Saturday, November 6, 2010

[long one shot] AU Ma-kunxTori - Omiai

Title: Omiai

Author: Panda^^

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger

Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori

Rating: NC-17

Warning: NSFW

Disclaimer: I do not own anyone.

Note: Aieeee... jadi panjang sangat one shot ini *___* Anyway, mohon dimaafkan kalo dangdut m(_ _)m




Tori baru saja mengenakan jaketnya dan bersiap pulang saat ibunya memanggilnya sambil meletakkan tumpukan map di atas meja. Tori menatap tumpukan map cantik berbahan mengkilap itu. Matanya berkedip-kedip bingung.

“Kenapa wajahmu begitu?” tanya ibunya sambil duduk di depannya, menyilangkan kaki dan minum teh dengan anggun.

“Ini apa?” Tori menunjuk tumpukan itu.

Ibunya memutar bola matanya seolah-olah Tori seharusnya tak perlu bertanya lagi. “Tentu saja calon-calon pelamarmu.”

Tori mendesah dan menggaruk bagian belakang kepalanya. Sambil meringis, dia bertanya, “Harus sekarang?”

“Dibawa pulang juga tak apa-apa.” Jawab ibunya dengan acuh.

Tori tak bisa berkata apa-apa lagi. Kalau dia menolak, pasti mereka akan terlibat perdebatan panjang dan dia sedang malas berdebat. Dia hanya ingin pulang saja. “Ya sudah. Kalau sempat akan kulihat.” Ujarnya akhirnya sambil meraup map-map itu dengan dua lengan lalu beranjak ke pintu.

“Kelima dari atas! Pertimbangkan baik-baik! Pihak mereka mengharapkan jawaban minggu depan!” seru ibunya ke punggungnya.

Tori nyaris tersandung.

Akhirnya map-map itu hanya tergeletak di dekat rak buku karena Tori memang malas melihat. Ini sudah kesekian kalinya ibunya menyodorkan tumpukan map seperti itu. Biasanya Tori akan menyimpannya selama dua minggu, waktu yang cukup untuk mengesankan kalau dia sudah mempelajari semua kandidat di tiap map, lalu mengembalikan map-map itu pada ibunya. “Tak ada yang menarik.” ujarnya selalu.

Kali ini pun dia berniat seperti itu.

Tapi malam itu, saat sedang tak tahu mau melakukan apa dan bosan karena acara di televisi tak ada yang menarik, mau tak mau matanya tertuju pada tumpukan itu. Sekedar iseng, dan karena penasaran kenapa kali ini ibunya menyebut secara spesifik dia harus mempertimbangkan map kelima dari atas, Tori akhirnya mengambil map yang dimaksud. Dia menghitung lima map ke bawah lalu menarik keluar sebuah map berwarna biru muda.

 

Sambil merebahkan badannya di sofa, Tori membuka map itu. Di halaman depannya terpampang foto seorang laki-laki mengenakan jas. Wajahnya lumayan tampan dengan alis yang tebal membingkai wajahnya. Pria yang ternyata bernama Daito Shunsuke itu lebih tua dua tahun dari Tori. Lulusan Waseda. Pengacara muda, bekerja di sebuah badan hukum ternama. Anehnya, orang ini punya cara tersenyum yang nyaris sama dengan Masahiro: salah satu sudut bibir terangkat agak lebih tinggi. Oh, ulang tahunnya pun hanya beda seminggu dengan ulang tahun Masahiro.

 

Tori pun makin penasaran. Sebenarnya apa yang membuat ibunya menyuruhnya untuk mempertimbangkan pria ini. Sepertinya tak ada yang terlalu istimewa dari pria ini dibandingkan dengan pelamar lain yang sudah pernah dibaca Tori. Semuanya lulusan universitas bagus dengan karir menjanjikan. Lalu apa yang membuatnya menarik? Karena tak juga menemukan apa yang sangat istimewa dari orang ini akhirnya Tori menyerah dan menelepon ibunya.

 

“Ohohohoho. Sudah Ibu duga kamu pasti akan sangat suka padanya. Anaknya menyenangkan sekali loh.” Ujar Ibunya begitu Tori bertanya.

 

“Bukan. Aku hanya tak menemukan apa yang membuatku harus mempertimbangkan dia seperti kata Ibu.” Tori mendengus.

 

Ibunya ganti mendengus. “Shunsuke-kun itu anak teman Ibu. Ibu sudah sering bertemu dengannya dan sepertinya dia tertarik padamu waktu Ibu tunjukkan fotomu padanya. Ibu suka padanya. Anaknya sopan sekali.”

 

“Tunggu. Ibu membawa-bawa fotoku?” Tori menutup wajahnya dengan tangan.

 

“Iya. Memangnya kenapa? Buktinya ada gunanya juga selain pelepas kangen kan?”

 

“Ibu~.”

 

Ibunya langsung mengacuhkannya dan melanjutkan. “Ya sudah, kalau begitu Ibu akan bilang pada mereka kalau omiai-nya minggu ini saja.”

 

“Tak bisa!” Tori buru-buru menyahut. “Aku harus piket minggu ini.”

 

“Kalau begitu akhir minggu ini.”

 

“Ibu, aku kan belum bilang apakah aku mau bertemu dia.” Ujar Tori dengan nada sebal dan setengah merajuk.

 

“Bertemu saja kan tidak ada salahnya. Ibu jamin kau pasti juga akan suka, kok.”

 

“Tapi, Bu...”

 

“Matsuzaka Tori! Kecuali kau sudah punya calon sendiri yang ingin kau kenalkan, tak usah protes! Ini kan cuma berkenalan. Kalau ternyata kau tak suka, ya sudah! “ dan nada sibuk menyusul kalimat ibunya. Teleponnya sudah ditutup.

