aku tahu kalau mau diajak ke taman? Ah!” Sepotong es yang baru saja digigitnya meluncur jatuh ke rerumputan. ”Masahiro sih~”

Mulut Masahiro menganga kemudian bibirnya makin merengut. ”Kenapa jadi salahku sih? Kalau Tori tak suka, ya sudah! Ayo, pulang!” tukasnya sambil balik badan dan melangkah pergi.

Tori melongo sesaat. ”Loh? Masahiro!” Kakinya pun bergerak cepat, berusaha mengejar Masahiro yang melangkah lebar-lebar dan cepat. Bukan perkara mudah karena kaki Masahiro yang panjang membuat pemuda itu bergerak begitu cepat. Tori berlari-lari kecil dan menyejajarinya, masih berusaha menghabiskan es loli di tangannya.

”Hei~ Kok marah sih?” Tori menjulurkan kepalanya, berusaha melihat wajah Masahiro.

Masahiro membuang muka lagi. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana tapi memperlambat langkahnya karena tak tega juga membiarkan Tori berlari-lari mengejarnya sampai nafasnya agak tersengal.

”Heeeiii~~!” Panggil Tori.

Kaki Masahiro akhirnya berhenti melangkah. Wajahnya tampak tak kesal tapi pemuda itu diam saja. Tori berhenti di hadapannya, mengamati wajah Masahiro untuk sesaat. Masahiro menunduk dan menatap sepatunya sampai tengkuknya terasa panas terkena sengatan matahari. Sementara Tori masih memandanginya sambil menghabiskan es lolinya dan melemparkan bekasnya ke tempat sampah tak jauh dari tempat mereka berdiri. Tori  mengelap tangan dan mulutnya dengan sapu tangan. Ditiliknya wajah sang pacar yang masih ditekuk dan tersenyum simpul.

”Jangan marah dong. Aku tidak serius kok.” ujar Tori sambil mencubit pipi Masahiro dengan gemas.

”Tapi kan tak perlu berkata seperti itu.” Gumam Masahiro sambil menepis pelan tangan Tori dan melangkah mundur.

Tori maju selangkah. Tersenyum jahil saat mengangkat dagu Masahiro supaya pemuda itu melihat ke arahnya. ”Habis, Ma-kun selalu sok misterius sih. Kamu berusaha terlalu keras untuk menyenangkan aku.”

”Boleh kan? Tori kan pacarku.” Gerutu Masahiro.

”Tentu saja boleh. Tapi kan tidak harus begitu. Ma-kun sudah terlalu memanjakan aku dengan membawakan camilan mahal dan enak, mengajakku makan di restoran mewah dan hadiah-hadiah lainnya. Kalau berlebihan, aku nanti yang repot.”

Masahiro  mengernyit tak mengerti. ”Aku merepotkan?”

Tori tertawa kecil, mengambil tangan Masahiro dan menariknya menuju tempat yang teduh di bawah sebatang pohon besar. Mataharinya terlalu menyengat dan Tori tak ingin kulitnya bertambah kelam. ”Tentu saja tidak. Maksudku, aku tak biasa diperhatikan sebesar ini. Tentu saja aku senang.” Tori berkata cepat sebelum Masahiro sempat protes lagi. ”Hanya saja.... apa ya? Aku kan tak pernah memberikan apapun untuk Masahiro.”

”Aku kan tak pernah minta apa-apa dari Tori.” Masahiro mengerutkan dahi. ”Semua itu aku lakukan karena aku tahu Tori suka dan aku ingin  melihat Tori senang. Masa sama pacar sendiri Tori sesungkan itu?”

Tori tertawa pelan, melangkah makin dekat sampai ujung sepatunya bersentuhan dengan ujung sepatu Masahiro. Masahiro pura-pura tak peduli dengan jarak mereka yang makin dekat itu tapi mengeratkan pegangan pada tangan mereka yang masih terkait.

”Aku tak tahu cara lain untuk membuatmu senang selain dengan membelikan camilan kesukaan Tori atau mengajak Tori makan di restoran mewah atau memberikan kejutan untuk Tori atau apapun. Jadi, aku harus bagaimana?”

Masahiro nyaris menahan nafas saat Tori menyentuhkan ujung hidung mereka. Hembusan nafas Tori menyapu wajahnya dan Masahiro menelan ludah karena dipandang dari jarak begitu dekat. ”Ma-kun mau tahu apa lagi yang membuatku senang?”

Masahiro hanya bisa mengangguk bodoh.


Lengan Tori bergerak melingkari pinggang Masahiro dan mengait di belakang punggung. Kepalanya direbahkan ke pundak Masahiro, menghirup wangi Masahiro yang berasal dari parfum dan shampoo-nya sambil menutup mata. Dengan pelan mengeratkan pelukannya.

“Tori?” suara Masahiro terdengar bingung dan lebih serak dari biasanya.

“Coba bilang suka padaku.” Gumam Tori samar karena teredam bahu Masahiro.

Wajah Masahiro langsung memerah. Satu tangannya terangkat dan menggaruk hidungnya dengan salah tingkah. Lengannya yang panjang bergerak pelan memeluk pundak Tori sementara kepalanya beringsut pelan ke telinga Tori dan berbisik. “....Daisuki.”

Tori tersenyum lebar, memeluk Masahiro makin erat dan mendesah. “Begini saja aku senang, kok.” Gumam Tori.

Masahiro nyengir, masih agak salah tingkah karena biasanya Tori tak pernah seterbuka itu dengannya di tempat umum.

Mereka berdiri seperti itu untuk beberapa saat, tak peduli dengan orang-orang lewat yang memandang mereka dengan heran, iri, aneh, tersenyum penuh arti atau apapun. Tori mengecup ujung hidung Masahiro dengan sayang dan tersenyum.

“Belikan aku es loli lagi ya.”

Dan lagi-lagi, Masahiro hanya bisa mengangguk.

Sunday, December 26, 2010

[fanfic] AU KimitoxMurai - Hot Chocolate

Fandom: Kamen Rider Decade, Prince of Tennis Musical
Pairing: Totani Kimito x Murai Ryouta
Rating: PG-13
Warning: BL. AU. OOC. Cheesy.
Disclaimer: I do not own anyone.
Note: Lanjutan dari fic-nya Icha dan Nei. Maafkan aku karena gak bikin fanfic Natal-nya Sensei dan Bocchan m(_ _)m itu kuserahkan pada Icha dan Nei saja *dibuang*




Dengan perlahan dan hati-hati, Ryouta mencampur susu yang baru mendidih dengan bubuk coklat. Mengaduk perlahan dengan penuh perhatian agar jangan sampai ada gumpalan coklat yang bersisa. Dia sedang menimbang-nimbang untuk mencampurkan sedikit rum saat Kimito mengejutkannya dengan mengintip dari atas kepala Ryouta.

"Baunya enak." Pemuda itu mengendus perlahan.

Ryouta nyengir senang. "Tentu dong. Ini sama kok dengan yang suka kamu pesan kalau datang ke toko."

"Hmm..." Kimito bergumam. "Aku juga harus membayar untuk yang ini?"

Ryouta tertawa. "Ini gratis. Sebagai bayaran karena memberikan tempat menginap."

Kimito membalas dengan cengiran jahil dan mengecup puncak kepala Ryouta. Sekilas, nyaris tak kentara. Ryouta pun sepertinya tak sadar karena sibuk meneruskan menuang coklat ke dalam mug. Kimito pun melipir ke sofa dan duduk sambil menjulurkan kaki. Tangannya meraih bungkusan berisi cookies yang dibuatkan Ryouta, masih skeptis dengan warna biru glazingnya, tapi harus diakuinya kalau rasanya memang enak. Sekejap, dia pun sibuk mengunyah.

Ryouta menyusul dan meletakkan mug di atas meja, tepat di depan Kimito. Memegang mug bagiannya, Ryouta duduk dan melipat kaki di sebelah pemuda jangkung itu. Dia menoleh ke arah jendela, memperhatikan salju yang turun dengan derasnya. Cuacanya berubah drastis hanya dalam beberapa jam. Itulah sebabnya dia tak bisa pulang. Kereta pasti diberhentikan sementara taksi atau bus pun pasti tak akan ada yang beroperasi juga.

Ibunya juga tak menganjurkannya untuk pulang saat Ryouta menelepon ke rumah lima belas menit yang lalu dan diwanti-wanti agar "Jangan terlalu merepotkan Totani-kun, ya". Ryouta hanya menggerundel. Dia kan tahu sopan santun. Lagipula, Kimito sama sekali tak keberatan. Sebaliknya, temannya itu malah tampak senang.

"Kenapa?" Suara Kimito membuyarkan lamunannya.

Ryouta buru-buru menggeleng dan tersenyum manis. "Semoga tidak badai ya?"

