Friday, May 27, 2011

[fanfic] AU KumaxYuuki - Lemonade I Scream

Fandom: Prince of Tennis Musical 2nd Season
Pairing: Wada Takuma x Ogoe Yuuki, mention of Ma-kunxTori
Rating: NC-17
Warning: BL, AU, OOC, NSFW
Disclaimer: I do not own anything
Note: Prompt dari Nei. It's very dirty. Maafkan aku m(_ _)m

ETA: poster made by Nei. Thanks, dear~ *kisses*





"Mmmngh...Kumaaa..."

Takuma tersenyum miring mendengar erangan Yuuki. Matanya diarahkan ke atas, menatap wajah Yuuki yang bersemu merah dan sibuk menggigit bibir agar tak mengerang terlalu keras. Bagaimanapun mereka sedang ada di luar ruangan dan sepertinya pemuda itu berusaha keras tak terlalu berisik karena takut ada yang mendengar. Lagipula, ini masih siang.

Liburan ke onsen memang ide yang menyenangkan. Apalagi kalau gratis. Ini semua karena Tori yang datang padanya dan bercerita kalau seorang fotografer sedang ingin memotret Masahiro dan Tori jadi mereka diajak ke onsen.

"Katanya boleh bawa teman. Jadi karena aku tahu kau tak pernah liburan, aku mau mengajakmu dan Yuuki-chan. Siap-siap saja akhir minggu nanti ya. Dijemput kok."

Yah, karena Yuuki pun menyambut dengan senang, Takuma tak bisa menolak tawaran itu. Meski akhirnya dia agak risih karena fotografer kenalan Masahiro itu terus menerus menatapnya dan tak berhenti berkata kalau Takuma tampan sekali. Tori dan Yuuki sampai terkikik geli melihat ekspresi Takuma sementara Masahiro hanya cengar-cengir. "Tampaknya Yuzawa-sensei suka pada Wada-sensei." Komentar pemuda jangkung itu singkat.

Seharian kemarin dirinya dan Yuuki hanya memperhatikan Yuzawa memotret Masahiro dan Tori tanpa henti. Fotografer gaek itu mengajak mereka jalan-jalan ke bukit kecil di dekat ryokan tempat mereka menginap dan tak berkata apa-apa, hanya memotret apapun yang dilakukan pasangan yang tak segan-segan pamer kemesraan itu.

"Kau tak malu ya?" Tanya Takuma sekilas saat makan malam.

Tori hanya mengangkat alis. "Awalnya sih malu. Tapi sekarang sudah biasa kok. Lagipula yang seperti ini biasanya hanya disimpan sendiri oleh Yuzawa-sensei. Dia tahu aku tak mau muncul di manapun. Aku kan bukan Masahiro."

Takuma hanya mengangguk-angguk. Dia bukannya menuduh Tori tukang pamer tapi temannya itu memang begitu. Dengan pacarnya yang dulu pun Tori tak pernah berniat menutupi apapun. Tanpa maksud membuat orang lain merasa risih atau mungkin iri. Apalagi sekarang mereka sudah menikah. Yang satu memang tukang pamer, sementara yang satu lagi tak berniat untuk menutupi. Jadinya ya memang ajang pameran kemesraan yang Takuma pikir apa mereka tak bosan melakukannya.

Karena itu, Takuma jadi agak tergoda untuk mencoba hal-hal yang sedikit nakal dengan pacar mungilnya. Yuuki memang sudah tidak bisa dibilang mungil. Umurnya sudah 18 tahun, baru saja masuk kuliah dan bulan depan akan masuk pelatnas. Pun, makin tampan dan menggoda. Sungguh.

Yuuki hanya sanggup terperangah saat Takuma mulai menciuminya, membuatnya lupa akan es loli yang masih tergenggam di tangan dan tengah dinikmatinya sebelum Takuma bergabung dengannya. Yuuki sempat mengolok Takuma karena cara makan es lolinya aneh: dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam gelas untuk dimakan dengan sendok.

"Ini lebih baik dibanding caramu mengulum esmu dengan menggoda begitu." Ujar Takuma sebelum akhirnya tak tahan untuk tidak mencium pacarnya itu.

Jadi di situlah dia berada sekarang, berlutut di antara kedua paha Yuuki yang terbuka dengan yukata yang tersingkap sampai pinggang. Dia senang karena Yuuki tak merasa perlu untuk pakai dalaman hari itu.

Takuma melirik pada es loli yang masih tergenggam di tangan Yuuki, sudah mulai meleleh dan menetes-netes ke atas rumput. Pria itu mengulurkan tangan, menadahi tetesan es rasa lemon itu dan mengusapkannya ke ujung kemaluan Yuuki yang sudah merah sekali karena digoda sejak tadi.

"Dingin~" Yuuki mendesis, pinggulnya menyentak menjauh. Takuma menahan dengan sigap dan memandang Yuuki dengan penuh makna. Yuuki menggigit bibir, menahan erangan dan memperhatikan Takuma melumurkan cairan manis lengket itu. Nafasnya yang agak terengah kembali memburu karena pijatan-pijatan lembut telapak Takuma. Dia tak bisa tidak mendesah keras saat Takuma menjulurkan lidahnya dan mulai menjilatinya dengan begitu nikmat. Seperti menjilati es loli.

Yuuki tersengal-sengal. Kedua tangannya ditangkupkan di sisi wajah Takuma, mengikuti gerakan kepala Takuma sekaligus memberi isyarat di bagian mana ia ingin disentuh. Pinggulnya pun mulai bergerak pelan saat Takuma mulai menelan dan menghisap dengan keras.

"Ah..ah..anngh...ah...mmnh... Ah, soko~"

Takuma memiringkan kepalanya, menggigit kecil sepanjang kemaluan Yuuki sementara pergelangan tangannya berputar di bagian pangkal. Lidahnya meluncur di permukaan kulit yang panas dan basah sebelum kembali menghisap kuat-kuat.

Sontak, pinggul Yuuki menyentak, punggungnya melengkung nikmat dan jemari Yuuki mencengkeram rambut Takuma dengan erat. "Ku- Kuma... Dame! Aaangh... Sonna ni...suttara...I-icchau... MMMMMNGH~"

Takuma menekan pangkal kemaluan Yuuki keras-keras, mencegahnya mencapai klimaks terlalu cepat. Pemuda mungil itu tersengal, matanya mengerjap cepat karena nyaris saja dibutakan cahaya yang begitu terang. Dipukulnya bahu Takuma dengan kesal sementara Takuma hanya nyengir lebar.

Takuma menciumnya dengan lembut, membiarkan Yuuki melampiaskan hasratnya dengan memagut bibir Takuma, membiarkan lidahnya menari dengan lidah Yuuki yang tak sabaran dan membuat pemuda itu mengerang dengan menciumnya sedalam yang ia bisa. Takuma masih belum ingin ini berakhir. Ia masih ingin bersenang-senang dengan Yuuki.

Diraihnya gelas berisi potongan es loli yang diletakkannya di dekat Yuuki. Diambilnya sepotong dengan dua jari lalu disentuhkannya ke bibir Yuuki. Mata besar kekasihnya itu mengerjap, sesaat memandang Takuma tak mengerti. Takuma mengangkat alis sambil tersenyum. Dengan patuh, Yuuki membuka mulut, menjepit potongan es itu di antara bibirnya dan Takuma merunduk. Lelehan es itu mengalir dari bibirnya dan bibir Takuma, terasa dingin dan sedikit asam tapi Yuuki sama sekali tak keberatan. Yang seperti rasanya seksi sekali. Apalagi Takuma tampak begitu bersemangat. Dia pun melupakan kekhawatirannya didengar orang dan mengerang tanpa malu-malu.

Takuma menghisap lidah Yuuki sekali lagi. Nyengir, saat merasakan ujung kemaluan Yuuki yang masih tegang menusuk pahanya. Diambilnya lagi sepotong es loli dari dalam gelas. Sekali lagi menyentuhkannya ke bibir Yuuki. Tapi kali ini diusapkannya potongan es itu sepanjang bibir, dagu, leher sampai ke dada pemuda mungil itu. Yuuki mendesis karena rasa dinginnya terasa nikmat sekali di kulitnya yang panas dan membuatnya jadi lebih sensitif dari biasanya.

Takuma menelusuri jejak basah yang manis itu dengan bibir dan lidahnya. Mengecup dan mengecap tiap inci kulit yang dilewati dan jadi makin bergairah sampai selangkangannya terasa begitu nyeri.

Ditariknya pinggul Yuuki dengan satu sentakan lembut, membuat kekasihnya itu setengah berbaring di atas lantai kayu. Takuma berlutut lagi, tangannya sudah menggenggam potongan es yang lain. Yuuki menggelengkan kepalanya keras-keras saat merasa ia bisa menebak apa yang ada dalam kepala Takuma. Sebaliknya, Takuma malah mengangguk sambil tersenyum nakal dan menyentuhkan potongan es itu di depan jalan masuk ke tubuh Yuuki.

"Dingiiiiiin!" Jengit Yuuki dan langsung menjerit saat Takuma mendorong pelan potongan es itu ke dalam tubuhnya. "Dame! Dame! Aaaaaaaangh~!!"

Takuma menggigit bibir dan mengambil sepotong lagi. Yuuki mengangkat tubuhnya dan menumpu dengan dua siku. "Tidak mau!" Serunya. Rasa dingin yang menyengat berpendar melawan dinding tubuhnya yang otomatis mencengkeram. Rasanya agak tak nyaman dan Yuuki tak bisa memutuskan apakah ia akan menyukai ini atau tidak.

Kadang Takuma memang suka berlaku aneh. Yuuki menyangka kejutan di ulang tahun ketujuh belasnya dulu itu tak akan terulang lagi. Tapi rupanya ia salah.

"Tidak. Pokoknya tidak!" Serunya kala melihat Takuma pura-pura tak tuli pada protesnya. "Aku akan menendang Kuma kalau berani!"

Takuma hanya mengangkat bahu dan menahan kedua lutut Yuuki dengan satu lengan. Yuuki menjerit lagi saat potongan es lain menyusul masuk. "Baka! Baka! Bakaaa!!" Dan benar-benar ditendangnya pundak Kuma tanpa ampun sampai tubuh pria itu terlontar sedikit.

Takuma mendekat pada Yuuki yang bergelung dan berusaha menciumnya. Pemuda itu memberontak dan memukul-mukul dada Takuma. "Baka! Dingin tahu!! Keluarkan! Pokoknya keluarkan!" Rontanya.

"Hei," Takuma menangkap kedua pergelangan tangan Yuuki sampai pemuda itu berhenti bergerak. Takuma mengecup kening Yuuki yang terisak pelan. "Aku tidak akan menyakiti Yuuki. Yuuki tahu itu kan?" Bisiknya dengan sayang dan begitu lembut.

Yuuki menggigit bibir Takuma dengan keras. "Tapi dingin sekaliiiii! Memangnya Kuma pikir rasanya enak? Keluarkaaaan!"

Takuma terkekeh kecil, beringsut ke antara paha Yuuki dan memposisikan pinggulnya. Ujung kemaluannya menekan pelan lingkar pertahanan tubuh Yuuki dan mulai mendorong masuk. "Memang mau kukeluarkan, kok." Cengirnya seraya menyerbu masuk dalam satu tekanan panjang dan cepat.

Kepala Yuuki terlempar ke belakang, nyaris membentur lantai kayu. Tangannya mencengkeram kerah yukata yang dikenakan Takuma seraya mengerang panjang. Takuma menggeram. Ujung kemaluannya menyentuh potongan es yang dingin di dalam tubuh Yuuki yang hangat. Tubuhnya berdenyut pelan dan Yuuki pun, seperti biasa, menyambutnya dengan erat dan akrab meski bibirnya sibuk mengerang protes.

"Iku yo~" bisiknya seraya menggerakkan pinggulnya dengan cepat. Menyentak pendek dan tajam dari sudut tertentu. Tubuh Yuuki menggeliat di bawahnya. Erangannya makin keras dan tak terkendali karena titik sensitifnya tersentuh sesuatu yang dingin dan keras. Lambat laun ia mulai bisa hanya merasakan Takuma di dalam tubuhnya meski sensasi dingin dan hangat masih menyelimutinya. Menggandakan gelitik geli dan gelenyar nikmat di seluruh tubuhnya yang mau tak mau meminta lebih.

Takuma pun mengerang lebih keras dan melihat Takuma yang seperti itu, Yuuki jadi tak bisa berbuat apapun kecuali menghentikan protesnya karena kalau mau jujur, rasanya memang luar biasa nikmat. Karena itu diraihnya tubuh kekasihnya itu dan sekuat tenaga membalik posisi mereka. Takuma hanya sempat mengerjap bingung karena detik berikutnya sudah sibuk menggeram. Yuuki menggerakkan pinggulnya dengan cepat dan melesakkan tubuh mereka makin erat dan rapat. Mengundang kekasihnya untuk masuk jauh lebih dalam dan meledak di dalam tubuhnya dengan keras.

------

Yuuki masih merengut saat mereka duduk di dalam rotenburo. Takuma memeluk pundaknya dari belakang dan mengecup leher Yuuki sebagai usaha meminta maaf.

"Jangan ngambek terus dong. Yuuki harus mengakui kalau yang tadi itu luar biasa loh." Bisiknya sambil menariknya mendekat dan bersandar ke dadanya.

"Masalahnya kan bukan itu! Kuma aneh!" Sembur Yuuki.

"Apanya yang aneh? Itu kan cuma es loli. Orang lain banyak loh yang melakukan yang lebih aneh." Takuma pasang tampang tak mengerti.

Yuuki mencubit sisi tubuh Takuma. "Tapi kan kita bukan orang lain! Ini kedua kalinya Kuma begini! Aku tidak suka!"

Takuma mengerjap. Tak menyangka kalau Yuuki akan benar-benar marah. Dieratkannya pelukannya dan menunduk untuk menyentuhkan keningnya di pundak Yuuki.

"Maaf."

Yuuki mencibir. Pun, dia tak bisa benar-benar marah karena ia sayang Takuma dan ia tahu Takuma sebenarnya tak bermaksud buruk. Yuuki menarik nafas. "Setidaknya... Kuma harus tanya dulu padaku."

"Eh?" Takuma mengangkat wajahnya.

Yuuki menatapnya dengan tegas. "Tak boleh memaksa seperti tadi! Kalau aku tak mau, Kuma harus menurut! Kalau tidak, aku akan mengadu pada Micchi! Terserah Kuma!"

Takuma mengerjap. "Jadi, aku hanya perlu bertanya?" Ucapnya memastikan dengan hati-hati.

Yuuki mengangguk.

"Kalau..." Takuma menelan ludah. "Kalau kubilang saat ini aku sangat ingin bercinta dengan Yuuki di dalam sini, apa Yuuki mau?"

Yuuki memukul lengannya. "Dasar oom-oom mesum! Memangnya belum puas sama yang tadi?"

