Author: Panda^^
Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: umh, it's pretty safe
Disclaimer: I do not own any characters depicted in this fic
Note: karena ada yang rikues Tori ngeliatin Ma-kun pas lagi pemotretan. Maaf kalo jadinya gak sesuai harapan m(_ _)m
Memang repot berlaku sebagai pacar yang baik. Setidaknya, itulah yang dipikirkan Tori ketika dia mengikuti Masahiro memasuki gedung tempat Masahiro akan bekerja hari itu. Hanya karena salah nyeletuk saat melihat-lihat foto-foto Masahiro untuk sebuah fashion brand di majalah, Masahiro jadi nyengir lebar dan menawarinya untuk ikut ke studio. Bukannya Tori tak mau, justru dia penasaran sekali. Hanya saja dia tak tahu harus melakukan apa. Masahiro bisa dibilang praktis tumbuh besar di lingkungan rumah sakit. Banyak yang bisa dia lakukan sementara menunggu Tori selesai bekerja. Sedangkan Tori asing sekali dengan dunia model ini malahan nyaris membatalkan datang karena tak ingin mengganggu. Masahiro meyakinkannya kalau model lain banyak juga yang mengajak teman, kakak, adik atau pacar mereka ke studio jadi Tori sama sekali tak perlu khawatir.
Bagaimanapun, yang namanya masuk ke lingkungan asing tetap membuat Tori canggung. Beberapa orang lalu lalang membawa kamera, lampu, tangga dan berbagai perlengkapan lain yang Tori tak yakin untuk apa. Masahiro menggamit tangan Tori dan mengaitkan jari-jari mereka saat melihat Tori celingukan bingung. “Ke sini.” ujarnya sambil menariknya untuk berbelok ke kiri. Mereka melewati beberapa pintu. Tampaknya cukup banyak pemotretan yang berlangsung hari itu. Ketika akhirnya sampai di studio yang dituju, Masahiro mendorong pintu metalik sampai membuka.
“Ohayo gozaimasssssu.” ujarnya ke seluruh ruangan dan langsung mendapat balasan dari berbagai arah.
Ruangan studio itu lebih kecil dari yang sebelumnya mereka lewati. Kru-nya pun tak banyak. Masahiro sudah cerita kalau hari ini tak akan melibatkan banyak orang. Meskipun begitu, semua orang di ruangan itu memandang ke arah mereka lalu tersenyum-senyum. Masahiro menariknya ke satu sudut ruangan, sepertinya tempat semua orang meletakkan barang-barang bawaan pribadi mereka karena banyak tas yang menumpuk di atas meja.
“Tori duduk di sini saja. Sebentar ya.” Masahiro langsung ngeloyor pergi di pojok lain ruangan dan membungkuk memberi salam pada beberapa orang. Tori duduk, menyilangkan kakinya dan memperhatikan ruangan itu. Backdrop, kamera, dan lampu sudah ditata. Kadang ada yang mondar-mandir memeriksa lampu atau kameranya. Di seberang tempat Tori duduk, seorang lelaki dan seorang perempuan sedang sibuk mengurus wardrobe. Di sudut lain lagi terbentang meja panjang yang bersinar karena dipasangi lampu di bagian bawahnya. Beberapa kamera, lensa dan sebuah laptop berlogo buah apel yang sudah digigit diletakkan di atasnya.
Pintu membuka lebar dan dua orang masuk membawa kereta saji berisi gelas-gelas kertas dengan logo lingkaran hijau yang mengeluarkan asap tipis. Semua orang langsung mengerubungi dan mengambil satu. Masahiro juga melakukan hal yang sama tapi dia mengambil dua gelas dan mendatangi Tori. Diangsurkannya satu pada Tori dan duduk di sebelah Tori.
“Belum harus siap-siap?” tanya Tori.
Masahiro melirik jam tangannya dan menghirup kopinya. “Sebentar lagi. Semua orang belum akan benar-benar kerja kalau kopinya belum datang.” Masahiro terkekeh.
