ALERT! THIS IS A BL FIC. DO NOT READ UNLESS YOU'RE INTO IT.
Title: First Argument
Author: Panda^^
Fandom: DCD/Shinkenger
Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori. Cameo KaneOuji LOL
Rating: PG-13
Warning: boys kissing.
Disclaimer: I do not own any of the characters
Note: Okay, sebenernya ada apa dengan gue (kita) beberapa hari belakangan ini? Pertama kalinya gue jatoh ke pairing yang sukses bikin gue nulis tiap hari. Pakai bahasa Indonesia pula! There must be something in the air *tatap langit penuh curiga*. Lagi-lagi masih spin off dari TeniMyu AU-nya Nei. Maaf ya, darling, aku menggunakan duniamu dengan seenaknya *kisses* Anyway, mungkin ini gak seberapa setelah stensilan-nya Icha yang sangat hot dan seksi itu. Desu kedo, dinikmati saja ya~
Hari ini tak ada praktek sampai malam kan? Kita kencan ya.
Tori tersenyum membaca pesan yang baru masuk ke handphone-nya itu. Jari-jarinya langsung bergerak menulis pesan balasan.
Tak bisa. Aku sudah terlanjur sudah ada janji lain.
Diletakkannya handphone-nya dan kembali berkonsentrasi pada kertas-kertas di atas mejanya. Sebuah pesan masuk.
Batalkan.
Tak bisa. Aku sudah membuat janji ini sejak lama.
Dengan siapa?
Teman lama.
Siapa?
Kapan-kapan kukenalkan.
Tak ada pesan lagi selama beberapa menit. Mau tak mau Tori jadi melirik handphone-nya terus menerus. Dia tahu Masahiro pasti ngambek dan kalau bisa, Tori tentu akan lebih memilih untuk kencan dengan Masahiro dibanding makan malam dengan teman lamanya itu. Tapi Tori sudah lama tidak bertemu dengan temannya ini dan ketika secara tak sengaja bertemu di rumah sakit beberapa waktu lalu, mereka janjian untuk makan malam dan ngobrol. Temannya itu juga mau berkonsultasi tentang sesuatu dan sepertinya dia enggan untuk melakukannya di rumah sakit. Karena mereka dulunya cukup dekat, Tori tak sampai hati menolak.
Di mana?
Tori mendesah.
Tak akan kuberitahu.
Kenapa?
Karena dia teman baikku dan aku tak mau diganggu.
Kali ini benar-benar tak ada lagi balasan dari Masahiro. Meskipun agak merasa bersalah dan tak enak, Tori juga tak berbuat apa-apa. Masahiro harus belajar menghormati urusannya. Pemuda itu sudah mulai mengerti tentang pekerjaannya. Sekarang Masahiro juga harus belajar kalau Tori pun punya kehidupan lain di luar rumah sakit dan Masahiro.
Masih tak ada pesan atau missed call dari Masahiro sampai Tori pulang lewat tengah malam. Dia mengecek mesin penerima pesan dan hanya ada 1 pesan dari ibunya yang mengatakan kalau kiriman Tori sudah diterima dan mengingatkan untuk sesekali pulang ke Kanagawa. Tori pergi tidur dengan agak kecewa.
Dua hari berlalu dan masih tak ada kabar dari Masahiro. Tori mulai merasa sebal. “Dasar anak kecil.” Gerutunya sebelum akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan duluan.
Kamu kenapa?
Tak ada balasan sampai malam.
Hari keempat, Tori mulai merasa khawatir. Dia tak bisa berkonsentrasi dan sampai berkali-kali ditegur oleh suster karena bengong saat sedang memeriksa pasien. Tori ingin bertanya pada Kubota-sensei atau Kazuki-sensei tapi diurungkan karena dia juga tak ingin ditanya-tanya lebih jauh karena biasanya Tori lebih tahu Masahiro ada di mana dibanding kakak-kakaknya. Merasa sudah terlalu kalut, Tori pergi ke atas atap rumah sakit, mencari udara segar.
Jas dokternya berkibar-kibar ditiup angin kencang dan Tori sedikit memicingkan mata karena meskipun sedang mendung, di atap tetap lebih terang daripada di dalam rumah sakit. Tori berjalan ke sudut favoritnya, bagian paling sejuk di atap karena terhalang tembok. Langkahnya terhenti saat mendapati dua sosok yang menempati tempat itu. Yang satu mengenakan kimono rumah sakit dan duduk di kursi roda. Sehelai haori hitam tersampir di bahu orang itu, mungkin untuk melindunginya dari angin. Meskipun terlihat lemah dan pucat, orang itu sangat cantik. Yang seorang lagi bertubuh tinggi dan besar, duduk bersandar pada pagar pembatas. Tangan mereka saling menggenggam dan mereka sedang ngobrol dengan wajah ceria.
