Wednesday, April 18, 2012

[fanfic] Waka-san

Fandom: TeniMyu 2nd Season
Cast: Hiramaki Jin, Jinnai Sho, Motokawa Shota, Kishimoto Takuya
Rating: PG
Warning: AU, OOC, sedikit slash?
Disclaimer: I don't own anything and/or anyone
Note: Ini gegara shindanmaker dari Tacchin XD untuk prompt: 'yang terperangkap itu aku'




Jin tak pernah menyukai hari-hari seperti ini.

Hari di mana ia harus berdiri di tengah deretan orang yang bersumpah setia padanya –atau lebih tepatnya, keluarganya – bahkan sampai ke tingkat rela mati demi itu. Ia tak pernah suka hari dimana ia harus mempertahankan diri dengan kepalan tangan atau tendangan kaki dan yang ada dalam pikirannya hanya apa yang enak untuk makan malam hari itu. Ia benci ketika mereka harus lari sambil menahan rasa sakit akibat satu-dua tulang rusuk yang patah saat mendengar bunyi sirene dari kejauhan. Lebih lagi, ia membenci hari ketika salah satu atau beberapa dari wajah-wajah yang ia kenal, sosok yang biasa dilihatnya, terbujur kaku di sudut jalan atau rumah sakit atau rumah duka. Ia membenci hidupnya.

“Waka,”

Jin menoleh pada panggilan itu, meskipun tak ingin. Ia juga membenci panggilan itu. Ia punya nama.

Hiramaki Jin.

*****

Denting bel pertanda pintu depan dibuka membuat Jin mengangkat kepala sejenak dari crepe suzette yang tengah dibuatnya. Hari ini sebenarnya hari restorannya tutup tapi ia memang tak mengunci pintu depan meski tanda ‘Tutup’ tetap dipasang di samping pagar depan. Sesosok pria berpakaian cukup gaya melangkah masuk melewati ambang pintu. Bibirnya sedikit dimajukan dan satu tangannya dimasukkan ke saku celana sementara tangan yang lain membawa sebotol wine.

“Jangan bilang baru aku yang datang,” ujar pria itu sambil mendekati Jin.

Jin tertawa pelan, “Bukan pertama kalinya kan, Sho-chan?”

Pria yang disapa Sho-chan itu ikut tertawa. Tanpa bertanya, ia meletakkan botol wine di atas pantry dan mengambil celemek dari dalam lemari di dekat kulkas lalu mengenakannya. Pun tanpa basa-basi membantu Jin membuat saus jeruk untuk hidangan pencuci mulut itu.

“Apa itu tidak terlalu kental?” Jin mengernyit pada saus yang tengah dimatangkan Sho.

Sho menggeleng. “Tidak, tidak. Tenang saja. Di tempatku memang dibuat sekental ini dan rasanya memang lebih asam tapi percaya deh, rasanya akan enak sekali. Waka tidak terlalu suka manis kan?”

Jin mendengus seraya menyikut lengan Sho, “Aku memang tidak terlalu suka manis. Dan jangan panggil aku begitu.”

Sho hanya nyengir. Dia tak ingin membantah namun tak akan menuruti Jin untuk hal yang satu ini. Dia menghormati Jin dan untuknya, Jin selamanya akan tetap jadi tuan mudanya. ‘Waka’-nya. Sho tahu bukan hanya dirinya yang berpikir begitu. Seolah diberi tanda oleh isi kepalanya, pintu depan terbuka, diiringi bunyi denting bel yang disusul sapaan hangat dan kelewat ceria dari dua orang pria bertubuh jangkung. Sosok mereka masuk berturut-turut melewati ambang pintu,

“Gomen kudasai!” seru seorang yang lebih tinggi, mengenakan beanie warna merah bata dan jaket kulit. “Ara! Perkiraanku salah ternyata, Takuya. Sho-chan sudah duluan di sini. “

Pria berambut panjang di belakangnya nyengir lebar. “Seharusnya kau mendengarkan aku, Mossan. Bangun lebih pagi lalu pergi ke tempat Sho-chan supaya kita bisa pergi sama-sama. Setidaknya, Dai-chan akan membuatkan kita kopi yang enak.”

Sho tertawa keras, “Yah, memang cuma itu yang dia bisa.”

Jin ikut tertawa, mengelap tangannya agar ia bisa menyambut pelukan Takuya. “Kau menginap di tempat Mossan lagi, Taku-san?”

Shota melompat ke meja pantry dan mencolek sedikit saus jeruk dari crepe suzette yang baru saja diletakkan Sho di dekat pahanya. “Un. Kami pergi minum-minum semalam. Sebenarnya ingin ke tempat Sho-chan tapi Taku-san ingin makan oden, jadi kami ke kedai di blok empat.”

