Sunday, March 18, 2012

[fanfic] Wedding Series: The Vow

Cast: Inoue Masahiro, Matsuzaka Tori and friends
Rating: PG
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I only owned the plot
Note: Utang gue lunas yessssssssssssss! Akhirnya bakappuru ini menikah juga *susut air mata haru*






Suasana rumah yang luar biasa besar layaknya istana itu begitu sibuk meskipun hari masih pagi sekali. Matahari bahkan belum benar-benar terbit di sebelah timur. Halaman belakang rumah yang sangat luas (lebih luas daripada halaman lain di rumah itu, tentu saja. Katakan saja ukurannya nyaris seukuran lapangan sepak bola) tampak berbeda dari biasanya. Ada sekitar 30 meja-meja bundar dengan masing-masing delapan kursi di sekelilingnya ditata rapi dengan taplak berwarna putih. Center pieces di tiap meja berupa rangkaian bola kristal dan lilin berwarna merah dan pink. Begitu juga serbet makan yang ditata bersama tumpukan piring, seperangkat alat makan dan gelas berbagai ukuran. Di dekat tiap gelas champagne tergeletak kartu nama kecil bertuliskan nama masing-masing tamu yang akan hadir. Di dekat area duduk itu sudah dipasang sebuah tenda yang menaungi tiga meja bundar lain. Bergeser sedikit ke kanan dari tenda itu, di dekat air terjun buatan, ada sebuah podium yang sedang diberikan sentuhan akhir. Dihiasi pita-pita, selendang, dan bunga bernuansa merah, pink dan putih.

Mitsuya sibuk mondar-mandir di halaman itu, memastikan semua dekorasi sudah terpasang dengan baik pada tempatnya, tenda tak akan roboh meskipun ada angin kencang (tidak akan terjadi, ia sudah mengecek laporan cuaca), microphone dan pengeras suara sedang dipasang dan ia harus melangkah hati-hati kalau tak ingin tersandung kabel yang masih bersliweran. Ia melirik arlojinya dan dengan bergegas masuk ke dalam bangunan utama melalui dapur besar yang jadi tempat paling sibuk di rumah itu. Setiap sudut dapur tertutup makanan yang sudah jadi maupun bahan-bahan yang siap diolah. Takki sedang mencicipi saus sementara Jin sedang mengawasi laporan jumlah perangkat makan yang harus disiapkan.

“Hiramaki-san, yang di luar sudah beres? Masih perlu lagi yang lain?” Tanya Mitsuya sambil mendekati Jin.

Jin mengangguk, “Aku sempat melihat tadi tapi akan kucek sebentar lagi. Mitsuya-kun sudah sarapan?”

“Ah, mana bisa aku memikirkan sarapan di saat seperti ini?” keluh Mitsuya, ikut melirik daftar di tangan Jin.

“Tak boleh begitu. Sainei-san sudah mengundang kita untuk sarapan sama-sama di ruang makan loh. Makanlah. Setelah itu masih harus mengecek ruang tatami kan? Nanti kalau kau pingsan, Sainei-san bisa marah sekali karena kau mengacaukan pesta pernikahan adiknya.” Tegur Takki yang ikut menimpali. Kedua tangannya memegang nampan berisi omelet yang tampak lembut menggoda.

Mitsuya mendesah. Kenki juga sudah berpesan kalau dia tak boleh sampai lupa makan dan harus istirahat dengan cukup begitu Mitsuya pamitan untuk menginap di rumah Keigo dua hari yang lalu. Ia harus pindah markas dari apartemen Tori ke rumah Keigo karena perlengkapan dekorasi yang dipesannya sudah berdatangan dan harus mulai dipasang. Ia sama sekali tak menyangka akan bisa menginap di rumah idolanya itu. Senangnya luar biasa apalagi dia bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk pernikahan Masahiro dan Tori. Mendesah sekali lagi, Mitsuya pun mengikuti Takki ke ruang makan.

Di ruang makan sudah ada Kubota, Sainei, Takuya, Kei dan Tsune yang melambaikan tangan agar Mitsuya duduk di sebelahnya. Mitsuya pun tersipu saat Tsune menuangkan kopi untuknya dan mengucapkan terima kasih dengan malu-malu. Tsune balas tersenyum.

“Apa yang lainnya belum bangun?” Tanya Mitsuya sambil mengambil omelet dan potongan bacon.

“Ibuku sebentar lagi turun. Kazuki sedang mengecek apakah Masahiro sudah bangun. Kau hanya makan itu?” Kubota mengulurkan piring saji berisi potongan sosis gemuk ke arahnya. “Nih, tambah lagi. Kita semua akan perlu energi banyak hari ini.”

“Masakannya enak sekali, Takiguchi-san.” Tsune berkomentar sambil mengelap mulutnya dan menyesap kopi.