 

Tori menghela nafas. Ibu jari dan telunjuknya memijat dahinya karena mendadak merasa pusing. Dilemparnya map yang masih dipegangnya itu ke sudut ruangan dan dia mondar-mandir keliling ruangan dengan gelisah. Seharusnya dia menolak dengan tegas karena beda dengan tahun-tahun sebelumnya, sekarang ada Masahiro. Kenapa dia tidak bilang saja kalau sudah ada Masahiro? Karena Masahiro lebih muda darinya. Karena pembicaraan pernikahan tak akan muncul lagi setidaknya sampai setelah Masahiro lulus. Itupun kalau Masahiro mau dan benar-benar bertanya dengan serius pada Tori.

 

-------

 

Nanti sore kita buat nabe yuk! Seperti yang dibuat Tori dulu itu loh. Aku sedang ingin makan itu.

 

Tori menatap pesan yang baru saja masuk dan membalas buru-buru.

 

Gomen. Aku lupa bilang padamu ya? Aku sedang di Kanagawa. Ada urusan keluarga.

 

Eh? Ada sepupumu yang lain menikah juga?

 

Bukan. Pertemuan keluarga biasa kok. Besok saja kita buat nabe ya. Nanti malam aku pulang kok.

 

Okay :*

 

:*

 

“Tori!” desis ibunya lewat sudut bibir.

 

Tori menoleh dan buru-buru menunduk meminta maaf pada semua orang di ruangan itu. “Maaf. Tadi dari rumah sakit.”

 

Ibunya juga ikut menunduk minta maaf. “Maafkan. Anak ini memang tidak sopan. Di saat seperti ini masih saja mengurusi pekerjaan.”

 

Seorang wanita setengah baya yang duduk di depan mereka menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. “Tidak, tidak. Tak usah dipikirkan. Dokter memang selalu sibuk kan?”

 

Tori hanya tersenyum. Seandainya mereka semua tahu dengan siapa mereka bertukar pesan barusan.

 

Ibunya menepuk tangan. “Kalau begitu, mungkin sebaiknya kita memberi waktu untuk mereka berdua untuk saling mengenal ya.”

 

Wanita di depannya mengangguk setuju. Dia menoleh pada Daito Shunsuke yang sedari tadi juga sama seperti Tori, hanya tersenyum kecil dan menjawab kalau ditanya. “Shunsuke-san, Tori-san, goyukkuri.”

 

Sepeninggal dua wanita itu, mereka masih terdiam. Tori akhirnya bangkit berdiri. “Anu, mau sambil jalan-jalan di taman?”

 

Shunsuke tersenyum dan mengangguk setuju. “Kakiku sudah nyaris kesemutan.”

 

Tori tersenyum geli. “Sebenarnya aku juga hampir kesemutan.”

 

Mereka saling melempar cengiran dan berjalan ke taman. Tori melepas jasnya, melipatnya dengan rapi lalu disampirkan ke lengannya. Shunsuke menyejajari langkahnya.

 

“Jadi ibu-ibu kita memang akrab ya?” ujar Tori membuka pembicaraan.

 

Shunsuke mengangguk. “Bibi Amami memang sering ke rumah.”

 

“Jadi rumah rekan bisnis yang selalu didatangi Ibu itu memang rumahmu ya.”

 

“Begitulah.” Shunsuke tersenyum. “Tapi sepertinya Matsuzaka-sensei tidak terlalu mengenal Ibuku ya?”

 

Tori memiringkan kepalanya. “Kalau diingat-ingat sih, sepertinya aku memang pernah bertemu Ibumu beberapa kali tapi waktu kecil dulu aku tak terlalu perhatian.” Tori nyengir malu.

 

Shunsuke tersenyum. “Ibuku memang agak pendiam. Beda dengan ibumu ya. Ah, maksudku, ibumu sepertinya selalu ceria.”

 

Tori balas tersenyum. “Iya. Begitulah.”

 

Mereka berjalan memutari kolam kecil di tengah taman itu. Shunsuke mengajak Tori duduk di bangku batu di bawah sebuah pohon sakura. Karena sedang tak musim, pohon itu terlihat biasa saja tapi cukup melindungi dari matahari.

 

“Ngomong-ngomong,” Kali ini Shunsuke yang mulai. “Terima kasih sudah memberiku kesempatan ya.” Dia menatap Tori dengan lembut. “Aku senang sekali karena Bibi Amami selalu cerita banyak tentang kamu. Aku jadi penasaran sekali. Makanya aku setuju saja waktu ditawari untuk ikut omiai ini.”

 

“Ah, tidak, tidak.” Tori buru-buru menanggapi. Dia ragu sejenak lalu balas memandang Shunsuke. Yang ditemukannya adalah senyum miring yang sedikit mirip dengan senyum Masahiro itu. Jantung Tori langsung berdegup tak karuan, mendadak merasa bersalah sekali pada Masahiro karena menghadiri perjodohan ini.

 

“Ada apa?” tanya Shunsuke khawatir.

 

“Tidak apa-apa. Maksudku, aku juga. Penasaran. Ibuku secara spesifik menunjukmu. Rupanya karena ternyata kau anak rekan dekatnya.” Tori buru-buru menjawab.

 

Shunsuke mengangguk-angguk. “Begitu ya? Tapi, sepertinya Matsuzaka-sensei tak terlalu bersemangat ya?”

 

Tori menatapnya bingung.

