Monday, November 29, 2010

[fanfic] Takuya: Observe

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger/Tenipuri Musical
Pairing: KazukixTakuya, Ma-kunxTori
Rating: PG
Warning: BL. AU
Disclaimer: none of the characters are mine
Note: inspirasi dtg di kamar mandi :p


Takuya menggembungkan kedua pipinya dengan sebal. Terlihat lucu sekali karena dia melakukannya sambil mengunyah potongan strawberry short cake yang terhidang untuknya. Matanya berkali-kali melihat ke arah tangga, berharap sesosok tinggi akan turun setiap saat. Tapi tak ada seorang pun yang turun dari lantai atas sejak 30 menit yang lalu. Takuya menusuk-nusuk cake-nya dengan kesal.

Bagaimana tidak? Sudah susah-susah bangun pagi dan datang ke rumah Kazuki tapi pacarnya itu malah mendadak terima telepon dari luar negeri dan menghilang ke kamar kerjanya di atas tanpa penjelasan lebih lanjut. Lalu sekarang dia harus apa? Kalau pulang, di rumahnya juga sepi dan Takuya sudah mulai mengantuk.

"Baka Kazuki." Sungutnya, masih menusuk-nusuk cake tak bersalah itu sampai nyaris hancur.

Saat itu dia mendengar suara dari arah tangga. Kepalanya terangkat penuh harap tapi langsung kecewa begitu melihat kalau yang turun ternyata bukan Kazuki melainkan sang adik bungsu yang tetap tampak keren meskipun hanya mengenakan polo shirt dan celana kargo selutut. Takuya buru-buru menyuap lagi.

"Ara, Gyuunyuu-chan? Sedang apa?"

"Menunggu Kazuki." Jawab Takuya sambil bergumam kesal.

"Eh?" Pemuda jangkung itu mendekat. "Memangnya Aniki ke mana?"

Takuya mengangkat telunjuknya ke atas. "Conference call ke Amerika."

"Aaaah." Masahiro mengangguk maklum. "Bisa lama sekali tuh selesainya."

Takuya makin bete. Melihat itu, Masahiro pun tersenyum jahil. "Ikut aku saja, yuk."

"Ke mana?" Tanya Takuya. Alisnya terangkat.

"Kencan dengan Tori."

"Tidak mau!"

Masahiro tergelak. "Dibilang kencan juga, kami cuma jalan-jalan ke Shibuya kok. Ikut saja yuk. Tori tak akan keberatan kok. Daripada kamu jamuran di sini."

Takuya menggigit bibir. Sedikit tergoda. Lagi-lagi diliriknya tangga itu. Masahiro menarik tangannya.

"Sudah, ikut saja. Nanti biar aku yang sms Aniki. Ayo!"

Dan Takuya pun menurut saja diseret Masahiro pergi. Sekali lagi, dia mencuri pandang ke arah tangga dan mendesah. Salah Kazuki sendiri kenapa dia menerima telepon itu, pikirnya.

---

"Gyuunyuu-chan, tidak keberatan kan pindah ke belakang?" Masahiro bertanya sambil mengarahkan mobilnya mendekati sebuah bangunan apartemen.

Takuya mengangguk. Dari kejauhan dilihatnya sesosok yang mulai bisa dikenalinya dengan mudah. Tori berdiri menunggu di dekat gerbang. Terlihat santai dengan sweater tipis berkerah V dengan lengan tergulung sampai siku dan celana jeans warna gelap. Dia juga mengenakan sandal, jadi terlihat makin santai.

Sebuah senyum tersungging di bibirnya saat mobil Masahiro makin dekat. Kepalanya kemudian dimiringkan dengan bingung karena melihat bangku depan sudah terisi. Takuya keluar saat mobil sudah berhenti di samping Tori.

"Konnichiwa, Matsuzaka-sensei."

"Ah, Takuya-kun! Konnichiwa." Tori membalas dengan ceria. Dipandangnya Masahiro dengan tatapan bertanya setelah mereka masuk ke dalam mobil.

Masahiro nyengir. "Dia ditelantarkan Kazu-nii. Jadi aku ajak saja. Tak apa-apa kan?" Tanyanya.

Tori tersenyum dan mengangguk. "Tak apa-apa kok. Memangnya Katou-sensei kenapa?"

"Conference call dengan pemegang saham dari Amerika." Jawab Masahiro sambil menjalankan mobilnya setelah memastikan dua penumpangnya sudah memakai sabuk pengaman dengan baik.

Tori mengangguk-angguk lagi. "Takuya-kun sedang libur ya?" Tori menoleh ke bangku belakang.

Takuya mengangguk. "Kelas tiga sedang ujian dan tak ada kegiatan klub."

"Oh, sou?"

Tori mengajaknya ngobrol sepanjang perjalanan. Masahiro sesekali nimbrung dan mereka tertawa-tawa. Mood Takuya sedikit membaik. Ini jelas lebih baik daripada bengong menunggu Kazuki yang tak jelas kapan akan selesai. Takuya mengalihkan pandangannya ke luar jendela ketika menyadari kalau tangan kiri Masahiro tak pernah bersiaga di atas gigi tapi diistirahatkan di atas lutut kanan Tori. Tori pun selalu meletakkan tangannya di sandaran kursi pengemudi dan sesekali jari-jarinya memainkan anak rambut Masahiro.

Tak berapa lama akhirnya mereka sampai. Takuya baru sadar kalau ternyata mereka ada di Shibuya. Masahiro mengarahkan mobilnya ke sebuah tempat parkir paling strategis di daerah itu. Memberikan tip cukup besar pada si petugas sambil nyengir. Takuya mendengus. Dasar orang kaya, gumamnya.

"Gyuunyuu-chan, jangan bengong!" Masahiro menegurnya seraya melingkarkan satu lengannya ke pundak Takuya. Di sebelahnya, Tori tersenyum lebar. Takuya pun menurut saja lagi-lagi digiring memasuki Shibuya yang ramai itu. "Jangan jauh-jauh ya. Kalau kamu hilang, aku bisa dibunuh Aniki." Masahiro mengerling padanya.

Takuya memutar matanya.

"Mau ke mana dulu?" Didengarnya Masahiro bertanya pada Tori.

Tori mengerutkan dagunya dengan imut dan menunjuk sebuah department store. "Ke situ, yuk."

Seharian itu mereka berkeliling Shibuya. Keluar-masuk toko dan terkadang berhenti sebentar kalau melihat sesuatu yang menarik perhatian. Takuya pun mendapatinya dirinya menenteng satu tas berisi jaket baru. Tori mendapatinya memandangi jaket itu dengan penuh minat dan Masahiro berkeras membelikan. Kemudian baru lah dia tahu kalau ternyata Masahiro pernah jadi model untuk brand yang mengeluarkan jaket itu.

Takuya juga senang ikut ditaktir gelatto karena Tori memaksa ingin yang manis meskipun Masahiro sudah menolak. Takuya tak mengerti, apa salahnya sih membelikan gelatto untuk pacar sendiri? Setelah mereka menghabiskan gelatto dan kembali berjalan, barulah dia sadar kalau Tori jadi agak lebih ceria dibanding yang sebelumnya.

"Begitu ya? Sugar high rupanya." Ujarnya sambil terkikik sementara Masahiro geleng-geleng kepala.

"Kalau begini, Matsuzaka-sensei lucu ya." Komentar Takuya lagi sambil memperhatikan Tori yang sudah melesat ke kerumunan di depan mereka. Ada pesulap jalanan yang sedang mempertunjukkan kebolehannya.

Masahiro mengacak-acak rambut Takuya. "Kamu tak boleh naksir padanya loh."

Takuya langsung berontak. "Baka! Siapa juga yang begitu? Aku kan sudah punya Kazuki." Takuya menjulurkan lidahnya.

Masahiro terkekeh, sekali lagi mengacak rambut Takuya dan lari menghindar dari Takuya yang berusaha menendangnya. Takuya menghela nafas. Masahiro memang lebih tua darinya tapi kadang Takuya merasa kalau pemuda itu seumur dengannya. Dia senang sih, karena kalau sedang menunggu Kazuki di rumah sakit dan kebetulan ada Masahiro, dia jadi punya teman main. Setidaknya sampai Tori datang. Tapi dokter muda itu pun selalu dengan ramah mengajaknya bergabung dan menemani sampai Kazuki selesai.

Dilihatnya Masahiro mendekati Tori dan melingkarkan lengannya ke pinggang dokter itu. Tori menoleh dan tersenyum lebar sebelum mengalihkan perhatian ke arah si pesulap lagi. Masahiro mendekatkan kepalanya dan membisikkan sesuatu ke telinga Tori yang membuatnya terkikik dan menyikut perut Masahiro. Takuya menyusul, berdiri tak jauh di belakang kedua orang itu. Ikut bertepuk tangan karena si pesulap baru saja mengubah asistennya jadi sesekor keledai.

Tori menyandarkan kepalanya ke pundak Masahiro sementara si pesulap melakukan proses mengembalikan asistennya ke wujud semula. Takuya mulai berdiri dengan gelisah. Bukan karena khawatir si pesulap tak bisa mengembalikan asistennya, tapi karena melihat Masahiro mengecup kepala Tori dan Tori pun mengangkat kepalanya. Takuya terperangah saat melihat dua orang itu bertukar kecupan kecil di bibir dan tersenyum satu sama lain. Kembali memperhatikan si pesulap seolah tak ada apa-apa.

Takuya merasa wajahnya memerah. Terang-terangan sekali mereka, pikirnya. Memang, Kazuki sudah cerita kalau dua orang itu akan menikah jadi wajar saja kalau mesra begitu. Sebenarnya pemandangan seperti itu sudah tak aneh karena di rumah pun dia biasa memergoki orangtuanya sedang bermesraan. Mungkin Takuya iri, karena perkembangan hubungannya dengan Kazuki berjalan sangat lambat. Tapi Takuya senang karena sekarang Kazuki sudah mau menggandengnya di tempat umum. Yah, memang tak bisa mengeluh, mau bagaimana lagi?

"Takuya-kun! Makan yuk!" Tori memanggilnya sambil melambaikan tangannya.

Mendengar kata 'makan' disebut, Takuya langsung menghampiri dengan semangat. "Kare!" Serunya sambil mengangkat tangan.

"Kare ya?" Masahiro bergumam, memandang sekeliling seperti mencari-cari.

Saat itu telepon genggam Takuya berdering. Takuya buru-buru merogoh sakunya dan membuka flip teleponnya. Wajah dan nama Kazuki terpampang di layar.

"Mo-"

"Kuu-chan! Kamu di mana?" Sergah Kazuki dengan panik.

Kening Takuya berkerut. "Eh? Aku pergi dengan Inoue-kun. Bukannya Kazuki sudah diberitahu?" Takuya menoleh pada Masahiro yang nyengir lebar dan menjulurkan lidahnya dengan jahil.

"Dengan Masahiro? Sungguh?"

Takuya mengangguk. "Sama Matsuzaka-sensei juga."

Di seberang sana, Kazuki menghela nafas. Lega karena paling tidak Takuya aman bersama Masahiro. "Kalian di mana? Sudah makan?"

"Un. Kami di Shibuya. Baru mau makan." Jawab Takuya.

"Aku menyusul sekarang. SMS tempatnya ya." Ujar Kazuki.

"Okay. Sampai nanti." Takuya menutup teleponnya dan langsung menghampiri Masahiro untuk memukul lengannya. Pemuda itu berjengit dan tertawa terbahak-bahak.

"Ma-kun." Tegur Tori.

"Habis, salah Aniki juga sih. Punya pacar kok dianggurin terus. Kasihan kan?" Tukasnya membela diri.

"Tapi jangan begitu dong. Katou-sensei kan jadi khawatir." Tori mencela.

"Huh. Biar saja." Masahiro meletakkan tangannya di atas kepala Takuya. "Biar belajar memperlakukan pacar dengan baik. Yuk, jadi makan tidak?"

