Fandom: Samurai Sentai Shinkenger/Prince of Tennis Musical 2nd Season/Kamen Rider Decade
Cast: Wada Takuma, Matsuzaka Tori
Rating: PG-13
Warning: BL, AU, OOC
Disclaimer: I do not own anything/anyone
Note: Sesuai rikues dari Anne. Ini nulis cepet aja nih semalem. Maaf kalo gak sesuai harapan *menunggu versinya Nei*
Kotak bento berukuran besar bertumpuk tiga itu disodorkan padanya diiringi senyum sumringah. Takuma yang tengah menggigit sandwich-nya hanya sanggup mengerjap lalu mengunyah pelan seraya melemparkan pandang penuh tanya. Si pembawa kotak bento nyengir makin lebar seraya mendaratkan bokongnya ke bangku taman rumah sakit itu.
“Apa ini?”
“Dilihat saja sudah tahu, kan? Bento.”
Takuma memutar matanya. “Tentu saja aku tahu ini bento.”
“Lalu kenapa masih tanya?”
Takuma menggeser duduknya agar temannya itu bisa duduk dengan lebih nyaman. Dipandangnya Tori meletakkan bento itu di pangkuannya dan masih menatap Takuma dengan antusias. “Maksudku, ada apa bawa bento sebesar itu. Kau kelaparan sekali ya?”
“Duh, ini untuk dimakan berdua, tahu.” Tukas Tori seolah Takuma seharusnya sudah tahu hal itu.
Takuma mengangkat dagunya. “Ah. Aku yakin rasanya pasti enak kok. Inoue-kun pasti suka dan aku yakin ini selama ini dia tak pernah protes soal kemampuanmu memasak kan?”
Pukulan pelan di lengannya membuat Takuma berjengit. “Apa sih?”
“Jangan berlagak bodoh begitu, deh. Sekalipun ini kubuatkan untuk Masahiro, mana bisa kuberikan padanya? Dia sedang menemani Katou-sensei ke Italia sejak tiga hari yang lalu dan baru pulang lusa. Ini untuk dimakan berdua denganmu, tahu.”
Alis Takuma terangkat bersamaan dengan telunjuknya mengarah ke hidungnya sendiri. “Aku?”
Tori mengangguk. “Sudah lama kan aku tidak menraktirmu makan siang.”
Takuma terkekeh. “Ini sih bukan menraktir namanya.”
“Kalau tak mau, kuhabiskan sendiri nih.” Ancam Tori sambil mendekap kotak bento berwarna merah bermotif burung bangau itu.
“Jahatnya. Niat tidak sih?” Goda Takuma, menyenggol pundak Tori dengan pundaknya sendiri sampai dokter muda itu agak terhuyung ke samping. “Baiklah. Apa isinya?”
Tori nyengir lebar dan membuka tutup bento itu. Lapisan pertama berisi nasi yang dimasak dengan jamur shiitake. Lapisan kedua berisi karaage, tamagoyaki, yakisoba, tumis sayuran juga asinan lobak dan wortel. Lapisan ketiga berisi kue-kue manis dan konyaku. Mata Takuma melebar melihat sajian di depan matanya. Tori menata ketiga kotak itu di antara mereka dan menyodorkan sumpit pada Takuma.
“Hebat sekali!” komentar Takuma sambil memutar-mutar sumpit. Sandwich-nya langsung terlupakan begitu saja. “
Tori mengedikkan bahunya. “Ingin saja.”
Takuma menatap sahabatnya dari balik helaian poni kecoklatan yang menutupi dahinya. Tori mengemut ujung sumpit, sibuk menentukan mana yang lebih dulu ingin dimakannya. Dokter gigi itu tersenyum. Toh bukannya ia keberatan diperhatikan seperti ini dan memang, sudah lama sekali sejak terakhir kali Tori membawakannya makan siang. Sejak seorang pemuda berkaki panjang berambut kecoklatan mulai mengisi hari-hari sahabatnya itu, mereka sudah agak jarang menghabiskan waktu berdua seperti ini. Sesekali, mungkin. Tapi tak sesering sebelumnya.
Bukannya ia cemburu atau apa. Tapi harus diakuinya kalau ia pun kangen ngobrol berdua dengan sahabatnya itu. Sahabat yang sangat disayanginya lebih dari apapun di dunia ini –Takuma tak berani membandingkan rasa sayangnya pada Tori dengan rasa sayangnya pada Yuuki atau dia akan sakit perut semalaman, sahabat yang akhirnya bisa dilepasnya dengan kepastian bahwa ia akan bahagia.
