Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori
Rating: NC-17
Warning: BL, AU, OOC, NSFW
Disclaimer: I don't own anyone and/or anything
Note: Jadi, ceritanya kan ada majalah AnAn yang sangat ndosani itu. Trus Anne langsung nyikut gue begitu liat Shunsuke yang TAMPAK SANGAT YUMMY DI TEMPAT TIDUR HANYA TERTUTUP SELIMUT DI PINGGUL *coughs* dan dia menuntut dibikinin fanfic. Lalu, karena danna-sama tanuki mesum tersayang jadi ngebayangin celengdebu yang pose kaya gitu (jsdkfjsgdkjfgsdkjfgskjdgfksjdgfsajgbcskdhfhaskldhflkfghldkfghkldhsgdajgds!!!!!), jadilah stensilannya Ma-kunxTori dan bukannya YunxShunsuke. Sekian. Selamat menikmati~
Masahiro menatap kotak terbungkus kertas cokelat yang dipegangnya. Di bagian alamat pengirim hanya tertulis nama Yuzawa-sensei. Dimiringkannya kepalanya sembari mengguncang kotak itu di dekat telinga. Terdengar suara seperti tumpukan kertas bergesekan. Ah, pasti hasil pemotretan yang diceritakan Tori beberapa waktu yang lalu. Masahiro penasaran seperti apa hasil fotonya, karena Yuzawa-sensei melarangnya datang dan melihat. Tori juga meyakinkan bahwa ia tak perlu datang karena toh pemotretannya di apartemen Tori. Tapi setelah lama bekerja sama dengan Yuzawa-sensei, Masahiro tahu bahwa yang ditangkap kamera fotografer itu seringkali tidak biasa, maka ia tetap saja penasaran.
"Tori, ada kiriman dari Yuzawa-sensei! Boleh kubuka?"
Tori menata peralatan makan yang baru saja dicuci dan dilap ke dalam lemari gantung. Nyaris saja menjatuhkan gelas yang tengah dipegangnya saat mendengar suara Masahiro dari ruang depan. Tak sampai sebulan sebelumnya, Yuzawa-san menghubunginya dan mengutarakan niat kalau dia mau memotret Tori. Tori paham kalau dia jadi model dadakan saat kebetulan menemani Masahiro pemotretan tapi Tori sama sekali tak mengerti kenapa Yuzawa-san sampai mau memotretnya secara khusus. Yuzawa-san tertawa dan bilang kalau dia sudah ingin memotret Tori dari pertama dia melihat Tori.
Setelah dibujuk rayu seharian, akhirnya Tori mau. Tapi dia nyaris saja mengusir Yuzawa-san pergi saat fotografer itu datang dan meminta Tori berpose hanya dengan sehelai selimut sebagai kostumnya. Itupun Yuzawa-san harus bersumpah kalau hasilnya tak akan dipublikasikan kemana-mana dan hanya boleh ditunjukkan pada Masahiro. Dan sepertinya yang sedang ada di tangan Masahiro sekarang adalah hasilnya. Tori penasaran juga sih.
"Umh... ya, buka saja." serunya seraya menyelesaikan pekerjaannya dengan wajah merah. Entah kenapa.
Masahiro membawa kotak itu ke meja dapur dan duduk di sana sementara Tori masih sibuk membereskan peralatan makan yang mereka pakai sarapan. Beberapa menit kemudian ia sudah selesai membuka bungkus kertas cokelat kiriman itu. Di dalamnya terdapat kotak hitam polos yang dikenali Masahiro sebagai wadah favorit Yuzawa-sensei untuk mengirimkan foto kepada orang lain.
"Sepertinya foto hasil pemotretan yang Tori ceritakan padaku kapan hari itu ya? Sensei memang suka sekali memotret Tori ya," ujar Masahiro sembari membuka kotak itu dan mengambil setumpuk foto berukuran kartu pos dari dalamnya.