Tori memiringkan kepalanya. Dia mengenal mereka karena rutin bertemu kalau kebetulan dia sedang lewat di depan ruangan Jyutta-sensei. Suami-istri Kanesaki, pasien Jyutta-sensei. Sang istri melihatnya dan mengangguk sambil tersenyum lebar. Si suami menoleh ke arahnya juga dan ikut mengangguk sopan. Tori balas mengangguk sambil tersenyum juga sebelum bergerak ke arah lain.
Tori sengaja mengambil tempat tak jauh dari pasangan itu dan diam-diam mengamati pasangan yang melanjutkan obrolan mereka, seolah tak peduli dengan sekeliling mereka. Tori hanya mendengar sekilas-sekilas tentang dua orang itu dari Jyutta-sensei: bahwa Yagami Ren-san, sang istri, menderita sebuah penyakit yang kini sedang jadi salah satu studi kasus Jyutta-sensei. Juga bahwa sang suami tak pernah absen mengantarnya check-up dan kalau misalnya Yagami-san sampai harus tinggal beberapa hari di rumah sakit, Kanesaki-san akan datang menjenguk tiap sore. Kadang ditemani seorang pemuda jangkung berpotongan rambut jamur dan seorang anak laki-laki berambut keriting dan berpipi bulat.
Tori menopang dagunya. Pasti susah juga kalau ada anggota keluarga yang sakit seperti itu dan harus bolak-balik ke rumah sakit dan kasus seperti itu sudah jadi kisah harian di rumah sakit. Sebagai dokter, apalagi dokter muda dan bujangan seperti dirinya, Tori hanya bisa bersimpati. Tapi melihat pasangan itu di dekatnya dan melihat kalau tak ada perasaan sayang yang ditutupi, Tori jadi berpikir. Apa dalam kondisi seperti itu mereka tetap punya waktu untuk berargumen tak penting seperti dirinya dan Masahiro? Kalau Tori sudah merasa sebal karena Masahiro marah berkepanjangan padanya sampai memutuskan komunikasi selama 4 hari, bagaimana rasanya kalau tak bisa berkomunikasi sama sekali karena salah satunya harus terbaring lemah di rumah sakit selama berbulan-bulan?
Mendadak dia merasa masalahnya sepele sekali. Sebagai yang lebih tua, seharusnya dia bisa menyampaikan maksudnya dengan lebih baik pada Masahiro. Dia menggelengkan kepala, dia juga seperti anak kecil kalau begitu. Tak jauh dari tempatnya, dia melihat Kanesaki-san mencondongkan tubuhnya dan mencium sang istri. Wajah sang istri langsung bersemu merah.
“Kane-chan!” desisnya cukup keras dan tersenyum malu-malu karena sadar Tori melihat mereka.
Kanesaki-san hanya menyeringai dan mau tak mau Tori juga jadi tersenyum lebar meskipun dalam hati mendadak dia iri sekali dengan pasangan itu. Dia mengangguk pada mereka dan beranjak pergi dari atap untuk turun ke ruangannya lagi.
Sambil berjalan, Tori memutuskan untuk tidak menunda waktu lebih lama lagi. Untunglah jam prakteknya sudah mau selesai. Hanya ada satu pasien yang sedang menunggu di depan ruang prakteknya dan Tori segera menyelesaikan pekerjaannya. Sekarang dengan senyum yang biasanya tersungging di bibirnya.
Tori berdiri bersandar di tiang dekat gerbang kampus Masahiro, memperhatikan mahasiswa yang keluar masuk. Matanya juga tak lepas dari mobil dan motor yang keluar masuk. Dia berhasil mencari tahu dari Kazuki-sensei (susah sekali mencari keterangan dari dokter yang selalu berekspresi sangar itu) kalau hari itu Masahiro akan seharian ada di kampus. Tapi hari sudah sore sekali waktu Tori sampai dan dia agak cemas jangan-jangan Masahiro sudah pulang. Setelah nyaris satu jam, Masahiro mulai benar-benar khawatir apalagi dia mulai merasa risih karena mulai banyak mahasiswa yang melirik ke arahnya dan beberapa berusaha menarik perhatiannya. Satu-dua bahkan cukup berani untuk menggodanya. Tori hanya membuang muka tak acuh.
Akhirnya para dewa di langit jatuh kasihan juga padanya ketika dilihatnya mobil sedan sport hitam yang sangat dikenalnya mendekati gerbang dari arah dalam sambil mengklakson ribut karena terhalang mahasiswa yang berjalan kaki. Reflek, Tori beranjak dari tempatnya dan berdiri di tengah jalan yang akan dilewati mobil itu. Sesuai dugaannya, si pengemudi langsung mengklakson ribut sampai akhirnya membuka kaca dan mengeluarkan kepalanya.
“HEI! MINGGIR BISA TIDAK? KAU PIKIR INI JALAN PUNYAMU A---- Tori?”
Tori cepat-cepat berjalan ke sisi lain mobil itu dan masuk ke kursi penumpang depan. Masahiro hanya bisa menatapnya tanpa berkedip.
Tori tersenyum. “Antar aku pulang ya?”