Sho memukul tangan Shota yang sudah siap mencolek saus jeruk lagi. “Hentikan kalau tak ingin tanganmu patah, Mossan.”

“Uwah, kowai!” Shota berjengit dan menurut. “Oi, Takuya! Mau sampai kapan kau memeluk Waka? Nanti kita tak jadi makan.”

“Urusee, Mossan! Aku ini kan kangen sekali sama Waka.” Tukas Takuya sambil menyusut hidung dan menyeka sudut matanya dengan ibu jari.

“Kenapa kau menangis, Takuyaaaa? Kita kan baru bulan lalu bertemu!” kali ini Jin menyela dan menepuk-nepuk punggung Takuya seraya mencoba melepaskan diri dari pelukan temannya itu. “Dan kalian semua harus berhenti memanggilku begitu.”

Ketiga pria itu saling melempar pandang lalu menjawab serentak, “Yada.”

Jin mendesah, “Mossan, turun dari situ dan bantu aku menata meja. Takuya, bantu Mossan,” ujarnya kemudian dengan nada tegas dan kedua pria itu pun menurut. Sho terkekeh-kekeh kecil sembari memberikan sentuhan terakhir pada hidangan pencuci mulut yang tengah dikerjakannya sementara Jin mengeluarkan seloyang butter bread dari dalam oven. Ruangan itu pun makin wangi dan Shota berdendang senang.

Tak lama mereka sudah duduk mengitari satu meja yang sudah tertata rapi. Sepinggan ravioli isi daging dan keju yang masih mengeluarkan bunyi berdesis, sekeranjang butter bread hangat dan sebuah mangkuk besar berisi French onion soup yang wangi dengan crouton, potongan bacon dan keju brie meleleh di atasnya. Sho menuangkan wine yang tadi dibawanya ke masing-masing gelas, mengitari tiap sisi meja dengan gaya seorang maitre d’ yang anggun dan profesional.

Setiap orang memutar-mutar gelas mereka lalu mengendus pelan. Jin tersenyum lalu mencicip sedikit. “Enak sekali,” dan disetujui oleh yang lain. Sho kembali ke tempat duduknya, melakukan hal yang sama dengan yang lain lalu mengangkat gelasnya, “Jya, untuk Waka.”

“Untuk Waka.”

“Untuk Waka.”

Jin tertawa namun mengangkat gelasnya juga lalu mendentingkannya dengan gelas-gelas yang lain. “Untuk kalian juga.”

Sambil menikmati makan siang yang sederhana itu, Jin memperhatikan teman-temannya satu per satu. Ia sudah mengenal mereka semua sejak lama. Ayah Sho adalah tangan kanan ayah Jin dan mereka tumbuh besar bersama. Jin bertemu Shota dan Takuya saat masih SMU, saat kelompok kecil yang dipimpinnya saat itu ditantang oleh kelompok pimpinan Shota. Setelah dikalahkan, Shota dan Takuya memutuskan untuk masuk ke kelompok pimpinan Jin dan bersumpah untuk mengikuti Jin kemanapun. Ayah Jin pun menyukai ketiga “bawahan” anak lelakinya itu. Saat Jin memutuskan untuk keluar dari rumah, beliau mengijinkan ketiga pria itu untuk tidak terlibat langsung dengan urusan kelompok mereka agar mereka bisa menjaga dan melindungi Jin juga melapor pada beliau jika sesuatu terjadi.

Ketiga pria itu memilih tempat tinggal dalam radius tak lebih dari 1 kilometer dari tempat Jin tinggal. Meskipun Sho memiliki sebuah restoran Perancis kelas atas di Roppongi, Shota mengurus beberapa tempat pemandian umum kelas atas dan serangkaian tempat pijat dan Takuya mengelola tempat pachinko dan sebuah game center; mereka akan dengan mudah mendatangi Jin jika sesuatu terjadi.

Mereka merahasiakan niat itu dari Jin tapi tentu saja Jin tahu. Tak mungkin ayahnya akan diam saja dan bukan tak mungkin, jika kelompok mereka tak juga menyerah dan menemukan calon penerus untuk ayahnya, mereka akan memaksa Jin untuk kembali ke rumah. Jin sama sekali tak ingin itu terjadi dan berharap tak ada sesuatu pun yang menimpa Shota karena kalau ia beruntung, musim semi tahun depan, rapat besar kelompok mereka akan menunjuk Shota sebagai penerus ayah Jin.

“…soal geng di blok dua itu. Mungkin sebaiknya kau mengirim beberapa anak buahmu untuk mengawasi mereka, Taku-san.” Jin mendengar Shota berujar.