Foto yang pertama mengabadikan Tori di ruang tamu apartemen itu, sedang menonton TV hanya dengan memakai kaus tak berlengan dan celana katun. Foto berikutnya menunjukkan Tori di dapur, sedang mengisi gelas dengan air dari kran di wastafel, dan kemudian meneguknya di foto berikutnya. Melakukan hal-hal yang begitu biasa namun entah kenapa terlihat amat seksi. Hanya melihat pantulan cahaya dan bayangan bermain di tonjolan jakun di leher Tori saja dapat membuat Masahiro menelan ludahnya dengan mata terpaku. Yuzawa-sensei memang bukan fotografer sembarangan. Atau modelnya yang bukan model sembarangan--Masahiro tak begitu paham dan tak peduli juga sebenarnya. Napasnya mulai terasa berat saat entah foto keberapa menunjukkan punggung Tori yang setengah terbuka, kausnya sedang ditarik setengah terlepas, sebelah bahunya ditimpa cahaya dari jendela yang setengah terbuka. Tonjolan otot dan tulang belikatnya terlihat jelas di bawah kulit cokelatnya yang berkilau dan Masahiro harus menahan napas.
Dipaksanya tangannya untuk bergerak dan memperlihatkan foto selanjutnya, dan Masahiro sukses tersedak. Di lembar berkilau itu tercetak sosok Tori yang duduk di tempat tidur, punggungnya bersandar ke dinding, hanya tertutupi selembar tipis kain putih. Sebelah lengannya tertekuk bersandar pada tumpukan bantal di sisi kirinya sedangkan lengan kanannya tertekuk di depan tubuh, telunjuknya menyentuh tempat di mana sepasang tulang selangkanya bertemu tulang dada, rambutnya acak-acakan seperti baru bangun tidur. Atau mengajak tidur.
Masahiro menelan ludah susah payah sebelum akhirnya berhasil bersuara, "Tori, um. Pemotretannya kemarin seperti apa?"
Tori tertawa malu. Pura-pura mengelap counter sebelum berbalik dan menyilangkan tangan di depan dada. Menggaruk ujung hidungnya dengan tersipu-sipu dan sejenak salah tingkah.
"Umh... yah... bilang dibilang... seperti waktu Ma-kun pemotretan katalog pakaian dalam dulu... sih."
Dan dilihatnya wajah Masahiro yang berekspresi begitu aneh. Tori meringis dan maju beberapa langkah. "Kenapa? Hasilnya jelek ya? Aku bukan Ma-kun yang profesional sih."
Masahiro menatap Tori beberapa saat sambil berkedip. Bagaimana mungkin orang yang berdiri dengan pipi bersemu merah ini ternyata sama dengan makhluk berkulit kecokelatan yang terlentang di atas sprei acak-acakan hanya memakai celana dalam saja, menatap kamera dengan begitu sensualnya. Tanpa sadar ibu jari Masahiro menyusuri paha makhluk di foto itu dan berhenti di bagian selangkangan, napasnya seakan tercekat.
"I...ini... aku tidak tahu harus bagaimana mengatakannya," sahut Masahiro sambil sedikit menyorongkan foto di tangannya ke arah Tori.
Tanpa sadar Tori menggembungkan pipinya. "Mou. Bilang saja kalau jelek." Namun tak urung didekatinya juga Masahiro dan diambilnya foto yang dipegang pacarnya itu. Tori tak pernah percaya diri kalau harus memamerkan tubuhnya. Di kolam renang atau di depan pacar, itu masalah lain. Sewaktu Yuzawa-san memintanya melepas pakaian pun, Tori harus benar-benar berusaha keras tak terlihat tersipu. Tapi memang Yuzawa-san benar-benar fotografer yang handal. Dia bisa membuat Tori merasa sangat nyaman dan tak mempedulikan kamera. Diamatinya foto di tangannya dan wajah Tori langsung memanas. Tori seperti melihat orang lain. Orang lain yang berpose begitu menggoda dan.... entahlah. Tori jadi merasa agak tak nyaman. Diulurkannya foto itu kembali pada Masahiro dan tanpa berkata apa-apa beranjak ke kamar.
"Tori?" Masahiro memandangi Tori yang melangkah menuju kamar dengan bingung. Tanpa berpikir panjang diikutinya tunangannya itu, masih sambil membawa sebagian tumpukan foto itu. "Hei, ada apa?"
Tori duduk melipat kaki di atas tempat tidur. Bagian bawah wajahnya ditutup dengan tangan. Ditatapnya Masahiro dengan wajah masih memerah. "Ma-kun.... tidak risih lihat foto itu?"