Takuma mengedikkan bahu. "Aku ingin tahu apa Yuuki serius atau tidak."

Pemuda mungil itu menghela nafas. Dilepasnya dekapan Takuma dan beringsut menjauh. Takuma hanya sanggup memperhatikan pemuda itu mendekati sebuah batu pembatas yang berukuran lumayan besar di depan mereka. Yuuki mengangkat tubuhnya, menumpukan berat badannya ke batu itu dengan kedua lengan. Pinggulnya diangkat agak tinggi seperti menawarkan dan dia menoleh pada Takuma melewati bahu.

"Oide."

Takuma menelan ludah.

-end-

Wednesday, May 25, 2011

[fanfic] AU Ma-kunxTori - Bathe

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori
Rating: R
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything
Note: yeah~ salahkan spam tumblr tadi pagi *sundul Anne dan queue-nya*



Masahiro tak pernah suka mandi pagi. Pun, sebagai orang Jepang (yang tumbuh besar di luar negeri pula), mandi pagi bukan kebiasaannya. Dulu, ia hanya mandi sebelum tidur (itu pun kalau ingat) dan hanya cuci muka seadanya keesokan paginya. Kecuali kalau ada pemotretan, karena managernya akan ribut sekali kalau dia muncul dengan tampang kucel. Sekarang, terutama sejak memacari seorang dokter muda tampan dan seksi yang kelewat baik hati tapi kadang terlalu suka menempel pada orang lain, Masahiro mengubah kebiasaan itu. Hanya demi melihat Tori tersenyum saat memeluknya di pagi hari dan menyusupkan wajahnya ke lekuk leher Masahiro sembari berujar manja dengan suaranya yang rendah, 

“Ma-kun wanginya enak sekali.”

You are so doomed, kalau mengutip ucapan sahabatnya.

Karena itu sekarang tiap pagi tubuhnya akan secara otomatis bergerak ke kamar mandi. Tentu saja setelah menikmati beberapa waktu bercumbu singkat di tempat tidur dengan sang pacar yang memang sungguh sangat sayang rasanya untuk ditinggal begitu saja. Entahlah apakah Masahiro harus bersyukur atau tidak karena Tori bisa sangat keras kepala menolaknya kalau mereka bangun agak kesiangan atau sedang tidak mood atau sedang ingin saja berlaku kejam pada Masahiro. 

Seperti pagi itu, Masahiro tak menemukan Tori di sampingnya ketika ia terbangun dan karena mereka sedang ada di kamarnya dan bukan di apartemen Tori, Masahiro sama sekali tak tahu apa yang sedang dilakukan dokter itu. Mungkin sudah turun dan sarapan dengan kakak-kakaknya atau mungkin sedang memanfaatkan kolam renang rumahnya atau mungkin sedang minum kopi sendirian di teras belakang. Masahiro tak berminat untuk mencari karena rumahnya terlalu luas untuk ditelusuri dalam keadaan masih sangat mengantuk.

Dengan sedikit sebal dan tak lupa menggerutu, pemuda jangkung itu melangkah dengan malas ke kamar mandi. Sekilas ditatapnya cermin besar yang memenuhi satu dinding area wastafel lalu mulai menyalakan keran untuk cuci muka dan gosok gigi. Dengan cueknya menggaruk dagu dan rahangnya yang ditumbuhi bulu-balu halus dan sempat terpikir kalau ia sedang malas bercukur. Toh sedang tak ada pemotretan dan dia hanya perlu ke kampus untuk mengambil ijasah.

Pemuda itu mengingat-ingat isi pesan Kimito tentang apa saja yang harus ditunjukkan untuk mengambil ijasahnya sambil melepas kaus singlet dan celana piyama-nya, melemparnya begitu saja ke sudut. Kaki panjangnya melangkah gontai ke arah toilet lalu beralih masuk ke bilik kaca. Tangannya otomatis bergerak memutar keran dan detik berikutnya ia mengumpat-umpat karena air yang mengucur dari shower ternyata air dingin. Dengan kesal diputarnya keran yang satunya dan mendesah pelan saat air hangat mulai mengucur membasahi tubuhnya. Masahiro memutar tubuhnya, berdiri diam di bawah pancuran air untuk beberapa lama sambil menutup mata.

Beberapa detik sebelum ia mencelakai dirinya sendiri karena nyaris saja tertidur lagi, Masahiro buru-buru mengusap wajahnya dengan kedua tangan dan saat itu baru tersadar akan sesosok yang berdiri bersandar di pintu bilik kaca itu dengan tangan dilipat di depan dada dan senyum geli terkulum di bibirnya. Masahiro merengut.

“Sejak kapan di situ?”

Tori terkikik geli. “Baru semenit, kok. Ma-kun sedang apa sih?” 

“Mandi. Memangnya tidak lihat?” sahutnya sambil mengalihkan wajah menatap deretan beberapa botol shampoo dan sabun di rak dinding.

“Ih, galak sekali. Tadi salah bangun ya?” Tori masih menggodanya.

Masahiro hanya bergumam tak jelas. Masalahnya bukan karena dia sebal dipergoki Tori dengan berlaku aneh tapi karena Tori yang berdiri di dekatnya dalam keadaan tanpa busana, samar tertutup kabut yang dihasilkan oleh air hangat dari pancuran dan yah, Masahiro belum sempat menyalurkan hasratnya pagi ini. Entah apa yang membuatnya merasa sedikit malu saat Tori melangkah masuk ke dalam bilik kaca itu dan menutup pintunya. Toh ini bukan pertama kalinya mereka mandi bersama.

Tangannya sudah terjulur hendak mengambil salah satu botol shampoo ketika tangan Tori menduluinya. Kepalanya menoleh, memandang tak mengerti dan melihat Tori mengendus pelan isi botol itu dan meletakkannya kembali. Tori mengambil botol yang lain dan menuangkannya ke telapak tangannya lalu menarik bahu Masahiro agar berdiri menghadapnya. Dengan patuh, Masahiro merendahkan kepalanya sedikit, memudahkan Tori untuk mengusapkan shampoo itu di rambutnya. Pijatan lembut jemari Tori di kulit kepalanya membuat pemuda itu menggeram pelan dan beringsut mendekat. Tori tertawa pelan, mengangkat wajahnya untuk menggesekkan ujung hidungnya dengan hidung Masahiro.

Masahiro memutuskan kalau tak ada gunanya dia merajuk tanpa sebab. Diraihnya botol shampoo yang sama dan melakukan hal yang sama pada kekasihnya itu. Suara tawa Tori bergema di dalam bilik yang tak terlalu mungil itu dan Masahiro merasa senang luar biasa. 

“Rambut Tori panjang sekali ya, sekarang.” komentarnya sambil menyisirkan jemarinya melalui helai kecoklatan rambut Tori yang kini penuh busa.

“Tidak panjang sekali, ah.” protes Tori. “Nanti juga akan kupotong kalau sempat.” Tori membela diri sambil meraih botol shower gel.

“Aku kan tidak bilang tidak suka.” celetuk Masahiro lagi, menegakkan tubuhnya agar Tori bisa menyapukan kedua telapaknya yang penuh sabun ke pundak dan dada Masahiro. Pun, dia tak bisa menahan cengiran lebar saat tangan Tori turun ke perut, pinggul, paha dan selangkangannya. Tori pun nyengir jahil dan sengaja mengusap berlama-lama di bawah sana sampai Masahiro menangkap tangannya. Ditariknya pria itu mendekat dan memeluknya erat. “Tori nakal.” bisiknya.

“Pikiranmu saja yang terlalu mesum.” balas Tori sambil meleletkan lidah, meskipun matanya berkilat dan Masahiro mengerti sekali apa maksud pandangannya. Tangannya mengelus punggung Tori, berbagi busa sabun ke sekujur tubuh pria itu sebelum tangannya menyelip ke antara tubuh mereka dan menggenggam dengan hangat tempat di sela paha Tori.

Tori menjilat bibir bawahnya dan mengerang pelan. Masahiro buru-buru menciumnya saat melihat Tori membuka mulut. “Kalau berani-beraninya mengingatkan aku kalau aku harus ada di kampus jam 10, aku akan menggigit Tori. Serius.”

Tori terbahak sampai kepalanya terangkat dan Masahiro langsung memanfaatkan kesempatan dengan menghujani leher dan pundak Tori dengan pagutan-pagutan mesra. Tori menggeram rendah, jemarinya merenggut pelan rambut Masahiro yang sudah terbilas dengan sendirinya karena sejak tadi mereka masih berdiri di bawah pancuran air hangat. Kemudian ditegakkannya wajah pemuda itu untuk menciumnya dengan penuh gairah dan berbisik parau di depan bibirnya.

“Kau punya waktu sepuluh menit.”

Masahiro mengangkat alis karena merasa tertantang. “Dan apakah aku pernah mengecewakanmu, Sensei?”

Tori tersenyum miring dan bergerak untuk bersandar ke dinding sembari menarik Masahiro untuk merapat padanya. Masahiro tak bisa lebih bersemangat lagi saat mereka kembali berciuman dan kedua lengan Tori melingkar di lehernya sementara kedua tungkainya mengait posesif di sekeliling pinggangnya.

Sungguh, tak ada yang lebih memuaskan lagi pagi itu bagi Masahiro selain suara desahan Tori dan jeritan kerasnya saat Masahiro membawanya ke puncak kenikmatan itu.

------

“Diam dong, nanti kalau tersayat bagaimana?” protes Tori sambil memiringkan lengannya, mengarahkan pisau cukur di tangannya sepanjang rahang Masahiro.

Masahiro menggerundel. “Kenapa aku harus sih? Hari ini kan tak ada acara apa-apa.” Dia memindahkan tumpuan tubuhnya ke kaki yang lain dan harus berjengit dicubit Tori karena tak bisa diam.

Masahiro mendengus. “Katanya Tori tak keberatan kalau aku tak bercukur sekalipun.”

“Memang tidak.” sahut Tori cepat sembari mencukur bagian di bawah hidung Masahiro.

“Lalu kenapa?” Masahiro mengangkat alis.

Tori hanya diam dan baru menjawab setelah mengusap wajah Masahiro dengan handuk hangat dan mengangguk puas pada hasilnya. Dielusnya rahang pemuda itu dengan lembut dan dikecupnya dengan sayang. “Karena aku lebih suka melihat Masahiro yang begini. Hmm, wangi sekali deh.”

Dan Masahiro pun tak bisa berkutik.

-end-

Monday, May 23, 2011

[fanfic] AU KenkixMitsuya - On The Couch

Author: Panda & Icha
Pairing: Yamaguchi Kenki x Mitsuya Ryou
Rating: NC-17
Warning: BL, AU, NSFW, OOC
Disclaimer: we do not own anything
Note: Karena pasangan monyet ini selalu menggemaskan. Karena kami iri pada mereka. Karena kami cuma ingin cari alasan buat ichaicha lagi.

ETA: poster made by Nei~






Kenki mengangkat pandangannya dari halaman buku yang sedang dibacanya, melirik ke pemandangan yang lebih menarik di sebelahnya. Masih sambil memandangi wajah Mitsuya yang serius sekali dengan tontonannya, perlahan tangannya terulur meraih helai-helai rambut cokelat tunangannya yang cantik itu. Rambut Mitsuya selalu terasa halus dan lembut, dan Kenki suka sekali menyentuhnya. Mengusapnya pelan, sambil sesekali menyentuh kulit tengkuk Mitsuya yang hangat.

Bahu Mitsuya otomatis berjengit karena sentuhan Kenki di tengkuknya. Hanya sekilas dan Mitsuya bergumam, "Geli~" tapi dia tak melakukan apapun untuk menepis tangan Kenki. Talk show yang sedang ditontonnya itu menarik sekali dan Mitsuya tak ingin ada yang terlewat dari perhatiannya. Bahunya berguncang pelan saat si tamu acara melakukan sesuatu yang lucu dan tangannya meraih kaleng biskuit, mengambil sebuah dan menyodorkan kalengnya pada Kenki tanpa menoleh.

Kenki menggembungkan pipinya tanpa sadar. Ia paham sekali hobi Mitsuya menonton berbagai hal di TV yang ia sendiri tidak mengerti karena biasanya ia hanya menonton pertandingan olahraga saja, tapi kali ini ia tidak ingin diacuhkan Mitsuya. Masih membelai anak-anak rambut di tengkuk Mitsuya, ia menerima kaleng biskuit yang disodorkan Mitsuya untuk meletakkannya di atas meja, kemudian beringsut mendekat. Ditatapnya leher Mitsuya dan bahunya yang terbuka mengundang karena atasan yang dipakai Mitsuya longgar sekali. Salah sendiri pakai baju menggoda begitu, pikir Kenki sambil merunduk dan mulai mengecupi kulit Mitsuya.

Mitsuya terkikik geli dan memutar bola matanya. Biasanya Kenki selalu membiarkannya melakukan apapun tapi ada kalanya tunangannya itu menuntut diperhatikan. Sepertinya kali ini pemuda itu sedang tak ingin ditolak. Mitsuya menoleh sambil mendesah, meletakkan tangannya di sisi wajah Kenki dan menciumnya lembut. Lalu kembali mengarahkan pandangan ke arah televisi.

Tanpa bisa ditahan, Kenki mengeluarkan suara tanda tak setuju saat Mitsuya menjauh ketika Kenki baru akan memperdalam ciumannya. Apa boleh buat, sepertinya ia harus berusaha lebih keras untuk membuat Mitsuya mengalihkan perhatian dari acara TV kurang ajar itu. Beringsut makin merapat, Kenki melingkarkan lengannya di belakang bahu tunangannya, meletakkan telapak tangannya di lekuk bahu Mitsuya. Ia mendekatkan wajahnya, menyelusupkan hidungnya ke antara helai-helai rambut Mitsuya yang lembut, menghirup wangi khasnya, lalu turun menciumi tulang pipi dan telinga Mitsuya. Dengan sengaja membiarkan bibirnya menyentuh telinga Mitsuya sambil berbisik,

"Masih lama selesainya?"

Sentuhan Kenki dan hangat bibir juga nafasnya membuat bulu kuduk Mitsuya meremang. Jantungnya pun mulai berdetak tak keruan. 

Mitsuya menelan ludah. Kenki brengsek. 

"Tahu tidak, sih? Acara ini belum tentu diputar ulang. Sabar sebentar tidak bisa?" Pun begitu, Mitsuya beringsut seraya mengambil kedua tangan Kenki untuk dilingkarkan ke pinggangnya.

"Hmmm?" Kenki mengulum senyum. Dengan kedua lengan melingkari pinggang Mitsuya, ia menyusup ke belakang Mitsuya. Bagian depan tubuhnya melekat ke punggung Mitsuya yang hangat, Kenki meletakkan dagunya di bahu tunangannya. "Aku kan tidak pernah nonton."

