Author: Panda^^
Fandom: Kamen Rider DCD/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori
Rating: PG-13
Warning: Boys kissing. BL. AU. You've been warned.
Disclaimer: I do not own anyone.
Note: Jiah, jadi nyambung terus gini. Buat Nei dan Icha yang sedang moe.
Beberapa bulan belakangan ini Masahiro kembali berkeliaran di rumah sakit. Kubota dan Kazuki sih senang-senang saja. Setidaknya mereka jadi tahu adiknya tidak keluyuran ke tempat yang tak jelas. Kazuki malah dengan polosnya bertanya apakah ini tandanya Masahiro mulai mempertimbangkan untuk ambil kuliah kedokteran. Toh, anak itu sekarang sudah kelas tiga. Pasti sebentar lagi akan ada panggilan konseling untuk memilih universitas. Ditanya begitu, Masahiro tertawa terbahak-bahak.
Sebaliknya, Kubota sepertinya langsung paham kalau adik bungsunya itu datang bukan untuk apa-apa kecuali menemui seorang dokter muda. Masahiro suka sekali monda-mandir di selasar sekitar tempat ruang praktek Tori berada. Kubota bahkan beberapa kali memergoki mereka sedang makan siang berdua atau sekedar ngobrol di bangku taman rumah sakit. Kalau ditegur, Masahiro akan langsung merengut sementara Matsuzaka hanya tersenyum sedikit malu-malu.
Sebenarnya, Masahiro tak peduli orang mau bilang apa. Dia suka pada Matsuzaka-sensei. Mau diapakan lagi? Matsuzaka-sensei saja tidak protes. Dokter tampan itu selalu meladeninya sambil tersenyum atau geleng-geleng kepala kalau menurutnya Masahiro sudah berkelakuan terlalu aneh. Tapi dia tak pernah benar-benar menolak atau mengusir Masahiro.
“Aku jarang punya teman ngobrol, jadi aku senang kok karena Inoue-kun mau menemaniku ngobrol.” Ujar Tori suatu hari saat Masahiro, sambil merengut sebal setelah ditegur oleh Kazuki untuk jangan sering-sering mengganggu Tori, bertanya apakah Tori merasa terganggu. Masahiro nyengir penuh kemenangan.
Saat ini Masahiro sedang mencari waktu untuk mengajak Tori berkencan lagi. Tori selalu bersikap sangat manis padanya sejak kencan makan malam mereka beberapa bulan yang lalu itu. Mereka sempat tak bertemu selama beberapa lama karena Masahiro sibuk ujian kenaikan kelas. Dia dilarang keras keluar rumah oleh Kubota. Jadi hal pertama yang dilakukan Masahiro ketika bertemu Tori lagi adalah meminta nomor telepon dan email dokter itu.
“Aku tak ingin Matsuzaka-sensei lupa padaku.” Kilah Masahiro sambil memasukkan nomor teleponnya sendiri ke handphone Tori, menolak untuk melihat Tori karena tak ingin ketahuan wajahnya memerah.
Tori menghela nafas. “Kalaupun lupa, tak akan dalam waktu dekat ini. Anak bandel.” ujarnya sambil menyentil ujung hidung Masahiro. Sedikit terlalu mesra dan wajah Masahiro makin memerah karenanya.
Sejak itu tidak ada hari tanpa SMS, email dan terkadang telepon. Masahiro akan merengut saat pesannya tak dibalas karena Tori sedang sibuk luar biasa dan Tori harus menggigit bibir menahan tawa karena pesan Masahiro yang berisi cerita lucu tentang salah satu kakaknya yang sedang berdiri di depan ruangan memberi seminar.
Siang itu pun Masahiro muncul di rumah sakit. Dia bersiul-siul sambil menenteng sekotak cream puff. Hari sebelumnya, Tori bilang kalau dia sedang ingin sekali makan cream puff tapi belum kesampaian karena selalu pulang larut jadi tak sempat mampir ke toko kue. Masahiro mencari Tori di ruangannya tapi langsung kecewa begitu diberitahu oleh Sota-sensei kalau Tori baru saja masuk ruang operasi.
Tak bisa berbuat apa-apa dan sadar kalau operasi tak akan selesai dalam waktu setengah jam, Masahiro beranjak ke kafetarian. Untung saja dia membawa laptop hari itu. Masahiro langsung menyibukkan diri dengan browsing dan bermain game.
Tori keluar dari ruang operasi sambil melepaskan maskernya dan mendekati keluarga pasien yang menunggu di selasar. Dengan pelan dan menggunakan bahasa yang sebisa mungkin dimengerti, Tori menjelaskan kondisi pasiennya. Untung saja bukan kabar buruk karena hanya operasi kaki tapi dia harus menjelaskan kalau setelah ini si pasien harus menjalani rehabilitasi dan meminta keluarganya untuk memberi dukungan penuh. Setelah itu dia kembali ke ruangannya, senang karena susternya sudah menyediakan secangkir teh hangat di atas meja. Suster itu juga memberitahu kalau tadi Masahiro datang mencarinya tak lama setelah dia pergi ke ruang operasi. Tori melirik jam dinding. Sudah nyaris jam 4 sore. Mungkin anak itu sudah pulang, pikir Tori. Tapi diraihnya handphone-nya dan mulai mengetik pesan
Maaf ya. Aku baru selesai. Sudah pulang ya?
Balasannya langsung datang. Sebuah pesan dengan foto sekotak cream puff yang tampak gendut menggoda menghiasi layar telepon Tori. Di bawahnya tertulis:
Aku di kafetaria. Kalau tak datang dalam waktu 5 menit, cream puff-nya kubuang.
Antara senang karena Masahiro ingat kalau Tori sedang ingin cream puff dan geli karena kelakukannya, Tori hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia menyusul ke kafetaria 20 menit kemudian. Seperti biasa, dimanapun Masahiro berada, dia selalu menarik perhatian. Tori bisa melihat sekelompok suster, beberapa pasien dan keluarga pasien mencuri-curi pandang ke arah pemuda jangkung itu. Kakinya disilangkan dan ekspresinya acuh tapi justru itu yang membuat Masahiro kelihatan keren. Beberapa, yang merasa kenal, mencoba menyapanya dan hanya dibalas dengan anggukan kecil.