Masahiro tersenyum, meletakkan foto-foto yang dipegangnya di sisi tempat tidur lalu memanjat naik dan duduk di depan Tori. Tangan kirinya meraih wajah Tori sementara tangan kanannya menarik lembut tangan Tori menjauh dari wajahnya agar dapat melihat semu merah di pipi Tori. "Kenapa aku harus merasa risih?"
Tori beringsut mendekat. Balas menggenggam tangan Masahiro dengan pelan. "Umh... aku tak tahu kenapa mau saja disuruh berpose seperti itu oleh Yuzawa-san. Tak menyangka saja kalau..." Tori mengedikkan bahu. "...hasilnya akan seperti itu. Aku bahkan tak sadar memasang muka seperti itu." Dokter muda itu mendesah lagi. "Aku tidak nyaman saja melihatnya. Ma-kun juga kan? Karena itu tadi wajahmu aneh."
Masahiro tersenyum lagi. "Wajahku aneh karena Tori kelihatan mengagumkan," ujarnya sambil menggenggam jemari Tori. "Tadinya aku bahkan berpikir kenapa Tori tidak menjadi model saja, sayang sekali kemampuan seperti ini disia-siakan," Masahiro mengecup buku-buku jari Tori lembut. "Tapi lalu aku bersyukur Tori bukan seorang model. Karena yang bisa melihat Tori seperti itu... dan menyentuh Tori yang seperti itu, hanya aku seorang saja." Masahiro menggesekkan ujung hidungnya ke ujung hidung Tori kemudian mengecup lembut bibir dokter muda itu.
Tori balas mengecup dan memagut pelan bibir atas dan bibir bawah Masahiro bergantian. Kemudian mengecup ujung hidup Masahiro dan menggigit pelan. "Waktu pertama berpose seperti itu, Masahiro tidak risih?" bisiknya. Tangannya bergerak melingkari leher Masahiro dan mengelus tengkuk pemuda itu.
"Mmmmm," Masahiro memutar matanya ke atas sambil mengusap-usap pipi Tori dengan ibu jarinya. "Tidak terlalu. Habisnya aku hanya mengikuti petunjuk pengarah gaya. Kalau lama-lama pakai acara risih segala nanti bisa-bisa masuk angin. Jadi sebisa mungkin cuek saja, hehehe."
"Dasar tukang pamer." Tori terkekeh pelan. Mendadak melupakan rasa malunya dan memiringkan kepala ke sentuhan tangan Masahiro. Ditarik-tariknya ujung rambut Masahiro dengan sayang. "Menurutmu fotoku tadi bagus? Perlu dipajang di ruang tamu?"
"Eh tidak usah!" Masahiro buru-buru menyergah sambil agak cemberut. "Nanti kalau orang lain lihat bagaimana? ...kutaruh di dompetku saja, ya?"
"Untuk apa ditaruh di dompet?" Tori memiringkan kepala lagi.
Masahiro mencondongkan kepalanya dan menggigit lembut leher Tori. "Untuk ganti kalau Tori sedang tidak bersamaku," bisiknya.
Tori menggeram pelan. "Hmmm...mesum." Kepalanya dimiringkan, seperti sengaja memberikan lebih banyak kulit untuk dinikmati tunangannya.
"Mau bereaksi bagaimana lagi kalau diperlihatkan yang seperti itu," kilah Masahiro sambil mulai menjilati kulit leher dan bahu Tori. Dengan bibir tersenyum nakal ia membawa tangan Tori yang masih digenggamnya ke selangkangannya, menyentuhkan telapak Tori ke bagian yang sudah bereaksi dengan bersemangat sejak melihat foto-foto itu pertama kali. "Satu-satunya yang membuat aku tidak nyaman hanya ini."
Tori tertawa pelan. Tangannya menangkup tonjolan itu dengan otomatis. Menggenggamnya dengan erat dan tersenyum senang saat merasakannya melonjak senang dalam genggamannya. Tangannya mulai bergerak, menyentak pelan ke atas dan ke bawah. Tori lalu bergerak, memposisikan dirinya di pangkuan Masahiro.
Masahiro mendesis seiring sentuhan Tori. Matanya terpejam beberapa saat sebelum Tori naik ke pangkuannya. Kemudian dilingkarkannya kedua tangannya di pinggang Tori, sebelah tangannya menyusup ke balik kaus yang dikenakan Tori.
"Aku ingin Tori berpose seperti itu," bisik Masahiro. "Tapi kali ini hanya untukku."
