Fandom: Samurai Sentai Shinkenger, Tennis no Oujisama 2nd Season
Pairing: Wada Takuma x Matsuzaka Tori
Rating: NC-17
Warning: BL. AU. OOC. NSFW. Stensilan murahan
Disclaimer: I only own the idea
Note: Berawal dari celetukan iseng dan Anne lgsg minta dibikinin fanfic. Here we go, Ne. Sorry, gue gak tahan untuk masukin konflik :p Bingung kenapa dua orang ini bisa ketemu? Silakan baca fic2 sebelumnya atau main ke MP-nya Nei. Tak suka? Ya tak usah dibaca.
"Kenapa," Suda menyeruput soda dari kaleng seraya menggoyangkan kaki, "akhir-akhir ini Papa suka tak pulang ke asrama ya?" Kedua tangannya lalu menopang dagu sementara kepalanya dimiringkan.
Takuma mendongak dari diktat yang tengah dibacanya. "Bertanya padaku?"
Suda mengangkat bahu. Takuma melepas kacamatanya dan mengikuti arah pandangan bocah di sampingnya yang tertuju pada sekelompok mahasiswa yang sedang bermain futsal. Kepalanya ikut dimiringkan. Bukan dia tak tahu jawabannya, hanya saja Takuma tak tahu bagaimana harus menjelaskan pada bocah itu.
"Suda mau aku menasehati Matsuzaka?" Tanyanya sambil menepuk kepala Suda.
Lagi-lagi bocah itu hanya mengangkat bahu lalu kembali menyeruput minumannya seolah tak ada apa-apa. Takuma tak mengalihkan pandangannya dari lapangan.
-------
Tori meletakkan dua kaleng bir di atas meja, menggeser sedikit tumpukan kertas, diktat dan buku yang memenuhi permukaannya. Takuma menggumamkan terima kasih dan meraih bagiannya. Tori mengundangnya belajar bersama karena ujian sudah dekat. Suda seharusnya bergabung tapi bocah itu diundang acara keluarga walinya dan baru mau pergi setelah tiga jam dibujuk Tori. Lagipula, anak jenius itu tak butuh waktu banyak untuk menyerap semua bahan ujian ke dalam kepalanya.
Saat itu handphone Tori berdering dan temannya itu buru-buru menekan sebuah tombol setelah mengintip caller ID yang muncul di layar dan menggerutu. "Hih. Seharusnya aku tak memberikan nomor teleponku." Sungutnya.
Takuma mengangkat alis. "Tidak bagus untuk jadi prospek pacarmu?"
Tori balas mengangkat alis. "Kau kan tahu aku tak mau punya pacar lagi."
Takuma mengedikkan bahu. Tori menendang kakinya pelan. "Apa?"
"Apa? Aku tidak bilang apa-apa."
"Bilang!"
Takuma mendesah, tangannya terangkat defensif. "Baiklah, maaf. Bukan urusanku."
Tori masih menatapnya dengan pandangan tak percaya tapi sejurus kemudian mengangguk. "Benar. Bukan urusanmu."
"Bukan urusanku." Takuma ikut mengangguk.
Mereka melanjutkan belajar meski mendadak rasanya bunyi jarum jam terdengar begitu kencang dan lambat di telinga Takuma. Diliriknya temannya itu dan Takuma sebenarnya merasa sayang kenapa orang semenarik Tori harus mengalami patah hati separah itu. Tidak berhenti sampai di situ, sekarang Tori sepertinya tak mau melewatkan kesempatan untuk memuaskan nafsunya. Dengan siapapun yang dianggapnya menarik tapi tak punya potensi membuatnya jatuh hati.
Takuma tak akan pernah bisa menyetujui pelampiasan macam itu, meski dia tak akan pernah meributkan apa yang dilakukan temannya di kamar tidurnya sendiri. Tapi Takuma mengakui kalau Tori adalah teman yang istimewa dan Takuma tak akan menyebutnya sekedar 'teman kuliah'. Apalagi ada seorang bocah yang menjadikan Tori panutan.
Pemuda berlesung pipi itu mendesah panjang. Dia tak pernah suka ikut campur urusan orang. Sungguh.
