Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue MasahiroxMatsuzaka Tori
Rating: PG
Warning: BL. AU. Cheesy. Tacky.
Disclaimer: I do not own anyone.
Note: Seharusnya dipost semalam tapi karena satu dan lain hal (halah!) baru dipost sekarang deh. Huehehehe Buat SATC-ERs *kecup*
Memang, tiap malam mereka pasti ngobrol di telepon kalau Masahiro sudah kembali ke penginapan. Tapi itu pun tak bisa lama karena biasanya Masahiro kembali ketika hari sudah larut dan Tori sudah terlalu mengantuk. Sebagai gantinya, Masahiro dengan rajin mengirim pesan dengan foto dirinya di tempat-tempat yang ia kunjungi. Kadang Tori membalas dengan fotonya di ruang praktek atau sedang makan siang - sendirian atau bersama Sota-sensei atau Kubota.
Malam itu, karena sudah tak tahan, Masahiro menolak ajakan teman-temannya untuk pergi ke bar. Teman-temannya hanya mengangkat bahu dan meninggalkannya di hotel. Sudah maklum kalau apapun keinginan pemuda itu tak bisa dibantah.
Masahiro hanya melengos saat digoda salah satu temannya, mengunci kamar dan langsung mengeluarkan ponselnya, menelepon Tori. Semenit kemudian dia berdecak kesal karena Tori tak mengangkat telepon. Matanya melirik ke arah jam dinding. Masih jam 9. Seharusnya Tori sudah pulang. Seingat Masahiro, Tori tak cerita kalau hari itu dia harus shift malam. Ditekannya tombol 'redial' dan menunggu.
"Moshi-moshi?" Suara Tori akhirnya menyahut. Masahiro tersenyum senang dan pura-pura merengut.
"Lama sekali sih."
Didengarnya Tori tertawa pelan. "Maaf, maaf. Tadi aku sedang mengantar Shunsuke ke pintu."
Sudut alis Masahiro berkedut tak senang. "Siapa?"
"Shunsuke. Dia titip salam. Kok tumben jam segini sudah telepon? Tak ada acara?" Tori berujar beruntun, seperti ingin mengalihkan pembicaraan.
Masahiro mendengus. Jangan harap dia akan terima begitu saja Tori berduaan dengan pria itu. "Kenapa sih dia selalu datang saat aku sedang tak ada?" Tanyanya curiga.
Tori mendesah. "Hei, Shunsuke itu temanku loh. Lagipula, Shunsuke juga mengundang kamu. Tapi kamu kan sedang pergi."
"Itu dia. Kenapa tidak memberitahuku?"
"Diberitahu juga kamu tak mungkin datang kan? Shunsuke juga mendadak meneleponku dan bertanya apa kita punya waktu sore tadi. Dia terdengar kecewa karena kubilang kamu sedang pergi. Karena tak enak, aku iyakan saja."
Masahiro mendengus. "Tentu saja. Memangnya susah sekali untuk menolak?"
"Kenapa aku harus menolak? Dia kan temanku. Sudah repot-repot datang ke Tokyo dan menelepon, masa dia kubiarkan makan malam sendirian?"
Pemuda itu makin kesal. "Tori kan bisa cari alasan yang lain. Sedang tak enak badan atau apalah."
"Mana bisa begitu? Memangnya kalau Totani-kun mengajakmu pergi, aku pernah melarang?"
"Tidak udah bawa-bawa Totani deh!" Sergah Masahiro. "Dia tak ada hubungannya."
Tori mendesah panjang. "Aku cuma ingin bilang kenapa kamu harus sekesal itu pada temanku sementara aku malah mendukungmu pergi jalan-jalan dengan teman-temanmu."
Masahiro merengut. "Totani dan teman-temanku tak ada yang pernah berniat melamarku."
Tori mendesah lagi. "Kalau kita cuma akan berdebat seperti ini terus, teleponnya kututup saja ya." Ujar Tori kemudian.