Takuya mengangguk, agak malu karena ternyata Masahiro memperhatikan hubungannya dengan Kazuki. Diikutinya dua orang itu menyeberang jalan menuju sebuah restoran kare. Mereka harus menunggu sebentar karena restoran itu sedang ramai pengunjung dan semua meja penuh. Takuya mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada Kazuki.

-CocoIchi Curry. Shibuya. Kazuki mau dipesankan apa?-

Untunglah mereka tak harus menunggu lama. Seorang pelayan mengantar mereka ke meja di dekat jendela, memberikan menu dan meletakkan 3 gelas berisi air mineral di depan mereka.

Tori membuka menu. "Masahiro mau yang biasa?" Dan dijawab dengan anggukan. "Takuya-kun?"

Ponsel Takuya bergetar. Pesan masuk.

-Apa saja boleh. Terserah Kuu-chan saja. Lima menit lagi aku sampai-

Takuya tersenyum kecil. "Aku... Hamburger curry dan sesuatu yang pedas untuk Kazuki."

"Oh, menyusul ya?" Masahiro mengangkat alis.

Tori mengangkat tangannya memanggil pelayan dan memesankan untuk mereka.

"Jadi, upacara pernikahannya kapan?" Tanya Takuya setelah si pelayan pergi. Tori berhenti minum dan Masahiro mengangkat kepala dari ponselnya.

"Kenapa anak kecil mau tahu itu?" Sergah Masahiro. Leher dan telinganya memerah.

"Memangnya tidak boleh?" Takuya merengut.

Tori menyikut pelan pinggang Masahiro lalu tertawa. Terlihat tersipu. "Masih agak lama, kok. Paling tidak menunggu dia lulus." Tori mengedikkan kepalanya ke arah Masahiro.

"Hee... Matsuzaka-sensei tak apa-apa menunggu selama itu? Sudah dua tahun kan?" Tanya Takuya polos.

Tori tertawa. "Belum dua tahun kok." Tori melirik Masahiro yang pura-pura sibuk dengan ponselnya lagi. "Keputusannya agak buru-buru jadi kami tak ingin bergerak lebih cepat lagi. Ne?"

Masahiro mengangkat bahu. "Ibuku juga tak akan mengijinkan kalau aku belum lulus."

Takuya menopang dagu. "Repot juga ya."

Tori tertawa. "Apanya?"

Masahiro nyengir jahil. "Makanya, cepat tumbuh besar jadi bisa melakukan ini-itu dengan Aniki."

"Baka!" Takuya melempar tisu ke arah Masahiro dan tepat mengenai dahi. Masahiro terbahak-bahak. Tori memukul lengan Masahiro tapi ikut tertawa juga.

"Melakukan apa denganku?" Sebuah suara membuat mereka bertiga menoleh. Kazuki berdiri di samping meja mereka dengan ekspresi penuh ingin tahu. Tori mengangguk sopan, Masahiro hanya nyengir dan wajah Takuya masih bersemu merah.

Kazuki duduk di satu-satunya kursi yang tersisa, di sebelah Takuya. Ditepuknya kepala anak itu dengan lembut. Takuya menoleh dan akhirnya tersenyum kecil.

"Payah. Cium dong." Goda Masahiro.

"Ma-kun!" Tegur Tori sambil menggigit bibir menahan tawa.

Kazuki mendelik dan wajah Takuya makin merah. Dia baru saja mencari-cari sesuatu untuk dilempar ke arah pemuda jahil itu tapi urung karena makanan mereka datang. Saat makan pun, Takuya memperhatikan pasangan di depannya. Masahiro sibuk memindahkan isi kare yang tak disukainya ke piring Tori sementara Tori sendiri memberikan rotinya pada Masahiro. Mereka melakukannya sambil mengobrol. Takuya melirik pacarnya yang makan dalam diam. Wajahnya serius sekali. Sadar diperhatikan, Kazuki menoleh dan mengangkat alis.

"Kenapa? Terlalu pedas? Mau dimintakan air lagi?" Tanyanya.

Takuya menggeleng dan kembali makan. Memang beda sekali ya, pikir Takuya. Mungkin memang tak bisa dibandingkan, Takuya menyimpulkan.

Setelah meninggalkan restoran itu, mereka masih melanjutkan berkeliling Shibuya. Toh, "Kazu-nii sudah susah-susah menyusul, jadi rugi kalau langsung pulang, kan?" ujar Masahiro.

Matahari sudah mulai condong ke barat dan bersinar terang ke arah jalan yang mereka lewati. Tori melindungi matanya dengan tangan dan Masahiro mengulurkan kacamata hitam yang sedari tadi menggantung di kerahnya. Karena sibuk memperhatikan, Takuya tak sadar kalau Kazuki sudah bergeser ke sisinya yang lain, menutupi sinar matahari dengan tubuhnya yang menjulang.

Masih sesekali berhenti untuk melihat sesuatu, Takuya melihat bagaimana tangan Tori mencari tangan Masahiro dan disambut dengan lembut. Jari-jari mereka saling mengait erat. Lagi-lagi mereka melakukannya tanpa perlu saling melihat atau meminta. Takuya melirik ke arah Kazuki dan setengah kecewa karena kedua tangan pria itu diselipkan ke dalam jaket kulit yang dikenakannya. Setengah menghela nafas, Takuya mengulurkan tangan dan menggamit lengan Kazuki. Kazuki melihat ke arahnya dan Takuya tersenyum manis.

Memang tak bisa dibandingkan tapi begini saja, Takuya sudah cukup senang. Setidaknya untuk saat ini.

Saturday, November 27, 2010

[fanfic] AU TotanixMurai: Sweets

Title: Sweets
Author: Panda^^
Fandom: Kamen Rider DCD, Samurai Sentai Shinkenger, TeniMyu *digampar*
Cast: Totani Kimito, Murai Ryouta, Inoue Masahiro dan bintang tamu
Rating: G
Warning: none
Disclaimer: I do not own anyone
Note: karena ngidam es krim dan pengen yang manis2.



"Kau yakin kue-kue di sini enak?" Masahiro bertanya dengan nada skeptis. Kedua tangannya diselipkan ke saku belakang jeans ketat yang memeluk kaki panjangnya dengan sempurna. Kepalanya menengadah, menatap papan nama toko itu dengan tatapan meragukan. "La Petit Pattiserie" terpampang dengan apik di bubungan atas pintu masuk. "Aku belum pernah dengar apapun tentang toko ini."

Yang ditanya hanya mengangkat alisnya. "Tentu saja. Ingat apple pie yang kubawakan dulu? Aku beli di sini."

Masahiro mengangkat bahu. "Yah, memang enak sih. Tori juga suka sekali. Ya sudah, silakan duluan, Totani-san."

Kimito memutar matanya. Dengan santai, didorongnya pintu kaca toko kue itu. Bunyi berdenting terdengar, memberi tanda pada pemilik toko kalau ada pelanggan datang. Masahiro mengikuti temannya masuk. Kimito langsung melenggang ke counter. Seorang perempuan setengah baya sedang melayani seorang pria tinggi besar yang tampak kebingungan memandang deretan jenis kue yang tersaji. Sementara di sebelahnya, seorang anak laki-laki berambut keriting sedang terkikik geli.

"Cream puff itu yang ituu, pops. Payah deh. Beneran nggak tahu ya?" Masahiro mendengar anak itu berujar sambil menunjuk ke arah deretan kue bulat gendut berisi cream. Pria besar yang ternyata ayahnya itu menjitak kepala si anak.

Masahiro hanya nyengir melihat pemandangan itu dan mengalihkan perhatiannya pada temannya yang sudah berbicara pada pegawai toko yang lain. Kimito mencondongkan badannya, nyaris bersandar ke kaca counter. Lengannya menumpu di atas permukaan kaca itu. Pemuda di depannya melakukan hal yang sama di seberang Kimito. Hanya saja, dia harus agak berjinjit karena kakinya tak sepanjang Kimito, apalagi Masahiro.

Meskipun begitu, Masahiro harus mengakui kalau wajah pegawai toko itu manis juga. Matanya berbinar-binar ceria saat berbicara. Senyumnya pun bagus; lebar dan tak dibuat-buat. Tapi, tentu saja masih belum bisa mengalahkan senyum manis Tori, pikir Masahiro sambil mengangkat dagu dengan sombong. Senang karena lagi-lagi menang satu skor dari Kimito.

Pemuda itu melihatnya, mengangguk sopan lalu berbicara lagi pada Kimito. Kimito menoleh, mengibaskan tangannya sebagai isyarat pada Masahiro agar mendekat.

"Ini temanku," Kimito memperkenalkan, mengedikkan kepalanya ke arah Masahiro. "Inoue Masahiro. Inoue-kun, ini anak pemilik pattiserie ini, Murai Ryouta." Tangannya dibuka dan menunjuk yang dimaksud.

Pemuda itu tersenyum lembar sekali lagi, mengangguk pada Masahiro. "Ah, yoroshiku. Teman sekolah?" Perhatiannya ditujukan pada Kimito.

"Teman SMP. Sekarang sih sama-sama model." Jawab Masahiro acuh sebelum Kimito sempat menjawab. "Sekolah di SMP mana?" Tanyanya kemudian.

Mulut pemuda itu, Ryouta, menganga lalu mengerang protes. "Mou, memangnya aku sekecil itu? Aku kelas XI di Hyoutei!" Tukasnya mengoreksi.

"Oh ya? Hyoutei?" Masahiro masih tak percaya.

"Iya." Ryouta mengangguk. "Begini-begini, aku di klub tenis loh." Ujarnya bangga.

"Hoo..."

Ryouta mencibir melihat reaksi setengah tak tertarik itu. Kimito cekikikan dan Ryouta balas merengut padanya.

"Punya kue apa hari ini?" Tanya Kimito mengalihkan pembicaraan sebelum Ryouta benar-benar ngambek.

Ryouta langsung terlihat antusias. "Ah! Kebetulan aku baru saja buat pie. Tapi masih 5 menit lagi baru siap. Tak apa-apa menunggu? Coba kue yang lain saja?" Tawarnya.

Kimito menggeleng. "Aku tunggu saja. Kamu?" Tolehnya pada Masahiro yang tampak tertarik dengan strawberry tartlet. Pemuda itu lagi-lagi hanya mengangkat bahu.

"Kalau begitu, tunggu di sana ya." Ryouta menunjuk ke meja kosong di sudut toko mungil itu. "Mau minum apa?"

"Aku mau Citrus Melba."

"Iced coffee saja."

Kedua jawaban itu datang pada waktu yang bersamaan. Ryouta berkedip, memproses apa yang baru saja didengarnya dan tersenyum lebar. Kepalanya mengangguk tanda mengerti. "Kashikomarimashita."

Masahiro langsung berbalik menuju meja yang ditunjuk Ryouta tadi dan duduk sambil menyilangkan kaki. Dilihatnya Kimito masih berbicara dengan Ryouta. Kimito menyerahkan sesuatu pada pemuda itu dan Ryouta, tampak bingung sejenak tapi langsung tersenyum lebar. Masahiro mengalihkan perhatiannya. Ayah-anak yang tadi baru saja hendak meninggalkan toko saat si anak menoleh dan melihat Masahiro.

"Aaah! Adiknya pacarnya manajer!" Serunya sambil melambaikan tangan dengan ceria karena mengenali Masahiro.

Yang disapa hanya meringis dan balas melambai seperlunya. Sang ayah memandang dengan penuh ingin tahu sebelum mereka pergi.

"Siapa?" Tanya Kimito sambil menghempaskan pantat ke kursi. Kakinya juga disilangkan dengan santai.

"Teman pacarnya Kazu-nii." Jawabnya sekenanya dan Kimito hanya mengangguk-angguk dengan penjelasan singkat tapi rumit itu.

Tak berapa lama, Ryouta muncul membawakan minuman mereka beserta dua piring pie.

"Ini Alaskan Snow Pie. Sudah diuji coba oleh ayahku, jadi rasanya benar-benar bisa dijamin." Ujar Ryouta berkelakar.

Kedua tamunya menatap pie berlapis meringue kecoklatan itu. Kimito langsung mengambil garpu dan memotong. Ternyata di dalamnya ada lapisan es krim raspberry. Dikunyahnya pie itu dan matanya tertutup karena nikmatnya perpaduan renyah kacang almond, harum kayu manis, getir raspberry dan manis meringue di dalam mulutnya. Ryouta menarik kursi, menanti dengan antusias.