 

“Maaf. Maksudku.... Aku memperhatikanmu sejak diperkenalkan tadi. Meskipun kamu tersenyum dan tampak sopan tapi kamu tidak pernah benar-benar memandangku. Maksudku, aku sudah beberapa kali ikut omiai, biasanya kami akan saling mencuri pandang dan sibuk menilai tapi Matsuzaka-sensei tidak. Matamu baru hidup waktu ada pesan masuk ke handphone-mu tadi. Jadi, kalau boleh kutebak, itu bukan dari rumah sakit kan?”

 

Ditebak seperti itu, Tori jadi malu sekali. Wajahnya memerah dan dia jadi salah tingkah.

 

“Jadi benar-benar karena ibumu ya?” Shunsuke mendesah tapi dia masih tersenyum.

 

“Maaf.” Bisik Tori lirih.

 

Shunsuke mengibaskan tangannya. “Tak perlu minta maaf. Ini kan masih perkenalan. Seperti yang kubilang, aku juga sebenarnya masih penasaran saja kok. Kalau ternyata memang tak jodoh, aku tak akan sakit hati.”

 

Tori memandangnya dan mau tak mau jadi tersenyum. “Daito-san baik ya.”

 

Wajah pria itu langsung bersemu merah. “Umh, panggil Shunsuke saja. Setidaknya, kalau tak bisa jadi denganmu, kita tetap bisa jadi teman kan? Matsuzaka-sensei sepertinya orang yang menyenangkan”

 

Tori tersipu. “Kalau begitu, panggil Tori saja juga tak apa-apa.”

 

“Tori.”

 

“Apa, Shunsuke?”

 

Mereka tertawa.

 

“Orang itu beruntung sekali ya.”

 

“Eh, siapa?” tanya Tori.

 

“Yang berkirim pesan denganmu tadi. Habis, Tori manis sekali.”

 

Kesekian kalinya, Tori tersipu. “Shunsuke senang membuat orang malu ya?”

 

“Aku cuma mengatakan yang sebenarnya, kok. Kalau boleh tahu, siapa orangnya?” Shunsuke menatapnya dengan penuh ingin tahu.

 

“Umh.” Tori ragu sejenak tapi mungkin tak ada salahnya bercerita. “Dia lebih muda sih. Adik direktur rumah sakit tempatku bekerja. Orangnya agak temperamental, suka seenaknya sendiri, sombong, suka manja dan agak angkuh.”

 

Shunsuke tertawa. “Nani soreeee? Jangan mengatakan keburukannya dengan nada sayang begitu dong. Kedengarannya kamu benar-benar jatuh cinta deh.”

 

Tori hanya tersenyum kecil.

 

“Eh? Sungguh? Waaaaaah. Kalau begitu, kenapa tidak dikenalkan dengan ibumu? Jadi kau tak perlu terseret ke omiai seperti ini kan?”

 

Tori meluruskan kakinya, menumpukan yang kanan di atas kaki kirinya. “Aku tak tahu bagaimana harus bercerita pada ibuku. Lagipula, dia masih kuliah dan kami sama sekali tidak pernah bicara hubungan ini mau dibawa ke mana. Aku tak ingin memaksa.” Tori menunduk, memperhatikan rerumputan di bawah kakinya. “Waktu itu sih, dia pernah bertanya: kalau seandainya dia bertanya apakah aku mau menikah dengannya. Tapi itu diucapkannya lebih karena penasaran. Aku tak ingin dia begitu.”

 

“Ya ampun. Kalian membuatku iri deh.” Komentar Shunsuke. Dia melipat tangan di depan dada dan mengerutkan dagu. “Hmmm... susah juga ya. Tapi sebenarnya dia serius denganmu kan?”

 

“Sepertinya sih. Menurut kakak-kakaknya, dia itu sebenarnya cepat bosan. Tak pernah pacaran lebih lama dari sebulan.”

 

Shunsuke mengangguk-angguk seolah mengerti. “Kapan-kapan, kenalkan padaku ya.”

 

“Eh?”

 

“Habis, orangnya bikin penasaran.” Shunsuke mengerling.

 

 

Tak usah disebut lagi kalau ibu Tori sangat kecewa karena omiai-nya gagal. Sepanjang hari yang dilakukannya hanya menyindir-nyindir Tori dan Shunsuke pun ikut jadi korban karena dinilai tak cukup berusaha untuk merayu Tori. Sementara dua pemuda itu hanya senyum-senyum dan bilang meskipun tak jadi, mereka jadi teman kok. Tapi tetap saja wanita itu uring-uringan. Tori membiarkannya saja. Toh kalau besok ditelepon, mood-nya sudah senang lagi.

 

Tapi ternyata ibunya tak menyerah sampai di situ. Dengan bersikeras, dia meminta Shunsuke untuk mengantar Tori pulang ke Tokyo. Tori, yang merasa sungkan, hanya bilang kalau Shunsuke boleh menolak kalau memang tak mau. Shunsuke hanya mengangkat bahu dan tak menolak karena toh dia senggang dan sekalian pulang ke Tokyo juga. Karena sudah terlalu malam ketika mereka sampai di apartemen Tori, demi kesopanan, Tori menawarinya menginap. Rupanya memang itu tujuan ibunya, Tori tersadar saat menyiapkan handuk bersih untuk Shunsuke. Tentu saja ibunya memperhitungkan hal seperti ini dengan harapan sesuatu terjadi malam itu dan kedua pemuda itu berubah pikiran.

 

Tori menggeleng-gelengkan kepalanya.

 

------

 

Dengan satu tangan diselipkan ke saku jeans ketatnya sementara yang satu lagi membawa bungkusan berisi bahan-bahan membuat nabe, kaki-kaki panjang Masahiro melompati dua-dua anak tangga menuju apartemen Tori. Hari memang masih pagi dan mereka tidak janjian mau masak nabe untuk makan pagi, makan siang atau makan malam. Tapi Masahiro tak peduli. Dia membeli cukup banyak bahan untuk membuat nabe berkali-kali. Sampai di depan pintu apartemen Tori, dirogohnya sakunya untuk mengambil kunci dan membuka pintu.

