Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori
Rating: PG-13
Warning: AU. BL. Boys' kissing. Do not read unless you're into it
Disclaimer: I do not own anyone
Note: Ahik. ahik. Buat Nei & Icha. Stensilan nyusul ya :D :D *ditimpuk*
Tori tak tahu harus berpikir apa. Tidak saat sepasang lengan panjang memeluk erat pinggangnya, menariknya mendekat dengan lembut. Tidak saat kedua lengannya sendiri bersandar di pundak orang yang memeluknya. Tidak ketika wajahnya dan wajah Masahiro hanya berjarak satu helaan nafas. Tidak ketika kedua kakinya terasa begitu lemas dan kalau saja tidak ditopang oleh Masahiro, Tori yakin dia akan langsung jatuh terduduk. Tidak ketika jantungnya berdetak begitu kencang sampai Tori curiga kalau tulang dadanya akan retak. Terutama tidak ketika matanya tak bisa lepas dari sepasang mata kecoklatan yang memandangnya dengan penuh cinta bercampur dengan kekaguman dan sedikit kebingungan.
Dia sudah tak ingat lagi apa yang terjadi antara Masahiro bertanya, “Ore jya... dame desuka?” dan posisi mereka saat ini. Dia juga tak ingat pasti apakah dia mengangguk atau menggeleng atau apa. Yang pasti, dia bereaksi sesuatu dan itu membuat Masahiro memepetnya ke dinding ruang prakteknya.
Tanpa sadar, kepala Tori bergerak dan menyentuhkan bibirnya ke bibir Masahiro. Didengarnya Masahiro menarik nafas tajam tapi langsung balas memagut bibir Tori dengan pelan dan lembut. Tentu saja itu bukan ciuman pertama mereka dan kali ini Tori memberanikan diri untuk menggerakkan kedua tangannya menyelusup ke antara helaian kecoklatan rambut Masahiro. Ibu jarinya kemudian bergerak mengelus bagian belakang telinga pemuda itu, membuat Masahiro menggeliat dan memperdalam ciuman mereka.
Masahiro mengedipkan matanya dengan heran ketika Tori menjauh, terlalu cepat menyudahi ciuman mereka menurut Masahiro. Keningnya berkerut tak suka dan menggeram pelan. Wajahnya maju untuk mencium Tori lagi. Tapi dokter itu tersenyum kecil, mengecup pipi Masahiro dengan penuh perasaan. Bibir Masahiro pun merengut kesal, tampak begitu lucu di mata Tori. Disentuhnya bibir pemuda itu dengan ibu jarinya, mengusap lembut sambil tersenyum geli. Masahiro buru-buru menggenggam tangan Tori dan mengecupi buku-buku jari dokter itu sebagai ganti karena Tori tak ingin dicium lagi.
Bukannya Tori tak ingin, tapi jantungnya rasanya sudah tak kuat dan bagian bawah tubuhnya sudah mulai bersemangat. Kalau dilanjutkan, dia khawatir dia tak akan bisa menahan diri dan mereka masih di ruang prakteknya. Tori tak keberatan disebut kolot tapi ruangan itu jelas bukan pilihan Tori seandainya mereka akan bercinta saat itu juga. Wajahnya memanas begitu memikirkan itu apalagi Masahiro mulai mengecupi ujung-ujung jarinya dengan menggoda. Tori bergerak, membenamkan wajahnya ke dada Masahiro dan didengarnya pemuda itu tertawa pelan.
Dirasakannya sentuhan hangat dan sedikit basah di telinganya. “Aku ingin membawa Tori ke tempat tidur...” Mendengar itu, rasanya kepalanya berasap dan mungkin wajahnya sudah berubah semerah daun momiji di musim gugur. Dua tahun dia mengenal pemuda itu, Tori sebenarnya sudah tahu kalau saat-saat seperti ini akan terjadi juga. Tapi sekarang rasanya begitu aneh. Seperti tidak nyata. Karena itu dia diam, tak berani bereaksi.
Telinganya dikecup sekali lagi. “Kalau Tori tak mau, aku...”
Pemuda itu tak sempat menyelesaikan perkataannya karena Tori sudah menciumnya. Masahiro tersenyum senang dan penuh kemenangan. Terutama ketika Tori berbisik, “Tidak di sini.” dan menciumnya sekali lagi sebelum mendorongnya menjauh dan berjalan keluar ruangan.
Tori tak tahu harus berpikir apa. Tapi dia yakin dia menganggukkan kepalanya pada Masahiro sebagai jawaban.
Dia sudah tak ingat lagi apa yang terjadi antara Masahiro bertanya, “Ore jya... dame desuka?” dan posisi mereka saat ini. Dia juga tak ingat pasti apakah dia mengangguk atau menggeleng atau apa. Yang pasti, dia bereaksi sesuatu dan itu membuat Masahiro memepetnya ke dinding ruang prakteknya.