Kimito menyesap coklatnya. "Kamu takut badai? Seperti Ouji saja." Cengiran nakal di bibir Kimito membuatnya menerima tinju pelan di lengan. Kimito tertawa sementara Ouji, anjing mungil milik Kimito, meras dipanggil dan melompat naik ke sofa, menyelip di antara Kimito dan tamunya. Mau tak mau, Ryouta jadi ikut tertawa. Direngkuhnya anjing mungil itu dengan satu tangan.

"Kalaupun takut, Ouji akan menemaniku kan?" Tanyanya dengan nada manis.

Anjing itu menyalak pelan dan menjilat ujung hidung Ryouta. Ryouta memeluknya dengan gemas. Melihat itu, Kimito juga gemas dan ingin merengkuh manusia dan anjing itu dengan sayang. Terutama si manusia karena terlihat terlalu imut dan manis. Tanpa banyak kata, dilakukannya itu.

"Kimi-chan?" Ryouta terdengar bingung tapi tak menolak.

Satu tangan Kimito merengkuh tengkuk Ryouta, membuatnya menengadah hingga Kimito bisa menciumnya dengan mudah. Bibir dan mulut Ryouta hangat, beraroma dan berasa coklat. Kimito makin bersemangat untuk menjilat dan memagut pelan. Ryouta agak terkejut tapi membalas ciuman Kimito tanpa ragu. Bibirnya terbuka sedikit saat lidah Kimito menjilat bibir bagian bawahnya, menggoda Kimito untuk lebih memaksa dan menyusupkan lidah sambil bergumam protes. Ryouta terkekeh pelan dari dalam tenggorokannya dan getarannya membuat Kimito senang. Ketika akhirnya Ryouta membuka mulut, Kimito tak membuang waktu untuk menjilat dan menjelajahi setiap sudut sampai Ryouta mengerang pelan.

Dengkingan Ouji membuat mereka memisahkan diri. Mereka menatap anjing kecil yang rupanya protes karena terjepit di antara tubuh mereka. Ryouta tertawa sambil menyentuhkan keningnya dengan dahi Kimito dan melepaskan Ouji dari pelukannya. Anjing itu langsung berlari menuju tempat tidurnya di sudut ruangan. Kimito geleng-geleng kepala dan mengecup rahang Ryouta dengan sayang.

"Coklatnya enak." Bisiknya.

"Kan?" Ryouta tersenyum bangga. Dia melepaskan diri dari pelukan Kimito, menyesap coklatnya lagi sambil menyandarkan pundaknya ke lengan Kimito. "Kamu tahu? Ini pertama kalinya aku merayakan Natal di luar toko loh."

Kimito mengangkat alis. "Yang benar?"

Ryouta mengangguk. "Kurasa aku harus berterima kasih pada Inoue-kun."

"Kenapa?"

"Yaa, kan karena Inoue-kun memesan kue dan minta diantarkan jadi Ibu menyuruhku keluar. Ibu kan penggemarnya Inoue-kun." Ryouta nyengir. "Mungkin akan kubuatkan sesuatu untuknya dan Matsuzaka-sensei."

Kimito buru-buru mengibaskan tangannya. "Tak perlu. Nanti dia keenakan."

Ryouta mendorong Kimito pelan dengan bahunya. "Jahat sekali sih." Godanya sambil tersenyum geli.

"Dia sudah biasa hidup enak lagipula, sungguh deh, semua ini bukan berkat dia." Sanggah Kimito buru-buru. "Bagaimanapun, aku pasti akan membuatmu keluar denganku malam ini." Ujarnya dengan penuh keyakinan dan buru-buru meminum coklatnya lagi untuk menyembunyikan semu merah di wajahnya karena Ryouta memandangnya dengan berbinar-binar.

Karena tak tahan, Kimito menciumnya lagi. Meletakkan mug mereka di atas meja dengan satu tangan sebelum menarik Ryouta dalam pelukannya dan berbaring. Mau tak mau, Ryouta harus berbaring di atasnya. Wajah pemuda itu memerah tapi tak bisa lari karena Kimito memeluknya dengan erat.

Pertama kalinya mereka seintim ini dan Ryouta tak bisa tak berpikir macam-macam. Wajahnya dijauhkan dari Kimito dan dibenamkan ke dada pemuda itu. Tapi itu malah membuat wajahnya makin memerah karena dia bisa mendengar degup jantung Kimito dengan jelas.

"Aku tak akan berbuat macam-macam, kok." Bisik Kimito sambil mengecup puncak kepala Ryouta. "Tidak kalau kamu tak mau."

Dada Ryouta sepertinya mau pecah karena merasa tersanjung. Dia mungkin tak punya kemampuan seperti Kimito, tapi tanpa itu pun, dia tahu kalau Kimito menganggapnya berharga. Diangkatnya kepalanya dan matanya menatap mata Kimito dengan penuh perasaan. Sambil berbisik lembut, Ryouta mengecup pipi temannya itu.

"Selamat Natal, Kimi-chan."

Kimito tersenyum dan mengeratkan pelukannya, seperti tak ingin melepaskan. "Selamat Natal, Ryouta."

----

Thursday, December 23, 2010

[fanfic] AU TeniMyu - Morning

Fandom: Musical Tennis no Ouji-sama
Pairing: KaneOuji, BuchouHime, Brother!HideHalu
Cast: Kanesaki Kentarou, Yagami Ren, Takigawa Eiji, KIMERU, Harukawa Kyousuke, Sasaki Yoshihide
Rating: PG-13 for kissing
Warning: BL. AU. OOC
Disclaimer: I do not own anyone.
Note: MARI MENYAMBUT LIBURAN DENGAN SENANG!



-Kanesaki-

Kane mengancingkan kemejanya sambil mengingat-ingat apa semua dokumen yang dibutuhkannya hari itu sudah masuk semua ke dalam tas kerjanya. Ada rapat penting pagi itu dan dia tak mau ada berkas yang tertinggal. Dia juga tak mau rekan kerjanya kena serangan jantung. Merapikan kemejanya ke dalam celana, Kane celingukan mencari dasi. Kepalanya dimajukan supaya bisa melihat dengan jelas simpul yang dibuatnya. Sepertinya sudah saatnya dia pakai kacamata tapi Ren tak suka melihatnya pakai kacamata. "Terlalu serius ah. Seram." Ujar istrinya itu sambil mengernyit. Kane tak bisa berbuat lain dan menyimpan kacamatanya di dalam laci meja kerja.

Setelah memastikan penampilannya rapi, Kane menengok ke arah tempat tidur. Onggokan besar tertutup selimut di satu sisi tempat tidur menandakan istrinya masih tertidur nyenyak. Kane melangkah mendekat dan duduk di sisi tempat tidur dengan hati-hati. Tangannya terjulur dan menyentuh kening Ren dengan lembut. Kemarin dia demam dan meskipun semalam suhunya sudah turun, Kane merasa agak tak tega meninggalkannya.

Mungkin merasakan sentuhan Kane, Ren bergumam dan membuka matanya perlahan. Berkedip-kedip sejenak sebelum benar-benar memandang suaminya.

"Kane-chan sudah mau berangkat ya?" Tanyanya lirih.

Kane mengangguk. Tangannya diletakkan di atas lengan Ren dan mengusap sayang. "Sudah enakan?"

Ren beringsut dan mengangguk. Disentuhnya pipi Kane sambil tersenyum. "Sudah tak apa-apa, kok. Kane-chan terlalu khawatir deh."

Kane mengerutkan kening. Ren tertawa pelan. Kane meletakkan tangannya di wajah Ren sekali lagi dan mengelus pipi dan rahang Ren seolah memastikan kalau istrinya itu benar-benar baik saja. Ren tersenyum manis sambil meraih tangan Kane dan menggenggamnya dengan lembut.

"Nanti terlambat loh." Katanya pelan.

"Hmmm." Gumam Kane. Pria besar itu menunduk dan mengecup kening Ren dengan penuh cinta. "Ittekimasu."

----

-Takigawa-

"Kime, nanti aku terlambat..." Tapi protesnya itu langsung tertelan bibir tipis istrinya yang memagut bibirnya pelan. Sebuah senyum nakal tersembul di bibir Kime.

"Lima menit." Bisiknya dengan suara seksi.

Eiji menggerung, merutuki dirinya sendiri kenapa sering tak bisa menolak istrinya. Padahal dia sudah siap berangkat kerja ketika Kime menarik tangannya dan menolak melepasnya ketika Eiji memberinya kecupan pagi yang akhirnya berubah jadi sesi bermesraan. Kanesaki pasti sudah berangkat dan rekan kerjanya itu pasti akan mengerutkan kening kalau Eiji datang terlambat.

Kime menggigit bibirnya. Keras. Eiji mengaduh. "Sakit." Desisnya.

"Kalau masih memikirkan hal lain, malam ini Buchou tidur di luar." Ancam istrinya sambil menyipitkan matanya.

Eiji menelan ludah. Istrinya memang mungil dan selalu bersikap manis tapi kalau sudah tak senang, Kime bisa menyeramkan. Begitu-begitu juga, Eiji tahu kapan dia harus mengalah. Lagipula, kalau dilawan, Eiji yakin dia akan makin terlambat lagi.

