Saturday, February 18, 2012

[fanfic] Kitchen

Cast: Jinnai Sho, Mitsuya Ryou, Ueda Yuusuke
Rating: G
Warning: AU, OOC, implied BL
Disclaimer: I do not own anything
Note: percakapan random karena saya tak ada kerjaan di hari hujan ini.


Hari masih pagi ketika Yuusuke tiba di depan sebuah kedai sake. Jalanan di depannya pun masih sepi. Hanya tampak satu-dua orang yang sedang bebersih di depan toko milik mereka. Kedai yang menjual bento sudah ramai sejak pagi buta tapi Yuusuke tak berniat mampir ke situ. Dicobanya untuk membuka pintu kedai sake yang masih tertutup - norennya pun belum dipasang karena belum waktunya buka - sambil berujar, "Gomen kudasai."

Bagian dalam kedai itu pun masih lengang dan lampu di bagian tempat makan belum dinyalakan. Kursi-kursi masih terletak terbalik di atas meja-meja. Ada dua buah panci besar bertengger di atas kompor yang menyala. Asap tipis menguarkan wangi yang diterjemahkan otak Yuusuke sebagai sup dan rebusan sayuran. Beberapa bahan makanan lain teronggok di sebuah meja.

Yuusuke mencoba lagi, "Gomen kudasai," dan tersenyum saat mendengar ada jawaban. Kepala Jinnai menyembul dari balik pintu di bagian belakang dapur. "Ah, Ue-chan! Sudah datang ya."

Yuusuke mengangkat tangannya, "Yo."

"Taruh saja bawaanmu di atas. Aku buang sampah dulu."

Yuusuke menurut dan menapaki tangga mungil yang terletak di sebelah kiri dapur. Jaket dan tasnya diletakkan di dekat meja di ruang duduk mungil di lantai dua. Sekilas ia mengintip ke arah sebuah pintu yang setengah terbuka. Seorang pria setengah baya sedang tertidur pulas dan Yuusuke tak berniat mengganggu maka ia pun turun lagi.

Sambil menggulung lengan bajunya, Yuusuke mencari celemek dan mulai memilah-milah sayuran di atas meja. Jinnai kembali tak lama kemudian, mencuci tangan dan bergabung untuk memberi petunjuk pada Yuusuke apa yang harus dilakukan.

Jinnai sedang menghitung persediaan sake dan minuman lainnya ketika didengarnya Yuusuke bertanya, "Pacarmu yang manis itu ke mana?"

Jinnai tertawa. "Hari ini dia sibuk di kampus katanya. Ada perayaan atau apa begitu. Nanti sih katanya mau datang dengan teman-temannya."

Yuusuke mengangguk-angguk sementara tangannya terus bekerja memotong-motong sayuran. "Kupikir dia akan datang dan membantumu. Biasanya begitu kan?"

"Yah, hidupnya kan tidak berputar di sekitarku saja." Jinnai mengedikkan bahu.

"Tapi tampaknya seperti itu loh." Potong Yuusuke sambil tersenyum lebar. "Kelihatannya merepotkan tapi kau senang kan?"

"Dou deshou ka," sahut Jinnai namun ia tak bisa menahan cengiran yang muncul. Yuusuke tertawa.

"Ii jyan?"

"Maa ne."

Kedua laki-laki itu tertawa lagi. Saat itu pintu kedai terbuka dan terdengar suara berat yang familiar di telinga Jinnai, "Ojamashima- eh, Ue-chan? Ue-chan da! Hisashiburiiiii!"

"Mitsuya-kun!" Yuusuke pun buru-buru berdiri namun Mitsuya sudah menghampirinya dengan langkah cepat dan menepuk2 pundak pria yang lebih tinggi darinya itu.

"Eh? Eh? Sudah lama sekali ya. Sedang apa di sini? Memangnya tidak buka toko? Wah, kau tambah tampan ya? Sho-chan, Ue-chan loh!"