Takki tersenyum lebar. “Terima kasih. Ini semua yang buat Jin, kok.” Dan seperti diberi tanda, Jin pun muncul dari dapur sambil membawa seteko kopi lagi dan duduk di sebelah Takki. Ia pun tersenyum lebar begitu Tsune mengulangi komentarnya. “Ah, ini hanya sarapan biasa. Tapi kalau tak keberatan untuk menyicipinya lagi, silakan datang ke tokoku kapan saja.”

“Oi, oi. Kenapa kau malah promosi.”

“Ah, tidak boleh ya?”

Tawa semua orang meledak. Sainei menyela, “Tentu saja. Beri tahu saja alamatnya. Kapan-kapan mungkin aku akan mampir dengan teman wanitaku.”

Kubota, Tsune, Takki dan Mitsuya memutar mata dan Sainei pun langsung protes, “Apa?”

Jin tertawa renyah, “Silakan datang kapan saja.”

Kazuki turun sambil menggandeng lengan ibunya dan menarikkan kursi di ujung meja untuk wanita itu. Maya tersenyum lembut pada anak-anak dan tamu-tamunya. Wanita itu masih mengenakan mantel kamar tapi rambutnya sudah tergelung rapi membentuk sanggul kecil di tengkuk. Kubota menawarinya kopi tapi ibunya lebih memilih teh.

“Masahiro sudah bangun?” Tanya Sainei sambil mengangsurkan sandwich pada kakak keduanya.

Kazuki mengangguk. “Sedang berusaha menelepon Matsuzaka yang sepertinya menolak untuk mengangkat telepon. Kimito sedang memitingnya karena tak mau diam dan duduk tenang. Mungkin sebaiknya sarapannya dibawakan saja ke kamar.” Ujarnya pada kepala pelayan mereka.

Tsune menggeleng. “Biar aku saja. Aku sudah mau selesai, kok. Ini salah satu tugas pendamping pria juga kan?”

Maya tersenyum, “Mungkin sebaiknya begitu. Sekalian saja siap-siap ya, Tsunekki?”

“Tentu saja, Bibi.” Jawabnya sambil menjejalkan secangkir kopi dan sepotong sandwich ke tangan Mitsuya yang sudah hendak bergegas karena diberi tahu seorang pelayan bahwa ia dibutuhkan di ruang upacara. Tsune pun menyelesaikan sarapannya dan menghilang ke dapur. Tak lama ia naik ke lantai dua dengan membawa nampan berisi sarapan untuk Masahiro.

*****
Sarapan pagi di apartemen itu sungguh sederhana. Sepoci kopi, sepoci teh, setumpuk roti panggang, beberapa botol selai, sepinggan poached egg. Semua orang berkumpul di meja makan mungil itu. Sorimachi duduk sambil merokok dan membaca koran, Yuki di sebelahnya menyesap teh yang dicampur sesendok selai, Takuma ngobrol dengan Shunsuke dan Tori yang sibuk meladeni Masaki yang nyaris tertidur lagi di atas roti panggang.

“Kita harus berangkat jam berapa?” Yuki akhirnya bertanya.

Takuma mengangkat wajah untuk melihat ke arah jam dinding. “Jam 8 harus sudah di sana. Kita masih punya banyak waktu kok. Sekarang kan masih jam setengah 6.”

“Bibi cemas ya?” ujar Shunsuke sambil menuangkan teh lagi ke cangkir Yuki.

Yuki mendesah. “Kau ini bicara apa? Aku ini sudah biasa dalam situasi tegang begini. Anggap saja ini seperti pembukaan cabang spa baru.”

“Haaaah? Nani soree?” Protes Tori. “Bisa-bisanya Ibu menyamakan pernikahanku dengan pembukaan cabang spa.”

“Habis mau bagaimana? Anggap saja begitu kalau tak mau terlalu gugup kan? Ne, Takashi-san?”

Sorimachi hanya terkekeh. Pria itu melipat korannya dan minta diulurkan roti panggang lagi. “Terserah padamu saja, Yuki. Toh, mereka sudah mempercayakan persiapannya pada orang-orang yang handal kan? Kita sih tinggal datang dan duduk saja.”

Tori merengut. “Enak saja bicara seperti itu. Yang mau menikah kan aku. Ayah dan Ibu tak tahu seperti apa stresnya.”

“Hei!” tegur Yuki seraya menepuk punggung tangan Tori. “Aku ini juga pernah berada di posisimu, tahu. Kau tak bisa tidur kan semalam? Aku pun begitu dulu.”

Shunsuke mengintip wajah temannya itu dan terkesiap melihat kantung mata Tori. “Aaah, ikenai, ikenai.” Lalu bangkit membuka kulkas dan memotong ketimun segar. Digeretnya Tori ke sofa dan memaksaya berbaring diiringi protes keras Tori saat Shunsuke meletakkan potongan timun di atas kedua matanya.