Tori mendekatinya dan menepuk pelan bahu Masahiro. “Inoue-kun.”
Ekspresi Masahiro langsung cerah meskipun dia merengut sok marah. “Lama~”
Tori tertawa. “Maaf, maaf. Ada yang harus kubereskan dulu. Cream puff-nya masih ada kan?” Tori menjulurkan wajahnya untuk mengintip kotak cream puff di dekat tangan Masahiro sampai wajahnya hanya tinggal beberapa inci saja dari wajah Masahiro.
Masahiro mendengus, berusaha menyembunyikan detak jantungnya yang mulai berpacu tak beraturan lagi. Diambilnya satu cream puff dan dijejalkan ke mulut Tori. Tori tertawa nyaris tersedak dan memukul pemuda itu. Sekeliling mereka berbisik-bisik dan Tori senang melihat ekspresi iri di wajah mereka. Tori pun dengan sengaja mengambil duduk di sebelah Masahiro. Lagi-lagi badannya dicondongkan untuk mengintip apa yang sedang dilakukan Masahiro dengan laptopnya sementara mulutnya sibuk mengunyah.
“Tidak lihat website untuk orang dewasa, kan?” goda Tori sambil nyengir.
Masahiro menutup laptopnya. Menoleh dengan pelan sekali, diam-diam menikmati lengan Tori yang menempel dengan lengannya. “Kalaupun iya, bukan urusan Sensei kan?”
“Urusanku, dong. Aku dokter di sini. Tentu saja aku berhak menegur anak bandel yang mau berbuat aneh-aneh di sini. Tak peduli dia adik direktur rumah sakit sekalipun.”
Masahiro mendengus. “Tidak bisa ya, tidak melihatku sebagai anak kecil?”
Tori menatapnya, mengunyah dan menelan pelan-pelan. “Memangnya Inoue-kun mau dianggap apa?”
Masahiro menopang dagunya. “Entahlah. Seseorang yang mau mengajak Sensei kencan lagi, mungkin?”
Tori berkedip. “Eh?”
Masahiro mengangkat sebelah alisnya.
Tori mengambil sepotong cream puff lagi. “Hari ini?”
Masahiro mengangkat bahu.
“Aku masih ada janji konsultasi setelah ini.”
“Aku tidak masalah kok menunggu.” ujar Masahiro dan Tori tak bisa (sebenarnya dia juga tak mau) menolak.
Kali ini Masahiro tidak mengganti seragamnya. Dia hanya melepas rompi dan dasinya. Lengan kemejanya digulung sampai siku dan satu kancing teratasnya dibuka. Tori menemuinya sedang ngobrol dengan seorang pemuda yang nayris sama jangkung dengan Masahiro. Belum sempat Tori mendekat, pemuda itu sudah berlalu pergi. Gaya acuhnya sedikit mirip dengan Masahiro.
“Kenalanmu?” tanya Tori sambil berdiri di sebelah Masahiro dan mengangguk pada pemuda yang baru saja berlalu pergi itu. Saat itu Tori melihat kalau pemuda itu lengan kirinya dibebat. Seorang pemuda lain berwajah manis menyejajari pemuda itu dan sibuk menasehati sementara si jangkung itu hanya melengos.
Masahiro mengangguk. “Satu agensi denganku. Beberapa hari yang lalu lengannya keseleo.”
“Oh. Tampan ya.” komentar Tori sekenanya.
Masahiro merengut tak senang. Dia langsung berjalan mendului Tori. “Ayo.”
“Inoue-kun,” Tori menyejajari Masahiro. “Tak ada salahnya loh kali ini memberitahuku kita mau ke mana. Kok dua kali pergi denganmu, aku tak pernah tahu kita mau ke mana.” Tori menahan tawa.
Masahiro menghentikan langkahnya lalu menatap Tori dengan serius. “Aku mau ke rumah Sensei.”
Tori hanya balas menatap pemuda jangkung di hadapannya.
“Tidak boleh?” Masahiro meringis.
“Umh, bukannya tidak boleh, tapi...” Tori menggigit bibir.
“Tidak boleh juga tidak apa-apa, kok.” Masahiro pasang tampang kecewa.
Tori jadi tersenyum dan menepuk pelan dada Masahiro. “Dengarkan dulu orang bicara, dong. Aku tak punya apa-apa di rumah jadi kita belanja dulu ya.”
Masahiro langsung mengangguk antusias.
Masahiro berkedip begitu pintu ke apartemen Tori terbuka. Apartemen itu tak lebih luas dari kamarnya. Dari pintu saja Masahiro sudah bisa melihat ruang tamu, dapur dan beberapa pintu yang membuka entah ke mana. Tori menjawil lengannya.
“Ayo, masuk. Aku tahu ini tidak seberapa tapi kan Inoue-kun yang minta kemari.” ujar Tori sambil menutup pintu di belakang mereka. “Pakai sandal yang ini ya.” Tori menunjuk ke selop rumah berwarna merah yang diletakkan di genkan. Masahiro hanya mengangguk, berkedip pelan saat bahu Tori menabrak pelan dadanya ketika dokter itu melewatinya.
Tori meletakkan belanjaannya di meja makan dan sibuk membuka-buku lemari mencari gelas bersih. Dia belum sempat cuci piring tadi pagi. Masahiro akhirnya menyusul masuk dan celingukan sebentar sebelum akhirnya duduk di sofa di depan televisi. Apartemen itu memang tidak besar tapi rapi sekali. Sebuah pintu di dekat televisi terbuka dan kalau Masahiro menjulurkan kepalanya, dia bisa melihat ujung tempat tidur. Sepertinya itu kamar Tori dan Masahiro tak buang waktu untuk mengintip ke sana. Kamar itu pun rapi, meskipun tempat tidurnya agak sedikit berantakan. Sepertinya Tori tak sempat merapikan sebelum pergi kerja tadi pagi. Beberapa buku disusun rapi di dekat jendela. Dindingnya dicat warna salem. Terkesan kalem dan tenang sekali. Tak sadar, tangan Masahiro mendorong pelan pintu untuk melihat lebih jelas.
