Fandom: Decade/Shinkenger
Rating: NC-17
Warning: pure pr0n. NSFW. BL. AU.
Disclaimer: I do not own anyone
Sejenak, Tori bingung harus bagaimana. Rasanya aneh pulang ke apartemen sendiri tapi tak tahu harus apa. Biasanya tubuhnya akan bergerak otomatis menuju dapur untuk mengambil air minum atau langsung ke kamar tidur karena sudah terlalu lelah. Tapi sekarang, keberadaan pemuda jangkung di belakangnya membuatnya sedikit resah. Itu bukan kali pertamanya membawa pacar pulang ke apartemen tapi malam pertama seperti ini memang selalu membuat gugup dan Tori sudah nyaris lupa seperti apa rasanya ketika dia terakhir kali membawa seseorang pulang ke apartemennya.
Tori menarik nafas tajam, terkejut karena sepasang lengan memeluk pundaknya dari belakang. Masahiro menyusupkan kepalanya untuk mengecup leher Tori dengan lembut dan menggoda. Tori bergidik pelan.
Ya Tuhan, mereka akan benar-benar melakukannya ya, pikirnya. Sedikit panik dan semakin gugup. Tori menelan ludah. Kalau saja dia tidak begitu suka dengan pemuda itu, mungkin segalanya akan lebih mudah. Tori mungkin tak akan segugup ini dan tak akan begitu khawatir akan apa yang akan dipikirkan Masahiro kalau sudah melihatnya tanpa baju nanti.
Wajahnya memerah lagi. Tori sedikit sebal karena merasa seperti anak sekolahan yang gampang tersipu-sipu. Setelah menarik nafas, tangannya terangkat menyentuh tangan Masahiro dan menggenggam lembut. Perlahan diputarnya tubuhnya menghadap Masahiro. Wajah pemuda itu bersinar begitu melihat Tori tersenyum padanya. Tampak begitu manis dan menyilaukan di matanya.
"Matsuzaka-sensei," panggilnya pelan sambil mendekatkan wajahnya.
Tori tersenyum, mengelus pipi Masahiro dengan ujung jarinya yang bergetar. "Kenapa memanggilku begitu lagi?"
Sebuah cengiran mendahului jawaban Masahiro. "Kebiasaan." Dikecupnya pelipis Tori. "Tori..."
Tori membalas dengan mendaratkan sebuah ciuman di pipi Masahiro. Kedua lengannya kemudian melingkar ke sekeliling leher pemuda jangkung itu. Berusaha meredakan jantungnya yang berdetak makin kencang. Masahiro mengelus lengannya dengan lembut.
"Gugup?" Tanyanya pelan. Tori nyaris tertawa karena suara Masahiro yang begitu bergetar, menandakan kalau pemuda itu juga resah.
"Masahiro juga kan?" Tori balas bertanya.
"Aku menunggu terlalu lama untuk ini." Akunya lirih. Wajahnya disentuhkan ke sisi wajah Tori, menghirup wangi tubuh Tori: campuran vanila, aroma jeruk dan sesuatu yang lain. Begitu mengundang untuk dinikmati saat itu juga. Senyum gugup dan semburat merah di pipi Tori juga membuatnya terlihat makin seksi.
Kepala Tori bergerak, mencari bibir Masahiro dan disambut dengan antusias. Tori tak membuang waktu untuk membuka bibirnya dan membiarkan lidah Masahiro menyerbu masuk. Mendengar pengakuan Masahiro yang begitu jujur, Tori tak ingin membuang waktu lagi. Tori lupa sejak kapan Masahiro mulai muncul dalam fantasi malam harinya. Yang dia tahu, dia juga menginginkan ini. Menginginkan Masahiro bercinta dengannya.
