Sunday, June 26, 2011

[fanfic] AU KumaxTori - Of a dear friend

Fandom: Samurai Sentai Shinkenger/Prince of Tennis Musical 2nd Season/Kamen Rider Decade

Cast: Wada Takuma, Matsuzaka Tori

Rating: PG-13

Warning: BL, AU, OOC

Disclaimer: I do not own anything/anyone

Note: Sesuai rikues dari Anne. Ini nulis cepet aja nih semalem. Maaf kalo gak sesuai harapan *menunggu versinya Nei*




Kotak bento berukuran besar bertumpuk tiga itu disodorkan padanya diiringi senyum sumringah. Takuma yang tengah menggigit sandwich-nya hanya sanggup mengerjap lalu mengunyah pelan seraya melemparkan pandang penuh tanya. Si pembawa kotak bento nyengir makin lebar seraya mendaratkan bokongnya ke bangku taman rumah sakit itu.

“Apa ini?”

“Dilihat saja sudah tahu, kan? Bento.”

Takuma memutar matanya. “Tentu saja aku tahu ini bento.”

“Lalu kenapa masih tanya?”

Takuma menggeser duduknya agar temannya itu bisa duduk dengan lebih nyaman. Dipandangnya Tori meletakkan bento itu di pangkuannya dan masih menatap Takuma dengan antusias. “Maksudku, ada apa bawa bento sebesar itu. Kau kelaparan sekali ya?”

“Duh, ini untuk dimakan berdua, tahu.” Tukas Tori seolah Takuma seharusnya sudah tahu hal itu.

Takuma mengangkat dagunya. “Ah. Aku yakin rasanya pasti enak kok. Inoue-kun pasti suka dan aku yakin ini selama ini dia tak pernah protes soal kemampuanmu memasak kan?”

Pukulan pelan di lengannya membuat Takuma berjengit. “Apa sih?”

“Jangan berlagak bodoh begitu, deh. Sekalipun ini kubuatkan untuk Masahiro, mana bisa kuberikan padanya? Dia sedang menemani Katou-sensei ke Italia sejak tiga hari yang lalu dan baru pulang lusa. Ini untuk dimakan berdua denganmu, tahu.”

Alis Takuma terangkat bersamaan dengan telunjuknya mengarah ke hidungnya sendiri. “Aku?”

Tori mengangguk. “Sudah lama kan aku tidak menraktirmu makan siang.”

Takuma terkekeh. “Ini sih bukan menraktir namanya.”

“Kalau tak mau, kuhabiskan sendiri nih.” Ancam Tori sambil mendekap kotak bento berwarna merah bermotif burung bangau itu.

“Jahatnya. Niat tidak sih?” Goda Takuma, menyenggol pundak Tori dengan pundaknya sendiri sampai dokter muda itu agak terhuyung ke samping. “Baiklah. Apa isinya?”

Tori nyengir lebar dan membuka tutup bento itu. Lapisan pertama berisi nasi yang dimasak dengan jamur shiitake. Lapisan kedua berisi karaage, tamagoyaki, yakisoba, tumis sayuran juga asinan lobak dan wortel. Lapisan ketiga berisi kue-kue manis dan konyaku. Mata Takuma melebar melihat sajian di depan matanya. Tori menata ketiga kotak itu di antara mereka dan menyodorkan sumpit pada Takuma.

“Hebat sekali!” komentar Takuma sambil memutar-mutar sumpit. Sandwich-nya langsung terlupakan begitu saja. “Ada apa sih? Biasanya kau tak pernah membawakan bento selengkap ini sebelumnya.

Tori mengedikkan bahunya. “Ingin saja.”

Takuma menatap sahabatnya dari balik helaian poni kecoklatan yang menutupi dahinya. Tori mengemut ujung sumpit, sibuk menentukan mana yang lebih dulu ingin dimakannya. Dokter gigi itu tersenyum. Toh bukannya ia keberatan diperhatikan seperti ini dan memang, sudah lama sekali sejak terakhir kali Tori membawakannya makan siang. Sejak seorang pemuda berkaki panjang berambut kecoklatan mulai mengisi hari-hari sahabatnya itu, mereka sudah agak jarang menghabiskan waktu berdua seperti ini. Sesekali, mungkin. Tapi tak sesering sebelumnya.

Bukannya ia cemburu atau apa. Tapi harus diakuinya kalau ia pun kangen ngobrol berdua dengan sahabatnya itu. Sahabat yang sangat disayanginya lebih dari apapun di dunia ini –Takuma tak berani membandingkan rasa sayangnya pada Tori dengan rasa sayangnya pada Yuuki atau dia akan sakit perut semalaman, sahabat yang akhirnya bisa dilepasnya dengan kepastian bahwa ia akan bahagia.

Takuma tak pernah berhenti khawatir tentang Tori. Bahkan mungkin selamanya ia akan tetap mengkhawatirkan sahabatnya itu. Dan butuh waktu cukup lama baginya untuk meyakinkan diri bahwa pemuda yang sekarang dipacari Tori tak akan membuatnya terluka seperti yang dulu. Ia senang, tentu saja, karena Tori mau membuka hatinya lagi untuk orang lain. Juga memberi kesempatan pada Takuma untuk jatuh cinta dan berbahagia.


*****


Entah sejak kapan, Takuma mulai menyadari kehadiran pemuda berkaki panjang itu di dekat sahabatnya. Bukannya ia tak pernah melihat pemuda itu sebelumnya. Siapapun yang bekerja di rumah sakit itu pasti tahu anak bungsu keluarga Keigo itu. Selain perawakannya yang menjulang, wajahnya yang tampan juga menarik perhatian. Mulai dari suster yang bertugas di meja administrasi sampai bibi petugas kebersihan, semuanya akan berhenti dan menghela nafas penuh puja kalau pemuda itu lewat di koridor menuju ruangan kerja Katou-sensei atau Kubota-sensei.

Ia memang jarang kelihatan. Hanya satu atau dua kali Takuma melihatnya. Atau mungkin karena Takuma pun bukan tipe dokter yang suka berkeliaran di koridor rumah sakit kalau sedang senggang, jadi ia jarang melihat pemuda itu. Kepercayaan dirinya begitu besar sampai terkesan sombong dan Takuma pun tak luput dari terpaan kabar kalau pemuda itu adalah seorang model dengan karir yang menanjak pesat meskipun masih duduk di bangku SMU dan suka gonta ganti pacar.

Yah, siapa yang bisa menolak pemuda tampan, seksi dan kaya raya seperti Inoue Masahiro? Takuma maklum saja dengan kenyataan itu. Apapun yang dilakukan pemuda itu, sama sekali bukan urusan Takuma (jujur saja, ia masih tak mengerti kenapa suster jaganya merasa perlu untuk menceritakan apapun tentang Inoue-kun padanya).

Sama sekali bukan urusannya sampai dilihatnya pemuda itu mengikuti (kalau tak mau dibilang menggeret kesana kemari) sahabat yang sangat disayanginya. Sering sekali dilihatnya pemuda itu mondar-mandir (karena sepertinya ia sungguh tak bisa duduk diam) di koridor Murasaki tiap Takuma mendatangi ruang praktek Tori untuk mengajaknya minum kopi atau menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan atau menyampaikan pesan dari Katou-sensei. Lalu didapatinya kedua orang itu duduk berdua di bangku taman rumah sakit, menikmati makan siang dari kotak bento milik Tori. Inoue-kun selalu makan dengan lahap dan Tori tertawa seraya menjulurkan tangan untuk menjumput nasi yang menempel di pipi pemuda itu dan menggodanya karena tak bisa makan dengan rapi. Atau di lain waktu, Takuma memergoki mereka duduk berdua di kantin rumah sakit, menikmati teh dan kue di sore hari.

“Siapa?” tanya Takuma saat Tori sedang iseng main ke poligigi saat sedang senggang.

Tori mengangkat alis dan memiringkan kepalanya. Takuma menggerakkan dagunya ke arah jendela. Tori melirik dan tersenyum kecil saat melihat sosok yang dimaksud Takuma melintas di koridor seberang. “Adiknya Katou-sensei.” Jawabnya singkat.

Takuma memutar matanya. “Sepertinya akrab sekali denganmu ya?”

Tori tertawa. “Ih, jangan katakan seperti kau cemburu begitu dong, Wada.”

Mulut Takuma terbuka lalu tertutup lagi. “Aku kan cuma ingin tahu. Kau sahabatku, wajar kan kalau aku ingin tahu?”

Tori mengangguk. “Un. Sebenarnya, aku memang ingin cerita padamu.”

Satu alis Takuma terangkat. “Oh? Apa cerita yang bagus?”

Tori mengedikkan bahunya. “Entahlah. Mungkin?”

Takuma tertawa pelan. Diangsurkannya secangkir kopi yang baru saja dibuatnya pada Tori. “Terima kasih,” gumam Tori seraya meniup pelan dan menyesap perlahan kopinya. “Aku bertemu dengannya beberapa minggu yang lalu.” Tori memulai ceritanya. “Aku dari kantin membeli roti dan memutar lewat di depan ruangan Katou-sensei karena ingin mampir ke ruangan Hosogai-sensei. Dia berdiri di depan ruangan Katou-sensei, asyik sendiri dengan handphone-nya. Pas sekali ketika aku lewat, perutnya berbunyi keras sekali sampai aku kaget sendiri.” Tori terbahak pelan. Matanya meredup seperti mengingat kenangan yang berharga.

Takuma tersenyum. “Lalu?”

“Yah, kau tahu aku kan. Mana bisa aku membiarkan anak kecil kelaparan seperti itu.”

Takuma mendenguskan tawanya. “Jadi kau tawarkan rotimu padanya.”

“Hehehe, tertebak sekali ya.” Tori nyengir. “Begitulah. Dia lucu sekali loh. Entah saking laparnya atau bagaimana, ia hanya bisa menggangguk dan menggeleng saat kuajak bicara.” Dokter tampan itu terkekeh geli. “Kupikir, sayang sekali anak setampan itu kok agak gagu ternyata ya. Tapi ia bisa berbicara dengan lancer waktu Kubota-sensei keluar dari ruangan Katou-sensei dan mengajaknya makan siang.”

“Kau ini. Pasti menggodanya deh.” Komentar Takuma sinis.

“Sama sekali tidak.” Kilah Tori. “Aku sama sekali tak melakukan apapun. Sumpah deh. Tapi waktu aku mau pergi, dia menangkap tanganku dan coba tebak, dia mengajakku kencan!”

Takuma nyaris saja menyemburkan kopi yang tengah diminumnya. Ia terbatuk pelan dan mengusap mulutnya dengan punggung tangan. “Kencan? Saat itu juga?”

Tori mengangguk. “Iya. Berani sekali ya.” Ia terkekeh. “Aku tidak bilang apa-apa, sih. Kusenyumi saja.”

“Lalu?”

“Ternyata dia menunggu seharian di depan ruang praktekku. Tentu saja aku kaget, dong. Kupikir ia hanya bercanda.Ternyata serius sekali. Ya sudah, karena tak enak juga kalau ditolak kan? Aku ikuti saja apa maunya.”

“Tunggu.” Takuma mengangkat tangannya. “Kau kencan dengannya? Hari itu juga?”

Tori mengangguk. Takuma menatapnya tak percaya. “Kau sudah gila ya, Matsuzaka?”