 

“Tori~! Sudah bangun?” serunya sambil menutup pintu dan melepas sepatu di genkan.

 

Tori muncul dari dapur, masih mengenakan piyaman dan tersenyum lebar saat melihat Masahiro. Didekatinya pemuda jangkung itu. “Ada apa pagi-pagi begini?” tanyanya bingung.

 

Masahiro merengut dan mengacungkan bungkusan yang dibawanya. “Nabe.”

 

“Ah!” Tori menepuk kedua tangannya, baru teringat. “Benar juga.” Dia berdiri tepat di depan Masahiro dan berjinjit sedikit untuk mencium hidung Masahiro. “Aku tidak lupa kok. Hanya baru ingat.” Ujarnya sambil nyengir.

 

Masahiro memutar bola matanya tapi tetap tak bisa menolak bibir Tori yang begitu dekat. “Pokoknya aku harus dibuatkan yang enak.” Bisiknya sambil mencium Tori.

 

“Beres, tuan muda.” Tori terkikik geli karena pagi itu Masahiro tak bercukur. Disentuhnya bulu-bulu halus yang tumbuh di atas bibir Masahiro dengan ujung jarinya sambil balas mencium. Masahiro lalu menunduk, memagut lembut rahang dan leher Tori, membuat Tori terkikik geli dan menengadah karena bagaimanapun, sensasi bulu halus Masahiro menggesek kulitnya terasa luar biasa seksi dan Tori jadi agak terangsang. Sadar pacarnya menikmati, Masahiro sengaja menggesekkan dagunya ke leher Tori, membuatnya mengerang pelan, sebelum kembali menciumnya.

 

“Nabe-nya bisa menunggu sampai nanti malam kan?” bisik Tori, nafasnya mulai tak beraturan.

 

“Hmm.” Gumam Masahiro, tak benar-benar menjawab karena sibuk mencium dan membuat Tori mengerang.

 

“Tori, pakaian kotornya sudah kumasukkan ke mesin cuci. Semalam ingat tidak aku meletakkan dompetku di mana ya? Oh, maaf!”

 

Dua orang yang sedang asyik bermesraan di depan pintu itu buru-buru memisahkan diri. Wajah Tori memerah karena sudah lupa sama sekali kalau dia punya tamu. Dengan gugup Tori menarik-narik ujung atasan piyamanya, berusaha merapikan meskipun tadi Masahiro tak memeluknya apalagi membuatnya terlihat berantakan. Shunsuke nyengir dan mengulum bibirnya sendiri lalu memandang Tori sambil mengangkat alis seperti bertanya, “Ini orangnya?”

 

Tori mengangguk kecil. Masih tersipu-sipu karena tertangkap basah. Sementara kening Masahiro mengerut hebat. Terlihat tak senang karena ada laki-laki lain sepagi itu di rumah Tori. Apalagi dengan menyebut mesin cuci dan menanyakan dompet, jelas laki-laki itu menginap di sana semalam. Masahiro tak menutupi sama sekali ketidak senangannya itu. Janggut halus yang tumbuh di wajahnya jadi membuat ekspresinya terlihat makin galak dan sangar.

 

“Siapa?” tanyanya dengan galak.

 

“Umh. Ini Daito Shunsuke. Shunsuke, ini Inoue Masahiro.” Jawab Tori.

 

Tanpa takut, malahan hanya nyengir lebar karena ditatap Masahiro dengan tatapan membunuh, Shunsuke maju dan mengulurkan tangannya. “Hai. Aku Daito Shunsuke, teman Tori. Kamu pacarnya Tori ya?”

 

Masahiro menanggapi jabatan tangan Shunsuke dengan dingin. “Iya.” Jawabnya.

 

Tori mengerutkan kening dan menyikut pelan perut Masahiro. “Ma-kun, jangan pasang tampang seram begitu dong.”

 

Masahiro menatap galak padanya seperti berkata: memangnya-kau-mau-aku-senyum-senyum-pada-laki-laki-yang-jelas-jelas-menginap-di-rumahmu-dan-menanyakan-hal-sedomestik-seperti-mesin-cuci-dan-di-mana-kau-letakkan-dompetnya?

 

Tori menghela nafas lalu membiarkan pacar dan temannya di depan pintu. Diambilnya dompet Shunsuke yang tadi pagi dipindahkannya ke atas televisi karena takut terangkut saat dia membereskan bekas makan mereka semalam. Diangsurkannya dompet itu pada pemiliknya dan disambut Shunsuke dengan cengiran lebar.

 

“Kalau begitu,” Shunsuke memasukkan dompet ke saku belakang celananya. “Aku pamit ya.”

 

“Eh? Tidak sarapan dulu?” tanya Tori.

 

“Tak usah deh. Nanti kalau aku tinggal lama-lama, aku dicakar pacarmu.” Ujar Shunsuke sambil mengerling pada Masahiro yang masih pasang tampang mirip anjing galak.

 

Tori terbahak dan membukakan pintu untuk Shunsuke. Sebelum benar-benar meninggalkan apartemen itu, Shunsuke menoleh sekali lagi pada Masahiro.

 

“Hei. Jaga Tori baik-baik ya. Kalau tidak, nanti kurebut loh.”

 

“Shunsuke!” seru Tori sambil menahan tawa.

 

“APA MAKSUDNYA ITU TADI?!” sergah Masahiro dengan suara keras begitu Shunsuke pergi.