Beringsut sekali lagi untuk mencari posisi yang lebih nyaman, Mitsuya pun menyandarkan tubuhnya dengan nyaman ke dada tunangannya. "Makanya, coba nonton dong. Ini seru loh." Mitsuya menunjuk ke arah TV.

"Aku lebih suka keseruan yang lain," Kenki berkilah, menyusupkan tangan kirinya ke dalam atasan Mitsuya, merasakan kehangatan yang akrab. Tangan kanannya memeluk Mitsuya semakin erat. Kadang-kadang ia memang seperti tidak bisa melepaskan Mitsuya sedikitpun.

Tubuhnya merespon secara reflek pada sentuhan tangan Kenki dan itu membuatnya merengut. "Mou!" Mitsuya menoleh, membuka mulut untuk menggigit pipi Kenki dan merengut sebal.

Kenki tergelak, menusuk pipi Mitsuya yang empuk dengan ujung hidungnya kemudian mengecup sudut bibir Mitsuya. Diusapkannya telapak tangannya yang lebar melintasi perut Mitsuya, merasakan tonjolan samar otot-otot di bawahnya. 

"Micchi hangat," bisiknya kemudian mencium bagian belakang telinga Mitsuya, menempelkan bibirnya lama di sana, kemudian memutuskan untuk mengulum cuping telinga Mitsuya yang empuk.

Ada alasannya kenapa Seigaku dikenal sebagai sekolah yang pantang menyerah dan kenapa Mitsuya lulus masuk regular tim tenisnya. Mitsuya tak akan segan-segan memukul jatuh siapapun lawan yang dihadapinya di lapangan tenis. Apapun taruhannya. Tapi masalahnya, dia tidak sedang di tengah lapangan dan Yamaguchi Kenki adalah lawan yang tak pernah bisa dikalahkan. Mitsuya menggeliat pelan dan tanpa sadar sebuah erangan tertahan meluncur dari bibirnya. 

"Mau apa sih?" bisiknya sambil menangkap tangan Kenki yang mulai menjalar kemana-mana di balik kausnya.

Kenki nyengir senang mendengar suara tertahan yang begitu menggoda dari bibir cantik kekasihnya. Diraihnya sebelah tangan Mitsuya, menatap jemari yang lentik tapi kuat dan terlatih karena tiap hari menggenggam raket tenis itu, kemudian mencium buku-buku jari Mitsuya. "Aku lapar," cetusnya.

Mitsuya mendengus. "Tadi katanya sudah makan ramen." Didorongnya pemuda itu sedikit menjauh. "Bilang saja kalau mau dibuatkan sesuatu. Tak usah menggangguku begitu dong."

Kenki menolak untuk melepaskan Mitsuya. Ia justru menjulurkan lidah dan menjilat ujung telunjuk Mitsuya, kemudian mengulumnya pelan. "Aku ingin makan Micchi."

Micchi memajukan wajahnya, menggigit ujung hidung Kenki dengan gemas. "Lima menit?" Mitsuya meringis.

Kenki menatap Mitsuya dan berkedip heran. "Kau bisa selesai dalam 5 menit, Micchi sayang?"

Mitsuya menampar tunangannya dengan sebal. Tidak keras, memang tapi sepertinya cukup membuat Kenki terkejut. "Aku pulang!"

Walau terkejut, Kenki pulih tepat pada waktunya untuk menahan bahu Mitsuya. "Maaf maaf, aku akan jadi anak baik sampai acaranya habis. Ya?"

Mitsuya mendengus, kembali duduk dan melipat dua tangan di depan dada. Didorongnya dada Kenki dengan bahunya dan beringsut menjauh. "Bercanda seperti itu tidak lucu." gerutunya sambil mengeraskan volume TV.

Kenki menghela napas dan kembali mencari bukunya yang terlupakan. Sesaat ia bungkam sambil membalik-balik halaman, mencari tadi telah membaca sampai mana. "Aku tidak pernah bercanda kalau soal Micchi."

Suara Kenki nyaris tak terdengar karena volume TV yang cukup keras tapi telinga Mitsuya masih menangkap apa yang dikatakannya. Apa sih? Seharusnya kan dia yang marah. Mitsuya membatin seraya menggigiti kuku ibu jarinya. 

Dan 5 menit pun berlalu begitu saja. Saat jingle penutup acara berkumandang, Mitsuya mulai menekan-nekan tombol remote dengan frustrasi. Kedua kakinya diangkat dan ditekuk di depan dada dan Mitsuya menyandarkan dagunya di atas lutut.

Kenki melirik sekilas kemudian meletakkan bukunya di meja. "Aku mau buat kopi. Micchi mau apa? Cokelat?" tanyanya sambil beranjak berdiri.

Mitsuya mendongak sesaat lalu menggeleng pelan. "Tak usah." gumamnya.

Walaupun Mitsuya menolak, tetap saja Kenki menyeduhkan secangkir cokelat untuk tunangannya itu. Diletakkannya di meja tepat di hadapan Mitsuya, sementara ia duduk kembali di tempatnya, menyesap kopi dalam diam.

Mata Mitsuya yang besar dan cantik mengerjap memandangan mug ungu di hadapannya. Asap tipis mengepul dari permukaannya dan sungguh menggoda untuk dicicipi tapi Mitsuya sedang tak berselera. Diliriknya tunangannya sekilas dan melihat ekspresinya yang datar. 

Terserah deh, batinnya.

"Sudah selesai acaranya?" tanya Kenki tanpa mengangkat wajah dari halaman yang tengah dibacanya.

Mitsuya bergumam "Sudah dari tadi." Tangannya meraih bantal duduk yang terletak di dekatnya dan melemparnya ke arah Kenki. "Apa sih?" serunya kesal.

"Iteeee~" Kenki mengusap sisi kepalanya yang menjadi sasaran lemparan Mitsuya. Sebelah tangannya yang lain menyelamatkan gelas kopi ke meja. "Katanya aku disuruh jadi anak baik sampai acaranya selesai. Kurang baik apa lagi aku, sampai membuatkan Micchi cokelat," diraihnya mug ungu dari meja kemudian disodorkan lagi ke arah Mitsuya. "Ayo diminum, nanti kalau dingin tidak enak lho."

Mitsuya menatap pada cangkir yang terulur dan pada tunangannya lalu membuang muka. "Tidak mau."

Kenki menggembungkan pipinya. "Buatanku memang tak seenak Micchi, tapi lumayan enak kok," ujarnya sambil mencicipi cokelat hangat itu. 

Mitsuya bersungut-sungut. "Aku kan tadi sudah bilang tidak mau. Kenki saja yang tidak mendengarkan." Dia mengambil bantal yang tadi dilemparnya ke arah Kenki, mendekapnya erat seraya beringsut menjauh ke sudut sofa. Gerakannya membuat kerah kausnya yang lebar sekali tertarik sampai ke bahu tapi Mitsuya tak ambil pusing untuk merapikan.

Menggaruk kepalanya sedikit bingung, Kenki akhirnya beringsut mendekat. Meletakkan dagu di bantal yang dipegangi erat-erat oleh Mitsuya. "Aku minta maaf. Ya? Jangan cemberut lagi dong,"pintanya sambil menatap kedua mata Mitsuya yang bulat besar, mencoba menyentuh pipi Mitsuya.

Mitsuya menggembungkan pipi, meski tak urung balas menatap wajah Kenki yang tepat berada di hadapannya. Meskipun jantungnya mulai berdebar keras, Mitsuya berusaha agar wajahnya tak memerah. Matanya kemudian dialihkan ke samping lalu ke bawah, memandang garis rahang dan dagu tunangannya itu. Sial, dia tampan sekali. Wajahnya kemudian disurukkan ke dalam bantal, tepat di sebelah wajah Kenki.

Mau tak mau Kenki nyengir melihat reaksi Mitsuya. Disibakkannya poni Mitsuya kemudian mengecup lembut dahi Mitsuya. Terus ke pelipis, sembari mengelus pipi mulus Mitsuya dengan buku jarinya. "Micchi suki," bisiknya di telinga Mitsuya.

Mitsuya hanya sanggup menggerundel ke dalam bantal. Bagaimanapun, harga dirinya menahan agar dia tak langsung bereaksi. Meski ingin sekali mendorong Kenki dan menciuminya dengan gemas. "Usotsuki." gerutunya.

Kenki mati-matian menahan senyum. Juga menahan agar tidak langsung memeluk Mitsuya karena tidak ingin ditampar lagi. Ia berbisik lagi di telinga Mitsuya yang tampak merona merah. "Micchi daisuki."

"U.so.tsu.ki" Mitsuya mengeja, dengan pipi masih menggembung tapi kali ini mengangkat kepalanya. "Menyebalkan!" bisiknya seraya menoleh dan menyebabkan ujung hidung mereka bergesekan satu sama lain.

"Uso janai yoooo," Kenki menangkup wajah Mitsuya dengan kedua tangan. Digesekkannya hidungnya dengan hidung Mitsuya, kemudian menyandarkan dahinya ke dahi Mitsuya. "Hontou ni daisuki."

Wajahnya sudah demikian bersemu, Mitsuya sadar itu. Pun begitu, mata Kenki seperti tak membiarkannya menoleh kemanapun. Tangannya bergerak, menyelusup ke antara tubuh mereka dan mulai mencubiti perut Kenki.

Kenki tergelak dan melepaskan wajah Mitsuya. Berusaha menghindar tapi gagal karena tidak ingin menjauh dari tunangannya. "Adududuh, geli!"

Mitsuya masih terus mencubiti tunangannya dengan lebih intens sampai Kenki terdorong rebah dan Mitsuya duduk di atas perutnya. Tanpa ampun menyerang otot dan titik geli Kenki. Digigitnya bagian dalam bibirnya, menahan cengiran karena reaksi Kenki. Sebal karena tak bisa menang, karena tak pernah bisa benar-benar menolak Kenki. Mitsuya akhirnya menghentikan serangannya dan menunduk, merengkuh kepala Kenki. "Menyebalkan sekali."

Kenki tergelak dan berusaha bergerak ke kanan dan kiri namun tidak bisa menghindar karena Mitsuya menduduki perutnya dan menggelitiknya tanpa ampun. Ia sudah nyaris kehabisan napas saat akhirnya Mitsuya berhenti menyerangnya dan merengkuh kepalanya. Rasanya hangat sekali diselimuti aroma Mitsuya seperti itu. Ia menolehkan kepalanya dan mengecup lembut pipi Mitsuya. "Mmmm."

"Kenapa sih," Mitsuya berbisik. "Suka sekali menggodaku begitu?" keluhnya. "Memangnya Kenki tidak malu ya?"

Kenki tersenyum. "Kenapa harus malu? Micchi kan tunanganku," sahut Kenki seraya melingkarkan lengannya ke pinggang Mitsuya.

Mitsuya memukul dada tunangannya, pelan. "Selalu begitu deh alasannya." "Aku tidak kenal orang lain semesum kamu." tukasnya. Mulai merasa nyaman berbaring di atas tubuh tunangannya dan dalam pelukan Kenki.

Kenki mengangkat alisnya yang tebal dan tergelak. "Banyak kok yang lebih mesum dariku. Micchi tidak kenal saja." Dipeluknya Mitsuya lebih erat. "Dan aku juga tidak akan membiarkan Micchi kenal dengan orang seperti itu."

Mitsuya menggembungkan pipinya lagi. "Kenapa? Curang sekali." Disentuhkannya ujung hidungnya dengan bibir Kenki. "Darimana aku tahu kalau memang ada yang lebih mesum darimu?"

"Percaya kata-kataku saja deh," ujar Kenki sambil tersenyum. "Aku tidak mau Micchi dekat-dekat orang seperti itu." Kenki mengusapkan telapak tangannya dari bahu hingga lekuk pinggul Mitsuya. "Karena aku tidak mau Micchi disentuh orang lain."

Mitsuya menggeliat pelan. "Hmm..." Wajahnya diangkat sedikit, menyentuhkan bibirnya dengan bibir Kenki. "Memangnya mereka akan melakukan apa padaku?" Mitsuya mengangkat bahunya.

"Hmmm, mungkin akan menyentuh Micchi di sini," Kenki mencolek bahu Mitsuya, "Atau di sini, mungkin," Kenki kemudian mencolek pinggul Mitsuya "Apa Micchi mau disentuh orang selain aku?"

"Entah." Mitsuya mengangkat bahu lagi. "Aku kan belum pernah pacaran sebelumnya. Dan mungkin aku memang tak ingin disentuh di tempat-tempat itu. Tapi aku sebal kalau Kenki bercanda seperti itu." lanjutnya.

"Iyaaaa, aku kan sudah minta maaf," Kenki mengecup puncak hidung Mitsuya. "Habisnya aku memang suka sekali menyentuh Micchi," kilahnya sambil mengusap punggung Mitsuya lagi. 

Mitsuya mendengus. Meskipun anak seusianya biasanya memang senang membicarakan hal-hal seperti itu, entah kenapa dirinya tak terlalu suka mendengar Kenki mengucapkannya. Tapi lagi, Kenki memang sudah minta maaf dan sekarang memasang tampang seperti anak monyet yang patut dikasihani sampai Mitsuya tak tega sendiri. Siapa sih yang pernah bilang punya pacar itu enak? Merepotkan sekaligus menyebalkan karena tak bisa marah karena merasa sayang. Pemuda cantik itu mendesah dan mengecup pelan bibir Kenki.

Kenki tersenyum gembira dan balas mengecup bibir Mitsuya dengan lebih bersemangat, memagut bibir atas Mitsuya, kemudian menjilati bibir bawah Mitsuya. Dengan lembut mengusap garis rahang Mitsuya dan memiringkan kepalanya, meminta izin untuk memperdalam ciuman mereka. 

Tangan Mitsuya bergerak pelan dari dada, pundak lalu ke leher Kenki. Ujung-ujung jarinya memainkan anak-anak rambut halus di dekat telinga Kenki. Membalas memagut bibir Kenki yang penuh dan saat Kenki menyentuh rahangnya meminta ijin, Mitsuya hanya membuka sedikit bibirnya.

Kenki menikmati sentuhan jemari Mitsuya di ujung-ujung rambut dan kulitnya. Walaupun Mitsuya hanya memberi sedikit jalan baginya, ia tidak memaksa dan sementara cukup puas dengan memasukkan ujung lidahnya ke celah itu, mencicipi sedikit bagian dalam mulut Mitsuya yang hangat dan menarik bibir atas Mitsuya dengan menjepit di antara bibir dan lidahnya. Kedua tangannya membelai punggung dan tengkuk kekasihnya itu, membiarkan aroma Mitsuya menyelimutinya.

Mitsuya mengerang pelan, memiringkan kepalanya sedikit. Bibirnya mengatup saat lidah Kenki menyelusup masuk, dihisapnya lidah kemerahan itu dengan lembut. Aroma kopi bercampur menthol dan wangi segar cologne Kenki menyerbu hidung dan indra perasanya. Mitsuya mengerang pelan dan membuka bibirnya lebih lebar, mengundang Kenki untuk masuk dan menjelajah lebih dalam. Tangannya bergerak memeluk leher tunangannya.