“Aku tahuuuu! Aku juga berpikir begitu. Tapi, itu kencan yang menyenangkan kok. Dia mengajakku makan malam di Baccanale. Kau tahu? Restoran Italia yang terkenal di Roppongi itu loh. Ternyata itu restoran langganannya. Gaya sekali, deh. Anak sekarang memang beda ya. Ah, mungkin itu hanya untuk anak orang kaya saja ya.”

“Oi, oi, Matsuzaka~”

Tori mengerucutkan bibirnya. “Cuma makan malam, kok. Setelah itu dia mengantarku pulang. Sudah.”

Takuma mengerutkan kening. “Begitu saja?”

“Begitu saja.”

Takuma masih memandangnya tak yakin. “Tapi dia sekarang mengikutimu kemana-mana. Kau yakin tak ada lagi yang terjadi?”

“Ya ampun, Wada. Aku juga belum gila untuk bertingkah macam-macam dengan anak SMU. Lagipula dia adik Katou-sensei. Aku belum mau dipecat, tahu.” Tukas Tori sambil menyesap kopinya lagi.

Takuma mengangguk-angguk. “Sepertinya dia suka padamu ya.”

Tori mengedikkan bahu. “Mungkin? Aku tak ingin terlalu besar kepala. Tapi aku ingin lihat apa maunya sih. Dia kan suka gonta-ganti pacar.”

“Oh, kau tahu juga soal reputasinya?”

Tori tertawa. “Tentu saja. Suster-susterku tak ada yang berhenti berkomentar begitu Inoue-kun sering muncul di sekitar ruang praktekku.”

Takuma meletakkan cangkir kopinya di atas meja dan melangkah mendekat pada sahabatnya. Disentuhnya pipi Tori dengan lembut. “Kau sendiri? Apa kau suka padanya?”

Ekspresi Tori yang tampak sedih membuat dada Takuma seperti ditekan sesuatu yang berat. “Aku tak tahu. Dia anak yang menarik dan lucu. Aku sering sakit perut karena dibuat tertawa terus. Tapi…”

Takuma terdiam. Mengerti apa yang ingin dikatakan Tori tanpa sahabatnya itu perlu menyelesaikan kalimatnya. Tori masih menutup hatinya rapat-rapat dan mungkin lebih rapat dari lemari besi bank manapun. Takuma mengelus pipi Tori dengan ibu jarinya dan membiarkan Tori menyentuh tangan Takuma di pipinya dan menggenggamnya erat. Takuma mencondongkan tubuhnya dan menarik sahabatnya lebih dekat. Dipeluknya Tori dengan sedikit erat dan dikecupnya kening dokter tampan itu. “Oki o tsukete ne.”

Tori mengangguk. “Un.”

 

Diam-diam, Takuma mengamati perkembangan hubungan sahabatnya dengan Inoue-kun. Makin hari mereka semakin lengket. Souta-sensei dan Kubota-sensei bahkan sudah menganggap kedua orang itu obyek keusilan mereka dan menggoda Tori terus menerus sampai wajahnya bersemu merah. Takuma hanya ikut tersenyum kalau kebetulan ia sedang ikut berkumpul dengan rekan-rekannya itu.

Tori pun bertambah ceria. Seperti ketika pertama kali Takuma mengenal Tori dulu. Di satu sisi, ia senang. Di sisi lain, ia semakin khawatir. Seandainya memang ada sesuatu yang terjadi di antara kedua orang itu, Takuma ingin Tori benar-benar yakin akan pilihannya dan tahu dengan pasti resiko yang akan dihadapinya. Bagaimanapun, pemuda itu tetap lebih muda dari Tori dan kebetulan punya temperamen yang meledak-ledak.Reputasinya sebagai playboy pun tak banyak membantu.

Takuma tak rela kalau Tori menyerahkan hatinya yang sudah penuh tambalan itu pada orang yang hanya akan menghancurkannya lagi. Akan terlalu menyakitkan kalau ia harus menyaksikan Tori menyiksa diri seperti dulu lagi. Kalau itu sampai terjadi, Takuma tak tahu apakah ia akan siap berkorban seperti dulu. Atau mungkin, ia akan mengambil langkah drastis dan membawa Tori pergi sejauh mungkin. Ia mungkin tidak mencintai Tori seperti seorang kekasih, tapi ia akan melindungi sahabat satu-satunya itu apapun yang terjadi.

Ketika Inoue-kun menghilang dan tak muncul lagi di rumah sakit, Takuma memastikan ia tak pernah jauh dari Tori. Sahabatnya itu memang terlihat agak sedih dan sedikit kesepian, tapi tak ada tanda-tanda frustrasi seperti dulu. Takuma bisa sedikit menghela nafas lega meskipun tak bisa sepenuhnya mengalihkan perhatiannya dari Tori.

 

Wada Takuma tak tahu harus berkata apa ketika Tori menyandarkan kepala di pundaknya dan mengakui dengan lirih kalau ia mungkin memang menyukai Inoue-kun. Tori tampak sedikit tersiksa karena entah bagaimana, Inoue-kun berhasil membuatnya membuka pelan-pelan kunci pertahanan dirinya. Dan sekarang ia tak tahu apakah ia akan membiarkan Inoue-kun masuk lebih dalam atau tidak.

Sahabatnya itu ketakutan setengah mati. Tak yakin, bingung, dan serba salah harus bagaimana.Sementara, Inoue-kun yang sudah kembali muncul dan kini berstatus mahasiswa, seperti tak pernah kenal lelah mengejar kemanapun Tori melangkah. Mau tak mau, Takuma angkat topi akan kegigihan pemuda itu. Dan Tori makin kelimpungan karena bukan hanya kegigihannya, Inoue-kun pun terlihat makin menarik. Antara ingin menertawakan sahabatnya dan prihatin, Takuma hanya sanggup mengelus punggungnya dan mengecup pucuk kepala Tori dengan sayang.

“Apa yang akan kau lakukan?” bisiknya lembut.

Tori menggelengkan kepalanya. “Entahlah, Wada.”

“Kalau terus mengulur-ulur seperti ini, bukan hanya kau yang akan tersiksa. Kasihan anak itu.” Takuma benci sekali karena harus berkata seperti itu. Kenapa dia harus membela Inoue-kun, ya? Seharusnya ia hanya mengkhawatirkan Tori saja.

Mendengar perkataan sahabatnya itu, Tori makin terlihat merana. “Aku tahu itu, Wada. Sudah kupikirkan sejak dia menciumku beberapa waktu yang lalu.”

Takuma nyaris terjatuh dari kursinya. “Katakan lagi?”

Wajah Tori bersemu merah. “Eh, ya, dia menciumku. Beberapa bulan yang lalu. Umh, dia datang ke rumah, kami makan malam, ngobrol dan yah…terjadi begitu saja.”

Takuma menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Matsuzaka~” erangnya.

“Bukan aku yang mulai!” sanggah Tori. Semburat merah di wajahnya menyebar hingga telinga dan lehernya.

“Lalu? Apa yang kau rasakan?” tanya Takuma, sedikit penasaran.

Tori menarik nafas dalam-dalam. “Dia tak menutupi apapun, juga serius sekali. Setidaknya itu yang kutangkap dan…aku menikmatinya. Sudah lama aku tak merasa seperti itu. Seperti...wajar saja aku merasa begitu dengannya.”

“Seperti apa?”

Tori terdiam. Menatap Takuma dengan serius. “Tertarik. Bergairah. Hangat. Dan… sesuatu… di dalam sini…” Tori menyentuh dadanya.

“Oh, Tuhan…” Takuma mengerang seraya meringis seperti menyadari sesuatu yang tak diinginkan untuk terjadi.

Tori menghela nafas. “…Yeah.” Kemudian disandarkannya kembali kepalanya ke pundak Takuma. Lengan Takuma pun otomatis melingkari pundak sahabatnya itu dengan sayang.

“Kau akan baik-baik saja, kok.” Bisiknya. “Kau pasti akan baik-baik saja.”

Bagi Takuma, kalimat itu ditujukan lebih pada dirinya sendiri dibanding untuk Tori.

 

Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu. Takuma harus mengakui dan akhirnya benar-benar menghargai kegigihan Inoue-kun untuk meluluhkan hati sahabatnya itu. Beberapa majalah dan saluran gosip masih menyebarkan berita dan foto-foto Inoue-kun keluar masuk tempat hiburan malam dengan model A atau aktris B bahkan fotografer C. Sekali waktu, Takuma menonton potongan wawancara Inoue-kun yang menyanggah kalau ia masih suka gonta ganti pacar dengan wajah kesal dan bibir merengut dengan lucunya.

Yah, siapa yang tahu? Kalau dilihat dari frekuensi kemunculan pemuda itu di rumah sakit dan di dekat Tori, Takuma akan berpikir mungkin Inoue-kun punya ilmu membelah diri kalau sampai masih punya waktu antara kuliah, pekerjaan, dan mengunjungi/mengikuti/menggeret Tori kemanapun. Memang, ia tak tahu dan tak mau tahu apa yang dilakukan Inoue-kun di malam hari, tapi ia berusaha tak berpikir buruk tentang pemuda itu.

Seandainya dia memang tidak serius, untuk apa dia menunggu selama itu? Hanya karena penasaran? Karena Tori satu-satunya orang yang tak langsung menyambut rayuannya, memberinya harapan tapi langsung memotongnya tiap kali ia berusaha menyampaikan perasaannya? Terlalu tak masuk akal. Takuma nyaris terpingkal-pingkal saat melihat ekspresi cemburu di wajah pemuda itu ketika melihat Tori dikelilingi sekumpulan anggota klub renang sebuah sekolah yang datang mengucapkan terima kasih karena Tori menyelamatkan ace klub mereka yang cedera lutut dan klub mereka bisa maju ke pertandingan nasional. Kalau saja Tori tidak sedang dikejar janji konsultasi, mungkin anak-anak itu sudah dilempar Inoue-kun ke dinding. Atau semacamnya. Takuma tahu dari Tori kalau pemuda itu cukup mahir tae kwon do.

Karena itu, Takuma mencoba mengurangi kecurigaannya pada Inoue-kun. Terutama ketika akhirnya Tori mengenalkan mereka secara resmi dengan mata berbinar cerah dan senyum yang begitu manis dan terlihat sangat bahagia.

“Wada, ini pacarku. Inoue Masahiro.”


*****


“Melamun terus. Nanti kuhabiskan nih, makanannya.” Celetuk Tori sambil menusuk hidung Takuma dengan sepotong asinan lobak.

Takuma menggerakkan kepalanya dan membuka mulut untuk menyambar asinan yang terjepit di ujung sumpit Tori itu. Tori tertawa dan Takuma tak bisa tidak ikut tersenyum. Buru-buru dijumputnya nasi dan mulai mengunyah dengan semangat.

“Umai.” Komentarnya.

“Deshou~” ucap Tori bangga.

Takuma tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit hidung Tori dengan gemas. Tori menepis tangannya dengan sebal dan menjejalkan karaage ke dalam mulut Takuma.


*****


“Wada, kau khawatir ya?”

Takuma mengerjap pelan, matanya kemudian bergerak pelan melirik ke arah Tori yang tersenyum.

“Aku tak apa-apa, kok.”

Takuma kembali mengerjap. Lalu mengangguk.

“Yokatta ne.”


*****


Selamanya. Selamanya ia akan tetap mengkhawatirkan sahabatnya itu. Selamanya ia akan memastikan kalau Tori benar-benar bahagia.