"Enak." Ujar Kimito sambil meraih suapan kedua. Potongannya kali ini lebih besar.

Masahiro mengangguk-angguk setuju. "Enak sekali."

Ryouta tersenyum puas.

"Bungkuskan dua ya." Masahiro berujar lagi sembari berpikir dalam hati kalau Tori juga pasti akan suka sekali kue ini. Cemilan malam ini kalau Masahiro berkunjung ke apartemennya nanti.

Ryouta tertawa dan mengangguk. "Boleh. Kimi-chan juga?" Tanyanya pada pemuda berambut panjang yang sejak tadi hanya sibuk mengunyah.

Kimito menggeleng. "Aku mau tambah." Kimito mengangsurkan piringnya yang sudah kosong, hanya menyisakan remah-remah kecil di atasnya.

"Kuambilkan ya." Ryouta terkikik senang lalu beranjak pergi. Tepat saat itu terdengar bunyi berdenting dan dua orang gadis memasuki toko itu. Ryouta langsung menyambut mereka dengan ramah.

Masahiro memotong jadi dua potongan terakhir pie di hadapannya. "Ne."

Kimito menoleh, sejak tadi memperhatikan Ryouta yang sekarang sedang melayani dua gadis tadi. Tangannya terangkat, merapikan ujung-ujung rambut yang masih agak lengket karena hair spray.

"Anak itu yang buat kue ini?"

Kimito mengangguk lalu mengangkat alis. "Sekarang baru percaya omonganku soal toko ini?"

Masahiro terkekeh. Diambilnya Citrus Melba-nya dan menyesap pelan. "Tapi, kamu tahu toko ini dari mana?"

Kimito mengangkat bahu. "Sekedar lewat."

"Untung saja kue-kuenya enak." Tukas Masahiro.

"Yah," Kimito mengangkat gelasnya lalu melirik ke arah Ryouta yang masih sibuk di belakang counter. Sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyum simpul penuh arti. "Aku kan memang suka yang manis-manis."

-----

Alaskan Snow Pie: allrecipes.com/Recipe/Alaskan-Snow-Pie/Detail.aspx

Thursday, November 25, 2010

[fanfic] AU MatsuzakaxInoue - Slow

Fandom: Kamen Rider DCD/Shinkenger
Pairing: Matsuzaka Inoue
Rating: NC-17
Warning: tak ada kata di-ko-cok atau di-pom-pa. Maaf mengecewakan #eh
Disclaimer: I do not own anyone, anything. Not even a virtual version of Tori's undies *hicks*
Note: Buat Icha




"Masahiro, tunggu...ungh..."

Pemuda jangkung berambut kecoklatan itu memilih untuk tidak menggubris meskipun pacarnya berusaha mendorong bahunya menjauh. Diciumnya pria yang berusaha meronta di bawahnya agar diam sementara tangannya sibuk berusaha melepas celana piyama sang pacar.

"Ma--umph...ah!"

Masahiro nyengir penuh kemenangan karena berhasil menyelipkan tangannya dan menyentuh sang pacar di tempat yang dia tahu akan membuat pacarnya mengerang dan akhirnya menyerah.

Sayangnya, perkiraannya kali ini salah. Pacarnya bergerak menjauh dan menggigit bibir pemuda itu kuat-kuat.

Masahiro mengumpat dan langsung menjauh. "Tori! Sakit, tahu!" serunya sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangan, khawatir berdarah.

Tori buru-buru duduk merapat ke kepala tempat tidur. Kakinya didekap di dada dan merengut sebal. "Salah sendiri kenapa memaksa." Sungutnya.

Masahiro mendekat lagi tapi kemudian urung karena Tori menatapnya dengan galak. Keningnya berkerut hebat. Tori belum pernah menolaknya selama ini. Meskipun bilang capek atau ngantuk, tapi dokter itu tetap meladeni Masahiro. Bahkan kadang kala Tori malah jadi semangat sekali.

Pandangan heran pun berubah jadi curiga. Tori mendengus, tangannya terjulur menyentil ujung hidung Masahiro.

"Jangan berpikir aneh-aneh."

Masahiro ikut merajuk. Bagaimana tidak berpikir aneh-aneh kalau mendadak Tori bertingkah seperti itu. Bagian bawah tubuhnya sudah terlanjur bersemangat sekali dan tiba-tiba dihentikan. Rasanya kan tidak enak sekali. Pemuda jangkung itu berpaling dan berbaring. Punggungnya diarahkan pada Tori.

Tidak tahu apa kalau dia sudah kangen sekali?

"Yang protes itu seharusnya aku. Bukan kamu." Tori menusuk punggung Masahiro dengan kakinya.

Masahiro beringsut menjauh. Kesal.

"Ya sudah. Kalau begitu aku pulang saja." Ujar Tori sambil beranjak turun dari tempat tidur.

Masahiro langsung bereaksi. Secepat kilat berbalik dan menangkap pinggang Tori sampai dokter itu jatuh ke tempat tidur. Masahiro memeluknya erat. "Tidak! Tak boleh pulang! Zettai dame!"

Tori mendesah. "Makanya dengarkan, dong."

Masahiro menggembungkan pipinya. "Memangnya Tori tidak kangen padaku?"

Tori meletakkan tangannya di atas lengan Masahiro yang masih melingkar di pinggangnya. "Tentu saja kangen."

"Kalau begitu kenapa?"

Tori menarik nafas. Wajahnya mendadak bersemu merah. "Punggungku sakit." Ujarnya pelan.

Masahiro mengedip. Sekali. Dua kali.

"Oh."

Tapi kemudian teringat sesuatu. "Tapi... kita kan sudah beberapa hari tidak bertemu. Yang terakhir kan..."

Tori buru-buru memotong. "Bukan, bodoh!" Tukasnya. Wajahnya sudah semakin merah. "Beberapa hari ini banyak pasien jadi aku terlalu lama duduk atau menunduk. Aku juga belum sempat mampir ke tempat Souta-sensei untuk fisioterapi."

"O--oh." Masahiro mengangguk-angguk. "Kalau begitu, kenapa tidak bilang dari tadi?" Tanyanya.

Tori mencubit lengannya. "Mana sempat bilang kalau kau keburu mendorongku ke tempat tidur seperti itu."

Masahiro tetap tak mau disalahkan. "Kan Tori bisa bilang waktu aku jemput di rumah sakit tadi."

"Aku kan bilang kalau mau mampir ke tempat Souta-sensei dulu. Kamu saja yang bersikeras tidak mau menunggu."
Pemuda itu melepaskan pelukannya di pinggang Tori, kembali berbaring dan memasang punggungnya lagi. "Kan tadi aku bilang kalau aku kangen."

Tori menghela nafas dan beringsut mendekat. Dagunya diletakkan di atas lengan Masahiro. Tersenyum geli melihat ekspresi pacarnya itu dan ditusuknya pipi Masahiro yang masih menggembung itu.

"Jangan ngambek, dong. Kan bukan mauku punggungku sakit."

"Iya, iya, tahu." Ujarnya sambil bangkit.

Tori memiringkan kepalanya. "Mau ke mana?"

Masahiro bergumam dengan wajah merah. "Kamar mandi."

Tori menatapnya beberapa saat dan tersenyum simpul seolah mengerti. Ditariknya tangan Masahiro sampai pemuda itu terduduk lagi. Didorongnya bahu pemuda jangkung itu dengan lembut sampai berbaring. Dia sendiri berbaring miring di samping Masahiro, menyelipkan kakinya di antara kaki panjang Masahiro dengan menggoda.

Masahiro menatapnya dengan bingung saat Tori mulai mengecupi pipi dan garis rahangnya. Meskipun senang juga diperlakukan begitu.

"Punggung Tori sakit kan?" Tanyanya memastikan.

Tori hanya tersenyum simpul. Jari telunjuknya menekan lembut bibir Masahiro. "Tak usah banyak bicara."

Masahiro menurut. Apalagi tangan Tori sudah bergerak turun mengelus dadanya. Lalu turun ke perut, mengelus dan meraba setiap otot dan lekuk. Bibirnya sibuk mengecupi leher dan rahang Masahiro. Masahiro menarik nafas, mengantisipasi saat tangan Tori bergerak turun lagi, semakin dekat dengan bagian bawah perutnya.

"Tori..." Panggilnya dengan suara serak.

Tori pun menciumnya. Hangat dan dalam, menyampaikan kalau dia pun benar-benar rindu. Masahiro menggeram pelan. Tangannya menyentuh kepala Tori, menyelipkan jari-jarinya ke dalam rambut Tori yang selalu terasa begitu halus. Dibalasnya ciuman Tori dan membuka mulutnya dengan sukarela agar lidah Tori dapat menyerbu masuk dengan mudah.

Tori tersenyum di sela ciuman mereka. Menggunakan kesempatan untuk menyelipkan tangannya ke dalam celana Masahiro dan membuat pemuda itu mengerang dari dalam tenggorokannya. Pinggul Masahiro terangkat, mencari sentuhan tangan Tori. Tori menggunakan pinggulnya untuk menahan pinggul Masahiro yamg diprotes dengan erangan sebal karena bibirnya masih sibuk membalas ciuman Tori.

Pun, erangannya berubah menjadi erangan pelan saat jemari Tori melingkar dan menggenggam dengan lembut. Tangan Tori terasa hangat dan sentuhannya di kulitnya membuat Masahiro makin terangsang. Seluruh sarafnya jadi semakin sensitif dan sesuatu menjalar sepanjang tubuhnya.
"Begini dulu tak apa-apa kan?" Bisik Tori, menyentuhkan kening mereka dengan lembut.

Masahiro mengangguk dan menutup matanya, menyerah pada sensasi yang disebabkan tangan Tori yang mulai bergerak pelan. Jari-jarinya menekan di satu titik dan baru saja Masahiro mulai menikmati, jari-jari itu sudah berpindah ke titik lain. Menyiksa sekaligus memberikan kenikmatan yang aneh. Yang lebih menyebalkan, Tori bergerak terlalu pelan.

"Tak bisa...aaah...lebih cepat...?"

Tori menggeleng dan mengecup pipi Masahiro. "Aku ingin Masahiro menikmati ini."

"Tapi...ah! Ini namanya...ngh... Penyiksaan..."

Tori menggigit pelan daun telinga Masahiro. "Kalau protes terus, aku pulang nih."

Tentu saja dia tak mau Tori pergi. Sambil menggerundel pelan, kepalanya terangkat untuk mengecup pipi Tori dan menurut saja. Tersenyum penuh kemenangan, Tori menggerakkan tangannya lagi. Kali ini dengan sengaja hanya menyentuh ujung kemaluan Masahiro. Ibunya jarinya bergerak memutar di kepala, menyebarkan cairan bening yang terbentuk ke kulit Masahiro dan ke tangannya sendiri. Jari tengah dan telunjuknya menekan pelan tepat di bagian bawah lipatan kulit yang sensitif lalu bergerak turun nyaris ke pangkal. Masih dengan tekanan yang sama.

Otomatis, pinggul Masahiro menyentak, seiring dengan lenguhan pelan. Nyaris. Kalau saja Tori tak bergerak lagi. Tori terkekeh. Senang dengan reaksi yang didapatnya. Diulanginya sekali lagi dan Masahiro mengumpat.

"Senang ya...ah! Menyiksaku begini? Ahn! Jangan...ooh, yaa..di situ..."

Tori nyaris terbahak dengan pernyataan Masahiro yang tak konsisten itu. Dirasakannya kemaluan Masahiro berdenyut, makin hangat dan makin keras dalam genggamannya. Diperhatikannya wajah Masahiro yang memerah. Peluh mulai terbentuk di garis rambut dan dahinya. Giginya yang putih menggerus bibir bawahnya, berusaha sekuat tenaga menahan sensasi gesekan tangan Tori di kulitnya yang makin lama terasa makin panas.