Dengan bibir masih saling berpagutan, Masahiro membimbing mereka pelan ke arah kamar tidur Tori. Tertawa pelan saat kaki Tori tak sengaja menendang sesuatu tapi mereka tak peduli dan terus berciuman. Tangan Tori terjulur ke belakang, meraba-raba daun pintu dan mendorongnya membuka begitu menemukannya. Bagian belakang lutut Tori membentur pelan sisi ranjang dan Masahiro mendorongnya pelan, menjatuhkan tubuh mereka ke atas kasur. Sesaat mereka hanya berbaring sambil terus berciuman sampai Masahiro menjauh dan mengangkat tubuhnya dari atas tubuh Tori.
"Lampunya..." Gumamnya.
Tori menggeleng pelan, menarik leher Masahiro untuk kembali menciumnya. "Biarkan saja." Bisiknya.
"Aku ingin melihatmu." Ujar pemuda itu.
Tori harus bersyukur karena suasana yang remang-remang itu karena dia tak ingin Masahiro melihat wajahnya yang pasti sudah begitu merah. Diciumnya pemuda itu sekali lagi dan membiarkan Masahiro bangkit mencari tombol lampu di dekat pintu. Tori menegakkan badannya, mengernyit ketika ruangan mendadak terang. Tori menelan ludah. Masahiro kembali padanya, melangkah pelan seperti memperhitungkan dia harus menyerang dari mana. Tori mengulurkan tangannya, disambut Masahiro dengan cengiran. Tangannya menggenggam hangat dan tersenyum.
"Kamu tampan." Bisik Masahiro.
Tori tersenyum, menarik pemuda itu mendekat dan menciumnya. Tori menengadahkan kepalanya, membiarkan Masahiro menciumi rahang dan lehernya, sesekali bahkan menggigit dan menjilat lehernya, membuat Tori mendesah dan menggerut rambut Masahiro. Tori mengerang saat Masahiro menghembuskan nafas dengan menggoda di telinganya dan mengecup kulit di bagian belakang telinganya.
Masahiro tertawa pelan dan rendah sementara tangannya mulai sibuk melepas kancing kemeja yang dikenakan Tori. Jari-jari Masahiro menyelip masuk untuk menyentuh kulit Tori dan Tori menarik nafas tajam. Masahiropun makin berani menggerakkan tangannya meraba dada dan perut Tori, mencari tempat-tempat yang membuat Tori mengerang senang. Dengan tak sabar, Tori melepas kemejanya dan Masahiro tersenyum senang karena bisa membelai dengan lebih bebas.
Tori mulai bergerak dan menggeliat resah. Tangannya mendorong bahu Masahiro menjauh dan hanya tersenyum saat pemuda itu mengerutkan kening tak senang. Ekspresinya langsung berubah menjadi cengiran saat Tori menarik lepas T-shirt-nya, sama sekali tak protes ketika setelahnya tangan Tori berkutat dengan ikat pinggangnya. Bibir Tori merengut lucu karena kesulitan dengan jeans ketat Masahiro. Pemuda itu tergelak, menepis tangan Tori dan melepas sendiri jeansnya. Wajah Tori memerah karena kemudian Masahiro berkutat dengan celananya. Melepaskan ikat pinggang, kancing dan risleting dengan pelan. Matanya tak lepas dari Tori. Cengirannya terlihat begitu buas ketika menarik lepas celana Tori.
Mereka berbaring bersebelahan, sibuk berciuman sementara tangan mereka bergerak mengelus dan meraba. Masahiro menggeram. Jari-jari Tori mengusap lembut putingnya lalu bermain-main di sekitarnya, tak menyentuh lagi. Pemuda itu mengelus pinggul dan paha bagian atas Tori dan mengaitkan kaki-kaki mereka. Setelah menghisap pelan bibir Tori, Masahiro bergerak ke atas dokter itu dan menatapnya.