"Hisashiburi, Mitsuya-kun. Yappari masih tetap semangat seperti dulu ya." Yuusuke menyalaminya sambil tertawa. "Aku diminta Sho-chan bantu-bantu. Kebetulan aku tak ada pekerjaan karena toko sedang direnovasi."

Tanpa basa-basi lagi, Mitsuya melepas mantelnya dan menarik sebuah kursi agar ia bisa duduk di dekat Yuusuke. "Eh? Paman sakit? Atau sedang pergi?"

Jinnai menghampiri mereka dan meletakkan dua cangkir teh hangat di hadapan kedua temannya itu. "Sakit pinggangnya kumat. Aku tak bisa buka toko sendirian di hari sabtu seperti ini."

"Ah, sou? Boleh kujenguk? Sebentar ya, Ue-chan!" Dan Mitsuya pun langsung melesat ke lantai dua, meninggalkan Jinnai yang geleng-geleng kepala dan Yuusuke yang menahan tawa.

"Dia sudah berubah ya?" Komentar Yuusuke sambil menyesap tehnya.

"Apanya?" Jinnai menggaruk bagian belakang kepalanya. "Sama saja, kok. Masih saja cengeng dan gampang naik darah."

"Tapi aku senang loh, kalian sudah berhenti berkelahi."

"Berkelahi itu kan bukan mau kami, loh. Orang-orang saja yang terus-terusan mencari. Lagipula, tak bisa seperti itu seumur hidup kan? Lagipula, itu kan sudah lama sekali, Ue-chan. Tak usah diungkit lagi." Tukas Jinnai seraya mengibaskan tangan.

Yuusuke mengangguk-angguk. "Tak menyangka saja dia akan menikah lebih dulu dan... berapa anaknya sekarang?"

"Hmm... Empat?"

"Sugoi~" Yuusuke tertawa.

Jinnai pun terkekeh. "Begitulah. Lagaknya saja marah-marah tapi sebenarnya suka sekali kok."

"Kau juga lega karena tak harus menjaganya terus kan?" Yuusuke mengangkat alis.

"Haaah?" Jinnai menuding temannya dengan sebilah pisau. "Dengar ya, saling menjaga itu insting untuk bertahan hidup, tahu. Sama sekali tak ada unsur romantisnya."

Yuusuke menepis tangan Jinnai dengan tenang. "Aku juga tak bilang begitu, kok. Maksudku, hidupmu jadi lebih tenang kan?"

Jinnai memiringkan kepala, "Yah, dibilang lebih tenang sih..."

"Ah, tidak juga ya." Yuusuke tertawa lagi.

"Sou."

Mitsuya kembali bergabung dengan dua teman lamanya itu tak lama kemudian. "Paman sempat bangun sebentar tadi, tapi sudah tidur lagi." Ujarnya sambil menduduki kursinya lagi dan menjangkau seikat sawi putih.

Jinnai mengangguk lalu mengangkat alis. "Sedang apa?"

Mitsuya balas mengangkat alis. "Aku sedang tak ada kerjaan jadi ikut bantu tak apa kan? Toh, sudah lama tidak bertemu Ue-chan. Ne?" Ujarnya sambil mengangguk pada Yuusuke.

Jinnai memukul bagian belakang kepala Mitsuya dengan kesal dan membuat Mitsuya mengaduh keras dan balas memukul lengan Jinnai. "Apa sih tujuanmu kemari? Kau kan tahu kedai tak akan buka sampai jam 7 malam."

Mitsuya mengerjap. "Ah! Sou!" Dia menepuk tangan seolah baru ingat akan tujuannya mendatangi kedai itu pagi-pagi. "Tak ada apa-apa sih. Hehehe."

"Hah?" Tangan Jinnai sudah terangkat hendak memukul Mitsuya lagi namun temannya yang cantik itu merengut.

"Habis, Kenki sedang dinas ke luar kota. Anak-anak juga sedang study tour ke Osaka. Mereka tak akan pulang sampai lusa. Aku tak ada kerjaan nih." Keluhnya.

Jinnai menghela nafas. Yuusuke tersenyum lebar. "Tak apa kan, Sho-chan. Semakin banyak yang membantu kan enak. Kau jadi punya waktu memperhatikan paman juga."