Tori menggesekkan ujung hidungnya ke pipi Masahiro. Wajahnya memerah lagi. "Memangnya apa bedanya dengan foto yang itu?" bisiknya parau. Pun begitu, jemarinya bergerak melepas kancing teratas kemeja yang dikenakannya sembari memaguti rahang dan pipi Masahiro.
Masahiro membantu melepaskan kancing-kancing kemeja Tori. Dinikmatinya setiap inci kulit kecokelatan Tori yang muncul dengan terbukanya setiap kancing. Tangannya kemudian mengusap punggung Tori, beralih ke pinggul, kemudian ke dada Tori. "Tentu beda, karena dengan begini aku bisa menyentuh kulit Tori yang indah," ujarnya sambil merunduk dan menjilat tonjolan di dada Tori.
Punggungnya melengkung nikmat, diiringi dengan desahan pelan yang meluncur dari bibirnya. Tori setengah bersyukur ini hari libur atau otaknya sudah akan mengingatkan kalau mereka sungguh tak punya waktu untuk bersenang-senang lagi di tempat tidur seperti ini. Tapi mungkin juga dia tak akan peduli. Cara Masahiro menatapnya penuh dengan pujaan dan hasrat yang tak pernah ditutupi dan membuat Tori tak lagi canggung dengan masalah foto itu. Karena itu, didorongnya lepas kemejanya dan melemparnya ke lantai.
Tori mengangkat tubuhnya -mendesis pelan karena kulitnya tergesek ujung gigi Masahiro- dan berkutat dengan ikat pinggang dan kancing celananya. Tori tertawa pelan saat Masahiro membantunya beringsut keluar dari celananya dan menjatuhkan diri ke kasur. Tangannya menggerut selimut untuk menariknya dengan satu hentakan. Tori beringsut lebih ke atas, berbaring nyaman bersandar bantal dan menutupi dengan asal saja bagian pinggul dan selangkangannya dengan selimut putih itu.
"Kalau tak salah, begini ya?" ujarnya dengan suara serak, menatap Masahiro dengan mata setengah tertutup dan mengangkat sebelah kakinya.
Masahiro menelan ludah lagi, kepalanya serasa berasap melihat pemandangan menggairahkan yang tersaji di depannya. Perlahan ia mengulurkan tangan, ujung-ujung jemarinya menyentuh tungkai Tori hingga ke lutut. Kemudian diusapnya kedua paha Tori lembut. Terasa hangat dan lembut dan tatapan Tori dengan kelopak mata setengah terpejam sungguh membuat Masahiro junior melonjak gembira. Tangan Masahiro terus merayap naik dan berhenti di pangkal paha Tori, merasakan denyut bersemangat di selangkangan Tori tanpa menyentuh.
"Ya, begitu," ujar Masahiro parau sambil beringsut mendekat dan menjilat Tori dari pusar hingga ke tulang selangka.
Sentuhan lembut Masahiro membuat punggung Tori melengkung. Bibirnya mengeluarkan gumaman nikmat. Sentuhan basah lidah Masahiro pun terasa seperti membakar kulitnya, membangkitkan insting liar dan hasratnya makin menggebu. Tapi Tori menahan diri. Mereka punya banyak waktu dan pengalaman dengan Masahiro selalu membuktikan kalau akhirnya pasti tak akan pernah mengecewakan. Pun begitu, Tori tak bisa menahan tangannya untuk tak menyentuh dadanya dan jemarinya bermain dengan tonjolan di sana sementara bibirnya bergerak, menjilat dan memagut rahang Masahiro dengan menggoda.
"Fotoku itu membuat Ma-kun berpikir begini ya?" bisiknya yang langsung diputus erangan.
"Mmm, sebenarnya ada yang kurang," ujar Masahiro sebelum memagut bibir Tori. Tangannya bergerak di luar selimut untuk menyentuh selangkangan Tori dan menggenggam kemaluan Tori. Ia mulai menggerakkan genggamannya dari ujung hingga ke pangkal, kemudian sebaliknya sementara bibirnya beralih ke pangkal leher Tori dan menggigit serta mengisap lembut. Tangan Masahiro bergerak cepat, kemudian lambat, lalu ia menambah putaran pergelangan tangannya--dalam cara yang ia tahu disukai oleh Tori. Suara erangan Tori membuatnya makin bersemangat. Masahiro menyentuhkan ibu jarinya ke ujung kemaluan Tori, kemudian menarik tubuh menjauh dan berlutut di hadapan Tori.