 

Tori meringis. “Pelankan suaramu. Ini masih pagi. Ayo, masuk.”

 

Masahiro mencengkeram lengan Tori, mencegahnya masuk. “Jawab dulu!”

 

Tori menyentakkan lengannya, ikut merasa sebal. “Sakit! Aku tak akan cerita apa-apa kalau Masahiro marah-marah seperti itu. Ayo, masuk. Aku sudah buat sarapan.”

 

Masahiro mencibir. “Sarapannya bukan untukku juga kan?”

 

“Ma-kun!” Tori akhirnya berseru kesal, balas menatap Masahiro dengan pandangan yang jauh lebih galak.

 

Karena ingin mempertahankan teritorinya di tempat itu, Masahiro akhirnya menurut dan mengikuti Tori masuk ke dalam. Diletakkannya bungkusan yang dari tadi dibawa-bawanya di dapur sementara Tori mondar-mandir membuat kopi dan mematangkan roti bakar dan telur mata sapi.

 

Mereka makan dalam diam. Rasanya aneh sekali, pikir Tori. Tak sampai satu menit dia mulai terangsang, menit berikutnya sudah merasa kesal. Tapi dia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Masahiro juga. Toh dia tahu pacarnya itu memang begitu. Posesif luar biasa, lebih parah dari induk binatang menjaga anaknya.

 

Tori menyesap kopinya pelan-pelan lalu meletakkan mug-nya perlahan. Ditatapnya Masahiro dengan cermat, melihat-lihat apakah amarahnya sudah sedikit membaik.

 

“Masih mau dengar ceritaku?”

 

Masahiro melihat ke arahnya dan mengangguk kecil.

 

“Dengarkan baik-baik ya. Tapi sebelumnya aku mau kamu janji tak akan marah-marah sampai ceritaku selesai.”

 

Masahiro menggerundel. Tori menarik nafas dan mulai bercerita. “Tiap tahun, ibuku selalu menyodorkan setumpuk daftar kandidat calon suami padaku. Tiap tahun selalu kutolak. Tahun ini juga begitu. Tapi,” Dia melirik tajam pada Masahiro yang sudah mau membuka mulutnya. “Tapi, tahun ini Ibu secara khusus memintaku untuk mempertimbangkan seseorang. Tentu saja aku penasaran karena ibu tak mudah suka pada seseorang. Aku hanya ingin lihat seperti apa orang yang sampai membuat ibuku merekomendasikannya padaku. Jadi, aku pergi.”

 

Tori diam sejenak. Lagi-lagi mengamati ekspresi Masahiro tapi pacarnya itu hanya diam. Pelan-pelan, dia melanjutkan. “Orang itu memang Shunsuke. Kami berkenalan di omiai itu. Dia bilang dia penasaran padaku karena ibuku selalu cerita soal aku padanya. Dan kami ngobrol banyak. Ingat waktu kamu minta dibuatkan nabe? Aku sedang di omiai itu. Rupanya Shunsuke memperhatikan dan dia tanya apa aku sudah punya seseorang. Aku cerita padanya tentang Masahiro dan kami memutuskan jadi teman saja. Toh aku sudah bertemu dengannya dan dia juga sudah melihatku. Cukup sampai di situ saja.”

 

Tangan Tori terjulur, menyentuh tangan Masahiro yang berada di atas meja makan. “Aku tahu seharusnya aku cerita tentang ini padamu sebelumnya. Tapi pasti kamu tak ingin aku pergi kan?”

 

“Sudah tahu begitu, tak usah ditanya.” Tukas Masahiro ketus. Dia berdiri dan sudah beberapa langkah menuju pintu.

 

“Kenapa sih kalau sedang seperti ini kamu pasti pergi? Memangnya tak bisa mengatakan saja apa yang ada di kepalamu?” komentar Tori dingin sekaligus kesal.

 

“Kamu mau aku bilang apa? ‘Tak apa-apa kok. Aku mengerti’, begitu? Masalahnya aku tidak mengerti!” sentak Masahiro sambil menggebrak meja, membuat Tori berjengit. “Aku tidak mengerti kenapa Tori tetap pergi ke omiai itu. Itu omiai. OMIAI. Semua orang tahu apa artinya. Kau tak akan pergi kecuali mengharapkan sesuatu!”

 

Tori mendesah. “Makanya---“

 

“Makanya aku ini dianggap apa?” Masahiro memotongnya lagi. Ekspresi marahnya sudah berganti dengan ekspresi terluka dan terlihat bingung. Tori makin merasa bersalah. Tidak tahu lagi harus menjawab apa.

 

Suara Masahiro bergetar saat dia berkata lagi, “Aku tahu aku jauh lebih muda dari Tori. Aku tahu meskipun berulang kali aku bilang aku tak suka masalah ini diungkit-ungkit, tetap saja akan muncul lagi. Aku tahu aku memang sering tidak serius. Tapi aku serius tentang Tori. Tentang kita. Aku pikir kamu tahu itu.”

 

Tori menjawab pelan. “Aku tahu.”

 

“Jadi, kenapa?” tanya Masahiro lagi. Nadanya benar-benar terluka. Tori tak berani melihat ke arahnya karena tak mau dan tak tega melihat ekspresi di wajah Masahiro.

 

“Apa ini karena tempo hari aku bertanya soal pernikahan itu hanya karena penasaran? Apa sebenarnya Tori sudah berpikir serius tentang menikah tapi beranggapan aku tak bisa diandalkan karena aku lebih muda?”