Merasakan Mitsuya membalas sentuhannya, Kenki mendesah dan balas memagut bibir Mitsuya, memasukkan lidahnya dan menjelajah mulut Mitsuya, menyentuhkan ujung lidahnya dengan ujung lidah Mitsuya dan menikmati percikan-percikan hasrat yang timbul dari sentuhan mereka. Kedua tangannya menarik tubuh Mitsuya merapat, membelai lekukan punggung bawah Mitsuya dan terus hingga lekukan pinggul tunangannya. Perlahan,Kenki mencoba menyelipkan pahanya ke antara kedua kaki Mitsuya dan menggesek pelan.

Mitsuya mendesah, mengangkat tubuhnya ke atas agar Kenki lebih leluasa bergerak menyentuh tempat yang disukainya. Tangannya sendiri bergerak ke bawah, menyelusup ke balik kaus yang dikenakan Kenki, menyentuh kulit Kenki yang hangat. Ia mengerang saat sensasi itu mulai datang dan menggelitik tiap syaraf di tubuhnya. Mitsuya menjauhkan bibirnya sesaat, mengusap bibir Kenki dengan jari tangannya yang lain. 

"Kamu tahu aku tak terlalu suka melakukannya di sini kan?" bisiknya sambil mengangkat alisnya yang tertata rapi.

"Tidak suka bukan berarti tidak mau 'kan?" Kenki tersenyum nakal sambil menggigit pelan jemari Mitsuya yang menyentuh bibirnya. "Aku bukannya ingin memaksa, hanya saja... um, aku sudah menahan diri lumayan lama lho," Dikecupnya pipi Mitsuya lembut sembari menggesekkan bagian yang mulai bersemangat di antara kedua tungkainya ke paha Mitsuya.

Mitsuya tertawa pelan, meski harus menggigit bibir agar tak tersenyum terlalu lebar melihat jarinya digigit Kenki. Sekaligus menahan rasa geli yang ditimbulkan gerakan Kenki ke pahanya. "Apanya yang lama?" tanyanya dengan geli. "Acaranya kan habis sepuluh menit yang lalu."

"Micchi kan sudah di sini sejak tiga jam yang lalu," kilah Kenki sambil nyengir dan menyusupkan tangannya ke balik kaus Mitsuya. 

Mitsuya mendengus dan mau tak mau terkikik geli. Matanya yang besar berbinar dan tubuhnya beringsut, melesakkan pinggulnya dengan pinggul Kenki. Di satu sisi dia paham sekali apa yang dimaksud Kenki karena ada saat-saat tertentu ketika Kenki terlihat begitu keren dan tampan sampai Mitsuya harus pura-pura permisi ke dapur atau menghilang ke kamar mandi hanya untuk meredam hasrat. Di sisi lain, dia tak akan mengakui itu. Kenki mungkin tak pernah merasa perlu menutupi perasaannya dan santai saja bercanda mesum tapi Mitsuya tak bisa seterbuka itu.

Matanya yang besar mengerjap pelan, menatap Kenki dengan semu di pipinya. "Kalau... kalau kamu bisa melakukannya tanpa membuat punggungku jadi biru-biru... aku tak akan protes..." bisiknya seraya menggerut pinggang Kenki.

"Mmmm, bisa diatur," sahut Kenki, menangkup wajah Mitsuya dengan satu tangan dan mengecup puncak hidung tunangannya. Sebelah tangannya mengusap perut Mitsuya dan terus naik ke dada, menemukan tonjolan kecil di sana yang ia tahu akan membuat Mitsuya senang.

Dadanya melengkung secara otomatis, mengejar sentuhan tangan Kenki yang membuat kulitnya terasa seperti terbakar menembus lapisan kaus yang dikenakannya. Mitsuya menggigit bagian dalam bibirnya dan merunduk, mencari bibir Kenki.

Kenki menyambut bibir Mitsuya dengan ciuman gemas, menjilati bibir tunangannya dengan bersemangat, mendorong lidahnya masuk dan menikmati kehangatan mulut Mitsuya dari dalam sambil menarik kaus Mitsuya lepas.

Mitsuya membiarkan saja kausnya ditarik lepas meski itu membuat rambutnya jadi sedikit berantakan. Saat ini dia lebih ingin menikmati bibir Kenki. Dipagutnya lagi bibir tunangannya itu begitu kausnya lepas, menggoda Kenki dengan memasukkan lidahnya sekilas lalu menariknya dengan cepat. Jemarinya kembali menyusup ke helai-helai rambut Kenki, memijat pelan kulit kepalanya lalu bergerak turun untuk menggoda daun telinganya.

Kenki menggeram karena sentuhan Mitsuya di telinganya membuatnya semakin tak tahan untuk melahap tunangannya itu. Ditariknya Mitsuya merapat kemudian menghujani leher Mitsuya yang mulus dengan ciuman sementara tangannya yang lain menarik pinggul tunangannya itu makin merapat. Pelan ia mencoba menggerakkan pinggulnya dan dihadiahi getaran nikmat yang langsung menjalari tubuhnya.

Mitsuya menarik nafas tajam saat pinggul mereka bergesekan erat. Rasanya sudah ingin sekali melepas celananya saat itu juga. Dapat dirasakannya tubuh Kenki berdenyut pelan dan hangat, sama seperti dirinya sendiri dan Mitsuya tak bisa tidak tersenyum. Pun sentuhan bibir dan lidah Kenki di lehernya juga membuat bagian intim tubuhnya melonjak senang.

Kenki menarik napas tajam saat dirasakannya tonjolan yang lumayan bersemangat di antara paha Mitsuya. "Aku ingin Micchi," bisiknya parau sembari menarik pinggang celana yang dikenakan Mitsuya ke bawah.

Bukan pertama kalinya kata-kata itu diucapkan persis di dekat telinganya, tapi tiap kali efeknya selalu sama. Mitsuya tak pernah memikirkan apa sebabnya karena tiap kali selalu sibuk dengan wajahnya yang memerah, jantungnya yang berdegup tak karuan, juga tubuhnya yang langsung terasa lebih sensitif ribuan kali. Hanya karena kata-kata itu. Mitsuya menggeliat, membuat tangan Kenki terlepas dari pinggangnya dan menarik lepas kaus yang dikenakan Kenki.

Kenki membiarkan Mitsuya menarik kausnya melewati kepala. Dan begitu ia dapat melihat lagi, pemandangan yang menyapa matanya sungguh indah. Mitsuya Ryou, tanpa sehelaipun benang menutupi sekujur tubuhnya, dengan pipi yang merona. Kulit Mitsuya tampak halus dan bersinar tertimpa cahaya, dengan otot-otot yang membentuk tubuh ramping namun kuat seorang atlit. Kenki tak bisa menahan diri untuk membelai sisi tubuh tunangannya yang selalu tampak luar biasa itu, merasakan kemaluannya sendiri bangkit. Ditariknya Mitsuya mendekat untuk melumat bibir indah itu, dengan sebelah tangan meraba pinggul Mitsuya untuk ditangkupkan di selangkangan pemuda cantik itu.

Matanya terkatup perlahan, bersamaan dengan desisan lirih meluncur dari sela giginya yang menggigit bibir. Pinggulnya otomatis bergerak, meminta lebih dari sentuhan tangan Kenki yang besar dan hangat. Satu tangannya diletakkan di perut Kenki, meraba pelan. Hanya ingin menyentuh Kenki karena Mitsuya tak berani membuka mata. Dia tahu pemandangan seperti apa yang akan menyambutnya dan Mitsuya tak ingin selesai begitu saja hanya karena ditatap Kenki. Perlahan, ditepisnya tangan Kenki dari selangkangannya dan Mitsuya bergerak mundur, merendahkan tubuhnya sambil tangannya menarik lepas celana yang dikenakan Kenki. Mitsuya menarik nafas, menatap Kenki sekilas sebelum melingkarkan jemarinya di sekeliling bagian intim Kenki. Wajahnya bersemu makin merah saat Mitsuya menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga dan mengecup ujung kemaluan kekasihnya itu.

Kenki harus mengigit lidahnya agar tak bersuara saat bibir Mitsuya yang lembut dan hangat menyentuh kulitnya yang serasa terbakar. Ditambah tatapan Mitsuya dari balik kelopak yang setengah menutup dihiasi barisan bulu mata yang panjang, Kenki merasa bahwa ini salah satu pemandangan terindah di dunia. Namun ia mengangkat tubuh dan meraih sisi wajah Mitsuya sambil menggeleng pelan. "Aku ingin hari ini pertama kali selesai di dalam Micchi."

Saat ini wajahnya pasti sudah merah sekali seperti kepiting rebus. Ia pun tak bisa menahan untuk tidak mengerang pelan. Namun Mitsuya tak langsung bergerak memenuhi keinginan Kenki melainkan mengulum kemaluan Kenki sekali lagi sampai Kenki menggerung. Dikecupinya tiap inci kulit tunangannya mulai dari pangkal kemaluan, naik ke atas sampai ditemukannya bibir Kenki. Dikecupnya sepasang bibir yang selalu tersenyum manis padanya, bibir yang selalu menyebut namanya dengan lembut dan penuh cinta. Mitsuya memberanikan diri menatap mata Kenki dan seperti yang sudah diduganya, kepalanya langsung terasa pening.

Gemas menatap kulit di atas tulang pipi Mitsuya yang memerah dan bibirnya yang basah, Kenki melumat bibir Mitsuya lagi. Diciuminya leher Mitsuya sementara sebelah tangannya terulur menyentuh kemaluan Mitsuya yang tampak mulai memerah. Mitsuya terasa hangat dan tegang dalam genggamannya saat Kenki mulai menggerakkan tangannya dengan pelan sambil tetap mencium Mitsuya, menelan semua yang mungkin dikeluarkan Mitsuya. Setelah melepaskan ciumannya, Kenki menatap ke dalam sepasang mata cantik tunangannya sambil meletakkan dua jarinya ke bibir Mitsuya.

Bercumbu dengan Kenki selalu terasa mudah. Meskipun tak pernah ada orang lain sebelumnya dan sejujurnya Mitsuya tak berniat untuk mencari pembanding. Meskipun ia tahu ia sering membuat Kenki gemas karena suka sekali menahan diri tapi ada kalanya Mitsuya membiarkan dirinya hanyut begitu saja. Seperti sekarang. Dibalasnya ciuman Kenki seraya mengerang ke dalam mulut tunangannya karena sungguh, sentuhan Kenki terasa begitu nikmat. Pun, Mitsuya membuka mulutnya dengan sukarela saat Kenki meletakkan dua jari di depan bibirnya. 

Sambil menggerakkan dua jemarinya masuk dan keluar mulut Mitsuya--membiarkan jemarinya dibasahi, Kenki terus menggerakkan genggamannya. Gerakannya pelan, menekan titik-titik yang ia tahu disukai Mitsuya dalam perjalanan genggamannya dari pangkal hingga ujung kemaluan Mitsuya, sesekali bergerak lebih cepat dan menyapu bagian ujung dengan ibu jari. Ia menyukai memanjakan Mitsuya seperti ini, menikmati memandang sosok Mitsuya yang sedang merasakan kenikmatan di seluruh lekuk tubuhnya.

Mitsuya menutup matanya lagi, membiarkan sensasi familiar itu merayap ke tiap sudut tubuh dan sendinya, menyelusup ke tiap sudut. Nafasnya mulai memburu dan erangannya terdengar begitu erotis di telinganya sendiri karena sambil mengulum dua jari Kenki. Mitsuya tak tahu kalau dia bisa merasa malu dan jadi bergairah pada saat yang bersamaan.

"Kenki..." Mitsuya tersengal, menatap Kenki dengan tatapan setengah memohon.

Kenki memutar pergelangan tangannya, membuat Mitsuya mengeluarkan suara tertahan. Bibirnya melengkung membentuk senyum. "Hmmm?"

Mitsuya menggeleng pelan lalu menarik nafas tajam dan tersengal. Diliriknya tangan Kenki yang basah oleh air liurnya dan dibawanya tangan itu ke bawah.

"Di sini?" Kenki bertanya sambil menggigit bibir menahan senyum seraya menyentuhkan ujung jarinya yang basah ke jalan masuk tubuh Mitsuya. Hanya menyentuh saja, bergerak berputar dengan pelan. "Micchi menginginkan aku di sini?" 

Mitsuya menggigit bibir Kenki. "Aku tak akan membiarkanmu masuk tanpa persiapan, tahu. Aku tak sefleksibel itu." gerutunya sambil merengut. "Kecuali Kenki memang sengaja ingin begitu." Matanya memicing curiga.

Kenki menggantikan ujung jarinya dengan ujung kemaluan, membiarkannya berdenyut hangat di celah bokong Mitsuya, dan tersenyum lagi. "Kurasa Micchi cukup fleksibel, apalagi dengan latihan dan pemanasan di klub," godanya.

"Mnh.." Mitsuya melenguh pelan, merasakan ujung tumpul yang terasa besar dan agak basah berdenyut hangat menekan lembut jalan masuk tubuhnya. Tapi meskipun Mitsuya sangat tergoda untuk menurunkan pinggulnya, saat ini dia ingin sekali menyakiti Kenki karena menggodanya terus-terusan. Karena itu ia menunduk dan menggigit bahu Kenki keras-keras.

Mengaduh sambil tertawa, Kenki beringsut dan mengecup sayang pipi Mitsuya. Tanpa permisi ditekannya jari tengahnya memasuki tubuh Mitsuya. "Tidak usah diberi tanda seperti itu juga semua orang tahu kalau aku milik Micchi kok," bisiknya di telinga Mitsuya, menekuk jari tengahnya. 

Mitsuya menggigit bibir agak tak mengerang meski tubuhnya reflek mencengkeram dan kedua tangannya melakukan hal yang sama pada bahu Kenki. "Kalau terus menggodaku begitu, aku akan benar-benar memukulmu." desisnya. "Aku serius." tambahnya begitu melihat cengiran di bibir tunangannya.

Kenki menahan senyum dan berusaha memasang tampang inosen walaupun kemaluannya sendiri sudah terasa nyeri. Jari telunjuknya menyusul jari tengah mencicipi bagian dalam tubuh Mitsuya yang hangat dan mencengkeram erat. Perlahan ia menggerakkan kedua jarinya, sesekali melebar, berputar dan menekuk, mempersiapkan tubuh Mitsuya sambil mencari titik yang mampu membuat tunangannya itu menjerit. "Aku juga selalu serius soal Micchi," sahut Kenki, menarik wajah Mitsuya mendekat untuk melahap bibir dan mulutnya.