Takuya mengangguk sambil menyobek sebuah butter bread dan mencelupkannya ke dalam sup. “Sudah. Aku memang tak senang dengan keadaan ini. Daerah itu memang banyak sekolah, sih. Kenalannya Waka juga sekolah di daerah itu kan?”

Jin mengangguk. Tentu saja mereka pun tahu soal Yuta. “Dia belum pernah cerita apapun tentang diganggu berandalan atau semacamnya. Tapi dia memang pernah bilang kalau belakangan ini semakin banyak gerombolan yang nongkrong di daerah sekitar sekolahnya.”

“Apa aku perlu mengirim orang untuk menjaganya, Waka?” Tanya Shota dengan wajah serius.

Jin menghela nafas. Dia tahu Yuta tak pernah pulang-pergi sendiri. Entah diantar Takuma kalau sedang sempat atau bersama temannya tapi ia tahu kalau kegiatan geng-geng itu makin meningkat dan mulai mengganggu, mungkin ada baiknya kalau ia tahu Yuta dan teman-temannya aman.

Saat Jin tak menjawab, Sho menopang dagu sambil menatap tuan mudanya, “Apa dia tak tahu kau ini siapa, Waka?”

Jin balas mengangkat alisnya pada Sho, “Memangnya aku ini siapa, Sho-chan?”

Sho menatapnya beberapa saat lalu mengedikkan bahu. “Hanya saja, suatu saat harus diberi tahu. Apalagi kalau Waka tak berniat menjauh dari anak itu. Harus kuakui kalau dia lucu.”

Sikut Jin terpeleset dari pinggir meja dan ia berusaha agar wajahnya yang memerah tak terlalu kentara. “Anak itu memang lucu dan kepribadiannya menarik. Mungkin kalau kuceritakan soal keluargaku,” Jin mengedarkan pandang pada mereka satu per satu, “dia akan tertarik dan berujar, “Sugooi!” begitu. Tapi kakaknya pasti akan histeris.” Jelas Jin sambil nyengir.

Takuya tertawa, “Ahahahaha! Tahu! Tahu! Dokter gigi tampan itu memang nampaknya agak panikan meskipun sadis sekali kalau sudah berhadapan langsung dengan pasiennya,” ujarnya sambil bergidik lalu mengelus pipinya sendiri.

Jin menatap setengah terperangah. Mereka bahkan sudah mendatangi Takuma. Apa mereka benar-benar berpikir kalau Yuta selamanya akan ada di dekat Jin? Tapi tentu saja mereka akan melakukan itu. Siapapun yang dekat dengan Jin akan dicari tahu latar belakangnya; siapa keluarganya, datang dari mana, siapa saja teman dan kenalannya, apakah orang ini punya maksud tertentu mendekati Jin dan lain sebagainya. Jin ingin mencegah itu tapi ia tahu mereka tak akan mendengarkannya untuk yang satu ini.

Takuya menangkap pandangan Jin lalu mengibaskan tangannya. “Bukan apa-apa kok, Waka. Aku memang sakit gigi tempo hari lalu Sho-chan memaksaku ke rumah sakit. Kebetulan saja di sana aku melihat Koseki-chan di ruang tunggu ruang praktek.”

Jin memicingkan mata. Takuya buru-buru mengangkat kedua lengannya sebagai tanda mengalah. “Aku tidak bicara padanya. Sumpah!”

Sho menyesap wine-nya lalu berujar dengan santai, “Tapi tak ada salahnya loh mengenalkannya pada kami, Waka. Aku saja mengenalkan Daisuke pada kalian kan? Ne, Mossan?”

Shota tertawa pelan lalu nyengir, “Dai-chan itu beda kasus. Dia tak pernah pergi dari sampingmu. Jujur saja aku masih cemburu loh.”

“Oi!” Sho memukul lengan Shota dengan serbet makannya. “Memangnya tak cukup kau dikelilingi Shinchi dan Utsumi-chan? Lalu siapa itu namanya? Acchan? Kau masih juga mengejar Daisuke?”

Shota berkelit menghindar. “Bercanda, Sho-chan! Bercanda! Wakaaaa, katakan padanya kalau aku cuma bercanda!”

Jin mengulum senyum, “Saa. Mossan kan selalu begitu dari dulu. Mana aku tahu kalau kau benar-benar sudah berhenti mengejar Daisuke?”

“Wakaaa~~!”

Jin melengos sementara Sho sudah bangkit untuk memiting Shota. Takuya terbahak sampai terbungkuk-bungkuk. Sejenak, Jin membiarkan saja mereka begitu sementara ia memikirkan tentang Yuta.

Suatu saat. Suatu saat mungkin dia memang harus bercerita pada Yuta. Ia menghela nafas. Kenapa yakin sekali kalau Yuta akan selalu ada di dekatnya? Anak itu menganggapnya teman dan Jin sungguh tak bisa menjawab kalau ditanya apakah ia menyukai Yuta secara romantis. Mungkin.