Tori ikut tertawa mendengar kebiasaan antik itu. “Model satu lagi yang mana? Kamu bilang hanya akan ada dua kan hari ini?” tanyanya lagi.
Belum sempat Masahiro menjawab, seorang pria mendekat. Tubuhnya tinggi sekali dan rambutnya dicat coklat. Hidungnya agak bengkok dan gayanya flamboyan sekali. Satu tangannya memegang gelas kopi, yang satu lagi diselipkan ke dalam saku celananya. Pria itu memperhatikan Tori dari ujung rambut sampai ujung kaki tanpa malu-malu, tersenyum sedikit, lalu mengulurkan tangan.
“Yuzawa Kouichirou.” ujarnya menyebutkan nama.
Tori buru-buru berdiri dan menyambut uluran tangan itu. “Matsuzaka Tori.” Entah kenapa pria itu mengeluarkan aura yang berkesan kalau dia orang penting. Yuzawa-san mengangguk lalu memberi isyarat pada Masahiro untuk mengikutinya.
Dengan bingung, Tori menerima gelas kopi Masahiro sementara pemuda itu beranjak mengikuti pria itu ke tengah ruangan. Seorang pemuda lain menyusul dan mereka sibuk berdiskusi. Pria itu menunjuk-nunjuk sementara dua pemuda di depannya mengangguk-angguk sambil sesekali bergerak ke samping atau ke depan. Sebentar kemudian semua orang bergerak. Tori melihat Masahiro dan rekan modelnya itu berjalan ke arah meja rias sambil tertawa-tawa dan seorang penata rias dan seorang hair stylist langsung mengerubungi mereka. Bekerja cepat mengubah penampilan mereka.
Tori memperhatikan dengan penuh minat. Satu tangannya ditumpukan di atas lutut dan digunakan untuk menopang dagunya. Yuzawa-san sudah mengambil tempat, duduk di depan backdrop dan sibuk mengecek kamera. Sesekali kameranya dibidikkan pada sesuatu lalu mengerutkan keningnya sekilas saat mengecek hasilnya lewat LCD. Tiba-tiba lensa panjang itu mengarah padanya. Tori berkedip bingung dan Yuzawa-san mengedip padanya. Karena tak tahu harus bereaksi bagaimana, Tori hanya tersenyum.
Dan dia tak tahu harus bereaksi apa waktu melihat Masahiro berjalan ke arah rak berisi baju-baju, menerima sehelai yang diangsurkan oleh si penata busana dan ganti baju di tempat. Tanpa malu-malu Masahiro melepas kaus dan jeans belel-nya, memamerkan brief hitam ketatnya untuk dilihat semua orang dan mulai mengenakan kemeja putih dan celana bahan warna khaki. Wajah Tori bersemu merah dan sedikit cemburu. Tak rela karena ternyata selama ini orang lain, dan bukan hanya satu orang, biasa melihat Masahiro dalam kondisi setengah telanjang begitu. Model satunya menyusul, melakukan hal yang sama dan Tori harus membuang muka karena tak biasa melihat orang lain berganti baju di hadapannya.
Sebenarnya lucu juga karena dia kan dokter. Bukan sekali dua dia harus memeriksa pasien dalam kondisi tanpa busana. Tapi ini dan itu kan berbeda, Tori berpikir. Orang-orang itu kan pasien sementara yang di hadapannya bukan. Satu pacarnya dan satu lagi orang lain. Tori mulai merasa tak nyaman dan akhirnya memilih menyibukkan diri dengan ponselnya.
Kepalanya baru terangkat lagi saat mendengar aba-aba kalau pemotretan akan dimulai. Masahiro sudah berdiri di tengah ruangan, si penata busana sedang menggulung lengan kemeja Masahiro sementara si hair stylist menyemprotkan sedikit hair-spray lagi ke rambut Masahiro. Tori memandang tak berkedip. Rambut Masahiro tidak di-styling begitu rupa, malahan hanya dibiarkan jatuh dan berkesan alami. Kemejanya sengaja ditata tak rapi, seperti orang yang baru saja pulang bekerja dan menarik ujung-ujungnya dengan asal-asalan dengan tiga kancing teratas dibiarkan terbuka. Celananya mendekap sempurna kaki panjang Masahiro yang tak bersepatu.