Wajah Tori bersemu merah, bibirnya juga. Kemerahan dan agak bengkak karena terlalu banyak dicium. Beberapa tanda kemerahan tersebar di lehernya yang jenjang. Masahiro nyengir puas, bangga dengan tanda yang ditinggalkannya. Kulit Tori yang kecoklatan, sedikit lebih gelap dari kulitnya sendiri; begitu halus ketika disentuh. Dadanya bergerak naik turun seiring dengan napasnya yang sedikit memburu. Anak-anak rambut halus menutupi keningnya dan Masahiro menyingkirkannya dengan sayang. Tori berkedip lembut dan tampak tersipu.
Masahiro tak tahu apa yang membuatnya bisa menahan diri begitu lama. Sampai dua tahun yang lalu, dia selalu berganti pacar dan tak pernah buang waktu untuk membawa mereka ke tempat tidur. Atau kencan-kencan semalam yang dengan mudah didapatnya. Tapi sejak dia melihat senyum manis dokter itu dua tahun lalu, Masahiro seperti tak berminat lagi dengan semua itu. Dan melihat Tori seperti ini: berbaring di bawahnya, telanjang-ini yang terpenting- dan tersenyum lembut dengan begitu manisnya; Masahiro berpikir perjuangannya sepadan.
Masahiro menurunkan tubuhnya, menopang berat badannya dengan kedua siku, kembali mendekatkan wajahnya. Bibirnya mengatup di daun telinga Tori, menggigit pelan dan berbisik.
"Aku ingin Tori menyentuhku..." Suaranya terdengar begitu lirih.
Tori menelan ludah, memiringkan kepalanya untuk mencuri ciuman dari bibir Masahiro. Tangannya bergerak ragu dan tak langsung memenuhi permintaan Masahiro. Diusapnya bagian bawah perut Masahiro sampai ujung jarinya bisa merasakan rambut halus di bawah sana. Masahiro mengangkat pinggulnya, menanti dengan dada berdebar. Tori memandangnya, sedikit tak yakin. Anggukan kepala Masahiro meyakinkannya.
Ujung-ujung jarinya menyentuh kulit yang terasa hangat dan ujung kemaluan yang agak basah. Tori bergerak ke bawah, menelusuri sampai ke pangkal dan terpana dengan denyutan pelan yang disentuhnya. Masahiro menutup matanya dan mendesah pelan, bibirnya membentuk senyuman kecil. Tori pun menggigit bibir dan memberanikan diri untuk menggenggam. Masahiro melenguh karena Tori menggenggam terlalu kencang dan sedikit menyentak. Nyaris saja.
Tori menarik tangannya, khawatir dia menyakiti pemuda itu. Masahiro menarik nafas, membuka matanya dan tersenyum. "Tak apa." Bisiknya. "Teruskan saja."
Tori pun menciumnya, senang karena dipercaya menyentuh Masahiro seperti itu. Jari-jarinya melingkar di sekeliling kemaluan Masahiro, kali ini memastikan untuk bergerak dengan lebih lembut. Menyentak pelan, menakan di sana-sini dengan lembut, menggesekkan telapak dan ibu jarinya di ujung kemaluan Masahiro sampai pemuda itu mengerang, memberi petunjuk pada Tori di mana dia suka disentuh. Tori pun menggerakkan tangannya dengan lebih berani.
Beberapa kali sentakan dan tiba-tiba Masahiro mengumpat. Dia mengangkat tubuhnya menjauh dari Tori. Seluruh tubuhnya bergetar hebat sementara cairan putih meluncur keluar dari ujung kemaluannya. Tori menatapnya dengan sedikit terperangah tapi kemudian lengannya terjulur menyentuh lengan Masahiro sampai pemuda itu selesai. Saat melihat ke arah Tori lagi, wajah Masahiro begitu merah dan dia terlihat malu sekali.
"Maaf... Aku..." Ujarnya terbata.