Mulut Masahiro terbuka dan menutup lagi, persis seperti ikan. Dia kemudian merengut. “Memangnya kenapa dengan mobilmu?” Tanyanya dengan ketus. Jelas-jelas masih ngambek pada Tori.
Tori hanya mengedikkan bahu. “Aku naik kereta ke sini.”
Masahiro memutar matanya. Tori memang sengaja karena dia tahu Masahiro paling tak suka dan tak akan membiarkan Tori naik kereta sejak pacarnya yang super tampan dan seksi itu bercerita kalau dulu sekali dia pernah dicolek-colek di kereta saat berangkat kuliah. Sambil bersungut-sungut dan karena sudah diprotes orang banyak karena menghalangi jalan, Masahiro menjalankan mobilnya.
Suasana di dalam mobil itu sangat kaku dan membuat tak nyaman siapapun yang kebetulan duduk di bangku belakang. Tori melirik Masahiro dan menghela nafas tanpa suara. Begitu Masahiro memarkir mobilnya di pelataran apartemen Tori, pemuda itu masih menolak melihat ke arahnya. Tori juga duduk diam sesaat sebelum menoleh dan bersiap turun.
“Terima kasih, ya.” Ujarnya tulus lalu memiringkan kepala, berusaha memandang Masahiro. “Tak mau turun dulu?”
Tori nyaris terlonjak kaget ketika Masahiro bereaksi dengan menggebrak setir. “AH MOU~!”
“Masahiro?”
Masahiro akhirnya menoleh padanya, matanya menatap tajam dan menantang. “Aku kesal!” Tangannya mengepal seperti berusaha menahan diri untuk tidak menghancurkan sesuatu.
Tori mengulum bibir bawahnya, berusaha tidak tersenyum. “Aku tahu.” Tori merilekskan badannya dan bersandar ke sandaran kursi, badannya dimiringkan supaya dia bisa melihat Masahiro dengan lebih jelas. “Aku tahu kok kalau kamu marah dan kesal padaku. Karena aku juga begitu.” Jari-jarinya dikaitkan dan melanjutkan. “Aku kesal karena Masahiro tak mau menghormati hakku untuk bertemu orang lain. Aku ingin kamu belajar kalau aku masih punya hak untuk punya kehidupan di luar pekerjaanku dan Masahiro. Aku terpaksa agak kasar padamu karena kamu memaksa sekali.” Tori tertawa miris, “Tapi sepertinya caraku tidak tepat ya? Kamu jadi tersinggung seperti ini.”
Tori memandang pacarnya yang justru makin terlihat makin seksi ketika sedang marah itu. “Maafkan aku, ya?”
Ketika Masahiro masih juga tidak menjawab, Tori mendesah dan akhirnya bergerak turun dari mobil itu. Sebelum menutup pintu, dia berpesan sambil tersenyum, “Hati-hati di jalan ya.” Dan Tori tak menoleh lagi saat meninggalkan mobil dan pelataran parkir itu menuju apartemennya.
Tori menutup pintu apartemennya dan bersandar lemas sampai terduduk. Kepalanya disusupkan di antara lututnya. Dia mendesah keras. Sudahlah. Dia sudah berusaha, kalau Masahiro tak mau dengar, itu urusannya. Tapi Tori masih merasa tak karuan. Dia sudah terlalu sayang pada Masahiro. Terlalu cinta, malah. Kalau Masahiro sampai benar-benar tak ingin bertemu dengannya lagi hanya gara-gara ini, Tori tak tahu harus bagaimana.
Dibiarkannya perasaan sakit yang menusuk-nusuk dadanya itu dan beranjak berdiri. Dia baru saja melemparkan jaketnya ke tempat tidur ketika bel pintu berbunyi. Tori mengernyit, dia ingin sendirian saja saat ini. Bel pintu berbunyi lagi. Dan lagi. Dan sekali lagi. Tori mengumpat dan menyerah. Siapa tahu penting. Dibukanya pintu perlahan, berusaha tersenyum seramah mungkin.
“Ya?”
Detik berikutnya, Tori terdorong ke dinding, dua tangan yang cukup kuat mencengkeram dan menahan kedua tangan Tori di sisi kepala Tori sementara bibirnya dicium dengan penuh kemarahan. Tori gelagapan, bergumam panik dan meronta sesaat sebelum mengenali penyerangnya sebagai Masahiro. Tori mengendurkan pertahanannya dan membiarkan Masahiro memasukkan lidah ke dalam mulutnya, menciumnya dengan kasar. Masahiro memagut, mengulum, menjilat dan mengigit dan memperkosa bibir Tori dengan bibir dan mulutnya sendiri. Menuangkan semua kekesalan dan kemarahannya. Tori membiarkan saja. Sesekali dia bergerak supaya tak terlalu sakit digigit Masahiro. Sampai akhirnya pegangan Masahiro di tangan Tori mengendur perlahan dan ciuman Masahiro mulai canggung.