“Uwaaaa....” gumamnya tanpa sadar. Diangkatnya ponselnya dan diam-diam mengambil gambar Masahiro yang mulai berpose sesuai arahan Yuzawa-san.
Saat itulah Tori merasa dia jatuh cinta sekali lagi pada Masahiro. Anak bandel yang biasanya tak pernah serius itu sekarang terlihat begitu intens. Matanya terfokus pada kamera, mengikuti arahan dan tidak menoleh-noleh ke arah lain, juga tidak pada Tori yang duduk hanya beberapa meter darinya. Yuzawa-san mulai bersemangat dan turun dari bangku tinggi yang didudukinya dan mengambil foto dari jarak dekat. Yuzawa-san tersenyum lebar sambil menggoda Masahiro dan membuat pemuda itu mengeluarkan ekspresi yang hanya dilihat Tori kalau Masahiro sedang merayunya di tempat tidur.
Tori tak suka.
Helaan nafas lega meluncur saat Masahiro beranjak digantikan oleh model yang satu lagi. Tori tak terlalu peduli karena sibuk memperhatikan Masahiro yang sekali lagi berganti pakaian. Dia tertawa terbahak-bahak saat si penata busana menepuk-nepuk perutnya yang akhir-akhir ini semakin kencang. Tori merengut, mulai menyesal ikut. Seharusnya dia di rumah saja atau jalan-jalan dengan Tesshi, anjing kecil milik Masahiro yang baru diadopsi beberapa minggu lalu. Dia tak perlu melihat semua ini dan mengetahui kalau ternyata hal-hal yang selama ini dipikirnya hanya miliknya ternyata juga milik orang banyak.
Mood-nya memburuk di sesi kedua pemotretan itu. Kali ini kedua model itu berpose berdua dan entah kenapa Yuzawa-san terlihat makin senang kalau kedua modelnya makin menempel. Duduk saling membelakangi sambil bersandar ke punggung yang lain, berdiri berhadapan sambil saling lirik nakal, saling menumpukan lengan di pundak yang lain, pose-pose semacam itu. Tori sudah nyaris mau pergi saja ketika Yuzawa-san mengisyaratkan kalau mereka sudah selesai. Tori menghembuskan nafas yang ditahannya sejak tadi tanpa sadar. Tangannya juga terasa pegal karena menggenggam ponselnya dengan terlalu erat.
Semua orang sibuk mondar-mandir sementara kedua model itu berganti pakaian dengan baju mereka sendiri sambil sesekali membungkuk berterima kasih pada para kru yang menyapa. Masahiro juga tak langsung menghampiri Tori tapi ikut berkerumun di meja tempat kamera-kamera diletakkan. Yuzawa-san rupanya sedang melihat-lihat hasil jepretannya dan semua orang ingin melihat. Mereka tertawa-tawa sambil berkomentar.
Dengan perlahan, Tori mengambil tas Masahiro dan berjalan mendekati kerumunan itu. Untunglah Masahiro berdiri paling belakang, tak perlu ikut berdesak-desakan karena tinggi badannya. Ada senyum puas di bibir Masahiro. Tori berdiri di sisi kiri Masahiro dan menyelipkan jari-jari tangan kanannya ke antara jari-jari tangan kanan Masahiro dan menggenggam. Masahiro menoleh dan tersenyum lebar, balas menggenggam tangan Tori. Ditariknya tangan mereka ke belakang jadi Tori pun harus beringsut mendekat.
“Aah, ini pak dokter yang selalu kau banggakan itu ya?”