 

 

Thursday, June 23, 2011

[fanfic] Coping Mechanism

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger/Prince of Tennis Musical 2nd Season
Cast: Inoue Masahiro, Matsuzaka Tori, Aoki Tsunenori, Akazawa Tomoru
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: All respective agency offices. I do not own anyone/anything. No harm intended. No profit gained.
Note: Bosan. Ngantuk. Maaf gejeh.



Kenyataan bahwa Tsune punya pacar, cukup membuat Masahiro terperangah. Kenyataan bahwa Tsune punya pacar bertampang sangat imut dan mereka berhubungan jarak jauh selama 2 tahun terakhir, membuat pemuda jangkung itu tak bisa berkata apa-apa dan  malah menatap curiga pada sepupunya itu. Tsune memang bukan mantan playboy seperti dirinya tapi Masahiro harus mengakui dengan berat hati kalau sepupunya itu pun punya tingkat popularitas yang tak kalah tinggi dengannya. Ditambah lagi, Masahiro tak pernah percaya konsep hubungan jarak jauh. Yang ada di depan mata saja harus susah payah dijaga dan tak bertemu Tori beberapa hari saja sudah membuatnya resah luar biasa.

Kalau diperhatikan lagi, sepertinya Tsune memang tak bohong. Karena, meskipun Tomoru tampak sedikit malu-malu, genggaman tangan mereka tampak sangat mesra dan Masahiro mengenal dengan baik tatapan mata Tsune saat memandang Tomoru. Apalagi kalau diperhatikan dari cara Tsune yang selalu menempatkan dirinya tepat di sebelah Tomoru -yang kemudian Masahiro tahu itu bukan sekedar karena ingin berdekatan tapi juga karena Tomoru cukup ceroboh dan gampang tersandung atau menjatuhkan sesuatu- mengingatkan Masahiro pada Tori yang selalu mengawasi dan mengomelinya kalau Masahiro cuek atau sembarangan mengerjakan sesuatu.

Tapi perhatiannya saat ini tertuju pada Tori yang langsung akrab dengan pacar sepupunya itu. Bukan sesuatu yang aneh, tentu saja. Tori memang begitu. Suka yang lucu-lucu, selalu baik dan ramah pada siapapun. Tomoru pun tampaknya menyambut Tori dengan baik (atau mungkin ia berpikir kalau Tori toh akan jadi bagian keluarga Keigo jadi dia harus bermanis-manis? Entahlah). 

Masahiro menumpukan lutut kanannya di atas lutut yang kiri, pura-pura sibuk berkutat dengan iPhone-nya sembari sesekali mencuri pandang ke arah Tori dan Tomoru yang sedang heboh sendiri di depan salad bar. Beberapa pengunjung restoran termasuk beberapa pelayan pun memperhatikan dokter tampan dan pemuda manis itu berdiri bersisian, memilih campuran isi salad. Sampai tak sengaja matanya menangkap pandangan Tsune yang duduk di seberangnya dan Masahiro hanya melotot lalu melengos.

“Kau memperhatikan yang mana?” Cengir Tsune.

“Apa maksudmu ‘memperhatikan yang mana’?” tukas Masahiro, agak tersinggung.

Tsune menjulurkan lidah. “Aku masih belum lupa kalau kau ini playboy loh.”

“Berisik.” Masahiro melengos seraya menggembungkan pipinya. “Itu kan dulu.” Gerutunya tak jelas.

Tsune terbahak. Kepala manggut-manggut dengan gaya sok mengerti. “Aku tahu. Wajar sih. Matsuzaka-sensei seksi sekali, sih.”

“Oi!”

“Apa? Aku kan cuma mengatakan kenyataan.” Balas Tsune sambil mengedikkan bahu. “Memangnya kau tak mau mengakui kalau calonmu itu luar biasa menggoda ya?”

Masahiro melipirkan matanya ke samping. “Aku kelimpungan gara-gara itu, tahu.”

Tsune mengangkat alis. “Banyak saingan?”

Dengan berat hati, Masahiro mengangguk. “Tak banyak, tapi berat. Kau lihat sendiri tingkahnya. Terlalu baik, terlalu ramah, terlalu mudah percaya pada orang. Tentu saja jadi banyak yang melirik.”

Tsune tertawa mendengar rajukan sepupunya itu. “Yah, sudah kuduga sih.”

“Iya kan? Makanya aku penasaran.” ujar Masahiro, akhirnya meletakkan iPhone-nya di atas meja di depan mereka. “Kau benar-benar sudah pacaran dengan Akazawa-kun selama itu? Dua tahun?”

Tsune mengangkat dan menggerakkan telunjuknya. “Dua setengah tahun.”

Whatever.” Masahiro mengibaskan tangannya tak peduli. “Benar?”

“Aku tak mengerti maksudmu.” Tsune terkekeh. “Tentu saja aku benar-benar pacaran dengan Tomoru. Memangnya kau pikir apa? Dia pacarku kalau aku sedang di Jepang saja dan kalau aku kembali ke Amerika aku jadi pria lajang lagi, begitu?”

Masahiro mengedikkan bahunya. “Siapa tahu kan?”

Komentarnya itu dibalas dengan sedotan melayang tepat ke dahinya. “Sekali lagi kubilang ya. Aku bukan kamu. Sembarangan saja bicara. Aku pulang saja ke Amerika nih. Terserah kau mau kelimpungan dengan pernikahanmu.”

Pemuda jangkung itu berdecak sebal. “Aku kan cuma memastikan. Kalau memang benar begitu, aku penasaran kenapa kau bisa tahan.”

“Bilang saja begitu kenapa sih?” Tsune mengerutkan alisnya. Matanya yang tajam memicing sejenak namun kemudian menatap sepupunya dengan pandangan geli bercampur sedikit bingung. “Tentu saja bukan hal mudah loh. Waktu memintanya untuk jadi pacarku pun itu keputusan yang agak mendadak dan nekat. Tapi aku sama sekali tak punya keinginan untuk melepasnya begitu saja waktu Tomoru akan kembali ke Jepang.”

Masahiro memajukan tubuhnya, mendengarkan dengan penuh minat. Tsune tersenyum miring dan mengetuk kening Masahiro. “Kami bicara semalam suntuk dan setuju untuk mencoba dulu. Dan kau lihat sendiri, kami masih pacaran sampai sekarang.”

Masahiro menatapnya dengan ragu. “Tidak ada cemburu? Khawatir? Kesal? Kangen?”

“Cemburu dan khawatir sih pasti. Tapi kalau dipikirkan nanti malah stress. Kau tahu aku kan? Mana suka aku berpikir yang susah-susah begitu.” Tsune tertawa renyah. “Dan kami selalu berusaha bertemu kalau ada kesempatan, kok. Lebih sering aku yang ke sini sih.”

“Hah? Kalau ke sini kenapa tak bilang-bilang?” Masahiro berseru kaget. “Aniki bisa ngamuk kalau tahu.”

“Makanya aku tidak memberitahu. Dan kau juga tak akan bilang apa-apa sama mereka, oke?” Kedua bola matanya yang berbeda warna menatap dengan tajam. Persis tatapan mata Kazuki dan Masahiro hanya bisa mengangguk patuh. “Aku hanya sempat pergi di akhir minggu dan kupikir kau pasti mengerti kalau aku hanya ingin melewatkannya dengan Tomoru kan?”

Masahiro mengangguk-angguk. Rasa penasarannya memang sudah mulai terpuaskan tapi tetap saja tuan muda yang manja itu tak mengerti. Mau bagaimanapun, ia tak akan sanggup berjauhan dengan Tori. Kepalanya selalu penuh dengan Tori hingga ia butuh waktu cukup lama untuk benar-benar bisa menyisihkan ruang untuk kakak-kakaknya, kuliah, pekerjaan dan hobinya. Itupun ia sama sekali tak bisa benar-benar tidak memikirkan Tori. Beberapa hari tak bertemu, ia resah. Seminggu tak bertemu, ia uring-uringan. Lebih dari itu, jangan harap orang berani macam-macam padanya.

Tsune mendenguskan tawanya. “Sudah puas?”

Masahiro meraih gelas iced lemon tea-nya. Baru saja akan menyahut lagi tapi Tori dan Tomoru sudah keburu kembali ke meja mereka. Masing-masing membawa dua mangkuk salad di tangannya. Tsune tersenyum saat Tomoru meletakkan semangkuk salad di hadapannya sambil berujar “Arigatou,” dengan lembut. Tomoru balas tersenyum dan langsung mengambil garpu dan sibuk mengunyah. 

Tori juga meletakkan semangkuk salad di hadapan Masahiro dan mengerutkan kening mendapati tunangannya itu menatap pasangan di hadapan mereka. Disikutnya pelan perut pemuda itu. “Ma-kun, tidak sopan.”

Masahiro merengut. “Memangnya tidak boleh?”

Tori merendahkan suaranya. “Tidak enak sama Tomoru-kun, loh. Nanti kalau dia jadi takut sama Ma-kun, aku tidak ikut-ikut ya.”

“Memangnya aku seseram itu?”

Tori malah tertawa pelan dan mencubit hidung pemuda itu dengan gemas. “Bukan cuma Ma-kun. Kubota-sensei, Katou-sensei, umh... Sainei-san tidak terlalu ya, sampai Tsunenori-kun juga begitu.” Masahiro menggembungkan pipinya tak terima dan Tori mengecup pipinya sekilas. “Lagipula kenapa memperhatikan mereka sampai sebegitunya sih?”

“Masahiro cuma ingin tahu kenapa aku dan Tomoru bisa awet padahal kami berjauhan.” Sahut Tsune yang ternyata mendengar pembicaraan mereka. Sebelah tangannya terangkat untuk merangkul pundak Tomoru. Mendengar itu, Masahiro mendelik dan buru-buru mengibaskan tangan. “Cuma ingin tahu.” kilahnya.

Tori mengangkat alis dan Tomoru pun mengangkat kepalanya, menatap Tsune dan Masahiro bergantian. “Tsune-kun bilang apa?” tanyanya penasaran. Tori ikut-ikutan mendekatkan wajahnya, menoleh penuh minat pada sang sepupu Keigo yang tampan itu. “Aku juga penasaran loh, Tsunenori-kun. Apa sih rahasianya?”

“Kenapa Tori juga ingin tahu sih?” protes Masahiro, berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Diam dong.” protes Tori, memukul pelan punggung tangan Masahiro.

Tsune tertawa, mengeratkan pelukannya di pundak Tomoru. Sepasang mata hitam-biru-nya berkilat jahil. “Berusaha percaya, usahakan bertemu kalau bisa, dan yang paling penting...” Tsune mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi. “Phone sex. Lots and lots of phone sex.”

Sikut Tori tergelincir dari atas meja. Masahiro tersedak iced lemon tea-nya.

“Tsune-kun!”

Sunday, June 19, 2011

[fanfic] AU KenkixMitsuya - Miss

Fandom: D2/Prince of Tennis Musical 2nd Season
Cast: Yamaguchi Kenki, Mitsuya Ryou, cameo Ogoe Yuuki
Rating: NC-17
Warning: BL, AU, OOC, NSFW
Disclaimer: I do not own anything and/or anyone. No profit gained. No harm intended.
Note: Untuk Icha.