"Hei."
Tori menoleh. Memang tampan. Juga seksi. Takuma mengakui dalam hati. Tak susah untuk menyukai Tori dan menjadi tertarik padanya. Apalagi orangnya ramah dan senyumnya sangat memikat hati.
"Ada yang tak mengerti?" Didengarnya Tori bertanya.
Takuma menggeleng dan malah beringsut mendekat. Ragu-ragu sejenak sebelum mencondongkan tubuhnya untuk mencium Tori.
Tori mengerjap. Tak bereaksi karena terlalu terkejut. Wajahnya berkedut aneh dan masih tak bereaksi apapun meski Takuma sudah menjauh.
Takuma menjilat bibir dan menggaruk tengkuknya dengan canggung. "Oke. Kurasa itu ide buruk. Selamat malam, Matsuzaka." Ujarnya sambil membereskan buku-bukunya dan beranjak dengan cepat.
Tori masih terpaku dan baru bereaksi ketika Takuma sudah membuka pintu. Secepat kilat dia bangkit dan menghantam pintu sampai menutup sebelum Takuma sempat melangkah keluar.
"Apa-apaan yang barusan?" Tuntutnya. "Kau tak bisa menciumku lalu langsung pergi begitu saja, tahu!" Tori mengepalkan tangannya di kerah T-shirt Takuma.
Takuma menghela nafas. "Itu cuma ide gila, Matsuzaka. Aku tak tahu kenapa aku melakukannya."
Tori menatapnya.
Takuma memutar bola matanya. "Baiklah. Aku tahu kenapa. Tapi tampaknya aku membuatmu syok."
Tori terdiam. "Kenapa?"
Takuma mengerang. Dia benci ditanya begitu. Diletakkannya bawaannya di atas lemari di dekat pintu. "Karena kau temanku dan..." Takuma menyentuh tangan Tori yang terkepal, menariknya lepas dan menggenggamnya, "....tidakkah kau pikir akan lebih mudah menjelaskan pada Suda kenapa kau jarang pulang ke asrama akhir-akhir ini?"
"Wada," Tori menatapnya lekat-lekat. "Kau tahu aku tak bisa..."
Takuma terkekeh. "Jangan ge er, Matsuzaka. Aku hanya bilang, kau bisa datang padaku kalau kau mau. Hanya demi Suda dan aku tak percaya orang-orang itu tak akan menyakitimu."
Kening dan alis Tori berkerut hebat.
Takuma melepaskan tangan Tori dan menepuk bahunya. "Ini cuma tawaran gila. Tak usah berpikir sehebat itu."
Setelah lima menit yang rasanya seperti satu jam, kerut di kening Tori berangsur hilang. Ditatapnya temannya itu nyaris tak berkedip. Takuma jadi salah tingkah dan mulai menggaruk tengkuknya lagi.
"................Baiklah."
Takuma menatap Tori. Senyum temannya itu terlihat begitu aneh; campuran bingung, berterima kasih dan sama sekali tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Takuma meraih kepala Tori, mengusapnya dengan lembut dan mengecup lembut kening temannya itu. Wajahnya bergerak turun lalu berhenti saat ujung hidungnya bersinggungan dengan pipi Tori. Dia diam, dirasakannya Tori meletakkan kedua tangan di dadanya dan menggerut T-shirtnya pelan. Takuma menghela nafas pelan saat Tori bergerak dan menciumnya.
"Kau membuatku berhutang budi padamu." Bisik Tori sambil mendorong temannya ke dinding dan kembali memagut bibir Takuma.
Takuma tersenyum simpul. "Percaya deh, aku tak akan minta bayarannya dalam waktu dekat."
"Berisik." Tukas Tori.
Meletakkan tangannya dengan hati-hati di pinggang Tori, Takuma membalas ciuman temannya. Ini memang gila tapi Takuma sudah memutuskan. Toh dia tak punya pacar dan kalau memang ini bisa membuat Tori merasa lebih baik, Takuma tak keberatan.
Begitupun, dikosongkannya pikirannya saat Tori merapatkan pinggul dan Takuma menyelipkan satu kaki ke antara kaki Tori. Pahanya menggesek pelan selangkangan Tori dan didengarnya temannya mengerang lirih. Tori menjauh, matanya berkilat dan ia menjilat bibir.
