Thursday, December 29, 2011
[fanfic] Daishuuryou/Takeru - Bound part 3
Monday, December 19, 2011
[fanfic] Wedding checklist - Tension
Terakhir kali ia melihat apartemennya dalam keadaan luar biasa berantakan adalah beberapa tahun lalu saat ia pindah ke apartemen mungil itu. Saat ini kondisinya bisa dibilang sangat mirip dengan ketika itu: kardus-kardus bertumpuk dan tersebar di beberapa tempat, bungkusan-bungkusan yang entah apa isinya tergeletak di beberapa sudut ruangan, tumpukan kertas, baju-baju dan benda lain yang Tori tak berani menyingkirkan atau dia akan lupa di mana tempatnya. Sofa ruang tamunya pun penuh terhuni Shunsuke yang duduk bersilang kaki dan sibuk dengan laptop canggihnya. Sudut satunya diambil alih oleh Mitsuya yang sedang menelepon dengan nada tinggi. Televisi disetel tanpa benar-benar ditonton dan Mitsuya melotot ke arahnya saat Tori hendak mematikan.
Untunglah orang tuanya baru akan datang besok pagi dan mereka setuju saja saat Tori bersikeras agar mereka menginap di hotel karena jelas apartemen mungilnya tak akan sanggup menampung semua orang itu. Pun, seminggu terakhir ini apartemennya begitu sumpek karena sahabat-sahabatnya dan Mitsuya kadang tak datang sendiri. Hampir tiap hari Takuma datang bersama Yuuki. Ia tak enak karena pacarnya itu – meskipun Takuma sudah menjelaskan dan Yuuki pun mengaku sudah memaklumi- tetap merengut karena terlalu sering diacuhkan. Pemuda mungil itu akan duduk di meja makan mengerjakan PR-nya, kadang sendiri namun seringkali bersama Mitsuya. Setelahnya ia akan ikut duduk di ruang tengah, mengamati kesibukan yang terjadi.
Tunangan Mitsuya yang tampan itu pun beberapa kali mampir, membawakan baju ganti dan camilan ringan. Senyumnya yang ramah dan pertanyaan apakah ada yang bisa dia bantu selalu disambut baik oleh Tori yang menyilakannya masuk dan menawarinya ikut minum kopi bersama. Tori senang melihatnya selalu menempatkan diri di dekat Mitsuya yang sudah sibuk sendiri dengan pilihan bahan kain untuk dekorasi atau sibuk menelepon supplier tanaman dan agen persewaan perlengkapan pesta. Pun dengan senang hati turun ke dapur dan membuatkan makan malam.
Kekasih Shunsuke hanya mampir satu kali. Tubuhnya yang tinggi menjulang dan wajahnya yang tampan menarik perhatian semua orang di dalam ruangan, tak terkecuali Yuuki dan Mitsuya yang langsung berseru, “Sensei?! Kenapa ada di sini?” bahkan sebelum diperkenalkan oleh Shunsuke. Pria yang tampak seperti rubah itu tersenyum tipis dan pamit dengan sopan setelah ikut makan malam.
Tori menghela nafas.
Tiga hari lagi.
Undangan sudah disebar dan jawabannya pun datang dengan cepat. Beberapa menyertakan permintaan maaf tak bisa hadir berserta hadiah yang diletakkan Tori di bawah tempat tidurnya karena sudah tak ada tempat lagi. Dua hari yang lalu Nagayama-san baru saja mengantarkan pakaian mereka yang sudah jadi. Senyumnya nampak begitu sumringah dan terlihat begitu puas saat dirinya, Tori, Takuma, dan Shunsuke berdesak-desakan di dalam kamar Tori untuk fitting sekali lagi. Ia buru-buru pamit karena masih akan mampir ke rumah Masahiro sebelum pemuda itu terbang ke Amerika.
Ini yang membuat Tori makin tertekan. Maya-san meminta anak bungsunya itu untuk tinggal dengannya di Amerika selama seminggu sebelum hari H dan kemudian akan sama-sama kembali ke Jepang bersama-sama. Masahiro ngambek selama berhari-hari, berteriak pada seluruh isi rumah dan menuduh semua orang sebenarnya ingin membatalkan pernikahannya dengan Tori lalu mengunci diri di dalam kamar. Tori harus menelepon calon ibu mertuanya itu dan meminta penjelasan karena sungguh, dia sedang tak ingin menghadapi Masahiro yang seperti itu saat ini.
“Aku hanya ingin memanjakannya sebagai anakku sebelum ia menikah. Apakah tak boleh? Atau sebenarnya kau khawatir aku tak akan memulangkannya kembali ke Jepang?” ujar wanita itu di telepon.