Matanya terbuka, mengerjap pelan pada ruangan yang gelap. Tangannya otomatis terjulur, meraba-raba permukaan kasur sampai menggenggam ponselnya. Matanya memicing, berusaha mempertajam pandangan pada layar kecil yang tampak berbayang. Tak ada notifikasi apa-apa. Tangannya terkulai, membiarkan ponsel itu terjatuh pelan tanpa ditutup. Matanya kembali terpejam dan Mitsuya mendesah. Pelan dan berat.





Yuuki menyodorkan segelas susu hangat pada sepupunya dengan tampang khawatir. Mitsuya menggeleng dan bergumam kalau ia ingin kopi saja. Yuuki balas menggeleng.

"Micchi terlalu banyak minum kopi." Tukasnya pelan.

Mitsuya mendesah dan duduk melipat kaki sambil menyesap pelan susunya tanpa banyak komentar lagi. Yuuki menyodorkan setangkup sandwhich yang lagi-lagi disambut tanpa banyak bicara.

"Hari ini pulang kan?" Tanyanya setelah duduk di samping Mitsuya dan memeluknya hangat.

Mitsuya merebahkan kepalanya di bahu mungil sepupunya lalu mengangguk pelan. "Tapi belum telepon sama sekali."

Yuuki menepuk-nepuk pelan tengkuk Mitsuya, membiarkan sepupunya itu menyurukkan wajah ke lehernya dan mendesah pelan.





Mitsuya menggigit bibir. Sudah jam 11 malam dan Kenki masih juga belum memberi kabar. Nyaris dua minggu menemani ibunya ke Filipina karena ada sepupunya menikah. Email dan foto terus dikirim Kenki tanpa henti, termasuk foto-foto saat di pesta. Kenki yang mengenakan jas terlihat begitu tampan sampai Mitsuya nekat menelepon dan menghabiskan seluruh sisa pulsa teleponnya.

Tak usah ditanya kalau dia kangen sekali. Tak ada yang membangunkannya dengan tepukan pelan di bahu dan kecupan di pipi, tak ada yang membuatnya marah-marah karena candaan jahil, tak ada yang menemaninya nonton TV sampai larut, tak ada yang membantunya mengerjakan PR, tak ada senyum ramah yang menyambutnya kalau ia menoleh, dan seribu satu alasan lainnya.

Mitsuya sampai berkali-kali memastikan kalau tanggal hari ini sama dengan tanggal yang disebut Kenki dalam emailnya tentang kapan ia akan pulang ke Jepang. Lebih tepatnya ke Tokyo karena pemuda itu tetap harus mengantar ibunya dulu ke Aichi.
Tapi sejak semalam tak ada pesan, email atau telepon dari tunangannya itu dan Mitsuya cemas. Mata dan telinganya terus-terusan bergeming dari berita di TV atau radio. Tak ada berita kecelakaan di manapun di seluruh dunia.

Jadi, ke mana Yamaguchi Kenki brengsek itu? Rutuk Mitsuya dalam hati seraya melempar bantal ke dinding.

Mitsuya sudah mengantuk sekali dan Yuuki yang tadinya mau menemani sudah menyerah sejak setengah jam yang lalu. Tapi ia belum mau tidur. Sambil menggerutu, pemuda cantik itu memutuskan untuk membuat kopi saja. Toh besok tak ada latihan pagi.

Baru saja menjulurkan kakinya turun dari tempat tidur, telinganya menangkap suara mobil mendekat dan berhenti di depan rumah. Tanpa ambil pusing untuk mengintip dari jendela, Mitsuya melesat turun.

Tanah yang sedikit basah karena hujan tadi sore terasa dingin di kakinya yang tak beralas. Mitsuya tak peduli, terus berlari ke arah sosok yang baru saja menjulurkan badan keluar dari kursi pengemudi dan berhenti tepat di depan sosok itu. Matanya yang besar melotot seraya kedua lengannya berkacak pinggang.

"Yamaguchi Kenki, sebaiknya kau punya alasan yang baik kenapa tak menelepon atau mengirim pesan sama sekali sampai aku nyaris saja berpikir pesawatmu jatuh dan saat ini kau tenggelam di dasar Laut Cina Selatan!"

Kenki tampak bingung lalu menjulurkan lidah. "Maaf. Memang ada alasannya kok." Ujarnya sambil menutup pintu mobil dan berdiri menyandarkan punggung ke sisi mobilnya.

Mitsuya mengangkat alis.

"Pertama, semalaman aku sibuk membantu ibuku mengepak barang. Titipan dan oleh-olehnya banyak sekali. Kedua, aku bersumpah aku memang ingin meneleponmu sebelum boarding. Ketiga, sayangnya aku ketiduran tanpa mengecharge ponselku. Keempat, aku ditahan untu makan malam di rumah dan diajak ngobrol sama Ayah." Jelas Kenki dengan santai, seolah tak merasa terancam dengan wajah galak tapi cantik di hadapannya.

Mitsuya menyilangkan lengan di depan dada. "Lalu setibanya di sini juga tak ambil pusing untuk meneleponku?"

Mulut Kenki terbuka lalu tertutup lagi kemudian membentuk cengir kuda. "Umh...aku lupa?"

"Kenki!" Mitsuya menyentakkan satu kakinya ke tanah.

"Maaf. Toh aku sudah di sini kan?" Kenki melangkah maju.

Mitsuya menjauh dengan kesal. "Jangan harap aku akan membiarkanmu masuk ke dalam rumah. Pulang sana!"

Kenki mengangkat alis, terlihat ingin sekali tertawa. "Kok begitu? Tak kangen padaku?"

"Siapa yang kangen sama orang brengsek sepertimu?" Tukas Mitsuya cepat. Kakinya melangkah mundur karena Kenki mendekat lagi.

"Aku kan tak bermaksud membuatmu khawatir." Ujar Kenki sambil meraih tangan Mitsuya dan menggenggam erat.

Mitsuya berusaha menyentak lepas tangannya. "Tapi aku sudah khawatir tahu! Menyebalkan sekali sih jadi orang. Lepaskan tanganku!"

Seolah tuli, Kenki malah menarik lengan putih itu sekuat tenaga sampai ia bisa menangkap tubuh ramping Mitsuya dalam pelukannya. Mitsuya menatapnya dengan galak. Kenki tersenyum tulus. "Gomen. Hontou ni gomen."

"Pembohong."

"Mana pernah?"

Mitsuya memukul dadanya dengan keras. "Aku serius!"

"Aku juga." Dipeluknya Mitsuya seerat mungkin sampai pemuda cantik itu tak bisa bergerak. "Aku benar-benar menyesal membuatmu khawatir. Tapi sekarang aku di sini kan?" Suaranya berangsur memelan dan berubah menjadi bisikan tepat di sisi telinga Mitsuya. "Gomen. Aku tak berpikir untuk meneleponmu setibanya di Tokyo karena aku hanya berpikir untuk menemuimu secepatnya."

Mitsuya mengerutkan kening meski wajahnya bersemu merah. "Tapi aku khawatir sekali." Ulangnya.

"Aku tahu. Maafkan aku ya." Bisik Kenki, membawa wajahnya begitu dekat dengan wajah Mitsuya sampai Mitsuya bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat membelai pipinya. Ujung hidungnya menyentuh lembut ujung hidung Mitsuya lalu bergerak pelan ke bibir Mitsuya. Kepalanya bergerak lagi, mendekatkan bibir mereka hingga hanya berjarak satu helaan nafas.

Mitsuya menutup mata dan menarik nafas tajam saat bibir Kenki menekan lembut bibirnya. Instingnya langsung mengambil alih dan kedua lengannya melingkar posesif di pundak Kenki. Sedetik kemudian, kecupan lembut pun berubah menjadi ciuman yang dalam dan penuh hasrat. Rindu ingin bertemu, kesal karena khawatir dan lain-lainnya bercampur jadi satu. Kenki memeluk pinggang Mitsuya dengan begitu eratnya sampai ia nyaris saja mengangkat Mitsuya dari atas tanah.

"Ya Tuhan, aku kangen sekali." Bisik Kenki dengan parau.

Mitsuya tak menjawab, merengkuh tengkuk Kenki dan menariknya untuk dicium lagi. Kenki menggeram dan Mitsuya mengerang pelan. Bagian bawah tubuh mereka bereaksi dengan cepat dan Mitsuya bersyukur ia mengenakan piyama. Kalau tidak, rasanya pasti sudah menyiksa sekali. Seperti yang dialami Kenki. Pemuda itu menggeram lagi, melepaskan bibirnya dengan tak rela dan menggerungkan sesuatu yang seperti usul kalau mereka harus masuk ke dalam rumah kalau tak mau dituduh berlaku tak senonoh di depan umum.





Mitsuya berjingkat pelan kembali ke tempat tidur dan menyandarkan punggungnya ke dada Kenki yang langsung melingkarkan lengan ke pinggang pemuda cantik itu. Kenki menusukkan hidungnya ke sela-sela helaian rambut Mitsuya yang sedikit lembab. 

“Yuuki-chan bangun?” bisiknya pelan.

Mitsuya berjengit geli, meneguk air putih dari gelas yang dibawanya lalu menggeleng. “Tidak. Dengkurannya keras sekali. Mungkin capek karena tadi ikut menemaniku menunggu Kenki.”

Kenki mengecup pundak Mitsuya, alisnya terangkat. “Serius menungguku ya?”

Mitsuya mendengus dan memutar matanya. Kenki melirik ke atas, masih sibuk mengecupi kulit Mitsuya yang hangat. Aroma tubuhnya yang khas menggelitik hidung Kenki dan pemuda itu menikmatinya dengan rakus. Bibir dan hidungnya bergantian menyentuh sepanjang garis pundak dan leher yang jenjang. Masih sedikit lembab karena permainan cinta mereka sebelumnya. Diliriknya bibir Mitsuya yang masih agak bengkak kemerahan karena terlalu sering digigit dan berciuman dengan Kenki agar suara mereka tak terdengar keluar kamar. Kenki harus mengakui kalau Mitsuya yang mati-matian tak menimbulkan banyak suara saat sedang bercumbu dengannya justru malah terlihat seksi sekali dan dia makin bersemangat karenanya.

Diambilnya gelas dari tangan Mitsuya untuk disingkirkan ke meja di samping tempat tidur dan direngkuhnya tubuh tunangannya sampai Mitsuya berbaring nyaman di atasnya. Sepasang mata Mitsuya yang besar dan cantik itu mengerjap pelan, menatap Kenki dari balik bulu matanya dan Kenki merasa begitu puas melihat perasaan sayang di dalam pandangan Mitsuya. Sambil tersenyum lembut, Kenki mengecup masing-masing kelopak mata Mitsuya, lalu keningnya dan mengecup lembut sepasang bibir kemerahan itu.

Mitsuya pun tersenyum, meski agak tersipu. Kedua lengannya menyentuh pundak Kenki dan ibu jarinya mengusap lembut. Tubuhnya masih begitu sensitif dan percikan-percikan nikmat itu kembali menjalari sekujur tubuhnya.

“Aku kangen sekali,” bisiknya sebelum mencium Kenki. Tak bermaksud untuk terdengar manja tapi begitulah yang dirasakannya dan saat ini Mitsuya sedang tak ingin menutupi perasaannya.

Kenki mengusap lengan Mitsuya dengan sayang. “Aku juga. Kangen sekali. Tahu tidak, waktu Micchi meneleponku itu, aku sudah ingin pulang saja. Tapi aku bisa ditebas Ibu kalau berani.” Pemuda itu tertawa pelan.