Mereka berdua menoleh dan melihat model yang satu lagi itu sedang tersenyum-senyum. Masahiro nyengir lebar. “Ini Matsuzaka Tori-sensei. Tori, ini temanku, Totani Kimito.”
Tori hanya bisa mengangguk karena tangannya masih digenggam Masahiro. “Doumo.” ujarnya.
Pemuda itu balas mengangguk, mengibaskan dua jarinya sambil mengerling. “Dia berisik sekali soal Sensei loh. Bekerja di Keigo ya? Dulu aku pernah ke sana karena keseleo.”
Tori mengedip-ngedipkan matanya. “Oooh, ya, ya. Sepertinya aku pernah melihatmu. Sekarang lengannya sudah tak apa-apa?”
Totani mengangguk-angguk. “Harus dibebat lama, tapi sekarang sudah oke lagi.”
Ganti Tori yang mengangguk-angguk. Dirasakannya Masahiro menggenggam tangannya dengan lebih erat. Tori menoleh. “Sudah boleh pulang?” tanyanya.
“Sudah lapar ya?” tanya Masahiro sambil nyengir dan Tori hanya mengangguk sebagai jawaban.
Setelah pamit kiri-kanan dan sekali lagi jadi obyek foto dadakan Yuzawa, mereka akhirnya meninggalkan gedung itu. Masahiro melompat-lompat, terlihat ceria sekali.
“Tori mau makan di mana?” tanya Masahiro, masih tersenyum lebar tapi lalu keheranan karena Tori sudah berdiri dekat sekali di depannya. “Tori?”
Tori melingkarkan tangannya ke pinggang Masahiro dengan sedikit posesif. Masih kesal dan tak rela dengan apa yang dilihatnya di dalam sana. Masahiro miliknya. Cuma miliknya. Untuk urusan yang ini, Tori tak mau berbagi dengan siapapun.
Masahiro kebingungan. Disentuhnya pipi Tori dengan lembut dan bertanya dengan khawatir. “Kenapa? Sudah lapar sekali ya? Maaf ya, tadi kelamaan ya?”
Tori menggeleng. Masahiro tersenyum lega. “Jadi, mau makan di mana?” tanyanya lagi.
Tori mengeratkan pelukannya di pinggang Masahiro. “Kamar Masahiro saja.”
Kening Masahiro berkerut, antara heran dan ingin tertawa. “Tak ada makanan di kamarku.”
“Ada kok.” Tori beringsut semakin dekat dan menatap Masahiro dengan lapar. “Masahiro.”
Masahiro menelan ludah.
Bagaimanapun, yang namanya masuk ke lingkungan asing tetap membuat Tori canggung. Beberapa orang lalu lalang membawa kamera, lampu, tangga dan berbagai perlengkapan lain yang Tori tak yakin untuk apa. Masahiro menggamit tangan Tori dan mengaitkan jari-jari mereka saat melihat Tori celingukan bingung. “Ke sini.” ujarnya sambil menariknya untuk berbelok ke kiri. Mereka melewati beberapa pintu. Tampaknya cukup banyak pemotretan yang berlangsung hari itu. Ketika akhirnya sampai di studio yang dituju, Masahiro mendorong pintu metalik sampai membuka.
“Ohayo gozaimasssssu.” ujarnya ke seluruh ruangan dan langsung mendapat balasan dari berbagai arah.
Ruangan studio itu lebih kecil dari yang sebelumnya mereka lewati. Kru-nya pun tak banyak. Masahiro sudah cerita kalau hari ini tak akan melibatkan banyak orang. Meskipun begitu, semua orang di ruangan itu memandang ke arah mereka lalu tersenyum-senyum. Masahiro menariknya ke satu sudut ruangan, sepertinya tempat semua orang meletakkan barang-barang bawaan pribadi mereka karena banyak tas yang menumpuk di atas meja.