“I.no.u.e.ku.n~”
Masahiro tersentak dan menoleh. Tori berdiri di belakangnya sambil berkacak pinggang. “Tidak sopan mengintip begitu.” Tori langsung maju dan menutup pintu kamarnya. Masahiro merengut.
“Habis pintunya terbuka, sih.” kilah pemuda itu sambil duduk lagi di sofa.
Tori menggeleng-gelengkan kepalanya. “Itu pribadi, mengerti?”
Masahiro menunduk. “Hai.”
“Bagus. Sekarang duduk saja yang manis. Aku akan buat sesuatu. Inoue-kun lapar kan?” ujar Tori sambil berlalu ke dapur yang cuma berjarak beberapa langkah dari sofa itu.
Masahiro mengangguk. Karena tak tahu harus berbuat apa dan mulai merasa bosan, Masahiro akhirnya bangkit dan duduk di meja makan. Diperhatikannya Tori mengenakan celemek dan mulai sibuk dengan bahan makanan yang tadi mereka beli.
“Matsuzaka-sensei selalu masak sendiri ya?” celetuknya.
Tori menjawab tanpa menoleh. “Hm? Sudah biasa kok. Aku tinggal sendiri sejak kuliah jadi mau tak mau harus begini. Kalau sedang tak sempat sih pesan makanan tapi kan terlalu mahal kalau beli terus.”
Masahiro mengangguk-angguk meskipun tak mengerti. Dia tak pernah merasakan hidup seperti itu. Sejak kecil semuanya serba ada dan dia tak pernah susah. Minta apapun pasti akan terkabul. Kadang kalau Ibunya sedang ada di rumah, Masahiro suka melihatnya berada di dapur membuat sesuatu tapi hanya kue-kue kecil saja karena Ibunya tak punya banyak waktu. Sainei juga suka memasak tapi Masahiro tak pernah memperhatikan. Untuk apa pula dia nongkrong di dapur dan memperhatikan kakaknya masak? Tapi memperhatikan Tori sibuk seperti itu, Masahiro merasa aneh sekaligus kagum sekaligus dibuat sadar kalau dunianya ternyata berbeda sekali dengan dunia Tori.
“Tidak minta dikirimkan pelayan dari rumah?” tanya Masahiro lagi.
Tori tertawa. “Aku yakin Ibuku akan membantingku kalau aku minta dikirimkan pelayan.” Dia menggelengkan kepala lalu melanjutkan pekerjaannya menumis. Keluarganya mampu sih, tapi apa gunanya dia berkeras hidup sendiri kalau ujung-ujungnya masih minta diakomodasi keluarganya?
“Sudah jadiii~” ujar Tori dengan ceria sambil meletakkan sepiring tumisan daging dan sayur ke hadapan Masahiro. “Sini, bantu aku.” ujar Tori lagi sambil menggeret lengan Masahiro, menunjukkan letak mangkuk nasi dan sumpit dan menyuruhnya menata meja sementara dia sendiri mengurus sup miso. Untunglah dia masih punya nasi putih di rice cooker.
“Seadanya saja ya.” Tori melepaskan celemeknya dan duduk di sisi kanan Masahiro dan mulai mengambilkan nasi.
Masahiro memandang menu makan malam yang sangat sederhana itu dengan penuh minat. Tori jadi tersenyum melihat Masahiro yang sempat ragu, mencicip sedikit lalu mulai makan dengan lahap.
“Enak?” tanyanya dan dijawab Masahiro dengan anggukan antusias karena mulutnya penuh nasi.
Tori tersenyum senang. Tangannya terjulur menjumput nasi yang menempel di pipi Masahiro dan memasukkan nasi itu ke mulutnya sendiri. Masahiro tertegun dan wajahnya langsung terasa panas.
Selesai makan, Masahiro berdiri di belakang Tori, mengamatinya mencuci piring. Tori harus berkali-kali menyikutnya agar minggir karena punggungnya jadi bertabrakan dengan dada Masahiro terus. Masahiro akhirnya menyingkir dan melipir ke sofa. Belum pernah dia merasa sekenyang ini. Wajar saja karena dia tadi menambah nasi sampai tiga kali. Tori menyusulnya ke sofa dan mengangsurkan segelas teh hangat pada tamunya. Masahiro menggumamkan terima kasih sambil beringsut memberi tempat untuk Tori di sebelahnya.
“Apa?” tanyanya saat melihat Tori tersenyum-senyum geli.
Tori menggeleng. “Tak apa-apa. Hanya lucu saja kalau ternyata Inoue-kun juga suka kencan model begini ya?”
Masahiro menggaruk kepalanya. “Memangnya aneh ya?”
Tori ganti menggeleng. “Tidak, kok. Aku justru lebih senang yang seperti ini.” Dia tersenyum sambil menyesap tehnya. Kedua kakinya diangkat ke sofa sementara punggungnya bersandar santai.
Masahiro memutar-mutar gelas teh di tangannya. “Berarti, aku bukan orang pertama yang mengajak Sensei kencan seperti ini ya?” tanyanya pelan. Ada sedikit nada kecewa di suaranya.
Tori menatap pemuda itu lekat-lekat dan menggeleng. “Aku kan sudah bilang kalau aku pernah pacar.” jawabnya.
“Hmm.” gumam Masahiro.
Tori memiringkan kepalanya, berusaha melihat wajah Masahiro. “Memangnya, Inoue-kun tidak pernah mengajak pacar-pacar Inoue-kun ke kamar?” tanyanya setengah geli.