Tori mendesah, “Maaf, Okaa-sama. Saya tahu Okaa-sama tentunya tidak bermaksud buruk. Saya hanya ingin memastikan karena saat ini Masahiro bahkan tak mau mengangkat telepon dari saya.”
“Begitu? Dasar Masahiro.” Wanita itu tertawa kecil dan mau tak mau Tori pun ikut tertawa. “Kalau memang terlalu merepotkanmu dan membuatmu bertambah pusing, bilang saja padanya kalau dia tak perlu pergi ke sini. Aku mengerti, kok.”
Tori sungguh tak enak mendengar nada bicara calon ibu mertuanya yang terdengar agak sedih itu. Hari berikutnya, sepulang dari rumah sakit, ia mampir ke rumah Keigo dan menyelipkan secarik kertas melalui bawah pintu kamar Masahiro.
Jangan harap aku akan muncul di hadapanmu di depan altar nanti kalau menghormati keinginan ibumu saja kau tak bisa –Tori-
Malam harinya, Tori harus menyiapkan makan malam sambil tertawa geli pada Masahiro yang tengahberkutat di depan laptopnya; memesan tiket pesawat sambil menggerutu.
Semalam Masahiro baru saja meneleponnya. Seperti biasa kalau mereka sedang terpisah jauh, pembicaraan telepon mereka selalu menghabiskan waktu berjam-jam diselingi video call beramai-ramai dengan para pendamping pria, Mitsuya, dan Takiguchi-kun karena mereka harus berdiskusi tentang beberapa persiapan akhir. Akhirnya Tori mengusir mereka semua keluar dari kamarnya karena ia sedang kangen sekali pada Masahiro.
Tori melirik ke dalam kamar tidurnya, mendapati Masaki yang tengah tertidur pulas. Anak itu datang segera setelah jadwal operasinya selesai dan menuntut dibuatkan omelet. Sambil tersenyum, ditutupnya pintu kamarnya dengan perlahan dan beralih menuju dapur karena ia sungguh butuh minum kopi dan mungkin sebatang rokok.
Namun begitu melihat Takuma yang tengah berdiri di dekat konter dapur, sibuk memperhatikan beberapa lembar kertas berisi pengaturan duduk para tamu undangan, hal pertama yang dilakukannya adalah mengulurkan kedua lengannya pada sahabatnya itu. Mengerutkan kening dengan sedikit heran, Takuma pun merengkuhnya dalam pelukan hangat dan erat. Dokter gigi nan tampan itu menepuk-nepuk pundak Tori dan mengelus punggungnya dengan sayang sementara Tori membenamkan wajahnya ke dalam pundak Takuma dan menghela nafas berkali-kali. Rasanya begitu nyaman dan untuk sesaat, Tori merasa semuanya akan berjalan lancer.
“Kenapa tidak tidur saja?” Tanya Takuma sambil mengecup rambut Tori.
Tori menggeleng. “Tak bisa,” ujarnya sambil menjauh sedikit meski tak melepaskan pelukan.
Takuma tersenyum. “Aku tadi buat kopi. Mau?”
Tori mengangguk, kali ini membiarkan Takuma melepaskan dirinya dan menuangkan secangkir kopi untuknya. Diambilnya rokok simpanannya dari dalam lemari dapur, membuka jendela dan mendudukkan dirinya di atas konter sambil menyalakan rokok. Takuma menghampirinya dengan secangkir gelas yang menguarkan asap tipis. Tori menerimanya dengan senyum penuh terima kasih dan meletakkan cangkir itu di dekat pahanya. Takuma bersandar di sebelahnya, mengambil sebatang rokok dari dalam kotak yang masih digenggam Tori, membuat sahabatnya itu tertawa.
“Apa?” Takuma mengangkat alis, menyelipkan rokok ke antara bibirnya.
Tori menggeleng lagi, mengulurkan korek dan menyalakannya untuk Takuma.
Mereka terdiam sejenak, menikmati kopi dan menghembuskan nikotin beberapa kali.
“Yuuki-chan tidak marah kau menginap di sini sampai beberapa hari ke depan?” Tanya Tori kemudian.
Takuma terkekeh. “Marah sih tidak. Hanya cemberut. Tapi Micchi juga sudah ikut membujuknya dan dia di rumah ditemani Yamaguchi-kun dan Yuta. Ngomong-ngomong, terima kasih sudah mengundang mereka juga.”
Tori mengibaskan tangannya. “Tentu saja mereka kuundang. Kau ini bicara apa?”