“Diam. Jangan bergerak.” Ancam Shunsuke sampai Tori akhirnya menurut.

Masaki mengangkat kepalanya dari atas meja, “Aku tak boleh tidur lagi saja, ya? Ini masih pagi sekaliiiii.”

Takuma menepuk-nepuk kepala Masaki dengan sayang, “Dame. Kecuali Suda mau berangkat sendiri ke rumah Inoue-kun nanti siang dan melewatkan upacara pernikahannya Matsuzaka.”

Bibir Masaki merengut maju. “Bhu, tak mauuuu.”

“Kalau begitu, nih minum susumu dan habiskan sarapanmu ya. Nanti kan di sana ada Yuuki juga. Suda tak akan kesepian.”

Wajah Masaki langsung berbinar cerah dan dalam sekejab, anak itu pun terlihat segar. “Asyik, asyik! Ada Yuuki-chan! Ada Yuta-chan juga kan? Nanti kami boleh main sendiri kan, Papa?”

Tori mengacungkan ibu jarinya sebagai tanda persetujuan. Ia benar-benar tak bisa bergerak kalau tak mau dipelototi Shunsuke. Sampai tengah malam ia tak bisa tidur dan memandang iri pada Masaki yang sudah mendengkur pelan. Ia akhirnya keluar untuk membuat segelas susu hangat dan menemukan Takuma dan Shunsuke yang masih ngobrol di ruang tamu. Kedua pria itu pun menyambutnya hangat dan Takuma membuatkannya segelas susu hangat yang dicampur brandy. Mereka ngobrol beberapa lama sampai Tori akhirnya benar-benar mengantuk. Itu pun tidurnya tak nyenyak karena kerap terbangun.

Ia bersyukur karena dua gelas kopi sudah berhasil membuatnya merasa sedikit lebih terjaga. Rasa dingin ketimun yang saat ini menutupi kedua matanya pun cukup matanya yang tadinya terasa begitu berat jadi lebih ringan dan segar. Tori mendesah pelan. Entah untuk keberapa kalinya sejak kemarin. Ia bersyukur ada Takuma dan Shunsuke di dekatnya, kalau tidak, mungkin ia sudah jadi gila. Takuma pun mengijinkannya mengkonsumsi banyak makanan manis supaya ia lebih tenang dan tak terus-terusan senewen.

Tori merasa sesuatu yang empuk dan hangat dijejalkan dalam genggamannya, disusul suara Takuma. “Inoue-kun menelepon terus sejak tadi, loh. Tidak kau angkat?”

Tori membawa benda dalam tangannya yang ternyata roti panggang ke mulutnya dan mulai mengunyah dengan mata tetap tertutup. Ia mendengus, “Biar saja. Paling hanya mau mengomel atau merajuk. Aku sedang ingin panik sendiri saja saat ini tanpa perlu pusing mengurusinya yang panik juga.”

Takuma terkekeh pelan dan menepuk pelan lengan atas Tori. “Setengah jam lagi kita siap-siap, ya.”

Tori mengeluarkan suara tanda setuju karena sedang sibuk mengunyah rotinya.

*****

“Kenapa sih dia tak mau angkat telepon? Masa belum bangun? Aku saja tak bisa tidur. Toriiiii, angkat teleponnyaaaa!” Masahiro kembali bersungut-sungut seraya menekan ulang nomor telepon Tori mungkin untuk keseratus kalinya pagi itu sejak ia benar-benar bangun.

Kimito mendesah dan merampas handphone Masahiro dengan kasar lalu memukul kepala temannya itu. “Kau ini bodoh atau bagaimana? Di sana kan juga sedang sibuk. Mungkin Matsuzaka-sensei tak sempat angkat telepon. Daripada itu, mandi sana! Jangan sampai aku harus menendangmu ke kamar mandi ya.”

Bukannya mendengarkan temannya, Masahiro malah mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. “Apa jangan-jangan dia berubah pikiran? Apa benar begitu? Mungkin saja kan? Tiba-tiba dia takut lalu pergi entah ke mana dengan Shunsuke sialan itu. Aaaaargh! Seharusnya aku memaksa mereka menginap di sini saja semalam. Kenapa sih pakai acara tak boleh bertemu sebelum hari-H segala? Kalau dia benar-benar berubah pikiran, bagaimana ini?” Secepat kilat Masahiro menggenggam keras kemeja yang dikenakan Kimito dan mengguncang-guncang tubuh temannya itu, “Kimito! Cari tahu! Cari tahu Tori pergi ke mana. Kita harus cepat! Dia tak boleh berubah pikiran! Kimito, kau dengar aku?”