“Tori duduk di sini saja. Sebentar ya.” Masahiro langsung ngeloyor pergi di pojok lain ruangan dan membungkuk memberi salam pada beberapa orang. Tori duduk, menyilangkan kakinya dan memperhatikan ruangan itu. Backdrop, kamera, dan lampu sudah ditata. Kadang ada yang mondar-mandir memeriksa lampu atau kameranya. Di seberang tempat Tori duduk, seorang lelaki dan seorang perempuan sedang sibuk mengurus wardrobe. Di sudut lain lagi terbentang meja panjang yang bersinar karena dipasangi lampu di bagian bawahnya. Beberapa kamera, lensa dan sebuah laptop berlogo buah apel yang sudah digigit diletakkan di atasnya.
Pintu membuka lebar dan dua orang masuk membawa kereta saji berisi gelas-gelas kertas dengan logo lingkaran hijau yang mengeluarkan asap tipis. Semua orang langsung mengerubungi dan mengambil satu. Masahiro juga melakukan hal yang sama tapi dia mengambil dua gelas dan mendatangi Tori. Diangsurkannya satu pada Tori dan duduk di sebelah Tori.
“Belum harus siap-siap?” tanya Tori.
Masahiro melirik jam tangannya dan menghirup kopinya. “Sebentar lagi. Semua orang belum akan benar-benar kerja kalau kopinya belum datang.” Masahiro terkekeh.
Tori ikut tertawa mendengar kebiasaan antik itu. “Model satu lagi yang mana? Kamu bilang hanya akan ada dua kan hari ini?” tanyanya lagi.
Belum sempat Masahiro menjawab, seorang pria mendekat. Tubuhnya tinggi sekali dan rambutnya dicat coklat. Hidungnya agak bengkok dan gayanya flamboyan sekali. Satu tangannya memegang gelas kopi, yang satu lagi diselipkan ke dalam saku celananya. Pria itu memperhatikan Tori dari ujung rambut sampai ujung kaki tanpa malu-malu, tersenyum sedikit, lalu mengulurkan tangan.
“Yuzawa Kouichirou.” ujarnya menyebutkan nama.
Tori buru-buru berdiri dan menyambut uluran tangan itu. “Matsuzaka Tori.” Entah kenapa pria itu mengeluarkan aura yang berkesan kalau dia orang penting. Yuzawa-san mengangguk lalu memberi isyarat pada Masahiro untuk mengikutinya.
Dengan bingung, Tori menerima gelas kopi Masahiro sementara pemuda itu beranjak mengikuti pria itu ke tengah ruangan. Seorang pemuda lain menyusul dan mereka sibuk berdiskusi. Pria itu menunjuk-nunjuk sementara dua pemuda di depannya mengangguk-angguk sambil sesekali bergerak ke samping atau ke depan. Sebentar kemudian semua orang bergerak. Tori melihat Masahiro dan rekan modelnya itu berjalan ke arah meja rias sambil tertawa-tawa dan seorang penata rias dan seorang hair stylist langsung mengerubungi mereka. Bekerja cepat mengubah penampilan mereka.
Tori memperhatikan dengan penuh minat. Satu tangannya ditumpukan di atas lutut dan digunakan untuk menopang dagunya. Yuzawa-san sudah mengambil tempat, duduk di depan backdrop dan sibuk mengecek kamera. Sesekali kameranya dibidikkan pada sesuatu lalu mengerutkan keningnya sekilas saat mengecek hasilnya lewat LCD. Tiba-tiba lensa panjang itu mengarah padanya. Tori berkedip bingung dan Yuzawa-san mengedip padanya. Karena tak tahu harus bereaksi bagaimana, Tori hanya tersenyum.
Dan dia tak tahu harus bereaksi apa waktu melihat Masahiro berjalan ke arah rak berisi baju-baju, menerima sehelai yang diangsurkan oleh si penata busana dan ganti baju di tempat. Tanpa malu-malu Masahiro melepas kaus dan jeans belel-nya, memamerkan brief hitam ketatnya untuk dilihat semua orang dan mulai mengenakan kemeja putih dan celana bahan warna khaki. Wajah Tori bersemu merah dan sedikit cemburu. Tak rela karena ternyata selama ini orang lain, dan bukan hanya satu orang, biasa melihat Masahiro dalam kondisi setengah telanjang begitu. Model satunya menyusul, melakukan hal yang sama dan Tori harus membuang muka karena tak biasa melihat orang lain berganti baju di hadapannya.