Tori memutar tangannya, menyentuh titik lain yang akan membuat Masahiro lupa diri. Bergerak ke pangkal, naik ke tengah, menekan pelan lalu kembali ke pangkal. Sesekali dengan sengaja menggesekkan ibu jarinya dengan lebih keras di ujung.

Masahiro mulai terengah. Tangannya menggerut seprai sementara yang lain merenggut rambut Tori, menuntut ciuman lagi karena tak sanggup menahan dan tak tahu harus bagaimana.

"Tori..." Masahiro menatapnya, setengah memohon. "Aku...mnghm...ah!"

Hentakan-hentakan pelan dan panjang. Diiringi dengan genggaman yang dieratkan tiap kali bergerak naik. Jari-jari kaki Masahiro melengkung nikmat. Pinggulnya mulai meronta lagi dan Tori harus menahannya sekuat tenaga.

Tangan Masahiro mencengkeram lengan Tori dan dokter itu berjengit menahan nyeri. Tori menciumnya lagi.

"Tori...Tori...Tori..." Masahiro mulai mengerangkan namany dan Tori pun akhirnya jatuh kasihan. Tangannya menyentak lagi. Kemudian, ibu jarinya bergerak ke satu titik, tepat di bawah ujung kemaluan Masahiro. Tori menekan dengan ujung jari, membuat gerakan melingkar kecil dan hanya itu yang dibutuhkan untuk membuat Masahiro melemparkan kepalanya ke dalam bantal, punggungnya melengkung, dan mengerang panjang sementara cairan putih meluncur keluar dari ujung kemaluannya, mengotori perutnya dan telapak tangan Tori.

Tori menuntaskan, masih menghentak beberapa kali sampai Masahiro benar-benar selesai dengan klimaksnya. Dikecupnya pipi Masahiro penuh sayang. Masahiro langsung memeluk Tori dan menciumnya dengan penuh nafsu. Akhirnya Masahiro menjauh dari Tori dan hanya berbaring telentang, dadanya bergerak naik turun seiring dengan nafasnya yang masih memburu.

"Kore de ii yo ne." Tori mengusap rambut kecoklatan Masahiro.

"Yada." Masahiro menjawab cepat. "Besok kuantar ke tempat pijat langganan Kazu-nii."

--

Maaf ya, Cha. Cuma segini aja jadinya

Monday, November 22, 2010

[fanfic] AU Ma-kunxTori - fic berantem finale

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: dangdut bgt
Disclaimer: I don't own anyone
Note: OWATTA! Maafkan aku, Icha. Stensilannya tak jadi :p



Sedan sport hitam itu berhenti dengan mulus di depan garasi besar yang biasanya menampung lima mobil lain. Masahiro membereskan barang-barangnya dengan malas dan asal saja memasukkan handphone, dompet, kacamata hitam, dan kunci ke dalam tasnya. Turun dari mobil dengan gaya acuh seperti biasa, Masahiro menekan tombol pengunci sambil berjalan masuk ke rumah lewat pintu penghubung garasi dan dapur.

Beberapa pelayan sudah mulai sibuk menyiapkan makan malam. Mereka membungkuk hormat pada Masahiro yang sempat mengintip sebentar apa yang mereka buat. Air liurnya terbit begitu melihat onggokan mashed potato di atas panci dan dengan sengaja lewat sambil mencolek sejumput dengan ujung jarinya. Seperti biasa, masakan di rumahnya memang selalu enak. Seorang pelayan memanggilnya tapi tak diindahkan oleh pemuda itu.

Kaki panjangnya melompati anak-anak tangga dengan mudahnya. Matanya iseng berkelana ke ruang tengah dan pintu kaca yang membuka ke teras samping dan kolam renang. Ada seseorang di sana. Duduk di atas bangku kayu di dekat kolam sambil menunduk. Masahiro mengerutkan kening dan berhenti. Sosok itu terlihat begitu familiar. Masahiro mengenali jaket berwarna merah darah itu dan begitu sosok itu menoleh, Masahiro langsung melesat turun lagi, tasnya dilempar begitu saja entah kemana.


Tori menyibukkan diri dengan memandangi kebun samping dan kolam renang milik keluarga Keigo itu. Berapa kali dilihat pun, sepertinya dia tak akan pernah berhenti kagum. Rumah itu kosong saat dia datang satu jam yang lalu. Tori hanya tahu kalau Katou-sensei dan Kubota-sensei masih di rumah sakit.

Pelayan yang membukakan pintu memberitahunya kalau "Tuan muda masih di kampus. Apakah Matsuzaka-sensei mau menunggu di kamar Tuan muda? Nanti teh-nya akan diantarkan." Tori menolak dengan halus dan memilih untuk menunggu di teras saja.

Sudah tiga hari dan dia semakin menderita karena perasaannya makin tak karuan. Tori sudah tak tahan karena rasanya lelah sekali dan dia bosan merasa sakit. Mengikuti saran ayahnya, akhirnya hari itu dia memberanikan diri untuk datang ke rumah Masahiro. Meskipun begitu, sejak tadi tangannya berkeringat dingin.

Sudut matanya menangkap bayangan seseorang berdiri di dekatnya, Tori menoleh dan menelan ludah. Masahiro berdiri tak jauh dari pintu, sedikit terengah dan memandangnya dengan tatapan tak percaya. Tori balas memandangnya. Pemuda itu masih terlihat sama. Masih terlihat tampan, cara berdirinya pun masih sama.


Masahiro mendekat dengan ragu-ragu. Balas mengamati Tori dengan hati-hati. Kepalanya dimiringkan ke kiri dan akhirnya berujar,

"Kenapa...wajahmu pucat sekali?"

Tori hanya menggeleng. Senyum yang biasanya mengiringi pun tak tampak. Tori yang hanya diam seperti itu membuatnya takut. Dia ingat perkataan Kubota kalau dia harus minta maaf, tapi saat ini Masahiro benar-benar khawatir.

Dengan salah tingkah, dia mendekat lagi dan duduk di sebelah Tori. Tori beringsut menjauh. Nafas Masahiro tercekat melihat jarak antara dirinya dan Tori tapi tak bisa berkata apa-apa. Toh semua ini memang salahnya.

Mereka duduk dalam diam beberapa lama.


"Aku siap mendengarkan." Suara Tori yang berat dan lirih akhirnya memecah keheningan yang terasa begitu berat itu.

Masahiro menunduk. Jari-jarinya dikaitkan agar tak terlalu gugup. "Aku... tak punya alasan yang bisa membenarkan tindakanku."

Mereka terdiam lagi. Masahiro mulai bergerak-gerak gelisah. Kakinya ganti disilangkan berkali-kali.

"Aku tak ingin Tori menganggapku tukang selingkuh." Masahiro akhirnya berujar. "Aku tahu dengan riwayat pacaranku, aku terlihat seperti itu dan mungkin Tori jadi bertanya-tanya setelah melihatku apa selama ini aku begitu di belakang Tori. Jawabannya adalah tidak. Itu kebodohan dan aku tidak menikmatinya sama sekali. Aku bahkan tak tahu apa yang membuatku berpikir aku boleh melakukan itu. Apalagi ternyata Tori melihatnya."

"Jadi kalau aku pulang sesuai rencana dan tak memergokimu, kamu tak akan mengaku?"

Masahiro hendak membuka mulut tapi segera menelan kata-katanya lagi. Dia ingin menjawab kalau tentu saja dia akan mengaku tapi itu berarti dia akan berbohong. Tak mungkin Masahiro akan mengaku kalau dia tahu dia hanya akan menyakiti Tori.

Tori tak tahu harus merasa senang, sedih, kecewa atau apa melihat reaksi yang jujur itu. Dokter muda itu menghela nafas. Masahiro berjengit mendengarnya. Rasanya puluhan kali lebih buruk daripada dimarahi ibu atau kakak-kakaknya.

"Kamu mau tahu apa yang kupikirkan?" Tanya Tori pelan tak berapa lama kemudian.

Masahiro mengangguk kecil, melirik Tori dengan takut-takut.

"Dulu aku sakit hati sekali lalu kamu datang dan aku percaya sepenuhnya padamu. Karena itu kupikir, melihat perjuanganmu, kamu akan lebih hati-hati dengan hati dan perasaanku."

Masahiro menelan ludah. Pundaknya terasa berat sekali.

"Aku tak ingin sampai harus berpikir kalau selama ini anggapanku tentang kamu ternyata salah. Aku tak suka berpikir begitu karena rasanya sedih sekali. Aku tak pintar mengatasi sakit hati tapi kalau kamu memang sudah tak butuh aku lagi, aku ingin kamu punya keberanian untuk mengatakannya dengan jelas padaku."

Masahiro memutar badannya menghadap Tori dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tidak. Tidak. Jangan berkata begitu. Kumohon." Masahiro nyaris menangis. Sama sekali tak menyangka kalau tindakannya itu tak hanya membuat Tori marah tapi juga menyakiti hati Tori sampai sedalam itu.

"Tolong, jangan katakan itu. Aku yang bodoh. Aku yang salah." Ujar Masahiro lirih. Dipandangnya Tori dengan hati-hati. Pria itu tampak sedih dan lelah. Reflek, tangan Masahiro terjulur untuk menyentuh pipi Tori. Tori menutup matanya dan bernafas dengan pelan dan berat. Masahiro masih menatapnya dan begitu sepasang mata kecoklatan itu membuka lagi, dia terkejut dengan ekspresi tajam di dalamnya.

"Aku tak bisa melupakan kejadian ini begitu saja. Aku harap kamu mengerti itu." Ujarnya pelan dan tegas.

Masahiro mengangguk. "Tori masih mau melihatku saja, aku sudah bersyukur."

Pemuda itu memberanikan diri untuk meraih tangan Tori. Tori mengamati dalam diam saat jari-jari Masahiro merengkuh tangannya, membawanya ke bibirnya dan ibu jari Masahiro mengelus lembut buku jari Tori sebelum mengecupnya dengan lembut sambil berucap lirih.

"Maafkan aku."

Diucapkannya setiap kali setelah mengecup tiap buku jari Tori dan punggung tangan Tori. Tori menutup matanya. Bibir Masahiro terasa hangat di kulitnya dan dia harus mengakui kalau dia merindukan disentuh seperti ini. Ayahnya memang benar. Dia tak bisa membenci Masahiro.

Masahiro mengecup telapak tangannya dan Tori memberanikan diri untuk membuka mata dan dilihatnya mata Masahiro melihatnya dengan penuh permohonan maaf dan juga cinta. Tori menarik nafas dan mencondongkan tubuhnya. Dikecupnya pipi pemuda yang sangat dicintainya itu dengan pelan dan penuh perasaan.

"Jangan lakukan ini lagi padaku. Berikutnya mungkin aku tak akan sanggup." Bisik Tori dengan lirih dan suaranya bergetar.

Masahiro menggeleng lalu balas mengecup pipi Tori. "Tori tak akan kemana-mana kan? Masih tetap ingin menikah denganku kan?"

Tori mengangguk. Dadanya seolah ingin meledak saat dibiarkannya Masahiro menciumnya dan berbisik. "Aku mencintaimu."

-end-

Maafkan kalau dangdut sekali m(_ _)m

Sunday, November 21, 2010

[fanfic] AU Ma-kunxTori - fic berantem part 4

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: none
Disclaimer: I do not own anyone
Note: ini hrsnya dipost td tapi sinyal xl gembel lagi -_-




Tori menjulurkan kakinya dan menumpukan yang kiri di atas yang kanan. Punggungnya disandarkan ke sandaran sofa. Dia mendesah keras setelah mendengarkan pesan singkat di inbox voice mail-nya untuk kesekian kalinya. Bibirnya digigit-gigit sampai mulai terasa sakit.

"Masih keras kepala juga tak mau menemuinya?" Sebuah suara berat menarik perhatian Tori.

Tori menoleh dan melihat ayahnya yang sedang menatapnya sambil mengangkat alis. Tori mendesah lagi. Ayahnya itu muncul mendadak dengan alasan mengantarkan titipan dari istrinya untuk Tori. Begitu melihat ayahnya berdiri di depan pintu, entah kenapa pertahanan Tori langsung luluh dan dia jadi bercerita pada ayahnya tentang masalahnya dengan Masahiro juga sakit hatinya.