Sebuah kepalan keras mendarat di kepala Masahiro. Begitu kerasnya hingga pemuda jangkung itu terhuyung mundur. Matanya mengerjap bingung lalu jatuh terduduk di atas tempat tidurnya. Kimito mendengus kesal seraya meniup kepalan tangannya.

“Sudah bangun? Sekarang mandi! Kau perlu mendinginkan kepalamu!” Kimito menunjuk ke arah kamar mandi dengan tegas. Masahiro, yang masih agak pusing dan bingung, mengangguk dan menyeret tubuhnya dengan patuh.

Kimito memastikan Masahiro masuk ke kamar mandi dan begitu mendengar suara air mengalir dari shower, ia mendesah dan merutuki dirinya sendiri kenapa mau-maunya terlibat dengan orang merepotkan macam itu. Sepertinya ia memang kena kutuk. Setengah kesal, ia menelepon Ryouta yang untungnya sudah bangun dan berkata kalau cake-nya sudah masuk oven dan sebentar lagi matang. Sebenarnya Kimito lebih ingin nongkrong di toko Ryouta saja dan memperhatikannya membuat kue pengantin pesanan Masahiro dan Tori tapi dia kan pendamping pria. Bisa diamuk orang banyak kalau ia menghilang di saat penting begini.

Benar-benar kena kutuk, deh. Ryouta menertawainya dan menyuruhnya mulai bersiap-siap juga dan mendoakan semoga upacaranya lancar karena Ryouta baru akan datang menjelang resepsi siang nanti. Kimito mengangguk setuju, menutup teleponnya dan memperhatikan tiga helai kimono hitam yang terpajang berjejer di salah satu sisi dinding kamar Masahiro. Milik Masahiro berwarna hitam sementara miliknya dan Tsune biru tua.

Sementara itu di kamar mandi, Masahiro berdiri terpaku di bawah kucuran air dingin yang mengalir dari shower. Ia merutuki Kimito yang berani-beraninya memukul kepalanya keras sekali. Dengan kesal dirabanya kepalanya yang masih terasa nyeri. Ia tak heran kalau benjol. “Tsk,” keluhnya kesal.

Pertama kali dalam hidupnya, ia benar-benar merasa gugup dan resah. Seminggu berpisah dengan Tori dan begitu tiba kemarin pagi pun ia masih belum bisa menemui pacarnya itu. Tori hanya menelepon begitu Masahiro mendarat di Narita dan sebelum ia pergi tidur malamnya. Itu pun tak bisa ngobrol lama karena masih banyak yang harus diurus dan mereka berkali-kali diganggu siapa saja yang mendadak punya hal untuk ditanyakan pada mereka. Masahiro tak bisa berhenti menggerutu sejak kemarin sore. Biasanya kalau ia sudah begitu, tak aka nada yang berani mendekat tapi kali ini semua orang seolah tak mau peduli kalau ia BUTUH bertemu atau setidaknya bicara dengan Tori. Tapi calon suaminya itu pun seolah tak peduli dengan tak mengangkat teleponnya sama sekali. SMS pun hanya dibalas sekali

Jangan bodoh, Masahiro.

Begitu saja. Apa maksudnya sih? Dia kan butuh ditenangkan dan bukannya dikata-katai seperti itu. Dia juga tahu Tori pasti juga sedang tak tenang tapi kan saat-saat seperti ini seharusnya mereka saling mendukung kan? Bukannya malah mengacuhkan kan? Iya, kan?

“Masahiro, hentikan lamunan tololmu dan keluar dari situ sekarang juga. Kau harus sarapan dan siap-siap.”

Kali ini suara kakak sepupunya terdengar dari balik pintu. Masahiro mendengus kesal. “Hai!” serunya.

*****

Tori berdiri tegak di depan cermin panjang di dalam kamarnya sementara ayahnya bergerak di sekelilingnya, membantunya mengenakan kimono dan hakama resminya. Tadinya Shunsuke yang akan membantunya tapi Sorimachi muncul di pintu dan mengatakan kalau ia yang akan melakukannya. Shunsuke pun menghilang dengan senang hati dan pergi membantu Masaki dan Takuma. Sorimachi berkerja dengan cekatan; menarik, mengikat dengan kencang, merapikan dan menyesuaikan dengan cermat hingga semua garis dan lipatan berada di tempat yang benar.

Terakhir dielusnya di punggung anak laki-laki satu-satunya itu dan berdiri di belakang Tori untuk memandang pantulan mereka di dalam cermin. Tori tersenyum dan Sorimachi pun balas tersenyum.

“Gugup?” tanyanya, merapikan sekali lagi lengan kimono Tori.

Tori tertawa pelan. Sorimachi nyengir lebar. “Kau akan baik-baik saja.”

“Kuharap juga begitu.”

