Sunday, August 12, 2012

[fanfic] Koi ni Ochittara

Cast: Hirano Kinari, Ueda Yuusuke, Okazaki Kazuhiro
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything/anyone
Note: Sambil mikir2 mau taro di mana fanfic2 ini, posting di sini dulu lah ya XD


Yuusuke melirik sekilas. Sudut matanya menangkap bayangan kepala berambut gelap kemerahan selangkah di belakangnya. Sudut bibirnya terangkat sekilas sementara lengannya bergerak untuk meletakkan tangan di punggung Kinari. Dengan lembut, dipaksanya pemuda itu untuk berjalan tepat di sampingnya. Sepasang mata yang disukainya itu berkedip dan tanpa kata menuruti keinginan Yuusuke. Lalu menyikut pinggang Yuusuke sambil tertawa pelan.

*****

Kalau dibilang dia tak punya kepentingan datang ke gedung olahraga itu, Kinari akan menampik dengan alasan dia datang untuk memberi semangat. Pada siapa, itu akan dipikirkannya belakangan.

Kinari tak pernah terlalu menyukai olahraga. Kalau hanya untuk sekedar bermain-main dan membuang tenaga sih oke saja tapi kalau diminta untuk serius dan membuat prestasi di situ, jangan harap ia akan mau. Minatnya selalu jatuh pada kamera dan fotografi. Meskipun begitu, teman-temannya di klub fotografi pun menganggapnya seenaknya sendiri karena jarang datang ke klub. Lebih menyebalkannya lagi, sekalinya datang, Kinari akan membawa hasil foto yang luar biasa bagus dan indah.

Hari ini pun klub fotografi diminta untuk membantu mendokumentasikan perjuangan klub-klub sekolahnya yang berhasil masuk ke interhigh. Tentu saja, Kinari dengan acuhnya menolak untuk ikut serta. Sekali lagi, olahraga bukan obyek favoritnya termasuk untuk direkam dengan kamera. Toh, klub yang lolos ke interhigh dari sekolahnya hanya klub kendo, basket dan tenis meja. Tak banyak yang bisa dilakukan sekalipun ia ikut.

Masalahnya, ia jadi bosan karena sama sekali tak punya sesuatu untuk dilakukan. Ia sudah mengitari dua taman tapi tak menemukan obyek menyenangkan untuk difoto. Pergi ke hutan kecil di dekat sekolah pun tak terlalu menarik karena polisi sedang menutup daerah itu sejak ada pejalan kaki yang tersesat dan belum ditemukan. Dia mencoba ke daerah pertokoan dan nongkrong cukup lama di toko kamera yang sering dikunjunginya, memandangi kamera Nikon incarannya yang entah kapan baru bisa terbeli. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang untung-ruginya, dia memutuskan untuk melangkahkan kaki ke gedung olahraga itu.

Seorang pemuda kurus berkulit putih berwajah rubah yang cukup rupawan melambaikan tangan ke arahnya saat Kinari menyusuri lapangan terbuka tempat klub atletik bertanding. Kinari memicingkan mata dan mengenali jersey hitam-biru dan lambang sekolahnya tersemat di bagian dada. Dilambaikannya tangannya dan pemuda itu berlari mendekat.

“Ou, Kazuhiro,” sapa Kinari saat pemuda itu berhenti di depannya, nyengir lebar.

“Kupikir kau tidak ikut jadi seksi dokumentasi,” komentar Kazuhiro.

Kinari memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya dan mengedikkan bahu, “Memang tidak. Aku tak ada kerjaan.”

“Jadi berubah pikiran?”

Kinari mendengus. Kazuhiro tertawa pelan. “Yah, mungkin ada bagusnya. Kau jadi tak bisa memotret kekalahan kami.”

Mata Kinari membelalak, “Eh?”

Kazuhiro menggaruk bagian belakang kepalanya, “Maa, baru saja. 30 menit yang lalu.”

“A, ah... gomen,” Kinari berbisik, sedikit salah tingkah. Tapi Kazuhiro tertawa dan mendorong pelan bahunya. “Ii yo.”