“Yah, pernah sih.” Masahiro terpaksa mengaku.
Tori mencubit pipi Masahiro dengan gemas. “Sama saja kan kalau begitu?” tanyanya. Ada perasaan geli di perut Tori. Dia tahu mengarah ke mana pembicaraan ini tapi akal sehatnya masih berusaha mengingatkan kalau pemuda di sampingnya itu mungkin tidak serius-serius sekali. Kalau dia menanggapi lebih dari ini, mungkin Tori akan berakhir dengan sakit hati. Dia suka terlalu terbawa suasana dan hilang kendali membiarkan dirinya jadi terlalu suka atau bahkan sampai terlalu sayang pada seseorang. Tapi Masahiro lucu sekali dan Tori mulai benar-benar menyukai anak itu.
Tori menarik nafas panjang saat tangan Masahiro menyentuh tangannya yang masih menempel di pipi pemuda itu. Masahiro menarik pelan tangannya dan saat bibirnya menyentuh telapak tangan Tori, Tori menahan nafas dan menggigit bibirnya.
Tori tahu, pada satu titik, dia harus menghentikan semua ini. Kalau dia tak berniat serius atau Masahiro yang tak berniat serius, Tori harus bersikap tegas. Dia tak ingin merasa dipermainkan atau malahan dituduh mempermainkan perasaan Masahiro. Dia harus berbuat sesuatu. Tapi entah kenapa dia tak berbuat apa-apa saat bibir Masahiro menyentuh pergelangan tangannya, mengecup dengan lembut dan melirik ke arahnya dengan penuh arti.
Wajah Tori memerah, mendadak jadi begitu tak nyaman dan salah tingkah. Akhirnya Tori berhasil menarik pelan tangannya. Itu pun harus mengerahkan segenap tenaga. Tapi Masahiro masih menatapnya dengan intens. Tori langsung merasa pusing. Diletakkannya cangkir teh ke atas meja dan nyaris terlonjak karena mendadak wajah Masahiro sudah ada di sebelahnya. Masahiro meletakkan tangannya di pundak Tori dan mendorongnya lembut sampai Tori harus rebah dan Masahiro membungkuk di atasnya. Dengan perlahan sekali, Masahiro mendekatkan wajahnya dan berhenti saat ujung hidung mereka hanya berjarak beberapa mili.
Tori tak bisa mengalihkan pandangannya. Masahiro bernafas sangat pelan. Matanya bergerak dari menatap mata Tori lalu turun ke bibirnya lalu kembali memandang Tori lagi.
“Inoue-kun,” bisik Tori dengan suara parau.
“Ya?”
“Sedang apa?”
“Mencium Sensei.” dan Masahiro menyentuhkan bibirnya dengan bibir Tori dengan sangat pelan dan lembut.
Tori menarik nafas. Tak yakin dengan apa yang sedang terjadi sampai dia mendengar dirinya mengerang pelan saat Masahiro menghisap pelan bibir bawahnya. Tangannya bergerak di luar keinginannya, melingkar ke leher Masahiro dan akhirnya membuka bibirnya, membiarkan Masahiro menciumnya.
Tori tahu dia tak bisa mundur lagi setelah ini.
Masahiro menutup matanya dan menempelkan keningnya ke kening Tori. Tori berusaha mengatur nafasnya dan kembali menarik nafas panjang saat Masahiro menciumnya lagi. Tangan Masahiro mulai berani mengelus bagian samping tubuh Tori tapi tak melakukan lebih dari itu sementara Tori hanya sanggup mengelus rambut kecoklatan pemuda itu. Ada sesuatu yang menyala di dalam diri Tori ketika mereka berciuman lagi. Sesuatu yang sudah lama tidak dirasakannya karena pupus tertutup sakit hati. Tangan Tori bergerak mengelus pipi Masahiro dan mereka berhenti berciuman, saling bertatapan selama beberapa lama sebelum akhirnya Masahiro menjauh.
“Maaf.” Bisiknya dengan rasa bersalah. Masahiro duduk tegak lagi tapi tak benar-benar menjauh dari Tori.
Tori ikut menegakkan badannya dan menyandarkan keningnya ke bahu Masahiro. “Aku tidak keberatan kok.”
Masahiro menoleh padanya, matanya penuh dengan harapan yang tidak ditutup-tutupi. Tori jadi merasa makin tak karuan. Dikecupnya pelan pipi Masahiro. “Sudah malam. Besok harus sekolah kan?”
Masahiro tak bisa lebih sebal lagi mendengar kalimat itu tapi dia tak bisa membantah. Sebenarnya sejak tadi teleponnya sudah bergetar terus menerus di dalam kantongnya. Itu pasti salah satu kakak-kakaknya mencarinya. Kalau tak pulang atau tak memberi kabar, mereka pasti akan memanggil polisi. Masahiro tahu dia sudah cukup merepotkan Tori. Setelah mengecup Tori sekali lagi, Masahiro akhirnya berdiri dan mengambil tasnya.
Masahiro menoleh sekali lagi sebelum Tori menutup pintu. “Aku... masih boleh bertemu Matsuzaka-sensei kan?”
Tori tersenyum manis sekali.
Sebaliknya, Kubota sepertinya langsung paham kalau adik bungsunya itu datang bukan untuk apa-apa kecuali menemui seorang dokter muda. Masahiro suka sekali monda-mandir di selasar sekitar tempat ruang praktek Tori berada. Kubota bahkan beberapa kali memergoki mereka sedang makan siang berdua atau sekedar ngobrol di bangku taman rumah sakit. Kalau ditegur, Masahiro akan langsung merengut sementara Matsuzaka hanya tersenyum sedikit malu-malu.
Sebenarnya, Masahiro tak peduli orang mau bilang apa. Dia suka pada Matsuzaka-sensei. Mau diapakan lagi? Matsuzaka-sensei saja tidak protes. Dokter tampan itu selalu meladeninya sambil tersenyum atau geleng-geleng kepala kalau menurutnya Masahiro sudah berkelakuan terlalu aneh. Tapi dia tak pernah benar-benar menolak atau mengusir Masahiro.