"Tidak! Jangan tutup teleponnya!" Sergah Masahiro.
"Ya, makanya, percaya sedikit dong." Tori menukas.
"Aku percaya kok. Tapi aku tak percaya sama Daito itu." Sungutnya.
"Ma-kun,"
Mendengar namanya dipanggil dengan nada tegas dan jelas, Masahiro langsung memusatkan perhatiannya dan duduk sedikit tegak. "Apa?"
"Hampir tiap pagi aku memberikan ciuman selamat pagi pada seseorang. Siapa ya orang itu?"
Masahiro berkedip. "...Aku."
"Hampir tiap malam aku tidur dengan seseorang. Kadangkala bercinta juga dengannya. Siapa ya?"
Sudut bibir Masahiro mulai tergoda untuk tertarik membentuk senyum. Pipinya terasa sedikit panas. "Aku juga."
"Nah. Kalau semuanya lancar, tahun depan aku akan menikah dengan seseorang. Siapa?"
Kali ini dagunya terangkat. "Aku." Jawabnya dengan mantab.
"Jadi berhentilah cemburu."
Masahiro mengusap tengkuknya dengan frustrasi. "Ini tidak adil."
"Apanya?"
"Kamu cemburu tiap kali melihat hasil pemotretanku. Sementara aku tak boleh cemburu pada orang yang jelas-jelas pernah berniat melamarmu."
Tori menghela nafas. "Mulai sekarang aku akan bilang tiap kali aku akan pergi keluar dengan seseorang. Puas? Aku sudah boleh tutup teleponnya?"
"Toriiiiii..." Pemuda itu merajuk manja.
Tori buru-buru menukas. "Aku hanya melihat Masahiro. Apa itu tidak cukup?"
Masahiro kembali merengut. "Aku sedang kangen sekali sama kamu. Wajar kan kalau aku kesal?"
"Baiklah. Baiklah. Aku minta maaf. Aku juga kangen kok." Ujar Tori menahan tawa.
Masahiro mendengus. "Sungguh?"
"Sungguh."
----
"Begitu..." Totani menyilangkan kakinya sementara tangannya menggaruk tengkuk Ouji yang sedang tertidur nyenyak. Mereka sedang menunggu sementara para kru sedang berusaha memperbaiki kerusakan lighting. Yuzawa-san tampak agak tak senang dan menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan.
Totani memandang temannya yang masih merajuk. Masahiro bukan tipe yang suka minta saran untuk urusan cinta. Selama ini dia tak pernah punya masalah di situ. Totani saja sampai pusing menghapal wajah-wajah yang muncul bersama Masahiro karena tiap kali selalu berganti. Akhirnya dia tak peduli lagi. Toh urusan cinta Masahiro bukan urusannya. Tapi sepertinya kali ini Masahiro kena batunya. Dokter seksi itu benar-benar membuatnya kelimpungan. Totani tersenyum geli.
"Kenapa tidak cepat-cepat menikah saja kalau begitu? Kamu tak perlu khawatir lagi kan?" Cetusnya acuh.
"Mana bisa begitu? Ibuku tak akan memberi ijin sebelum aku lulus." Masahiro menyesap kopinya.
"Kamu kan biasanya nekat."
"Seandainya saja bisa begitu."
Totani terbahak melihat ekspresi Masahiro yang begitu menderita dan serba salah. "Ya sudah. Lamar saja dulu. Kalau sudah ada pengikat kan lebih aman."
Kepala Masahiro terangkat dan dipandangnya temannya yang tersenyum jahil itu. Totani sedang mengibas-ngibaskan tangan kirinya dengan penuh arti. Mata Masahiro mengerjap. Totani mengerling padanya sebelum bangkit mengejar Ouji yang mendadak terbangun dan melompat dari pangkuannya.