Pria tampan itu mendesah dan merengkuh Kime, memeluknya lebih erat. "Lima menit. Setelah itu aku langsung berangkat."

Kime nyengir penuh kemenangan dan mencium Eiji lagi. Eiji mendesah. Ya sudahlah, pikirnya sambil menutup mata dan balas mencium.

----

-Furukawa-

Halu berlari turun tangga dengan terburu-buru dan dengan sukses tersandung di anak tangga terakhir. Tubuhnya terpelanting dan menabrak lemari buku.

"GYARGH!"

"Itteee~" desisnya sambil mengusap-usap kepalanya yang dia yakin pasti benjol.

"Halu-kun! Ada apa?" Hide menyembulkan kepala dari dapur. Mata sipitnya terbelalak dan buru-buru lari mendekat untuk membantu Halu bangkit. "Kenapa sih? Kok bisa sampai jatuh?"

Halu meringis. Kepalanya berdenyut sakit. "Terpeleset."

"Hati-hati, dong. Kita kan mau latih tanding. Kalau Halu-kun luka bagaimana?" Hide membawanya ke dapur dan menyuruhnya duduk di meja makan. Halu hanya bisa meringis sementara Hide membuka kulkas dan mengambil es batu dan membungkusnya dengan handuk kecil. Halu menerima kompres sederhana itu dan meletakkannya di bagian kepala yang berdenyut.

"Tak ada yang luka?" Tanya Hide lagi dengan khawatir.

Halu menggeleng. Matanya menatap sarapan yang sudah tertata rapi di meja. Hide sudah beralih ke depan kompor lagi dan sibuk menuang sup ke dalam mangkuk. Halu meringis.

"Maaf ya. Seharusnya ini kan giliranku buat sarapan." Gumamnya. "Tadi aku buru-buru karena itu."

Hide tertawa. "Sudahlah." Diletakkannya semangkuk sup di hadapan Halu. "Haru-kun begadang semalaman kan? Memikirkan formasi?"

Halu mengangguk, mengambil sumpit dan mencuil ikan bakar buatan Hide. Sarapan buatan kakaknya memang lebih enak dan mengenyangkan. Halu kadang tak enak karena Hide melakukan sebagian besar pekerjaan rumah tapi kakaknya tak pernah mengeluh dan hanya tersenyum sambil menepuk pelan kepalanya.

"Nanti malam Otou-san pulang loh. Masak apa ya?" Hide bergumam setengah tak jelas karena sambil mengunyah.

Halu buru-buru mengangkat wajahnya. "Aku saja yang masak! Ya? Kita buat gyoza ya! Ya?"

Hide mengangkat alis. "Boleh saja sih."

"Nanti habis latihan kita belanja ya. Lemari es sudah mulai kosong kan?"

Hide mengangguk-angguk. "Sekalian beli sake ya. Otou-san bilang mau ada tamu."

"Siapa?" Tanya Halu sambil meletakkan sumpit dan meraih tangan Hide untuk merapikan perban di tangan kanan Hide yang agak longgar.

Hide mengangkat bahu. "Otou-san tidak bilang. Oh ya, nanti bekalnya jangan lupa dibawa ya? Aku masukkan sosis wiener dengan mayonaise banyak loh. Halu-kun suka kan?"

Wajah Halu bersemu merah dan mengangguk. "Sankyuu, Nii-san."

------

Tuesday, December 21, 2010

[drabble] Untitled

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Kadoya Tsukasa x Shiba Takeru
Cast: Kusakabe Hikoma, Kadoya Tsukasa, Shiba Takeru
Rating: PG
Warning: BL. OOC.
Disclaimer: I do not own any of the characters
Note: Untuk menghibur Nei sayang. Maaf gejeh.

Akhir-akhir ini Kusakabe Hikoma merasa umurnya berkurang dengan sangat cepat.

Tidak hanya karena momongan sekaligus junjungannya selalu menolak ide apapun yang disodorkannya untuk melewatkan waktu dan memperluas wawasan, masalahnya bertambah satu lagi. Masalah itu tak lain tak bukan adalah seorang rider jangkung berambut kecoklatan yang selalu bilang kalau dia hanya sekedar mampir. Tentu saja Hikoma-san tak pernah keberatan kedatangan tamu. Rumah itu selalu sepi dan satu atau dua tamu mungkin bisa menghidupkan suasana. Para kuroko pun akan dengan siap sedia menyediakan hidangan atau kamar jika ada tamu yang menginap.

Masalahnya, rider (apapun artinya itu, Hikoma-san tak terlalu mengerti) itu selalu terlihat menempel dengan Touno. Datang tiba-tiba dan menghilang tanpa bekas juga. Yang dia heran, Touno tampak tak keberatan sama sekali. Sering kali pula Tsukasa-dono menginap tapi Hikoma-san tak melihat satu pun kuroko sibuk menyiapkan kamar tamu.

Hikoma-san tak berniat bertanya kenapa junjungannya tak pernah tampak terganggu dengan tingkah junjungannya itu. Touno selalu tampak begitu gembira kalau Tsukasa-dono mampir meskipun hanya untuk satu atau dua jam saja. Kadang sendiri kadang bersama dua pemuda lain yang dikenalkan sebagai ‘Yuusuke-dono’ dan ‘Kaitou-dono’ - “Panggil Daiki saja.”

Hikoma-san nyaris terkena serangan jantung di suatu pagi yang cerah beberapa bulan yang lalu. Saat hendak menuju kamar Touno untuk mengucapkan selamat pagi, langkahnya terhenti di belokan karena melihat tuannya di lorong, tepat di depan pintu kamarnya yang terbuka. Touno tak melihatnya karena dia berdiri membelakangi Hikoma-san, sudah mengenakan hakama latihannya, berciuman dengan Tsukasa-dono. Lengan Tsukasa-dono melingkar posesif di pinggang Touno, matanya terbuka dan melihat Hikoma-san. Pemuda itu tersenyum sinis, merengkuh bagian bawah kepala Touno dan memperdalam ciumannya sampai Touno mengerang.

Hikoma-san memilih untuk beristirahat di kamarnya sampai sore dan hanya menjawab kalau sakit pinggangnya kumat saat Touno mencarinya.

Setelah itu, sekali dua kali, Hikoma-san memergoki mereka sedang berduaan - sering kali wajah Touno terlihat memerah dan memukul lengan Tsukasa-dono dengan pedang bambunya. Kadang ditemuinya Touno duduk di beranda dan Tsukasa-dono tiduran di sebelahnya dengan kepala direbahkan di pangkuan Touno. Atau saat sore hari, mereka berjalan berdua di taman belakang sambil bercakap-cakap dan tak kembali sampai matahari benar-benar tenggelam. Hikoma-san tak berani menegur. Tak tega menghilangkan senyum dan binar cerah yang terbentuk di wajah tuannya.

Meskipun begitu, kepalanya selalu sakit kalau mendadak Tsukasa-dono datang dan mereka berdua tak bisa ditemukan di mana pun. Kadang di malam-malam tertentu, Hikoma-san –sambil memijat keningnya- akan menasehati para kuroko untuk tidak mendekati kamar Touno sampai pagi. Lebih bagus lagi, sampai tengah hari.

Tentu saja Hikoma-san senang karena akhirnya Touno menemukan seseorang – kalau memang bisa diartikan seperti itu - tapi dia tak tahu harus berkata apa seandainya Kaoru-sama mendengar kabar ini dan bertanya. Mungkin sebaiknya dia menulis surat dan menjelaskan dengan baik dan hati-hati bahwa ada kemungkinan kalau penerus ke-20 keluarga Shiba akan merupakan anak angkat lagi.

Sunday, December 19, 2010

[fanfic] AU Ma-kunxTori - Of Jealousy And Saying I Do

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: BL. AU. Cheesy. Tacky.
Disclaimer: I do not own anyone.
Note: Seharusnya dipost semalam tapi karena satu dan lain hal (halah!) baru dipost sekarang deh. Huehehehe Buat SATC-ERs *kecup*



Hari ketiga pergi rekreasi dengan teman-temannya dan Masahiro sudah ingin pulang saja karena kangen setengah mati dengan pacarnya. Sewaktu bercerita pada Tori kalau dia diajak pergi ke Hokkaido selama seminggu oleh teman-teman kampusnya, Tori bersikeras kalau Masahiro harus pergi. Alasannya, "Kita kan akan bersama sampai bosan, sekali-sekali Masahiro harus bergaul dengan orang lain juga, dong. Teman kan susah dicari." Masahiro sebal karena ucapan Tori memang benar. Ditambah lagi, pacarnya itu tersenyum begitu manis saat mengucapkannya.

Memang, tiap malam mereka pasti ngobrol di telepon kalau Masahiro sudah kembali ke penginapan. Tapi itu pun tak bisa lama karena biasanya Masahiro kembali ketika hari sudah larut dan Tori sudah terlalu mengantuk. Sebagai gantinya, Masahiro dengan rajin mengirim pesan dengan foto dirinya di tempat-tempat yang ia kunjungi. Kadang Tori membalas dengan fotonya di ruang praktek atau sedang makan siang - sendirian atau bersama Sota-sensei atau Kubota.