Tori menggelengkan kepalanya, tersenyum penuh pengertian. Ditariknya Masahiro mendekat untuk dicium. Tori seedikit besar kepala karena merasa begitu diinginkan Masahiro sampai sedikit sentuhan darinya saja bisa membuat pemuda itu klimaks begitu cepat. Tangan Tori melingkar ke punggung Masahiro, menelusuri tiap lekuk otot dan kulit. Kepalanya bergerak, ganti menikmati rahang dan leher Masahiro. Berusaha membuat pemuda itu terangsang lagi karena bagian bawah tubuhnya juga sudah terasa sangat tak nyaman dan butuh diperhatikan secepatnya.
Ternyata memang tak butuh waktu lama untuk membuat Masahiro bersemangat lagi. Senyum dan tatapan mata Tori ternyata cukup untuk itu. Ditambah dengan bibirnya yang dengan seksinya mengecupi dada Masahiro. Masahiro pun kembali meraba pinggul dan paha Tori. Tangannya diselipkan ke belakang lutut Tori dan mengangkatnya sedikit untuk memudahkannya menyentuh bagian bawah kemaluan Tori. Tori memalingkan wajahnya. Tangannya menggerut bantal saat jari-jari Masahiro mulai menyentuh tempat di antara pantatnya.
Pinggulnya terangkat otomatis dan tak sadar, Tori mengerang. Masahiro tersenyum tapi menghentikan kegiatannya, seperti teringat sesuatu.
"Umh.." Gumamnya, ragu bertanya.
Tori masih tak mau melihat ke arahnya. "....laci paling bawah..." Jawabnya seolah tahu apa yang ingin ditanyakan Masahiro.
Masahiro beringsut, menjulurkan badan dan lengan untuk membuka laci meja di samping tempat tidur yang ditunjuk Tori. Tori berpaling menatap langit-langit sementara satu tangannya diletakkan di atas dada. Heran kenapa dia semakin gugup, merasa seperti ini adalah yang pertama untuknya. Tori menarik nafas panjang, tak sadar kalau Masahiro sudah kembali mengambil posisi di antara kaki Tori yang dibukanya dengan paksaan lembut.
Tori langsung mengatupkan kakinya lagi sementara perhatian Masahiro teralih oleh sebotol kecil cairan pelumas. Tak tahu lagi harus mengarahkan pandangan ke mana, Tori melihat pemuda itu menuang cairan bening itu ke dua jarinya. Mengendus sedikit dan nyengir jail.
"Vanila?"
Tori merengut. "Urusai."
Masahiro terkekeh dan menunduk untuk mencium dokter itu. "Aku suka kok," bisiknya di antara ciuman. "Rasanya jadi makin lapar."
Tori menggigit bibir Masahiro dengan gemas. Pemuda itu tertawa lagi, mencium Tori dengan sedikit lebih bernafsu, senang ketika Tori melingkarkan lengan ke lehernya dan balas mencium dengan tak kalah antusias. Masahiro beringsut pelan, memaksa Tori membuka kakinya dengan pinggulnya. Kemaluan mereka bersentuhan dan Tori mengerang ke dalam mulut Masahiro. Pinggul Tori bergerak pelan, membuat kemaluan mereka saling bergesekan dan jari-jarinya menggerut rambut Masahiro saat pemuda itu menyentuh jalan masuk ke tubuhnya. Menggoda Tori dengan menekan pelan beberapa kali sebelum akhirnya menekan masuk. Tori menarik nafas tajam, memagut bibir Masahiro dengan sedikit kasar.
"Sakit?" Tanya pemuda itu dengan pelan. Dahinya berkerut khawatir.
Tori menggeleng. "Sudah lama saja. Tak apa-apa kok."
Masahiro menciumnya lagi. Dua jarinya bergerak pelan. Tubuh Tori terasa begitu hangat dan mencengkeram kuat. Mau tak mau dia jadi berpikir apa rasanya kalau tubuhnya sudah benar-benar ada di dalam tubuh Tori nanti. Pikiran itu malah membuatnya makin bersemangat. Jari-jarinya berputar, sesekali ditekuk, mencari titik sensitif dalam tubuh Tori.