Kedikkan bahu dan hembusan asap menjawab Tori. Takuma terbatuk dan memutuskan mematikan rokoknya. “Aku tak pernah terbiasa dengan ini,” komentarnya dengan wajah sedikit memerah.
“Itu karena kau dokter gigi,” ucap Tori sambil nyengir.
Takuma membalas cengirannya. Diperhatikannya baik-baik wajah Tori yang tampak lelah dan sedikit tegang. Garis di bagian bawah matanya mulai menebal dan Takuma tahu yang bisa menyembuhkannya hanya sepuluh jam tidur. Mungkin sebentar lagi dia harus memaksa Tori masuk ke kamar untuk bergelung di sebelah Suda tapi saat ini, sepertinya pria itu hanya butuh teman ngobrol. Masahiro begitu jauh dan Tori pasti sedang butuh seseorang untuk membantunya tak merasa begitu tertekan.
Karena itu Takuma meletakkan tangan di atas paha Tori, telapak tangan terbuka seolah mengundang untuk digenggam. Tanpa ragu, Tori menyambut. Digenggamnya dengan erat tangan Takuma dan meremas beberapa kali.
“Kitto, daijoubu yo ne.” ujarnya lirih dan sedikit bergetar.
Takuma mengangguk mantab, balas meremas tangan Tori. “Kitto. Daijoubu.”
Tuesday, December 13, 2011
[translation] Sairen, Hinata de Kagayaite
Monday, December 12, 2011
[fanfic] Partner
Cast: Kikuchi Takuya, Ise Daiki
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything
Note: gara2 Tacchin nyepam kemarin malam dan obrolan tak tentu arah sama Neitai XDDD Pendek aja dan maaf kalo gejeh.
Hawa dingin dari dalam kulkas menerpa kulit dada dan pundaknya yang tak tertutup baju. Kikuchi merinding sekilas sementara tangannya terulur, menjangkau ke dalam salah satu rak, dan menarik keluar sekaleng bir. Ditutupnya pintu kulkas dengan kaki sementara tangannya sibuk berkutat membuka bir itu. Beberapa tegukan dan pemuda jangkung itu menghela nafas lega dengan keras. Memang tak ada yang lebih nikmat selain bir dingin setelah berendam air hangat.
Kaki jenjangnya membawanya ke ruang depan apartemennya. Satu tangannya sibuk menggosok rambut dengan sehelai handuk yang tersampir di pundak. Dengan pose sedikit jumawa, ia berdiri di dekat sofa yang sudah dihuni pemuda berambut gelap yang tengah tengkurap; membaca novel sambil mengudap kripik kentang.
Menyadari bayangan yang jatuh di atas novelnya, Daiki mengangkat kepala dan nyengir setelah memperhatikan pemuda jangkung di hadapannya sekilas. "Nice undies," komentarnya.
Kikuchi mengarahkan pandang ke bawah, pada celana boxer berwarna hijau bermotif kunang-kunangnya lalu balas nyengir. Diperhatikannya TV yang menyala dan memutuskan kalau acara TV-nya sama sekali tak menarik. Kedua bahunya dikedikkan acuh. Diputarinya sofa mungil itu dan ditendangnya kaki Daiki supaya pemuda itu mau bergeser untuk memberinya tempat. Dilesakkannya pantatnya ke sofa dan memutar matanya saat Daiki, alih-alih bergeser, malah menukar posisinya dengan merebahkan kepala di paha Kikuchi.
"Aku bukan bantal, oi!" Protesnya sambil menjangkau remote TV dan menekan tombol, mencari acara yang lebih menarik untuk ditonton.
"Jangan pelit. Tsunenori saja tak keberatan kalau aku begini," Daiki menggembungkan pipinya sementara tangannya terulur menjejalkan beberapa potong keripik ke dalam mulut Kikuchi.
Pemuda jangkung itu memberontak dan menepis tangan Daiki. Diambilnya kepingan-kepingan keripik dari tangan Daiki dan mengunyah sendiri. Tak lupa memukul kening Daiki dengan keras. Daiki mengusap-usap keningnya dengan sebal meski tak bisa menahan cengiran yang timbul karena melihat sudut-sudut bibir Kikuchi yang tertarik membentuk cengiran pula.
"Mereka memang membuat iri ya," ujar Kikuchi kemudian, membiarkan Daiki bergelung nyaman di sebelahnya.
Daiki mengangkat alis. "Kenapa tiba-tiba?"
Kikuchi mengedikkan bahu, "I'm just saying."