Sorimachi tersenyum kecil lalu menepuk pundak Tori dengan mantab. “Kau akan baik-baik saja.” Ulangnya. Lebih pelan dan lebih jelas.

Tori memandang ayahnya selama beberapa saat lalu mengangguk. “Arigatou, Tou-san.”

*****

“Coba lihat sini,” Maya menangkupkan kedua telapak tangannya di masing-masing pipi Masahiro yang sudah tak terlalu bulat. Seminggu bersama anak bungsunya itu bahkan tak akan cukup untuk membuat Maya merasa bosan memandang wajah pemuda itu. Masahiro terlihat tampan dengan rambut yang ditata rapi ke belakang. Kimono dan hakama hitamnya tampak begitu pas dan serasi. Anak itu sudah bukan anak kecil lagi tapi Maya merasa sifat manja dan seenaknya Masahiro tak akan pernah hilang.

Masahiro merasa sedikit salah tingkah diperhatikan begitu rupa oleh ibunya dalam jarak sedekat itu. Meskipun seminggu terakhir sudah membuatnya jauh lebih dekat dengan ibunya, tetap saja ditatap dengan mata berkaca-kaca dan desahan panjang seperti itu membuatnya salah tingkah. “Kaa-san, sudah dong.” Ujarnya sambil melirik ke arah Tsune dan Kimito yang sibuk menyembunyikan cengiran dan kikik geli di balik lengan masing-masing.

“Kaa-saaaaaaan,” Masahiro mendesis. Pipinya sudah berubah merah sekali dan Maya menepuk pipinya pelan.

“Ingat ya, mulai saat ini kau sudah bukan anak kecil lagi. Jangan merepotkan Tori-san.” Maya berpesan dengan tegas. “Kau harus bisa mendukungnya dan jangan terlalu banyak mengeluh.”

“Iyaaaaa, aku tahu.”

“Inoue Masahiro, dengarkan aku.”

“Hai.”

Maya mengusap pipi anak bungsunya itu lalu tersenyum lembut dan berjinjit untuk mengecup kening Masahiro. “Ibu tahu kau anak baik.”

“Hai,” Masahiro memeluk ibunya. “Arigatou, Kaa-san.”

*****

Ruangan bergaya jepang itu ditata rapi. Dua buah pembatas berwarna putih bergaris tepi emas diletakkan di tengah dan di sebelah kiri di bagian depan. Di depan tiap pembatas ada alas duduk berwarna putih bersulam emas dan di depannya lagi ada sebuah nampan kayu hias mewah berisi tumpukan cangkir dan cawan sake dihias kertas upacara. Masahiro duduk di tengah sementara Tori di sebelah kirinya.

Tori melirik ke jejeran keluarganya dan keluarga Masahiro, juga teman-teman dekat mereka. Hanya ada sedikit orang yang hadir di upacara itu. Semuanya mengenakan kimono dan hakama resmi. Para pelayan yang meladeni tamu yang hadir pagi itu pun mengenakan kimono. Ibunya berulang kali mengusap sudut matanya dengan sapu tangan, begitu juga ibu Masahiro. Ayahnya tersenyum dan Kazuki tampak tegang.

Seorang pelayan wanita mengenakan kimono maju dan menuangkan sake untuk mereka. Tiga kali di tiap cangkir dan mereka berdua menghabiskannya dalam tiga tegukan. Tangan Masahiro sedikit bergetar dan ia melirik ke arah Tori yang ternyata juga sedang melirik ke arahnya. Tori tersenyum padanya dan untuk pertama kalinya hari itu, Masahiro merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia balas tersenyum.

“Baka ne,” bisik Tsune pada Takuma yang duduk di sebelahnya. Takuma menggigit bibir sekuat tenaga agar tak tertawa sementara Shunsuke dan Kimito nyengir lebar.

*****

Menjelang makan siang, tamu-tamu undangan mulai berdatangan. Keisuke datang bersama adiknya yang sombong. Kenki datang bersama Yuuki dan Yuta. Ia langsung mencari Mitsuya yang sedang sibuk memastikan sentuhan akhir dekorasi terpasang dengan benar sementara Yuuki dan Yuta langsung sibuk berkeliaran dengan Masaki. Tsune mengantarkan Tomoru dan dua temannya ke tempat duduk mereka. Yuta datang bersama dua anaknya dan Shunsuke menemani mereka sebentar sebelum menghilang untuk ganti pakaian. Yuzawa-san dan dua anak buahnya sudah sibuk mondar-mandir dengan kamera di tangan masing-masing. Intensitas kerja di dapur meninggi. Takki dan Jin sibuk memberi pengarahan pada para pelayan dan mengingatkan pengaturan keluarnya makanan dan pengawasan ketersediaan minuman dan makanan kecil. Ryouta mendorong kue pengantin tingkat tiga dengan hati-hati ke dekat salah satu meja di bawah tenda, tak lupa memukul Kimito yang hendak mencolek krim penghias kue. Musik pun sudah mulai dimainkan oleh kelompok kecil orkestra yang didatangkan khusus dari Italia oleh Kazuki.