“Aku jarang punya teman ngobrol, jadi aku senang kok karena Inoue-kun mau menemaniku ngobrol.” Ujar Tori suatu hari saat Masahiro, sambil merengut sebal setelah ditegur oleh Kazuki untuk jangan sering-sering mengganggu Tori, bertanya apakah Tori merasa terganggu. Masahiro nyengir penuh kemenangan.
Saat ini Masahiro sedang mencari waktu untuk mengajak Tori berkencan lagi. Tori selalu bersikap sangat manis padanya sejak kencan makan malam mereka beberapa bulan yang lalu itu. Mereka sempat tak bertemu selama beberapa lama karena Masahiro sibuk ujian kenaikan kelas. Dia dilarang keras keluar rumah oleh Kubota. Jadi hal pertama yang dilakukan Masahiro ketika bertemu Tori lagi adalah meminta nomor telepon dan email dokter itu.
“Aku tak ingin Matsuzaka-sensei lupa padaku.” Kilah Masahiro sambil memasukkan nomor teleponnya sendiri ke handphone Tori, menolak untuk melihat Tori karena tak ingin ketahuan wajahnya memerah.
Tori menghela nafas. “Kalaupun lupa, tak akan dalam waktu dekat ini. Anak bandel.” ujarnya sambil menyentil ujung hidung Masahiro. Sedikit terlalu mesra dan wajah Masahiro makin memerah karenanya.
Sejak itu tidak ada hari tanpa SMS, email dan terkadang telepon. Masahiro akan merengut saat pesannya tak dibalas karena Tori sedang sibuk luar biasa dan Tori harus menggigit bibir menahan tawa karena pesan Masahiro yang berisi cerita lucu tentang salah satu kakaknya yang sedang berdiri di depan ruangan memberi seminar.
Siang itu pun Masahiro muncul di rumah sakit. Dia bersiul-siul sambil menenteng sekotak cream puff. Hari sebelumnya, Tori bilang kalau dia sedang ingin sekali makan cream puff tapi belum kesampaian karena selalu pulang larut jadi tak sempat mampir ke toko kue. Masahiro mencari Tori di ruangannya tapi langsung kecewa begitu diberitahu oleh Sota-sensei kalau Tori baru saja masuk ruang operasi.
Tak bisa berbuat apa-apa dan sadar kalau operasi tak akan selesai dalam waktu setengah jam, Masahiro beranjak ke kafetarian. Untung saja dia membawa laptop hari itu. Masahiro langsung menyibukkan diri dengan browsing dan bermain game.
Tori keluar dari ruang operasi sambil melepaskan maskernya dan mendekati keluarga pasien yang menunggu di selasar. Dengan pelan dan menggunakan bahasa yang sebisa mungkin dimengerti, Tori menjelaskan kondisi pasiennya. Untung saja bukan kabar buruk karena hanya operasi kaki tapi dia harus menjelaskan kalau setelah ini si pasien harus menjalani rehabilitasi dan meminta keluarganya untuk memberi dukungan penuh. Setelah itu dia kembali ke ruangannya, senang karena susternya sudah menyediakan secangkir teh hangat di atas meja. Suster itu juga memberitahu kalau tadi Masahiro datang mencarinya tak lama setelah dia pergi ke ruang operasi. Tori melirik jam dinding. Sudah nyaris jam 4 sore. Mungkin anak itu sudah pulang, pikir Tori. Tapi diraihnya handphone-nya dan mulai mengetik pesan
Maaf ya. Aku baru selesai. Sudah pulang ya?
Balasannya langsung datang. Sebuah pesan dengan foto sekotak cream puff yang tampak gendut menggoda menghiasi layar telepon Tori. Di bawahnya tertulis:
Aku di kafetaria. Kalau tak datang dalam waktu 5 menit, cream puff-nya kubuang.
Antara senang karena Masahiro ingat kalau Tori sedang ingin cream puff dan geli karena kelakukannya, Tori hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia menyusul ke kafetaria 20 menit kemudian. Seperti biasa, dimanapun Masahiro berada, dia selalu menarik perhatian. Tori bisa melihat sekelompok suster, beberapa pasien dan keluarga pasien mencuri-curi pandang ke arah pemuda jangkung itu. Kakinya disilangkan dan ekspresinya acuh tapi justru itu yang membuat Masahiro kelihatan keren. Beberapa, yang merasa kenal, mencoba menyapanya dan hanya dibalas dengan anggukan kecil.
Tori mendekatinya dan menepuk pelan bahu Masahiro. “Inoue-kun.”
Ekspresi Masahiro langsung cerah meskipun dia merengut sok marah. “Lama~”
Tori tertawa. “Maaf, maaf. Ada yang harus kubereskan dulu. Cream puff-nya masih ada kan?” Tori menjulurkan wajahnya untuk mengintip kotak cream puff di dekat tangan Masahiro sampai wajahnya hanya tinggal beberapa inci saja dari wajah Masahiro.
Masahiro mendengus, berusaha menyembunyikan detak jantungnya yang mulai berpacu tak beraturan lagi. Diambilnya satu cream puff dan dijejalkan ke mulut Tori. Tori tertawa nyaris tersedak dan memukul pemuda itu. Sekeliling mereka berbisik-bisik dan Tori senang melihat ekspresi iri di wajah mereka. Tori pun dengan sengaja mengambil duduk di sebelah Masahiro. Lagi-lagi badannya dicondongkan untuk mengintip apa yang sedang dilakukan Masahiro dengan laptopnya sementara mulutnya sibuk mengunyah.
“Tidak lihat website untuk orang dewasa, kan?” goda Tori sambil nyengir.
Masahiro menutup laptopnya. Menoleh dengan pelan sekali, diam-diam menikmati lengan Tori yang menempel dengan lengannya. “Kalaupun iya, bukan urusan Sensei kan?”