Malam itu, karena sudah tak tahan, Masahiro menolak ajakan teman-temannya untuk pergi ke bar. Teman-temannya hanya mengangkat bahu dan meninggalkannya di hotel. Sudah maklum kalau apapun keinginan pemuda itu tak bisa dibantah.

Masahiro hanya melengos saat digoda salah satu temannya, mengunci kamar dan langsung mengeluarkan ponselnya, menelepon Tori. Semenit kemudian dia berdecak kesal karena Tori tak mengangkat telepon. Matanya melirik ke arah jam dinding. Masih jam 9. Seharusnya Tori sudah pulang. Seingat Masahiro, Tori tak cerita kalau hari itu dia harus shift malam. Ditekannya tombol 'redial' dan menunggu.

"Moshi-moshi?" Suara Tori akhirnya menyahut. Masahiro tersenyum senang dan pura-pura merengut.

"Lama sekali sih."

Didengarnya Tori tertawa pelan. "Maaf, maaf. Tadi aku sedang mengantar Shunsuke ke pintu."

Sudut alis Masahiro berkedut tak senang. "Siapa?"

"Shunsuke. Dia titip salam. Kok tumben jam segini sudah telepon? Tak ada acara?" Tori berujar beruntun, seperti ingin mengalihkan pembicaraan.

Masahiro mendengus. Jangan harap dia akan terima begitu saja Tori berduaan dengan pria itu. "Kenapa sih dia selalu datang saat aku sedang tak ada?" Tanyanya curiga.

Tori mendesah. "Hei, Shunsuke itu temanku loh. Lagipula, Shunsuke juga mengundang kamu. Tapi kamu kan sedang pergi."

"Itu dia. Kenapa tidak memberitahuku?"

"Diberitahu juga kamu tak mungkin datang kan? Shunsuke juga mendadak meneleponku dan bertanya apa kita punya waktu sore tadi. Dia terdengar kecewa karena kubilang kamu sedang pergi. Karena tak enak, aku iyakan saja."

Masahiro mendengus. "Tentu saja. Memangnya susah sekali untuk menolak?"

"Kenapa aku harus menolak? Dia kan temanku. Sudah repot-repot datang ke Tokyo dan menelepon, masa dia kubiarkan makan malam sendirian?"

Pemuda itu makin kesal. "Tori kan bisa cari alasan yang lain. Sedang tak enak badan atau apalah."

"Mana bisa begitu? Memangnya kalau Totani-kun mengajakmu pergi, aku pernah melarang?"

"Tidak udah bawa-bawa Totani deh!" Sergah Masahiro. "Dia tak ada hubungannya."

Tori mendesah panjang. "Aku cuma ingin bilang kenapa kamu harus sekesal itu pada temanku sementara aku malah mendukungmu pergi jalan-jalan dengan teman-temanmu."

Masahiro merengut. "Totani dan teman-temanku tak ada yang pernah berniat melamarku."

Tori mendesah lagi. "Kalau kita cuma akan berdebat seperti ini terus, teleponnya kututup saja ya." Ujar Tori kemudian.

"Tidak! Jangan tutup teleponnya!" Sergah Masahiro.

"Ya, makanya, percaya sedikit dong." Tori menukas.

"Aku percaya kok. Tapi aku tak percaya sama Daito itu." Sungutnya.

"Ma-kun,"

Mendengar namanya dipanggil dengan nada tegas dan jelas, Masahiro langsung memusatkan perhatiannya dan duduk sedikit tegak. "Apa?"

"Hampir tiap pagi aku memberikan ciuman selamat pagi pada seseorang. Siapa ya orang itu?"

Masahiro berkedip. "...Aku."

"Hampir tiap malam aku tidur dengan seseorang. Kadangkala bercinta juga dengannya. Siapa ya?"

Sudut bibir Masahiro mulai tergoda untuk tertarik membentuk senyum. Pipinya terasa sedikit panas. "Aku juga."

"Nah. Kalau semuanya lancar, tahun depan aku akan menikah dengan seseorang. Siapa?"

Kali ini dagunya terangkat. "Aku." Jawabnya dengan mantab.

"Jadi berhentilah cemburu."

Masahiro mengusap tengkuknya dengan frustrasi. "Ini tidak adil."

"Apanya?"

"Kamu cemburu tiap kali melihat hasil pemotretanku. Sementara aku tak boleh cemburu pada orang yang jelas-jelas pernah berniat melamarmu."

Tori menghela nafas. "Mulai sekarang aku akan bilang tiap kali aku akan pergi keluar dengan seseorang. Puas? Aku sudah boleh tutup teleponnya?"

"Toriiiiii..." Pemuda itu merajuk manja.

Tori buru-buru menukas. "Aku hanya melihat Masahiro. Apa itu tidak cukup?"

Masahiro kembali merengut. "Aku sedang kangen sekali sama kamu. Wajar kan kalau aku kesal?"

"Baiklah. Baiklah. Aku minta maaf. Aku juga kangen kok." Ujar Tori menahan tawa.

Masahiro mendengus. "Sungguh?"

"Sungguh."

----

"Begitu..." Totani menyilangkan kakinya sementara tangannya menggaruk tengkuk Ouji yang sedang tertidur nyenyak. Mereka sedang menunggu sementara para kru sedang berusaha memperbaiki kerusakan lighting. Yuzawa-san tampak agak tak senang dan menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan.

Totani memandang temannya yang masih merajuk. Masahiro bukan tipe yang suka minta saran untuk urusan cinta. Selama ini dia tak pernah punya masalah di situ. Totani saja sampai pusing menghapal wajah-wajah yang muncul bersama Masahiro karena tiap kali selalu berganti. Akhirnya dia tak peduli lagi. Toh urusan cinta Masahiro bukan urusannya. Tapi sepertinya kali ini Masahiro kena batunya. Dokter seksi itu benar-benar membuatnya kelimpungan. Totani tersenyum geli.

"Kenapa tidak cepat-cepat menikah saja kalau begitu? Kamu tak perlu khawatir lagi kan?" Cetusnya acuh.

"Mana bisa begitu? Ibuku tak akan memberi ijin sebelum aku lulus." Masahiro menyesap kopinya.

"Kamu kan biasanya nekat."

"Seandainya saja bisa begitu."

Totani terbahak melihat ekspresi Masahiro yang begitu menderita dan serba salah. "Ya sudah. Lamar saja dulu. Kalau sudah ada pengikat kan lebih aman."

Kepala Masahiro terangkat dan dipandangnya temannya yang tersenyum jahil itu. Totani sedang mengibas-ngibaskan tangan kirinya dengan penuh arti. Mata Masahiro mengerjap. Totani mengerling padanya sebelum bangkit mengejar Ouji yang mendadak terbangun dan melompat dari pangkuannya.

----

Tori melambaikan tangannya pada pasien ciliknya yang berlari kecil keluar dari ruang prakteknya. Perawat asistennya meletakkan secangkir teh hangat di meja dan Tori mengijinkannya untuk pulang lebih dulu. Tori mengambil waktu untuk beristirahat sejenak dan menikmati tehnya sambil berpikir mau masak apa nanti malam. Seminggu tak bertemu dengan Masahiro membuatnya jadi gampang bosan di malam hari. Tori juga harus menunggu dua hari lebih lama karena Masahiro ternyata ada jadwal pemotretan mendadak di Karuizawa.

Seharusnya hari itu Masahiro pulang tapi belum ada kabar dari pemuda itu sejak pagi. Mungkin pemoretannya belum selesai. Tori hanya mengangkat bahu. Lima belas menit kemudian akhirnya dia mulai beranjak dan baru saja melepas jas putihnya ketika mendengar pintu ruang prakteknya diketuk. Senyum lebar langsung menghiasi wajahnya begitu Tori melihat ke arah pintu. Dengan berbinar-binar, dia langsung menuju pintu dan memeluk pemuda jangkung yang berdiri di sana.

Masahiro pun tersenyum sumringah. Dikecupnya kening Tori dengan sayang. "Sudah selesai prakteknya?"

Tori mengangguk. "Baru saja. Kapan sampai?"

Masahiro nyengir. "Baru saja. Aku langsung ke sini."

"Capek?" Tori memandangnya dengan sedikit khawatir. "Aku punya vitamin c, kalau mau."

Pemuda itu menggeleng dan malah menunduk untuk mengecup bibir Tori sekilas. "Ikut aku, yuk." Bisiknya.

Tori mengangkat alis, balas mengecup dagu Masahiro. "Mau makan di luar? Aku ganti baju dulu ya."

"Tak usah. Ganti bajunya nanti saja. Sebentar saja kok." Gumam Masahiro, berusaha menahan erangan karena Tori yang menciumi rahangnya dengan menggoda.

"Mmhm." Tori menciumnya sekali lagi sebelum akhirnya mengangguk.