Tori memandang semua kesibukan itu dari jendela kamar tamu di lantai dua sambil berusaha mengancingkan lengan kemejanya. Ia bisa mengenali keluarga ayah dan ibunya, kolega-koleganya di rumah sakit dan beberapa teman kuliahnya di antara orang-orang yang mulai menempati tempat duduk mereka di bawah sana. Satu upacara selesai, tinggal satu lagi untuk dilewati dan dia akan merasa lega. Mungkin.

Masahiro masih tak terima kenapa Tori harus ditempatkan di kamar terpisah kalau hanya untuk ganti pakaian saja. Tori memijat keningnya yang kembali terasa pusing dan akhirnya menyerah lalu memeluk dan mencium suaminya itu dengan sayang. Masahiro pun akhirnya terdiam, menatap Tori yang hanya tersenyum dan mencubit hidungnya dengan gemas sementara orang-orang yang kebetulan ada di sekitar mereka geleng-geleng kepala.

Yuzawa-san menyelinap masuk untuk mengambil beberapa foto dirinya beserta Takuma dan Shunsuke yang tengah berganti pakaian dan ia mengatakan kalau Tori terlihat tampan lalu menghilang untuk memotret Masahiro. Takuma membantunya mengenakan jas panjangnya dan mengancingkannya mulai dari leher hingga kancing terakhir di bagian dekat pusar. Tori masih mengagumi jas itu. Modelnya seperti jas resmi angkatan laut; dengan kerah tegak dan panjang jasnya mencapai lutut Tori. Warnanya hitam dengan sulaman benang merah berkilau di bagian kerah dan sepanjang tepi bagian depan juga ujung lengan. Celananya hitam polos agar tak terlalu mencolok. Shunsuke melipat rapi sebuah sapu tangan berwarna merah dan menyelipkannya ke saku dada jas Tori. Ikat pinggangnya berupa kain merah yang disimpul rapi di bagian samping. Rambutnya dijalin rapi di sebelah kiri dan ditahan dengan jepit rambut tersembunyi.

“Siap?” Tanya Shunsuke sambil menepuk pundak Tori.

Tori menarik nafas panjang, menatap kedua sahabatnya yang juga terlihat luar biasa tampan dalam balutan jas panjang ala Inggris dan menggamit masing-masing lengan mereka. “Siap.”

*****

“Tamunya sudah datang semua?” Masahiro bertanya sambil mengangkat dagu agar Tsune bisa menyimpulkan syal satin berwarna magenta di sekeliling leher Masahiro dengan mudah.

Tsune mengangkat bahu, “Entahlah. Seharusnya sih, kalau ditebak dari suaranya.”

Masahiro mendesah, merentangkan tangan agar Tsune bisa membantunya mengenakan rompi-nya yang juga terbuat dari satin berwarna senada dengan syalnya. “Hhhhh, kenapa sih menikah itu repot sekali?”

“Memangnya siapa yang suruh kau menikah?” Tsune tertawa, mengancingkan rompi itu dengan rapi lalu beralih mengambil kemeja Masahiro yang berwarna putih. Ukurannya begitu pas di tubuhnya dan jatuh dengan sempurna. Tsune mengaitkan sebuah rantai emas kecil di antara dua lubang kancing jas Masahiro dan menepuk-nepuknya seolah memastikan sudah terpasang dengan sempurna dan tak akan lepas.

“Aku yang mau, kok.”

Tsune menyentik kening Masahiro. “There. Don’t complain too much.”

Masahiro memutar matanya dan memukul lengan atas Tsune. Diliriknya sekali lagi bayangannya di cermin dan mengangguk puas. “Okay.”

Tsune tersenyum lebar.

*****

Tori nyaris tak bisa bernafas saat melihat Masahiro berdiri di atas podium, menunggu dirinya yang berjalan ke arah Masahiro, menggamit lengan ayahnya dengan sedikit lebih erat. The Wedding March mengiringi langkahnya, juga pandangan kagum bercampur haru dari tamu-tamu. Sungguh, Masahiro tampan sekali dan Tori tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya saat Masahiro menoleh, melihatnya dan tersenyum lebar. Tatapan matanya begitu ceria dan seolah puas dan bangga melihat Tori.

“Halo,” sapa Masahiro begitu Tori sudah berdiri di sampingnya.

Tori nyaris tertawa, “Halo.”