Tori beringsut melepaskan tangannya dari cengkeraman Masahiro dengan mudah dan melingkarkan tangan ke leher Masahiro. Jari-jarinya diselipkan ke dalam rambut kecoklatan Masahiro dan mengelus dengan sayang. Tori mengambil alih kontrol ciuman mereka dan mulai mencium Masahiro dengan lembut dan perlahan. Menyampaikan kalau Tori mengerti, sekaligus minta maaf dan memaafkan. Dikecupnya lembut sudut bibir Masahiro dan dijilatnya gigi dan bagian dalam mulut Masahiro dengan tak kalah lembut. Sampai akhirnya Masahiro mengerang dari dalam tenggorokannya, tangannya memeluk pinggang Tori dan menariknya untuk didekap erat sekali - tak peduli dia bisa mematahkan badan Tori karena memeluk terlalu kencang.
Beberapa menit kemudian, yang terdengar hanya suara basah bibir yang saling bertemu bibir dan erangan dari Tori atau Masahiro. Tori tak tahan untuk tidak tertawa saat merasakan sesuatu yang hangat dan keras menusuk pahanya. Masahiro merengut dan Tori menutup mulut dengan tangan sebelum kembali mencium Masahiro. Tori mengakhiri ciuman mereka dengan menyandarkan keningnya ke kening Masahiro. Matanya tertutup menikmati hembusan nafas Masahiro yang tersengal-sengal ke wajahnya. Disentuhnya pipi Masahiro dengan sayang.
Masahiro mengelus pinggang Tori. Tindakannya itu mengirim sensasi aneh yang nikmat sepanjang syaraf Tori.
“Aku tidak suka dianggap pengganggu.” Bisik Masahiro dengan serak dan terdengar agak sedih. “Kalau Tori menganggap aku mengganggu, kenapa selalu meladeniku selama ini?”
Tori menggeleng. “Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya ingin membuatmu mengerti.”
Masahiro tampak tersipu dan mengalihkan matanya dari Tori. “Aku juga tak senang karena kau lebih memilih makan malam dengan orang lain. Apalagi aku tak kenal orangnya.”
Ucapan jujur itu membuat Tori tersenyum lebar dan senang sekali. “Masahiro cemburu ya?” Dipeluknya pemuda jangkung itu dengan gemas. “Kawaiiiii~~~~”
Masahiro berontak sambil merengut hebat. “Tidak, kok!”
Tori menciumnya dan menatapnya dengan geli, sayang dan bangga karena merasa orang paling penting dalam hidup Masahiro. “Aku senang, kok.” Disentilnya ujung hidung Masahiro dengan sayang. “Dengar ya, aku menyesal karena sudah kasar padamu. Tapi aku tidak melakukan apa-apa kok. Dia teman yang sudah lama tak bertemu dan dia minta saran soal penyakit yang diderita ayahnya. Itu saja kok.”
“Sungguh?” Masahiro memiringkan kepalanya, masih tak yakin.
Tori mengangguk. “Aku sudah punya pacar paling tampan dan seksi di dunia. Untuk apa aku lirik-lirik yang lain?” Dengan sengaja, Tori menyentuh kemaluan Masahiro yang masih tegang saat mengucapkan kata ‘seksi’.
Masahiro menggeram dan menjilat bibirnya, menatap Tori dengan lapar. “Kau tahu kalau ini artinya kau tidak akan tidur malam ini kan?”
Tori merenggut kemaluan Masahiro dengan keras lalu melepaskannya begitu saja dan berjalan mundur ke kamar tidur. Jari telunjuknya ditekuk, mengisyaratkan Masahiro untuk mengikutinya sambil tersenyum menggoda.
Tori tersenyum membaca pesan yang baru masuk ke handphone-nya itu. Jari-jarinya langsung bergerak menulis pesan balasan.
Tak bisa. Aku sudah terlanjur sudah ada janji lain.
Diletakkannya handphone-nya dan kembali berkonsentrasi pada kertas-kertas di atas mejanya. Sebuah pesan masuk.
Batalkan.
Tak bisa. Aku sudah membuat janji ini sejak lama.
Dengan siapa?
Teman lama.
Siapa?
Kapan-kapan kukenalkan.
Tak ada pesan lagi selama beberapa menit. Mau tak mau Tori jadi melirik handphone-nya terus menerus. Dia tahu Masahiro pasti ngambek dan kalau bisa, Tori tentu akan lebih memilih untuk kencan dengan Masahiro dibanding makan malam dengan teman lamanya itu. Tapi Tori sudah lama tidak bertemu dengan temannya ini dan ketika secara tak sengaja bertemu di rumah sakit beberapa waktu lalu, mereka janjian untuk makan malam dan ngobrol. Temannya itu juga mau berkonsultasi tentang sesuatu dan sepertinya dia enggan untuk melakukannya di rumah sakit. Karena mereka dulunya cukup dekat, Tori tak sampai hati menolak.
Di mana?
Tori mendesah.
Tak akan kuberitahu.
Kenapa?