"Heeee," Daiki mengangkat tubuhnya, duduk menghadap teman dekatnya itu seraya memeluk kedua lututnya. "Kau serius naksir Akazawa?" Tanyanya jahil.
Kikuchi memukul kepalanya sekali lagi. "Jangan sembarangan kalau bicara."
"Habis," Daiki mengulum cengirannya kali ini. Sedetik kemudian, ia menutup mulutnya dengan dramatis, "Jangan-jangan kau naksir Tsunenori?"
Sekali lagi, kepala Daiki menerima pukulan. Kali ini lebih keras. "Kubilang jangan sembarangan kalau bicara. Aku memang tampan dan tak ada seorang pun yang bisa menolakku, tapi naksir sahabat sendiri itu sama sekali tak ada dalam kamusku, tahu."
Daikio mencibir, masih tak rela kepalanya dipukul berkali-kali. Kepalanya dimiringkan, menatap sosok samping wajah Kikuchi yang tampan. Sebuah cengir jahil kembali menempati sudut-sudut bibirnya.
Kikuchi mengerjap saat sepasang lengan melingkari pundaknya dan tiba-tiba saja Daiki sudah duduk di pangkuannya. Wajahnya begitu dekat dan Kikuchi tak sempat mengeluarkan protes apapun saat Daiki menciumnya. Kedua lengannya yang panjang balas memeluk pinggang Daiki dan menariknya mendekat.
Getar tawa Daiki merambati telinga dan tenggorokannya dan Kikuchi balas menyeringai. Dibalasnya tiap kecupan dan pagutan mesra di bibirnya lalu berpindah menghujani rahang dan leher Daiki dengan kecupan ringan.
"So," Daiki berdeham karena merasa suaranya agak serak, "I could consider myself lucky that even though we're friends, I get to do these kind of things with you?"
Kikuchi menggigit kulit di bawah dagu Daiki, "Don't get cocky. I can throw you out anytime if you get ahead of yourself."
Daiki tertawa pelan dan kembali mencium temannya itu. "Oh, even if you did, I know you can't stay away from me for too long. After all, we're partners in crime."
Kikuchi nyengir. "We are, indeed."
-end-
Tuesday, December 6, 2011
[fanfic] Daishuuryou/Takeru - Bound part 2
Tuesday, November 22, 2011
[fanfic] Bound - an excerpt
[drabble] Tsukasa/Takeru - Voice
Monday, October 31, 2011
[fanfic] Kazuki/Takuya - Sleep In
Thursday, October 27, 2011
[fanfic] Tsune/Tomoru -
Monday, October 24, 2011
[fanfic] Ma-kunxTori - Intentional
Rating: R
Warning: BL, AU, OOC, NSFW
Disclaimer: I own nothing
Note: Ini tak lain tak bukan adalah bentuk penebusan rasa bersalah pada Bocchan yg gue yakin lagi ngambek di sana itu XDDDD
Angka penghitung waktu bergerak mendekati nol dan mesin itu pun mengeluarkan bunyi melengking menandakan pekerjaannya sudah tuntas. Sambil bersiul, Masahiro membuka tutup microwave dan mengeluarkan secangkir susu coklat hangat dari dalamnya. Diambilnya sebuah piring berisi sandwich yang sudah disiapkannya sembari menunggu susunya dihangatkan tadi. Dengan piring dan gelas di tangan, pemuda jangkung itu berlalu, berhati-hati agar tak terantuk kursi atau meja pajangan saat melewati lorong dan ruang tengah yang gelap dan menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.
Dia nyaris saja menjatuhkan piring dan gelas itu saat memasuki kamar. Tunangan tercintanya tengah berbaring di tempat tidurnya yang besar. Tori tampak nyaman berbaring tengkurap di antara tumpukan selimut putih dan bantal yang berantakan. Satu bantal didekap di bawah dada sebagai penyangga sementara ia membaca sebuah buku. Tapi masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah Tori memilih untuk berbaring di sana tanpa mengenakan sehelai pakaian pun. Selimut putih itu hanya menutupi sampai bagian pinggul, pun agak tertarik turun saat Tori beringsut. Dokter itu seolah hanya bergerak untuk mengambil kacamatanya sejak mereka selesai bercinta tadi dan Masahiro bilang ia lapar lalu turun ke dapur mencari sesuatu untuk dikudap.
Masahiro memastikan ia menutup pintu dengan benar sebelum menarik nafas dan mendekat. Tori mendengarnya dan menoleh sambil tersenyum manis.
"Ma-kun buat apa?"