“Maaf kalau terlalu blak-blakan, tapi Anda tampan sekali dan aku suka sekali. Maukah pergi bersamaku ke suatu tempat sekarang juga?”

Tori mengangkat bahunya, “Entahlah. Aku baru saja menikah dan akan mengucapkan janji setia sebentar lagi. Aku tak ingin membuat suamiku khawatir.”

“Oh. Sayang sekali. Dia laki-laki yang beruntung.” Ujar Masahiro dengan cengiran begitu lebar.

Tori tersenyum miring. “Begitulah.”

Mereka berdiri berhadapan saat pendeta memberikan sambutan dan saling menggenggam tangan masing-masing. Masahiro menarik nafas saat tiba gilirannya untuk mengucapkan sumpah setia. Ia sudah menghafalkannya semalam suntuk dan berdoa semoga ia tak lupa dan mengacaukan semuanya. Tori tersenyum dan mengangkat alisnya dengan menggoda. Masahiro merengut sekilas namun kedua matanya kembali menatap lurus-lurus ke arah Tori.

“Aku berjanji….” Ia berhenti sejenak, kembali menarik nafas panjang dan Tori meremas tangannya memberi dukungan, “Aku berjanji akan selalu mencintai Tori, akan selalu menjaga Tori, akan selalu memberi yang terbaik untuk Tori, akan selalu membuat Tori bahagia, akan berusaha memaafkan kesalahan Tori, akan mencoba mengerti banyak hal tentang Tori yang masih tak kumengerti. Aku berjanji akan berusaha tidak mengulang kebodohan yang pernah kulakukan dan menyakiti Tori, akan menghormati dan menyanyangi Tori. Aku berjanji akan terus ada di samping Tori dan tak akan pernah bosan…. Because you are my eternity.”

Tori tersenyum lebar, karena meskipun janji itu terdengar sedikit aneh dan terlalu apa adanya, Tori sungguh tersentuh. Masahiro nyengir puas lalu merengut karena terdengar kikik tertahan dari arah parah tamu dan Tori pun ikut tertawa. Ia kemudian berdeham, karena ini gilirannya. Tori menggigit bibir sekilas.

“Ma-kun adalah anomali dalam hidupku.” Tori memulai dan semua orang mengangkat alis termasuk Masahiro. Tori melanjutkan, “Kamu datang di saat aku sudah berkeputusan tak akan membuka hatiku lagi untuk orang lain. Tanpa tahu apa-apa, tanpa bertanya, tanpa menyerah, dan juga tanpa malu-malu, kamu memaksa masuk. Anak kecil yang manja, seenaknya dan tak pernah peduli pendapatku.” Masahiro tampak tak senang dan sudah siap membuka mulut hendak protes namun Tori masih menatap lurus ke arahnya. “Selalu membuatku kesal, marah dan khawatir. Kadang menyebalkan karena suka memaksa. Dan aku terlalu sibuk bertahan dan menjaga agar hatiku tidak terbuka dan terluka tapi entah bagaimana, kamu berhasil meyakinkanku. Dan aku sungguh berterima kasih karena kamu datang dalam hidupku. Terima kasih untuk mau mencintaiku. Dan terima kasih karena kamu tidak menyerah. Karena itu mulai dari sekarang, aku pun tidak akan menyerah dan kalah mencintai Masahiro.”


-end-

28 comments:

  1. *berkaca-kaca di kantor*
    *membuang kerjaan*

    KYAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH------------------------ *ded from sweet*

    ReplyDelete
  2. Eh? Eh? Aku senang kalau ini bisa membuat terharu karena ini ditulisnya sekali jalan aja XD

    ReplyDelete
  3. Gw... ga bisa bilang apa-apa selain "AKHIRNYAAAAAA!!!" *tewas bahagia di tengah genangan air mata*

    ReplyDelete
  4. YA AMPUN GUE NANGIS.
    Setiap mau scroll bawah rasanya deg-degan banget OMG. Romantis dan kerasa banget aura tegangnya. Dan ya Tuhan, itu isi ruangan semuanya tampan, gila ya. *tarik napas* jas hitam-putih, hakama, zomg jdKJAGDSDGFJSDGJhdjkfgjkfgjkf!!

    mama-san ini keren banget!! *sobs*


    ps: 'TSUNEKKI.'

    ReplyDelete
  5. @Icha: Gue pun, "Akhirnyaaaaaaaaaa" XDDDDD Maafkan pengarang tak bertanggung jawab ini m(_ _)m

    @Nei: *kasih tisu* Sou? Ini malah sebenernya rasanya masih banyak bolongnya XD Rasanya masih pengen nambahin apaaaa gitu XD

    karena itu anagram dari kitsune? >:D

    ReplyDelete
  6. Tapi gw jadi merasa seperti melepas anak laki-laki gw menikah beginiiii bagaimana iniiiiiii lmao

    ReplyDelete
  7. MASIH. Masih mau nambah. The Party-nya kan belum, ma :D
    NAMA ITU LUCU XDDD karena itu juga nama perannya Kimito di pinnochio, kebetulan ini memang keren!