Ayahnya saja sampai heran karena biasanya Tori hanya mau curhat pada ibunya. Pria itu terkekeh-kekeh saat wajah Tori jadi bersemu merah setelah selesai bercerita. Ditepuk-tepuknya pundak Tori dengan penuh pengertian dan selama beberapa saat mereka hanya menghabiskan waktu dalam diam sambil merokok.

Tori merebahkan kepalanya ke sandaran dan lagi-lagi hanya menghela nafas.

"Kau ini. Kalau sedang begini, kau mirip sekali dengan ibumu."

Tori melirik ayahnya. "Ya, mau bagaimana? Aku kan memang anak Ibu." Sungutnya.

Sorimachi tertawa pelan, menghirup asap rokoknya dengan pelan pula. "Hmm... Kalian jarang bertengkar ya?"

"Karena aku tak suka." Sahut Tori.

"Berapa kali kau pacaran sebelum ini?"

Meskipun bingung dengan pertanyaan ayahnya, Tori mengangkat dua jarinya. Sorimachi mengangguk-angguk. "Bocah itu?"

Tori mengangkat bahu, "Entahlah. Tak terhitung, mungkin? Dia selalu gonta-ganti pacar sebelum aku."

Sorimachi mengangguk-angguk lagi. "Masih berniat menikah dengannya?"

Tori memejamkan mata. "Kalau dia masih mau."

"Kau kan belum dengar alasan kenapa dia melakukan itu."

"Tou-san! Dia mencium orang lain! Memangnya ada penjelasan apa lagi?" Sergah Tori cepat.

Sorimachi berdecak. "Kau masih ingin menikahi bocah ini tapi kau tak mau bertemu dengannya. Apa sih maumu? Kau pikir setelah ini tak akan ada masalah lain lagi?"

Tori menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil mengerang panjang. Sorimachi meninju lengan anaknya itu. Tori berjengit kesakitan.

"Aku tidak minta kau memaafkannya karena aku juga tak setuju dengan tindakannya itu. Tapi tak ada yang tak bisa diselesaikan dengan bicara kan? Kalian kan masih muda, masih banyak yang akan kalian lalui. Kau pikir aku dan ibumu tak pernah mengalami ini?"

Tori menurunkan tangannya. "Memangnya Tou-san pernah berselingkuh?" Tanyanya menyelidik.

"Tentu saja bukan selingkuh! Oi!" Sorimachi tertawa. Dimatikannya rokoknya. "Kamu lahir waktu kami masih sangat muda. Waktu itu, aku belum sadar kalau sudah punya tanggung jawab yang begitu besar. Jarang pulang, marah-marah kalau ditegur, dan tak jarang kami sampai bertengkar hebat. Akhirnya Ibumu marah sekali dan dia pulang ke rumah kakekmu. Tentu saja aku panik karena tak menemukan kalian di rumah begitu aku pulang. Ibumu juga tak mau melihatku selama berhari-hari. Akhirnya kakekmu harus turun tangan dan memaksa kami untuk duduk di ruang tamu. Pintunya dikunci sampai kami mau bicara."

Tori tersenyum lembut mendengar kisah orang tuanya itu. Ibunya belum pernah bercerita tentang yang satu ini padanya.

"Yah," Sorimachi melanjutkan, "Setelah itu tentu saja masih ada pertengkaran-pertengkaran lain dan aku yakin Ibumu juga masih kesal dengan banyak hal yang kulakukan. Aku juga sering kali ingin membuangnya ke jurang, tapi kami ini kan suami-istri dan aku mencintaimu Ibumu lebih dari apapun. Sekesal dan semarah apapun, aku tak bisa benci padanya."

Tori terdiam. Memang sih, meskipun sering kesal pada Masahiro karena sering berbuat seenaknya, Tori selalu diam. Karena dia sayang Masahiro dan cengiran sumringah Masahiro kalau berhasil mendapatkan apa yang dia mau selalu membuat Tori jadi tersenyum juga.

Sorimachi mengacak rambut Tori dengan sayang. "Anak itu kan sudah berusaha menghubungimu. Temui saja dan dengarkan. Kalau kau masih tak bisa terima, bicarakan baik-baik. Setidaknya, meskipun hasilnya tak membuatmu merasa lebih baik, sudah ada satu kejelasan."

Tori menarik nafas panjang. Masih merasa tak siap kalau harus mendengar kabar buruk. Tapi dia tahu ayahnya benar. Cepat atau lambat, dia harus bertemu Masahiro. Dadanya terasa sakit lagi begitu dia memikirkan itu.

-tbc-

Bagian akhirnya malam ini ya.

[fanfic] AU Ma-kunxTori - fanfic berantem part 3

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: none
Disclaimer: I do not own anyone
Note: this is longer than I though it'd be. OTL




"Eh, sudah pulang?"

Suster itu mengangguk. "Setengah jam yang lalu. Matsuzaka-sensei sepertinya tak enak badan. Mungkin masih kecapaian. Inoue-kun ada janji dengan Matsuzaka-sensei?"

Masahiro menggeleng dan mengucapkan terima kasih pada suster itu sebelum beranjak dengan kecewa. Masahiro sengaja menunggu di kafetaria karena tahu Tori pasti akan menolaknya masuk ke ruang prakteknya. Tapi yang ditunggu tak kunjung muncul meskipun waktu makan siang sudah selesai. Dia bahkan sudah mencoba menelepon Tori tapi tak kunjung diangkat. Nyaris saja Masahiro membanting handphonenya karena kesal.

Pemuda itu kebingungan. Dia harus bertemu Tori dan menjelaskan tapi kalau yang ditemui menghindar terus seperti ini...

"Loh? Masahiro?"

Masahiro menoleh dan melihat Kubota berdiri di depannya. Ada map di tangannya, mungkin baru saja selesai mengecek pasiennya. Masahiro melambaikan tangannya dengan malas. Kubota mendekati si adik dengan bertanya-tanya.

"Aku tadi diberitahu Kazuki kalau Matsuzaka ijin pulang. Kupikir kau mengantarnya."

Masahiro memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan mengedikkan bahunya. "Kalah cepat." Ujarnya singkat.

Kubota mengamati adiknya baik-baik. "Bertengkar?"

Lagi-lagi Masahiro hanya mengedikkan bahu tak peduli. Kubota melipat lengannya di depan dada dan mendengus.

"Apa lagi yang kau lakukan?"

Masahiro mengerutkan kening. "Apa sih? Memangnya harus selalu aku yang jadi biang keladinya kalau aku dan Tori bertengkar?"

Kubota mendorong kepala adiknya. "Buktinya kan kau masih ke sini. Kalau Matsuzaka yang salah, kau pasti akan sebal dan merajuk di rumah."

Ditebak begitu, Masahiro merengut dan memukul pundak kakaknya yang langsung dibalas Kubota menggunakan map yang dibawanya. Masahiro mengusap-usap lengannya. "Sakit!" Desisnya.

"Kau ini. Minta maaf sana!" Kubota mendorong dahi Masahiro sekali lagi.

Masahiro menepis tangan kakaknya. "Tak usah dibilang juga sudah tahu." Sungutnya.

Sebelah alis Kubota terangkat. "Lalu? Kenapa masih di sini?"

Masahiro melipat tangannya di depan dada dan menendang-nendang sesuatu yang tak kelihatan. Bibirnya masih merengut. "Dia tak mau bertemu denganku." Jawabnya setengah bergumam.

Kubota menghela nafas. Tangannya terulur lagi, kali ini untuk mengacak-acak rambut Masahiro dengan lembut. "Aku tak akan tanya kenapa Matsuzaka bisa sampai tak mau bertemu denganmu tapi kuharap kamu belajar sesuatu. Aku sudah bilang berkali-kali kan kalau Matsuzaka itu berbeda dengan pacar-pacarmu sebelumnya. Ditambah lagi, dia lebih tua darimu. Aku yakin Matsuzaka setuju pacaran dengan bocah sepertimu bukan karena ingin main-main. Mungkin ada beberapa hal yang menurutmu tak apa-apa dilakukan tapi apa-apa menurutnya. Cepat atau lambat, dia pasti akan mau mendengarkanmu. Saat itu, minta maaflah dengan baik dan sungguh-sungguh. Ya?"

Diceramahi panjang begitu, Masahiro hanya bisa menunduk. Apapun alasannya, yang dilakukannya kemarin itu memang hanya keegoisannya. Lalu kenapa kalau dia kangen Tori? Tetap saja itu bukan alasan untuk mencium orang lain.

"Dengar, tidak?" Kubota menggoyangkan kepala yang masih dipeganganya.

Masahiro bergeliat menjauh dari kakaknya. "Iyaaaa. Aku dengar. Huh."

"Bagus." Kubota mengangguk puas.

Masahiro melengos dan meninggalkan Kubota yang melanjutkan memeriksa pasiennya yang lain sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Masahiro berjalan meninggalkan lobi rumah sakit dengan handphone menempel di telinganya. Sekali lagi mencoba menghubungi Tori. Lagi-lagi tak diangkat. Masahiro menekan tombol telepon sekali lagi, kali ini menunggu sampai tersambung dengan voice mail.

Rekaman suara Tori terdengar di telinganya dan Masahiro menarik nafas. Ironis sekali karena rekaman itu terdengar begitu manis dan ramah. Ditunggunya sampai bunyi pertanda dia bisa mulai meninggalkan pesan terdengar.

"...................Maafkan aku."

-tbc-

[fanfic] AU Ma-kunxTori - fic berantem part 2

Title: (msh belum nemu judul) part 2 dr fic berantem
Author: Panda^^
Fandom: Kamen Rider DCD/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: none
Disclaimer: I do not own anyone
Note: Buat Nei! Selamat sudah menempuh wisuda! *peluk2* Er... Gue sebenernya gak suka angst tapi ini kenapa malah nulis angst *tepok jidat*



Tori terbangun dengan sakit kepala yang luar biasa. Seluruh kepalanya seperti berubah jadi batu yang sangat sulit diangkat apalagi digerakkan. Tori mengumpat pelan dan beringsut pelan. Sekarang baru benar-benar menyesal karena semalam menghabiskan seperempat botol tequila sunrise. Dia tahu tak baik minum-minum kalau suasana hatinya sedang kacau seperti itu tapi Tori tak tahu lagi harus melakukan apa.

Tori mengerjap-ngerjapkan pandangannya yang agak rabun, samar-samar menangkap arah yang ditunjuk jarum jam dinding. Sudah waktunya bangun dan bekerja. Tori rasanya ingin tidur saja sampai alkohol benar-benar hilang dari sistem tubuhnya. Tapi dia sudah terlanjur bilang pada Kubota kalau dia akan tetap masuk dan membereskan laporan studi banding mereka.

Dengan berat, Tori bangun dan terhuyung-huyung ke kamar mandi. Dibukanya lemari obat di atas wastafel, mencari aspirin. Ditelannya 3 butir tablet putih itu lalu beralih ke dapur dan menenggak air putih dalam jumlah banyak. Lima belas menit kemudian, dokter muda itu baru benar-benar bisa bersiap-siap kerja.

---

"Ya ampun. Kau kenapa?" Sota bertanya dengan heran dan agak khawatir saat Tori mampir ke ruangannya mengantarkan oleh-oleh. Kepalanya dimiringkan, mengamati wajah Tori yang kelihatan kucel dan tidak menampakkan senyum ramahnya yang biasa.

Tori menggeleng sambil tersenyum kecil. "Tak apa-apa. Hanya kurang tidur."

"Kurang tidur apanya? Kalian kan sampai kemarin siang. Kau terlalu banyak bersenag-senang dengan pacarmu itu ya, semalam? Coba duduk sini." Sota menepuk kursi periksa yang biasa diduduki pasien-pasiennya.

Tori meringis. Tak berniat membantah apalagi membenarkan. Seluruh dunia tak perlu tahu kalau sedang ada apa-apa antara dirinya dan Masahiro. Tori pun duduk dan membiarkan Sota memeriksanya.