Sebenarnya lucu juga karena dia kan dokter. Bukan sekali dua dia harus memeriksa pasien dalam kondisi tanpa busana. Tapi ini dan itu kan berbeda, Tori berpikir. Orang-orang itu kan pasien sementara yang di hadapannya bukan. Satu pacarnya dan satu lagi orang lain. Tori mulai merasa tak nyaman dan akhirnya memilih menyibukkan diri dengan ponselnya.
Kepalanya baru terangkat lagi saat mendengar aba-aba kalau pemotretan akan dimulai. Masahiro sudah berdiri di tengah ruangan, si penata busana sedang menggulung lengan kemeja Masahiro sementara si hair stylist menyemprotkan sedikit hair-spray lagi ke rambut Masahiro. Tori memandang tak berkedip. Rambut Masahiro tidak di-styling begitu rupa, malahan hanya dibiarkan jatuh dan berkesan alami. Kemejanya sengaja ditata tak rapi, seperti orang yang baru saja pulang bekerja dan menarik ujung-ujungnya dengan asal-asalan dengan tiga kancing teratas dibiarkan terbuka. Celananya mendekap sempurna kaki panjang Masahiro yang tak bersepatu.
“Uwaaaa....” gumamnya tanpa sadar. Diangkatnya ponselnya dan diam-diam mengambil gambar Masahiro yang mulai berpose sesuai arahan Yuzawa-san.
Saat itulah Tori merasa dia jatuh cinta sekali lagi pada Masahiro. Anak bandel yang biasanya tak pernah serius itu sekarang terlihat begitu intens. Matanya terfokus pada kamera, mengikuti arahan dan tidak menoleh-noleh ke arah lain, juga tidak pada Tori yang duduk hanya beberapa meter darinya. Yuzawa-san mulai bersemangat dan turun dari bangku tinggi yang didudukinya dan mengambil foto dari jarak dekat. Yuzawa-san tersenyum lebar sambil menggoda Masahiro dan membuat pemuda itu mengeluarkan ekspresi yang hanya dilihat Tori kalau Masahiro sedang merayunya di tempat tidur.
Tori tak suka.
Helaan nafas lega meluncur saat Masahiro beranjak digantikan oleh model yang satu lagi. Tori tak terlalu peduli karena sibuk memperhatikan Masahiro yang sekali lagi berganti pakaian. Dia tertawa terbahak-bahak saat si penata busana menepuk-nepuk perutnya yang akhir-akhir ini semakin kencang. Tori merengut, mulai menyesal ikut. Seharusnya dia di rumah saja atau jalan-jalan dengan Tesshi, anjing kecil milik Masahiro yang baru diadopsi beberapa minggu lalu. Dia tak perlu melihat semua ini dan mengetahui kalau ternyata hal-hal yang selama ini dipikirnya hanya miliknya ternyata juga milik orang banyak.
Mood-nya memburuk di sesi kedua pemotretan itu. Kali ini kedua model itu berpose berdua dan entah kenapa Yuzawa-san terlihat makin senang kalau kedua modelnya makin menempel. Duduk saling membelakangi sambil bersandar ke punggung yang lain, berdiri berhadapan sambil saling lirik nakal, saling menumpukan lengan di pundak yang lain, pose-pose semacam itu. Tori sudah nyaris mau pergi saja ketika Yuzawa-san mengisyaratkan kalau mereka sudah selesai. Tori menghembuskan nafas yang ditahannya sejak tadi tanpa sadar. Tangannya juga terasa pegal karena menggenggam ponselnya dengan terlalu erat.