“Urusanku, dong. Aku dokter di sini. Tentu saja aku berhak menegur anak bandel yang mau berbuat aneh-aneh di sini. Tak peduli dia adik direktur rumah sakit sekalipun.”
Masahiro mendengus. “Tidak bisa ya, tidak melihatku sebagai anak kecil?”
Tori menatapnya, mengunyah dan menelan pelan-pelan. “Memangnya Inoue-kun mau dianggap apa?”
Masahiro menopang dagunya. “Entahlah. Seseorang yang mau mengajak Sensei kencan lagi, mungkin?”
Tori berkedip. “Eh?”
Masahiro mengangkat sebelah alisnya.
Tori mengambil sepotong cream puff lagi. “Hari ini?”
Masahiro mengangkat bahu.
“Aku masih ada janji konsultasi setelah ini.”
“Aku tidak masalah kok menunggu.” ujar Masahiro dan Tori tak bisa (sebenarnya dia juga tak mau) menolak.
Kali ini Masahiro tidak mengganti seragamnya. Dia hanya melepas rompi dan dasinya. Lengan kemejanya digulung sampai siku dan satu kancing teratasnya dibuka. Tori menemuinya sedang ngobrol dengan seorang pemuda yang nayris sama jangkung dengan Masahiro. Belum sempat Tori mendekat, pemuda itu sudah berlalu pergi. Gaya acuhnya sedikit mirip dengan Masahiro.
“Kenalanmu?” tanya Tori sambil berdiri di sebelah Masahiro dan mengangguk pada pemuda yang baru saja berlalu pergi itu. Saat itu Tori melihat kalau pemuda itu lengan kirinya dibebat. Seorang pemuda lain berwajah manis menyejajari pemuda itu dan sibuk menasehati sementara si jangkung itu hanya melengos.
Masahiro mengangguk. “Satu agensi denganku. Beberapa hari yang lalu lengannya keseleo.”
“Oh. Tampan ya.” komentar Tori sekenanya.
Masahiro merengut tak senang. Dia langsung berjalan mendului Tori. “Ayo.”
“Inoue-kun,” Tori menyejajari Masahiro. “Tak ada salahnya loh kali ini memberitahuku kita mau ke mana. Kok dua kali pergi denganmu, aku tak pernah tahu kita mau ke mana.” Tori menahan tawa.
Masahiro menghentikan langkahnya lalu menatap Tori dengan serius. “Aku mau ke rumah Sensei.”
Tori hanya balas menatap pemuda jangkung di hadapannya.
“Tidak boleh?” Masahiro meringis.
“Umh, bukannya tidak boleh, tapi...” Tori menggigit bibir.
“Tidak boleh juga tidak apa-apa, kok.” Masahiro pasang tampang kecewa.
Tori jadi tersenyum dan menepuk pelan dada Masahiro. “Dengarkan dulu orang bicara, dong. Aku tak punya apa-apa di rumah jadi kita belanja dulu ya.”
Masahiro langsung mengangguk antusias.
Masahiro berkedip begitu pintu ke apartemen Tori terbuka. Apartemen itu tak lebih luas dari kamarnya. Dari pintu saja Masahiro sudah bisa melihat ruang tamu, dapur dan beberapa pintu yang membuka entah ke mana. Tori menjawil lengannya.
“Ayo, masuk. Aku tahu ini tidak seberapa tapi kan Inoue-kun yang minta kemari.” ujar Tori sambil menutup pintu di belakang mereka. “Pakai sandal yang ini ya.” Tori menunjuk ke selop rumah berwarna merah yang diletakkan di genkan. Masahiro hanya mengangguk, berkedip pelan saat bahu Tori menabrak pelan dadanya ketika dokter itu melewatinya.
Tori meletakkan belanjaannya di meja makan dan sibuk membuka-buku lemari mencari gelas bersih. Dia belum sempat cuci piring tadi pagi. Masahiro akhirnya menyusul masuk dan celingukan sebentar sebelum akhirnya duduk di sofa di depan televisi. Apartemen itu memang tidak besar tapi rapi sekali. Sebuah pintu di dekat televisi terbuka dan kalau Masahiro menjulurkan kepalanya, dia bisa melihat ujung tempat tidur. Sepertinya itu kamar Tori dan Masahiro tak buang waktu untuk mengintip ke sana. Kamar itu pun rapi, meskipun tempat tidurnya agak sedikit berantakan. Sepertinya Tori tak sempat merapikan sebelum pergi kerja tadi pagi. Beberapa buku disusun rapi di dekat jendela. Dindingnya dicat warna salem. Terkesan kalem dan tenang sekali. Tak sadar, tangan Masahiro mendorong pelan pintu untuk melihat lebih jelas.
“I.no.u.e.ku.n~”
Masahiro tersentak dan menoleh. Tori berdiri di belakangnya sambil berkacak pinggang. “Tidak sopan mengintip begitu.” Tori langsung maju dan menutup pintu kamarnya. Masahiro merengut.
“Habis pintunya terbuka, sih.” kilah pemuda itu sambil duduk lagi di sofa.
Tori menggeleng-gelengkan kepalanya. “Itu pribadi, mengerti?”
Masahiro menunduk. “Hai.”
“Bagus. Sekarang duduk saja yang manis. Aku akan buat sesuatu. Inoue-kun lapar kan?” ujar Tori sambil berlalu ke dapur yang cuma berjarak beberapa langkah dari sofa itu.
Masahiro mengangguk. Karena tak tahu harus berbuat apa dan mulai merasa bosan, Masahiro akhirnya bangkit dan duduk di meja makan. Diperhatikannya Tori mengenakan celemek dan mulai sibuk dengan bahan makanan yang tadi mereka beli.
“Matsuzaka-sensei selalu masak sendiri ya?” celetuknya.
Tori menjawab tanpa menoleh. “Hm? Sudah biasa kok. Aku tinggal sendiri sejak kuliah jadi mau tak mau harus begini. Kalau sedang tak sempat sih pesan makanan tapi kan terlalu mahal kalau beli terus.”