“Tidak kecewa?” Kinari meringis, bertanya dengan hati-hati sementara kakinya mengikuti langkah Kazuhiro yang menuju ke arah hall besar.

“Tentu saja kecewa, aku tidak akan munafik tapi lawan kami memang kuat kok. Shouganai. Yang penting sudah berusaha.”

Kinari mencibir, "Seperti bukan kamu saja, bicara seperti itu. Kalau begitu sekarang mau pulang?” tanya Kinari lagi, sudah bersiap-siap berpikir mungkin sebaiknya dia pulang dan tidur saja kalau memang  sama sekali tak ada yang bisa dilakukannya. Tapi dilihatnya Kazuhiro menggeleng lalu Kinari merasa lengannya digamit dan diseret ke dalam hall.

“Aku mau nonton dulu. Sudah janji.”

“Janji?”

Kazuhiro mengangguk. “Un. Lawan yang kuceritakan tadi, dia sepupu jauhku. Orangnya baik dan keren sekali. Kau juga harus lihat. Yuk, kita duduk di sana!” ujarnya antusias seraya menunjuk tribun penonton di sebelah barat.

Sambil membiarkan Kazuhiro membimbingnya ke tempat duduk mereka, Kinari memperhatikan bagian tengah hall yang sedang dipersiapkan untuk final cabang olahraga kendo. Dua tim sedang bersiap-siap di tepi arena, memeriksa peralatan dan melakukan pemanasan ringan. Kazuhiro membawa mereka ke tempat duduk tepat di bagian depan tribun jadi mereka bisa melihat arena pertandingan dengan jelas. Kinari menyandarkan punggung dan menumpukan kaki di pagar pembatas. Kazuhiro menepuk pelan lututnya tapi Kinari tetap bergeming.

Diedarkannya matanya dengan malas, melewati tiap-tiap orang yang lewat di sekelilingnya. Kazuhiro sudah sibuk dengan ponselnya. Kinari menebak temannya itu memberitahu ibunya tentang hasil pertandingan hari itu. Kinari kembali mengarahkan pandang ke arah arena. Tim yang akan bertanding sudah mengambil posisi di dua sisi arena, berseberangan satu sama lain. Kazuhiro menunjuk pada satu tim yang diberi tanda pengenal berwarna merah di sisi kanan arena. Kinari pun menuruti arah telunjuk Kazuhiro.

Kemudian matanya terpaku.

Lima anggota tim itu sudah mengambil posisi berderet di tepi. Pelindung tubuh mereka diatur rapi di hadapan masing-masing. Seorang pria yang nampaknya pelatih sedang berbicara dengan dua orang dari mereka yang mendengarkan dengan serius. Tapi yang menahan pandangannya adalah pemuda yang duduk di ujung deretan. Pemuda itu duduk bersimpuh dengan posisi paling sempurna yang pernah dilihat Kinari. Punggung dan pundaknya tegap dan terkesan kokoh. Kepalanya pun tegap dengan pandangan diarahkan sedikit ke bawah. Kedua tangannya diletakkan di atas masing-masing paha, terkatup rapat dan rileks. Potongan rambutnya pendek sekali dan kedua alisnya yang tebal nampak tegas membingkai wajahnya yang tenang.

Meskipun teman setimnya nampak sedikit tegang dan beberapa kali melirik ke arah lawan mereka, pemuda itu seolah tak ambil pusing. Dia mengangguk sekilas pada teman di sebelahnya saat dibisiki sesuatu lalu kembali diam. Dan seolah tahu kalau diperhatikan, pemuda itu mengangkat kepalanya dan Kinari nyaris saja menunduk untuk bersembunyi karena tak ingin ketahuan. Kinari merasa jantungnya berdegup kencang.

Apa? Kenapa?

“Ah, dia melihat ke sini. Yo, Yuusuke~!” Kazuhiro melambai bersemangat.

Kinari menoleh pada temannya itu. “Kau kenal?”

“Un. Un. Dia orang yang kuceritakan tadi. Sepupu jauhku.” Sahut Kazuhiro dengan santai.

“Hee..." Kinari mengangguk-angguk kepala, berusaha acuh. Pun begitu, Kazuhiro sudah melemparkan pandang penuh arti padanya. "Dia keren kan?"