Jin menggigit bagian dalam mulutnya dengan resah. Ini bukan saatnya untuk mengkhawatirkan kehidupan asmaranya. Ia mengangkat kepala, menatap lurus pada Shota yang sedang bersujud di depan Sho. “Mossan,” panggilnya pelan dan jelas. Dalam sekejab, Shota langsung menegakkan tubuhnya.

“Pastikan kalau Yuta dan teman-temannya aman. Tapi jaga jangan sampai ia sadar.”

Shota mengangguk. Begitu juga dengan Sho dan Takuya. “Wakatta.”

Jin menghela nafas.

Ia benci saat-saat seperti ini.


-end-

Monday, April 2, 2012

[fanfic] Help

Cast: Ueda Yuusuke, Hirano Kinari
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I own nothing
Note: Happy belated birthday, Ue-chaaaaaaaaan!!




Kalau belum terlalu larut, mampir ke rumah ya.

Pesan singkat itu terpampang di layar handphone-nya, membawa seulas senyum di bibir Yuusuke. Ibu jarinya baru saja hendak menekan tombol ‘reply’ ketika sebuah pesan baru masuk.

Jam berapapun, pokoknya datang saja ya.

Kali ini Yuusuke tertawa dan harus menutup mulut dengan tangannya karena beberapa tamu kedainya melirik ke arahnya dengan tatapan bingung. Yuusuke membungkuk minta maaf dan buru-buru mengantongi kembali handphone-nya. Ia merasa Kinari tak menunggu jawaban darinya.

Pintu kedai terbuka dan Yuusuke menoleh, “Irassh---“

OTANJOUBI OMEDETOU, YUUSUKE! –SAN!

Yuusuke merasa ia nyaris saja tuli dengan seruan yang datang dari teman-temannya itu. Semua orang di dalam kedai menoleh terperangah, termasuk Yuusuke yang memandang teman-temannya dengan bingung. Wajah-wajah yang tertawa atau tersenyum sumringah. Oumi berdiri menjulang di tengah, kedua tangannya membawa sebuah cake dengan beberapa lilin menyala. Menit berikutnya, Yuusuke tertawa dan menghampiri teman-temannya itu.

“Ke, hahahaha, kenapa kalian tahu ulang tahunku?” tanyanya, menerima kue yang diulurkan Oumi.

Mao nyengir, “Tentu saja kami tahu ulang tahunmu, kau pikir kami teman macam apa?”

Yuusuke tertawa lagi. Ia tersenyum malu-malu dan membungkuk, “Terima kasih, ya.”

“Ayo, ditiup dong.” Sergah Fumiya tak sabar.

“Ah, hai, hai.” Yuusuke menarik nafas dan meniup semua api lilin yang menyala dalam sekali tiupan. Teman-temannya bertepuk tangan dan berseru riang, begitu juga tamu-tamu yang lain. Pria itu membungkuk beberapa kali, berterima kasih pada tiap orang.

“Ini dari kami,” Fumiya dan Okazaki mengulurkan masing-masing satu kantong kertas berukuran sedang yang diterima Yuusuke dengan satu tangan. “Ah, arigatou.

“Yang ini titipan dari Jinnai,” Mao mengulurkan sebotol sake. “Akan kusimpankan untukmu,” ujarnya lagi karena kedua tangan Yuusuke sudah penuh dan menghilang ke bagian belakang toko. Yuusuke meminta seorang asisten tokonya untuk mengambilkan pisau. Ia memutuskan untuk membagi-bagi kue ulang tahunnya dengan semua orang yang ada di situ.

“Ah, aku tadi mencoba menelepon Kareshi-san tapi katanya dia masih sibuk di tempat baitonya. Tapi kurasa dia pasti sudah menelepon Yuusuke-san, ya.” Komentar Oumi sambil melepas jaketnya dan duduk di salah satu kursi.

Yuusuke hanya tersenyum. “Sebut saja kalian mau apa, ya. Khusus hari ini, es krimnya gratis.”

“YEEEEEEEEEEEEEEEEEYYYYYYYYYYYYYY!!!!”

*****

Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam ketika Yuusuke mengeluarkan sepedanya dari garasi di samping rumah. Pintu samping terbuka, menyembulkan wajah ibunya yang mengingatkannya untuk berhati-hati di jalan dan jangan lupa untuk mampir ke apotik 24 jam sebelum pulang karena obat maag ayahnya sudah habis. Yuusuke menaiki sepedanya dan melambaikan tangan.