Karena dia teman baikku dan aku tak mau diganggu.
Kali ini benar-benar tak ada lagi balasan dari Masahiro. Meskipun agak merasa bersalah dan tak enak, Tori juga tak berbuat apa-apa. Masahiro harus belajar menghormati urusannya. Pemuda itu sudah mulai mengerti tentang pekerjaannya. Sekarang Masahiro juga harus belajar kalau Tori pun punya kehidupan lain di luar rumah sakit dan Masahiro.
Masih tak ada pesan atau missed call dari Masahiro sampai Tori pulang lewat tengah malam. Dia mengecek mesin penerima pesan dan hanya ada 1 pesan dari ibunya yang mengatakan kalau kiriman Tori sudah diterima dan mengingatkan untuk sesekali pulang ke Kanagawa. Tori pergi tidur dengan agak kecewa.
Dua hari berlalu dan masih tak ada kabar dari Masahiro. Tori mulai merasa sebal. “Dasar anak kecil.” Gerutunya sebelum akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan duluan.
Kamu kenapa?
Tak ada balasan sampai malam.
Hari keempat, Tori mulai merasa khawatir. Dia tak bisa berkonsentrasi dan sampai berkali-kali ditegur oleh suster karena bengong saat sedang memeriksa pasien. Tori ingin bertanya pada Kubota-sensei atau Kazuki-sensei tapi diurungkan karena dia juga tak ingin ditanya-tanya lebih jauh karena biasanya Tori lebih tahu Masahiro ada di mana dibanding kakak-kakaknya. Merasa sudah terlalu kalut, Tori pergi ke atas atap rumah sakit, mencari udara segar.
Jas dokternya berkibar-kibar ditiup angin kencang dan Tori sedikit memicingkan mata karena meskipun sedang mendung, di atap tetap lebih terang daripada di dalam rumah sakit. Tori berjalan ke sudut favoritnya, bagian paling sejuk di atap karena terhalang tembok. Langkahnya terhenti saat mendapati dua sosok yang menempati tempat itu. Yang satu mengenakan kimono rumah sakit dan duduk di kursi roda. Sehelai haori hitam tersampir di bahu orang itu, mungkin untuk melindunginya dari angin. Meskipun terlihat lemah dan pucat, orang itu sangat cantik. Yang seorang lagi bertubuh tinggi dan besar, duduk bersandar pada pagar pembatas. Tangan mereka saling menggenggam dan mereka sedang ngobrol dengan wajah ceria.
Tori memiringkan kepalanya. Dia mengenal mereka karena rutin bertemu kalau kebetulan dia sedang lewat di depan ruangan Jyutta-sensei. Suami-istri Kanesaki, pasien Jyutta-sensei. Sang istri melihatnya dan mengangguk sambil tersenyum lebar. Si suami menoleh ke arahnya juga dan ikut mengangguk sopan. Tori balas mengangguk sambil tersenyum juga sebelum bergerak ke arah lain.
Tori sengaja mengambil tempat tak jauh dari pasangan itu dan diam-diam mengamati pasangan yang melanjutkan obrolan mereka, seolah tak peduli dengan sekeliling mereka. Tori hanya mendengar sekilas-sekilas tentang dua orang itu dari Jyutta-sensei: bahwa Yagami Ren-san, sang istri, menderita sebuah penyakit yang kini sedang jadi salah satu studi kasus Jyutta-sensei. Juga bahwa sang suami tak pernah absen mengantarnya check-up dan kalau misalnya Yagami-san sampai harus tinggal beberapa hari di rumah sakit, Kanesaki-san akan datang menjenguk tiap sore. Kadang ditemani seorang pemuda jangkung berpotongan rambut jamur dan seorang anak laki-laki berambut keriting dan berpipi bulat.
Tori menopang dagunya. Pasti susah juga kalau ada anggota keluarga yang sakit seperti itu dan harus bolak-balik ke rumah sakit dan kasus seperti itu sudah jadi kisah harian di rumah sakit. Sebagai dokter, apalagi dokter muda dan bujangan seperti dirinya, Tori hanya bisa bersimpati. Tapi melihat pasangan itu di dekatnya dan melihat kalau tak ada perasaan sayang yang ditutupi, Tori jadi berpikir. Apa dalam kondisi seperti itu mereka tetap punya waktu untuk berargumen tak penting seperti dirinya dan Masahiro? Kalau Tori sudah merasa sebal karena Masahiro marah berkepanjangan padanya sampai memutuskan komunikasi selama 4 hari, bagaimana rasanya kalau tak bisa berkomunikasi sama sekali karena salah satunya harus terbaring lemah di rumah sakit selama berbulan-bulan?
Mendadak dia merasa masalahnya sepele sekali. Sebagai yang lebih tua, seharusnya dia bisa menyampaikan maksudnya dengan lebih baik pada Masahiro. Dia menggelengkan kepala, dia juga seperti anak kecil kalau begitu. Tak jauh dari tempatnya, dia melihat Kanesaki-san mencondongkan tubuhnya dan mencium sang istri. Wajah sang istri langsung bersemu merah.