Semua orang sibuk mondar-mandir sementara kedua model itu berganti pakaian dengan baju mereka sendiri sambil sesekali membungkuk berterima kasih pada para kru yang menyapa. Masahiro juga tak langsung menghampiri Tori tapi ikut berkerumun di meja tempat kamera-kamera diletakkan. Yuzawa-san rupanya sedang melihat-lihat hasil jepretannya dan semua orang ingin melihat. Mereka tertawa-tawa sambil berkomentar.
Dengan perlahan, Tori mengambil tas Masahiro dan berjalan mendekati kerumunan itu. Untunglah Masahiro berdiri paling belakang, tak perlu ikut berdesak-desakan karena tinggi badannya. Ada senyum puas di bibir Masahiro. Tori berdiri di sisi kiri Masahiro dan menyelipkan jari-jari tangan kanannya ke antara jari-jari tangan kanan Masahiro dan menggenggam. Masahiro menoleh dan tersenyum lebar, balas menggenggam tangan Tori. Ditariknya tangan mereka ke belakang jadi Tori pun harus beringsut mendekat.
“Aah, ini pak dokter yang selalu kau banggakan itu ya?”
Mereka berdua menoleh dan melihat model yang satu lagi itu sedang tersenyum-senyum. Masahiro nyengir lebar. “Ini Matsuzaka Tori-sensei. Tori, ini temanku, Totani Kimito.”
Tori hanya bisa mengangguk karena tangannya masih digenggam Masahiro. “Doumo.” ujarnya.
Pemuda itu balas mengangguk, mengibaskan dua jarinya sambil mengerling. “Dia berisik sekali soal Sensei loh. Bekerja di Keigo ya? Dulu aku pernah ke sana karena keseleo.”
Tori mengedip-ngedipkan matanya. “Oooh, ya, ya. Sepertinya aku pernah melihatmu. Sekarang lengannya sudah tak apa-apa?”
Totani mengangguk-angguk. “Harus dibebat lama, tapi sekarang sudah oke lagi.”
Ganti Tori yang mengangguk-angguk. Dirasakannya Masahiro menggenggam tangannya dengan lebih erat. Tori menoleh. “Sudah boleh pulang?” tanyanya.
“Sudah lapar ya?” tanya Masahiro sambil nyengir dan Tori hanya mengangguk sebagai jawaban.
Setelah pamit kiri-kanan dan sekali lagi jadi obyek foto dadakan Yuzawa, mereka akhirnya meninggalkan gedung itu. Masahiro melompat-lompat, terlihat ceria sekali.
“Tori mau makan di mana?” tanya Masahiro, masih tersenyum lebar tapi lalu keheranan karena Tori sudah berdiri dekat sekali di depannya. “Tori?”
Tori melingkarkan tangannya ke pinggang Masahiro dengan sedikit posesif. Masih kesal dan tak rela dengan apa yang dilihatnya di dalam sana. Masahiro miliknya. Cuma miliknya. Untuk urusan yang ini, Tori tak mau berbagi dengan siapapun.
Masahiro kebingungan. Disentuhnya pipi Tori dengan lembut dan bertanya dengan khawatir. “Kenapa? Sudah lapar sekali ya? Maaf ya, tadi kelamaan ya?”
Tori menggeleng. Masahiro tersenyum lega. “Jadi, mau makan di mana?” tanyanya lagi.
Tori mengeratkan pelukannya di pinggang Masahiro. “Kamar Masahiro saja.”
Kening Masahiro berkerut, antara heran dan ingin tertawa. “Tak ada makanan di kamarku.”
“Ada kok.” Tori beringsut semakin dekat dan menatap Masahiro dengan lapar. “Masahiro.”
Masahiro menelan ludah.
---
INI PASTI ADA LANJUTAN DI BAWAHNYA.
ReplyDeleteKeluarkan, mama.san!
awww sensei, jangan cemburu begitu dong, lagipula perut pacarmu tidak seseksi sensei kok. Uwuwuwu lucunyaaa yang lagi jeles. . .