"Cuma susu dan sandwich," ujarnya pura-pura acuh. Tori membalik badannya sedikit agar ia bisa mengintip apa yang dibawa Masahiro. Mau tak mau, mata Masahiro tertuju pada pada bagian bawah tubuh Tori yang terancam kelihatan dari bawah selimut. Ia buru-buru bergerak ke sisi lain tempat tidur dan duduk di sebelah Tori. Pun, langsung sibuk mengunyah sandwich-nya dan pura-pura sibuk dengan ponselnya. Tori mengulurkan tangan untuk mencuri sepotong sandwich dari tangan Masahiro. Pemuda itu merengut sekilas dan Tori hanya tertawa lalu melanjutkan membaca.
Masahiro melirik lagi. Sungguh, ia tahu ia laki-laki yang beruntung bisa mendapatkan orang seseksi dan semenarik Tori sebagai pasangannya. Meski Masahiro jadi lebih sering mengenakan celana cargo-nya dibanding jeans ketat kesukaannya.
"Tori tadi katanya mau mandi." Komentar Masahiro kemudian, tak tahan diam saja.
"Hmm?" Tori membalik sebuah halaman. "Sudah, kok. Begitu Ma-kun ke bawah tadi aku langsung mandi."
"Lalu kenapa tak pakai baju?" Protesnya pelan.
"Malas." Tori meleletkan lidah.
Masahiro mengerutkan kening. Tori tertawa pelan. "Tak apa kan? Toh, yang lihat cuma Ma-kun."
Masahiro nyaris tersedak sandwich-nya dan buru-buru menyesap susu hangatnya. Lagi-lagi tangan Tori terulur ingin ikut mencicipi. Masahiro memandangnya seolah tak percaya. Ia kemudian mencibir.
"Dulu sebelum kupacari, Tori sok pemalu. Sekarang saja begitu."
Tori terbahak dan menusuk pinggang Masahiro dengan ujung jarinya. "Itu intinya kan? Waktu itu kan aku belum yakin benar dengan niatmu. Rugi dong kalau ternyata kau cuma menjadikan aku sasaran ke-playboy-anmu lalu kau tinggal pergi begitu saja."
Masahiro masih mencibir sembari beringsut menjauh dari serangan Tori. "Itu namanya manipulatif, tahu."
"Kalau bisa mendapatkan orang setampan Ma-kun, aku tak keberatan jadi manipulatif." Tori mengerling.
"Dasar genit." Masahiro melengos seraya menggigit potongan terakhir sandwich-nya.
"Heeeei!" Tori memprotes setengah hati. Diamatinya sang pacar yang masih ngambek tanpa alasan itu. Biasanya pemuda itu akan dengan bersemangatnya melupakan makanannya dan langsung menggoda Tori untuk bercinta lagi kalau melihatnya dalam kondisi seperti itu. Bukannya ia sengaja tak pakai baju untuk memancing Masahiro, dia memang sedang malas saja dan yah, tak ada ruginya kan?
"Ma-kun," panggilnya ramah. "Lihat sini, dong."
Pemuda itu menoleh dan sekali lagi menelan ludah. Ia tak akan pernah bisa menolak Tori. Sampai kapanpun. Pemuda itu menyingkirkan piring dan gelasnya ke atas meja di samping tempat tidur sebelum beringsut mendekat pada Tori. Dokter itu menyandarkan tangan dan dagunya di atas lutut Masahiro dan memandangnya dengan lembut.
"Apa aku salah bicara?" Tanyanya sambil menusuk-nusuk pelan paha Masahiro.
Masahiro menggeleng. "Tidak."
Tori memiringkan kepalanya. "Lalu?"
"Tori tahu aku pasti jadio bersemangat lagi melihat Tori seperti ini kan?"
Tori terbahak dan Masahiro pun tak bisa menyembunyikan cengirannya. Pemuda itu menarik Tori ke dalam pelukannya sementara ia bersandar nyaman ke tumpukan bantal besar di belakang punggungnya. Kedua tangannya melingkar posesif di pinggang Tori sementara Tori meletakkan kedua tangannya di masing-masing bahu Masahiro.
"Lalu sejak kapan itu jadi masalah untukmu, Bocchan?" Godanya sambil mengecup ujung hidung Masahiro dengan gemas.
"Masalah karena besok Tori harus berangkat pagi-pagi sekali dan kalau aku memaksa, Tori pasti marah padaku kan?"
Tori mengangkat sebelah alisnya. "Dan kapan kau pernah mendengarkan omelanku?"