"Agh! Unnh..." Pinggul Tori terangkat dan wajahnya memerah.
Masahiro tersenyum lebar. Dia menekan di titik yang baru saja disentuhnya dan dengan sengaja menggetarkan jari-jarinya di titik itu. Tori membenamkan sisi wajahnya ke bantal dan mengerang panjang.
"Masahiroo..." Erangnya sambil menggigit bibir.
"Ii?" Masahiro mengulangi gerakannya. Mendengar Tori akhirnya menyebut namanya sambil mengerang seperti itu membuatnya makin bersemangat dan kemaluannya bereaksi.
Tori mengerang lagi dan mengangguk. "Un..." Jawabnya setengah berbisik, setengah tersengal. Tori pun membuka kakinya lebih lebar, mencari posisi yang lebih nyaman sekaligus memberi akses lebih pada Masahiro.
Masahiro menunduk, bibirnya mengecup bagian dalam paha Tori yang kecoklatan. Jari-jarinya tak berhenti bergerak keluar masuk perlahan menambah kecepatannya. Diarahkannya pandangannya pada Tori. Tubuh Tori menggeliat seiring dengan gerakan tangan Masahiro, begitu juga pinggulnya. Satu tangannya menggerut selimut dengan erat. Bibirnya yang kemerahan habis digigit menahan sensasi di tubuhnya.
Masahiro mengalihkan perhatiannya dan sambil tersenyum nakal, pemuda itu menghembuskan nafas pelan di atas ujung kemaluan Tori. Tori melenguh.
"Masahiro..."
Mendengar namanya, Masahiro mengangkat kepalanya dan berkedip. Entah kapan, Tori sudah mengambil bungkusan kecil dari sisi tempat tidurnya. Dipeganginya bungkusan itu di depan bibirnya yang tersenyum penuh arti. Masahiro terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Wajahnya sedikit memerah saat dia merebut bungkusan itu dari tangan Tori.
Tori tersenyum simpul dan beringsut sementara Masahiro sibuk dengan bungkusan kecil itu. Ketika Masahiro memusatkan perhatian padanya lagi, wajah pemuda itu terlihat begitu serius. Tori meletakkan kedua kakinya di atas paha Masahiro dan pemuda itu beringsut maju sampai ujung kemaluan Masahiro menekan pelan di celah tubuhnya. Tori menarik nafas. Tapi Masahiro masih memandangnya dan bertanya pelan.
"Boleh? Aku perlu pakai minyak vanilla-nya lagi?"
Tori tersenyum geli melihat ekspresi Masahiro yang begitu serius. Tangannya terulur menyentuh sisi wajah Masahiro dengan sayang.
"Heki. Kamu sudah membuatku terlalu lama menunggu."
Masahiro merengut. "Aku? Siapa ya yang menyiksaku selama dua tahun dengan senyum dan kalimat-kalimat ambigu?"
Tori berdecak. Ditariknya leher pemuda itu mendekat. "Aku tak percaya kamu masih bisa berdebat di saat seperti ini." Dan bibirnya melumat bibir Masahiro dengan penuh nafsu dan tangannya menyentuh puting Masahiro, menarik pelan sampai Masahiro mengerang dan kembali fokus dengan kondisi mereka saat itu.
Tak lama, Masahiro pun beringsut, mencari posisinya kembali dan mengelus pelan pinggul Tori. Tori minta dicium lagi dan erangan panjang pun meluncur dari bibirnya saat Masahiro menekan masuk. Tori nyaris lupa rasa sakit yang mengiringi proses itu. Matanya mengerjap dan dia bernafas dengan susah payah.
Masahiro mengelus pinggulnya lagi. Menatapnya dengan khawatir. "Tori?"
Tori tak menjawab. Berusaha menelan ludah dan mengatur nafas kemudian tersenyum. Wajahnya memerah.