Kinari melengos, "Mana aku tahu dia keren atau tidak. Lihat dia bertanding saja belum."

Kazuhiro tak menjawab. Sepasang matanya yang runcing seperti rubah bersinar-sinar ceria dan tampak geli saat melihat Kinari mengeluarkan kameranya dan membidikan lensa ke arah arena.

*****

Dia sungguh tak mengerti apa yang baru saja terjadi. Mungkin kedua tangannya lebih paham dan bisa mengikuti runut kejadian di bawah sana daripada dirinya sendiri. Ibu jarinya menekan tombol, melihat sekitar 200 foto yang baru saja diambilnya yang sebagian besar diambil dari pertandingan terakhir. Saat pemuda bernama Yuusuke itu bertanding.

Entahlah. Dia seperti tersihir. Saudara Kazuhiro itu nampak seperti pendekar pedang yang gagah dan anggun dan sungguh, Kinari tak bisa menolak obyek seindah itu untuk dilewatkan begitu saja. Dia hanya bisa menggerutu panjang-pendek dan memukul kepala Kazuhiro saat temannya itu terkikik geli.

Kinari menerima sebotol air mineral yang diulurkan temannya yang masih menahan tawa. Sial, apa-apaan ini? Batinnya. Siapa sebenarnya pemuda itu? Kenapa jantungnya masih belum bisa berhenti berdetak kencang? Kenapa matanya tetap tak bisa beralih?

Wajahnya pasti bodoh sekali karena Kazuhiro masih tak bisa berhenti tersenyum-senyum geli. Kinari merutuk dan berdiri, setelah memastikan kameranya tersimpan rapi di dalam ranselnya.

"Jy, jyaa... aku pulang ya. Terima kasih untuk hari ini." Kinari berujar gugup.

"Chottoooo!" Kazuhiro kembali menangkap lengan Kinari dengan sigap. "Aku mau ketemu Yuusuke dulu. Kau tidak mau ikut?"

Kinari mengerutkan kening, berpura-pura tampak kesal. "Kenapa aku mau ikut? Dia kan saudaramu. Aku sudah dapat foto yang bagus. Sudah cukup kok."

Kazuhiro memiringkan kepalanya yang tampan itu, ".....Tapi kau ingin kenal kan?"

*****

Kazuhiro brengsek!

Kinari merutuk dalam hati saat dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat gugup sambil berdoa dalam hati supaya tidak kelihatan tolol. Dan kenapa wajahnya harus terasa panas, sih?

Kenapa pula dia diam seperti patung saat Kazuhiro benar-benar menariknya mendekat ke rombongan tim sekolah sepupu jauh temannya itu. Mereka sudah mulai membereskan peralatan mereka, melipat kain penutup kepala, memasukkan pelindung ke dalam tas kain dan menyarungi pedang bambu. Wajah-wajah yang lelah namun nampak begitu puas dan gembira. Kinari mengalihkan perhatiannya dengan kembali mengeluarkan kameranya dan memotret pemandangan itu.

Namun saat Kazuhiro melambaikan tangan dan memanggil pemuda incarannya itu, Kinari tak bisa tidak melirik. Pemuda bernama Yuusuke itu menoleh dan begitu melihat Kazuhiro, sudut-sudut bibirnya mengembang menjadi senyuman lebar dan cerah. Sudut-sudut matanya mengerut lembut dan memberikan kesan ramah dan hangat.

Sedetik, jantung Kinari berhenti berdegup.

Uwaaaah, manis sekali. Kenapaaaa? Bagaimana mungkin pendekar pedang yang dilihatnya tadi punya senyum semanis ituuuu? Kinari ingin sekali meraung dan berguling-guling di lantai kalau saja dia tak ingat sedang ada di mana.

Rasanya ingin lari saja dari situ. Wajahnya terasa semakin panas dan kedua tangannya terasa licin. Ia harus berhati-hati agar tak menjatuhkan kameranya. Dibiarkannya Kazuhiro bercakap dengan sepupunya itu, memuas-muaskan diri memandangi pemuda bernama Yuusuke itu sambil berpura-pura memotret apapun yang menarik perhatiannya.