Gerakan jemari Kenki di dalam tubuhnya membuatnya tak bisa mempertahankan ekspresi seriusnya. Kepalanya tertunduk, masih menggigit bibir. Dirasakannya tubuhnya kembali mencengkeram pelan, menggandakan sensasi gesekan kulit Kenki di dinding jalan masuk tubuhnya. Tiap gerakan Kenki membuat nafasnya tercekat dan Mitsuya tersengal saat ujung jari Kenki menggesek titik sensualnya. "Ahn..."

Kenki menekankan jarinya lebih keras, berkali-kali ke tempat yang membuat Mitsuya mengeluarkan suara-suara yang membuat kemaluannya sendiri makin mengeras dan nyeri. Menggigit bibirnya sendiri, Kenki menarik jemarinya keluar dan memposisikan ujung kemaluannya yang mulai basah di pintu masuk tubuh Mitsuya. Ia tersengal dan suaranya parau saat bertanya di telinga Mitsuya, bibirnya menyapu lekuk telinga tunangannya itu. 

"Ii?" pintanya lalu mengecup kulit hangat di belakang telinga Mitsuya. "Micchi ga hoshii."

Wajah Kenki yang tengah berkonsentrasi penuh mengendalikan emosi agar tak langsung melahap dirinya saat itu juga, selalu terlihat tampan dan seksi di mata Mitsuya. Garis rahangnya yang persegi mengeras dan Mitsuya mengecupnya lembut sebelum mengangguk. Pinggulnya diangkat sedikit, memberi akses lebih pada Kenki untuk menekan masuk. Mitsuya mendesah panjang, pinggulnya ikut menekan ke bawah menyambut Kenki ke dalam tubuhnya. "Mmmmmmmngh...."

Napas Kenki tercekat saat ujung kemaluannya yang sensitif masuk ke lingkaran pertama tubuh Mitsuya. Ia harus memejamkan mata, membenamkan wajah ke bahu Mitsuya dan helai-helai lembut rambut cokelat itu sambil mengatur napas sebelum meneruskan menekan masuk perlahan. Tubuh Mitsuya selalu menyambutnya dengan erat, hangat dan akrab, dan ekspresi Mitsuya, gerakan pinggulnya menyambut gerakan Kenki, desahan kecil yang meluncur dari bibirnya, semuanya selalu memukau Kenki. Diraihnya pinggul Mitsuya lalu menekan masuk dalam satu gerakan panjang.

Mitsuya mencengkeram lengan Kenki dengan keras. Ia mengerang panjang dan lirih. Kepalanya terlempar ke belakang dan tersengal hebat. Rasanya seperti dirobek ke segala arah tapi sekaligus nikmat luar biasa. Tubuhnya mencengkeram dengan lembut, dengan cepat menyesuaikan dengan ukuran tubuh Kenki. 

Saat yang paling disukai Mitsuya adalah saat Kenki sudah terbenam sempurna di dalam tubuhnya. Besar dan hangat. Saat itu ia selalu merasa kalau mereka benar-benar milik satu sama lain dan di sinilah ia seharusnya berada. Mitsuya mengelus pundak tunangannya dan mencium Kenki dengan bergairah.

Membalas ciuman Mitsuya dengan sama bergairahnya, Kenki tidak bergerak untuk beberapa saat, menikmati dilingkupi oleh kehangatan Mitsuya yang berdenyut lembut. Seluruh tubuh Mitsuya menyambutnya, dan walaupun Mitsuya tidak mengatakannya, Kenki mengerti bahwa ada rasa sayang dalam ciuman tunangannya. Dibelainya tubuh Mitsuya, dari bahu lalu ke punggung dan akhirnya ke pinggul, sebelum mulai menggerakkan pinggul. Rasanya selalu luar biasa dan Kenki menggeram rendah dari dalam tenggorokannya ke sela bibir Mitsuya. "Micchi no naka ni... saikou..."

Tubuhnya bergerak bersama Kenki, sedikit tak beraturan pada awalnya tapi dengan cepat menyesuaikan irama mereka. Mitsuya menggapai kedua tangan Kenki, mengaitkan jari-jarinya dengan jemari Kenki di pinggulnya. Ia tak bisa berpikir atau berbuat apapun karena segalanya terasa begitu nikmat dan familiar. Sedekat dan seintim ini dengan Kenki, Mitsuya hanya ingin mereguk semuanya sebanyak yang ia bisa. Geraman rendah Kenki membuatnya makin bergairah dan bersemangat. Ia membalas dengan mencengkeram sedikit lebih erat dan balas mengerang ke dalam mulut Kenki. "Mmnh... motto... Oku made... anh..."

Kenki menggeram lagi demi mendengar permintaan Mitsuya. Lengannya dilingkarkan ke tubuh Mitsuya kemudian dengan lembut membalikkan posisi mereka hingga ia berada di atas Mitsuya, menahan beban dengan kedua siku sambil melahap bibir Mitsuya dengan rakus. Tanpa meminta izin ia kembali menggerakkan pinggulnya. Menarik diri ke belakang hingga nyaris keluar seluruhnya, kemudian menekan masuk dengan cepat dan kuat, membangun ritme yang berganti-ganti kadang cepat kadang lambat, sambil menciumi Mitsuya dan membisikkan nama tunangannya penuh sayang.

Mitsuya tersengal dan mengerang ke dalam bibir Kenki, membalas ciuman tunangannya dengan sama bergairahnya. Kedua lengannya terangkat mengelus sisi wajah dan rahang Kenki kemudian turun untuk memeluk leher tunangannya itu. Tubuhnya berguncang karena gerakan mereka dan Mitsuya berusaha setengah mati untuk mempertahankan irama gerakannya karena demi Tuhan rasanya nikmat sekali. Kenki di dalam tubuhnya, Kenki yang menciumnya tanpa henti, Kenki yang menghujaninya dengan cinta.

Membenamkan wajah ke lekuk bahu Mitsuya, Kenki tersengal dan berganti bergerak pelan, karena cengkeraman Mitsuya yang hangat terasa sangat nikmat sampai ia nyaris tak tahan. Sambil mengumpulkan kendali dirinya lagi, ia mengangkat wajah menatap Mitsuya, dan hampir selesai begitu saja. Ekspresi di wajah Mitsuya saat menatapnya, tubuh indah Mitsuya yang berlapis keringat dan menggeliat terguncang di bawah tubuhnya, lengan Mitsuya yang berpegangan erat padanya, semua begitu indah dan menggairahkan. 

"Micchi," sengalnya sambil menekan masuk dengan tajam dan kuat, membuat tubuh Mitsuya terdorong ke atas dan geletar-geletar nikmat menyapa seluruh tubuhnya.

"Aangh!" Mitsuya menjerit. Tekanan Kenki tepat mengenai titik sensitifnya dengan keras. Mitsuya menelan ludah dengan susah payah. Disentuhnya pinggul Kenki yang kini bergerak lebih pelan namun menekan tajam dan membuatnya mengerang makin keras. Dengan susah payah, Mitsuya mengangkat tubuhnya sekaligus memaksa Kenki untuk duduk tegak. Mitsuya memposisikan dirinya dengan nyaman di pangkuan Kenki, mengerang karena perbuatannya sendiri. Kedua lengannya dilingkarkan memeluk kepala tunangannya, mengusap rambut Kenki yang lembab karena keringat dan tersenyum manis. Dikecupnya kening Kenki dengan sayang dan mulai menggerakkan pinggulnya lagi.

Hanya tekad (dan pengalaman bercinta di berbagai tempat) saja yang membuat Kenki bisa menahan Mitsuya agar tidak terjatuh dari sofa. Tapi Kenki tak keberatan, sebab imbalannya adalah Mitsuya yang duduk nyaman di pangkuannya, menatapnya dengan manis, masih terhubung dengannya pada daerah yang paling intim. Ia menggeram saat Mitsuya mulai bergerak, membawa dirinya makin jauh dan dalam. Sebelah tangannya terulur ke pinggul Mitsuya, sementara sebelahnya lagi berpegangan ke sandaran sofa agar bisa menjaga keseimbangan sembari memberikan tekanan-tekanan tajam dalam arah yang tepat ke tubuh Mitsuya. Tak urung cengkeraman tubuh Mitsuya membuatnya memejamkan mata dan menggigit kulit tepat di bawah sudut rahang tunangannya yang cantik.

"Micchi...suki."

Mitsuya memeluk Kenki erat-erat, entah supaya ia tak jatuh atau hanya karena ingin memeluk Kenki. Mungkin keduanya. Hentakan-hentakan pendek dan tajam berganti dengan sentakan panjang dan dalam membuat tubuhnya kembali terguncang berirama. Satu tangannya bergerak turun, membelai leher Kenki lalu turun ke pundak dan dadanya. Ujung jemarinya menemukan tonjolan mungil di dada tunangannya, puas saat mendengar Kenki menggeram karenanya. Bisikan Kenki di dekat telinganya membuatnya tak tahan lagi. Mitsuya mulai terisak dan mengeratkan tubuhnya dengan lebih kuat.

Kenki tersengal, menciumi wajah Mitsuya karena sungguh rasanya nyaris tak kuasa menahan lagi. Tangannya menyelusup ke antara tubuh mereka, menemukan kemaluan Mitsuya yang terasa luar biasa tegang dan panas. Digenggamnya dengan sebelah tangan dan mulai menarik sesuai irama tekanannya memasuki tubuh Mitsuya yang kini menggenggamnya begitu erat. "Ikitai?" tanyanya parau. 

"Angh!" Mitsuya nyaris menjerit karena rasa nyeri yang nikmat itu makin berlipat ganda karena sentuhan Kenki di selangkangannya. Rasanya ia sudah siap untuk meledak saat itu juga. Tapi sesuatu dalam cara Kenki memandangnya menahan dirinya untuk mengangguk. "Mngh... Tidak... aaanh... aku ingin.. ah! Kenki selesai lebih dulu... di dalam... Oh!"

"Begitu?" bisik Kenki seraya menyapukan ibu jarinya ke celah di ujung kemaluan Mitsuya. Ia tahu klimaksnya sudah dekat dan permintaan Mitsuya membuatnya teringat perasaan menumpahkan segalanya ke dalam tubuh Mitsuya yang selalu terasa mengagumkan. Kenki menekan masuk lagi, dengan sengaja mengincar titik yang selalu membuat Mitsuya lepas kendali. "Kalau Micchi ingin begitu, ngh," Kenki tersengal, "Buat aku melakukannya."

Mitsuya harus menggigit bibirnya keras-keras dan mengumpulkan sisa-sisa kendali dirinya. Keningnya berkerut hebat dan Mitsuya memperlambat gerakan pinggulnya. Matanya mengerjap cepat. Nyaris sekali. Pemuda cantik itu menarik nafas dengan susah payah, menjilat bibirnya yang kemerahan dan menangkupkan kedua tangannya di rahang Kenki. Ditatapnya kedua bola mata gelap milik tunangannya itu. Sedikit tak fokus karena tertutup kabut gairah tapi Mitsuya terus mencari-cari sampai akhirnya ditemukannya sebuah celah dan ia memandang dalam-dalam sambil tersenyum penuh cinta. Memeluk erat tunangannya, sekaligus mengeratkan cengkeramannya di bawah sana sekeras yang ia bisa, Mitsuya berbisik. 

"Aishiteru. Kenki no subete." Tepat di sebelah telinga Kenki dan mengecup pemuda itu dengan penuh perasaan.
Kenki memaksa matanya tetap terbuka karena dalam saat-saat seperti ini tunangannya sungguh tampak cantik sekali. Bahagia luar biasa rasanya saat ditatap dan diberikan senyum penuh cinta seperti itu oleh orang yang paling disayanginya di seluruh dunia. Ia rela menemani Mitsuya menonton acara apapun walau tidak mengerti, menyertai Mitsuya belanja walaupun tak ada habisnya, dimarahi dan dicubiti tiap hari pun Kenki rela. Asal Mitsuya tetap di sisinya dan menatapnya seperti ini, Kenki merasa sanggup melakukan apapun. Tapi bisikan Mitsuya dan kecupan sayangnya sungguh merampas sisa-sisa kendali dirinya yang tinggal secuil. Dibalasnya ciuman Mitsuya dengan penuh rasa cinta sebelum akhirnya membenamkan wajah ke bahu Mitsuya, tersengal dan membiarkan gelombang kenikmatan yang sejak tadi terbangun di dalam dirinya meluap, menumpahkan segala yang dirasakannya ke dalam tubuh tunangannya bersama satu kata yang dibisikkannya, nama Mitsuya.

Tak ada yang bisa membuat Mitsuya merasa lebih puas dibanding saat merasakan tubuh Kenki bertaut, mendekapnya dengan lebih erat dan membisikkan namanya bersamaan dengan sesuatu yang hangat dilepaskan ke dalam tubuh Mitsuya. Caranya melepaskan diri begitu saja dalam kenikmatan dalam pelukan Mitsuya sungguh membuat Mitsuya makin jatuh hati pada pemuda itu. Tapi saat ini Mitsuya tak terlalu memikirkan itu. Ia butuh pelepasannya sendiri saat ini juga karena segalanya sudah sangat tak tertahankan. Diselipkannya tangannya ke antara tubuh mereka, menangkup di atas tangan Kenki yang masih menggenggam kemaluan Mitsuya dan mulai menarik dengan cepat. Pinggul Kenki yang masih menyentak pelan dan beberapa tarikan kuat membuat Mitsuya melempar kepalanya ke belakang dan menyerah pada kenikmatan itu. "Kenki~" 

Kenki memeluk Mitsuya erat-erat sambil menunggu sentakan-sentakan tubuhnya terpuaskan, sambil nyaris tanpa berpikir menggenggam dan menarik kemaluan Mitsuya. Membiarkan cairan hangat dari ujung kemaluan Mitsuya membasahi genggamannya sementara menunggu tubuhnya selesai melepaskan ke dalam tubuh Mitsuya. Aroma khas seks bercampur keringat dan Mitsuya membuatnya merasa tenang dan sedikit mengantuk. Kenki tersenyum dan mengecup sisi wajah Mitsuya. "Micchi saikou."

Mitsuya kembali memeluk Kenki, lebih lembut dan lebih hangat. Menunggu beberapa saat sampai klimaksnya berlalu lalu tertawa kecil. "Hmm... Kenki mo."

"Ureshii," Kenki menghirup aroma Mitsuya dalam-dalam sambil perlahan beringsut membawa Mitsuya berbaring di sofa. Tanpa benar-benar menarik keluar, ia merengkuh Mitsuya ke dalam pelukan hangat dan mengaitkan kaki mereka, mencium kelopak mata tunangannya dengan sayang.

Mitsuya mengelus punggung Kenki yang lembab. Bibirnya mengecupi garis rahang dan dagu tunangannya itu. "Tak mau pindah ke dalam?" bisiknya pelan. Dalam hati ia senang karena Kenki tak langsung menarik dirinya keluar sebab ia masih ingin merasakan Kenki di dalam tubuhnya sebentar lagi saja.