Mitsuya ikut tertawa meski tak berkata apapun. Direbahkannya kepalanya ke pundak Kenki, menikmati irama pelan nafas tunangannya dan detak jantungnya yang berdetum pelan. Rasanya nyaman sekali dan Mitsuya benar-benar rindu berada sedekat ini dengan Kenki. Dirasakannya Kenki menggenggam tangannya dan mengecup lembut tiap buku jari Mitsuya dengan penuh perasaan. Mitsuya mendongak, tersenyum sekilas pada pemuda itu lalu merunduk untuk mengecup dada Kenki. 

Kenki mendesah. Dikecupnya sekali lagi jemari Mitsuya sebelum dilepaskan dan membiarkan Mitsuya menghujani dada dan perutnya dengan kecupan-kecupan ringan. Tentu saja ia juga merindukan ini. Mitsuya yang mengambil inisiatif adalah sesuatu yang jarang terjadi dan Kenki sama sekali bukan tipe orang yang suka mengeluh. 

Helai rambut Mitsuya menggelitik perutnya dan Kenki menggeliat pelan. Nafasnya mulai memburu lagi seiring dengan Mitsuya yang bergerak makin ke bawah. Kenki pun bisa merasakan kemaluannya pun kembali melonjak hidup. Mitsuya beringsut, sedikit tersipu melihat hasil perbuatannya dan mengangkat tubuhnya untuk mencium Kenki, memagut pelan lalu kembali bergerak turun mengincar tonjolan di dada Kenki dan membuat tunangannya itu menarik nafas tajam. 

Mitsuya mengatupkan bibirnya di sekeliling tonjolan mungil itu. Lidahnya terjulur menjentik dan menggoda dengan pelan. Satu tangannya menjangkau tonjolan yang lain, menjepit dan menarik lembut dengan telunjuk dan ibu jarinya. Kenki melengkungkan punggungnya, bernafas dengan sangat cepat dan sesekali menggeram pelan. 

“Oh.” Kenki nyaris saja kelepasan mengerang keras saat Mitsuya bergerak turun lagi dan mulai mencumbu Kenki dengan bibir dan lidahnya yang terasa seperti surga. Kenki menyelipkan jemari ke dalam helai rambut kecoklatan Mitsuya dan menekan pelan, memberi petunjuk pada tunangannya itu di mana ia ingin disentuh. Sebenarnya ia tak perlu melakukan itu karena Mitsuya sudah mengenal tubuh Kenki sebaik Kenki mengenal tubuh tunangannya. Kenki beringsut, membuka kakinya lebih lebar agar Mitsuya lebih leluasa bergerak. Ia tak kuasa menutup mata karena pemandangan di hadapannya begitu seksi: menyaksikan bagian tubuhnya yang paling intim tertelan mulut Mitsuya, bibir Mitsuya yang kemerahan dan basah di sekeliling tubuhnya, lidahnya yang juga kemerahan sesekali terjulur untuk menjilat dan kepalanya yang cantik itu bergerak naik turun dalam satu irama yang nyaris membuat Kenki gila karena hasrat dan nikmat yang berlipat-lipat.

Tak tahan, Kenki menyelipkan tangannya ke bawah lengan Mitsuya dan menariknya dengan keras. Mitsuya berseru kaget dan masih berusaha memahami apa yang terjadi saat menyadari ia sudah berbaring telungkup dan merasakan berat badan Kenki di atasnya. Pemuda cantik itu menoleh dan disambut oleh bibir Kenki yang menciumnya dalam-dalam. Mitsuya hanya sanggup bergumam dan mengerang ke dalam ciuman mereka, terutama saat dirasakannya ujung kemaluan Kenki menekan jalan masuk tubuhnya. Mitsuya mendesah, mengaitkan jemarinya dengan jari-jari Kenki dengan erat seraya mengangkat pinggulnya sedikit. Gerakan itu cukup bagi Kenki untuk menekan masuk dalam satu hentakan panjang dan cepat. Nafasnya tercekat dan Mitsuya menggigit bibir kuat-kuat.

Kenki tak membuang waktu untuk bergerak dan tubuh mereka pun dengan cepat menemukan irama gerak yang familiar. Desah nafas yang memburu, erangan tertahan, bunyi hentakan tubuh dan derit lirih tempat tidur memenuhi kamar yang tak begitu besar itu. 

Kenki menyurukkan wajahnya ke samping wajah Mitsuya, berusaha menatap mata kekasihnya di sela pandangan yang berkabut dan tak fokus. Mata Mitsuya yang terpejam perlahan terbuka, seolah tahu ia sedang diperhatikan. Sepasang mata cantik itu mengerjap dan pandangan mereka terkunci untuk beberapa detik sebelum Mitsuya membenamkan wajah ke dalam bantal untuk mengerang karena Kenki menghentak dengan cepat dan keras tepat di titik sensitifnya. Kenki mengecup pundak Mitsuya dan beringsut sedikit, mencari sudut yang ia tahu akan dengan cepat membawa mereka ke puncak kenikmatan itu. Tubuh Mitsuya menggelinjang di bawahnya dan telinga Kenki samar menangkap namanya disebut. Mungkin juga ia salah dengar, Kenki tak tahu pasti. Saat dirasakannya tubuh Mitsuya mengejang dan bertaut di bawahnya, Kenki melesakkan giginya ke lekuk antara leher dan pundak tunangannya, ikut melepaskan kendali dirinya dan menyambut gelombang kenikmatan itu menyapu sekujur tubuhnya.


Masih terengah, Mitsuya berusaha menarik nafas beberapa kali untuk mengembalikan irama nafasnya. Berat tubuh Kenki mulai terasa menekan dadanya dengan tak nyaman tapi ia sama sekali tak protes. Dengan susah payah, ia menoleh dan mengecup pipi pemuda itu. Kenki tertawa pelan, membalas dengan kecupan yang sama. Ia sungguh belum ingin menjauh dari tunangannya itu, tapi ia juga tak ingin membuat Mitsuya merasa tak nyaman. Ia menggeram pelan saat menarik tubuhnya keluar dengan perlahan dan Mitsuya mengerang pelan. Kenki mendesah keras seraya berbaring miring dan menyambut Mitsuya yang memutar tubuhnya. Ditariknya pemuda itu ke dalam pelukannya dan dikecupnya kening Mitsuya yang basah. 

“Micchi hebat, deh.”

Mitsuya tertawa. “Bilang lagi begitu dan aku akan melukaimu.” Ancamnya sambil mencubit lengan Kenki.

Kenki terbahak sambil mengaduh. “Kasar sekali sih. Sudah tak sayang lagi padaku ya?”

Mitsuya menggigit ujung hidung tunangannya. “Kapan aku pernah sayang padamu?”

“Benar juga. Aku kan dimarahi terus ya.” Kenki nyengir.

Mitsuya mengangguk. “Benar. Mana bisa aku sayang sama orang yang kerjanya membuatku kesal dan khawatir.” Sudut bibirnya terangkat.

Kenki mengangkat alis dan mengecup sudut bibir Mitsuya. “Hmm... aku mengerti. Selama ini Micchi kesal sekali sampai tak bisa mengusirku pergi dan tak bisa membiarkanku sendirian kan?”

Mitsuya tertawa, membalas ciuman Kenki dengan antusias. “Benar sekali. Dasar menyebalkan.” 

Kenki mengecupnya sekali lagi. “Aishiteru yo.”

Mitsuya tersenyum manis dan Kenki tahu ia tak butuh jawaban.

Saturday, June 11, 2011

[fanfic] AU TsunexTomoru - Fever

Fandom: Tennis no Ouji-sama Musical 2nd Season
Cast: Aoki Tsunenori, Akazawa Tomoru
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC, cheesy lines
Disclaimer: I do not own anything
Note: Karena Tomoru adalah marmut jepang yang sangat lucu dan tampak enak buat diuyel-uyel. Ne, tanuki? XDD



"Grande hazelnut latte. Skim milk. Decaf." Tsune menyambut gelas yang diulurkan padanya sambil tersenyum sekilas. Setelah menyelipkan sejumlah tip, matanya mulai beredar memandang seisi kafe itu sampai dilihatnya Kikuchi melambaikan tangan ke arahnya dari meja di dekat pintu toilet.

Tsune mendengus dan mendekat. "Tak ada tempat yang lebih baik?" Desisnya sambil menjatuhkan ranselnya ke lantai dan duduk menyilangkan kaki di depan temannya.

Kikuchi mendelik tak terima. "Tempatnya penuh. Lihat sendiri kan? Dan kau tak suka duduk di luar."

Pemuda tampan itu mengedikkan bahu dan menyisir poninya dengan jari-jari tangan. Disesapnya kopinya dengan perlahan sambil melirik ke arah pintu sementara telinganya samar menangkap suara Kikuchi yang mulai berceloteh tentang pesta mahasiswa Jepang minggu depan.

"...jadi menurutmu enaknya bagaimana? Patungannya tak terlalu mahal kan? Oooi! Are you listening?"

Tsune mengangkat alis." Aanh? Oh, ya, terserah saja. Berapapun tak masalah." Ujarnya cepat sebelum Kikuchi ngamuk. "Ngomong-ngomong, lihat Tomoru? Dari kemarin kok tak kelihatan ya."

Ganti Kikuchi yang mengangkat alis. "Untuk apa cari Akazawa?"

"Aku cuma mau bilang kalau diktat yang dia cari sudah ada." Jawabnya acuh.

Kikuchi nyengir. "Ya simpankan saja. Lagipula kau tak perlu cari alasan begitu. Dilihat juga tahu kalau kau tertarik padanya."

Mata Tsune melemparkan tatapan tajam. "Problem?"

Temannya mengangkat kedua tangannya. "Nothing. Whatever floats your boat."

Tsune memutar bola matanya. "Jadi? Lihat tidak?"

Kikuchi menggigit donat yang ada di atas meja. "Tidak. Coba saja tanya anak yang di sana itu." Kikuchi menggerakkan dagunya ke arah seorang mahasiswa yang sedang duduk sendirian tak jauh dari mereka. "Kalau tak salah dia sekelas dengan Akazawa kan? Lagipula, kenapa tak telepon saja? Kau punya nomornya kan?"

Tsune mengetukkan ujung jari telunjuknya ke tutup gelas kopinya. Tentu saja dia punya nomor telepon Tomoru. Hanya saja dia tak pernah menggunakannya karena merasa belum perlu. Toh sejak perkenalan resmi mereka dua bulan yang lalu, hampir tiap hari mereka bertemu di kampus. Seringkali bahkan Tomoru ikut makan siang atau sekedar minum kopi dengan Tsune dan Kikuchi yang dengan senang hati membantunya menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus.

Memang, Tsune tertarik pada pemuda mungil yang sangat manis itu. Tapi harga dirinya masih menahannya untuk bergerak terlalu cepat. Tomoru nampak mudah takut pada apapun dan Tsune tak ingin menambah masalahnya. Lagipula, Tomoru ada di situ hanya setahun. Waktu yang terlalu singkat untuk dihabiskan berdua seandainya ia boleh terlalu besar kepala.

Tsune menggigit bibir sekilas sebelum akhirnya mengeluarkan handphone-nya dari dalam saku celana. Kikuchi nyengir.

------

Tomoru menggerut ujung selimut yang menutupi tubuhnya sampai ke dagu. Terbatuk beberapa kali dan nafasnya terasa begitu berat. Demamnya makin parah sejak semalam. Membuka mata saja rasanya pusing sekali. Meskipun begitu, tak urung matanya melirik pada sesosok pemuda yang tengah sibuk mondar-mandir di dapur kecil apartemennya.