 

Tori langsung menoleh dan memotong pertanyaan Masahiro, “Bukan itu!” dan dia terkejut melihat mata Masahiro berkaca-kaca. Tori beranjak mendekatinya tapi Masahiro melangkah mundur. Gestur penolakan itu mau tak mau membuat dadanya merasa perih. Tori terduduk lagi. Dia mengambil nafas panjang. “Sama sekali bukan itu.”

 

“Jadi buat aku mengerti!”

 

Tori meletakkan kedua sikunya di atas meja dan mengusap wajahnya dengan tangan. Mendadak rasanya pusing sekali dan sulit rasanya untuk bernafas.

 

“Aku tak bisa menolak ibuku.” Ujar Tori dengan suara pelan. “Bukannya mau menyalahkan tapi memang seperti itu adanya. Ibu memaksa dan aku tak bisa menolak. Selain itu, aku tak punya alasan untuk pergi ke omiai itu selain karena penasaran. Di foto yang aku lihat, Shunsuke punya senyum yang hampir sama denganmu. Aku jadi membayangkan mungkin seperti itulah kalau Masahiro sudah dewasa nanti. Aku hanya ingin melihat itu. Sepanjang omiai itu aku berpikir bagaimana caranya menolak kalau seandainya Shunsuke memang benar-benar tertarik tapi dia hanya tertawa waktu aku bercerita tentang kamu. Dia malah bilang dia iri dan ingin jadi temanku.”

 

“Aku percaya kok, kalau suatu hari nanti Masahiro pasti akan benar-benar serius bertanya padaku. Tentang pernikahan. Aku tak akan kemana-mana karena aku benar-benar ingin mendengar Masahiro bertanya padaku.” Tori melanjutkan sambil tersenyum lembut lalu menoleh pada Masahiro yang menatapnya tak berkedip.

 

“Aku udah terlanjur jatuh sayang pada Masahiro. Itu, kalau Masahiro masih percaya padaku.” Ujarnya sungguh-sungguh.

 

Tori tak berkata apa-apa lagi. Masahiro pun masih diam saja. Kedua orang itu hanya saling bertatapan. Mencari, bertanya, memastikan. Sampai akhirnya Masahiro mengulurkan tangannya, Tori langsung menyambutnya dan dikecupinya jari-jari panjang Masahiro. Meminta maaf. Masahiro menariknya mendekat dan memeluk pinggang Tori dengan posesif.

 

“Janji akan menunggu sampai aku siap?” tanya Masahiro lirih.

 

Tori berjinjit untuk mengecup sudut mata Masahiro yang basah. “Janji.”

 

“Tak akan bosan?”

 

“Seharusnya aku yang bertanya begitu. Aku takut Masahiro bosan dan menurunkan aku di pinggir jalan.” Bisik Tori sambil mengecup tulang pipi Masahiro.

 

Masahiro menggeleng. “Aku tidak akan begitu pada Tori.”

 

Tori tersenyum dan mendesah senang ketika akhirnya Masahiro menciumnya. Pertama kali setelah sekian lama, Tori benar-benar, benar-benar menikmati ciuman Masahiro. Dirasakannya setiap sentuhan bibir Masahiro, caranya mengulum bibirnya, menggigit lembut dan mesra,bagaimana bulu-bulu halus yang belum dicukur itu menggelitik kulitnya, sedikit terasa kasar tapi berhasil mengirimkan getaran nikmat ke seluruh syaraf Tori; bagaimana lidah Masahiro memaksanya dengan lembut untuk membuka bibirnya dan membuat Tori mengerang pelan, cara Masahiro menangkap lidah Tori dan menghisap lembut, bagaimana jari-jari Masahiro menyusup ke sela-sela rambutnya dan menekan pelan, membuat ciuman mereka lebih dalam, bagaimana cara lidah mereka bertemu dan bergerak bersama, bagaimana caranya dia sendiri bersenandung pelan sampai akhirnya Masahiro melenguh rendah dari tenggorokannya dan akhirnya membawa mereka ke tempat tidur.

 

Tori juga menikmati dan menanam dalam-dalam di hatinya bagaimana mereka dengan susah payah saling melucuti pakaian masing-masing dengan bibir yang tak pernah lepas, bagaimana Masahiro mencium dan menjilat (juga menggigit) setiap inci kulit dan lekuk tubuhnya mulai dari leher sampai lutut, bagaimana jari-jari mereka saling mengait dengan erat saat Tori minta dicium lagi, bagaimana Tori membuka kedua kakinya dengan sukarela dan membuat Masahiro menelan ludah, tatapan mata Masahiro yang memandangnya seperti Tori adalah makhluk paling cantik di atas bumi ini dan dia mau menikmatinya untuk dia saja, bagaimana Masahiro berlutut di antara kaki Tori dan memanjakannya dengan lidah dan mulutnya: mengecup, mencium, menjilat dan mengulum sampai Tori mengerang nikmat tanpa henti meminta lagi dan lagi sebelum akhirnya mencapai klimaks pertamanya di dalam mulut Masahiro. Bagaimana Masahiro dengan lembut menciumi wajahnya dan menyusupkan sebuah bantal ke bawah pinggul Tori karena setelah ini Masahiro tak akan menahan diri untuk lembut padanya, bagaimana jari-jari Masahiro yang terlapis pelumas memasuki tubuhnya dan mempersiapkannya, ekspresi wajah Masahiro yang bersemu merah saat Tori mengambil kondom dari tangannya dan memakaikannya pada kemaluan Masahiro; dengan menggoda menggenggam dan menyentak pelan setelah pelindung karet itu terpasang sempurna. Dan Tori tak akan pernah lupa bagaimana Masahiro akhirnya mengambil posisi di antara kedua kaki Tori, mengelus pinggang dan pinggul Tori sebelum menggenggam erat dan memposisikan ujung kemaluannya di antara pantat Tori, bagaimana matanya tertuju lekat-lekat pada Tori meminta ijin dan bagaimana dia sendiri mengelus rahang Masahiro dan mengangguk. Rasa sakit begitu Masahiro mulai membenamkan dirinya, pelan, pelan dan sangat perlahan, membuat Tori menarik nafas tajam dan mencengkeram kuat pundak Masahiro.