"Aku tak menyangka. Masahiro ternyata lebih besar dari dugaanku." Ujarnya sambil beringsut pelan dan mengerang karena perbuatannya itu membuat kemaluan Masahiro masuk lebih dalam.
Masahiro mengerang tertahan. Namun begitu, cengiran puas dan dagunya yang sedikit terangkat menandakan kalau dia sedang bangga sekali. Dia bergerak lagi sampai seluruh kemaluannya terbenam nyaman di dalam tubuh Tori. Ditopangnya tubuhnya dengan kedua sikunya dan kembali mencium Tori.
"Kalau aku tahu senikmat ini rasanya ada di dalam tubuh Tori, aku pasti akan bergerak lebih cepat untuk mendapatkanmu." Bisiknya dengan suara serak yang terdengar puluhan kali lebih seksi.
Meskipun wajahnya panas mendengar itu, Tori memutar matanya dan beringsut mencari posisi yang lebih nyaman. Masahiro menggeram pelan, mengartikan tindakan Tori sebagai tanda untuk mulai bergerak. Pinggulnya menghujam pendek dan pelan, membiasakan Tori dengan ukuran dan keberadaan Masahiro di dalam tubuhnya. Tori menggigit bibirnya, mengerang tiap kali Masahiro bergerak masuk. Di sela itu dia juga berusaha mengatur nafasnya tapi rasanya mustahil karena tiap kali Masahiro bergerak dari angle berbeda.
Ketika akhirnya mereka menemukan irama tubuh mereka, Tori sudah tak peduli lagi apakah erangannya terlalu keras sampai bisa didengar tetangga. Secara insting, kedua kakinya mengait di belakang pinggang Masahiro. Seluruh tubuhnya seperti terbakar dan hanya bisa merasakan Masahiro bergerak di dalam tubuhnya. Menyentuh titik sensitifnya tiap kali. Tori menutup matanya, menyerah dan membiarkan dirinya hanyut.
Masahiro mempercepat gerakannya. Lebih dalam dan lebih keras demi membuat Tori mengerang dan makin dekat dengan klimaksnya. Dia sendiri sudah mulai kesulitan menahan diri. Dia tak bohong pada Tori. Tubuhnya terasa begitu nikmat dan hangat. Tiap kali mencengkeram kuat dan membuat Masahiro merasa dia akan selesai saat itu juga. Dia tak menyangka sama sekali kalau yang membuatnya mencapai klimaks adalah Tori yang membuka matanya, menatapnya, tersenyum manis sembari menyentuh pipinya dengan lembut dan membisikkan namanya.
Tori membuka matanya, sedikit merasa sesak karena sesuatu yang berat menindih tubuhnya. Barulah dia tersadar kalau Masahiro tertidur saat masih berbaring di atasnya. Kepalanya terkulai di sebelah kepala Tori dan hembusan nafasnya menggelitik telinga Tori. Sudut-sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman dan mencuri kesempatan untuk mengecup bibir Masahiro yang sedikit terbuka.
Tangannya diletakkan dengan hati-hati di atas punggung Masahiro dan Tori berbaring diam. Wangi tubuh Masahiro, parfum yang dikenakannya sendiri dan aroma samar vanilla berbaur dengan aroma lain menerpa hidungnya. Punggung dan bagian bawah tubuhnya sekarang terasa agak pegal dan tak nyaman. Tapi Tori tak terlalu peduli dengan itu semua. Pikirannya terfokus pada pemuda yang sedang tertidur itu. Pemuda yang selama dua tahun belakangan ini selalu muncul di kehidupannya dan membuatnya perlahan membuka diri pada orang lain lagi. Pemua yang sore tadi baru saja menyatakan perasaannya dengan begitu jujur pada Tori.
Tori merasa mungkin sudah saatnya dia punya pacar. Sudah bosan merasa sendirian dan kesepian. Dalam hatinya Tori berharap dia tak akan pernah menyesal sudah menganggukkan kepala pada pemuda itu.