Tiba-tiba saja Tsune meneleponnya dan Tomoru baru bisa menjawab setelah dua panggilan terlewatkan. Menjelaskan dengan terbata kalau ia demam dan tak bisa ke kampus. Pun menjawab sebisanya saat Tsune menanyakan alamat apartemennya. Setengah jam kemudian, pemuda itu muncul. Tomoru pasrah saja ditarik kembali ke tempat tidur karena tak punya tenaga untuk protes. Dibiarkannya Tsune menatap beberapa bungkusan obat di atas tempat tidur dan menggeleng pelan saat ditanya apakah ia sudah makan. Tomoru mengernyit saat mengerutkan kening, bergumam kalau ia akan membuatkan sesuatu dan menghilang ke dapur.

Terus terang, ia senang Tsune datang. Pemuda itu begitu baik padanya dan meskipun kadang tatapan matanya yang tajam membuat Tomoru takut, ia tidak pernah menjauh. Tsune mengantarnya keliling kota, menunjukkan tempat dan toko-toko yang mungkin berguna untuk Tomoru. Menemaninya makan siang atau mengajaknya bergabung dengan teman-temannya. Tomoru bukannya tak bisa menebak apa arti pandangan Tsune. Ia hanya tak mau terlalu besar kepala. Pemuda itu tampan dan sepertinya punya cukup banyak penggemar. Lagipula, mereka baru saja mulai berteman.

"Bisa bangun?" Suara Tsune yang dalam membuatnya menarik diri dari pikirannya dan mengangguk lemah. Tsune membantunya duduk, mengatur bantal di sandaran tempat tidur hingga Tomoru bisa duduk dengan nyaman. Tsune duduk di sisinya sambil memegang mangkuk berisi bubur yang mengepul.

"Ini instan sih. Tapi setidaknya kau harus makan sesuatu." Ujar Tsune sambil meniupi bubur itu dan mengaduk dengan sendok.

Tomoru mengangguk. Mata bulatnya mengerjap saat Tsune mengangsurkan sesendok bubur ke arah mulutnya. "Umh...aku makan sendiri saja..."

"Tak usah macam-macam. Kau kan sedang sakit." Tukas Tsune sambil menatapnya dengan tajam. Warna matanya yang berbeda membuatnya jadi terlihat mengancam meski pemuda itu tak bermaksud begitu.

Tomoru menurut. Dengan perlahan, bibirnya membuka dan melahap pelan. Dalam hati, ia bersyukur karena sedang demam atau ia harus menyembunyikan wajahnya yang memerah. Tsune tersenyum miring, menyendok lagi dan meniup beberapa kali sebelum mengangsurkannya pada Tomoru.

Tsune menyerah saat Tomoru menggeleng keras dan menolak untuk makan lagi karena mulutnya terasa begitu pahit. Toh, buburnya sudah dimakan setengah. Tsune menunggu sementara Tomoru meminum obatnya dan membantunya berbaring lagi. Ditepuknya lembut selimut yang menutupi tubuh Tomoru dan pemuda itu mungil itu membenamkan wajahnya ke balik selimut. Tomoru memejamkan matanya karena kepalanya terasa pusing lagi.

Sepertinya ia langsung tertidur karena begitu ia membuka mata, lampu kamarnya sudah menyala dan di luar sudah gelap. Tomoru meraba keningnya, diam sejenak dan menyimpulkan kalau demamnya sudah agak berkurang. Mengerahkan segenap tenaganya, Tomoru berbaring menyamping, memandang kamarnya yang lengang.

Demamnya pasti tinggi sekali sampai ia bermimpi kalau Tsune datang dan merawatnya. Ia yakin itu mimpi karena jam segini biasanya Tsune masih bertugas di perpustakaan. Meskipun ia tak bisa menjelaskan bagaimana caranya ada baskom dan lap kompres di dekat tempat tidurnya -seingatnya itu tak ada saat ia menjatuhkan diri ke tempat tidur kemarin malam- dan bagaimana caranya ia berganti piyama -semalam rasanya motifnya beruang berwarna kuning, sekarang biru tua polos.

Mengerjap beberapa kali lagi, Tomoru memutuskan untuk tidur lagi saja.


Tsune menekan tombol di handphone-nya, mengakhiri pembicaraan dengan ibunya setelah memberitahu kalau ia tak akan pulang malam itu. Dengan perlahan, ia masuk lagi ke dalam ruangan dari beranda mungil itu. Ditiliknya si pemilik apartemen yang masih tertidur pulas. Tsune mendekat dan meraba keningnya dengan hati-hati. Masih demam. Mungkin sebaiknya besok ia memanggil dokter keluarganya untuk memeriksa Tomoru.

Ini pertama kalinya Tsune menjaga orang sakit namun sepertinya ia cukup berbakat. Setidaknya, ia tahu apa yang harus dilakukan, meniru apa yang dilakukan pengasuhnya saat Tsune kecil sakit. Termasuk mengganti baju Tomoru yang basah karena keringat. Ia pernah dengar kalau baju yang basah kena keringat tak diganti, nanti malah bisa memperparah kondisi si orang yang sedang demam tinggi itu. Entah benar entah tidak, yang jelas Tsune tak mau sampai membuat Tomoru masuk rumah sakit.

Tak disangkal kalau ia harus menggigit bibir saat mengganti piyama Tomoru. Bukan pekerjaan yang mudah karena Tomoru tertidur pulas dan kulitnya putih sekali. Terasa begitu hangat saat disentuh. Terlalu hangat karena demamnya. Dan Tsune tak akan menyangkal kalau ia memandang agak terlalu lama. Tidak pada tempatnya, memang tapi mau bagaimana lagi?

Tsune menarik tangannya karena Tomoru membuka mata. Ia tersenyum pada Tomoru yang juga tersenyum lemah.

"Tsune-kun?"

"Apa?"

Pemuda itu menyentuh pergelangan tangannya. "Bukan mimpi ya."

Tsune mendenguskan tawanya dan menggeleng. "Demammu tak separah itu sampai kau berhalusinasi kok." Godanya.

Tomoru tak menyahut. Tangannya masih melingkar di pergelangan tangan Tsune sampai akhirnya Tsune memutuskan untuk duduk di sisi tempat tidur dan meletakkan tangannya yang digenggam di atas dada Tomoru yang tertutup selimut. Tangannya yang lain menyingkirkan helaian poni kecoklatan dari kening Tomoru. Seulas senyum lembut tersungging di bibir Tsune sementara Tomoru memejamkan dan membuka matanya bergantian.

"Pusing?" Tanya Tsune dengan nada yang begitu lembut dan khawatir.

Tomoru menggeleng pelan. Tanpa sadar mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Tsune. Pemuda berambut hitam itu terdiam sesaat, menatap tangan mereka dengan penuh perhatian sebelum menyentuh pipi Tomoru dengan ujung jemari. Tomoru membuka matanya perlahan. Sepasang mata bulat besar bertemu dengan sepasang yang tampak serupa tapi tak sama.

Banyak hal berputar dengan cepat di dalam kepala Tsune dan belum pernah ia merasa semantab dan seyakin itu sebelumnya. Ia tersenyum lembut pada Tomoru, memastikan pemuda mungil itu benar-benar bangun sebelum mulai bicara.

"Kita pacaran yuk."

Tomoru mengerjap. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Beberapa kali. "Eeh?"

Tsune tertawa pelan. "Kau dengar aku."

Tomoru memiringkan kepalanya. "Tapi...kenapa?"

Tsune mengedikkan bahunya. "Tak ada alasan. Tapi kupikir, aku tak bisa meninggalkanmu sendirian dan kurasa, bukan aku saja yang berpikir begitu kan?" Diliriknya tangannya yang tergenggam.

Tomoru mengikuti arah pandangan matanya dan tampak tersipu meski tak menarik tangannya menjauh. Matanya kemudian kembali memandang Tsune.

"Aku kan sering merepotkan Tsune-kun." Bisiknya ragu.

"Justru karena itu." Tsune berujar. Dijentiknya pelan ujung hidung Tomoru. "Aku tak akan merasa direpotkan kalau kau jadi pacarku."

Tomoru membenamkan bagian bawah wajahnya ke dalam selimut. Tsune menepuk pelan dadanya. "Menggeleng atau mengangguk saja sudah cukup, kok."

Tsune tak menyangka kalau jawabannya akan datang dengan begitu cepat. Tomoru menggerakkan kepalanya. Bukan ke kiri dan ke kanan tapi ke atas dan ke bawah. Samar tapi jelas itu sebuah anggukan.

Tsune tersenyum lebar, memutar tangannya dalam genggaman tangan Tomoru yang hangat, menjalin jemari mereka dan membawanya ke depan bibirnya. Disentuhkannya bibirnya ke punggung tangan Tomoru, memperhatikan bagaimana wajah Tomoru yang kemerahan berubah menjadi merah sekali. Kemudian ia merunduk, mendaratkan sebuah kecupan di kening Tomoru. Didengarnya pemuda mungil itu menarik nafas dan menghela pelan. Dikecupnya sekali lagi kulit yang hangat itu, mengelus rambut coklat Tomoru yang terasa luar biasa lembut.

"Sekarang makan ya." Bisiknya lembut.

Tomoru mengangguk.

-end-

Thursday, June 9, 2011

[fanfic] AU TsunexTomoru - Here With You

Cast: Aoki Tsunenori, Akazawa Tomoru
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I own nothing
Note: Pendek saja yaaaaa. Gejeh puuun. Buat tanuki tersayang~




Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali Tomoru merasakan hangat kedua lengan Tsune melingkar erat di pundaknya, juga panas tubuh Tsune di sekelilingnya.

Setahun yang lalu. Tomoru tak mungkin salah ingat karena siapa yang bisa lupa kapan terakhir kali bertemu dengan kekasih apalagi dengan frekuensi bertemu yang bisa dihitung dengan jari?

Tomoru bukannya mengeluh. Hanya saja terkadang rasanya sepi sekali.

Matanya mengerjap pelan, mulai menyadari kenapa dia berpikir begitu. Tsune sudah tak ada di sampingnya. Hanya menyisakan rasa hangat di salah satu tempat tidur mungil itu. Tomoru membenamkan wajahnya ke dalam bantal lalu mengerang sebal. Lalu berguling. Lalu merasakan sisi tubuhnya terantuk lantai yang keras dan dingin diiringi bunyi jatuh yang cukup keras.

"Argh!"

Kecerobohannya tak akan hilang sampai kapan pun. Tomoru merengus sekilas tapi tak beranjak bangun, malahan berguling sekali lagi di lantai.

Samar, telinganya menangkap bunyi langkah kaki menapak lantai kayu. Tak lama terdengar suara tawa yang rendah dan renyah.

"Sedang apa sih?"

Tomoru mengangkat kepalanya. "Jatuh."

"Dilihat juga sudah tahu." Komentar Tsune. Sudah mengenakan celana boxernya, tangannya menggenggam cangkir -yang tampaknya berisi kopi kalau ditilik dari wangi yang tercium hidung Tomoru- dibantunya Tomoru berdiri dan duduk di tepi tempat tidur.

"Sudah mau pulang?" Tanya Tomoru pelan sambil mengambil cangkir dari tangan Tsune.