    ReplyDelete
  8. @Icha aku sangat mengerti perasaan ituuuuuuuu

    @Nei aku juga yang harus bikiiin? XDDD Baiklah. Mari dilihat ya.
    Ho? Yg jd Pinocchio-nya sapa?

    ReplyDelete
  9. *pegangan sama Mama Maya dan Yuki-kaasan* *curi2 pegangan sama Sorimachi-san*

    Yang jadi Pinocchio Tom. XDD

    ReplyDelete
  10. Kenki dan Tsune pakai hakama *DED* dan Yuuki pasti lucu bangeeeet! *hakamanya Suda warna hitam juga? Kaya' yang di majalah*

    ReplyDelete
  11. @Icha HEY! XDDDDDD

    Aduuuuh, aku mau liyaaaaaaat

    @Nei oh, Kenki dan Yuuki gak pake hakama. Kan datengnya pas resepsi. Pas upacara itu yg ada cuma keluarga plus Kimi-chan, Kuma, Shunsune. Iya, Suda pake warna hitam juga.

    ReplyDelete
  12. kan tidak harus sekaraaaang, aku hanya penasaran, dan kalau aku yang buat tidak akan sekeren ini!! *sembah*

    ReplyDelete
  13. AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA! *nangis haru* T____T << komen ga penting XD

    ReplyDelete
  14. @Nei Ya iyalah gak sekarang XD Bah, kau terlalu merendah!

    @Icha: YAY~

    @megumi19: sankyuuuuuuuu <3

    ReplyDelete
  15. ...................................*berkaca2*

    Mama-san, bagaimana ini? Terlalu manis sampe gw nangis....(;__;).

    Ma-kun...., Tori...., syukurlaaaaaaaaaaaaaaahhhh <3

    *lalu kembali mewek bahagia*

    ReplyDelete
  16. Aaaaaa!!!! Omedetouuuuu!!!!!! *tebar confetti dan susut airmata haru*
    Itu speech nya tori bikin mata berkaca2... (>.<)

    ReplyDelete
  17. @Riri aku tak tau, kappa *sumbang tisu* Btw, SMS gue terima gak sih? *pokes*

    @Lene: Arigatouuuu~~ <-berasa yang punya hajat

    ReplyDelete
  18. AKHIRNYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!! AKHIRNYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!

    *susut air mata haru*
    Aku menangis Saat Tori mengucapkan sumpahnya!! Beneran nagis!!!

    Mamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!

    ReplyDelete
  19. *menyediakan ruang rias buat para tamu yg butuh touch-up karena make-upnya luntur gara2 nangis*

    Soraaaaaaaaaaaaaaaaaaa!

    ReplyDelete
  20. Gomen, HP gw mati seharian ^^;. Lupa belum gw charge tadi *ninja*

    Aku tak mau tisu, berikan saja aku dada Kinari untuk menangis...Ehe...о(ж>▽<)y ☆

    ReplyDelete
  21. Mau dada Kinari atau kaki berbulu Ossan?

    ReplyDelete
  22. Kinari tidak (belum) ada di AU ini, kappa mesum....

    'keisuke datang bersama adiknya yang sombong--'
    Nei: *ngakak pukul-pukul meja*

    ReplyDelete
  23. Mamaaaa saya butuh tukang riasnya jugaaaaaaa!!

    Siapa itu ya adiknya keisuke yang sombong??
    *ni fic tokohnya seabrek-abrek mpe saya yang lemot ngapalin nama musti mikir lama*
    Dan yang namanya Yuta emang ada dua ya??

    ReplyDelete
  24. Kawinanpun tetep red n pink ya makun?

    Makun : 'magenta!!'

    Aih, akhirnya resmi juga, masaki harus siap2 jadi onichan neh XD

    ReplyDelete
  25. Tetep dong XD Malah sebenernya pengen diselipin ungu juga sama Micchi XD

    Masih lamaaaaaaa. Nunggu Ma-kun 30 tahun duluuuuuu XD

    ReplyDelete
  26. lama banget!!! Kburu Tori dah uzur anaknya masih baby >.<

    Masaki : "sudah besar ko....."

    Tori ga akan keberatan ngurusin tiga ato empat masahiro kecil

    ReplyDelete
  27. Ma-kun 30 kan Tori masih 35 woiii XDD Di sini bedanya cuma 5 tahuuun XDDD

    Mendingan Tori minta cerai daripada ngurusin tiga atau empat Masahiro kecil XDD

    Ma-kun: FITNAH!
    Tori: *beberes*

    ReplyDelete