"Ya sudah." Jinnai melengos ke arah dapur. "Sini. Bantu aku memotong daging ayam untuk yakitori." Ujarnya. "Setelah itu angkat krat bir dari belakang ya."

"Eeeeeh?"

"Katanya mau bantu. Aku bosnya di sini. Kalau tak mau kerja, kau tak akan kubagi sarapan. Atau lebih baik lagi, pulang saja sana." Tukas Jinnai dengan tegas seraya mengacungkan sumpit masak dengan jumawa.

Mitsuya menggembungkan kedua pipinya. Ia makin merengut karena ditertawakan Yuusuke yang geli melihat tingkah dua orang itu. Meskipun begitu, lelaki cantik itu menurut juga dan menghampiri Jinnai untuk mengambil baskom berisi potongan daging ayam dan mulai bekerja dengan tekun.

Sesuai perkataannya, Jinnai membuatkan sarapan yang lezat untuk mereka meskipun sederhana: sup miso, tempura dan asinan sayur menemani nasi hangat yang mengepul wangi. Yuusuke menyumbang tenaga membuatkan yakitamago yang luar biasa enak. Sementara kedua temannya makan, Jinnai menghilang sebentar ke lantai dua mengantarkan bagian ayahnya.

"Banyak sekali ya," komentar Mitsuya setelah mereka selesai makan dan kembali bekerja, memandang tumpukan sayur, daging, ikan dan bahan-bahan lain yang siap diolah setengah jadi.

Yuusuke mengangsurkan ujung sendok kayu yang digunakannya mengaduk campuran bumbu yakitori pada Jinnai. Menggunakan kelingkingnya, Jinnai mencolek sedikit bumbu dari sendok kayu itu, mengecap sejenak, "Mirin-nya ditambah sedikit lagi," pintanya. "Yah, beginilah kalau akhir minggu. Makanya aku minta Ue-chan membantu."

Mitsuya meletakkan satu krat bir di lantai dan mulai mengatur isinya ke dalam lemari pendingin. "Anak itu tidak akan cemburu?"

Jinnai mengangkat alis. "Maksudmu Daisuke?"

Mitsuya mengangguk.

"Kenapa harus? Kedai ini kan milik keluargaku. Dia saja yang seenaknya memutuskan dia punya hak untuk ikut repot." Jinnai berkilah.

"Sho-chan," tegur Yuusuke halus.

"Iya, bercanda." Sela Jinnai. "Aku malah senang kalau dia tak sering-sering muncul dan lebih konsentrasi belajar. Aku tak ingin dilabrak ibunya kalau sampai nilainya hancur karena terlalu sering main di sini. Yah, meskipun dia juga belajar di sini sih."

Mitsuya mendekat dan menusuk pipi temannya itu, "Sho-chan, kawaii."

"Uruse." Jinnai menepis tangan Mitsuya dan berpura-pura sibuk memeriksa kaldu untuk kuah oden.

"Ne," Yuusuke berujar, tanpa menoleh karena menjaga agar bumbu yakitori yang sedang dibuatnya tidak terlalu mendidih, "apa kau akan mengambilnya masuk ke keluargamu? Paman pasti akan senang sekali punya anak semanis itu."

Jinnai tertawa dan mengedikkan bahu. "Saa ne. Mungkin? Aku masih belum tahu."

"Sudah ditanya?"

"Tentu saja belum."

"Nandee?"

"Micchi, uruse."

"Nandeeee?"

Jinnai menghela nafas. "Belum saja. Kalau dia punya cita-cita yang lebih hebat daripada sekedar menemaniku mengurus kedai sake ini, aku kan tak bisa melarang."

Yuusuke mengangguk-angguk. "Kita punya kewajiban keluarga ya. Bukannya terpaksa sih."

"Sou. Kau mengerti maksudku kan, Ue-chan?"