"Hm? Belum sih. Hari ini tak ada acara apa-apa kok. Belum tahu juga sih. Tergantung yang punya acara." Tsune mengangkat kakinya dan menyilangkan kedua tungkainya. "Tidak kerja?"

Tomoru tampak berpikir sejenak lalu melirik ke arah kekasihnya dengan pandangan bingung. "Ini hari minggu kan?"

Tsune terkekeh lalu mengangguk. "Sepertinya begitu."

Dengus tawa Tomoru tersembur saat pemuda mungil itu menyandarkan kepala ke pundak Tsune. "Benar tidak akan dicari?"

Tsune mengecup pucuk kepala Tomoru. "Dicari pun aku bisa mengajakmu kan?"

"Maksudku bukan itu, loh." Tomoru mengerutkan kening.

Tsune tertawa pelan. "Begitu pun tak apa-apa kok. Ena kan belum pernah bertemu dengan saudara-saudaraku yang di sini."

Wajah Tomoru bersemu merah. Tsune berkeras memanggilnya begitu sejak mereka pacaran dan tak mau beralih. Memang panggilan untuk perempuan dan Tomoru sudah menyampaikan keberatannya berkali-kali tapi Tsune berlagak tuli hanya karena kata itu terdengar manis (cocok sekali dengan Tomoru, kata Tsune) dan meluncurkan dengan mudah di lidahnya. Begitu pun nada dan binar mata Tsune saat memanggil Tomoru dengan panggilan itu.

Bahkan ketika tertulis dalam email atau pesan singkat sekalipun, Tomoru bisa membayangkan dengan jelas.

Tomoru mendesah. Tsune menepuk kepalanya dengan lembut.

"Tsune-kun pasti tak kesepian ya?" Komentarnya tanpa sadar.

Tsune mengangkat alis. "Yah, memang ramai sih. Apalagi sekarang semuanya ada di rumah karena mengurus pernikahan Masahiro. Kadang berisik sekali sih."

"Hmmm..."

Tsune terdiam sesaat, menilik ekspresi kekasihnya dengan teliti lalu menunduk untuk mengecup sudut bibir Tomoru dengan lembut. Tomoru melirik, sudut-sudut bibirnya bergerak membentuk senyum sebelum akhirnya menolehkan kepalanya untuk mencium Tsune.

"Aku akan tinggal agak lama loh." Tsune berbisik, menggesekkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Tomoru, menghirup wangi khas kekasihnya yang selalu terkesan seperti buah peach.

"Hmm..." Tomoru bergumam, mengecup garis rahang tegas Tsune sementara kedua lengannya sudah bergayut di sekeliling leher kekasihnya yang tampan itu. Ditariknya Tsune mendekat, mungkin agak terlalu keras sampai mereka berdua nyaris terjungkal jatuh dari atas tempat tidur kalau saja reflek Tsune tak segera bekerja.

"Oiii!"

Tomoru hanya tertawa. Kali ini tak peduli dengan kecerobohannya karena ia tahu Tsune pun tak pernah benar-benar protes.

"Mandi?" Tanya Tsune seraya merengkuh Tomoru dalam pelukannya, telapak tangannya mengelus pinggang Tomoru dengan sayang.

Tomoru nyengir. "Aku mau sarapan dulu."

"Kulkasmu kosong." Tsune mengingatkan.

"Di lemari ada bubuk hotcake." Koreksi Tomoru, bersandar pada Tsune dan menikmati hangat kulit Tsune di kulitnya sendiri.

Tsune tersenyum miring. "Hotcake buatanku kan sering gosong."

"Nanti kutemani."

"Selai raspberry?"

Tomoru mengangguk. "Dan butter. Tambah es krim vanilla. Di bawah ada konbini." Cepat-cepat ditambahkannya sebelum Tsune bertanya.

Tsune mengernyit. "Aku malas keluar."

"Ih." Tomoru mencibir.

"Lebih baik mencium pacarku saja."

"Ba~ka."

-end-

Sunday, June 5, 2011

[fanfic] AU KenkixMitsuya - Kiss Me, You

Fandom: D2/musical prince of tennis 2nd season
Cast: Yamaguchi Kenki, Mitsuya Ryou
Rating: PG-13 for boys kissing
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: Own nothing, no harm intended, no profit gained
Note: ah, gitu deh~



Kenki mencium Mitsuya untuk pertama kalinya adalah nyaris dua tahun yang lalu. Sebelum Kenki pulang ke Tokyo, sebelum Mitsuya dan Yuuki datang ke Tokyo. Setelah menanyakan keputusan hati Mitsuya, apakah ingin menggenggam tangan Kenki atau mengusirnya pergi. Kenki memeluknya erat dan tak bisa berbohong kalau jantungnya berdebar kencang. Mitsuya menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. Ciuman pertama dalam hidup Mitsuya. Ciuman pertama mereka. Gugup, agak canggung dan terlalu cepat berlalu. Kenki hanya ingat kalau setelahnya ia tersenyum lebar dan mengaduh kencang karena dipukul Mitsuya yang minta diantar pulang dengan wajah yang sudah tak bisa dibilang lebih merah dari daun momiji di musim gugur.

Kenki mencium Mitsuya, hanya kecupan ringan sekilas di keningnya, setelah upacara pertunangan mereka di rumah Mitsuya. Kedua orang tua mereka tersenyum-senyum bahagia melihat itu. Mitsuya hanya sanggup mengerjap dan mendorong pelan bahu pemuda itu menjauh sementara Kenki meleletkan lidah.

Kenki mencium Mitsuya saat pemuda cantik itu dan sepupunya baru saja pindah ke Tokyo. Mereka duduk bersandar di dekat dapur, kelelahan karena barang yang harus dibereskan banyak sekali. Mitsuya mengucapkan terima kasih dan berkata bahwa Kenki sebenarnya tak perlu ikut repot. Kenki hanya tersenyum dan mencubit hidung Mitsuya dengan gemas lalu menarik pemuda itu mendekat. Lengannya melingkar sempurna di pinggang Mitsuya yang ramping dan Mitsuya tak punya pilihan selain meletakkan kedua tangannya di bahu Kenki. Kecupan lembut dan pagutan mesra. Kenki mengusap pipinya yang mulus dengan buku jari, membisikkan betapa cantiknya Mitsuya di matanya, membuat Mitsuya salah tingkah dan balas mencium Kenki karena dia tak tahu harus bagaimana lagi. Mitsuya tak tahu kalau dia akan begitu menyukainya dan berikutnya tak malu-malu meminta kecupan dari tunangannya yang tampan itu.

Ciuman pertama Kenki yang membuat Mitsuya menatapnya dengan bingung adalah sebelum mereka bercinta untuk pertama kalinya. Ruangan yang redup, berbaring di atas tempat tidur Kenki dan Mitsuya tak bisa, tak berani menerka apa maksudnya. Ciumannya terasa berbeda dari biasanya dan Kenki memberanikan diri untuk menyentuh Mitsuya di bagian yang lebih intim. Berhenti sejenak kalau-kalau Mitsuya menolak dan menyentuh lembut ketika Mitsuya tak berkata apapun. Wajah Mitsuya memerah saat ia sadar apa maksudnya. Balas menatap mata Kenki yang memandangnya dengan ekspresi yang belum pernah dilihat Mitsuya sebelumnya. Mencium Mitsuya dengan lembut seraya tertawa pelan saat Mitsuya menganggukkan kepalanya.

Pun, pemuda itu mencium Mitsuya dengan lembut dan sayang, berusaha menenangkan dan meminta maaf pada saat yang bersamaan pada Mitsuya yang terisak karena kesakitan. Mengecupnya lembut di kening saat Mitsuya memintanya berhenti dan mengantarnya pulang. Kenki memeluknya dengan lembut, membisikkan maaf berkali-kali. Mitsuya hanya menggelengkan kepala, mengecup pipi Kenki dan membisikkan kata maaf yang sama.

Mitsuya mencium Kenki, beberapa hari kemudian, mengumpulkan keberanian dan tekad. Tak ingin lari dari rasa sakit, tak ingin lari dari Kenki karena meskipun tak diakuinya secara langsung, Mitsuya pun ingin Kenki jadi miliknya. Kenki tersenyum lebar, membalas ciuman Mitsuya dengan tak kalah bersemangat. Menciumi sekujur tubuh dan tiap inci kulit yang bisa disentuhnya. Membuat Mitsuya menutup mata, menggigit bibir menahan erangan sampai akhirnya menyambut cahaya menyilaukan itu di balik matanya.

Ciuman lembut Kenki yang masih terengah, membuat Mitsuya merasa begitu dicintai dan mendesak dadanya yang penuh dengan emosi. Mitsuya memandangnya tak berkedip. Meski wajahnya masih tertutup peluh, Kenki terlihat begitu bahagia dan tak menutupi perasaannya. Tampan sekali. Mitsuya menariknya mendekat, memagut bibirnya dan membisikkan perasaannya di depan bibir tunangannya yang tersenyum.

Mitsuya mencium Kenki di hari ulang tahunnya. Berterima kasih untuk makan malam yang lezat dan kalung perak yang melingkar di lehernya. Hadiah yang tak begitu besar namun membuat Mitsuya begitu bahagia.

Kenki menciumnya di pagi hari, saat Mitsuya membuka mata dan membalas kecupannya dengan senyum yang sama. Kadang berlama-lama tinggal di tempat tidur, kadang setelahnya langsung berlalu ke kamar mandi karena tak punya banyak waktu untuk bersiap-siap. Mengecup Mitsuya sekali lagi atas sarapan yang dibuatkannya atau sebaliknya dan tak lupa menariknya mendekat untuk mengecup pipi atau punggung tangan Mitsuya sebelum pemuda cantik itu turun dari mobilnya.

Kenki memeluk dan mengecup keningnya, tiap kali Mitsuya selesai bertanding. Tak peduli menang atau kalah. Berbisik lembut di telinga Mitsuya, "Otsukare." Ribuan kali lebih ampuh dari pujian atau kritik teman-teman setim-nya.

Kenki mencium Mitsuya hanya karena ia ingin. Mengejutkan Mitsuya saat pemuda itu sedang asyik menonton TV atau membaca majalah, ketika Mitsuya sedang sibuk berkonsentrasi dengan pekerjaan rumahnya, atau kadang hanya ingin membungkam Mitsuya yang sudah berceloteh terlalu panjang tentang apapun. Mitsuya akan memukulnya, merengut sebal atau langsung membalas ciumannya. Tak peduli yang manapun, ia menyukai ciuman Kenki. Menyukai rasa bibirnya yang menekan bibirnya sendiri. Menyukai caranya memaksa Mitsuya membuka bibirnya dengan lembut. Menyukai menikmati bibir dan bagian dalam mulut Mitsuya. Menyukai saat Kenki menggeram ketika Mitsuya bergumam pelan ke dalam ciuman mereka. Atau kadang membiarkan Mitsuya menikmati bibir dan mulutnya tanpa perlawanan.

Kenki mencium Mitsuya dan Mitsuya tahu bahwa ia begitu dicintai dan paham bahwa ia selamanya akan terikat pada Yamaguchi Kenki.

-end-

Friday, June 3, 2011

[fanfic] Wedding checklist - Bridesmaid

Fandom: samurai sentai shinkenger/kamen rider dcd/tenipuri the musical 2nd season/fujoshi kanojo
Cast: Wada Takuma, Daito Shunsuke, Matsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I only own the plot
Note: panasnya hari iniiiiiiiiiii~ Nei, semoga cepet sembuh ya~



"Daito Shunsuke-san?"