Hirano Kinari, 17 tahun. Bertingkah seperti baru saja jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Eh?

".....pokoknya hebat sekali, deh. Ah, sou! Aku mau mengenalkanmu pada seseorang. Kinari-kun, sini, sini!"

Lagi-lagi, Kinari merelakan lengannya ditarik Kazuhiro. "Ini Hirano Kinari, teman sekelasku. Kinari-kun, Ueda Yuusuke."

"Ah, hajimemashite. Ueda Yuusuke desu." Pendekar pedang bersenyum manis itu kembali tersenyum lebar seraya mengangguk dan mengulurkan tangan.

Waaa, waaa, waaa. Apakah boleh dijabat? Boleh disentuh? Eh? Aku tak akan dianggap bodoh atau apa? Uwaaah, tangannya kelihatan kuat sekali.

"Ah, u, un. Maksudku, senang bertemu denganmu juga. Hirano... Kinari...desu." ujarnya terbata seraya menyambut uluran tangan yang bersahabat itu.

Yuusuke mengangguk dan Kinari merasa lututnya meleleh karena genggaman tangan itu begitu erat dan mantab juga hangat. Brengsek, brengsek, brengsek. Apa-apan ini?

Seolah menyadari kalau temannya mendadak kehilangan kemampuan untuk bicara, Kazuhiro menyembunyikan tawa dengan terbatuk pelan. “Kinari-kun ini suka memotret loh. Kupikir tadi dia bahkan mengambil foto-foto yang bagus. Kau mau lihat?”

Sungguh, rasanya dia mau membunuh Kazuhiro saat itu juga.

Sayangnya, Yuusuke keburu terlihat penasaran dan antusias. “Sungguh? Kalau memang boleh, tentu saja aku ingin lihat. Hahaha, aku jarang difoto sih, jadi mungkin hasilnya tidak bagus ya.”

“Naiii~” Kazuhiro mengibaskan tangannya.

Dibilang begitu, Kinari merasa harga dirinya sedikit tersenggol. “Fotonya bagus atau tidak, itu bukan salah obyeknya, kok,” gumamnya seraya memutar kameranya agar Yuusuke dan Kazuhiro bisa melihat foto-foto hasil jepretannya.

Yuusuke mengangkat alis. “Sou ka.” Lalu mengambil kamera Kinari dan mulai memperhatikan gambar yang terpampang. “Uwaaaa. Aku kelihatan segarang ini?”

Kazuhiro mendekat hingga sisi kepalanya nyaris bersentuhan dengan pelipis Yuusuke, “Mana? Mana? Hahaha tapi kau memang seperti itu kalau sedang bertanding. Eh, yang ini keren loh, Yuusuke.”

Yuusuke memajukan kepalanya sedikit dan mau tak mau, Kinari pun ikut menjulurkan leher karena penasaran. Foto yang diambil Kinari saat Yuusuke hendak turun bertanding, sedang mengenakan pelindung tangannya dan menoleh pada teman setimnya yang kelihatan sedang mengatakan sesuatu padanya sementara mata Yuusuke menatap lurus ke arah lawannya di seberang.

“Ini,” Yuusuke menunjuk foto itu, “boleh untukku?”

Kinari terdiam sejenak. “Tidak. Maaf.”

*****

Kinari memandangi foto itu dengan senyum terkulum. Kini terbingkai rapi dan diletakkan di atas meja belajarnya dan sering dipandanginya tiap kali ia merasa ingin melihat Yuusuke tapi terlalu gengsi untuk menelepon atau mengirim pesan. Bukannya ia selalu menahan diri tapi untuk hal-hal seperti ini, lebih baik ia simpan sendiri saja.

Sebuah sentuhan lembut di pundak membuat Kinari menoleh dan ia pun tersenyum lebar. Tanpa pikir panjang, pemuda itu melempar tubuhnya untuk memeluk Yuusuke, membuat Yuusuke berseru kaget dan jatuh terhuyung ke tempat tidur seraya memeluk Kinari dan tertawa lebar.

 -end-