Takuma tak pernah berhenti khawatir tentang Tori. Bahkan mungkin selamanya ia akan tetap mengkhawatirkan sahabatnya itu. Dan butuh waktu cukup lama baginya untuk meyakinkan diri bahwa pemuda yang sekarang dipacari Tori tak akan membuatnya terluka seperti yang dulu. Ia senang, tentu saja, karena Tori mau membuka hatinya lagi untuk orang lain. Juga memberi kesempatan pada Takuma untuk jatuh cinta dan berbahagia.
*****
Entah sejak kapan, Takuma mulai menyadari kehadiran pemuda berkaki panjang itu di dekat sahabatnya. Bukannya ia tak pernah melihat pemuda itu sebelumnya. Siapapun yang bekerja di rumah sakit itu pasti tahu anak bungsu keluarga Keigo itu. Selain perawakannya yang menjulang, wajahnya yang tampan juga menarik perhatian. Mulai dari suster yang bertugas di meja administrasi sampai bibi petugas kebersihan, semuanya akan berhenti dan menghela nafas penuh puja kalau pemuda itu lewat di koridor menuju ruangan kerja Katou-sensei atau Kubota-sensei.
Ia memang jarang kelihatan. Hanya satu atau dua kali Takuma melihatnya. Atau mungkin karena Takuma pun bukan tipe dokter yang suka berkeliaran di koridor rumah sakit kalau sedang senggang, jadi ia jarang melihat pemuda itu. Kepercayaan dirinya begitu besar sampai terkesan sombong dan Takuma pun tak luput dari terpaan kabar kalau pemuda itu adalah seorang model dengan karir yang menanjak pesat meskipun masih duduk di bangku SMU dan suka gonta ganti pacar.
Yah, siapa yang bisa menolak pemuda tampan, seksi dan kaya raya seperti Inoue Masahiro? Takuma maklum saja dengan kenyataan itu. Apapun yang dilakukan pemuda itu, sama sekali bukan urusan Takuma (jujur saja, ia masih tak mengerti kenapa suster jaganya merasa perlu untuk menceritakan apapun tentang Inoue-kun padanya).
Sama sekali bukan urusannya sampai dilihatnya pemuda itu mengikuti (kalau tak mau dibilang menggeret kesana kemari) sahabat yang sangat disayanginya. Sering sekali dilihatnya pemuda itu mondar-mandir (karena sepertinya ia sungguh tak bisa duduk diam) di koridor Murasaki tiap Takuma mendatangi ruang praktek Tori untuk mengajaknya minum kopi atau menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan atau menyampaikan pesan dari Katou-sensei. Lalu didapatinya kedua orang itu duduk berdua di bangku taman rumah sakit, menikmati makan siang dari kotak bento milik Tori. Inoue-kun selalu makan dengan lahap dan Tori tertawa seraya menjulurkan tangan untuk menjumput nasi yang menempel di pipi pemuda itu dan menggodanya karena tak bisa makan dengan rapi. Atau di lain waktu, Takuma memergoki mereka duduk berdua di kantin rumah sakit, menikmati teh dan kue di sore hari.
“Siapa?” tanya Takuma saat Tori sedang iseng main ke poligigi saat sedang senggang.
Tori mengangkat alis dan memiringkan kepalanya. Takuma menggerakkan dagunya ke arah jendela. Tori melirik dan tersenyum kecil saat melihat sosok yang dimaksud Takuma melintas di koridor seberang. “Adiknya Katou-sensei.” Jawabnya singkat.
Takuma memutar matanya. “Sepertinya akrab sekali denganmu ya?”
Tori tertawa. “Ih, jangan katakan seperti kau cemburu begitu dong, Wada.”
Mulut Takuma terbuka lalu tertutup lagi. “Aku kan cuma ingin tahu. Kau sahabatku, wajar kan kalau aku ingin tahu?”
Tori mengangguk. “Un. Sebenarnya, aku memang ingin cerita padamu.”
Satu alis Takuma terangkat. “Oh? Apa cerita yang bagus?”
Tori mengedikkan bahunya. “Entahlah. Mungkin?”
Takuma tertawa pelan. Diangsurkannya secangkir kopi yang baru saja dibuatnya pada Tori. “Terima kasih,” gumam Tori seraya meniup pelan dan menyesap perlahan kopinya. “Aku bertemu dengannya beberapa minggu yang lalu.” Tori memulai ceritanya. “Aku dari kantin membeli roti dan memutar lewat di depan ruangan Katou-sensei karena ingin mampir ke ruangan Hosogai-sensei. Dia berdiri di depan ruangan Katou-sensei, asyik sendiri dengan handphone-nya. Pas sekali ketika aku lewat, perutnya berbunyi keras sekali sampai aku kaget sendiri.” Tori terbahak pelan. Matanya meredup seperti mengingat kenangan yang berharga.