“Kane-chan!” desisnya cukup keras dan tersenyum malu-malu karena sadar Tori melihat mereka.
Kanesaki-san hanya menyeringai dan mau tak mau Tori juga jadi tersenyum lebar meskipun dalam hati mendadak dia iri sekali dengan pasangan itu. Dia mengangguk pada mereka dan beranjak pergi dari atap untuk turun ke ruangannya lagi.
Sambil berjalan, Tori memutuskan untuk tidak menunda waktu lebih lama lagi. Untunglah jam prakteknya sudah mau selesai. Hanya ada satu pasien yang sedang menunggu di depan ruang prakteknya dan Tori segera menyelesaikan pekerjaannya. Sekarang dengan senyum yang biasanya tersungging di bibirnya.
Tori berdiri bersandar di tiang dekat gerbang kampus Masahiro, memperhatikan mahasiswa yang keluar masuk. Matanya juga tak lepas dari mobil dan motor yang keluar masuk. Dia berhasil mencari tahu dari Kazuki-sensei (susah sekali mencari keterangan dari dokter yang selalu berekspresi sangar itu) kalau hari itu Masahiro akan seharian ada di kampus. Tapi hari sudah sore sekali waktu Tori sampai dan dia agak cemas jangan-jangan Masahiro sudah pulang. Setelah nyaris satu jam, Masahiro mulai benar-benar khawatir apalagi dia mulai merasa risih karena mulai banyak mahasiswa yang melirik ke arahnya dan beberapa berusaha menarik perhatiannya. Satu-dua bahkan cukup berani untuk menggodanya. Tori hanya membuang muka tak acuh.
Akhirnya para dewa di langit jatuh kasihan juga padanya ketika dilihatnya mobil sedan sport hitam yang sangat dikenalnya mendekati gerbang dari arah dalam sambil mengklakson ribut karena terhalang mahasiswa yang berjalan kaki. Reflek, Tori beranjak dari tempatnya dan berdiri di tengah jalan yang akan dilewati mobil itu. Sesuai dugaannya, si pengemudi langsung mengklakson ribut sampai akhirnya membuka kaca dan mengeluarkan kepalanya.
“HEI! MINGGIR BISA TIDAK? KAU PIKIR INI JALAN PUNYAMU A---- Tori?”
Tori cepat-cepat berjalan ke sisi lain mobil itu dan masuk ke kursi penumpang depan. Masahiro hanya bisa menatapnya tanpa berkedip.
Tori tersenyum. “Antar aku pulang ya?”
Mulut Masahiro terbuka dan menutup lagi, persis seperti ikan. Dia kemudian merengut. “Memangnya kenapa dengan mobilmu?” Tanyanya dengan ketus. Jelas-jelas masih ngambek pada Tori.
Tori hanya mengedikkan bahu. “Aku naik kereta ke sini.”
Masahiro memutar matanya. Tori memang sengaja karena dia tahu Masahiro paling tak suka dan tak akan membiarkan Tori naik kereta sejak pacarnya yang super tampan dan seksi itu bercerita kalau dulu sekali dia pernah dicolek-colek di kereta saat berangkat kuliah. Sambil bersungut-sungut dan karena sudah diprotes orang banyak karena menghalangi jalan, Masahiro menjalankan mobilnya.
Suasana di dalam mobil itu sangat kaku dan membuat tak nyaman siapapun yang kebetulan duduk di bangku belakang. Tori melirik Masahiro dan menghela nafas tanpa suara. Begitu Masahiro memarkir mobilnya di pelataran apartemen Tori, pemuda itu masih menolak melihat ke arahnya. Tori juga duduk diam sesaat sebelum menoleh dan bersiap turun.
“Terima kasih, ya.” Ujarnya tulus lalu memiringkan kepala, berusaha memandang Masahiro. “Tak mau turun dulu?”
Tori nyaris terlonjak kaget ketika Masahiro bereaksi dengan menggebrak setir. “AH MOU~!”
“Masahiro?”
Masahiro akhirnya menoleh padanya, matanya menatap tajam dan menantang. “Aku kesal!” Tangannya mengepal seperti berusaha menahan diri untuk tidak menghancurkan sesuatu.
Tori mengulum bibir bawahnya, berusaha tidak tersenyum. “Aku tahu.” Tori merilekskan badannya dan bersandar ke sandaran kursi, badannya dimiringkan supaya dia bisa melihat Masahiro dengan lebih jelas. “Aku tahu kok kalau kamu marah dan kesal padaku. Karena aku juga begitu.” Jari-jarinya dikaitkan dan melanjutkan. “Aku kesal karena Masahiro tak mau menghormati hakku untuk bertemu orang lain. Aku ingin kamu belajar kalau aku masih punya hak untuk punya kehidupan di luar pekerjaanku dan Masahiro. Aku terpaksa agak kasar padamu karena kamu memaksa sekali.” Tori tertawa miris, “Tapi sepertinya caraku tidak tepat ya? Kamu jadi tersinggung seperti ini.”