Shunsuke mengalihkan perhatiannya dari layar iPad-nya, menghabiskan waktu menunggu teman makan siangnya untuk datang dengan mencerna sejumlah email berkaitan dengan sebuah kasus ditemani secangkir kopi. Matanya menangkap sesosok pria yang tersenyum ramah meski agak tak yakin. Berambut coklat gelap, berlesung pipi dan tampan sekali. Persis gambaran yang diberikan Tori padanya.

Pengacara muda itu buru-buru meletakkan iPad-nya dan berdiri sambil mengulurkan tangan. "Ah, Wada-sensei ya? Hajimemashite."

Takuma menyambut uluran tangan pria itu diiringi senyum lega karena tak salah orang. Dia sempat sedikit sebal karena Tori mengirim pesan kalau dia akan datang sedikit terlambat, "Jadi tolong temani Shunsuke dulu ya. Orangnya baik sekali, kok. Wada tak perlu khawatir." Takuma menggerutu karena seharusnya Tori tahu dia tak terlalu bisa beramah tamah dengan orang asing.

Shunsuke menunjuk kursi di seberangnya, mempersilakan Takuma duduk lalu mengangkat tangan untuk memanggil pelayan. "Sudah diberitahu Tori kalau dia akan terlambat?"

Takuma mengangguk. "Un. Dia juga bilang kalau Daito-san sudah menunggu dari tadi, jadi dia memintaku menemani Anda."

Shunsuke tertawa dan mengibaskan tangannya. "Tidak terlalu lama, kok. Baru setengah jam. Sensei tak perlu seformal itu, panggil nama saja tak apa-apa kok."

Takuma mengerjap. "Oh, baiklah. Shunsuke-san?"

"Hai, Takuma-san."

Takuma tersenyum. Sekilas teringat kisah Tori akan sebuah omiai dan seorang pria baik hati. Perhatian mereka teralih sejenak dengan pelayan yang datang membawa menu.

"Kurasa kita harus menunggu Matsuzaka sebelum pesan makanan ya? Nanti bisa ngomel kalau kita mulai duluan." Komentarnya sambil melewati daftar makanan dan berkonsentrasi pada deretan nama minuman.

Shunsuke terbahak. "Ternyata memang sejak dulu begitu ya?"

Takuma menyebutkan kalau ia ingin es kopi saja pada si pelayan yang mengangguk ramah dan berlalu pergi. "Oh, memang. Dulu dia suka berbagi makanan denganku, tapi langsung ngomel kalau makanannya habis."

"Ooh ya! Dia pernah marah padaku gara-gara aku menghabiskan coklat di dashboard mobilnya." Sahut Shunsuke.

"Deshou? Apalagi kalau coklatnya diberi Inoue-kun. Dia tak segan berbagi, tapi tak boleh dihabiskan." Takuma mendengus.

Shunsuke tertawa. "Yap. Dia ngomel panjang lebar sampai aku setuju membelikannya tiramisu dari toko kecil di dekat stasiun itu."

"La Petite?" Takuma mengangkat alis. " Oh, aku tak terlalu suka makanan manis tapi harus kuakui kalau kue-kuenya enak juga."

"Tak suka makanan manis? Kenapa?"

Takuma nyengir. "Aku dokter gigi."

"Ah." Shunsuke mengangguk-angguk. "Karena itu Takuma-san mengelilingi diri dengan yang manis lainnya?"

"Ha?"

Shunsuke meleletkan lidah. "Maaf. Tapi Tori bilang kalau pacar Takuma-san manis sekali dan harus diakui kalau Tori kan juga manis."

Takuma mengernyit. "Matsuzaka brengsek. Usil sekali sih cerita-cerita seperti itu."

Shunsuke mengibaskan tangan. "Aku tak keberatan, kok. Kurasa kita akan banyak bertemu setelah ini kan? Jadi aku ingin tahu seperti apa sahabat Tori."

"Sementara dia tak cerita apa-apa tentangmu, Shunsuke-san. Sopan sekali." Cibirnya.

"Masa? Juga tak cerita soal omiai itu?"

"Oh, itu sih aku tahu. Maksudku, aku tak terima dia cerita hal-hal memalukan tentang aku seperti itu."

Shunsuke mengangkat tangannya. "Sama sekali tidak. Mungkin wajar saja ya. Akhir-akhir ini aku jarang bertemu dengannya, mungkin saja dia jadi tak berpikir untuk bercerita." Pengacara itu mengedikkan bahu.

Takuma menyesap minumannya yang baru saja diantarkan. "Hmm, jarang bertemu?"

Shunsuke menggaruk ujung hidungnya, sekilas tampak agak tersipu. "Yah, kebetulan sedang banyak kasus yang harus ditangani dan umh... aku punya pacar."

Dokter gigi tampan itu mengangguk-angguk maklum. Kalau saja ia dan Tori tak sama-sama bekerja di Keigo, mungkin ia juga akan jarang bertemu Tori. Hanya saja mereka sudah berjanji dan jujur saja, Takuma masih sedikit khawatir.

"Takuma-san."

"Ya?"

"Ini pertanyaan aneh, tapi aku penasaran dan Takuma-san sudah kenal Tori sejak lama..."

Takuma tertawa kecil. "Pasti soal Inoue-kun ya?"

"Tertebak sekali ya? Yah, maksudku, kalau dilihat sekilas, mereka kan berbeda sekali. Setelah kenal Tori, aku jadi penasaran. Apa memang tipenya sejak dulu selalu yang seperti Inoue-kun?"

Takuma menyandarkan punggungnya. Ditatapnya teman Tori itu sejenak lalu tersenyum. "Boleh percaya atau tidak, sama sekali berbeda. Pacarnya yang dulu setahun lebih tua darinya. Cukup mapan, kalau tak salah ingat, sangat tenang dan tak banyak bicara. Yah, bisa dibilang kebalikan sekali dengan Inoue-kun. Dan ternyata bajingan kelas berat."

Shunsuke terdiam. "Dia membuat Tori menangis?"

"Dan nyaris bunuh diri."

Shunsuke membelalakan mata tak percaya.

"Bercanda. Tidak, kok. Tapi dia hancur sekali. Mungkin kau tak tahu ini, tapi Matsuzaka tak bisa menghadapi perpisahan dengan baik. Dia menjaga segala sesuatu yang ada di sekitarnya baik-baik dan memastikan kalau dia tak akan pernah berpisah dengan apapun itu, terutama kalau dia sayang sekali dengan sesuatu itu."

"Yah, aku tak tahu itu. Separah itu? Dan karena itu juga Takuma-san tetap ada di dekat Tori?"

Takuma mengangguk. "Bedanya hanya aku melakukannya tanpa perlu diminta."

Shunsuke mengangguk-angguk. Ekspresi Takuma berubah selama ia bicara dan ada rasa sayang begitu dalam yang ditangkap Shunsuke. Tapi ia tak ingin bertanya. Bukan urusannya. Karena itu ia tersenyum dan menyesap kopinya lagi. "Apapun yang terbaik untuk Tori ya?"

Takuma mengangguk setuju. Ia mengerti sekarang kenapa Tori cepat akrab dengan pria ini. Ia bisa mengerti Tori dengan cepat dan memahami dengan baik. Seandainya saja Tori tak keburu jatuh cinta setengah mati pada Masahiro, Takuma yakin Shunsuke punya kesempatan yang sangat besar untuk mendapatkan sahabatnya itu. Yah, mau bagaimana lagi? Selogis apapun akal sehat manusia, tetap saja yang namanya hati, siapa yang bisa benar-benar tahu?

Shunsuke tersenyum kecil. "Aku tidak menyesali apapun, loh, Takuma-san. Aku senang kalau dia bahagia."

Takuma mengerjap sesaat lalu terkekeh malu. "Ya ampun, wajahku sebegitu mudahnya dibaca ya?"

Shunsuke mengedikkan bahu lalu menggosok-gosok telapak tangannya. "Baiklah. Mari membicarakan yang lebih penting saja. Tori sudah cerita apa saja soal persiapan pernikahannya?"

"Mari, mari." Takuma menegakkan tubuhnya dan menjangkau ke dalam tasnya untuk mengambil agenda-nya. "Matsuzaka sih hanya cerita singkat tapi katanya mereka ingin menikah di musim gugur nanti. Sok romantis sekali ya?" Shunsuke tertawa menanggapi. "Lalu, umh, hari ini dia menemui perancang pakaian. Dekorasinya aku dengar Micchi yang akan menangani,"

"Siapa?"

"Oh, maaf. Mitsuya Ryou, sepupu pacarku."

"Oh, baiklah."

Takuma melanjutkan, "Hmm, apa lagi ya? Kau sudah diperlihatkan daftar undangannya? Oke, berarti tinggal mencari percetakan. Lalu, eh, baru itu saja."

"Aku bawa beberapa pamflet tempat resepsi. Tori bilang dia tak ingin yang terlalu mewah jadi agak sulit juga mencarinya. Ngomong-ngomong, apa kita juga harus mengepas baju?"

Takuma memiringkan kepalanya. "Entah. Biasanya begitu kan? Kupikir kita tak bisa membicarakan ini berdua saja ya? Pemeran utamanya harus ada juga. Ke mana sih dia?"

Shunsuke mengecek handphone-nya. Tak ada pesan lagi dari Tori. "Mungkin ngobrolnya asyik." Simpulnya.

"Yah, lumayan. Orangnya menarik juga."

Kedua pria itu menoleh pada obyek obrolan mereka yang mendadak sudah muncul dan duduk di sebelah Shunsuke sambil mendesah dan tanpa malu-malu menyesap es kopi milik Takuma. Shunsuke memutar tubuhnya menghadap Tori.

"Lancar?"

Tori menggerakkan pundaknya. "Begitulah."

Alis tebal Shunsuke terangkat naik. "Begitulah?" Dia tertawa. "Yang benar, dong. Kalau kau ternyata tak suka dan tak bilang dari sekarang nanti repot loh."

Tori merengut. "Aku lapar."

"Sudah kuduga." Tukas Takuma dan mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan. "Ya sudah. Kita makan dulu saja."

Shunsuke mencubit pipi Tori dengan gemas dan dibalas Tori dengan meninju lengannya dengan sebal. "Apa sih? Aku lapar, nih."

"Hai, hai." Shunsuke membuka-buka menu yang disodorkan pelayan dan mulai menyebutkan pesanannya, disela berkali-kali oleh Tori yang ingin menambah ini dan itu.

"Keluarkan potato wedges-nya dulu ya." Tori memesan pada si pelayan dan dijawab dengan anggukan mantab. Sesaat kemudian dokter itu sibuk berkutat dengan iPhone-nya karena Masahiro meneleponnya berkali-kali dan Tori mengirim pesan bernada setengah mengancam kalau pemuda itu tak berkonsentrasi pada jalanan dan langsung pulang untuk tidur, dia akan membatalkan acara mereka nanti malam.

Tori mendesah, melepas jaketnya dan menyisir rambutnya dengan tangan. Matanya mengerjap tak mengerti pada dua temannya yang menatapnya sambil tersenyum-senyum.

"Apa sih? Kenapa memandangku begitu? Ada sesuatu di wajahku?"

"Kawaii ne." Komentar Shunsuke sambil menyesap kopinya.

"Chou kawaii." Takuma menyetujui.

"Ha?"

-end-