Yuusuke mengangguk lagi. Mitsuya ikut mengangguk. "Anak itu tak pernah pergi dari sampingmu sih, ya. Bagus juga kalau sesekali dia melakukan hal lain. Demo, iinjyanai? Begini saja kau bahagia kan? Memang tak perlu buru-buru ya. Namanya juga Sho-chan."

Kali ini Jinnai tersenyum lebar. "Sou desu ne."

-end-

Thursday, February 16, 2012

[drabble] Kenki/Micchi - late birthday fic

Rating: PG
Warning: BL, OOC, crappy English
Disclaimer: I own nothing
Note: seharusnya ini dipost kemaren2 tapiiii aku sungguhlah sibuk #alasan


“Did you cry?” Kenki raises an eyebrow as he amusingly looking at his friend nursing his coffee.

A pout takes place on Mitsuya’s lips. “You know I always cry at the littlest thing.”

Kenki laughs, this time. Mitsuya shoves him playfully and can’t help but grinning, too. The pretty boy then fixes his eyes with Kenki’s. The guy smiles in return and ruffles Mitsuya’s hair affectionately. 

Just like that and all of a sudden Mitsuya feels something warm is seeping through his soul. It’s always like that with Kenki. He never says so many words and only need to do something like smiling and Mitsuya knows

“Arigatou,” he whispers with a voice that threatens to be broken as he shifts a little, just so his forehead is leaning against Kenki’s shoulder.

Kenki smiles. 

Sunday, February 5, 2012

[fanfic] Just His Luck

Cast: sexy-san, otome-nyan
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I own nothing
Note: I hate my blekberi keypad -_-


Suara pisau beradu dengan talenan dengan ritme yang teratur mengisi dapur mungil itu. Sesekali terhenti untuk kemudian berlanjut lagi. Asap tipis mengepul dari sela tutup panci di atas kompor. Wangi samar daging, sayuran segar, harum bawang bombai dan beberapa bumbu lain memenuhi udara. Daisuke mengendus pelan, memejamkan mata sementara sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyum. Lengannya yang panjang mendekap lutut di depan dada, seolah tak begitu peduli kalau kakinya tak tertutup apapun. Matanya kemudian terbuka, kembali terarah pada sosok yang tengah sibuk memindahkan sayuran yang sudah dipotong-potong untuk direbus di dalam panci.

"Madaaaa?" Tanyanya sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri.

"Sabar sedikit. Lagipula, aku yang lebih lapar, kan?" Jinnai melempar beberapa jumput garam dan merica ke dalam panci lalu melempar sejumput melewati bahu.

Melihat itu, Daisuke mengerjap. "Kenapa melakukan itu?"

"Apa?" Jinnai bertanya tanpa menoleh.

"Itu, melempar garam ke belakang."

"Oh." Jinnai melirik sekilas lalu tersenyum miring. "Untuk mengusir nasib buruk yang selalu ada di belakangku."

Sesaat, Daisuke mengerjap, berusaha mencerna ucapan Jinnai lalu menggembungkan pipi dengan sebal saat mengerti apa maksudnya. "Mou! Jadi maksudmu aku ini nasib buruk, begitu?"

Jinnai terbahak, berhenti untuk mencicipi masakannya lalu nyengir lebar, "Maa ne."

"Jinshan!"

Suara tawa Jinnai kembali terdengar sementara si pemilik suara kembali sibuk berkutat dengan masakan lain: meletakkan penggorengan penuh berisi minyak dan menyalakan kompor. Sepasang lengan yang mendadak melingkari pinggang mengejutkannya.

"Kalau begitu, aku akan jadi nasib buruk yang tak mudah diusir dengan taburan garam dan akan mengikuti Jinshan ke manapun seumur hidup."

Jinnai menepuk lengan itu, "Komatta na." Ia kemudian berputar, menghadapi Daisuke yang masih mendekapnya dan menunduk untuk mengecup kening pemuda itu. "Keberuntunganku sepertinya memang sudah habis sejak menolongmu tempo hari. Jadi, Nasib Buruk-kun, sebaiknya kau membantuku meracik salad atau kau tak akan kubagi sup bola daging dan kroketnya." Ujarnya sambil menepuk punggung Daisuke.