Masahiro menggamit tangan Tori dan membawanya menyusuri lorong rumah sakit, berbelok untuk menaiki tangga menuju atap rumah sakit. Tori berjengit karena angin yang mendadak berhembus kencang. Tori merapat ke belakang Masahiro untuk menghalangi angin. Tori mendorong punggung itu untuk menuju tempat favoritnya: tempat paling hangat dan terlindung dari angin.

Melihat Tori yang menggosok kedua lengannya sendiri, Masahiro buru-buru melepas syal rajutan yang dikenakannya dan menyampirkannya ke pundak Tori. Tori tersenyum dan merapatkan syal itu. Dia baru menyadari kalau Masahiro terlihat begitu tampan dengan coat hitamnya, celana ketat dan sepatu bot berkuda yang memeluk kaki panjangnya dengan sempurna. Rambutnya juga sedikit lebih pendek. Tangan Tori terjulur untuk menyentuh helaian kecoklatan itu.

"Kenapa dipotong?" Tanyanya lembut.

Masahiro menangkap tangan Tori dan menggenggamnya. "Yuzawa-san yang minta karena tak cocok dengan pemotretan kemarin kalau rambutku panjang. Tori keberatan?"

Tori menggeleng. "Jadi mirip anak SMU lagi." Ujarnya sambil tersenyum jahil dan Masahiro pun merengut. "Aku kan tidak bilang aku tidak suka." Tukas Tori sambil mencubit pipi Masahiro dengan gemas.

Tori menurunkan tangannya, yang satu masih digenggam Masahiro. Kepalanya dimiringkan ke sisi, heran dengan ekspresi Masahiro yang mendadak terlihat gugup dan genggaman tangannya yang terasa agak terlalu erat. "Ma-kun?"

"Tahu, tidak? Aku benar-benar kangen pada Tori loh." Gumamnya pelan. "Rasanya aku sudah tak sabar ingin cepat lulus dan segera mengurus pernikahan kita."

Tori tertawa. "Kalau kangen ya kangen saja. Kenapa harus sampai bawa-bawa pernikahan segala?" Meskipun begitu, ada semburat merah di pipinya.

"Aku tak ingin bertengkar lagi dengan Tori karena Daito-san." Ujarnya. "Aku tahu dia temanmu tapi tetap saja aku tak bisa tak cemburu."

Tori menarik nafas pelan. Masahiro buru-buru melanjutkan. "Aku ingin Tori tahu ini. Seperti Tori yang mungkin tak akan pernah suka kuajak ke lokasi, aku mungkin juga tak akan pernah bisa benar-benar menganggap kalau Daito-san bukan ancaman."

"Tori boleh menganggapku bodoh atau tak masuk akal tapi memang begini kondisinya. Berapa kali meyakinkan diri pun, aku tak bisa." Lanjutnya.

"Lalu?" Tori bertanya sambil tersenyum lembut.

Masahiro menarik nafas panjang lalu mengambil beberapa langkah mundur dari Tori. Dipandangnya dokter itu lekat-lekat. Matanya yang jernih, senyumnya yang begitu manis, bentuk rahangnya yang bagus dan belakangan ini sedikit lebih berisi. Ini adalah orang yang membuatnya jatuh cinta begitu dalam sampai Masahiro kelimpungan. Tapi tiga tahun terakhir sejak dia melihat senyum itu adalah tiga tahun terindah dalam hidup Masahiro.

Tori melangkah maju dan Masahiro melangkah mundur. Tangannya terangkat, meminta Tori untuk diam di tempat. Tori mengangkat alisnya yang tertata rapi. Masahiro menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku coat-nya.

"Ingat tidak, lebih dari setahun yang lalu aku membawa Matsuzaka-sensei ke sini dan bilang kalau aku begitu mencintainya. Saat itu aku senaaaaaang sekali."

Tori terkikik kecil sambil merapikan letak syal di bahunya dan mengangguk. "Mana bisa lupa."

"Hari ini, aku mengajak Tori ke sini karena aku mencintainya bahkan lebih besar dari rasa cintaku pada Matsuzaka-sensei. Juga, karena aku pernah berjanji untuk bertanya padanya tapi kupikir belum terlaksana dengan baik."

Tori menatapnya. Agak bingung sekaligus merasa lucu dengan cara Masahiro berucap. Dia hanya tersenyum. Alis matanya terangkat saat tiba-tiba Masahiro menekuk satu lututnya sementara berat badannya ditumpukan ke lutut yang lain. Tori buru-buru melirik ke kiri-kanan, kalau-kalau ada orang yang lihat.

"Ma-kun, sedang apa?" Tanyanya terkikik geli dan sedikit tersipu.

Masahiro menarik kedua tangannya keluar dari dalam kantong. Yang satu terjulur ke arah Tori sementara yang satu menggenggam sesuatu. Tori menyambut dan meletakkan tangannya di atas telapak Masahiro yang terbuka. Sekali lagi, tangan Masahiro menggenggam tangannya dengan begitu erat dan tangannya terasa begitu hangat. Untuk beberapa saat, Masahiro memandangi tangan mereka sebelum mengangkat kepala untuk memandang Tori.

"Sebelum aku pergi minggu lalu, Tori bilang kalau kita akan bersama sampai bosan kan?" Tori mengangguk meskipun tak begitu ingat. Masahiro membuka tangannya yang tergenggam. Ada sebuah kotak kecil berwarna kebiruan di tangannya. Masahiro membukanya dengan satu hentakan. Sebuah cincin platinum polos berkilau terkena sinar matahari sore. Mengacuhkan Tori yang terperangah sampai mulutnya terbuka, Masahiro meletakkan kotak itu di atas pahanya dan mengeluarkan cincin itu dari kotaknya.

Masahiro memandang Tori lagi. Dieratkannya genggaman tangannya. "Aku tak akan mungkin bisa bosan denganmu tapi.... Matsuzaka Tori, maukah menikah denganku dan berada di sampingku sampai kau bosan?" Diselipkannya cincin itu ke jari manis Tori dengan perlahan.

Tori berkedip. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Cincin itu melingkar sempurna di jarinya dan ukurannya begitu pas. Entah dari mana Masahiro tahu ukurannya. Tori tak akan bohong kalau dadanya berdebar-debar. Dia pikir yang dulu itu memang cara Masahiro untuk melamarnya. Tapi cara klasik ini memang membuatnya merasa lebih istimewa. Lucunya kedua kejadian itu selalu berkaitan dengan Shunsuke. Sepertinya Tori harus melakukan sesuatu untuk temannya itu sebagai tanda terima kasih.

Masahiro mengusap cincin itu dengan ibu jarinya. Agak gugup karena Tori tak langsung bereaksi. Matanya langsung bersinar cerah begitu sudut-sudut bibir Tori mengembang menjadi senyuman lebar. Senyum yang sama dengan yang dilihatnya nyaris tiga tahun lalu. Senyum yang sama dengan lebih dari setahun lalu saat Tori mengangguk pada ucapan cintanya. Senyum yang dilihatnya nyaris setiap hari dan Masahiro tak akan pernah bosan dibuatnya.

"Memangnya Masahiro harus bertanya lagi ya?" Ujarnya. "Tentu saja aku mau."



------

Malam itu, sambil berbaring dalam pelukan Masahiro, Tori mengangkat tangannya dan memperhatikan cincin yang melingkari jarinya. Masahiro tertawa, mengecup pundak Tori dengan sayang.

"Jangan dipandangi terus dong." Bisiknya parau.

"Boleh dong. Ini kan milikku." Tukas Tori. Cahaya lampu yang masuk lewat sela-sela tirai kamar Masahiro yang setengah terbuka membuatnya agak sulit melihat. Tori memutar tangannya dan cincin itu berkilau samar terkena cahaya. "Ternyata Masahiro suka bertindak aneh kalau sedang cemburu ya." Komentarnya.

Sebuah gigitan lembut di pundaknya, tanda protes Masahiro, membuatnya berjengit dan tertawa kecil. Tori menoleh saat Masahiro meraih tangannya dan mengecup jari dan cincin itu.

"Jangan dilepas ya?" Bisiknya sambil mencari bibir Tori.

"Hmmm. Tak akan." Ujar Tori sambil menatap mata Masahiro lekat-lekat dengan penuh arti dan menyambut ciuman kekasihnya.

-END-

Wednesday, December 8, 2010

[fanfic] AU Ma-kunxTori - Interlude

Fandom: Decade/Shinkenger
Rating: NC-17
Warning: pure pr0n. NSFW. BL. AU.
Disclaimer: I do not own anyone
Note: Lanjutan dari Prelude. Untuk Nei *kecup*



Sejenak, Tori bingung harus bagaimana. Rasanya aneh pulang ke apartemen sendiri tapi tak tahu harus apa. Biasanya tubuhnya akan bergerak otomatis menuju dapur untuk mengambil air minum atau langsung ke kamar tidur karena sudah terlalu lelah. Tapi sekarang, keberadaan pemuda jangkung di belakangnya membuatnya sedikit resah. Itu bukan kali pertamanya membawa pacar pulang ke apartemen tapi malam pertama seperti ini memang selalu membuat gugup dan Tori sudah nyaris lupa seperti apa rasanya ketika dia terakhir kali membawa seseorang pulang ke apartemennya.