 

Bagaimana mereka berciuman dengan lembut ketika Masahiro sudah sepenuhnya ada di dalam tubuh Tori dan Tori tak akan tahan untuk tidak mengerang dan menggerakkan pinggulnya, bagaimana tubuh mereka bergerak bersama dalam satu irama yang sudah begitu familiar, bagaimana mereka tahu bahwa di saat seperti itulah mereka sadar bahwa mereka tak punya tempat lain di dunia ini selain di sisi masing-masing, bagaimana perasaan mereka tergambar dengan jelas tanpa kepura-puraan. Tori tak akan pernah melupakan bagaimana satu tangan Masahiro memutari pinggang Tori dan menggenggam kemaluan Tori, ibu jarinya menekan tepat di celah ujung kemaluan Tori sementara jari-jari yang lain menyentak, menekan, dan menggerut; bagaimana itu membuat Tori mengerang makin keras dan tanpa henti tanpa peduli bahwa tembok apartemennya tidak cukup tebal untuk meredam suaranya, bagaimana pinggul Masahiro bergerak menghunjam makin cepat dan makin dalam, bagaimana namanya begitu manis terdengar dari mulut Masahiro saat Masahiro sudah semakin dekat dengan klimaks dan Tori menciumnya sambil mendesahkan nama Masahiro di sela erangannya sendiri dan bagaimana akhirnya tubuh mereka akhirnya menegang dan meledak bersamaan, hanya melihat warna putih yang begitu terang di mata mereka.

 

Begitu membuka matanya, Tori tak tahu mana yang lebih manis: permainan cinta mereka barusan atau Masahiro yang berbaring kelelahan sambil memeluk dan menatapnya dengan penuh cinta seperti sekarang. Tori menyentuh dahi Masahiro, menyingkirkan anak-anak rambut yang basah karena peluh dan bibirnya yang bergetar mengecup lembut dahi itu dengan penuh sayang. Senyum Masahiro terlihat begitu manis dan menyilaukan.

 

Atau mungkin yang lebih manis lagi adalah saat Tori menggeret Masahiro untuk mandi setengah jam kemudian, bercanda di bawah shower dan tak tahan untuk tidak bercinta lagi, kali ini dengan Masahiro terhimpit ke dinding. Atau saat mereka selesai mengeringkan tubuh masing-masing dan Masahiro berdiri di depan kaca, sudah bercelana tapi masih bertelanjang dada, memegang jenggot halusnya sambil menolehkan wajahnya ke kiri kan ke kanan. Di tangan kirinya tergenggam alat cukur milik Tori. Tori tersenyum dan mendekat. Dia memanjat duduk di sebelah wastafel dan mengisyaratkan Masahiro untuk berdiri di depannya. Lutut Tori menjepit lembut paha Masahiro sementara diamatinya dagu dan bagian atas bibir Masahiro yang tak tercukur. Tori mendongak untuk mencium dagu Masahiro dan terkikik karena geli juga karena Masahiro merengut dengan lucunya. Dibasahinya handuk dengan air hangat dan menyeka wajah Masahiro dengan perlahan sebelum mulai mencukur bulu-bulu halus itu dengan penuh perhatian. Masahiro menatapnya dengan penuh kekaguman dan cinta. Dadanya seperti mau meledak karena terasa terlalu penuh. Wajahnya maju untuk mencuri ciuman dari bibir Tori dan Tori protes karena takut melukai Masahiro dengan pisau cukur masih di tangan.

 

Yang manapun, Tori tahu bahwa tak ada orang lain lagi untuknya selain Masahiro.

 

---------

 

Tori mengedip bingung ketika membuka amplop besar yang dikirimkan ke rumah sakit sebulan kemudian. Dibukanya dengan hati-hati karena terasa lumayan berat. Sementara itu handphone-nya terjepit di antara telinga kanan dan bahunya.

 

“Iya, baru saja sampai. Bagaimana Ibu tahu aku dapat kiriman?” tanya Tori semakin bingung.

 

“Karena aku yang kirim, anak bodoh. Shunsuke-kun bilang kau pasti akan suka.” Ujar ibunya. “Cepat dibuka.”

 

“Iya, iya. Ini sedang kubuka. Apa sih ini?”

 

Ibunya diam saja. Tori membalik amplop itu dan sebuah map berwarna biru gelap bergaris emas meluncur dari dalamnya. Tanpa dibuka pun Tori tahu apa maksud map itu. Dia mendesah.

 

“Ibu~” keluhnya. “Berapa kali Ibu mau coba memaksaku tahun ini? Giat sekali sih.”

 

“Lihat dulu isinya!” tegur ibunya.

 

Mengalah, karena Tori tetap tak bisa membantah apapun yang diinginkan ibunya, Tori membuka map itu sambil bersandar ke punggung kursi. Sedetik kemudian dia langsung terduduk tegak lagi, handphone-nya terjatuh ke lantai.

 

Sebuah wajah yang sangat dikenalnya terpampang di sana. Dengan senyuman khas yang terkesan menyindir dan lebih superior dari siapapun. Demi memastikan, Tori membaca keterangan di bawah foto itu:

 

Inoue Masahiro

20 Maret 19XX

Pisces

Golongan darah B

186 cm

Anak bungsu dari 4 bersaudara

 

Keterangan selanjutnya sudah tak terbaca karena Tori sudah lari keluar ruangan dengan map itu terjepit di bawah lengannya. Ditemukannya Masahiro duduk di cafetaria rumah sakit dengan Kazuki. Tori tahu Masahiro datang karena mereka memang janjian makan siang. Map yang datang itulah yang sama sekali tak diketahuinya. Dengan tersengal-sengal disodorkannya map itu ke depan hidung Masahiro.