Masahiro mengangguk-angguk meskipun tak mengerti. Dia tak pernah merasakan hidup seperti itu. Sejak kecil semuanya serba ada dan dia tak pernah susah. Minta apapun pasti akan terkabul. Kadang kalau Ibunya sedang ada di rumah, Masahiro suka melihatnya berada di dapur membuat sesuatu tapi hanya kue-kue kecil saja karena Ibunya tak punya banyak waktu. Sainei juga suka memasak tapi Masahiro tak pernah memperhatikan. Untuk apa pula dia nongkrong di dapur dan memperhatikan kakaknya masak? Tapi memperhatikan Tori sibuk seperti itu, Masahiro merasa aneh sekaligus kagum sekaligus dibuat sadar kalau dunianya ternyata berbeda sekali dengan dunia Tori.
“Tidak minta dikirimkan pelayan dari rumah?” tanya Masahiro lagi.
Tori tertawa. “Aku yakin Ibuku akan membantingku kalau aku minta dikirimkan pelayan.” Dia menggelengkan kepala lalu melanjutkan pekerjaannya menumis. Keluarganya mampu sih, tapi apa gunanya dia berkeras hidup sendiri kalau ujung-ujungnya masih minta diakomodasi keluarganya?
“Sudah jadiii~” ujar Tori dengan ceria sambil meletakkan sepiring tumisan daging dan sayur ke hadapan Masahiro. “Sini, bantu aku.” ujar Tori lagi sambil menggeret lengan Masahiro, menunjukkan letak mangkuk nasi dan sumpit dan menyuruhnya menata meja sementara dia sendiri mengurus sup miso. Untunglah dia masih punya nasi putih di rice cooker.
“Seadanya saja ya.” Tori melepaskan celemeknya dan duduk di sisi kanan Masahiro dan mulai mengambilkan nasi.
Masahiro memandang menu makan malam yang sangat sederhana itu dengan penuh minat. Tori jadi tersenyum melihat Masahiro yang sempat ragu, mencicip sedikit lalu mulai makan dengan lahap.
“Enak?” tanyanya dan dijawab Masahiro dengan anggukan antusias karena mulutnya penuh nasi.
Tori tersenyum senang. Tangannya terjulur menjumput nasi yang menempel di pipi Masahiro dan memasukkan nasi itu ke mulutnya sendiri. Masahiro tertegun dan wajahnya langsung terasa panas.
Selesai makan, Masahiro berdiri di belakang Tori, mengamatinya mencuci piring. Tori harus berkali-kali menyikutnya agar minggir karena punggungnya jadi bertabrakan dengan dada Masahiro terus. Masahiro akhirnya menyingkir dan melipir ke sofa. Belum pernah dia merasa sekenyang ini. Wajar saja karena dia tadi menambah nasi sampai tiga kali. Tori menyusulnya ke sofa dan mengangsurkan segelas teh hangat pada tamunya. Masahiro menggumamkan terima kasih sambil beringsut memberi tempat untuk Tori di sebelahnya.
“Apa?” tanyanya saat melihat Tori tersenyum-senyum geli.
Tori menggeleng. “Tak apa-apa. Hanya lucu saja kalau ternyata Inoue-kun juga suka kencan model begini ya?”
Masahiro menggaruk kepalanya. “Memangnya aneh ya?”
Tori ganti menggeleng. “Tidak, kok. Aku justru lebih senang yang seperti ini.” Dia tersenyum sambil menyesap tehnya. Kedua kakinya diangkat ke sofa sementara punggungnya bersandar santai.
Masahiro memutar-mutar gelas teh di tangannya. “Berarti, aku bukan orang pertama yang mengajak Sensei kencan seperti ini ya?” tanyanya pelan. Ada sedikit nada kecewa di suaranya.
Tori menatap pemuda itu lekat-lekat dan menggeleng. “Aku kan sudah bilang kalau aku pernah pacar.” jawabnya.
“Hmm.” gumam Masahiro.
Tori memiringkan kepalanya, berusaha melihat wajah Masahiro. “Memangnya, Inoue-kun tidak pernah mengajak pacar-pacar Inoue-kun ke kamar?” tanyanya setengah geli.
“Yah, pernah sih.” Masahiro terpaksa mengaku.
Tori mencubit pipi Masahiro dengan gemas. “Sama saja kan kalau begitu?” tanyanya. Ada perasaan geli di perut Tori. Dia tahu mengarah ke mana pembicaraan ini tapi akal sehatnya masih berusaha mengingatkan kalau pemuda di sampingnya itu mungkin tidak serius-serius sekali. Kalau dia menanggapi lebih dari ini, mungkin Tori akan berakhir dengan sakit hati. Dia suka terlalu terbawa suasana dan hilang kendali membiarkan dirinya jadi terlalu suka atau bahkan sampai terlalu sayang pada seseorang. Tapi Masahiro lucu sekali dan Tori mulai benar-benar menyukai anak itu.
Tori menarik nafas panjang saat tangan Masahiro menyentuh tangannya yang masih menempel di pipi pemuda itu. Masahiro menarik pelan tangannya dan saat bibirnya menyentuh telapak tangan Tori, Tori menahan nafas dan menggigit bibirnya.
Tori tahu, pada satu titik, dia harus menghentikan semua ini. Kalau dia tak berniat serius atau Masahiro yang tak berniat serius, Tori harus bersikap tegas. Dia tak ingin merasa dipermainkan atau malahan dituduh mempermainkan perasaan Masahiro. Dia harus berbuat sesuatu. Tapi entah kenapa dia tak berbuat apa-apa saat bibir Masahiro menyentuh pergelangan tangannya, mengecup dengan lembut dan melirik ke arahnya dengan penuh arti.