Lanjutan apa? *pasang lingkaran halo*
ReplyDeletepas nulis itu yaaa, gue cuek aja karena... Ma-kun emang gak punya otot di perut kan? XDDDD
lanjutan adegan makan memakan itu~
ReplyDeleteehm, uh, ya, perutnya rada ndud. ~kabur sebelum dibejek Aneki~
...gw lg makan babi sambil baca fic ini. Jd makin napsu. *dilempar Ma-kun*
ReplyDeleteNei, bukannya Ma-kun ceking ya? *lmao*
SAYA MAU BABIII~~~ *colong bakutnya*
ReplyDeleteIya, perutnya Ma-kun trepes huahahahaha
Porsinya gawat nih, gw musti susah-payah ngabisinnya. Coba lu di sini. *lmao*
ReplyDeleteUntung dia keren, kalau nggak, udah gw katain cungkring dari kapan tuh (ninja)
eh, itu bakut di sebelah mana? Kenanga?
ReplyDeletetapi kan emang cungkring LOL
mama-san... mana lanjutannya???? pasti bener kata nei, lanjutannya pasti diumpetin ya??? hayoooo..... *kitik2 mama-san*
ReplyDeleteaneki.... mau..... *ngiler kelaperan*
ReplyDeletehabis perutnya itu. . . ~dibuang~ tapi saya doyan kok.
ReplyDeletehau, mau lihat Ma.kun pake spandex, pasti nyam nyam sekaliii.
Perutnya trepes, gak ada ototnya gituuu huahahahaha tapi udelnya lucu :p
ReplyDeleteBukan spandex kok, Nei. Bahannya katun biasa. Spandex gak bgs buat bahan brief, nanti piyo-nya mengkeret :p
Siyaaal jd pengen ke Ya Udah. Pork Choooop
ka, kasihan kalau piyonya mengkeret. ~kasih baby oil~
ReplyDeleteOi, kenapa tiba2 ada kata piyo?! *lmao*
ReplyDeleteSensei, memang bed eyes pacarmu itu sangat yabaiXD. & ada Kimi-chan <3
Senaa~~ng.., Mama-san~ *kiss2*
Kimi-chaaaaaan~! *lari-lari meluk Kimi-chan* *disambit semua orang*
ReplyDeleteWuwuwuwuwu lucunya yang lagi jeles. Ahiak. *poke-poke pipi Ma-kun*
...lho kok Ma-kun sih, Tori!
ReplyDeleteSilakan di-refresh, anak-anak! Gue tau ini lagi takbiran, tapi gara2 tadi sore ada yang tereak2 minta stensilan, ya sudahlah *ngumpet*
ReplyDelete.................................... UNTUNG GW BEGADANG. FUCK YES. HUAHAHAHA.
ReplyDeleteDeimn. Dia masih bangun. LOL.
ReplyDeleteTadi gw tidur dari sore sampe jam 11.
ReplyDeleteMUAHAHAHAHA.
OH MY GOD.
Pantes aja lah lu seger gitu huahahahaha
ReplyDeleteMA-KUN BENERAN DIMAKAAANNN HUAHAHAHA *Icha gila*
ReplyDeletePAGI PAGI SEGAAAAR. AH UNTUNG GUE GA SHOLAT.
ReplyDeleteSilakan! Makan sambil baca fic ini. Serius, makin semangat deh. *kabur*
ReplyDeleteFood Louver-nya Grand Indo, kan ada Putri Kenanga, sempalannya Kenanga asli itu. XDD
ReplyDeleteMakanya, untung cakep. XDDD
*baca....*
ReplyDelete*mimisan....*
*tiba2 tbayang adegan 'makan'nya mreka*
tulis.... enggak..... tuliiss.... enggaakk.... :p
Tulis, dan bagilah pada kami... Hihihi.
ReplyDeleteeh, aduh, hai?
ReplyDelete