----
Tori melambaikan tangannya pada pasien ciliknya yang berlari kecil keluar dari ruang prakteknya. Perawat asistennya meletakkan secangkir teh hangat di meja dan Tori mengijinkannya untuk pulang lebih dulu. Tori mengambil waktu untuk beristirahat sejenak dan menikmati tehnya sambil berpikir mau masak apa nanti malam. Seminggu tak bertemu dengan Masahiro membuatnya jadi gampang bosan di malam hari. Tori juga harus menunggu dua hari lebih lama karena Masahiro ternyata ada jadwal pemotretan mendadak di Karuizawa.
Seharusnya hari itu Masahiro pulang tapi belum ada kabar dari pemuda itu sejak pagi. Mungkin pemoretannya belum selesai. Tori hanya mengangkat bahu. Lima belas menit kemudian akhirnya dia mulai beranjak dan baru saja melepas jas putihnya ketika mendengar pintu ruang prakteknya diketuk. Senyum lebar langsung menghiasi wajahnya begitu Tori melihat ke arah pintu. Dengan berbinar-binar, dia langsung menuju pintu dan memeluk pemuda jangkung yang berdiri di sana.
Masahiro pun tersenyum sumringah. Dikecupnya kening Tori dengan sayang. "Sudah selesai prakteknya?"
Tori mengangguk. "Baru saja. Kapan sampai?"
Masahiro nyengir. "Baru saja. Aku langsung ke sini."
"Capek?" Tori memandangnya dengan sedikit khawatir. "Aku punya vitamin c, kalau mau."
Pemuda itu menggeleng dan malah menunduk untuk mengecup bibir Tori sekilas. "Ikut aku, yuk." Bisiknya.
Tori mengangkat alis, balas mengecup dagu Masahiro. "Mau makan di luar? Aku ganti baju dulu ya."
"Tak usah. Ganti bajunya nanti saja. Sebentar saja kok." Gumam Masahiro, berusaha menahan erangan karena Tori yang menciumi rahangnya dengan menggoda.
"Mmhm." Tori menciumnya sekali lagi sebelum akhirnya mengangguk.
Masahiro menggamit tangan Tori dan membawanya menyusuri lorong rumah sakit, berbelok untuk menaiki tangga menuju atap rumah sakit. Tori berjengit karena angin yang mendadak berhembus kencang. Tori merapat ke belakang Masahiro untuk menghalangi angin. Tori mendorong punggung itu untuk menuju tempat favoritnya: tempat paling hangat dan terlindung dari angin.
Melihat Tori yang menggosok kedua lengannya sendiri, Masahiro buru-buru melepas syal rajutan yang dikenakannya dan menyampirkannya ke pundak Tori. Tori tersenyum dan merapatkan syal itu. Dia baru menyadari kalau Masahiro terlihat begitu tampan dengan coat hitamnya, celana ketat dan sepatu bot berkuda yang memeluk kaki panjangnya dengan sempurna. Rambutnya juga sedikit lebih pendek. Tangan Tori terjulur untuk menyentuh helaian kecoklatan itu.
"Kenapa dipotong?" Tanyanya lembut.
Masahiro menangkap tangan Tori dan menggenggamnya. "Yuzawa-san yang minta karena tak cocok dengan pemotretan kemarin kalau rambutku panjang. Tori keberatan?"
Tori menggeleng. "Jadi mirip anak SMU lagi." Ujarnya sambil tersenyum jahil dan Masahiro pun merengut. "Aku kan tidak bilang aku tidak suka." Tukas Tori sambil mencubit pipi Masahiro dengan gemas.
Tori menurunkan tangannya, yang satu masih digenggam Masahiro. Kepalanya dimiringkan ke sisi, heran dengan ekspresi Masahiro yang mendadak terlihat gugup dan genggaman tangannya yang terasa agak terlalu erat. "Ma-kun?"