"Mmmm, nanti saja," sahut Kenki, menggigit lembut ujung hidung Mitsuya sembari mengelus rambut halus tunangannya. Ia sudah terlalu nyaman bergelung bersama Mitsuya di sana, tempat yang sempit berarti ia bisa menempel pada Mitsuya lebih lekat. 

"Hmmm..." Mitsuya tak benar-benar menyahut, membenamkan wajahnya ke lekuk leher Kenki dan mendesah pelan. "Kenki hangat~" bisiknya manja.

Kenki mengecup puncak kepala Mitsuya. Ia makin merasa mengantuk. "Bau Micchi enak."

Mitsuya tertawa pelan. "Kenki aneh deh. Bau keringat begini kok." sahutnya setengah merajuk. Perlahan Mitsuya memejamkan matanya. Bukan karena mengantuk, hanya merasa luar biasa nyaman dan hangat. Berharap dalam hati kalau mereka bisa seperti ini seharian. Atau mungkin sampai besok.

"Harum kok," kilah Kenki dengan mata terpejam dan wajah setengah terbenam dalam rambut cokelat Mitsuya. Ia selalu merasa nyaman setiap sedang memeluk tunangannya yang cantik, dan hanya dalam beberapa tarikan napaspun ia terlelap.



Saturday, May 21, 2011

[fanfic] AU Ma-kunxTori - untitled

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori
Rating: R
Warning: BL, AU, OOC, boys in bed
Disclaimer: respective agency offices. I do not own anything or anyone.
Note: ........hanya ingin guling2 saja *grix grix* can I write some TomxHide, please?




Tori mendesah, berbaring tengkurap dan memeluk bantal di bawah kepalanya. "Mmnh... Tempat tidur ini tidak bisa dibawa saja kalau kita punya rumah nanti ya?" Gumamnya sembari terus mengeluarkan suara-suara lain yang terdengar seperti erangan nikmat.

Melihat tunangannya seperti itu, Masahiro tertawa geli. "Ya, bisa saja. Tapi ini tempat tidur lama loh. Tori tak mau beli yang baru saja?" Tanyanya mengangkat alis.

Tori membenamkan kepalanya ke dalam bantal dan menggeleng. "Tempat tidur ini nyaman dan empuk sekaliiiii~"

Masahiro beringsut mendekat, mengecup bahu Tori dan mengusap punggungnya yang telanjang. "Iya ya. Tori jarang mengeluh sakit punggung tiap kali kita bercinta di tempat tidur ini ya."

Tori mengerutkan kening lalu terbahak walaupun semburat merah mulai menjalari leher dan telinganya. Pun, dia mengangguk. "Hmm...benar. Dan lebih kokoh dari tempat tidurku."

"Heee..." Masahiro menindih tubuh dokter muda itu dan memeluk pinggangnya. Hangat tubuh Tori masih terasa begitu familiar dan Masahiro tersenyum lebar saat Tori bereaksi, melengkungkan tubuhnya dengan Masahiro. Tubuh mereka masih agak lembab bekas permainan cinta mereka tak sampai setengah jam yang lalu.

"Aku tak keberatan membelikan Tori tempat tidur yang baru lagi." Bisiknya, mengelus otot perut Tori yang makin kencang.

Tori mendengus. Perlahan memutar tubuhnya dan melingkarkan kedua lengan di bahu pemuda itu. "Aku yang keberatan." Balasnya. "Aku tak akan membiarkanmu membuat pengeluaran tak perlu sampai pernikahan kita selesai nanti." Bibirnya mengerut.

Masahiro menciumnya sekilas. "Hmm.. Tempat tidur Tori bisa bertahan sampai tiga bulan lagi?"

Tori mengedikkan bahu. Matanya mengerling jahil. "Kurasa bisa kalau Ma-kun membiarkan aku yang di atas."

Pemuda itu meleletkan lidah. "Maaf saja. Aku lebih suka ada di atas Tori seperti ini."

Satu alis Tori terangkat. "Apa perlu kuingatkan seberapa keras Ma-kun menjerit kalau aku yang di atas? Berisik sekali loh~" godanya.

"Hmph. Aku tak terima dikatai begitu olehmu, Sensei. Tori lebih berisik dibanding aku." Masahiro mencibir seraya menekan satu titik di pinggang Tori yang membuat dokter tampan itu berjengit geli.

"Mou~" Tori pura-pura merengut. "Kan bukan salahku aku berisik."

Saat itu, pintu kamar besar itu diketuk. Tori mengerutkan kening. Memang sih, masih belum terlalu malam. Kerutan di keningnya bertambah saat pintu diketuk lagi dan Masahiro menyahut dengan sebal.

"Ya?"

"Kazuki-sama meminta saya mengantar makan malam untuk Bocchama dan Matsuzaka-sensei." Samar terdengar suara pelayan perempuan dari balik pintu.

Masahiro menggerundel. "Apa-apaan sih?" Namun pemuda itu bangkit juga. Menyambar mantel kamarnya dan memakainya asal saja. Tori buru-buru menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan berbalik memunggungi pintu. Didengarnya suara pintu dibuka dan Masahiro marah-marah pada si pelayan.

"Kazuki-sama tidak ingin maag Bocchama kambuh. Terutama karena tadi Bocchama dan Matsuzaka-sensei tidak ikut makan malam." Jelas si pelayan dengan nada takut-takut.

Tak tega, Tori akhirnya berbalik dan mengangkat tubuhnya untuk duduk, memastikan bagian tubuhnya yang pribadi tetap tertutup selimut. Dia tersenyum manis pada si pelayan yang akhirnya sadar kalau dia mengganggu waktu intim kedua orang itu.

"Tak apa-apa. Bawa masuk saja." Ujarnya dengan kasihan karena si pelayan benar-benar tampak salah tingkah.

Masahiro mendengus dan melangkah ke samping untuk memberi jalan pada si pelayan yang mendorong masuk troli berisi beberapa piring dan seteko kopi dan air mineral. Gadis itu langsung buru-buru minta diri dan menutup pintu. Masahiro mengunci kamarnya rapat-rapat, masih menggerutu. Diliriknya sajian di atas troli itu dan kembali mendengus.

"Tori mau makan?" Ia kemudian bertanya pada tunangannya dengan tatapan ragu.

Tori menggeleng. "Tapi aku akan menemani Ma-kun makan. Tadi hanya makan crepe kan?"

Masahiro meringis dan raut mukanya berubah manja. "Suapi aku ya?"

Tori mendesah. "Dasar manja. Bawa sini."

Masahiro nyengir lebar dan mendorong troli itu ke dekat tempat tidur. Pemuda jangkung itu melompat naik dan menghempaskan tubuhnya di samping Tori sampai kasurnya melesak. Tori memukul lengannya dan mengintip makanan di atas troli. Diambilnya sepiring besar ravioli isi daging dan sayuran. Tori tertawa karena wajah Masahiro begitu lucu saat membuka mulutnya, menunggu Tori menyuapinya potongan besar pasta.

Masahiro menggigit potongan ravioli yang disodorkan Tori dan dokter itu memakan sisanya. Pemuda itu mengangguk-angguk sambil mengunyah, menyetujui rasa masakan italia itu. Koki keluarganya memang handal.

"Enak?" Tori bertanya, menusuk potongan lain dengan garpu.

"Un. Kapan-kapan Tori buat ini ya?" Ujarnya sambil membuka mulut lagi.

Tori meringis. "Tapi tak janji rasanya akan seenak ini loh. Aku lebih bisa buat masakan rumahan."

"Apapun yang Tori buat enak kok." Komentar Masahiro sambil mengelap mulutnya dengan punggung tangan. Tori mengangkat alis dan menyodorkan serbet pada pemuda itu.

"Kau bilang begitu hanya supaya aku tetap mau tidur denganmu." Tori mencibir sambil mencubit hidung pemuda itu setelah Masahiro menghabiskan semua ravioli di piring itu.

"Hei!" Tukas Masahiro, merengut sebal. Tori tertawa, mengecup pipi pemuda itu sambil menyodorkan segelas air mineral padanya.

"Bercanda, ah. Aku kan tidak bilang aku keberatan." Godanya, menggigit pelan pipi Masahiro yang menggembung dengan gemas.

Pemua jangkung itu masih menggembungkan pipinya sambil minum dan meletakkan gelasnya ke atas troli. "Tori suka mengataiku tak pernah serius, tapi kalau begini, aku jadi berpikir kalau mungkin sebenarnya Tori yang tidak serius denganku."

Tori mengerjap. Bingung. "Hei, hei. Aku kan bercanda. Kok serius sekali sih?" Dokter itu beringsut mendekat pada tunangannya dan memeluk pundaknya. "Kenapa sih, Ma-kun?"

Masahiro langsung memeluk pinggang dokter itu dengan posesif. "Pokoknya, aku tak akan melepaskan Tori. Peduli setan Tori mau bilang apa!"

Tori tertawa bingung, "Aku sama sekali tak mengerti apa yang ada di kepalamu saat ini." Jemarinya menyusup ke sela helain rambut Masahiro dan mengelus lembut. "Tapi kupikir Masahiro seharusnya sudah tahu kalau untuk hal-hal seperti ini aku selalu serius. Bahkan terlalu serius. Aku butuh waktu sangat lama untuk pulih dari sakit hatiku yang dulu. Ma-kun masih ingat?"

Masahiro mengangguk. Meski sebal karena teringat itu sebabnya dia harus menunggu begitu lama sebelum benar-benar yakin kalau Tori punya perasaan yang sama dengannya dan memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya. Lebih menyebalkan lagi karena sampai hari ini dia tak benar-benar tahu apa yang terjadi sebenarnya dan Tori mengunci mulutnya rapat-rapat.

Tori tersenyum lembut. "Aku tak pernah ragu atau tak serius. Sedetik pun. Aku sudah pernah bilang ini. Terserah Masahiro apakah mau percaya atau tidak."

Masahiro menggerutu dan mengeratkan pelukannya. "Aku sayang Tori. Sayang sekali."

Tori mengecup kening Masahiro. "Aku juga sayang Masahiro." Dikecupnya sekali lagi pemuda itu dan mendorongnya lembut sampai pemuda itu rebah di atas kasur. Rengutan di bibir Masahiro perlahan memudar, tergantikan cengiran jahil, terutama saat Tori menarik lepas simpul penahan mantel kamarnya.

"Mau apa, sensei?" Tanyanya dengan cengiran makin lebar, pun tangannya mengelus pinggul Tori dengan menggoda.

"Hmm? Hanya mau bercinta lagi dengan tunanganku. Ada masalah, Inoue-kun?" Tori merendahkan pinggulnya dan mendesah pelan.

Masahiro menggigit bibir. "Tidak." Digerakkannya pinggulnya sekilas dan senyumnya mengembang saat Tori mengerang lirih. "Sama sekali tidak."

-end-

Tuesday, May 17, 2011

[fanfic] AU - Ma-kunxTori -Wedding Checklist : Bridal

Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger/Prince of Tennis Musical
Cast: Matsuzaka Tori, Inoue Masahiro, Nagayama Takashi, Tsuchiya Yuuichi
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: Top Coat, Box Corp, Geiei, respective ageny offices. I do not own anything or anyone.
Note: Ini gak penting banget deh XDDD dan maafkan aku, Nei karena seenaknya masuk-masukin karakter




Toko itu begitu ajaib. Setidaknya, itulah yang dipikirkan Tori begitu dirinya dan Masahiro melangkah masuk ke dalamnya. Ada banyak kaus, jas, tas, topi, syal, kaus kaki dan bahkan pakaian dalam berjejer dan tertumpuk rapi di atas rak, tergantung di manekin atau ditata sedemikian rupa di tengah ruangan. Logo berwarna hitam dengan huruf gothic terbaca sebagai 'BLOSSAM' tersebar di tiap sudut toko itu.

Sebenarnya tak jauh beda dengan toko pakaian pada umumnya. Hanya saja, warna-warna cerah dan motif yang bertabrakan membuat mata Tori sedikit sakit. Dokter muda itu menggosok matanya dengan satu tangan.

"Unik." Bisik Masahiro di sebelahnya. Tori mengerutkan kening dan Masahiro terkekeh, menilik sebuah T-shirt kuning terang bermotif sakura di bagian leher. "Aku pernah lihat yang lebih aneh, percaya deh. Yang ini jauh lebih keren."

"Masahiro belum pernah jadi modelnya?" Tanyanya ingin tahu.

Masahiro menggeleng. "Belum pernah ditawari. Dengar-dengar sih, perancangnya sendiri yang suka jadi modelnya."

Tori mengangkat bahu. Kalau saja bukan karena rekomendasi Yuzawa, mereka mungkin tak akan mendatangi toko itu. Setidaknya, Tori tak akan mendatangi toko macam ini. Meskipun matanya tak urung tertumpu pada sebuah topi fedora berwarna gelap dengan list berwarna salem.

Perhatiannya teralih saat salah seorang pelayan toko mendekati mereka dengan senyum ramah terkembang di bibir.

"Selamat datang di Blossam. Ada yang bisa saya bantu?"

Masahiro langsung melangkah maju. "Ya. Kami mau bertemu...Nagayama Takashi-san?" Ujarnya sambil melirik kartu nama di tangannya.

"Ah. Silakan tunggu sebentar di situ." Pelayan toko itu menunjuk sebuah sudut dengan sofa dan meja kaca di salah satu sudut toko. Tori mengangkat sebelah alisnya saat pelayan itu menuju bagian dinding toko yang tertutup panel kayu dan mendorong salah satu sisi sampai terbuka dan menghilang ke baliknya.

Sementara menunggu, Masahiro memilih untuk melihat-lihat katalog dan majalah mode yang terhampar di atas meja kaca di hadapan mereka sementara Tori sibuk dengan iPhone-nya, berkirim pesan dengan Shunsuke.

Tak lama, pelayan itu kembali dan meminta mereka mengikutinya masuk melalui pintu tadi. Pintu itu membuka ke sebuah tangga naik dan tangga turun. Yang satu sepertinya menuju gudang di lantai bawah dan yang satunya menuju lantai dua. Mereka mengikuti si pelayan toko naik. Lantai dua itu ternyata berupa sebuah ruangan luas berisi meja panjang dan beberapa kursi. Di atas meja berserakan kertas-kertas, tali, mangkuk-mangkuk berisi manik-manik dan kancing juga setumpuk bahan kain. Satu dinding tertutup dua rak gantung penuh baju dan dua manekin yang tertutup pakaian setengah jadi. Ruangan itu begitu penuh kecuali bagian yang merupakan jendela besar.

Seorang laki-laki duduk di ujung meja, merunduk di depan buku sketsa sementara tangannya sibuk mencoret-coret. Tangan yang lain membolak-balik katalog bahan, merasakan tiap jenis kain dan sesekali mengerutkan kening.

Ia tersenyum lebar saat menyadari kedatangan Tori dan Masahiro. Buru-buru berdiri dan menyambut dengan ramah.