Tori menarik nafas tajam, terkejut karena sepasang lengan memeluk pundaknya dari belakang. Masahiro menyusupkan kepalanya untuk mengecup leher Tori dengan lembut dan menggoda. Tori bergidik pelan.

Ya Tuhan, mereka akan benar-benar melakukannya ya, pikirnya. Sedikit panik dan semakin gugup. Tori menelan ludah. Kalau saja dia tidak begitu suka dengan pemuda itu, mungkin segalanya akan lebih mudah. Tori mungkin tak akan segugup ini dan tak akan begitu khawatir akan apa yang akan dipikirkan Masahiro kalau sudah melihatnya tanpa baju nanti.

Wajahnya memerah lagi. Tori sedikit sebal karena merasa seperti anak sekolahan yang gampang tersipu-sipu. Setelah menarik nafas, tangannya terangkat menyentuh tangan Masahiro dan menggenggam lembut. Perlahan diputarnya tubuhnya menghadap Masahiro. Wajah pemuda itu bersinar begitu melihat Tori tersenyum padanya. Tampak begitu manis dan menyilaukan di matanya.

"Matsuzaka-sensei," panggilnya pelan sambil mendekatkan wajahnya.

Tori tersenyum, mengelus pipi Masahiro dengan ujung jarinya yang bergetar. "Kenapa memanggilku begitu lagi?"

Sebuah cengiran mendahului jawaban Masahiro. "Kebiasaan." Dikecupnya pelipis Tori. "Tori..."

Tori membalas dengan mendaratkan sebuah ciuman di pipi Masahiro. Kedua lengannya kemudian melingkar ke sekeliling leher pemuda jangkung itu. Berusaha meredakan jantungnya yang berdetak makin kencang. Masahiro mengelus lengannya dengan lembut.

"Gugup?" Tanyanya pelan. Tori nyaris tertawa karena suara Masahiro yang begitu bergetar, menandakan kalau pemuda itu juga resah.

"Masahiro juga kan?" Tori balas bertanya.

"Aku menunggu terlalu lama untuk ini." Akunya lirih. Wajahnya disentuhkan ke sisi wajah Tori, menghirup wangi tubuh Tori: campuran vanila, aroma jeruk dan sesuatu yang lain. Begitu mengundang untuk dinikmati saat itu juga. Senyum gugup dan semburat merah di pipi Tori juga membuatnya terlihat makin seksi.

Kepala Tori bergerak, mencari bibir Masahiro dan disambut dengan antusias. Tori tak membuang waktu untuk membuka bibirnya dan membiarkan lidah Masahiro menyerbu masuk. Mendengar pengakuan Masahiro yang begitu jujur, Tori tak ingin membuang waktu lagi. Tori lupa sejak kapan Masahiro mulai muncul dalam fantasi malam harinya. Yang dia tahu, dia juga menginginkan ini. Menginginkan Masahiro bercinta dengannya.

Dengan bibir masih saling berpagutan, Masahiro membimbing mereka pelan ke arah kamar tidur Tori. Tertawa pelan saat kaki Tori tak sengaja menendang sesuatu tapi mereka tak peduli dan terus berciuman. Tangan Tori terjulur ke belakang, meraba-raba daun pintu dan mendorongnya membuka begitu menemukannya. Bagian belakang lutut Tori membentur pelan sisi ranjang dan Masahiro mendorongnya pelan, menjatuhkan tubuh mereka ke atas kasur. Sesaat mereka hanya berbaring sambil terus berciuman sampai Masahiro menjauh dan mengangkat tubuhnya dari atas tubuh Tori.

"Lampunya..." Gumamnya.

Tori menggeleng pelan, menarik leher Masahiro untuk kembali menciumnya. "Biarkan saja." Bisiknya.

"Aku ingin melihatmu." Ujar pemuda itu.

Tori harus bersyukur karena suasana yang remang-remang itu karena dia tak ingin Masahiro melihat wajahnya yang pasti sudah begitu merah. Diciumnya pemuda itu sekali lagi dan membiarkan Masahiro bangkit mencari tombol lampu di dekat pintu. Tori menegakkan badannya, mengernyit ketika ruangan mendadak terang. Tori menelan ludah. Masahiro kembali padanya, melangkah pelan seperti memperhitungkan dia harus menyerang dari mana. Tori mengulurkan tangannya, disambut Masahiro dengan cengiran. Tangannya menggenggam hangat dan tersenyum.

"Kamu tampan." Bisik Masahiro.

Tori tersenyum, menarik pemuda itu mendekat dan menciumnya. Tori menengadahkan kepalanya, membiarkan Masahiro menciumi rahang dan lehernya, sesekali bahkan menggigit dan menjilat lehernya, membuat Tori mendesah dan menggerut rambut Masahiro. Tori mengerang saat Masahiro menghembuskan nafas dengan menggoda di telinganya dan mengecup kulit di bagian belakang telinganya.

Masahiro tertawa pelan dan rendah sementara tangannya mulai sibuk melepas kancing kemeja yang dikenakan Tori. Jari-jari Masahiro menyelip masuk untuk menyentuh kulit Tori dan Tori menarik nafas tajam. Masahiropun makin berani menggerakkan tangannya meraba dada dan perut Tori, mencari tempat-tempat yang membuat Tori mengerang senang. Dengan tak sabar, Tori melepas kemejanya dan Masahiro tersenyum senang karena bisa membelai dengan lebih bebas.

Tori mulai bergerak dan menggeliat resah. Tangannya mendorong bahu Masahiro menjauh dan hanya tersenyum saat pemuda itu mengerutkan kening tak senang. Ekspresinya langsung berubah menjadi cengiran saat Tori menarik lepas T-shirt-nya, sama sekali tak protes ketika setelahnya tangan Tori berkutat dengan ikat pinggangnya. Bibir Tori merengut lucu karena kesulitan dengan jeans ketat Masahiro. Pemuda itu tergelak, menepis tangan Tori dan melepas sendiri jeansnya. Wajah Tori memerah karena kemudian Masahiro berkutat dengan celananya. Melepaskan ikat pinggang, kancing dan risleting dengan pelan. Matanya tak lepas dari Tori. Cengirannya terlihat begitu buas ketika menarik lepas celana Tori.

Mereka berbaring bersebelahan, sibuk berciuman sementara tangan mereka bergerak mengelus dan meraba. Masahiro menggeram. Jari-jari Tori mengusap lembut putingnya lalu bermain-main di sekitarnya, tak menyentuh lagi. Pemuda itu mengelus pinggul dan paha bagian atas Tori dan mengaitkan kaki-kaki mereka. Setelah menghisap pelan bibir Tori, Masahiro bergerak ke atas dokter itu dan menatapnya.

Wajah Tori bersemu merah, bibirnya juga. Kemerahan dan agak bengkak karena terlalu banyak dicium. Beberapa tanda kemerahan tersebar di lehernya yang jenjang. Masahiro nyengir puas, bangga dengan tanda yang ditinggalkannya. Kulit Tori yang kecoklatan, sedikit lebih gelap dari kulitnya sendiri; begitu halus ketika disentuh. Dadanya bergerak naik turun seiring dengan napasnya yang sedikit memburu. Anak-anak rambut halus menutupi keningnya dan Masahiro menyingkirkannya dengan sayang. Tori berkedip lembut dan tampak tersipu.

Masahiro tak tahu apa yang membuatnya bisa menahan diri begitu lama. Sampai dua tahun yang lalu, dia selalu berganti pacar dan tak pernah buang waktu untuk membawa mereka ke tempat tidur. Atau kencan-kencan semalam yang dengan mudah didapatnya. Tapi sejak dia melihat senyum manis dokter itu dua tahun lalu, Masahiro seperti tak berminat lagi dengan semua itu. Dan melihat Tori seperti ini: berbaring di bawahnya, telanjang-ini yang terpenting- dan tersenyum lembut dengan begitu manisnya; Masahiro berpikir perjuangannya sepadan.

Masahiro menurunkan tubuhnya, menopang berat badannya dengan kedua siku, kembali mendekatkan wajahnya. Bibirnya mengatup di daun telinga Tori, menggigit pelan dan berbisik.

"Aku ingin Tori menyentuhku..." Suaranya terdengar begitu lirih.

Tori menelan ludah, memiringkan kepalanya untuk mencuri ciuman dari bibir Masahiro. Tangannya bergerak ragu dan tak langsung memenuhi permintaan Masahiro. Diusapnya bagian bawah perut Masahiro sampai ujung jarinya bisa merasakan rambut halus di bawah sana. Masahiro mengangkat pinggulnya, menanti dengan dada berdebar. Tori memandangnya, sedikit tak yakin. Anggukan kepala Masahiro meyakinkannya.