Udara malam itu masih cukup dingin dan Yuusuke setengah menyesal kenapa ia tak mengenakan jaket yang lebih tebal tapi buru-buru dibuangnya jauh-jauh perasaan itu karena hari ini ia cukup senang. Teman-temannya tinggal sampai makan malam, ibunya membuat shabu-shabu spesial untuk mereka semua, Mitsuya dan Jinnai mampir sebentar dan Yuusuke akhirnya membuka botol sake yang dibawakan Mao tadi. Ia pun akhirnya tak tahan untuk tidak mengirim pesan pada Kinari dan meledeknya karena tak datang dan melewatkan semua kesenangan itu. Kinari tak menjawab.

Lima belas menit kemudian, Yuusuke memarkir sepedanya di parkiran sepeda di depan gedung apartemen dimana Kinari tinggal. Pria itu memilih untuk lewat tangga menuju lantai lima dibanding naik lift. Langkah-langkahnya terasa ringan saat menapaki dua anak tangga tiap kali. Ia menimbang-nimbang mungkin sebaiknya ia memberitahu Kinari kalau ia sudah sampai; mengingat hari sudah cukup larut, rasanya agak tak enak kalau harus menekan bel tapi niat itu tak terlaksana. Jendela di samping pintu apartemen bernomor 507 itu masih menunjukkan kalau lampu di dalamnya masih menyala. Yuusuke berusaha mengintip ke dalam tapi pandangannya terhalang korden yang tertutup rapat.

Mungkin sebaiknya mengetuk saja, pikirnya. Tangannya sudah terangkat ketika didengar suara benda jatuh dari dalam apartemen diikuti umpatan tertahan. Ia mengenali suara itu. Suara barang lain jatuh, kali ini lebih pelan dari yang pertama, lagi-lagi disusul dengan umpatan; kali ini lebih panjang dari yang pertama. Yuusuke tak perlu berpikir dua kali dan mengetuk pintu dengan tak sabar.

“Kinari? Ada apa? Kinari!”

Kembali terdengar suara-suara disusul suara gerendel pintu dan kunci dibuka. Yuusuke mundur selangkah, tepat saat pintu didorong membuka dari dalam. “Maaf, tadi hanya tempat sampah yang tertendang dan--- Yuusuke!”

Kinari sendiri yang membuka pintunya tapi bukan itu yang membuat Yuusuke tak segera menjawab. Kinari tampak… berantakan. Rambutnya yang biasanya jatuh dengan lembut membingkai wajahnya kali ini terlihat sedikit acak-acakan. Kaus yang dikenakannya basah di bagian depan dan Yuusuke bisa mencium samar aroma sake dari kekasihnya itu. Ia bertelanjang kaki dan nampak kesal dan lelah.

“Ada a--- ah!” Kinari menepuk keningnya, satu tangannya menggenggam lap meja. “Aku kan memintamu mampir ya. Aku benar-benar lupa.” Dilihatnya Kinari melirik ke dalam rumah dengan ekspresi sedikit khawatir sebelum kembali memandangnya. Kinari melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya. Diremas-remasnya lap tangan yang dibawanya itu dengan gelisah. “Ahaha, padahal aku sendiri yang mengundangmu kemari ya,” Kepalanya tertunduk memandang kakinya, “Umh, maaf, tapi sepertinya….”

Kalimatnya terputus oleh Yuusuke yang melangkah maju dan meletakkan kedua telapak tangannya di masing-masing pipi Kinari; dengan lembut memaksa Kinari untuk memandangnya. Yuusuke meneliti wajah kekasihnya itu baik-baik. Kedua mata kecoklatan Kinari terlihat sedih, khawatir, kesal dan lelah sekaligus sedikit takut. Satu ibu jari Yuusuke bergerak menghapus sisa air mata di sudut mata Kinari.

“Ah,” Kinari tertawa canggung dan mengangkat tangannya sendiri untuk mengusap matanya dengan punggung tangan. “Kemasukan debu. Aku… sedang bersih-bersih, hahaha…”

“Kinari,” Yuusuke memanggil namanya dengan lembut dan Kinari pun terdiam, “Ada apa?”

Tangan Kinari mendarat di atas tangan Yuusuke yang masih menyentuk pipinya, sedikit gemetar. Kinari menggigit bibirnya kuat-kuat dan ia menggelengkan kepalanya keras-keras hingga Yuusuke takut Kinari akan jadi pusing karenanya. Disambutnya Kinari yang melingkarkan kedua lengan ke sekeliling tubuh Yuusuke dengan erat dan mungkin terlalu kencang tapi Yuusuke tak terlalu peduli.

*****

Kinari menyusut hidungnya dengan sapu tangan lalu tertawa pelan, “Maaf ya, Yuusuke.”