"Nagayama Takashi. Senang bertemu dengan kalian. Matsuzaka Tori-sensei kan?" Ujarnya menyalami Tori lebih dulu sambil tersenyum lebar. Tori hanya sempat mengangguk karena pria itu sudah keburu mengalihkan perhatiannya pada Masahiro. "Inoue Masahiro-kun. Tentu saja. Yuzawa-san cerita banyak tentangmu dan aku penasaran sekali. Yuk, duduk di sini saja. Koppe-chan, ke Starbucks di seberang jalan sebentar ya. Aku yang biasa. Sensei?"

Pria itu bergerak dan berbicara dengan sangat cepat dan tangannya tak pernah berhenti bergerak. Tori gelagapan sesaat sebelum akhirnya menjawab dengan terbata. "Umh...chai latte."

Nagayama kemudian menoleh pada Masahiro yang menjawab tanpa ragu. "Aku frappucino. Apa saja."

Pelayan toko yang tadi mengangguk dan berlalu pergi. Nagayama mengerutkan kening melihat tamunya masih berdiri. "Duduk, duduk. Tak enak kan ngobrolnya kalau sambil berdiri." Tukasnya sambil mengibaskan tangan ke arah tumpukan bantal besar di sudut ruangan.

Mereka menurut dan setelah duduk nyaman, Tori baru bisa benar-benar memperhatikan pria itu. Perancang busana kenamaan, wajahnya cukup tampan kalau tak mau dibilang cantik. Rambutnya agak aneh; panjangnya tanggung dan ujung-ujungnya dikeriting. Pakaiannya lebih aneh lagi; kaus pas badan warna biru tua berkerah v potongan rendah, celananya paduan jeans dan bahan berwarna coklat, jaket berwarna ungu gelap dan sepatu pantofel hijau terang. Kacamata berwarna ungu bertengger di hidungnya yang mancung. Masahiro sendiri beranggapan tampilannya cukup keren karena terlihat begitu pas untuk pria itu dan pembawaannya memang penuh percaya diri.

"Jadi? Apa yang bisa kubantu?" Tanyanya, masih dengan senyum cerah.

Masahiro tertawa. "Aku yakin Yuzawa-san sudah cerita kan?"

"Tentu saja sudah! Aku tak akan mungkin mau bertemu dengan kalian kalau tak tahu apa tujuannya." Tukasnya.

Tori mengernyitkan dahi tanpa sadar dan Nagayama langsung mengibaskan tangan. "Bercanda. Aku tidak sesombong itu. Oke, jadi bisa beritahu aku kalian sudah punya ide apa?"

Masahiro menoleh pada Tori dan mereka berdua sama-sama mengangkat bahu sambil tertawa canggung. Nagayama tertawa. "Yang benar saja! Ayo dong, masa tidak ada ide sama sekali?"

"Nagayama-san..." Ujar Tori.

"Panggil Takashi saja."

Tori mengerjap sekilas lalu tersenyum. "Umh...Takashi-san, itu sebabnya kami datang ke sini kan?"

Takashi menopang dagu, mengamati Tori sesaat lalu bergumam. "Senyum sensei manis ya?"

"Eh?"

"Manis sekali kan? Tapi kau tak boleh naksir padanya." Tukas Masahiro cepat sambil menggenggam tangan Tori yang tersipu.

Takashi mengangkat tangannya. "Tenang saja, Inoue-kun. Aku tak suka macam-macam dengan klienku, kok." Ia nampak ingin berujar lagi tapi terpotong oleh pelayan toko yang tadi datang membawa tiga gelas kopi. "Sankyuu, Koppe-chan." Disesapnya minumannya dengan nikmat, kembali memperhatikan dua tamunya dengan penuh minat. "Tahu tidak? Aku semangat sekali waktu mendengar cerita Yuzawa-san. Dan melihat kalian yang menempel begini, aku jadi makin penasaran. Jadi, ceritakan padaku: apa kalian jatuh cinta pada pandangan pertama?"

"Tidak."

"Ya."

Tori menoleh dengan cepat ke arah Masahiro. "Eeeh?"

"Apa? Masa Tori tidak tahu kenapa aku langsung mengajak Tori kencan begitu kita bertemu dulu itu?" Masahiro merengut.

"Kupikir Ma-kun hanya iseng." Gumam Tori. Sedikit malu karena harus membahas ini di depan orang lain. Tapi tampaknya Takashi tak keberatan. Pria itu memperhatikan dengan penuh minat.

Masahiro menggembungkan pipi. "Tega sekali. Kalau begitu, kapan Tori jatuh cinta padaku?"

"Umh..." Tori berdeham. "Waktu Ma-kun menciumku pertama kali." Dan buru-buru menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah.

Masahiro rasanya sudah ingin menyeret Tori pergi dan bercinta dengannya saat itu juga kalau saja tak ingat mereka sedang ada di mana. Takashi nyengir lebar dan menepuk tangannya dengan antusias.

"Benar kata Yuzawa-san, kalian memang pasangan yang membuat iri ya."

Tori benar-benar salah tingkah dan rasanya sudah mau membenamkan diri ke dalam tanah saja. Tapi Takashi mencegahnya berbuat begitu dengan mengeluarkan agenda besar bersampul kotak-kotak dan pensil, mulai menanyai mereka tentang beberapa hal pribadi lainnya seperti apa hobi mereka, tempat kencan pertama, film kesukaan dan macam-macam lainnya. Dia juga bertanya warna kesukaan mereka.

"Merah." Jawab Tori tanpa ragu.

"....magenta" gumam Masahiro.

"Oh! Sama denganku! Aku juga suka pink!" Seru Takashi sambil mencatat.

"Magenta!"

"Puh. Puh. Baiklah. Magenta. Terserah."

Masahiro merengut lucu sementara Tori terkikik geli.

Takashi mengibaskan rambut. Sesaat kembali diam sambil menggigit-gigit pinggiran gelas kopinya. "Hmm...oke, apakah kalian akan ganti pakaian? Maksudku, apakah akan ada upacara lalu resepsi atau bagaimana?"

"Aku sih ingin yang sederhana saja." Ujar Tori sambil melirik Masahiro. "Upacara sederhana lalu resepsi."

"Berarti tak masalah kalau kalian ganti baju ya?"

Tori menggeleng dan Masahiro mengangkat bahu.

"Oke," ujar Takashi. "Bagaimana kalau begini: hakama untuk upacara lalu setelan jas untuk resepsi? Aku sudah punya beberapa bayangan tapi beri aku waktu...yah, kira-kira sepuluh hari dan kita bertemu lagi dan akan kuperlihatkan beberapa sketsa design-nya. Bagaimana?"

Tori menoleh pada Masahiro sambil mengangkat alis bertanya. Masahiro mengerutkan kening. "Aku sih tak apa-apa. Tori sibuk tidak?"

"Sedang tidak musim pertandingan sih, jadi kurasa tak apa-apa."

"Bagus!" Seru Takashi sambil menutup agendanya dengan semangat. "Aku jamin kalian tak akan kecewa."

"Aku tahu Yuzawa-san bisa dipercaya kok." Ujar Masahiro sambil mengerling.

Suara tawa menggelegar memotong apapun yang hendak diucapkan Takashi. Ketiga orang itu menoleh ke arah anak tangga dan melihat sebentuk kepala dengan rambut mencuat kemana-mana muncul. Disusul dengan sebidang dahi yang cukup lebar dan tubuh yang cukup tinggi.

"Yo, Takashi!" Sapanya riang.

Takashi berdecak dan melipat tangan dengan tak suka. "Yuuichi, aku sedang ada tamu."

"Oh, maaf. Aku kembali nanti?"

"Sebaiknya memang begitu." Takashi mengangguk tegas.

Tori buru-buru berdiri. "Eh, tidak. Tak apa-apa. Kurasa kami sudah selesai kok."

Masahiro mengangguk setuju. "Takashi-san sudah tahu nomor telepon kami kan?"

Takashi mengangguk dan pria yang baru datang tadi nyengir seraya berjalan mendekat. "Oh, anda berdua yang mau membuat baju pernikahan dengan Takashi?"

Tori mengangguk.

"Yah, kudoakan kalian sabar menghadapinya ya. Dia cerewet sekali."

Detik berikutnya pria itu mengaduh kencang karena kakinya diinjak Takashi.

"Hanya karena aku tidur dengamu, bukan berarti kau berhak menghinaku di depan klienku, Yuuichi. Mau kuadukan pada Aniki kalau kau suka menyelinap ke kamarku di malam hari?"

"Enak saja! Kau kan yang suka menyelusup ke kamarku? Dan kupikir kita ini pacaran."

Takashi mendengus lalu menoleh pada dua tamunya yang sibuk menggigit bibir menahan tawa. "Maafkan orang tak tahu sopan ini. Aku akan menghubungi kalian sepuluh hari lagi ya."

----

Tori masih terkikik geli saat mereka masuk ke dalam mobil. "Mereka lucu ya."

Masahiro mendengus. "Tori lebih lucu kok."

"Aku?" Tori menunjuk hidungnya sambil pasang tampang begitu lucu sampai Masahiro menggigit bibir dengan gemas dan menariknya mendekat untuk mencium tunangannya itu.

"Mengakui di depan orang lain kalau Tori jatuh cinta padaku saat kucium pertama kali dulu, dengan wajah memerah pula. Tahu tidak sih kalau tadi aku sudah ingin sekali memepet Tori ke dinding?"

Tori menggigit ujung hidung Masahiro. "Dasar mesum. Simpan dulu sampai nanti malam ya."

"Memangnya kenapa kalau sekarang?"

"Sekarang Ma-kun harus kembali ke rumah, tidur -baru pulang pagi karena pemotretan kan?- dan aku harus makan siang dengan Wada dan Shunsuke."

Masahiro langsung merengut tak suka. Tori menyentil kening pemuda itu dengan sayang. "Tak boleh marah. Ma-kun tahu untuk apa aku bertemu mereka."

Pemuda itu hanya bisa menggerutu dan setelah Tori menciumnya beberapa kali, Masahiro akhirnya menurut dan pulang ke rumah setelah mengantar Tori ke sebuah restoran di daerah Shibuya.

Friday, May 13, 2011

[fanfic] KenkixMitsuya - Te wo Tsunaide

Fandom: D2/Prince of Tennis Musical 2nd Season
Pairing: Yamaguchi Kenki x Mitsuya Ryou
Rating: G
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: the usual entourage. I don't own anything.
Note: gue juga gak tau gue ini nulis apa LOL




Selama 15 tahun hidupnya, Mitsuya tak pernah tahu seperti apa rasanya dirayu seseorang. Oke, bukannya tidak tahu sama sekali hanya saja dia biasanya akan mengacuhkan jika ada orang yang memberikan perhatian khusus atau menolak dengan sangat sopan jika ada yang memberanikan diri mengajaknya ke belakang gedung sekolah dan mengutarakan keinginan ingin menjadi teman dekatnya. Bukannya tak ada yang menarik ataupun tak tertarik tapi Mitsuya merasa tenis dan fashion lebih menyenangkan untuknya. 

Karena itu, ketika pemuda itu muncul dan Mitsuya mendapati kenyataan bahwa dirinya dijodohkan, dia sama sekali tak tahu harus bagaimana. Menolak akan menyakiti perasaan orang tuanya dan cepat atau lambat, ibunya pasti akan menemukan cara agar Mitsuya menganggukan kepala.

Apa yang diharapkan orang tuanya sih? Dia masih 14 tahun waktu itu dan pemuda itu... 19 tahun? 20 tahun? Entahlah. Kenapa pula pemuda itu setuju-setuju saja dijodohkan dengan anak kecil seperti dirinya. 

“Matamu bagus.” ujar pemuda itu, Yamaguchi Kenki namanya. 

Wajahnya tampan meski bukan tipe tampan yang membuat orang yang melihat menahan nafas. Tak suka basa basi dan senyumnya ramah. Juga tak banyak bicara dan senang-senang saja digeret Mitsuya ke sana kemari. “Menarik,” katanya.

Kenki tinggal di Tokyo dan mau tak mau Mitsuya menghargai usahanya datang ke Aomori hanya untuk bertemu dengannya. Dengan sopan mengetuk pintu dan bertanya pada ibunya apakah dia boleh mengajak Mitsuya keluar dan berjanji akan mengantarnya pulang sebelum jam 9 malam. Dia juga mendengarkan apapun cerita Mitsuya. Soal tenis, soal hobi belanjanya, soal sepupunya yang kehilangan pendengaran karena kecelakaan, apapun. Tak bertanya sampai Mitsuya selesai bercerita dan akan diam kalau Mitsuya memberi sinyal tak ingin menjawab. Genggaman tangannya pun hangat dan tak pernah menyentuh Mitsuya tanpa seijinnya. Saat berjalan berdua pun, dia akan berhenti dan menunggu sambil tersenyum jika Mitsuya tertinggal beberapa langkah.

Pemuda itu menatapnya lurus-lurus dan berkata sambil lalu kalau seandainya boleh, dia ingin mencium Mitsuya. 

“Ke...kenapa?”

“Karena.”

Mitsuya belum terbiasa dengan jawaban itu dan Kenki terbahak saat Mitsuya melempar keningnya dengan sendok plastik bekas yoghurt. Meskipun kemudian dia mengejar Mitsuya yang berlari menjauh dan mendekatkan wajahnya. Dikecupnya rambut Mitsuya yang sangat itu masih pendek dan Mitsuya sebal sekali karena tak bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah. Tak lupa sekali lagi memukul lengan pemuda itu karena Kenki nyengir lebar melihatnya.

Pemuda itu pun membantu banyak saat dokter yang menangani Yuuki sudah menyerah dan menyarankan agar Yuuki mengikuti rehabilitasi di sebuah rumah sakit di Tokyo. Dia mencarikan tempat tinggal yang dekat dengan rumah sakit dan jaraknya pun tak terlalu jauh dari apartemennya sendiri. “Supaya tak terlalu repot kalau ada apa-apa,” ujarnya memberi alasan. Tentu saja perbuatannya itu langsung mendongkrak popularitas Kenki di depan seluruh keluarga Mitsuya. 

Sebab itu, sebulan sebelum kepindahannya ke Tokyo untuk menemani Yuuki, Mitsuya tak tahu harus bersikap bagaimana di depan Kenki yang menatapnya lurus-lurus. Pemuda itu datang, seperti biasa meminta dengan sopan dan Mitsuya hanya berkata kalau dia ingin makan takoyaki. Setelahnya mereka hanya berjalan-jalan di taman sambil menikmati takoyaki yang mengepul dan Mitsuya mencibir iri pada Kenki yang minum bir. 

“Jadi,” ucap Kenki sambil mengajaknya untuk duduk di ayunan di tengah taman, “apa selama ini aku sudah berhasil memenuhi semua syarat yang kamu berikan?”

Mitsuya mengerjap bingung. “Ha?”