Takuma tersenyum. “Lalu?”
“Yah, kau tahu aku kan. Mana bisa aku membiarkan anak kecil kelaparan seperti itu.”
Takuma mendenguskan tawanya. “Jadi kau tawarkan rotimu padanya.”
“Hehehe, tertebak sekali ya.” Tori nyengir. “Begitulah. Dia lucu sekali loh. Entah saking laparnya atau bagaimana, ia hanya bisa menggangguk dan menggeleng saat kuajak bicara.” Dokter tampan itu terkekeh geli. “Kupikir, sayang sekali anak setampan itu kok agak gagu ternyata ya. Tapi ia bisa berbicara dengan lancer waktu Kubota-sensei keluar dari ruangan Katou-sensei dan mengajaknya makan siang.”
“Kau ini. Pasti menggodanya deh.” Komentar Takuma sinis.
“Sama sekali tidak.” Kilah Tori. “Aku sama sekali tak melakukan apapun. Sumpah deh. Tapi waktu aku mau pergi, dia menangkap tanganku dan coba tebak, dia mengajakku kencan!”
Takuma nyaris saja menyemburkan kopi yang tengah diminumnya. Ia terbatuk pelan dan mengusap mulutnya dengan punggung tangan. “Kencan? Saat itu juga?”
Tori mengangguk. “Iya. Berani sekali ya.” Ia terkekeh. “Aku tidak bilang apa-apa, sih. Kusenyumi saja.”
“Lalu?”
“Ternyata dia menunggu seharian di depan ruang praktekku. Tentu saja aku kaget, dong. Kupikir ia hanya bercanda.Ternyata serius sekali. Ya sudah, karena tak enak juga kalau ditolak kan? Aku ikuti saja apa maunya.”
“Tunggu.” Takuma mengangkat tangannya. “Kau kencan dengannya? Hari itu juga?”
Tori mengangguk. Takuma menatapnya tak percaya. “Kau sudah gila ya, Matsuzaka?”
“Aku tahuuuu! Aku juga berpikir begitu. Tapi, itu kencan yang menyenangkan kok. Dia mengajakku makan malam di Baccanale. Kau tahu? Restoran Italia yang terkenal di Roppongi itu loh. Ternyata itu restoran langganannya. Gaya sekali, deh. Anak sekarang memang beda ya. Ah, mungkin itu hanya untuk anak orang kaya saja ya.”
“Oi, oi, Matsuzaka~”
Tori mengerucutkan bibirnya. “Cuma makan malam, kok. Setelah itu dia mengantarku pulang. Sudah.”
Takuma mengerutkan kening. “Begitu saja?”
“Begitu saja.”
Takuma masih memandangnya tak yakin. “Tapi dia sekarang mengikutimu kemana-mana. Kau yakin tak ada lagi yang terjadi?”
“Ya ampun, Wada. Aku juga belum gila untuk bertingkah macam-macam dengan anak SMU. Lagipula dia adik Katou-sensei. Aku belum mau dipecat, tahu.” Tukas Tori sambil menyesap kopinya lagi.
Takuma mengangguk-angguk. “Sepertinya dia suka padamu ya.”
Tori mengedikkan bahu. “Mungkin? Aku tak ingin terlalu besar kepala. Tapi aku ingin lihat apa maunya sih. Dia kan suka gonta-ganti pacar.”
“Oh, kau tahu juga soal reputasinya?”
Tori tertawa. “Tentu saja. Suster-susterku tak ada yang berhenti berkomentar begitu Inoue-kun sering muncul di sekitar ruang praktekku.”
Takuma meletakkan cangkir kopinya di atas meja dan melangkah mendekat pada sahabatnya. Disentuhnya pipi Tori dengan lembut. “Kau sendiri? Apa kau suka padanya?”
Ekspresi Tori yang tampak sedih membuat dada Takuma seperti ditekan sesuatu yang berat. “Aku tak tahu. Dia anak yang menarik dan lucu. Aku sering sakit perut karena dibuat tertawa terus. Tapi…”
Takuma terdiam. Mengerti apa yang ingin dikatakan Tori tanpa sahabatnya itu perlu menyelesaikan kalimatnya. Tori masih menutup hatinya rapat-rapat dan mungkin lebih rapat dari lemari besi bank manapun. Takuma mengelus pipi Tori dengan ibu jarinya dan membiarkan Tori menyentuh tangan Takuma di pipinya dan menggenggamnya erat. Takuma mencondongkan tubuhnya dan menarik sahabatnya lebih dekat. Dipeluknya Tori dengan sedikit erat dan dikecupnya kening dokter tampan itu. “Oki o tsukete ne.”