"Serius deh, Wada. Aku tak seputus asa itu sampai mau melakukannya di depan pintu." Tori berujar lugas dan Takuma tak bisa menahan tawa.
"Kau kan aneh. Aku hanya ingin tahu sek-kinky apa dirimu." Godanya mengulum senyum. Iseng, digerakkannya lagi pahanya, menekan sedikit lebih keras.
Erangan tertahan Tori disusul dengan mata yang melotot lebar dan tusukan jari Tori di dadanya. "Kau tak punya hak seistimewa itu, tahu."
Takuma mengangkat tangannya. "Oke, oke. Jadi... Umm... Ranjang?"
Tori tak menjawab, hanya menjauhkan tubuhnya dari temannya dan melenggang ke arah ruang tidur sambil melepas sweater tipis yang dikenakannya. Takuma terpaku sejenak lalu menggelengkan kepala seraya tertawa pelan. Rasanya dia tak akan pernah mengerti temannya yang satu ini. Dilangkahkannya kakinya mengikuti Tori dan berhenti sejenak di ambang pintu.
Pemandangan di depan matanya, Takuma harus mengakui, sangatlah menakjubkan. Tori sedang melepas celana jeans-nya, memamerkan sebegitu banyak kulit kecoklatan yang sehat dan sangat mengundang untuk disentuh. Bagaimanapun, Takuma tetap pria biasa. Disuguhi tontonan seperti itu, tak heran kalau bagian bawah tubuhnya mulai melonjak senang. Tori menengok ke arahnya, bahunya dikedikkan dengan genit dan Takuma lagi-lagi geleng-geleng kepala.
Didekatinya temannya itu, memberanikan diri untuk menyusuri otot lengan Tori lalu bergerak ke atas untuk membelai rahang Tori dengan buku jarinya. Dia tersenyum dan Tori membalas dengan agak bingung. Takuma mengecup keningnya sekali lagi dan Tori mendorongnya menjauh seraya menjatuhkan dirinya ke atas ranjang.
Takuma mengartikannya sebagai waktunya untuk melucuti pakaiannya. Dilepasnya T-shirt sekaligus dalaman tipis di baliknya. Tori mengamatinya sambil berbaring miring, kepalanya ditumpu dengan satu tangan. Takuma melepas celananya dan menendangnya ke samping. Berkacak pinggang dan tertawa canggung karena diamati dengan penuh perhatian.
"Suka?" Tanya Takuma sambil mengangkat kedua tangannya ke samping.
Tori tersenyum miring. Sebelum ini, tak pernah sekalipun terlintas di benaknya akan melihat Takuma dalam keadaan telanjang seperti sekarang. Wajahnya tampan dan tubuhnya terbentuk bagus. Melekuk sempurna di tempat yang tepat dan ototnya terbentuk bagus. "Aku heran kenapa kau tak pernah punya pacar." Ujarnya.
"Sibuk." Jawab Takuma pendek.
Tori tertawa. Mengerti kalau Takuma tak akan sempat punya waktu untuk pacaran karena sibuk menjaga indeks prestasinya di atas 3 kalau tak mau beasiswanya dicabut. Sebaliknya, Tori sekarang harus mati-matian mengejar ketertinggalannya karena sering bolos kuliah beberapa waktu lalu. Tanpa banyak bicara lagi, Tori bergeser dan menepuk tempat yang tersisa di tempat tidur mungil itu.
Tori beringsut untuk telentang saat Takuma memanjat naik ke tempat tidur. Pun menyambut Takuma yang merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan yang hangat. Temannya itu membiarkannya melingkarkan lengan ke punggung Takuma dan menyusupkan kepala ke lekuk leher Takuma. Tori memejamkan mata dan menghirup aroma tubuh Takuma; wangi cendana yang menyenangkan bercampur dengan musk yang segar.