"Umh, tidak pernah?" Masahiro meringis. Dielusnya punggung Tori dengan sayang dan mau tak mau tersenyum saat Tori makin merapat padanya. Beringsut pelan di pangkuannya, seolah menikmati tonjolan hangat di antara selangkangan Masahiro. "Tori sengaja ya?" Bisiknya parau.
"Tidak."
"Bohong."
"Sungguh." Tori tertawa pelan dan mengecup kekasihnya itu. Dipagutnya pelan bibir Masahiro yang penuh dan bergumam senang saat Masahiro membalas ciumannya. "Aku tidak bawa piyama." Bisik Tori di antara ciuman.
"Tori kan bisa pinjam punyaku." Balas Masahiro, mengecup dagu Tori lalu kembali menciumnya.
Tori mengedikkan bahu. "Terlalu panjang untukku."
Masahiro mendengus. "Tori pakai saja kausku ini."
"Tidak, ah. Ma-kun saja yang buka baju juga."
Pemuda jangkung itu mendengus. "Tuh kan. Kau memang sengaja ya, sensei?"
"Dibilang tidak. Aku kan hanya kasihan padamu." Ujarnya meski sinar jahil di matanya sama sekali tak meyakinkan Masahiro.
Pemuda itu mendengus. "Pokoknya aku tak mau dengar Tori marah-marah besok pagi karena pegal-pegal ya?"
"Ma-kun." Potong Tori cepat dan tegas.
"Ya?"
"Kau terlalu banyak bicara."
Pemuda itu nyengir lebar dan menyambut ciuman Tori. Kali ini lebih dalam dan bergairah. Ia beringsut menurunkan celananya namun tak benar-benar melepas dan mendesah keras saat kulitnya bergesekan halus dengan kulit Tori. Tanpa banyak persiapan karena tubuh mereka masih cukup terbiasa dari sesi bercinta sebelumnya, Tori membawa Masahiro dalam-dalam dan membuat mereka lupa diri dalam sekejab. Beberapa hentakan dan bisikan penuh cinta sudah cukup membawa mereka mencapai kenikmatan yang membutakan itu.
Tori membelai dan mengecupi wajah Masahiro dengan penuh sayang, menikmati tubuh mereka yang masih sesekali tersentak pelan sebelum akhirnya benar-benar kembali tenang. Masahiro pun memeluk Tori erat-erat dan menciumnya sekali lagi sebelum rela melepaskan Tori untuk merapikan celana piyamanya sambil terbahak setengah tersipu.
"Jadi, kenapa tadi pakai acara ngambel?" Tori menyentil ujung hidung Masahiro saat mereka sudah berbaring bersebelahan dan Tori beringsut mencari posisi yang lebih nyaman dalam pelukan Masahiro, secara insting mengaitkan kaki dengan sepasang yang sangat panjang.
Masahiro meringis. "Habis Tori terlalu menggoda sih."
Tori nyengir. "Baiklah. Aku memang sengaja kok."
"Tuh kan!"
-end-
[fanfic] Tug & Pull
Rating: NC-17
Warning: BL, AU, NSFW, PWP
Disclaimer: No profit gained, no harm intended
Note: Please, never let me write a OT3 again, please? Apparently, I'm so BAD at it *sobs* so sorry for the poor result, grammar error and everything. Made as an appreciation of a certain pig. GAK BISA HIDUP GUE KAYA GINI, GAK BISAAAAAAAAAA
*coughs*
enjoy!
The bedroom is dim, somewhat romantically illuminated by a the moon and the city lights from outside the window. The tree that occupy the room, however, can't care less about that. Too consumed, too absorbed at the task at hands. More like, the task that brought out from how one of them turns to be so sultry and even more flirty and way beyond sexy when drunk.
---
Shunsuke finds himself licking his lips and Takuma blushes while trying to down more of the content of his glass. While Tori looks at them funny with half of his shirt buttons off and currently revealing too much skin for his own good. Delicious, creamy, dark skin. Takuma moves, trying to safe his friend from further humiliation but Tori swats his hand away and pouts cutely. Takuma has to kiss him. Tori blinks while Shunsuke is very amused.
The guy approaches his kissing friends and Takuma looks bashful. Shunsuke smirks. "Can I get a kiss, too?"
Tori blinks. "Why?"
"Because I'm drunk."
Tori laughs and drops a quick kiss on to his friend's lips. "There." But Shunsuke is quick to grab Tori by the waist and demands a real kiss, tongue and all. Tori moans as he drapes his arms around Shunsuke.
Takuma coughs, a little bit uncomfortable at the display before him. "Should... Should I leave?"
Tori quickly pulls away, "No! Come on. Where are you going, anyway?" Another cute and half-lidded eyes follows.