"Huh." Daisuke melengos. "Berbahagialah karena nasib buruk yang satu ini suka masakanmu." Cibirnya sembari melipir ke lemari es dan mengambil bahan-bahan untuk salad.

Sambil menggoreng kroket, Jinnai melirik pada Daisuke yang sudah sibuk di sebelahnya. Ia menggigit bibir agar tak mengomentari jersey Daisuke yang panjangnya hanya mencapai setengah pahanya. Pemuda itu bahkan tak ambil pusing untuk mengenakan celemek dan meracik salad dengan tekun. Mau tak mau Jinnai nyengir melihat pemuda itu membuat salad seperti yang biasa disajikan di kedai. Daisuke memperhatikannya saat datang ke kedai di tengah jam sibuk. Siapa sangka Daisuke ingat bagaimana membuatnya.

Daisuke mencicipi campuran saus yang dibuatnya. Cengirannya melebar dan lalu mengulurkan jari telunjuk yang berbalut saus di ujungnya pada Jinnai. Dengan patuh, Jinnai membuka mulut. Bahu Daisuke berkedik senang saat Jinnai mengangguk, menyetujui rasa sausnya lalu beralih membawa mangkuk berisi salad ke meja makan.

"Perlu mangkuk?"

"Kecuali kau mau makan langsung dari panci,"

Daisuke terkikik, melewati Jinnai untuk menjangkau lemari gantung di atas kompor. Sejenak kemudian, ia sudah sibuk menata meja sementara Jinnai memberikan sentuhan-sentuhan akhir pada masakannya. Tak lama, pemuda itu menatap antusias pada sup bola daging, kroket, salad dan nasi hangat yang tersaji di hadapannya.

"Uwa, uwa, uwaaaaa~ Jinshan memang hebaat!" Daisuke bertepuk tangan ceria dan Jinnai harus meletakkan jari di depan bibir agar pemuda itu memelankan suara karena khawatir akan membangunkan ayahnya yang sudah tidur. Daisuke ikut meletakkan jari di depan bibirnya sendiri dan mengangguk minta maaf. "Paman tidurnya cepat ya?" Komentarnya sambil menjangkau sumpit.

Jinnai duduk di sebelahnya, di sisi lain meja. "Biasanya sampai larut juga kok tapi sepertinya sedang agak tak enak badan."

Mereka mengangkat sumpit ke depan dada dan bersama-sama mengucapkan "itadakimasu". Daisuke menjumput saladnya, "Kalau begitu, besok akan seharian di kedai ya?"

Jinnai mengangguk. "Mungkin. Kenapa?"

Daisuke menggelengkan kepala. "Nandemonai," dan mengunyah pelan. "Umai~" komentarnya pada sebuah gigitan kroket.

Jinnai memiringkan kepala lalu terbelalak, "Aah! Aku sudah janji mengantarmu ke toko buku ya? Gomen."

Daisuke buru-buru mengibaskan tangan dan menelan sebelum berbicara. "Daijoubu. Aku masih bisa ke sana kapan saja. Tidak butuh buru-buru, kok."

"Hontou?" Jinnai memandang tak percaya namun anggukan kepala Daisuke berusaha meyakinkannya. Jinnai pun mengangguk-angguk meski masih tak melepaskan pandang dari Daisuke yang kini tengah mencicipi sup bola daging buatannya. Mata pemuda itu melebar dan memandang Jinnai dengan kagum.

"Ini enak sekali! Jinshan, maji de~ Umai! Chou umai!" Ucapnya dengan semangat lalu menyeruput kuah sup, "Aaa, rasanya seperti di surga~"

Jinnai terbatuk karena nyaris tersedak mendengar pujian Daisuke. "Sou?" Dia tertawa, beralih sejenak untuk mengambil teh.

"Un! Aaah, aku sungguh beruntung karena bisa merasakan masakan seperti ini terus." Ujarnya seraya mengulum sumpit.

"Terus?"

"Un."

Jinnai menggigit bagian dalam mulutnya, menahan cengiran. "Sou? Aku benar-benar tak bisa mengusir nasib burukku sepertnya ya."