 

“Apa...maksudnya ini...?”

 

Masahiro tersenyum, terlihat malu-malu dan menggaruk ujung hidungnya. “Umh. Aku tak menyangka ini sampai padamu secepat ini. Padahal baru 2 hari yang lalu dikirim.”

 

“Masahiro?”

 

Pemuda bandel itu nyengir. “Aku sudah berpikir serius. Aku juga sudah bicara dengan kakak-kakakku. Jadi aku tak ingin buang waktu lagi.” Cengiran di wajahnya mendadak hilang, digantikan dengan sebuah senyum. Tapi matanya terlihat sangat serius. “Kalau Tori setuju, kakakku-kakakku akan datang ke rumahmu setelah ujian akhir nanti.”

 

Tori tak tahu harus berkata apa lagi. Dia jadi seperti orang bisu karena ada begitu banyak hal menyerbu otak dan perasaannya. Detik berikutnya, dia melompat dan mencium Masahiro dalam-dalam. Tak peduli di cafetaria itu banyak orang, tak peduli Kazuki menjatuhkan sandwhich-nya karena terlalu terpana, tak peduli apapun juga. Dia bahagia dan dia harus menyampaikan itu pada Masahiro.


-OWATTA~~~!!!-

27 comments:

  1. GUE MATIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
    GILA!!!! SUPERRBBBB!!!! Shunsukenya maniiis, Amami-san galak tapi kereeenn!!! MASAHIRO BERJANGGUT!!! AKU MATIIIII!!!!!!




    *tewas*

    Sumpah ini keren banget. Keren banget!

    ReplyDelete
  2. dan gue pun cengengesan mati-matian di rumah. brb, ded from moe~ dulu.

    ReplyDelete
  3. Karena dia akan digantung Takumi, Kawai, Konii, sampai ke Kanata, Genki dan Doori bila dia berani ngelamar Takuya sekarang, eh? Harus tunggu berapa tahun lagi tuh. *ROFLMAO*

    ReplyDelete
  4. Iriiiiii~, irilah terus, Pak Nelayan!

    Bapak sih ga bikin gebrakan signifikan. Kyak Ma-kun dong, daring. Tsk, mana Atobe-waza-mu, Kazuki (Kazuki: *OHOK!*)


    Btw, manis yaaaaaaaaaa~. Ceritanya, ihihihi, senang deh Tori-sensei XD

    ReplyDelete
  5. trus gue langsung kepikiran memanip undangan pernikahan. Tolong, tolong hentikan!!!!

    ReplyDelete
  6. *ngecek*

    *done* sankyuuuuu. Eheuehueheuehue belum makan pula pas nulis *ngeles*

    eh, tapi gue cuma nemu satu :D

    ReplyDelete
  7. kasihan pak nelayan. Makanya pak, cari tangkepan yang gedean dikit *pats*

    ReplyDelete
  8. Kazuki, akan kubuatkan cerita untukmu, Kazuki, don't mind! *menyemangati pak nelayan*

    ReplyDelete
  9. Oh yaaaaaaaa... ada beberapa nama Masahiro jadi Tori di atas, 2 kali deh. Ayo, Tris... gak konsen ya pas nulisnya karena ke-distract, nfufufu~.

    ReplyDelete
  10. Kazuki, hati2 dibejeg Takumi kalau latah ikutan pengen ngelamar anaknya lho~~~.... XD

    ReplyDelete
  11. huaaaa..... makasih kk..... penyegaran mata,, kepala, dan badan~!!! *baru bangun tidur gara2 sakit*

    ReplyDelete
  12. Hueeeeng manis sekali iniiii *susut ingus*

    Stensilannya pun seksi sekali. Saya terharu dan pengen minta tambah.

    ReplyDelete
  13. aha, mama.san, mungkin maksud kk @silverwind itu, "kali ini dengan Masahiro terhimpit ke dinding."
    eh?

    ReplyDelete
  14. Bukaaaan. Terus gue lupa gitu. XD; Berarti emang cuma 1 kali ya, gue yang salah hitung. XD; Maaaaaap.

    ReplyDelete
  15. saya juga salah berarti. Maaaaaf! ~hides~

    ReplyDelete
  16. Itu emang Masahironya yg dipepet ke tembok *evilsmirk*

    ReplyDelete
  17. aduh, ganasnya sensei. ~sambil nemplok ke Shunsuke~

    ReplyDelete
  18. Baiklah. Stensilan berikutnya Tori-sensei jd semenya. Ahem. Tp gak cpt2 ya. Gue punya tugas negara dua hari ke depan

    ReplyDelete
  19. Horeee! Seme sensei! *dateng2 komen ga jelas*

    ReplyDelete
  20. W, WHAAAAAAAAT? Kenapa? Why mama-san? *tapi mata hati-hati*

    itu. . . "Tori terkikik geli karena pagi itu Tori tak bercukur."

    ReplyDelete
  21. YEYYYY~!!!! Ganti Seme~!!!!! *lirik sadis Ma-kun*

    ReplyDelete
  22. karena kalo awol lagi nanti mama-san gak bisa ngasih makan rubah cantik :p

    ah! ketemu~ sankyuuu

    ReplyDelete
  23. hnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnggggggg-- *udah membayangkan hal2 menyenangkan*

    ReplyDelete