Takuma mengecup puncak kepalanya dan Tori mengangkat kepala untuk mengecup bibir Takuma. Ringan, memagut pelan sampai akhirnya tak tahan untuk tidak menggigit pelan. Takuma menggerung dan membalas pagutan bibir Tori. Bibirnya yang kemerahan membuka dengan sukarela saat Tori mendorong dengan lidahnya. Diladeninya Tori dengan antusias, menekan pelan kepala Tori dengan satu tangan dan memperdalam ciuman mereka.
Wajah Tori bersemu merah dan Takuma menganggapnya begitu memikat. Dikecupnya ujung hidung Tori dan membiarkan Tori mendorong pundaknya sampai Tori bisa berbaring di atasnya.
Takuma mengelus pelan punggung temannya. "Apa ini artinya aku harus membuka kaki untukmu?" Satu alisnya terangkat usil.
Tori merengut. "Kau ini cerewet juga ya, Wada."
"Aku kan hanya ingin tahu." Takuma menggigit bibir agar tak tertawa. Detik berikutnya dia mendesis karena lutut Tori menekan selangkangannya dan menggesek kuat. Takuma mengumpat pelan dan membalas dengan meremas bokong Tori kuat-kuat.
"Mmnh..." Tori mengerang. Kepalanya menunduk dan mulai menghujani dada Takuma dengan kecupan-kecupan ringan. Tangannya menelusuri leher, dada dan perut Takuma lalu naik lagi ke dada dan bermain-main dengan tonjolan di dada Takuma. Takuma mendesis saat jemari Tori menjepit dan menarik pelan. Bibirnya kemudian mengatup di tonjolan yang satunya, menggoda dengan lidahnya sampai Takuma menarik nafas tajam dan menggeram.
Di saat yang sama, Takuma menyadari kalau Tori sudah beringsut dan menjepit pinggul Takuma dengan kedua lututnya. Takuma tak buang waktu untuk meremas bokong Tori sekali lagi dan menariknya sampai pinggul mereka merapat erat. Tori berhenti mengulum dada Takuma karena perbuatan Takuma membuatnya menyentakkan kepala ke belakang, mendesis lirih penuh gairah dan mulai menggerakkan pinggulnya.
Kemaluan mereka pun bergesekkan pelan dan Takuma juga tak tahan untuk tidak menutup mata menikmati sensasinya yang memabukkan. Rasa nyeri yang nikmat dan hangat melandanya dan dia tak keberatan. Terutama Tori yang tampak begitu menikmati karena mulai mengerang lebih keras seiring dengan gerakan pinggul mereka yang mulai berirama.
Takuma harus menahan pinggul Tori dan mencuri kecupan ringan dari bibir temannya. "Mau seperti ini saja?" Tanyanya dengan bisikan parau dan tersengal saat Tori tak langsung menjawab malahan menekan lebih keras ujung kemaluan mereka. "Nnh...Matsuzaka..."
"Ahn...tidak." Jawab Tori tegas. Setelah mengecup dada Takuma sekali lagi, Tori menegakkan badannya. Direngkuhnya kemaluan Takuma dalam genggamannya dan menggerakkan tangannya. "Aku mau ini. Sekarang."
Takuma melenguh. Sekejab kemudian dia gelagapan karena melihat Tori mengangkat pinggulnya dan memposisikan kemaluan Takuma di depan jalan masuk tubuhnya.
"Matsuzaka, tunggu! Tunggu! Kau belum..."
Tori memotong ucapan temannya. "Tak apa, Wada."
Dahi Takuma mengenyit. "Tapi....sakit kan?"
Tori menggeleng. "Tak apa. Sungguh."
Takuma menatap ke dalam bola mata Tori yang kecoklatan. Ada permohonan tak terucap di mata Tori dan Takuma tak tahu harus mendebat bagaimana lagi. Dia ada di situ untuk Tori dan meski menurut Takuma permintaan temannya agak tak masuk akal, entah kenapa Takuma tak bisa menolak. Ini bukan tentang dia atau tentang dia dan Tori. Ini hanya tentang Tori.
Pemuda berlesung pipi itu mendesah, menarik turun lengan Tori dan mengecup bibir temannya dengan lembut. "Baiklah. Tapi biarkan aku melakukannya. Ya?"