Kenki tertawa. “Itu loh, katanya kamu akan mempertimbangkan kalau aku bersedia mengikuti semua syarat yang dulu kamu bilang waktu kita pertama kali bertemu.”

“Oooh...itu.” Mitsuya meniup bulatan takoyaki yang masih mengepul dan mendadak wajahnya memerah seperti benar-benar baru tersadar apa yang ditanyakan Kenki sebenarnya. “Oh.”

Kenki tertawa lagi dan tak melanjutkan berkata apapun, hanya menatap lurus ke arahnya. Mitsuya menunduk dan menatap sepatunya dengan penuh minat. “Apa... ini karena aku dan Yuuki akan tinggal di Tokyo dan kamu sudah menawarkan untuk membantu kami?”

“Begitulah.” jawab Kenki. “Aku ingin tahu sampai sejauh mana aku boleh melangkah di dekatmu karena nanti di Tokyo tak akan ada siapa-siapa kecuali kita bertiga. Tapi lebih dari itu, aku benar-benar ingin tahu. Ini sudah nyaris setengah tahun loh.. Aku tak bisa berlama-lama berputar-putar dan bertanya-tanya apakah kau akan mengangguk atau menggeleng. Aku juga punya perasaan loh.”

Kening Mitsuya berkerut dan tanpa sadar bibirnya pun mengerucut agak tak suka. “Memangnya kau berharap apa? Aku ini lulus SMP saja belum. Salah sendiri mau saja ikut omiai meski calonnya masih 14 tahun.”

Kenki tertawa. “Yah, memang salahku sih, tapi.......... apa kamu benci padaku?”

Mitsuya menggeleng.

“Suka?”

“.............suka, sih. Tapi aku tak tahu suka yang bagaimana.” ucap Mitsuya jujur. “Aku belum pernah punya pacar atau benar-benar tertarik dengan seseorang.” Mitsuya mengangkat bahu, masih menolak memandang pemuda itu karena dia yakin wajahnya saat ini pasti merah sekali.

Kenki terdiam beberapa jenak sampai Mitsuya harus menoleh karena khawatir kalau Kenki mendadak menghilang. Tidak lucu kalau dia harus berjalan pulang sendirian malam-malam begini, apalagi kalau dia sampai menyinggung perasaan Kenki. Bagaimanapun, itu bukan perbuatan yang baik. Tapi pemuda itu masih duduk di sebelahnya dengan tangan terjulur ke arahnya.

Mitsuya menatap tangan itu lekat-lekat lalu mengangkat wajahnya untuk menatap si empunya dengan bingung.

“Kalau kamu tak mau, pukul tanganku dan aku akan mengantarmu pulang dan kita akan bertemu lagi di Tokyo.” Kenki menjelaskan. Binar matanya tak bisa ditebak. “Tapi kalau kamu mau, genggam tanganku dan aku akan menciummu.”

“A..apa-apan itu?!” seru Mitsuya terperangah.

Kenki mengedikkan bahu, tersenyum miring penuh arti. “Semuanya terserah kamu kok. Kalau dipukul, aku akan berterima kasih karena diberi kesempatan mengenalmu dan aku akan tetap membantumu dan Yuuki-chan di Tokyo nanti. Sebagai teman.”

Mitsuya menatapnya. “Kalau sebaliknya?”

“Tentu saja aku akan senang sekali.” Senyumnya terkembang lebar dan terlihat begitu penuh percaya diri.

Entah dia sedang dipermainkan atau apa, Mitsuya tak begitu mengerti. Ditatapnya lagi tangan itu dan Kenki yang menunggu dengan sabar seraya menggerak-gerakkan alisnya. Mitsuya sebal sekali. Ada apa sih dengan pemuda ini? Kenapa Mitsuya tak bisa marah atau benci padanya? Kenapa baik sekali? Kenapa mendadak terlihat tampan sekali sampai membuat dadanya berdebar-debar?

Perlahan, Mitsuya mengangkat tangannya dan memukul tangan pemuda itu.

Kenki terdiam sesaat. Terlihat agak terkejut dan tangannya masih menggantung di udara meski kemudian perlahan senyumnya mengembang. “Sou ka.” bisiknya. Pemuda itu menarik nafas dan baru saja hendak menarik tangannya ketika tangan Mitsuya menyambar tangannya lagi dan menggenggam dengan erat.

Mitsuya menunduk, mengeratkan jemarinya di sekeliling pergelangan Kenki. “Kau menyebalkan.” bisiknya.

Kenki menatapnya lurus-lurus. Pada tangan Mitsuya di sekeliling tangannya, pada pipinya yang bersemu merah dan pada protesnya yang jujur. Pemuda itu tersenyum lebar, memutar pergelangan tangannya agar bisa mengaitkan jari-jarinya dengan jemari Mitsuya. Ibu jarinya mengelus kulit punggung tangan Mitsuya yang halus dan tanpa basa-basi menarik lengan Mitsuya sampai pemuda cantik itu nyaris terjungkal. Kenki menangkapnya dengan sigap, satu lengannya melingkar mantap di pinggang Mitsuya. 

“Ma, mau apa?” jengit Mitsuya seraya memberontak berusaha melepaskan diri karena sungguh deh, dia tak mau sampai ketahuan kalau jantungnya sedang berdebar dengan begitu kerasnya.

“Diam dong.” tukas Kenki, tersenyum begitu lebar dan sumringah. “Tadi kan sudah kubilang kalau aku akan menciummu.”

“......................Baka!”

-end-

Tuesday, May 10, 2011

[fanfic] AU KenkixMicchi - Reason

Fandom: D2/Tennis no Oujisama Musical 2nd Season
Pairing: Yamaguchi Kenki x Mitsuya Ryou
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: Watanabe Pro, MMV, etc. I do not own anything.
Note: slash of life fic. Maaf kalau gejeh. Dan semuanya karena GC19




Kucuran air perlahan berhenti bersamaan dengan keran yang diputar untuk menutup aliran air. Kenki menyapukan kedua tangannya ke rambutnya, menyebabkan tetasan air mengalir ke leher dan pundaknya. Sambil mengusap wajahnya dengan satu tangan, tangan yang lain menjangkau handuk di gantungan di dekat shower. Telinganya menangkap bunyi samar deru hujan sementara ia mengeringkan tubuhnya. Ia menyambar legging hitam dan kaus oblong tanpa lengan, mengenakannya dan menggosok rambutnya yang basah sambil menyikat gigi.

Aroma kopi menyambutnya saat Kenki membuka pintu kamar mandi. Matanya tertuju pada sosok Mitsuya yang berbaring tengkurap di atas tempat tidur, sebuah majalah terbuka di hadapannya. Barulah kemudian matanya tertuju pada secangkir kopi yang diletakkan di atas meja di samping tempat tidur. Pemuda itu tersenyum dan baru saja hendak menghampiri Mitsuya ketika telepon berdering. Mitsuya ikut mengangkat kepalanya dan sudah akan bangkit tapi urung saat melihat Kenki berjalan ke arah ruang depan dan melambaikan tangannya, menyuruh Mitsuya tetap di tempat.

Tak berapa lama, Kenki sudah kembali ke tempat tidur dan duduk di atas ranjang, menggosok rambutnya sekali lagi dan melempar handuk ke arah pintu kamar mandi yang terbuka. Mitsuya menoleh dan Kenki nyengir.

"Salam dari ayahku."

"Oh. Kok tumben? Ada apa?"

"Tak ada apa-apa. Hanya menanyakan mau titip apa dari Filipina. Aku mungkin harus menjemput mereka di bandara lusa." Jelas Kenki sembari menata dua bantal untuk menyangga punggungnya.

Mitsuya membalik halaman majalahnya. "Sekalian pulang ke Aichi?"

"Mungkin hanya dua hari. Micchi mau ikut?" Tawarnya.

Bibir Mitsuya mengerucut dan kepalanya dimiringkan. "Lihat nanti ya. Aku belum tahu kapten mau mengadakan latihan akhir minggu atau tidak. Tapi sudah lama aku tidak bertemu paman dan bibi ya."

Kenki tersenyum. "Yang terakhir Natal tahun kemarin ya?" Tangannya menjangkau cangkir kopi dan menyesap sedikit. Mitsuya mengangguk. Majalahnya ditutup dan disingkirkan lalu beringsut mendekat pada tunangannya. Kepalanya disandarkan ke bahu Kenki sementara tangannya mengelus dada dan perut kekasihnya. Kenki merangkul pundak Mitsuya dan mengecup keningnya dengan lembut.

Mitsuya mengangkat wajahnya, menatap Kenki dengan matanya yang besar dan berbinar, yang perlahan meredup saat Kenki menunduk mencari bibirnya. Satu kecupan lembut cukup untuk membuatnya mendesah dan merasa begitu nyaman.

"Sepertinya akan hujan semalaman ya." Gumamnya tak jelas sambil merebahkan kepalanya di bahu Kenki lagi.

"Sepertinya." Sahut Kenki sambil menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga tunangannya. "Sudah memikirkan dekorasi untuk pernikahannya Inoue-kun?"

Mitsuya meringis. "Sudah sih. Tapi aku tak tahu apakah Masahiro-kun akan suka atau tidak. Meskipun dia bilang pendapatnya tak terlalu penting. Yang penting, katanya, aku tak boleh membuat Matsuzaka-sensei merengut sedikitpun sekaligus meyakinkannya kalau apapun yang kulakukan adalah perlu. Aku sama sekali tak mengerti apa maksudnya." Pemuda itu tertawa geli.

Kenki mengelus punggung Mitsuya. "Aku dengar gosip kalau Matsuzaka-sensei itu baik sekali orangnya. Mungkin maksudnya karena terlalu baik itu dia jadi bersikap tak ingin merepotkan atau terlalu segan. Hehehe mirip Micchi ya." Dia kemudian mengaduh karena dadanya dipukul dengan keras oleh Mitsuya.

"Kugigit nih." Ancam pemuda cantik itu, memamerkan deretan putih giginya.

Kenki tertawa dan menyentuhkan pinggiran cangkir kopi yang masih dipegangnya ke hidung Mitsuya. Pemuda itu memekik protes. "Mou~" sungutnya sambil menggosok ujung hidungnya yang terasa panas.

Tunangannya tergelak dan Mitsuya tak bisa melanjutkan protesnya karena Kenki mengecup hidungnya dengan lembut. "Tapi aku heran, kenapa Inoue-kun tidak memintamu membantu mengurus baju pernikahan mereka ya? Kurasa Micchi lebih pantas untuk itu."

Mitsuya mendengus. "Sainei-san sepertinya memperlihatkan foto beberapa ruangan yang kudekor ulang. Lagipula, mereka sudah memesan baju di Blossam loh! Pasti hasilnya luar biasa! Aku iri deh. Kapan ya, bisa beli baju di Blossam?"

"Kenapa memangnya?"

"Kenki tidak tahu? Blossam itu merk terkenal loh! Dan mahal sekali. Aku tak tahu mereka membuat pakaian untuk pernikahan juga tapi sepertinya koneksi Inoue-kun membuatnya jadi mungkin." Pemuda itu mendesah. "Iri deh."

Kenki manggut-manggut. "Kalau begitu, kita harus menabung lebih banyak ya."

Satu alis Mitsuya yang tertata rapi terangkat.

"Supaya Micchi bisa pakai baju dari Blossam kalau kita menikah nanti."

Sontak, semburat merah menjalar mulai dari telinga hingga ke leher Mitsuya. Pemuda itu menunduk. "Umh....yah...kalau....kalau dari sekarang kurasa memang bisa." Ungkapnya terbata.

Kenki meletakkan cangkirnya di atas meja agar bisa memeluk Mitsuya dengan dua tangannya. Diremasnya tubuh langsing itu dengan gemas. "Kenapa kalau aku menyebut-nyebut pernikahan, Micchi selalu tersipu-sipu begini?" Ujarnya geli.

"Malu, tahu! Aku kan masih SMU." Tukas Mitsuya, agak teredam karena wajahnya dibenamkan ke dada Kenki.

"Hmmm," Kenki menepuk-nepuk punggung Mitsuya. "Micchi harus membiasakan diri. Karena aku tak akan bosan menyebut-nyebut soal ini."

Mitsuya akhirnya mengangkat wajahnya, masih begitu merah dan terlihat manis sekali.

"Apa alasannya masih sama?" Tanya Mitsuya pelan, matanya menatap lurus-lurus ke dalam mata Kenki.

Kenki mengelus pipinya dengan buku jari. "Hmm?"

Mitsuya beringsut, sedikit memaksa Kenki untuk berbaring lebih rendah supaya ia bisa berbaring di atasnya. Tangannya diletakkan di atas dada Kenki dan digunakan untuk menumpu dagunya. "Dulu...Kenki bilang kalau Kenki tertarik karena mataku. Sekarang aku jadi berpikir apa alasan itu cukup untuk menikah dengan seseorang."

"Cukup kok." Sahut Kenki sambil tersenyum. Terdengar begitu mudah, seolah itu bukan jawaban yang harus dipikirkan masak-masak. Mitsuya memiringkan kepalanya, meringis.

"Sungguh?"

"Tak percaya padaku?"

"Maksudku bukan itu." Sahut Mitsuya. "Aku tahu tiap orang punya alasan masing-masing untuk... melangkah lebih jauh. Tapi aku tak pernah tahu kalau alasan sesederhana itu benar-benar bisa jadi dasar untuk menikah."

"Micchi mau aku memberi alasan apa?"
Mitsuya mengangkat bahu. "Entahlah."

Kenki mengelus helai lembut rambut Mitsuya. "Kamu tahu aku bukan orang yang suka berbasa-basi. Terutama denganmu. Tentu saja sekarang aku punya banyak alasan untuk menikahimu suatu hari nanti. Orang tua kita pun tak memaksa kita untuk bergerak cepat karena mereka sudah cukup senang dengan pertunangan kita dan kita masih muda. Aku bisa saja menahan diri dan memberikan kesempatan padamu untuk mengenal lebih banyak orang. Tapi aku tak mau. Kau tahu kenapa?"

Mitsuya mengedikkan bahunya. "Karena?"

Kenki tertawa. "Benar. Karena."

Mitsuya memutar kedua bola matanya. Kadang dia benci kalau Kenki menjawab begitu. Di saat seperti ini, dia tak ingin menebak-nebak.

"Sama sekali tak mau memberitahu aku alasannya?" Mitsuya menarik-narik kaus yang dikenakan Kenki.

Kenki tersenyum. Ditariknya kepala Mitsuya mendekat untuk mengecup keningnya. "Karena mata Micchi membuatku tak menoleh ke arah lain." Dikecupnya kedua kelopak mata Mitsuya lalu menatap ke dalam lautan gelap kecoklatan yang meskipun tak pernah dikatakan Kenki, selalu membuat jantungnya berdebar lebih cepat.

"Karena aku suka Micchi. Suka sekali."

-end-