Daisuke tersenyum lebar. "Muri desu."

-end-

Thursday, February 2, 2012

[Fic] Simple

Cast: Jinnai Sho, Hirose Daisuke
Rating: PG-13 for being in bed
Warning: AU, BL, OOC
Disclaimer: I am nobody but a humble fangirl. I own nothing.
Note: Baiklah. Ini tak se-pervert yang kuduga. Jinshaaaaan, kenapa kau menahan dirimuuu!! *tabok*



Sesekali, Jinnai berpikir apakah ia akan terlibat masalah karena ini. Yah, dia memang tak pernah terlalu peduli pada aturan tapi yang satu ini masalahnya sama sekali berbeda dari sekedar bolos, merokok di atap sekolah atau berkelahi seperti yang kerap dilakukannya dulu. Masalah yang dimaksud lebih pada masalah untuk dirinya sendiri dan mungkin (meskipun belum tentu) akan jadi masalah untuk orang lain juga. 

Jinnai bukan tipe laki-laki yang suka berpikir macam-macam. Ia selalu senang dan ingin segala sesuatunya berjalan begitu saja dan simpel tanpa perlu berputar-putar. Masalah yang ini... bukannya rumit tapi bisa dibilang cukup membuatnya bingung. Meskipun berulang kali ia ingin kabur, selalu ada saja yang membuatnya penasaran dan yah, ia masih cukup jujur pada dirinya sendiri kalau sebenarnya ia pun tertarik. Sangat tertarik malah.

Ia mendesah dan melirik pada sosok yang berbaring di sampingnya, nampak sibuk dengan ponsel di kedua tangan. Jinnai menggapai rokok yang digeletakkannya di lemari di atas tempat tidur mungilnya. Gerakannya membuat temannya harus beringsut mendekat kalau tak ingin tersenggol jatuh ke lantai. Jinnai mengerjap saat Daisuke menyandarkan setengah bagian punggungnya ke dada Jinnai sementara satu tungkainya menyelusup ke antara kedua kaki Jinnai di bawah selimut.

”Kakimu dingin,” komentar Jinnai seraya menyalakan dan menghisap rokoknya.

Daisuke terkikik namun hanya mengedikkan bahu, masih begitu asyik bermain ponsel. Seolah ingin membuat Jinnai sebal, dia malah menggosokkan tumitnya ke betis Jinnai. Sebagai balasan, Jinnai merunduk dan menggigit pundak kurus Daisuke. Pemuda itu terpekik dan berputar sejenak, mengalihkan perhatian dari ponsel untuk memukul dada Jinnai. Sedetik kemudian, ia kembali sibuk dengan ponselnya.

Jinnai memutar kedua matanya sambil mengusap bagian dadanya yang dipukul. Ia pun tak berkomentar apapun saat Daisuke beringsut lagi, menarik sebelah lengan Jinnai yang tertindih tubuhnya untuk dilingkarkan ke pinggangnya. Jemari Daisuke pun bermain-main dengan jari-jari Jinnai dan mau tak mau, sudut-sudut bibir Jinnai terangkat membentuk cengiran miring. 

Bisa dibilang, Daisuke terlalu kurus untuk seleranya. Ayah Jinnai selalu prihatin tiap kali pemuda itu mampir ke toko sakenya dan menyuruhnya makan banyak-banyak. Daisuke tertawa renyah dan berkata kalau makan sebanyak apapun, ia tak pernah bisa gemuk. Jinnai mencibir dan dihadiahi sebuah lemparan gumpalan tisu ke punggungnya. Lengan dan tungkainya pun terlalu panjang tapi entah kenapa, selalu pas melingkari tubuh Jinnai tiap kali Daisuke memeluknya. 