"Sudah minum aspirin?" Tanya Sota sambil mengecek reaksi mata Tori. Tori mengangguk.

"Air putih?"

"Sudah dua botol sejak tadi pagi."

Sota mengangguk-angguk lalu mengambil sesuatu dari lacinya. Kacamatanya berkilat saat meletakkan sebuah botol kecil di atas meja dan mendorongnya ke hadapan Tori. Tori buru-buru berdiri dan pamit pergi, tak mau terjebak dengan eksperimen aneh dokter nyentrik itu.

Setelah berapa lama termenung di kantornya dan akhirnya tidak mengerjakan apa-apa juga, Tori akhirnya menyerah kalah dan memutuskan untuk pulang saja. Tertunda sesaat karena ada pasien yang mendadak datang. Setelah menelepon ruangan Kazuki untuk meminta ijin, Tori sempat berpikir untuk mampir ke kafetaria dan membeli sesuatu karena dia belum makan sejak pagi. Rencana itu dibatalkan begitu matanya menangkap sosok berkaki panjang yang sedang duduk di meja yang biasa dia tempati. Dengan cepat dia berbalik sebelum sosok itu sempat melihatnya.

Itu kekanakan sekali. Tori sadar itu. Tapi melihat sosok Masahiro dari jauh saja sudah membuatnya jadi susah bernafas. Meskipun sebenarnya dia ingin sekali mendatangi pemuda itu dan menuntut penjelasan. Tapi Tori tak siap dengan penjelasan apapun. Kejadian di depan matanya kemarin siang itu saja sudah cukup membuat hatinya hancur.

Tori tak sanggup dan tak siap kalau harus mendengar Masahiro mengatakan padanya kalau pemuda itu sudah tak butuh Tori lagi di sampingnya. Lebih baik dia menjauh dan menghilang pelan-pelan seperti ini saja. Tori akan sangat-sangat merindukan Masahiro. Itu pasti. Tapi saat ini dia hanya ingin merawat lukanya pelan-pelan.

Teleponnya berdering lincah dan riang terus menerus. Tanpa melihat pun Tori tahu kalau Masahiro yang menelepon karena dering itu memang khusus untuknya. Tori mengigit bibir, menggenggam erat setir, meneguhkan dirinya untuk tidak mengangkat telepon itu.

Sisa perjalanan pulangnya ke apartemen terasa begitu buram dan berkabut.

-tbc-

Maafkaaaaan. Gue akan berusaha bikin mereka gak terlalu menderita.

Saturday, November 20, 2010

[fanfic] AU Ma-kunxTori - fanfic berantem part 1

Title: (sementara ini untitled dulu :p)
Author: Panda^^
Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: lame attempt on angst
Disclaimer: I do not own anyone
Note: Ahe. Satu bagian dulu ya. Buat Nei yg bsk wisuda. Biar makin resah di acara wisudaannya :p *kabur*



Masahiro berjalan setengah terhuyung ke kamarnya. Lelah luar biasa karena jadwal tiga hari terakhir yang luar biasa padat karena banyak pemotretan dan kerja kelompok. Untunglah besok dia libur dan Masahiro sudah merencanakan akan tidur seharian. Tas dan jaketnya dilempar begitu saja ke sofa dan Masahiro langsung melompat ke tempat tidur. Wajahnya dibenamkan ke dalam bantal dan Masahiro langsung menutup matanya. Badannya rasanya sudah ingin rontok.

Pintu kamarnya terbuka dan kepala Kubota menyembul dari baliknya.

"Ah! Sudah pulang ya." Badannya kemudian menyusul dan melenggang masuk ke kamar sang adik. Melihat si bungsu yang tak bergerak dan hanya menggerung itu, Kubota dengan jail menindih punggung adiknya dengan punggungnya sendiri.

"Aniki! Berat!" Masahiro langsung protes dan menggeliat berusaha menjatuhkan Kubota ke lantai.

Kubota tertawa terbahak-bahak sambil berdiri dan berkacak pinggang. "Mandi dulu dong. Dasar jorok!"

Masahiro menggerundel. "Bukan urusanmu." Kemudian dipandangnya kakaknya seakan baru sadar sesuatu. "Kenapa...ada di sini? Rencananya pulang lusa kan?"

Kubota nyengir. "Dipercepat."

Masahiro langsung duduk dan matanya bersinar antusias. "Berarti..."

"Tadi sempat kembali ke rumah sakit sebentar lalu aku mengantarnya ke apartemennya." Kubota nyengir, mengerti apa maksud adiknya.

"Tapi kenapa tidak telepon ya?" Masahiro merogoh saku celananya, mencari handphonenya.

"Mana aku tahu." Sahut Kubota sambil melangkah keluar kamar.

"Aniki! Mana oleh-olehnya?" Todong Masahiro sebelum kakaknya sempat menghilang. Kubota melemparkan sebuah kotak ke arah adiknya dan Masahiro menangkapnya dengan lihai. Diliriknya kotak itu dan Masahiro langsung sumringah. Soba manju kesukaannya.

Sambil menyingkirkan kotak itu, Masahiro membuka flip handphonenya. Penasaran kenapa Tori tak menelepon untuk memberitahu kalau pulang lebih cepat. Pacarnya itu ikut rombongan studi banding Kubota selama nyaris dua minggu dan rasanya aneh karena Tori tak bilang apa-apa waktu meneleponnya dua hari yang lalu.

Masahiro mengumpat pelan karena ternyata handphone-nya mati. Dengan buru-buru mengobrak-abrik laci untuk mencari charger, menyambungkan ke listrik dan tak sabar menunggu sampai handphonenya punya cukup daya untuk menyala lagi.

Ada satu pesan. Masahiro buru-buru membukanya dan jantungnya langsung mencelos.

Terpampang di layar handphonenya sebuah foto. Foto dirinya yang sedang berdiri berhadapan dengan teman sesama model. Berciuman.

Di bawah foto itu hanya ada satu kata.

[Siapa?]

Tangan Masahiro menggerut rambut dengan frustrasi kemudian menutup mulutnya. Berpikir keras. Dilihatnya lagi foto itu. Masahiro ingat dengan jelas kejadian itu karena memang baru terjadi siang tadi. Itu bukan adegan yang dirancang Yuzawa untuk tema hari ini. Sama sekali bukan. Itu adalah kebodohan Masahiro.

Temannya itu memang manis sekali. Anak baru di dunia mereka. Beberapa kali bertemu dan bekerja bersama, Masahiro cukup bisa akrab dengannya. Lesung pipinya imut sekali, persis seperti Tori. Dan Masahiro sedang kangen sekali pada Tori. Temannya itu hanya tertawa waktu Masahiro meminta maaf.

Tapi dari mana Tori... Otak Masahiro berputar cepat dan wajahnya langsung pucat pasi. Berarti Tori sengaja datang ke lokasi pemotretannya, mungkin dengan maksud memberi kejutan tapi malah...

Masahiro langsung menyumpah-nyumpahi dirinya sendiri. Kemudian tanpa pikir panjang, disambarnya jaketnya dan melesat keluar rumah.

Begitu sampai di depan pintu apartemen Tori, Masahiro sekali lagi merutuk karena lupa membawa kunci cadangannya. Diliriknya jendela apartemen itu. Masih menyala, berarti Tori belum tidur. Ditekannya bel dua kali berturut-turut dengan tak sabar.

Masahiro menumpukan tangannya ke dinding, kakinya menghentak-hentak kecil ke lantai beton sementara bibirnya digigiti dengan resah. Sebentar kemudian dia mendengar suara dan Masahiro langsung berdiri tegak. Pintu kayu itu terdorong membuka, memperlihatkan Tori yang sudah mengenakan piyama, kacamatanya bertengger di batang hidungnya.

"Ya?"

Dalam kondisi biasa, Masahiro pasti sudah menyerbu masuk, merengkuh Tori dalam pelukannya dan menciumnya dengan penuh nafsu sambil menggiring mereka berdua ke kamar tidur Tori. Tapi ekspresi Tori yang mendadak kaku dan dingin begitu melihatnya membuat Masahiro makin panik dan merasa bersalah.

"Aku... Kubo-nii sudah pulang jadi kupikir..." Masahiro salah tingkah. "Umh...Tori tidak memberitahu kalau akan pulang hari ini... Jadi..."

Tori menatap melewati bahu Masahiro lalu membuang muka. "Pulanglah, Masahiro. Sudah larut."

Masahiro terdiam dan menatap Tori yang masih tak mau melihatnya. Pemuda itu langsung mengerti kalau tak ada gunanya dia berbasa-basi. "Aku berhak menjelaskan kan?" Tanyanya lirih. Matanya menyipit.

Tori menatap ke lantai sebelum akhirnya melihat ke arah Masahiro. "Menjelaskan apa?"

"Argh!" Sungut Masahiro. "Kau tahu apa maksudku."

Tori menutup matanya. "Aku tak ingin dengar sekarang."

"Tapi..."

Tori langsung memotongnya. "Inoue-kun. Aku capek."

Masahiro tertegun. Inoue-kun. Tori sudah tak pernah lagi memanggilnya seperti itu. Sekarang rasanya panggilan itu membuat jarak yang begitu jauh antara dirinya dan Tori. Masahiro tak bisa berbuat apa-apa dan mengangguk kecil.

Suara pintu menutup dan kunci yang dirapatkan bergema begitu keras di telinga Masahiro dan entah kenapa dia juga merasa seperti ditampar dengan telak keras.

Masahiro pergi sambil terus merutuki dirinya. Sebuah tempat sampah jadi korban kekesalannya saat pemuda itu melangkah kembali ke mobilnya.

-tbc-

[ficlet] AU KanexOuji - White Shirt

Title: White Shirt
Author: Panda^^
Fandom: Tenipuri no Oujisama Musical
Pairing: Kanesaki KentarouxYagami Ren
Rating: PG
Warning: malexmale.
Disclaimer: I do not own anyone.
Note: Nih, Nei. Hasil picspam lu jam 2 pagi XD. Maaf jadinya cuma pendek :p




Kanesaki menggosok rambutnya yang basah dengan handuk yang tersampir di pundaknya. Lehernya digerakkan ke kiri dan ke kanan. Matanya kemudian tertuju pada sehelai setelan yang tergeletak di atas futon. Celana hitam garis abu-abu, dasi merah, kaus kaki hitam dan kemeja putih. Kane tersenyum. Kemeja putih. Pasti istrinya dan bukan Shouma yang menyiapkan pakaiannya. Kane pun mulai berpakaian sambil nyengir lebar. Bisa dipastikan malam ini dia bisa bermesraan dengan istrinya.

Ren masuk ketika Kane baru saja mulai mengancingkan kemeja putih itu. Sebuah senyum langsung mengembang di wajahnya. Didekatinya suaminya itu dengan tangan terjulur, menepis tangan Kane dengan lembut dan memasang kancing kemeja itu satu persatu dengan penuh perhatian.
Kane mendongak sedikit untuk memudahkan istrinya mengancingkan yang paling atas. Tangannya sendiri sibuk mengaitkan kancing lengan. Ren merapikan kerah kemeja putih itu lalu membelai dada suaminya sambil tersenyum manis. Kane membalas dengan cengiran lebar karena Ren melingkarkan lengannya ke pinggang Kane lalu membelai punggung Kane dengan sayang.

Ren senang melihatnya dengan kemeja putih. Entah kenapa, pria besar yang biasanya terlihat menyeramkan itu jadi tampak makin tampan di mata Ren kalau mengenakan kemeja putih. Kemeja pas badan itu selalu membuat Kane terlihat seksi.

Ren beringsut mendekat untuk membenamkan wajahnya ke dada bidang suaminya. Menghirup pelan wangi segar tubuh Kane. Kane membelai rambut istrinya dengan sayang lalu menunduk untuk mengecup kening istrinya. Ren mengusapkan satu tangannya ke dada Kane lagi.

"Sudah mulai agak sempit ya." Gumam Ren.

Kane tertawa. "Lengannya sudah agak kependekan, sih." Jawabnya.

Ren memiringkan kepalanya. "Mau diganti?"