So Takuma stays and kisses Tori as an answer.
The next thing Tori knows is they are in Shunsuke's bed, almost naked except for their undies. Takuma is holding him and kissing him while Shunsuke has his hands roaming all over Tori's body. Tori moans appreciatively into Takuma's lips at every touch. He laces his fingers with Takuma who affectionately reciprocates. Tori closes his eyes, basking in every sensation his body is experiencing. He's familiar with Takuma. Everything he does is like an old friend: warm and affectionate and Tori knows that he can trust the man. On the other hand, Shunsuke is very new to him: curious yet passionate.
When he opens his eyes, he sees his friends are looking at him, smiling at him and looks really amused.
"What?" Tori asks, a little bit bashful.
Takuma and Shunsuke smile to each other before Takuma replies. "You were never this cute back then."
Tori has to laugh at that and pokes Takuma's chest with a finger. "Oh, shut up."
"Interesting," Shunsuke comments. Tori makes a face at him and pushes him down to the mattress so he can climb up on Shunsuke's body and starts to kiss him. Kissing Shunsuke is also new and Tori is getting even more excited. He moves down, kissing every beauty marks on Shunsuke's face and Shunsuke does the same with his. Soft sound of lips smacking over skin and occasional moans from the two are like a cue for Takuma to not just sit back and watch.
He positions himself behind Tori, kissing his shoulder, trailing every beauty marks he knows perfectly well where. Tori moans louder, kissing Shunsuke's chest now. Takuma caresses Tori's back as his kisses follow until he reaches the waist of Tori's black undies. The handsome doctor's eyes alight as he cups both hands around Tori's pert bottom. He squeezes a little bit.
Tori hums appreciatively at the squeeze. He rests his face against Shunsuke's chest, looking over his shoulder to give Takuma a meaningful smile. He moans again as Takuma catches his smile, squeezes a little bit harder and ducking down to take a bite.
Shunsuke cups Tori's face with both hands and kisses him again. "You make such cute noises."
Tori chuckles slyly. "I do." And he hisses as he feels cold air on the bottom part of his body. Takuma has pulled Tori's brief off.
"I think it's about time." Shunsuke agrees. They shuffles a little bit, giving room for Takuma to completely pulls Tori's and to take off his own while Tori helps Shunsuke with his.
A few seconds later, Tori gasps. His two best friends, sitting side by side, both are panting a little bit, flushed skin and...
"How can I be this lucky?" His eyes are certainly can not leave the building excitement displayed before his eyes.
The two chuckles. Takuma reaches out his hand, "Just come over here and show us how grateful you are to have us."
Tori laughs, taking Takuma's hand into his own and position himself between the two so he can simultaneously kiss them. He doesn't care who is touching him where. His clouded mind only knows that everything feels so good and "Oh, yes...touch me there again."
Takuma, even though feels a little bit self concious at first, can no longer pretend that he doesn't enjoy this. After all, he knows how sexy Tori can be once he is in the mood. He watches as Tori turns to Shunsuke, lying half of his body on top of Shunsuke's body while kissing him so hotly. Takuma steals a kiss from him before continuing caressing his friend's body. He slips his hand between his friends bodies so he can touch lower.
"Ahn!" Tori moans, bucking his back and Shunsuke holds him close. Takuma smiles, touching the warmth private member and closes his fingers around it. He hears Tori murmuring his name as Shunsuke shifts, giving a little space so Takuma can move more freely in pleasuring their friend.
Takuma moves his hand, teasingly the tip with his thumb before jerking a little bit until Tori has to back away from his kissing Shunsuke to bit his own lip and gasping.
"That feels good?" Shunsuke asks in a whisper.
Tori nods. He releases another moan as Takuma presses on a spot. "Hmm...yeah...feels good." He blinks as Shunsuke turns him around gently, so now he's sitting between Shunsuke legs, back to chest. Tori looks a little bit confused but Takuma is now kissing him and whispers a thank you to Shunsuke. Next thing he knows, he's watching himself disappears into Takuma's warm and wet mouth. Tori throws his head to rest on Shunsuke's shoulder while the man wraps his arms around Tori's body and caressing his chest and stomach.
Instinctively, Tori opens his legs wider for Takuma. His hips bucks slightly, going with the same rhythm as Takuma does wonder with his lips, tongue and fingers. His back arches and he can't stop moaning breathlessly. Shunsuke doubles the pleasure by teasing Tori's chest with his fingers and kissing him occasionally.