Setelah menunggu beberapa saat, Tori akhirnya mengangguk dan dengan satu gerakan, Takuma sudah berada di atas Tori. Takuma berlutut di antara kaki Tori, meletakkan satu tangan di atas lutut Tori sementara tangan yang lain menyentuh kemaluannya sendiri. Dengan telapak tangannya, Takuma menyebarkan cairan bening yang mulai menetes dari ujung kemaluannya ke seluruh batang sampai pangkal. Melihat itu, Tori meniru gerakannya, menggenggam mantab kemaluannya sendiri.
Takuma tersenyum simpul. Tak berapa lama, diselipkannya kedua tangannya ke belakang lutut Tori dan mengangkatnya untuk dikaitkan ke masing-masing pundaknya. Tori menarik nafas dalam-dalam, terpaku menatap kulitnya yang coklat kontras dengan kulit Takuma yang seputih susu. Lapisan tipis keringat membuat tubuh mereka seperti berkilau dan Tori menjilat bibir.
Rasanya memang beda. Dia mengenal orang ini dan dia tahu dia bisa mempercayai Takuma. Karena itu Tori tak ragu memintanya masuk tanpa persiapan apapun. Tori menggeliat, tangannya masih terus bergerak pelan. Dia butuh ini. Sekarang.
Takuma sepertinya paham. Satu tangannya mengelus paha mulus Tori seraya membimbing kemaluannya ke celah bokong Tori dan menekan pelan di jalan masuk tubuh Tori. "Ii?"
Tori menarik nafas lagi dan mengangguk. Detik berikutnya tangannya mencengkeram seprai dengan erat dan mengerang keras. Takuma mulai menekan masuk, mendorong perlahan agar tak terlalu menyakiti Tori. Diperhatikannya wajah Tori dan mengernyit melihat kerut kesakitan di wajah temannya. Takuma sadar dia cukup besar dan membiarkan tubuhnya dimasuki begitu saja memang keputusan nekat dari Tori.
Benar saja. Tori tersengal hebat. Pandangannya agak kabur karena air mata yang terbit di sudut matanya. Rasanya sakit sekali dan seperti dirobek ke segala arah tapi ini yang dia butuhkan. Tubuhnya menegang dan membuat pekerjaan Takuma makin tak mudah. Takuma menekan masuk lagi dan tubuh Tori mencengkeram dengan defensif dan Takuma menggeram karena berpikir dia akan meledak saat itu juga. Dia juga khawatir Tori akan terluka.
"Hei, rileks." Bujuknya seraya mengelus pinggul dan sisi tubuh Tori.
Tori menelan ludah dengan susah payah. Tangan di kemaluannya mulai bergerak lagi dan mengangguk pada Takuma. Merasakan Tori sudah mengendurkan pertahanannya, Takuma bergerak maju lagi. Tetap tak membantu banyak dan Takuma harus berjuang keras menahan diri sementara Tori tersengal sampai mulutnya terbuka.
Lama kemudian, Takuma akhirnya terbenam sempurna di dalam tubuh Tori. Sudah sangat ingin bergerak karena tubuh Tori yang begitu hangat dan berdenyut pelan mencengkeram kemaluannya benar-benar menyiksa. Tapi dia harus menunggu sampai Tori siap. Dilihatnya temannya mengerjapkan airmata yang tak jadi menetes keluar. Takuma menyentuh pipinya dengan lembut. Tori melirik ke arahnya sebelum akhirnya tersenyum.
Tori memberi tanda dengan beringsut dan menyentuh paha Takuma dengan ujung jarinya. Takuma mencondongkan tubuhnya, meletakkan tangan di kaki Tori dan mulai bergerak dengan sentakan-sentakan pendek.
Tori menggerung dan membenamkan kepalanya ke dalam bantal. Keningnya masih berkerut kesakitan dan tampak tak nyaman. Takuma tak tahu harus berbuat apa. Dia bergerak sepelan mungkin sampai Tori terbiasa dengan ukuran tubuhnya. Takuma menjangkau kemaluan Tori yang terabaikan. Erangan Tori membuat Takuma menjadi sedikit lebih bersemangat. Tori menepis tangan Takuma dan melanjutkan dengan tangannya sendiri.