"Tahu, tidak? Aku benar-benar kangen pada Tori loh." Gumamnya pelan. "Rasanya aku sudah tak sabar ingin cepat lulus dan segera mengurus pernikahan kita."
Tori tertawa. "Kalau kangen ya kangen saja. Kenapa harus sampai bawa-bawa pernikahan segala?" Meskipun begitu, ada semburat merah di pipinya.
"Aku tak ingin bertengkar lagi dengan Tori karena Daito-san." Ujarnya. "Aku tahu dia temanmu tapi tetap saja aku tak bisa tak cemburu."
Tori menarik nafas pelan. Masahiro buru-buru melanjutkan. "Aku ingin Tori tahu ini. Seperti Tori yang mungkin tak akan pernah suka kuajak ke lokasi, aku mungkin juga tak akan pernah bisa benar-benar menganggap kalau Daito-san bukan ancaman."
"Tori boleh menganggapku bodoh atau tak masuk akal tapi memang begini kondisinya. Berapa kali meyakinkan diri pun, aku tak bisa." Lanjutnya.
"Lalu?" Tori bertanya sambil tersenyum lembut.
Masahiro menarik nafas panjang lalu mengambil beberapa langkah mundur dari Tori. Dipandangnya dokter itu lekat-lekat. Matanya yang jernih, senyumnya yang begitu manis, bentuk rahangnya yang bagus dan belakangan ini sedikit lebih berisi. Ini adalah orang yang membuatnya jatuh cinta begitu dalam sampai Masahiro kelimpungan. Tapi tiga tahun terakhir sejak dia melihat senyum itu adalah tiga tahun terindah dalam hidup Masahiro.
Tori melangkah maju dan Masahiro melangkah mundur. Tangannya terangkat, meminta Tori untuk diam di tempat. Tori mengangkat alisnya yang tertata rapi. Masahiro menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku coat-nya.
"Ingat tidak, lebih dari setahun yang lalu aku membawa Matsuzaka-sensei ke sini dan bilang kalau aku begitu mencintainya. Saat itu aku senaaaaaang sekali."
Tori terkikik kecil sambil merapikan letak syal di bahunya dan mengangguk. "Mana bisa lupa."
"Hari ini, aku mengajak Tori ke sini karena aku mencintainya bahkan lebih besar dari rasa cintaku pada Matsuzaka-sensei. Juga, karena aku pernah berjanji untuk bertanya padanya tapi kupikir belum terlaksana dengan baik."
Tori menatapnya. Agak bingung sekaligus merasa lucu dengan cara Masahiro berucap. Dia hanya tersenyum. Alis matanya terangkat saat tiba-tiba Masahiro menekuk satu lututnya sementara berat badannya ditumpukan ke lutut yang lain. Tori buru-buru melirik ke kiri-kanan, kalau-kalau ada orang yang lihat.
"Ma-kun, sedang apa?" Tanyanya terkikik geli dan sedikit tersipu.
Masahiro menarik kedua tangannya keluar dari dalam kantong. Yang satu terjulur ke arah Tori sementara yang satu menggenggam sesuatu. Tori menyambut dan meletakkan tangannya di atas telapak Masahiro yang terbuka. Sekali lagi, tangan Masahiro menggenggam tangannya dengan begitu erat dan tangannya terasa begitu hangat. Untuk beberapa saat, Masahiro memandangi tangan mereka sebelum mengangkat kepala untuk memandang Tori.
"Sebelum aku pergi minggu lalu, Tori bilang kalau kita akan bersama sampai bosan kan?" Tori mengangguk meskipun tak begitu ingat. Masahiro membuka tangannya yang tergenggam. Ada sebuah kotak kecil berwarna kebiruan di tangannya. Masahiro membukanya dengan satu hentakan. Sebuah cincin platinum polos berkilau terkena sinar matahari sore. Mengacuhkan Tori yang terperangah sampai mulutnya terbuka, Masahiro meletakkan kotak itu di atas pahanya dan mengeluarkan cincin itu dari kotaknya.