Tori memandang pacarnya yang justru makin terlihat makin seksi ketika sedang marah itu. “Maafkan aku, ya?”
Ketika Masahiro masih juga tidak menjawab, Tori mendesah dan akhirnya bergerak turun dari mobil itu. Sebelum menutup pintu, dia berpesan sambil tersenyum, “Hati-hati di jalan ya.” Dan Tori tak menoleh lagi saat meninggalkan mobil dan pelataran parkir itu menuju apartemennya.
Tori menutup pintu apartemennya dan bersandar lemas sampai terduduk. Kepalanya disusupkan di antara lututnya. Dia mendesah keras. Sudahlah. Dia sudah berusaha, kalau Masahiro tak mau dengar, itu urusannya. Tapi Tori masih merasa tak karuan. Dia sudah terlalu sayang pada Masahiro. Terlalu cinta, malah. Kalau Masahiro sampai benar-benar tak ingin bertemu dengannya lagi hanya gara-gara ini, Tori tak tahu harus bagaimana.
Dibiarkannya perasaan sakit yang menusuk-nusuk dadanya itu dan beranjak berdiri. Dia baru saja melemparkan jaketnya ke tempat tidur ketika bel pintu berbunyi. Tori mengernyit, dia ingin sendirian saja saat ini. Bel pintu berbunyi lagi. Dan lagi. Dan sekali lagi. Tori mengumpat dan menyerah. Siapa tahu penting. Dibukanya pintu perlahan, berusaha tersenyum seramah mungkin.
“Ya?”
Detik berikutnya, Tori terdorong ke dinding, dua tangan yang cukup kuat mencengkeram dan menahan kedua tangan Tori di sisi kepala Tori sementara bibirnya dicium dengan penuh kemarahan. Tori gelagapan, bergumam panik dan meronta sesaat sebelum mengenali penyerangnya sebagai Masahiro. Tori mengendurkan pertahanannya dan membiarkan Masahiro memasukkan lidah ke dalam mulutnya, menciumnya dengan kasar. Masahiro memagut, mengulum, menjilat dan mengigit dan memperkosa bibir Tori dengan bibir dan mulutnya sendiri. Menuangkan semua kekesalan dan kemarahannya. Tori membiarkan saja. Sesekali dia bergerak supaya tak terlalu sakit digigit Masahiro. Sampai akhirnya pegangan Masahiro di tangan Tori mengendur perlahan dan ciuman Masahiro mulai canggung.
Tori beringsut melepaskan tangannya dari cengkeraman Masahiro dengan mudah dan melingkarkan tangan ke leher Masahiro. Jari-jarinya diselipkan ke dalam rambut kecoklatan Masahiro dan mengelus dengan sayang. Tori mengambil alih kontrol ciuman mereka dan mulai mencium Masahiro dengan lembut dan perlahan. Menyampaikan kalau Tori mengerti, sekaligus minta maaf dan memaafkan. Dikecupnya lembut sudut bibir Masahiro dan dijilatnya gigi dan bagian dalam mulut Masahiro dengan tak kalah lembut. Sampai akhirnya Masahiro mengerang dari dalam tenggorokannya, tangannya memeluk pinggang Tori dan menariknya untuk didekap erat sekali - tak peduli dia bisa mematahkan badan Tori karena memeluk terlalu kencang.
Beberapa menit kemudian, yang terdengar hanya suara basah bibir yang saling bertemu bibir dan erangan dari Tori atau Masahiro. Tori tak tahan untuk tidak tertawa saat merasakan sesuatu yang hangat dan keras menusuk pahanya. Masahiro merengut dan Tori menutup mulut dengan tangan sebelum kembali mencium Masahiro. Tori mengakhiri ciuman mereka dengan menyandarkan keningnya ke kening Masahiro. Matanya tertutup menikmati hembusan nafas Masahiro yang tersengal-sengal ke wajahnya. Disentuhnya pipi Masahiro dengan sayang.
Masahiro mengelus pinggang Tori. Tindakannya itu mengirim sensasi aneh yang nikmat sepanjang syaraf Tori.
“Aku tidak suka dianggap pengganggu.” Bisik Masahiro dengan serak dan terdengar agak sedih. “Kalau Tori menganggap aku mengganggu, kenapa selalu meladeniku selama ini?”
Tori menggeleng. “Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya ingin membuatmu mengerti.”
Masahiro tampak tersipu dan mengalihkan matanya dari Tori. “Aku juga tak senang karena kau lebih memilih makan malam dengan orang lain. Apalagi aku tak kenal orangnya.”
Ucapan jujur itu membuat Tori tersenyum lebar dan senang sekali. “Masahiro cemburu ya?” Dipeluknya pemuda jangkung itu dengan gemas. “Kawaiiiii~~~~”
Masahiro berontak sambil merengut hebat. “Tidak, kok!”