"Daijoubu?" Takuma bertanya sambil menggerung.
"Mnnnh..." Tori mengangguk. "Chotto..."
Takuma pun mencoba menarik kemaluannya lebih jauh dan mulai menyentak panjang dan dalam. Tori mendesis tajam, tangannya menyamakan gerakan dengan pinggul Takuma. Tiap kali Tori menunjukkan ekspresi kesakitan, Takuma akan menyentak pendek dan pelan lalu berganti menghentak panjang dan dalam. Begitu berulang-ulang sampai akhirnya Tori beringsut lagi, pinggulnya mulai bertemu dengan pinggul Takuma dengan irama yang beraturan.
"Di situ...aaanh...oh, di situ! Ungh...lagi...ah! Lebih keras! Aaaah!"
Tak pernah sekalipun Takuma menyangka akan bisa mendengar erangan seseksi itu. Diturutinya permintaan Tori dan menhentak lebih keras. Tori mencengkeram bantal di bawah kepalanya, kepalanya bergerak kesana kemari tak terkendali. Memohon-mohon dan mengerang tanpa henti.
"Koko? Ii tokoro ni todoiteru? Ore no."
"U, un! Ah! Mmmmnh..." Tori mulai mengangkat pinggulnya dengan tak sabar. Seluruh tubuhnya basah dengan peluh dan menggelinjang nikmat.
Takuma pun makin tersiksa karena Tori mulai mencengkeram kuat. Dia tahu dia tak akan bisa bertahan lama. Diambilnya kedua lutut Tori yang mengait ke bahunya dan mendorongnya sampai nyaris menyentuh pundak Tori. Takuma mengangkat tubuhnya dan menghujam tajam dan cepat seraya menggerung rendah. Tori menjerit dan mengerang keras tak terkendali.
"Ah! Ah! Hngh! Mou...dame...Iku! Icchau! AAAAAARGH!"
Beberapa hentakan dan pandangan Tori berubah putih seiring dengan rasa sakit yang begitu nikmat menyelubungi seluruh tubuhnya. Tubuhnya mengejang dan meledak seiring dengan jeritan panjang. Telinganya sempat menangkap Takuma mengerang keras dan dirasakannya Takuma menyentak disusul dengan sesuatu yang hangat menyembur ke dalam tubuh dan perut juga tangannya. Detik berikutnya, Tori tak ingat apa-apa lagi.
Takuma menyelimuti tubuh Tori sampai ke bahu. Dikecupnya pelan pelipis Tori dan bergerak pelan untuk turun dari tempat tidur. Tori langsung tertidur begitu mereka selesai. Takuma harus menarik dirinya dan menyelesaikan klimaksnya di luar tubuh Tori karena tak enak. Dikenakannya pakaiannya tanpa menimbulkan banyak suara dan dia baru saja hendak mematikan lampu ketika didengarnya suara lirih Tori.
"Arigatou, Wada."
Takuma menoleh dan mendapati Tori tersenyum mengantuk dan menutup kembali matanya.
Takuma balas tersenyum dan melangkah keluar, menutup pelan pintu kamar itu.
Kalau begitu yang selalu dilakukan Tori dengan kencan-kencan semalamnya, Takuma merasa lega sudah membuat keputusan menawarkan dirinya sebagai pelampiasan. Setidaknya dia bisa tak terlalu menyakiti Tori dan mungkin, suatu hari nanti Tori akan bisa benar-benar menerima kenyataan dan menyembuhkan luka hatinya.
Wada Takuma kadang tak mengerti kenapa dia suka sekali ikut campur urusan orang.
Hauuuuuuuuuuuunnnnggggg. Kasian, beneran. Segitu sakitnya sampai diperlakukan dengan lembut pun dia agak segan. Hiks.
ReplyDeleteKuma-chan, kenapa baik banget sih jadi orang, hiks.
..............dan ini beneran, sampai kiamat pun akan jadi rahasia dari Yuuki dan Ma-kun. Dan... yeah, kenapa nggak? Toh ini di masa lalu. Stuffs happened.