Yuusuke mengangsurkan sekaleng kopi hangat yang baru saja dibelinya di mesin otomatis di seberang apartemen Kinari. “Kenapa minta maaf?” tanyanya sambil mendudukkan diri di sebelah Kinari di atas bangku kayu di taman itu. Yuusuke tadi mengajaknya turun ke taman apartemen (mungkin setengah menggeret Kinari karena pacarnya itu nampak enggan bergerak dan lebih memilih untuk tetap memeluknya saja) dan duduk di bangku taman. Suasana lebih tenang di taman itu dan supaya tak mengganggu tetangga Kinari karena Kinari tampak agak enggan membiarkan Yuusuke masuk ke dalam apartemennya.

“Karena kamu harus melihatku seperti ini,” ujar Kinari sambil menyesap kopinya.

Yuusuke tertawa pelan sambil mengusap lembut kepala Kinari. “Daijoubu. Sesekali melihatmu seperti ini bagus juga, kok.”

Mou,” Kinari menyenggol pundak Yuusuke dengan pundaknya sendiri dan tak bisa menahan senyum karena Yuusuke pun tersenyum padanya.

Mereka terdiam beberapa lama. Kinari menyandarkan pelipisnya di ujung pundak kokoh kekasihnya dan Yuusuke hanya menikmati kopi bagiannya tanpa berkata apa-apa. Beberapa jenak kemudian, Yuusuke menggerakkan kepalanya untuk mengecup pucuk kepala Kinari, membuat pemuda itu mendesah pelan dan akhirnya duduk tegak lagi. Kinari menarik dan menghela nafas beberapa kali. Yuusuke melirik ke arahnya dan sekali lagi menepuk bagian belakang kepala Kinari dengan sayang.

“Aku hanya berharap kau mau lebih percaya padaku,” ujarnya lembut.

Kinari menggigit bibir, “Aku… hanya tak ingin kau ikut repot gara-gara Ibuku.”

Yuusuke mengetuk-ngetuk pinggiran kaleng kopinya dengan ujung jemarinya. “Dulu, Sho-chan sering marah padaku karena katanya aku ini terlalu suka ikut campur urusannya tiap kali kutegur sehabis berkelahi, kau tahu?” Kinari menggelengkan kepalanya. “Aku hanya berpikir, karena ia temanku dan kupikir potensi seperti itu sebaiknya disalurkan di tempat lain yang lebih berguna.”

“Yuusuke sekali ya,” ujar Kinari sambil tertawa pelan, “Selalu positif tentang orang lain.”

“Ahahaha, sou yade? Yah, mungkin memang begitu ya. Tapi, kamu ini kan bukan sekedar temanku, loh. Kamu pacarku. Kalau aku tak diberitahu hal seserius ini, aku tidak tahu harus bagaimana.”

“Aku pun tidak tahu harus bagaimana,” Kinari bergumam sambil mengangkat bahunya dengan tak bersemangat. “Aku…”

“Kupikir ibumu ada di pusat rehabilitasi?”

Kinari mengangguk, “Sampai dua minggu yang lalu.” Pemuda itu menengadahkan kepala, memandang kosong ke arah lampu taman di seberang mereka. Yuusuke memperhatikan helaian poni panjangnya yang bergerak lembut dan menjulurkan tangan untuk menyelipkan helain halus itu ke belakang telinga Kinari.

“Aku sudah cerita kan, Ibu jadi seperti itu sejak Ayah pergi. Dengan keputusan keluarga, kami memasukkan Ibu ke pusat rehabilitasi. Tapi, keluarga pamanku yang selama ini membiayai perawatan Ibu sedang kesusahan. Mereka butuh biaya banyak untuk memperbaiki rumah mereka yang terbakar juga membayar sewa apartemen sementara. Karena itu, tak ada pilihan lain selain membawa Ibu pulang dan merawatnya di rumah. Kondisi Ibu pun sedang baik.”

“Ada yang terjadi hari ini?” Yuusuke mengusap punggung Kinari seolah member keberanian untuk melanjutkan ceritanya.

Kinari diam beberapa saat, menyesap kopinya lalu berujar pelan, “Kemarin Ayah menelepon. Biasanya Ayah menelepon hanya di hari Minggu tapi kali ini beliau menelepon karena tahu Ibu ada di rumah dan Ayah ingin bertemu dan ingin bicara pada Ibu. Entah untuk apa. Aku sedang di kamar mandi saat itu jadi Ibu yang mengangkat. Rupanya itu memicu Ibu dan… “ suara Kinari bergetar menahan luapan emosinya, “Ibu mengamuk.”

Yuusuke sama sekali tak tahu harus berkata atau berbuat apa jadi dilanjutkkannya mengusap punggung Kinari yang kembali tampak kesal dan sedih. Ia merasa simpati dan ikut sedih tapi dengan jujur ia akan mengakui kalau ia tak bisa sepenuhnya mengerti perasan Kinari. Ia hanya tahu kalau saat ini Kinari pasti sangatlah marah dan kesal juga sedih, mungkin sedikit merasa tak berdaya.