Tori mengangguk. “Un.”
Diam-diam, Takuma mengamati perkembangan hubungan sahabatnya dengan Inoue-kun. Makin hari mereka semakin lengket. Souta-sensei dan Kubota-sensei bahkan sudah menganggap kedua orang itu obyek keusilan mereka dan menggoda Tori terus menerus sampai wajahnya bersemu merah. Takuma hanya ikut tersenyum kalau kebetulan ia sedang ikut berkumpul dengan rekan-rekannya itu.
Tori pun bertambah ceria. Seperti ketika pertama kali Takuma mengenal Tori dulu. Di satu sisi, ia senang. Di sisi lain, ia semakin khawatir. Seandainya memang ada sesuatu yang terjadi di antara kedua orang itu, Takuma ingin Tori benar-benar yakin akan pilihannya dan tahu dengan pasti resiko yang akan dihadapinya. Bagaimanapun, pemuda itu tetap lebih muda dari Tori dan kebetulan punya temperamen yang meledak-ledak.Reputasinya sebagai playboy pun tak banyak membantu.
Takuma tak rela kalau Tori menyerahkan hatinya yang sudah penuh tambalan itu pada orang yang hanya akan menghancurkannya lagi. Akan terlalu menyakitkan kalau ia harus menyaksikan Tori menyiksa diri seperti dulu lagi. Kalau itu sampai terjadi, Takuma tak tahu apakah ia akan siap berkorban seperti dulu. Atau mungkin, ia akan mengambil langkah drastis dan membawa Tori pergi sejauh mungkin. Ia mungkin tidak mencintai Tori seperti seorang kekasih, tapi ia akan melindungi sahabat satu-satunya itu apapun yang terjadi.
Ketika Inoue-kun menghilang dan tak muncul lagi di rumah sakit, Takuma memastikan ia tak pernah jauh dari Tori. Sahabatnya itu memang terlihat agak sedih dan sedikit kesepian, tapi tak ada tanda-tanda frustrasi seperti dulu. Takuma bisa sedikit menghela nafas lega meskipun tak bisa sepenuhnya mengalihkan perhatiannya dari Tori.
Wada Takuma tak tahu harus berkata apa ketika Tori menyandarkan kepala di pundaknya dan mengakui dengan lirih kalau ia mungkin memang menyukai Inoue-kun. Tori tampak sedikit tersiksa karena entah bagaimana, Inoue-kun berhasil membuatnya membuka pelan-pelan kunci pertahanan dirinya. Dan sekarang ia tak tahu apakah ia akan membiarkan Inoue-kun masuk lebih dalam atau tidak.
Sahabatnya itu ketakutan setengah mati. Tak yakin, bingung, dan serba salah harus bagaimana.Sementara, Inoue-kun yang sudah kembali muncul dan kini berstatus mahasiswa, seperti tak pernah kenal lelah mengejar kemanapun Tori melangkah. Mau tak mau, Takuma angkat topi akan kegigihan pemuda itu. Dan Tori makin kelimpungan karena bukan hanya kegigihannya, Inoue-kun pun terlihat makin menarik. Antara ingin menertawakan sahabatnya dan prihatin, Takuma hanya sanggup mengelus punggungnya dan mengecup pucuk kepala Tori dengan sayang.
“Apa yang akan kau lakukan?” bisiknya lembut.
Tori menggelengkan kepalanya. “Entahlah, Wada.”
“Kalau terus mengulur-ulur seperti ini, bukan hanya kau yang akan tersiksa. Kasihan anak itu.” Takuma benci sekali karena harus berkata seperti itu. Kenapa dia harus membela Inoue-kun, ya? Seharusnya ia hanya mengkhawatirkan Tori saja.
Mendengar perkataan sahabatnya itu, Tori makin terlihat merana. “Aku tahu itu, Wada. Sudah kupikirkan sejak dia menciumku beberapa waktu yang lalu.”
Takuma nyaris terjatuh dari kursinya. “Katakan lagi?”
Wajah Tori bersemu merah. “Eh, ya, dia menciumku. Beberapa bulan yang lalu. Umh, dia datang ke rumah, kami makan malam, ngobrol dan yah…terjadi begitu saja.”
Takuma menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Matsuzaka~” erangnya.
“Bukan aku yang mulai!” sanggah Tori. Semburat merah di wajahnya menyebar hingga telinga dan lehernya.
“Lalu? Apa yang kau rasakan?” tanya Takuma, sedikit penasaran.