Wajah Tori memerah, mendadak jadi begitu tak nyaman dan salah tingkah. Akhirnya Tori berhasil menarik pelan tangannya. Itu pun harus mengerahkan segenap tenaga. Tapi Masahiro masih menatapnya dengan intens. Tori langsung merasa pusing. Diletakkannya cangkir teh ke atas meja dan nyaris terlonjak karena mendadak wajah Masahiro sudah ada di sebelahnya. Masahiro meletakkan tangannya di pundak Tori dan mendorongnya lembut sampai Tori harus rebah dan Masahiro membungkuk di atasnya. Dengan perlahan sekali, Masahiro mendekatkan wajahnya dan berhenti saat ujung hidung mereka hanya berjarak beberapa mili.
Tori tak bisa mengalihkan pandangannya. Masahiro bernafas sangat pelan. Matanya bergerak dari menatap mata Tori lalu turun ke bibirnya lalu kembali memandang Tori lagi.
“Inoue-kun,” bisik Tori dengan suara parau.
“Ya?”
“Sedang apa?”
“Mencium Sensei.” dan Masahiro menyentuhkan bibirnya dengan bibir Tori dengan sangat pelan dan lembut.
Tori menarik nafas. Tak yakin dengan apa yang sedang terjadi sampai dia mendengar dirinya mengerang pelan saat Masahiro menghisap pelan bibir bawahnya. Tangannya bergerak di luar keinginannya, melingkar ke leher Masahiro dan akhirnya membuka bibirnya, membiarkan Masahiro menciumnya.
Tori tahu dia tak bisa mundur lagi setelah ini.
Masahiro menutup matanya dan menempelkan keningnya ke kening Tori. Tori berusaha mengatur nafasnya dan kembali menarik nafas panjang saat Masahiro menciumnya lagi. Tangan Masahiro mulai berani mengelus bagian samping tubuh Tori tapi tak melakukan lebih dari itu sementara Tori hanya sanggup mengelus rambut kecoklatan pemuda itu. Ada sesuatu yang menyala di dalam diri Tori ketika mereka berciuman lagi. Sesuatu yang sudah lama tidak dirasakannya karena pupus tertutup sakit hati. Tangan Tori bergerak mengelus pipi Masahiro dan mereka berhenti berciuman, saling bertatapan selama beberapa lama sebelum akhirnya Masahiro menjauh.
“Maaf.” Bisiknya dengan rasa bersalah. Masahiro duduk tegak lagi tapi tak benar-benar menjauh dari Tori.
Tori ikut menegakkan badannya dan menyandarkan keningnya ke bahu Masahiro. “Aku tidak keberatan kok.”
Masahiro menoleh padanya, matanya penuh dengan harapan yang tidak ditutup-tutupi. Tori jadi merasa makin tak karuan. Dikecupnya pelan pipi Masahiro. “Sudah malam. Besok harus sekolah kan?”
Masahiro tak bisa lebih sebal lagi mendengar kalimat itu tapi dia tak bisa membantah. Sebenarnya sejak tadi teleponnya sudah bergetar terus menerus di dalam kantongnya. Itu pasti salah satu kakak-kakaknya mencarinya. Kalau tak pulang atau tak memberi kabar, mereka pasti akan memanggil polisi. Masahiro tahu dia sudah cukup merepotkan Tori. Setelah mengecup Tori sekali lagi, Masahiro akhirnya berdiri dan mengambil tasnya.
Masahiro menoleh sekali lagi sebelum Tori menutup pintu. “Aku... masih boleh bertemu Matsuzaka-sensei kan?”
Tori tersenyum manis sekali.
MOEEEEEEEEEEEEE. . . . *tarik napas* EEEEEEEEEEEE! Tori-sensei pake celemek! Sudah seperti newlyweds!
ReplyDeleteAgyagyagya ADA KIMI-CHAN DAN MURAI!
MOEEEEEEEEEEEEE. . . . *tarik napas* EEEEEEEEEEEE! Tori-sensei pake celemek! Sudah seperti newlyweds!
ReplyDeleteAgyagyagya ADA KIMI-CHAN DAN MURAI!
Sensei, kau flirty tanpa sadar! Itu tau yang bikin Ma-kun makin begini dan begitu XDDDD!!!
ReplyDelete*langsung jalan membal2 karena aura fuwa2*
.....................*ded from Tori* Dia sengaja ya? Dia sengaja ya? Masahiro sama sekali tidak berdaya gitu. Kalah kau, obocchama! XDD
ReplyDelete.........gw bener2 useless hari ini. *mati gosong*
ReplyDeleteHHHHHNNNNNGGGGGGHHHHH GW PUASA NIH PUASAAAA.
@Nei sampe kepencet dua kali gitu XDDDDD
ReplyDelete@Anne: sensi nakal yaaaa *cyubit*
MAAF! XDDDD
ReplyDelete(/'3')/ (/'3')/ (/'3')/
Ma-kun, kau kalah. KALAH!
@Nei sampe kepencet dua kali gitu XDDDDD
ReplyDelete@Anne: sensi nakal yaaaa *cyubit*
LOL maaf? XDDDD
ReplyDeleteeh, btw, lu selalu puasa senin-kamis ya, Cha? Lagi berkaul apakah?
Gapapa, ini masih efek DCD/ShinkenRed kemaren sih. Ngantuk banget pula. XD
ReplyDeleteNgga kok, ini baru aja puasa lagi, kan mau Idul Adha. XD;
ah, sou~
ReplyDeleteMOEEEEE!!! ~nemplok ke sensei~ mama-san, ayo tanggung jawab, sekarang aku ngidam lagi ini. ~lirik nei dengan penuh ide jahat~
ReplyDeletesaya tidak menghamili Anda, kenapa saya harus bertanggung jawab? *kabur*
ReplyDeletetapi, high tension bikinan anda itu yang melakukannya. XD
ReplyDeleteHoahahahahahahahahahahahah
ReplyDeleteya, ketawa dia...
ReplyDeletetadi aja mama sampe melongo gara2 aku nyaris ngabisin sambel 1 cobek. XDDD
Mo.......moeru naaa, anta XDDDD;;
ReplyDelete