Tori feels so hot. Something is crawling inside his body, slipping in to his joints and manipulating his senses. His body tauts as he clenches on Shunsuke's arm a bit too tightly and reaches his release right away. Takuma, having been paying attention to every signal his friend is giving him, backs away a little as Tori climaxes in his mouth. He tugs slowly, helping Tori to finish and smiles to Shunsuke, who also been watching Tori writhe and practically turns into a mess.
"You okay?" Takuma whispers as he leans is and caresses Tori's cheek with his knuckle.
Tori laughs a little and nods. "Yeah." He chuckles as he watches Shunsuke leans in and kisses Takuma. The dentist is quite surprised but doesn't say anything. It's a fascinating view while he regains his strength and gets excited again. Then Tori joins in. He lifts up his body, kissing Shunsuke on the cheek, and his jaw line, his neck, down to his chest, teasing Shunsuke's nipple with his tongue and moving down again to his stomach.
Takuma and Shunsuke pull away from the kiss, watching Tori. Shunsuke kisses Takuma once again, before leaning back on to the mattress and being pleasured because good gods, Tori is so good with his hands and mouth. Shunsuke grunts and moans, his hand is resting on Tori's head, giving him direction.
Meanwhile, Takuma is already enjoying Tori's back and butt again. He looks around a little bit and Shunsuke whispers, "Left side. Top drawer."
Tori doesn't seem to care. He only looks up and when Shunsuke smiles down at him, he continues moving his head again. He backs up with a 'pop' sound, licking his own lips. "Kimochi ii?"
Shunsuke caresses Tori's hair, slipping some strands behind an ear. "Un. Sugoku ii."
Tori smiles smugly, this time giving a hard jerk before swallowing again. However, he moans loudly as he feels something cold touches his lower side. Tori looks over his shoulder. Takuma is holding a small tube that apparently a lube and pouring a little bit of the content to the cleft between his cheek. He spreads it with his thumb and smiles to Tori as his fingers tease Tori's opening. He presses slightly and pushes a finger inside.
"Hnnngh..." Tori moans, for a moment forgetting about Shunsuke and concentrating on the gentle intruder currently entering his body. Another finger follows the first and Tori cries. He gasps and moans as Takuma stars to move inside and out. Shunsuke decides to distract Tori by touching his jaw line and motioning that he really needs Tori's attention at the moment. Tori laughs, a bit breathless and goes back pleasuring Shunsuke while occasionally moaning because of what happening to his lower part.
"Ah, gods" Shunsuke moans and Tori sucks hard on him. Takuma can't help but feels a little jealous at the attention. But he needs to get Tori ready for both of them. He tugs on Tori's hips until it lifted higher and giving Takuma more access. His fingers move a little bit faster and Takuma leans in to take a taste.
Tori moans loudly. "Wada," he gasps.
"Nani?" Takuma asks softly.
"Aangh... Please... I can't... Aaaaah..."
Shunsuke smiles. "I think you have to be clear, Tori. Takuma-san won't understand if you're being vague."
Tori pouts at that but he takes a deep breath. "Please... Get inside me. I can't... Aagh!"
Both Shunsuke and Takuma smiles. Shunsuke kisses Tori before letting Takuma takes Tori and position him on his lap, back to chest. Takuma leans to the headboard, holding Tori around the waist. Tori turns his head to kiss his friend. He feels like he's replaying a night some years back but of course he can not possibly think of anything at the moment with lust and alcohol clouding his mind. Takuma guides himself to find Tori's opening and Tori obligingly lower his body, engulfs Takuma completely inside his body. Both of them moan long and low. And Takuma starts moving.
Shunsuke rises on his knees. He appraches the two friends. Watching at some weird fascination at how Takuma moving inside and out of Tori and how Tori responds to him. He leans in and kisses Tori, letting Tori releasing his moans and passion into his mouth. Tori pushes him back a little and lowers his body so he can take Shunsuke into his mouth, continuing where he left off.
Soon, there are only breathless gasps, moans, groans, soft and wet sounds of lips on skin and skin on skin. Soon, the tension rises higher and they move faster and deeper into each other. Taking pleasure and sharing passion (or lust) until Tori, breathlessly and desperately, cries out and Shunsuke grunts and Takuma groans. Bodies bucks and tugs and just stop moving for a second before collapsing slowly like sigh.
Takuma kisses Tori affectionately on the cheek. Shunsuke does the same and Tori smiles before falling asleep.
The next morning, Tori wakes up with massive headache and a body that sore and ache all over.
"I think I had a weird dream." He says to Takuma who offers him coffee.
Takuma and Shunsuke look at each other. Tori feels like he wants to throw a glass at them as they pat his shoulders.
-end-
Please, do not kill me?