“Ibu hanya bisa tenang saat tertidur, itu pun setelah kupaksa meminum obatnya. Tapi tadi entah bagaimana Ibu menemukan kunci lemari tempat aku menyembunyikan minuman keras dan…” Kinari melambai pada bagian kausnya yang masih sedikit basah. “Aku tak bisa meninggalkan Ibu yang seperti itu tapi aku tak bisa lama-lama bolos kerja sambilan.”

“Aku sama sekali tak tahu harus bagaimana, Yuusuke.” Kinari mengepalkan kedua tangannya, menjatuhkan kaleng kopinya dan membuat sisa cairan gelap itu tumpah ke tanah.

Yuusuke mengecup keningnya dan memeluknya erat-erat. Tak berkata apa-apa.

*****

To: Ueda Yuusuke
From: Hirano Kinari
Subject: Gomen.

Kemarin terima kasih ya. Dan maaf karena aku jadi mengacaukan ulang tahun Yuusuke. Besok ada waktu? Mungkin aku bisa mampir sebentar ke tempatmu dan membawa kue.

To: Hirano Kinari
From: Ueda Yuusuke
Subject: Iie

Aku sudah dapat kue dari yang lain dan sake dari Sho-chan. Bawakan aku pie lemon-mu yang enak itu :p

To: Hirano Kinari
From: Ueda Yuusuke
Subject: Oh

Lebih baik lagi, tak usah bawa apa-apa :)

*****

Baru kali itu Kinari merasa sedikit gugup saat mau bertemu Yuusuke. Rasanya seperti datang ke kencan pertama mereka dulu. Tapi mungkin kali ini karena ia masih merasa sedikit malu karena sudah kelepasan tak terkendali seperti itu di depan Yuusuke. Memang sih, Yuusuke pacarnya tapi pakai menangis tak terkendali di pelukan Yuusuke itu cukup memalukan untuknya. Karena itu, ia sengaja datang menjelang waktu kedai es krim itu tutup. Dan berharap pada apapun di muka bumi ini kalau rombongan berisik dan selalu ingin tahu itu kali ini, untuk kali ini saja, tak ada di kedai.

Sapaan ramah dan hangat khas kedai itu menyambutnya begitu Kinari membuka pintu. Sayangnya bukan Yuusuke yang berjaga. Pelayan kedai itu tersenyum ramah padanya dan mengatakan kalau Yuusuke sudah berpesan padanya untuk langsung saja masuk ke rumah karena Yuusuke sedang keluar mengantar pesanan untuk pesta.

Kinari duduk menunggu di ruang duduk kecil di bagian belakang kedai yang biasanya digunakan untuk mengurus administrasi kedai itu. Ruang itu tadinya hanya lorong yang menghubungkan kedai dengan bagian rumah tinggal di belakangnya namun diubah fungsinya setelah kedai itu berkembang lebih maju dan ramai pengunjung. Sebuah jendela kecil menghubungkan ruang itu dengan bagian kasir di depannya. Pelayan toko mengantarkan secangkir teh hijau hangat dan semangkuk biskuit beras.

Yang ditunggu datang setengah jam kemudian tapi Kinari masih harus menunggu sedikit lebih lama karena itu bertepatan dengan waktu tutup kedai jadi Yuusuke harus membantu beres-beres sebentar. Ketika akhirnya Yuusuke duduk di depannya, Kinari mengerjapkan kedua matanya dengan heran; memandang dua buah amplop coklat tebal yang diletakkan Yuusuke di atas meja dan didorong pelan ke arahnya.

“A, apa ini?”

Yuusuke tak langsung menjawab, karena itu Kinari mengambil sebuah dan mengintip isinya. Matanya membelalak tak percaya dan detik berikutnya, kedua alisnya berkerut tak senang dan ia menatap Yuusuke dengan curiga.

“Yuusuke, serius. Ini apa?”

Yuusuke menggaruk ujung hidungnya lalu meringis. “Sudah kuduga. Ini…”

“Aku sama sekali tidak mengharapkan ini.” Kinari memotong ucapan pacarnya itu, menahan nadanya agar tak terdengar marah tapi ia tetap tampak tersinggung.

Yuusuke menyentuh tangan Kinari yang terlihat seperti mau melempar amplop itu ke tempat sampah. “Tunggu. Setidaknya dengarkan dulu apa yang mau kukatakan. Ya?”