Ujung-ujung jarinya menyentuh kulit yang terasa hangat dan ujung kemaluan yang agak basah. Tori bergerak ke bawah, menelusuri sampai ke pangkal dan terpana dengan denyutan pelan yang disentuhnya. Masahiro menutup matanya dan mendesah pelan, bibirnya membentuk senyuman kecil. Tori pun menggigit bibir dan memberanikan diri untuk menggenggam. Masahiro melenguh karena Tori menggenggam terlalu kencang dan sedikit menyentak. Nyaris saja.

Tori menarik tangannya, khawatir dia menyakiti pemuda itu. Masahiro menarik nafas, membuka matanya dan tersenyum. "Tak apa." Bisiknya. "Teruskan saja."

Tori pun menciumnya, senang karena dipercaya menyentuh Masahiro seperti itu. Jari-jarinya melingkar di sekeliling kemaluan Masahiro, kali ini memastikan untuk bergerak dengan lebih lembut. Menyentak pelan, menakan di sana-sini dengan lembut, menggesekkan telapak dan ibu jarinya di ujung kemaluan Masahiro sampai pemuda itu mengerang, memberi petunjuk pada Tori di mana dia suka disentuh. Tori pun menggerakkan tangannya dengan lebih berani.

Beberapa kali sentakan dan tiba-tiba Masahiro mengumpat. Dia mengangkat tubuhnya menjauh dari Tori. Seluruh tubuhnya bergetar hebat sementara cairan putih meluncur keluar dari ujung kemaluannya. Tori menatapnya dengan sedikit terperangah tapi kemudian lengannya terjulur menyentuh lengan Masahiro sampai pemuda itu selesai. Saat melihat ke arah Tori lagi, wajah Masahiro begitu merah dan dia terlihat malu sekali.

"Maaf... Aku..." Ujarnya terbata.

Tori menggelengkan kepalanya, tersenyum penuh pengertian. Ditariknya Masahiro mendekat untuk dicium. Tori seedikit besar kepala karena merasa begitu diinginkan Masahiro sampai sedikit sentuhan darinya saja bisa membuat pemuda itu klimaks begitu cepat. Tangan Tori melingkar ke punggung Masahiro, menelusuri tiap lekuk otot dan kulit. Kepalanya bergerak, ganti menikmati rahang dan leher Masahiro. Berusaha membuat pemuda itu terangsang lagi karena bagian bawah tubuhnya juga sudah terasa sangat tak nyaman dan butuh diperhatikan secepatnya.

Ternyata memang tak butuh waktu lama untuk membuat Masahiro bersemangat lagi. Senyum dan tatapan mata Tori ternyata cukup untuk itu. Ditambah dengan bibirnya yang dengan seksinya mengecupi dada Masahiro. Masahiro pun kembali meraba pinggul dan paha Tori. Tangannya diselipkan ke belakang lutut Tori dan mengangkatnya sedikit untuk memudahkannya menyentuh bagian bawah kemaluan Tori. Tori memalingkan wajahnya. Tangannya menggerut bantal saat jari-jari Masahiro mulai menyentuh tempat di antara pantatnya.

Pinggulnya terangkat otomatis dan tak sadar, Tori mengerang. Masahiro tersenyum tapi menghentikan kegiatannya, seperti teringat sesuatu.

"Umh.." Gumamnya, ragu bertanya.

Tori masih tak mau melihat ke arahnya. "....laci paling bawah..." Jawabnya seolah tahu apa yang ingin ditanyakan Masahiro.

Masahiro beringsut, menjulurkan badan dan lengan untuk membuka laci meja di samping tempat tidur yang ditunjuk Tori. Tori berpaling menatap langit-langit sementara satu tangannya diletakkan di atas dada. Heran kenapa dia semakin gugup, merasa seperti ini adalah yang pertama untuknya. Tori menarik nafas panjang, tak sadar kalau Masahiro sudah kembali mengambil posisi di antara kaki Tori yang dibukanya dengan paksaan lembut.

Tori langsung mengatupkan kakinya lagi sementara perhatian Masahiro teralih oleh sebotol kecil cairan pelumas. Tak tahu lagi harus mengarahkan pandangan ke mana, Tori melihat pemuda itu menuang cairan bening itu ke dua jarinya. Mengendus sedikit dan nyengir jail.

"Vanila?"

Tori merengut. "Urusai."

Masahiro terkekeh dan menunduk untuk mencium dokter itu. "Aku suka kok," bisiknya di antara ciuman. "Rasanya jadi makin lapar."

Tori menggigit bibir Masahiro dengan gemas. Pemuda itu tertawa lagi, mencium Tori dengan sedikit lebih bernafsu, senang ketika Tori melingkarkan lengan ke lehernya dan balas mencium dengan tak kalah antusias. Masahiro beringsut pelan, memaksa Tori membuka kakinya dengan pinggulnya. Kemaluan mereka bersentuhan dan Tori mengerang ke dalam mulut Masahiro. Pinggul Tori bergerak pelan, membuat kemaluan mereka saling bergesekan dan jari-jarinya menggerut rambut Masahiro saat pemuda itu menyentuh jalan masuk ke tubuhnya. Menggoda Tori dengan menekan pelan beberapa kali sebelum akhirnya menekan masuk. Tori menarik nafas tajam, memagut bibir Masahiro dengan sedikit kasar.

"Sakit?" Tanya pemuda itu dengan pelan. Dahinya berkerut khawatir.

Tori menggeleng. "Sudah lama saja. Tak apa-apa kok."

Masahiro menciumnya lagi. Dua jarinya bergerak pelan. Tubuh Tori terasa begitu hangat dan mencengkeram kuat. Mau tak mau dia jadi berpikir apa rasanya kalau tubuhnya sudah benar-benar ada di dalam tubuh Tori nanti. Pikiran itu malah membuatnya makin bersemangat. Jari-jarinya berputar, sesekali ditekuk, mencari titik sensitif dalam tubuh Tori.

"Agh! Unnh..." Pinggul Tori terangkat dan wajahnya memerah.

Masahiro tersenyum lebar. Dia menekan di titik yang baru saja disentuhnya dan dengan sengaja menggetarkan jari-jarinya di titik itu. Tori membenamkan sisi wajahnya ke bantal dan mengerang panjang.

"Masahiroo..." Erangnya sambil menggigit bibir.

"Ii?" Masahiro mengulangi gerakannya. Mendengar Tori akhirnya menyebut namanya sambil mengerang seperti itu membuatnya makin bersemangat dan kemaluannya bereaksi.

Tori mengerang lagi dan mengangguk. "Un..." Jawabnya setengah berbisik, setengah tersengal. Tori pun membuka kakinya lebih lebar, mencari posisi yang lebih nyaman sekaligus memberi akses lebih pada Masahiro.

Masahiro menunduk, bibirnya mengecup bagian dalam paha Tori yang kecoklatan. Jari-jarinya tak berhenti bergerak keluar masuk perlahan menambah kecepatannya. Diarahkannya pandangannya pada Tori. Tubuh Tori menggeliat seiring dengan gerakan tangan Masahiro, begitu juga pinggulnya. Satu tangannya menggerut selimut dengan erat. Bibirnya yang kemerahan habis digigit menahan sensasi di tubuhnya.

Masahiro mengalihkan perhatiannya dan sambil tersenyum nakal, pemuda itu menghembuskan nafas pelan di atas ujung kemaluan Tori. Tori melenguh.

"Masahiro..."

Mendengar namanya, Masahiro mengangkat kepalanya dan berkedip. Entah kapan, Tori sudah mengambil bungkusan kecil dari sisi tempat tidurnya. Dipeganginya bungkusan itu di depan bibirnya yang tersenyum penuh arti. Masahiro terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Wajahnya sedikit memerah saat dia merebut bungkusan itu dari tangan Tori.

Tori tersenyum simpul dan beringsut sementara Masahiro sibuk dengan bungkusan kecil itu. Ketika Masahiro memusatkan perhatian padanya lagi, wajah pemuda itu terlihat begitu serius. Tori meletakkan kedua kakinya di atas paha Masahiro dan pemuda itu beringsut maju sampai ujung kemaluan Masahiro menekan pelan di celah tubuhnya. Tori menarik nafas. Tapi Masahiro masih memandangnya dan bertanya pelan.

"Boleh? Aku perlu pakai minyak vanilla-nya lagi?"

Tori tersenyum geli melihat ekspresi Masahiro yang begitu serius. Tangannya terulur menyentuh sisi wajah Masahiro dengan sayang.

"Heki. Kamu sudah membuatku terlalu lama menunggu."

Masahiro merengut. "Aku? Siapa ya yang menyiksaku selama dua tahun dengan senyum dan kalimat-kalimat ambigu?"

Tori berdecak. Ditariknya leher pemuda itu mendekat. "Aku tak percaya kamu masih bisa berdebat di saat seperti ini." Dan bibirnya melumat bibir Masahiro dengan penuh nafsu dan tangannya menyentuh puting Masahiro, menarik pelan sampai Masahiro mengerang dan kembali fokus dengan kondisi mereka saat itu.