Tori menarik nafas dalam-dalam. “Dia tak menutupi apapun, juga serius sekali. Setidaknya itu yang kutangkap dan…aku menikmatinya. Sudah lama aku tak merasa seperti itu. Seperti...wajar saja aku merasa begitu dengannya.”
“Seperti apa?”
Tori terdiam. Menatap Takuma dengan serius. “Tertarik. Bergairah. Hangat. Dan… sesuatu… di dalam sini…” Tori menyentuh dadanya.
“Oh, Tuhan…” Takuma mengerang seraya meringis seperti menyadari sesuatu yang tak diinginkan untuk terjadi.
Tori menghela nafas. “…Yeah.” Kemudian disandarkannya kembali kepalanya ke pundak Takuma. Lengan Takuma pun otomatis melingkari pundak sahabatnya itu dengan sayang.
“Kau akan baik-baik saja, kok.” Bisiknya. “Kau pasti akan baik-baik saja.”
Bagi Takuma, kalimat itu ditujukan lebih pada dirinya sendiri dibanding untuk Tori.
Dua tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu. Takuma harus mengakui dan akhirnya benar-benar menghargai kegigihan Inoue-kun untuk meluluhkan hati sahabatnya itu. Beberapa majalah dan saluran gosip masih menyebarkan berita dan foto-foto Inoue-kun keluar masuk tempat hiburan malam dengan model A atau aktris B bahkan fotografer C. Sekali waktu, Takuma menonton potongan wawancara Inoue-kun yang menyanggah kalau ia masih suka gonta ganti pacar dengan wajah kesal dan bibir merengut dengan lucunya.
Yah, siapa yang tahu? Kalau dilihat dari frekuensi kemunculan pemuda itu di rumah sakit dan di dekat Tori, Takuma akan berpikir mungkin Inoue-kun punya ilmu membelah diri kalau sampai masih punya waktu antara kuliah, pekerjaan, dan mengunjungi/mengikuti/menggeret Tori kemanapun. Memang, ia tak tahu dan tak mau tahu apa yang dilakukan Inoue-kun di malam hari, tapi ia berusaha tak berpikir buruk tentang pemuda itu.
Seandainya dia memang tidak serius, untuk apa dia menunggu selama itu? Hanya karena penasaran? Karena Tori satu-satunya orang yang tak langsung menyambut rayuannya, memberinya harapan tapi langsung memotongnya tiap kali ia berusaha menyampaikan perasaannya? Terlalu tak masuk akal. Takuma nyaris terpingkal-pingkal saat melihat ekspresi cemburu di wajah pemuda itu ketika melihat Tori dikelilingi sekumpulan anggota klub renang sebuah sekolah yang datang mengucapkan terima kasih karena Tori menyelamatkan ace klub mereka yang cedera lutut dan klub mereka bisa maju ke pertandingan nasional. Kalau saja Tori tidak sedang dikejar janji konsultasi, mungkin anak-anak itu sudah dilempar Inoue-kun ke dinding. Atau semacamnya. Takuma tahu dari Tori kalau pemuda itu cukup mahir tae kwon do.
Karena itu, Takuma mencoba mengurangi kecurigaannya pada Inoue-kun. Terutama ketika akhirnya Tori mengenalkan mereka secara resmi dengan mata berbinar cerah dan senyum yang begitu manis dan terlihat sangat bahagia.
“Wada, ini pacarku. Inoue Masahiro.”
*****
“Melamun terus. Nanti kuhabiskan nih, makanannya.” Celetuk Tori sambil menusuk hidung Takuma dengan sepotong asinan lobak.
Takuma menggerakkan kepalanya dan membuka mulut untuk menyambar asinan yang terjepit di ujung sumpit Tori itu. Tori tertawa dan Takuma tak bisa tidak ikut tersenyum. Buru-buru dijumputnya nasi dan mulai mengunyah dengan semangat.
“Umai.” Komentarnya.
“Deshou~” ucap Tori bangga.
Takuma tak bisa menahan diri untuk tidak mencubit hidung Tori dengan gemas. Tori menepis tangannya dengan sebal dan menjejalkan karaage ke dalam mulut Takuma.
*****
“Wada, kau khawatir ya?”
Takuma mengerjap pelan, matanya kemudian bergerak pelan melirik ke arah Tori yang tersenyum.
“Aku tak apa-apa, kok.”
Takuma kembali mengerjap. Lalu mengangguk.
“Yokatta ne.”
*****
Selamanya. Selamanya ia akan tetap mengkhawatirkan sahabatnya itu. Selamanya ia akan memastikan kalau Tori benar-benar bahagia.