Kane memeluk pundak istrinya dengan lembut dan menggeleng. "Ini saja tak apa-apa, kok."

Tangan Ren meraih kerah kemeja itu lagi, merapikan sedikit. "Nanti jangan pulang malam-malam ya."

Kane mengangguk dengan semangat dan mencium istrinya.


Shouma, yang setelah beberapa lama bekerja di rumah itu akhirnya tahu kalau kemeja putih dan baju putih lainnya milik Kane adalah hak istimewa nyonya-nya, dengan penuh pengertian tak akan menyiapkan baju putih untuk tuannya. Kalau didapatinya Ren mengeluarkan kemeja putih untuk Kane, Shouma hanya akan tersenyum maklum dan pergi memberitahu Kanata kalau tuan mereka mungkin akan berangkat sedikit telat.

-----

Friday, November 19, 2010

[fanfic] AU Ma-kunxTori - Sharing

Title: Sharing
Author: Panda^^
Fandom: Kamen Rider DCD/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: None. Just them in bed
Disclaimer: I don't own anyone
Note: Sambungan dari ini dan ini. Gue juga gak tau kenapa ini jadi bersambung huahahaha. Anyway. Semoga bisa dinikmati.




“Eh? Image model?” Tori bertanya sambil melepas kancing kemejanya.

Masahiro mengangguk, duduk bersila di atas kasur Tori sambil melompat-lompat kecil saking antusiasnya. “Iya. Aku diberitahu kemarin malam. Aku sampai tak bisa tidur!” Dia melompat lebih tinggi sampai jatuh berguling ke samping dan tertawa terbahak.

Tori hanya geleng-geleng kepala menlihat tingkah pacarnya itu. Dilepasnya kemejanya dan dilipat rapi sebelum dilempar ke dalam keranjang pakaian kotor. Setelah itu berjalan ke lemari pakaiannya dan memandang isinya sebentar sebelum menarik sebuah tank top dari antara tumpukan baju.

“Ceritanya bagaimana?” tanya Tori sambil mengenakan tank top itu. Merengut karena ternyata sudah agak sempit di bagian dada. Ditariknya lepas dan memilih kaus oblong tanpa lengan warna merah sebagai gantinya.

“Jadi, perancang ini temannya Yuzawa-san. Beberapa kali aku ikut di pagelarannya dan rupanya dia juga melihat banyak fotoku di tempat Yuzawa-san. Katanya sih, aku cocok dengan image koleksi terbarunya. Tapi tak tahu juga, aku juga belum lihat sih. Manajerku bilang sepertinya pihak mereka terdengar antusias sekali di telepon.”

Mungkin akhirnya capek juga membal-membal, pemuda jangkung itu akhirnya menjatuhkan tubuhnya ke samping dan mendesah panjang. Meskipun begitu, ada cengiran lebar di bibirnya. Senyuman Masahiro memang menular dan Tori pun ikut tersenyum seraya mendekati pacarnya. Tori naik ke tempat tidur dan berbaring di atas Masahiro. Ditatapnya mata Masahiro yang bersinar-sinar.

“Senang?” tanyanya sambil menumpukan berat badannya di perut Masahiro.

Masahiro meletakkan satu tangan di punggung Tori. “Senang sekali!”

Belum sempat salah satu dari mereka mengatakan apa-apa lagi, ponsel Masahiro berdering nyaring. Menggapai dengan sedikit susah payah ke kantong belakang celananya karena ada Tori di atasnya, Masahiro menarik ponselnya. Diliriknya nama yang tertera di layar.

“Yuzawa-san.” cengirnya pada Tori. “Moshi-moshi. Yuzawa-san?”

Tori merebahkan kepalanya di dada Masahiro.

“Hai. Terima kasih untuk rekomendasinya. Hai, hai. Iya, aku diberitahu semalam. Umh, mungkin baru minggu depan? Eh? Yuzawa-san akan jadi fotografernya? Haha, tentu saja ya. Un. Un. Yoroshiku onegaishimasu. Eh? Iya, aku sedang bersamanya.” Masahiro melirik Tori.

Tori mengangkat alisnya lalu mengangkat kepalanya. Beringsut sedikit untuk mendekatkan wajahnya ke ponsel Masahiro. Masahiro memiringkan ponselnya. “Konbanwa, Yuzawa-san.” ujarnya sambil nyengir.

“Yo~ Matsuzaka-sensei!” terdengar samar balasan fotografer itu. “Kapan-kapan datang lagi ke studio ya. Aku ingin memotretmu lagi.”

Tori menggigit bibir. “Umh. Yah, kuusahakan. Terima kasih undangannya.”

“Aku serius loh~!” Seru Yuzawa dengan nada ceria. Tori tertawa sambil merebahkan kepalanya ke dada Masahiro lagi. Masahiro nyengir lebar dan berbicara sebentar lagi dengan Yuzawa sebelum akhirnya menutup telepon. Dilemparnya telepon hitam-magenta itu ke atas meja kecil di samping tempat tidur. Kedua tangannya kemudian diangkat ke atas dan dikepalkan.

“Unngh... Aku tak sabaaarrrr!!” ujarnya gemas.

Tori terkekeh. “Jangan terlalu semangat, nanti kalau tak jadi kecewanya besar sekali loh.” Tori mengingatkan.

“Iya juga sih.” Masahiro mendesah. “Tapi sepertinya Tori tidak terlalu senang ya, aku dapat pekerjaan ini?”

Tori diam. Seharusnya dia bisa bersikap lebih senang kalau tidak bisa mengimbangi antusiasme pacarnya. Tori senang, bangga malahan. Itu sudah tak usah ditanya lagi. Dia hanya tak senang karena ini artinya Masahiro akan jadi milik lebih banyak orang lagi. Kalau dulu pacarnya itu hanya muncul di majalah atau beberapa iklan saja, sekarang wajahnya akan benar-benar ada di mana-mana. Tori sudah dengan susah payah menanamkan ke pikirannya bahwa kecemburuannya itu sama sekali tak beralasan. Ditambah dengan hasil foto-fotonya dengan Masahiro yang berbeda jauh sekali hasilnya dengan foto-foto Masahiro dengan Totani-kun. Tapi tetap saja ada sebagian dari dirinya yang masih tak rela melihat Masahiro tersenyum manis atau menggoda atau terlihat luar biasa seksi untuk orang lain.

Tori mengerti kalau dia tak punya hak untuk melarang Masahiro. Pemuda itu sudah jadi model saat mereka bertemu untuk pertama kali bertemu dan Masahiro menikmati pekerjaannya itu. Dia ingin melakukan hal yang sama sekali berbeda dengan yang dilakukan kakak-kakaknya. Tori tahu semua itu. Dia juga tak mau jadi pacar yang tukang atur dan terlalu posesif. Toh selama ini dia selalu membiarkan Masahiro melakukan apapun.

Masahiro mengelus punggung Tori, “Setidaknya, Tori bisa bilang kalau Tori akan mendukungku loh.” ujar Masahiro pelan.

Mendadak Tori merasa malu sekali sekaligus kesal pada dirinya sendiri. Masahiro pasti kecewa karena tak mendapatkan reaksi yang dia harapkan. Kalau langsung cerita pada kakak-kakaknya mungkin Katou-sensei hanya akan mengangguk-angguk lalu mengingatkan agar jangan sampai mengganggu kuliahnya, Kubota-sensei mungkin akan lebih bersemangat sedikit, sementara Sainei-san.... Tori tak begitu tahu reaksi macam apa yang akan diberikan kakak Masahiro yang terakhir itu karena tak terlalu kenal.

Tangan Tori bergerak mengelus perut Masahiro dan dikecupnya dada yang tertutup kaus tipis itu. “Aku pasti akan mendukung Masahiro, kok.” ujarnya tanpa melihat ke arah sang pacar.

Masahiro menunduk untuk mengecup puncak kepala Tori. “Nanti kalau kontrak dan segalanya sudah beres, Tori ikut saja ke lokasi pemotretan ya.”

Tori mengernyit dan Masahiro buru-buru melanjutkan seolah tahu reaksi Tori. “Aku tahu Tori tak suka tapi aku ingin Tori ada di sana saat aku melakukannya.”

Tori akhirnya mengangkat kepalanya, terlihat bingung. “Kenapa?”

Masahiro terlihat malu-malu. “Aku sebenarnya gugup sekali. Brand ini lumayan terkenal dan aku sama sekali belum tahu kenapa mereka memilihku. Maksudku, aku ingin Tori ada di sana supaya aku tak terlalu gugup.”

Tori tertawa. “Yang benar saja. Kamu?”

“Te...tentu saja. Ini kan beda dengan pemotretan biasa. Meskipun fotografernya Yuzawa-san, tetap saja aku tak yakin akan bisa tenang.” Masahiro membuang muka.

Tori menghela nafas. “Tapi aku tak janji ya.”

Masahiro ingin protes tapi Tori sudah meringis minta maaf. Tentu saja dia kecewa tapi mau bagaimana lagi. Tori pasti akan datang kalau Masahiro merajuk dan memaksa tapi Masahiro juga tak ingin melihat Tori pasang wajah sebal sepanjang pemotretan. Bisa-bisa mood-nya ikut rusak juga. Kalau sudah begitu, pemotretannya pasti tak akan berjalan lancar.

Masahiro mengalihkan pandangannya ke salah satu sudut kamar Tori. Ada sebuah rak kecil yang penuh dengan majalah-majalah yang memuat foto-foto Masahiro di dalamnya. Tori membeli semua majalah itu. Tak peduli seberapa kecil pun bagian Masahiro. Belum sempat berpikir yang lain, pikirannya mendadak buyar karena bibirnya sibuk membalas ciuman Tori.

Tori harus melakukannya supaya Masahiro tak memaksa lebih jauh. Tori tahu dia jadi tak akan bisa benar-benar menolak. Betapapun berartinya pekerjaan ini untuk Masahiro, Tori memutuskan untuk mendukung dari jauh saja. Lewat telepon atau SMS seperti biasa. Mungkin, suatu hari nanti, kalau Tori sudah benar-benar bisa menerima kenyataan kalau senyum dan tatapan mata Masahiro bukan hanya miliknya seorang, Tori akan datang lagi ke lokasi pemotretan.

Mungkin.

----


Thursday, November 18, 2010

[fanfic] AU Ma-kunxTori - Overwhelmed

Title: Overwhelmed
Author: Panda^^
Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: None.
Disclaimer: Again, and again. I do not own anyone
Note: fanfic gejeh. Maafkan.



Tori berjingkat pelan mengenakan celananya, menarik risleting tapi tak memasang kancing celananya. Diambilnya kemejanya yang tergeletak tak jauh dari celananya tadi. Merengut sedikit melihat kemeja itu sudah kusut tapi dikenakannya juga. Lagi-lagi membiarkan kancing-kancingnya terbuka. Meraba dalam gelap dan berhati-hati agar tak menyenggol sesuatu dan membangunkan sosok yang sedang tertidur lelap di tempat tidurnya, Tori mengambil sesuatu dan melangkah ke arah pintu geser yang membuka ke balkon. Agin dingin dini hari yang berhembus begitu Tori membuka pintu membuat Tori bergidik sekilas dan buru-buru ditutupnya pintu supaya angin tak masuk.

Tori memutar-mutar kotak rokok yang tadi diambilnya sambil mengamati pemandangan malam yang terlihat dari balkon kamarnya. Lampu-lampu berkelip-kelip di kejauhan sementara satu-dua mobil melintas di jalanan depan apartemennya. Sepi sekali. Tori menyandarkan sikunya ke pagar pembatas dan mengeluarkan sebatang rokok dari dalam kotaknya. Ditangkupkannya tangannya untuk menghalangi angin, nyala api kecil menyinari wajahnya sekilas dan sebentar kemudian, Tori sudah menghembuskan asap tipis dari bibirnya.

Untuk sejenak, rasanya segala sesuatu yang ada di dalam dada dan otaknya ikut melayang keluar seiring dengan asap itu. Satu tangannya mengusap rambutnya yang berantakan bekas bercinta lalu digunakan untuk menyangga kepalanya. Abu yang mulai menumpuk dijentikkan ke udara sebelum Tori menghisap lagi. Kali ini dibiarkannya asap dan nikotin itu memenuhi paru-parunya lalu dihembuskan perlahan-lahan. Sekali lagi mencoba mengurangi apapun yang sepertinya memenuhi dirinya.