Tori menciumnya dan menatapnya dengan geli, sayang dan bangga karena merasa orang paling penting dalam hidup Masahiro. “Aku senang, kok.” Disentilnya ujung hidung Masahiro dengan sayang. “Dengar ya, aku menyesal karena sudah kasar padamu. Tapi aku tidak melakukan apa-apa kok. Dia teman yang sudah lama tak bertemu dan dia minta saran soal penyakit yang diderita ayahnya. Itu saja kok.”
“Sungguh?” Masahiro memiringkan kepalanya, masih tak yakin.
Tori mengangguk. “Aku sudah punya pacar paling tampan dan seksi di dunia. Untuk apa aku lirik-lirik yang lain?” Dengan sengaja, Tori menyentuh kemaluan Masahiro yang masih tegang saat mengucapkan kata ‘seksi’.
Masahiro menggeram dan menjilat bibirnya, menatap Tori dengan lapar. “Kau tahu kalau ini artinya kau tidak akan tidur malam ini kan?”
Tori merenggut kemaluan Masahiro dengan keras lalu melepaskannya begitu saja dan berjalan mundur ke kamar tidur. Jari telunjuknya ditekuk, mengisyaratkan Masahiro untuk mengikutinya sambil tersenyum menggoda.
MANA LANJUTANNYAAAAAAA?
ReplyDeletesial, gw baru saja mandi dan udah panas lagi, dokter bujang dan pacar seksi sedunianya itu memang berbahaya.
Mandi basah ya, Nei? *ditimpuk* XDDDDD
ReplyDeleteItu tidak ada lanjutannya HOAHOAHOAHOAHOAHOAHOAHOAHOA
uhm, euh yaaaa. . .
ReplyDeletetapi tapi kaneouji nya maniiis, Ma.kun tsun trun lucunyaaaa. Mama-san, kau menyiksaku, ini manis bgt!
BENERAN BIKIN SAKIT GIGI. ARGH ARGH. MAMA-SAAANNNNN.
ReplyDeleteIh gw pengen cubit-cubit dua orang ini. Gemaaaaaaaaaas!
LOL LOL
ReplyDeletesambil bekerja, kk. Jadi agak susah kalo bikin stensilan *ninja*
Kane-Ouji pacaran di rumah sakit! Pasti lebih aman karena tidak ada setan-setan pengganggu! *teringat fic Nei yang mereka mau kampai ga bisa2*
ReplyDeletekenapa lu mengerang sebegitu hebohnya? LMAO
ReplyDeletehuahahahahahah gue gak kepikiran itu pas nulis loh, padahal LMAO soalnya di dunia-nya Nei ini yg paling rabu-rabu mereka sih, jadi gue ambil mereka aja
ReplyDelete. . . . ~melipir meneruskan request mama.san~
ReplyDeletesaya pinjam buat spin off ya?
SILAKAAAAAAAAAAAAANNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN
ReplyDeleteIYEY IYEY IYEY!!! *joget2 senang*
KARENA!
ReplyDeletebukan spin off sih, lbh ke keadaan sebelum ada di atap. nfu.
ReplyDelete~masi sakit gigi~
Tadi gue nyengir psikotik di Pakuan karena baca ini.
ReplyDeleteGue menyalahkan elu kalau gue dianggap sebagai chikan di gerbong khusus perempuan abis ini ya.
*tewas*
Kalian suka sekali sih melimpahkan kesalahan pada orang lain
ReplyDelete*evilsmirk*
Eh, btw, gue akan jahat sekali pada kalian malam ini. Nfufufufufufufufufufu
hyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa~~~~~
ReplyDeleteSilakan kaka, saya suka dijahati begini. >///
ReplyDeletemohon jahati saya. jahati saya.
ReplyDeleteKayanya gue terlalu jahat sama kalian ya? LOL
ReplyDeleteGapapa sih sebenernya. Gw suka angst. Ih tapi beneran kasian sama Ma-kunnya. ^^;;
ReplyDeleteMari berharap besok gue juga agak santai kaya tadi
ReplyDeleteAMIN!
ReplyDeleteChi...CHIKAN! *LMAO*
ReplyDeleteGw butuh pelampiasan! Officially butuh pelampiasan... AAAAAAGRRHHHHHHHHHHHHHHH.....
ReplyDelete*guling2 karena otak gosong*
Pelampiasan apa, Ri? LOOOOOOLLLL
ReplyDeletekk, di kamar mereka udah ada kamera belum????
ReplyDelete*udah. Punya saya. Nfufufufufu*
ReplyDeleteEh anu, sudah berapa lama sih mereka pacaran?
ReplyDeleteYA IYA LAH. Di gerbong khusus perempuan, terus ada gue nyengir2 ecchi. Gimana gak mencurigakan dan dituduh ini-itu tuh. *ROFLMAO*
ReplyDeletebeosk - besok bawa masker deh. XD
ReplyDelete@uchihaneitai eh, anu... Nggak tau *ninja*
ReplyDelete