Kinari menarik nafas lalu meletakkan amplop tebal itu kembali ke atas meja. Yuusuke memiringkan kepalanya sedikit, “Ookini.” Ia kemudian meletakkan tangannya di atas amplop yang tadi diletakkan Kinari. “Aku sudah berpikir panjang dan aku tak peduli kamu mau menganggapku tukang ikut campur atau apapun tapi kupikir, aku sungguh ingin membantumu. Aku berpikir ini hal yang wajar dan kalau aku bisa, kenapa tidak? Dan sebelum kau menyela, aku akan mengatakan ini: Ini bukan pemberian cuma-cuma loh. Aku tahu kau pasti tak akan mau menerima. Karena itu, anggap saja ini pinjaman jangka panjang. Kamu bisa mengembalikannya kapan saja kamu mau atau menyicilnya semampumu, terserah saja.”

Kinari nampak masih tak bisa menerima kata-kata Yuusuke, “Tapi, ini jumlahnya besar sekali. Aku tak bisa…”

“Kinari, aku ingin membantumu. Dan kalau kau sebegitu khawatirnya, aku sudah membicarakan ini baik-baik dengan orang tuaku. Mereka sudah setuju dan berpendapat bahwa kami memang harus membantumu.”

“Tapi---“

“Tentu saja ada syarat lainnya,” Yuusuke tak menggubris protes Kinari.

“Syarat?”

Yuusuke mengangguk. “Kamu harus berkonsentrasi. Istirahat yang cukup, makan yang cukup jadi kau bisa bekerja dengan baik dan suatu hari nanti, kau harus mau meninggalkan rumahmu dan masuk ke rumah ini.”

Kinari terdiam sejenak, berusaha mencerna perkataan Yuusuke. Sesaat kemudian, “Eh?”

Yuusuke mengangguk. “Kurasa aku tak perlu mengulang perkataanku.” Ujarnya sambil tersenyum lebar.

“EH?” suara Kinari meninggi dan wajahnya memerah. “A, aku… itu… me, memangnya tidak apa-apa seenaknya memutuskan begitu?”

Yuusuke menggelengkan kepala, “Semuanya nanti bisa diatur, kok” ujarnya seraya mengerling.

Kinari menunduk. Sekilas, ia masih nampak tersipu tapi kelamaan Yuusuke bisa melihat kalau Kinari kembali terlihat enggan dan tak enak. Yuusuke mengulurkan tangannya; menyentuhkan ujung jari-jarinya dengan ujung jemari Kinari. Dijentikkannya dengan pelan sampai Kinari mau mengangkat wajah dan memandangnya.

“Aku pun ingin Ibumu mendapatkan perawatan yang terbaik dan sembuh secepatnya.” Ujarnya pelan dan bersungguh-sungguh.

Kinari mencerna perkataan Yuusuke sebelum akhirnya mengangguk. Ia kemudian melirik ke arah amplop yang satu lagi. “Ini juga?”

“Ah, yang itu… itu dari Mao dan teman-teman.”

Mata Kinari kembali melebar tak percaya.

“Maaf. Aku… cerita pada mereka karena aku ingin minta saran dan mereka memaksa untuk menyumbang. Mereka tak mau dengar meskipun aku sudah bilang kalau kau pasti tak akan setuju dan akan menolak. Mereka juga menolak untuk dikembalikan. Kupikir, untuk yang satu ini sebaiknya kau menerima perasaan mereka.”

Kinari kembali terdiam.

“Kalau kau mau mengembalikan, silakan kembalikan sendiri pada mereka ya, meskipun aku tak yakin mereka akan mau menerima.” Yuusuke tertawa pelan.

“Aku…” Kinari menarik nafas. “Ini terlalu banyak.”

Yuusuke menggeleng. “Tak usah dipikirkan. Yang harus kau pikirkan saat ini hanya Ibumu dan bagaimana memberi perawatan yang terbaik. Itu saja. Ya?”

Ketika akhirnya Kinari mengangguk dan tersenyum, Yuusuke merasa ia terlihat begitu cantik. Kinari mengangkat tubuhnya dan bergeser ke sebelah Yuusuke. Untuk beberapa lama, ditatapnya pria tampan itu dan ketika Kinari merangkulnya dan menciumnya, Yuusuke mengerti Kinari tengah berusaha menyampaikan rasa terima kasihnya. Yuusuke membalas tatapannya dengan lembut, juga membalas ciumannya dengan senang hati.

Nande,” Kinari berbisik di sela ciuman mereka, mengusap bibir Yuusuke dengan ibu jarinya, “soko made boku ni tasukete kureta?

Nande tte… mochiron deshou?” Yuusuke tertawa pelan dan mengecup Kinari lagi, “Suki yakara de.

Yuusuke menganggap semu kemerahan di pipi Kinari itu adalah pemandangan paling imut di muka bumi ini. “Boku mo, Yuusuke ga suki.

-end-