Akhir-akhir ini rasanya dia tak pernah punya waktu untuk berhenti sebentar dan berpikir. Sudah setahun lebih hidupnya penuh dengan pekerjaan dan Masahiro. Kalau sedang suntuk dengan pekerjaan, Tori tinggal mengajukan cuti satu atau dua hari lalu dia akan segar lagi dan bisa kembali bekerja seperti biasa. Tapi tidak bisa seperti itu dengan Masahiro. Tori bukannya suntuk. Hanya saja sepertinya dia sudah tak punya waktu lagi untuk hal lain. Makan siang dengan Masahiro, makan malam dengan Masahiro, sarapan dengan Masahiro, pergi dengan Masahiro, menemani Masahiro ke lokasi pemotretan, kencan dengan Masahiro, sepertinya semua hal yang dilakukannya akhir-akhir ini selalu dengan Masahiro.

Tori tidak menyalahkan Masahiro. Bagaimanapun, ini keputusan Tori sendiri untuk menjadikan Masahiro pacarnya. Dan dia senang. Dia bahagia. Tori hanya butuh waktu untuk sendiri dan berpikir saja. Bukan untuk berandai-andai atau menyesali keputusannya tapi hanya untuk merapikan pikirannya. Dia tak akan pernah berpikir dua kali tentang Masahiro atau tentang hubungannya dengan Masahiro. Tapi sebelum mereka melangkah lebih jauh lagi, Tori ingin menata pikiran dan perasaannya. Supaya tak ada yang luput untuk diselesaikan atau dikatakan.

Tori merasa dia punya hak untuk melakukan itu. Orang tuanya sering melakukannya malah. Suatu waktu, ibunya akan menghilang entah ke mana dan Tori mendapati ayahnya memasak makan malam untuknya. Ayahnya hanya akan tersenyum dan menepuk kepalanya kalau Tori bertanya. “Ibu sedang ingin mengosongkan pikiran.” ujarnya. Ayahnya pun begitu juga. Tori kecil tak pernah mengerti. Barulah begitu dia beranjak dewasa, Tori mengerti kenapa ayah atau ibunya suka tiba-tiba menghilang beberapa hari. Mereka tahu ke mana salah satu dari mereka pergi tapi ayah atau ibunya tak akan menelepon atau bertanya kapan pulang. Dia ingat merasa khawatir sekali, takut salah satu dari mereka tak pulang lagi. Tapi mereka berdua hanya saling pandang dan tertawa.

Tori tahu dia dan Masahiro bukan ayah dan ibunya. Tori tak tahu bagaimana caranya mengatakan ini pada Masahiro. Pemuda itu pasti akan marah kalau Tori bilang ingin menyendiri beberapa hari saja. Kalau dia langsung menghilang begitu saja, Masahiro pasti tak akan berhenti meneror ponselnya dan akan menyusul kemanapun Tori berada. Tori menghisap rokoknya lagi.

Sepasang tangan yang melingkar di pinggangnya dan sentuhan hangat di tengkuknya nyaris membuat Tori terlonjak kaget tapi kemudian dia tersenyum lembut. Tangannya yang tidak memegang rokok terangkat ke atas untuk menyentuh kepala yang sedang sibuk menciumi tengkuk dan lehernya. Tori berjengit kegelian dan terkekeh rendah.

“Sedang apa?” akhirnya sosok di belakangnya bertanya, kali ini mengecup pipi Tori dengan lembut.

Tori mengangkat tangannya yang memegang rokok lalu balik bertanya, menyandarkan kepalanya ke bahu pacarnya. “Masahiro sendiri kenapa bangun?”

Ditanya begitu, pemuda jangkung itu merengut. “Habis aku tak menemukan Tori.”

Tori tertawa dan menoleh untuk balas mengecup pipi Masahiro. “Maaf ya. Cuma sebentar kok.” Dihisapnya rokok itu untuk yang terakhir kali, menghembuskan asapnya dengan cepat lalu membuang rokok yang sudah nyaris terbakar habis itu ke bawah. Tori memutar tubuhnya menghadap Masahiro. Punggungnya bersandar ke pagar balkon dan Masahiro melangkah mendekat. Tanpa malu-malu, Tori menyelipkan satu kakinya ke antara kaki Masahiro. Baru diperhatikannya kalau Masahiro bertelanjang dada, tak peduli dengan dinginnya udara yang cukup menggigit. Tori tersenyum dan meletakkan telapak tangannya di dada dan perut Masahiro, mengusap pelan.

“Tidak dingin?” tanyanya.

Masahiro menggeleng, menangkap satu tangan Tori. Ibu jarinya bergerak mengelus telapak tangan dan jari-jari Tori sambil menatap Tori dengan tatapan mengantuk. “Memikirkan apa?” tanyanya nyaris berbisik.

Tori menggigit bibir, ragu untuk menjawab. Kalau tak disampaikan, dia tak akan bisa melakukan apapun juga. Tori mendesah pelan. “Kalau aku bilang, Masahiro tak boleh marah ya?”

Kening Masahiro berkerut tapi kepalanya mengangguk tak sabar. Tori menarik nafas dan mendesah sekali lagi.

“Aku mau pulang ke Kanagawa akhir minggu nanti.” ujar Tori. “Tapi aku ingin Masahiro tidak menelepon atau mengirim pesan padaku selama akhir minggu nanti.” tambahnya dengan hati-hati.

Mata Masahiro menyipit curiga. “Kenapa?”

“Aku sedang ingin berpikir sendiri.” jawab Tori pelan.

“Kenapa?” Masahiro bertanya lagi, genggaman tangannya di tangan Tori sudah berubah jadi cengkeraman kuat.

Tori meringis. “Ada banyak hal yang ingin kupikirkan. Tentang kamu. Tentang kita.”

Kantuk sudah hilang dari mata Masahiro. Ditatapnya Tori nyaris tanpa berkedip. “Memangnya tak bisa dibicarakan langsung denganku?”

Tori menggeleng pelan. “Aku ingin menata pikiranku sebelum bicara denganmu.”

Masahiro menatapnya dengan ragu. “Bukan....hal yang buruk kan?”

Tori tertawa pelan dan menggeleng. “Bukan, bukan.”

Masih tak percaya karena mendadak tidak boleh menghubungi Tori sama sekali di akhir pekan, apalagi dengan alasan seperti itu, Masahiro menatap pacarnya dengan khawatir. “Sungguh? Bukan karena ingin putus denganku kan? Kalau memang iya, Tori bilang saja sekarang. Tak perlu menyuruhku menunggu seperti itu.”

Mau tak mau, Tori jadi tertawa terbahak-bahak. “Ya ampun, dari mana kau bisa punya pikiran seperti itu?”

Masahiro merengut. “Habis Tori bilang sedang ingin berpikir sendiri. Biasanya kan itu pertanda buruk.”

Tori melingkarkan tangannya dan memeluk pundak Masahiro. Digoyangkannya badan pemuda itu perlahan, seperti menenangkan anak kecil. “Sehari tak bertemu Masahiro saja rasanya sudah kangen, bagaimana mungkin aku mau putus denganmu?”

“Lalu kenapa aku tak boleh menelepon? Aku janji deh aku tak akan mengganggu Tori dengan menelepon terlalu sering.” Masahiro merengut hebat.

Tori jadi tak tahu harus bagaimana kalau sudah melihat Masahiro pasang tampang seperti itu. Tapi dikuatkannya niatnya. “Kalau mendengar suara Masahiro, pasti konsentrasiku akan langsung buyar.” Tori menjauhkan badannya untuk menyentil ujung hidung Masahiro.

“Benar-benar tak bisa dibicarakan denganku?” tanya Masahiro lagi.

“Aku pasti akan bicara dengan Masahiro, kok. Setelah aku pulang.”

Masahiro mendesah. “Sama sekali tak boleh tahu?”

“Jujur? Aku saja tak tahu apa yang sebenarnya ingin kupikirkan.” Tori meringis.

Mulut Masahiro membuka lalu menutup lagi. Matanya menyipit tak percaya lalu menggelengkan kepalanya. “Apa?”

Tori mengangkat kedua tangannya, menunduk kalah. “Aku  tahu memang kedengarannya tak masuk akal. Tapi saat ini rasanya kepalaku penuh sekali. Dengan kamu.” Tori merasa wajahnya memerah. “Aku terlalu banyak berpikir tentang kamu sampai-sampai lupa berpikir soal kita. Dan aku ingin menata pikiranku untuk itu. Maksudku... umh... sebelum... sebelum Masahiro melamarku nanti, aku ingin aku sudah punya gambaran yang jelas tapi aku tak tahu soal apa.”

“Oh, oh. Oh. Begitu? Umh....” Perasaan Masahiro bercampur aduk. Antara malu, senang, bahagia, bingung, apapun. Dia menjauh dari Tori lalu berjalan mondar-mandir di balkon sempit itu. Tangannya menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Sebentar kemudian, dia berhenti dan melihat ke arah Tori dengan takut-takut. “Umh, aku sama sekali tak berpikir lebih lanjut sejak mengambil keputusan itu. Maksudku, aku belum bicara lagi dengan kakak-kakakku juga.”

Tori terkikik geli. “Ya, makanya. Kamu sudah sempat berpikir dan bicara dengan kakak-kakakmu. Aku sama sekali belum sempat.”

Masahiro terdiam lalu mondar-mandir lagi. Tori nyaris saja mau menangkapnya dan menyuruhnya diam karena dia jadi ikut merasa gugup dan serba salah. Masahiro mendesah keras lalu mengacak-acak rambutnya lagi. Tori sudah siap-siap menimpuknya dengan korek api kalau Masahiro tak mau diam juga.

“Baiklah.” Pemuda itu berkacak pinggang. “Tapi Minggu malam aku akan menjemputmu di Kanagawa. Terserah kamu mau bilang apa.”

Tori mendekati pacarnya itu dan memeluk pinggang Masahiro. Kepalanya terangkat untuk menatap mata Masahiro lekat-lekat. Agak sulit karena cahaya lampu balkon yang tidak terlalu terang. “Takut aku tidak kembali?”

Masahiro membuang muka, pipinya menggembung dengan lucunya. Tori tertawa dan mencubit pipi itu dengan kedua tangan. “Dasar tukang ngambek. Percaya sedikit dong padaku.”

“Percaya kok.” Masahiro buru-buru melihat ke arah Tori.

“Kalau begitu, jadi anak manis dan tunggu aku ya.”

“Tapi Tori akan tetap kujemput hari Minggu malam.”

Tori memutar bola matanya. “Terserah.”

Beberapa jam kemudian, Tori masih tak bisa menutup matanya meskipun Masahiro sudah tertidur sangat pulas di sampingnya. Dihembuskannya nafasnya dengan perlahan dan ditatapnya wajah tidur Masahiro. Tak mengira kalau keputusan-keputusan impulsif yang diambilnya selama ini akan membawa mereka berdua sampai di tahap ini. Masahiro sudah bukan lagi anak SMU yang mengejarnya dengan ngotot. Tori sudah bukan lagi dokter muda yang senang-senang saja dijadikan target cinta monyet anak sekolahan. Masahiro adalah Masahiro yang mulai dewasa dan berpikir serius, setidaknya tentang mereka. Tori adalah Tori yang merasa beruntung dicintai seseorang dan ingin benar-benar hidup bersama orang itu.

Tori beringsut, mengecup pipi Masahiro dan membisikkan “Aishiteru” dengan sepenuh hati sebelum menutup matanya. Tori yakin ketika Masahiro menjemputnya di Kanagawa hari Minggu malam, dia sudah tak merasa kewalahan lagi dan tahu apa yang benar-benar diinginkannya dan bisa menyampaikannya dengan jelas pada Masahiro.

------

*jangan ditiru perbuatan Tori yang buang puntung sembarangan itu ya, adek2. Bahaya.* *dikemplang*