Tak lama, Masahiro pun beringsut, mencari posisinya kembali dan mengelus pelan pinggul Tori. Tori minta dicium lagi dan erangan panjang pun meluncur dari bibirnya saat Masahiro menekan masuk. Tori nyaris lupa rasa sakit yang mengiringi proses itu. Matanya mengerjap dan dia bernafas dengan susah payah.

Masahiro mengelus pinggulnya lagi. Menatapnya dengan khawatir. "Tori?"

Tori tak menjawab. Berusaha menelan ludah dan mengatur nafas kemudian tersenyum. Wajahnya memerah.

"Aku tak menyangka. Masahiro ternyata lebih besar dari dugaanku." Ujarnya sambil beringsut pelan dan mengerang karena perbuatannya itu membuat kemaluan Masahiro masuk lebih dalam.

Masahiro mengerang tertahan. Namun begitu, cengiran puas dan dagunya yang sedikit terangkat menandakan kalau dia sedang bangga sekali. Dia bergerak lagi sampai seluruh kemaluannya terbenam nyaman di dalam tubuh Tori. Ditopangnya tubuhnya dengan kedua sikunya dan kembali mencium Tori.

"Kalau aku tahu senikmat ini rasanya ada di dalam tubuh Tori, aku pasti akan bergerak lebih cepat untuk mendapatkanmu." Bisiknya dengan suara serak yang terdengar puluhan kali lebih seksi.

Meskipun wajahnya panas mendengar itu, Tori memutar matanya dan beringsut mencari posisi yang lebih nyaman. Masahiro menggeram pelan, mengartikan tindakan Tori sebagai tanda untuk mulai bergerak. Pinggulnya menghujam pendek dan pelan, membiasakan Tori dengan ukuran dan keberadaan Masahiro di dalam tubuhnya. Tori menggigit bibirnya, mengerang tiap kali Masahiro bergerak masuk. Di sela itu dia juga berusaha mengatur nafasnya tapi rasanya mustahil karena tiap kali Masahiro bergerak dari angle berbeda.

Ketika akhirnya mereka menemukan irama tubuh mereka, Tori sudah tak peduli lagi apakah erangannya terlalu keras sampai bisa didengar tetangga. Secara insting, kedua kakinya mengait di belakang pinggang Masahiro. Seluruh tubuhnya seperti terbakar dan hanya bisa merasakan Masahiro bergerak di dalam tubuhnya. Menyentuh titik sensitifnya tiap kali. Tori menutup matanya, menyerah dan membiarkan dirinya hanyut.

Masahiro mempercepat gerakannya. Lebih dalam dan lebih keras demi membuat Tori mengerang dan makin dekat dengan klimaksnya. Dia sendiri sudah mulai kesulitan menahan diri. Dia tak bohong pada Tori. Tubuhnya terasa begitu nikmat dan hangat. Tiap kali mencengkeram kuat dan membuat Masahiro merasa dia akan selesai saat itu juga. Dia tak menyangka sama sekali kalau yang membuatnya mencapai klimaks adalah Tori yang membuka matanya, menatapnya, tersenyum manis sembari menyentuh pipinya dengan lembut dan membisikkan namanya.


Tori membuka matanya, sedikit merasa sesak karena sesuatu yang berat menindih tubuhnya. Barulah dia tersadar kalau Masahiro tertidur saat masih berbaring di atasnya. Kepalanya terkulai di sebelah kepala Tori dan hembusan nafasnya menggelitik telinga Tori. Sudut-sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman dan mencuri kesempatan untuk mengecup bibir Masahiro yang sedikit terbuka.

Tangannya diletakkan dengan hati-hati di atas punggung Masahiro dan Tori berbaring diam. Wangi tubuh Masahiro, parfum yang dikenakannya sendiri dan aroma samar vanilla berbaur dengan aroma lain menerpa hidungnya. Punggung dan bagian bawah tubuhnya sekarang terasa agak pegal dan tak nyaman. Tapi Tori tak terlalu peduli dengan itu semua. Pikirannya terfokus pada pemuda yang sedang tertidur itu. Pemuda yang selama dua tahun belakangan ini selalu muncul di kehidupannya dan membuatnya perlahan membuka diri pada orang lain lagi. Pemua yang sore tadi baru saja menyatakan perasaannya dengan begitu jujur pada Tori.

Tori merasa mungkin sudah saatnya dia punya pacar. Sudah bosan merasa sendirian dan kesepian. Dalam hatinya Tori berharap dia tak akan pernah menyesal sudah menganggukkan kepala pada pemuda itu.

Monday, December 6, 2010

[fanfic] AU Ma-kunxTori - Prelude

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori
Rating: PG-13
Warning: AU. BL. Boys' kissing. Do not read unless you're into it
Disclaimer: I do not own anyone
Note: Ahik. ahik. Buat Nei & Icha. Stensilan nyusul ya :D :D *ditimpuk*



Tori tak tahu harus berpikir apa. Tidak saat sepasang lengan panjang memeluk erat pinggangnya, menariknya mendekat dengan lembut. Tidak saat kedua lengannya sendiri bersandar di pundak orang yang memeluknya. Tidak ketika wajahnya dan wajah Masahiro hanya berjarak satu helaan nafas. Tidak ketika kedua kakinya terasa begitu lemas dan kalau saja tidak ditopang oleh Masahiro, Tori yakin dia akan langsung jatuh terduduk. Tidak ketika jantungnya berdetak begitu kencang sampai Tori curiga kalau tulang dadanya akan retak. Terutama tidak ketika matanya tak bisa lepas dari sepasang mata kecoklatan yang memandangnya dengan penuh cinta bercampur dengan kekaguman dan sedikit kebingungan.

Dia sudah tak ingat lagi apa yang terjadi antara Masahiro bertanya, “Ore jya... dame desuka?” dan posisi mereka saat ini. Dia juga tak ingat pasti apakah dia mengangguk atau menggeleng atau apa. Yang pasti, dia bereaksi sesuatu dan itu membuat Masahiro memepetnya ke dinding ruang prakteknya.

Tanpa sadar, kepala Tori bergerak dan menyentuhkan bibirnya ke bibir Masahiro. Didengarnya Masahiro menarik nafas tajam tapi langsung balas memagut bibir Tori dengan pelan dan lembut. Tentu saja itu bukan ciuman pertama mereka dan kali ini Tori memberanikan diri untuk menggerakkan kedua tangannya menyelusup ke antara helaian kecoklatan rambut Masahiro. Ibu jarinya kemudian bergerak mengelus bagian belakang telinga pemuda itu, membuat Masahiro menggeliat dan memperdalam ciuman mereka.

Masahiro mengedipkan matanya dengan heran ketika Tori menjauh, terlalu cepat menyudahi ciuman mereka menurut Masahiro. Keningnya berkerut tak suka dan menggeram pelan. Wajahnya maju untuk mencium Tori lagi. Tapi dokter itu tersenyum kecil, mengecup pipi Masahiro dengan penuh perasaan. Bibir Masahiro pun merengut kesal, tampak begitu lucu di mata Tori. Disentuhnya bibir pemuda itu dengan ibu jarinya, mengusap lembut sambil tersenyum geli. Masahiro buru-buru menggenggam tangan Tori dan mengecupi buku-buku jari dokter itu sebagai ganti karena Tori tak ingin dicium lagi.

Bukannya Tori tak ingin, tapi jantungnya rasanya sudah tak kuat dan bagian bawah tubuhnya sudah mulai bersemangat. Kalau dilanjutkan, dia khawatir dia tak akan bisa menahan diri dan mereka masih di ruang prakteknya. Tori tak keberatan disebut kolot tapi ruangan itu jelas bukan pilihan Tori seandainya mereka akan bercinta saat itu juga. Wajahnya memanas begitu memikirkan itu apalagi Masahiro mulai mengecupi ujung-ujung jarinya dengan menggoda. Tori bergerak, membenamkan wajahnya ke dada Masahiro dan didengarnya pemuda itu tertawa pelan.

Dirasakannya sentuhan hangat dan sedikit basah di telinganya. “Aku ingin membawa Tori ke tempat tidur...” Mendengar itu, rasanya kepalanya berasap dan mungkin wajahnya sudah berubah semerah daun momiji di musim gugur. Dua tahun dia mengenal pemuda itu, Tori sebenarnya sudah tahu kalau  saat-saat seperti ini akan terjadi juga. Tapi sekarang rasanya begitu aneh. Seperti tidak nyata. Karena itu dia diam, tak berani bereaksi.

Telinganya dikecup sekali lagi. “Kalau Tori tak mau, aku...”

Pemuda itu tak sempat menyelesaikan perkataannya karena Tori sudah menciumnya. Masahiro tersenyum senang dan penuh kemenangan. Terutama ketika Tori berbisik, “Tidak di sini.” dan menciumnya sekali lagi sebelum mendorongnya menjauh dan berjalan keluar ruangan.

Tori tak tahu harus berpikir apa. Tapi dia yakin dia menganggukkan kepalanya pada Masahiro sebagai jawaban.