Tanpa sadar, kepala Tori bergerak dan menyentuhkan bibirnya ke bibir Masahiro. Didengarnya Masahiro menarik nafas tajam tapi langsung balas memagut bibir Tori dengan pelan dan lembut. Tentu saja itu bukan ciuman pertama mereka dan kali ini Tori memberanikan diri untuk menggerakkan kedua tangannya menyelusup ke antara helaian kecoklatan rambut Masahiro. Ibu jarinya kemudian bergerak mengelus bagian belakang telinga pemuda itu, membuat Masahiro menggeliat dan memperdalam ciuman mereka.
Masahiro mengedipkan matanya dengan heran ketika Tori menjauh, terlalu cepat menyudahi ciuman mereka menurut Masahiro. Keningnya berkerut tak suka dan menggeram pelan. Wajahnya maju untuk mencium Tori lagi. Tapi dokter itu tersenyum kecil, mengecup pipi Masahiro dengan penuh perasaan. Bibir Masahiro pun merengut kesal, tampak begitu lucu di mata Tori. Disentuhnya bibir pemuda itu dengan ibu jarinya, mengusap lembut sambil tersenyum geli. Masahiro buru-buru menggenggam tangan Tori dan mengecupi buku-buku jari dokter itu sebagai ganti karena Tori tak ingin dicium lagi.
Bukannya Tori tak ingin, tapi jantungnya rasanya sudah tak kuat dan bagian bawah tubuhnya sudah mulai bersemangat. Kalau dilanjutkan, dia khawatir dia tak akan bisa menahan diri dan mereka masih di ruang prakteknya. Tori tak keberatan disebut kolot tapi ruangan itu jelas bukan pilihan Tori seandainya mereka akan bercinta saat itu juga. Wajahnya memanas begitu memikirkan itu apalagi Masahiro mulai mengecupi ujung-ujung jarinya dengan menggoda. Tori bergerak, membenamkan wajahnya ke dada Masahiro dan didengarnya pemuda itu tertawa pelan.
Dirasakannya sentuhan hangat dan sedikit basah di telinganya. “Aku ingin membawa Tori ke tempat tidur...” Mendengar itu, rasanya kepalanya berasap dan mungkin wajahnya sudah berubah semerah daun momiji di musim gugur. Dua tahun dia mengenal pemuda itu, Tori sebenarnya sudah tahu kalau saat-saat seperti ini akan terjadi juga. Tapi sekarang rasanya begitu aneh. Seperti tidak nyata. Karena itu dia diam, tak berani bereaksi.
Telinganya dikecup sekali lagi. “Kalau Tori tak mau, aku...”
Pemuda itu tak sempat menyelesaikan perkataannya karena Tori sudah menciumnya. Masahiro tersenyum senang dan penuh kemenangan. Terutama ketika Tori berbisik, “Tidak di sini.” dan menciumnya sekali lagi sebelum mendorongnya menjauh dan berjalan keluar ruangan.
Tori tak tahu harus berpikir apa. Tapi dia yakin dia menganggukkan kepalanya pada Masahiro sebagai jawaban.
Senseeei, di ruang praktek pun tak apa koook, cleaning service pasti mengerti.
ReplyDeleteHihihihihi ini kan Tori-nya masih pemalu ceritanya :p
ReplyDeleteAAAAAAA INI KEJAAAAMMMM MANA LANJUTANNYA?! *koprol kanan kiri*
ReplyDeleteawalnya malu-malu, lama-lama tak tahu malu.
ReplyDelete~berguling~
LANJUTKAAAAAAAN!
Iyaaaaaaaaaaa.... Sabaaaaaaaarrrrr.....
ReplyDeleteUWAAAAAAAAAAAA~~~~~~, pembukaannya dahsyat!
ReplyDeleteYES, ini yang gw perlukan!!!!! Tambahan hormon untuk menghilangkan bad mood.
*gelundungan*
Ayo, lanjutkan Ma-kun! Pepet terus Sensei XD
Aaaaw, kamu kenapa? *peluk*
ReplyDeleteHoahoahoahoahoa pepet terus! XDDD gue jd inget dosen gue LMAO
................................................. MAMA-SANNNNNNNNNNNNNNN~!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! lanjutannya mana?? *tadongin tangan*
ReplyDeletesensei~~~ kunci aja ruang prakteknya, terus tutup semua jendela. dijamin ga bakal ada yang intip~!!
wait, gue baru sadar, Ma.kun menunggu dua tahun untuk klimaks? /eh
ReplyDeleteSiapa bilang? *kan masih punya tangan kanan*
ReplyDeletedan poto sensei. *mengangguk*
ReplyDelete. . . . . . . ~susut airmata haru~
ReplyDeleteterharu kenapaaaaaa? LMAO
ReplyDeletedibo'ongin mulu. *towel*
ReplyDeleteiya, kasian ya LOL
ReplyDelete~peluk Masahiro Junior~
ReplyDelete/eh
susah meluknya, mending ditimang aja #eh
ReplyDeletelebih susah lagi, sembunyinya di celana ketat. cih.
ReplyDeleteMa-kun melindungi dengan baik *gunting celana ketatnya*
ReplyDelete~menonton sambil ileran~
ReplyDelete*buang nei karena ileran*
ReplyDelete