<3
Bisnis orang dewasa memang lain ya. . . @_@ *digerus yuki dan masahiro*
ReplyDeleteKasian sudachi ditinggal papanya terus *kantongin anak luchu**dibedah*
Setuju ma reply Anne.
ReplyDeleteI....ini... gw tau ini stensilan tapi... sedih, hueng! Kasian banget Sensei sampe segitunya nyari pelampiasan. Nyakitin diri sendiri, tauuuu! T_T *peluk celengdebu*
Dan... uh, untung celengdebu dulu masih kurus ya, kalo ngga bisa susah Kuma. XD *diseruduk*
@Anne: yep. Untuk yang satu ini mereka bakalan tutup mulut deh.
ReplyDelete@Anne & Icha: Ahahahaha maafkan karena kok Sensei ternyata masa lalu-nya segelap ini. Pantes Kuma dan Sudacchi protektif sekali sama dia ya. Habis, manusia terlalu manis dan baik macam Sensei terlalu mencurigakan untuk tak dikorek2 masa lalunya *diseruduk*
@hyouteism: Begitulah ehehehe dan Sudacchi cukup bisa ngurusin diri sendiri kok, dia cuma sebel karena gak ada yang ngelonin *ditimpuk pisau bedah*
Btw, gue harus manggil lu apa ya? XD
@Icha: Semoga tak membuatmu mewek kaya waktu dulu sama Unintended ya, Cha *gigit sayang*
Ah, Ma-kun aja tahan. Masa Kuma nggak? *diseruduk, ditabrak dan dibor* XD
Ah ngga sih, mungkin karena tau nanti bakal muncul satria bermotor pink yang meyelamatkan celeng ini. X3 *paws face*
ReplyDeleteMa-kun kan olahragawan. Lha Kuma? XDDD *dibor*
Somehow it sounds just as romantic as a knight in shining armor and royal white steed comes rushing to rescue a damsel in distress XDDDD
ReplyDelete.........Kan, pemain tenis #loh
Celengdebu mana mau dibilang damsel in distress. Ada juga yang distress satriabajapink, ga klimaks dua tahun. XDDD
ReplyDeleteKuma mah... kapten handball jaman SMA bukannya? #fitenah
Ka....kasihaaaaaaaaaaaaaaaannnn....(;__;)
ReplyDeleteBener, ini stensilan tapi jadi sedih. Sampe segitunya sampe ga keberatan kalau ngerasa sakit demi pelampiasan....
Wada, sekarang kau bisa tenang, Ma-kun baik kok....(>__<)
@Icha sama2 distress sih jadinya ya LOL
ReplyDeleteOh ya, kapten handball. Jadi inget Magic Ball Danpei XDDDD
@Riri: justru karena sakit hati parah gitu dan tak tau harus gimana jadi pelampiasannya kaya gitu. Daripada nyilet tangan kan? >_
Rey, pangil Rey saja (^_^)v
ReplyDeleteSahabat itu kalau terlalu dekat malah jadi mencurigakan ya~ *dipalu Kubota*
HMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMMM...... (._.)~(.-.)~(._.)~(.-.)~(._.)~(.-.)~(._.)~(.-.)
ReplyDelete*senderan di bahu Sudacchi*
gue berpikir *iya gue bisa mikir nih* kalau Kuma itu indera pengecap dan perasanya sudah agak mati ya. Bisa lempeng begitu.
*selimutin sensei* *sighs*
ReplyDeletecowok ganteng.
@hyouteism okay, Rey it is, the, :)
ReplyDeleteHahaha, agak beda sih kasusnya Kuma dan Tori sama Kubota dan AkiShin. Hehehe
@Nei: aduh, bb, masih bad mood kah? Sini, kita gloomy sama2 *peluk*
Mungkin gara2 ini dia jadi poker face?
Tori: Trus salah gueee?
Jangan gloomy lama2 yaaaa kalian berduaaaaa! *chuu*
ReplyDelete*culik celengdebu*
gak, maksud gue Kuma-chan itu, apa ya? Lebih bisa digoda dengan hal hal yang imut dan terlarang daripada yang gampang didapat. (or say, dia memang pedo)
ReplyDeleteKuma: Oi!
POINT LOL
ReplyDeleteKuma: *sambit bor gigi*