Lebih dari semua itu, Jinnai harus mengakui kalau Daisuke terasa hangat (kecuali mungkin kakinya saat ini) dan caranya bereaksi pada Jinnai benar-benar membuat pria itu tak bisa menolak atau mengusirnya pergi. Meski diikuti kemanapun, meski Jinnai harus mengantarnya pulang tiap kali karena Daisuke menolak pulang kalau tak diantar, meski banyak perkataan atau tingkah laku Daisuke yang membuatnya memutar mata atau menjitak kepala Daisuke, Jinnai tak bisa bilang dia keberatan (setidaknya, pada dirinya sendiri).

Entah apa pula yang membawa mereka ke situasi seperti sekarang. Maksudnya, tentu saja, melakukan hal-hal yang sangat intim dan biasanya hanya dilakukan oleh pasangan. Jinnai nyaris lupa siapa di antara mereka yang memulai semua ini. Sentuhan lembut di punggung atau lengan, pelukan, kecupan lalu berlanjut lebih dari itu. Bukannya dia mengeluh, hanya saja, seperti yang sudah dikatakannya, Jinnai tak suka sesuatu yang rumit. 

Sekali lagi diliriknya Daisuke yang tengah tersenyum. Begitu manis, begitu menyilaukan. Seandainya dia tak mengatakan apapun juga, apakah Daisuke akan tetap berada di samping Jinnai seperti sekarang? Seandainya orang tua Daisuke tahu dengan siapa anaknya terlibat saat ini, apa yang akan terjadi? Seandainya ayahnya menentang, apa yang akan dilakukannya? Seandainya Mitsuya tak suka pada Daisuke (kemungkinannya kecil, tentu saja. Mitsuya mudah sekali diluluhkan), apa dia akan mengusirnya pergi?

Dia benci sekali harus memikirkan hal-hal seperti itu. 

Pria itu pun mematikan rokoknya meski masih tersisa setengah batang tapi ia tak begitu peduli. Berpikir membuatnya lapar dan ia ingat masih ada sepiring salad dan kroket yang siap digoreng di dalam kulkas. 

”Awas,” ujarnya memperingatkan Daisuke seraya berguling hendak melewati pemuda itu. Saat posisinya sedang tepat berada di atas Daisuke, pemuda itu dengan sigap melingkarkan kedua lengan di sekeliling leher Jinnai dan menahan pinggul Jinnai dengan sebelah lutut. 

Jinnai mengerjap lalu tertawa, ”Minggir.”

”Mau ke mana?” Daisuke mendekatkan wajahnya, menggesekkan ujung hidungnya dengan dagu Jinnai.

Jinnai menjilat bibirnya. ”Lapar.”

”Jadi mau meninggalkan aku sendirian di sini? Aku juga belum makan malam, loh.” Daisuke mengingatkan dengan manja.

 Jinnai mendenguskan tawanya. ”Yang benar saja. Sambil menungguku tadi kan kau sudah menghabiskan dua kotak takoyaki.”

”Kalau belum makan nasi, itu namanya belum makan.” Daisuke memprotes, memperkuat usahanya mencegah Jinnai yang masih berusaha menjauh dengan mengaitkan satu tungkai ke pinggang Jinnai. Ditariknya bagian bawah tubuh Jinnai turun hingga bersentuhan dengan pinggulnya sendiri. 

Jinnai mendesis. ”Baiklah. Tapi hanya ada salad dan kroket di kulkas. Atau kau mau menunggu aku memasak nasi dulu baru kau puas?” Pria itu memutar bola mata, berusaha tak bereaksi pada efek gerakan Daisuke yang sepertinya sengaja menekan di tempat yang cukup strategis.

Setengah mengalah, Jinnai pun melingkarkan kedua lengan mengelilingi tubuh Daisuke. Diangkatnya sedikit tubuh mereka supaya Daisuke berbaring bersandar bantal dan ia sendiri bisa lebih nyaman bersandar pada Daisuke. Pemuda itu tertawa senang, entah kenapa. Sebelah kakinya bergerak, tumitnya menelusuri kaki Jinnai mulai dari lutut naik ke paha dan mengulang gerakannya dengan pelan.

”Hmm, tapi itu berarti aku akan pulang kemalaman?” Jemarinya terulur memainkan anak rambut di pelipis Jinnai.