Masahiro memandang Tori lagi. Dieratkannya genggaman tangannya. "Aku tak akan mungkin bisa bosan denganmu tapi.... Matsuzaka Tori, maukah menikah denganku dan berada di sampingku sampai kau bosan?" Diselipkannya cincin itu ke jari manis Tori dengan perlahan.
Tori berkedip. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Cincin itu melingkar sempurna di jarinya dan ukurannya begitu pas. Entah dari mana Masahiro tahu ukurannya. Tori tak akan bohong kalau dadanya berdebar-debar. Dia pikir yang dulu itu memang cara Masahiro untuk melamarnya. Tapi cara klasik ini memang membuatnya merasa lebih istimewa. Lucunya kedua kejadian itu selalu berkaitan dengan Shunsuke. Sepertinya Tori harus melakukan sesuatu untuk temannya itu sebagai tanda terima kasih.
Masahiro mengusap cincin itu dengan ibu jarinya. Agak gugup karena Tori tak langsung bereaksi. Matanya langsung bersinar cerah begitu sudut-sudut bibir Tori mengembang menjadi senyuman lebar. Senyum yang sama dengan yang dilihatnya nyaris tiga tahun lalu. Senyum yang sama dengan lebih dari setahun lalu saat Tori mengangguk pada ucapan cintanya. Senyum yang dilihatnya nyaris setiap hari dan Masahiro tak akan pernah bosan dibuatnya.
"Memangnya Masahiro harus bertanya lagi ya?" Ujarnya. "Tentu saja aku mau."
------
Malam itu, sambil berbaring dalam pelukan Masahiro, Tori mengangkat tangannya dan memperhatikan cincin yang melingkari jarinya. Masahiro tertawa, mengecup pundak Tori dengan sayang.
"Jangan dipandangi terus dong." Bisiknya parau.
"Boleh dong. Ini kan milikku." Tukas Tori. Cahaya lampu yang masuk lewat sela-sela tirai kamar Masahiro yang setengah terbuka membuatnya agak sulit melihat. Tori memutar tangannya dan cincin itu berkilau samar terkena cahaya. "Ternyata Masahiro suka bertindak aneh kalau sedang cemburu ya." Komentarnya.
Sebuah gigitan lembut di pundaknya, tanda protes Masahiro, membuatnya berjengit dan tertawa kecil. Tori menoleh saat Masahiro meraih tangannya dan mengecup jari dan cincin itu.
"Jangan dilepas ya?" Bisiknya sambil mencari bibir Tori.
"Hmmm. Tak akan." Ujar Tori sambil menatap mata Masahiro lekat-lekat dengan penuh arti dan menyambut ciuman kekasihnya.
-END-
*deeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeed from moe~~~~~~*
ReplyDeleteMAMPUS LAH.
Jadi sebenernya kita harus terima kasih kepada Shunsuke nih? Aduh, Ma-kun, kamu ini...
Ingatkan gw untuk membuat wallpaper Daito Shunsuke sebagai ucapan terima kasih.
ReplyDeleteASTAGA INI MANIS BANGEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEET!!!!!! HAUUUUUUU aduh gw pengen cepat-cepat pulang dan guling-guling di kasur!!! Ma-kun romantis sekali!!!!! Dan dan....dia pakai baju yang di Cool Up 32 yaaaaaa? OH TUHAAAAANN!!! *mati*
mama-san!!!! *peluk*
Tanpa sadar gue bikin begitu dan di tengah2 nulis baru nyadar kalo selalu ada kaitannya sama Shunsuke LOL
ReplyDeleteTapi kan gue maunya lay out Ma-kunxTori~~~~~ *guling2 tapi nungguin juga* *ditimpuk*
ReplyDeleteGimana dong? Gue SUKA BANGET wardrobe-nya dia di situ *_____* KAKIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII ♥♥♥♥♥♥
Ahuhuhuhuhuhuhuhu, tiap jealous, Ma-kun selalu ada gebrakan baru ya~...