Jinnai mendengus, ”Ini sudah jam sebelas kurang, tahu.”

Daisuke mengedikkan bahu dengan genit, menggapai ponselnya yang tadi digeletakkan begitu saja di dekat bantal. Jemarinya bergerak cepat lalu kembali meletakkan ponselnya. ”Aku menginap.”

”Chottoooo~”

Daisuke hanya tertawa dan malahan mengeratkan pelukannya di sekeliling leher Jinnai dan kaki ini kedua kakinya memerangkap pinggul Jinnai dengan sempurna. ”Paman kan tahu aku di sini.” bisik Daisuke, memandang Jinnai dari balik bulu matanya yang panjang.

Jinnai memutar bola matanya lagi, ”Kau selalu menyapanya tiap kali datang kemari dan sebelum aku mengantarmu pulang. Bagaimana mungkin beliau tak tahu kau masih ada di sini, hah?” Tukas pria itu sambil menggigit ujung hidung Daisuke dengan gemas.

Daisuke tertawa lagi hingga matanya menghilang dan sudut-sudutnya membentuk kerutan imut. Jinnai mengusap tempat itu dengan ibu jarinya dan balas menatap Daisuke yang sudah membuka matanya lagi. Daisuke menatapnya dengan mata berbinar dan sedikit berbeda dari biasanya. Jinnai tahu apa maksudnya tapi entah kenapa ia malah mengalihkan pandang ke leher putih Daisuke.

Daisuke mencium pipinya dan Jinnai menutup mata. Mungkin ia memang terlalu banyak berpikir. Entahlah. Perutnya yang lapar kembali bergejolak dan Daisuke terkikik geli mendengarnya.

”Kubilang kan? Aku lapar nih,” protes Jinnai, kali ini memberanikan diri melihat ke arah Daisuke.

Pemuda itu nyengir lebar, ”Tapi aku masih ingin begini loh. Kalau masih tetap ingin ke dapur, kamu harus menggendongku dalam posisi begini.”

Satu tangan Jinnai bergerak ke samping tubuh Daisuke dan jari-jarinya menekan di antara tulang rusuk Daisuke. Pemuda itu pun spontan menjerit dan memberontak karena geli. Hebatnya, ia tetap keras kepala tak mau melepaskan Jinnai dari pelukannya.

”Oi, Daisuke~” Jinnai terengah saat Daisuke berhasil menggeliat dan malah memposisikan tubuh mereka sebegitu rupa hingga tubuh mereka merapat mulai dari pinggul hingga dada. Bergerak sedikit saja, Jinnai tahu dia harus melupakan makan malamnya.

Sebaliknya, Daisuke malah meletakkan kedua tangan di pundak Jinnai dan memandanginya dengan tatapan penuh puja dan pipi yang sedikit bersemu merah. Jinnai mengumpat dalam hati. Dibuangnya semua hal yang memenuhi otaknya, seperti yang biasa dilakukannya. Ujung-ujung jemari Daisuke menelusuri rahang dan bibir Jinnai, mengikuti dengan kecupan kecil di tempat yang baru saja disentuh. Pemuda itu mendesah senang saat Jinnai beringsut dan mengecupi lehernya. 
”Aku akan makin lapar setelah ini loh.” bisik Jinnai seraya menggigit bibir bawah Daisuke.

Daisuke tertawa, ”Hmm. Aku kan tak pernah menolak menemanimu makan malam.” Ia mendesah lagi, bergerak mengikuti isyarat tubuh Jinnai.

”Tsk. Tak ada makan malam untukmu.” Jinnai bergerak lagi, memeluk Daisuke erat-erat.

Kali ini pemuda itu menarik nafas tajam dan getaran tubuhnya membuat Jinnai merasa begitu senang. Wajah Daisuke berubah semakin merah tapi cengirannya tetap muncul. Daisuke menempelkan pipinya ke pipi Jinnai dan ia tersenyum saat membisikkan nama Jinnai dengan suara sedikit bergetar.

Jinnai menutup mata. Mungkin ia memang tak perlu berpikir serumit itu.  

-end-