ReplyDeleteOh, Shunsuke, aku jadi cinta. terima kasih membuat Ma-kun jadi seperti itu.
Tori sensei, kau beruntung ya....*kecup2*
beres deh, gampang itu. HAUUUUUUUUUUUUUUUUNG!!! *masih guling-guling*
ReplyDeleteiya, makanya waktu baca ini gw langsung ingat Cool Up 32 yang ganteng banget itu. Kakinyaaaaa, aduh sensei, beruntung sekali bisa melihat kaki itu setiap hari!
beres deh, gampang itu. HAUUUUUUUUUUUUUUUUNG!!! *masih guling-guling*
ReplyDeleteiya, makanya waktu baca ini gw langsung ingat Cool Up 32 yang ganteng banget itu. Kakinyaaaaa, aduh sensei, beruntung sekali bisa melihat kaki itu setiap hari!
anomali yang bikin beruntung ya LOL
ReplyDeleteoh, AND Kimi-chan too! We owe him a lot! *bergegas membuat wallpaper Kimichan*
ReplyDeleteAdakah yang mau bikin fanfic pemujaan terhadap kaki Ma-kun? Gue kan udah bikin punggung tuuuuh *lirik tajam Icha dan Anne*
ReplyDelete*duduk manis menunggu wallpaper Kimi-chan*
ReplyDelete*sambil makan sate kulit*
sa, saya boleh, kk? (ninja)
ReplyDeleteeh tapi kalau kk Icha dan kk Anne bikin duluan deh.
mau Kimi-chan saja atau sama Muraaaaaai?
ReplyDeleteBIKIN!!!!!
ReplyDeletedua-duanya? *disambit*
ReplyDelete*langsung menarikan tarian hujan* Aku bahagiaaaaaaaaaa~
ReplyDeleteKimi-chan! Kimi-chan! Kimi-chan! Murai! Murai! Murai!
UGYAAAAAAAAAAAA *langsung meriang dengan gelisah*
ReplyDeleteOh Daito Shunsuke, kami berhutang padamu!
*trus Ma-kun sebel lagi karena semuanya cinta sama Shunsuke*
sudahlah, dia kan udah dapet Sensei. Sensei dapat Ma-kun, daripada kita gak kebagian, jadi Shunsuke aja lah *murahan* LMAO
ReplyDeletekemarin gw dan kk icha berdiskusi mengapa kita dulu tak memperhatikan shunsuke seperti sekarang.
ReplyDeleteIya, kenapa? LOL saya kan anak baru nfufufufufufu
ReplyDeleteKesimpulan : Karena dulu kita ga tau Daito Shunsuke deket sama Tori. 8DDD
ReplyDeleteNOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO~!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! *guling2* *menggelinding* *ngesot*
ReplyDeletekeduluan mama-san dehhh..........
*langsung hapus fic buat christmas*
@Icha: eh? Emangnya kita tau? Cuma krn sering difoto berdua? LOL
ReplyDelete@Mom: ya bikin aja sih, Mom. Gak ada yg ngelarang kok lol
kan ga lucu ada 2x lamaran.... LOL
ReplyDeletegapapa kok. udah di ganti di beberapa part sama ada yang didelete. jadinya malah kayak nyambung punya mama-san.... XP
dulu belum kena tatapan mata sensei, belum tahu dia dekat sama shunsuke, belum tahu dia bapaknya suda.
ReplyDelete/eh
Anak pungut banget tuh Sudacchi LOL LOL
ReplyDelete*dihajar*
Jadi inget gw pengen bikin fic ada Sudacchi-nya. *ninja*
ReplyDeleteselesein dulu Kimi-chanxMurai-nyaaaaaaaa
ReplyDeleteIya nih. *dan mood angst gw pun kembali* guhehehe.
ReplyDelete