"Nah, sekarang lebih mantap," cetusnya sambil nyengir, menatap Tori yang masih bersandar di bantal. Namun kini rambut dokter muda itu acak-acakan, bibirnya memerah karena dicium, serta ada bekas perbuatan Masahiro di pangkal lehernya. Tak ketinggalan, selimut yang menutupi pinggulnya tampak terangkat di bagian depan karena menyembunyikan sesuatu yang berdiri tegang dan bersemangat. Bahkan telah ada pola cairan menyebar tepat di puncak tonjolan selimut yang tak seberapa tebal itu. Masahiro menjilat bibirnya tanpa sadar, tak sabar untuk melahap Tori.
Pinggul Tori terangkat dengan sukarela, bergerak seiring dengan hentakan tangan Masahiro. Dia pun mengerang sesekali saat gerakan Masahiro atau ciumannya terasa begitu nikmat. Wajahnya bersemu merah saat mendapati bercak basah di selimut yang menutupi bagian tubuhnya yang sudah bersemangat sekali namun bibirnya tersenyum. Tori mengangkat kepalanya, mengejar bibir Masahiro yang menggoda dan menjilat garis bibir Masahiro. "Apa yang kurang?"
Masahiro menggigit bibirnya menahan gemas, kemudian ia beringsut maju kembali. Jemarinya menemukan tonjolan di dada Tori dan mulai memainkannya sambil menciumi rahang Tori yang kukuh. "Yang kurang adalah suara Tori menjeritkan namaku," bisik Masahiro.
Mendengar itu, Tori tertawa pelan dan rendah. Sekali lagi memastikan dia mengerang dengan begitu menggodanya sesuai dengan keinginan tunangannya itu. Diam-diam, Tori selalu menikmati bagaimana mata Masahiro menyala tiap kali mendengarnya mengerang.
Ada saat-saat Tori sengaja memancing Masahiro untuk menggodanya dan membuatnya mengerang sampai Masahiro tak tahan untuk tidak menariknya ke ranjang, sofa, meja atau dalam beberapa kesempatan, memepet Tori ke dinding. Kali ini pun, Tori sengaja memposisikan bibirnya di dekat telinga Masahiro agar pemuda itu bisa mendengar dengan jelas.
"Kalau begitu...mmh... buat aku menjerit..."
Suara Tori yang begitu dekat dengan bibirnya membuat Masahiro menggeram dan harus menggigit kulit leher Tori lagi. Diam-diam Masahiro menganggap salah satu hal yang membuatnya jatuh cinta pada Tori adalah suaranya yang dalam, selalu tegas dan berwibawa saat berbicara dengan orang lain dan akan berubah menjadi begitu parau dan seksi jika mereka sedang bercinta. Diangkatnya sebelah paha Tori sambil beringsut mendekat, menumpangkan paha Tori di atas pahanya dan menggerakkan pinggulnya ke depan. Kemaluannya yang masih terbungkus celana bergesekan dengan kemaluan Tori yang sama tegangnya dengan miliknya, dan Masahiro mendesis. Dikecupinya sisi leher Tori, terus ke belakang telinga dan ke pelipis Tori yang mulai basah oleh keringat sambil terus menekankan pinggulnya
"Mmmh, Tori~"
Tekanan pinggul Masahiro membuat Tori menarik nafas tajam. Seprai lembut yang menutupi kemaluannya menggesek kulitnya dan memberi sensasi nyeri yang nikmat. Melihat Masahiro yang bahkan tak ambil pusing untuk menyingkirkan selimut itu atau celananya sendiri, Tori tahu dia sukses membuat pemuda itu lupa diri. Kedua tangannya diletakkan di atas dan sisi kepala Masahiro, membimbing pemuda itu ke tempat-tempat yang Tori ingin disentuh. Pinggulnya pun mulai bergerak pelan, balas menekan ke atas dan ke bawah, bergesekkan dengan milik Masahiro meski terhalang selimut dan bahan celana cargo. Tapi rasanya nikmat sekali dan Tori memberitahu Masahiro lewat erangannya.
Masahiro menggeram rendah merasakan Tori mulai membalas tekanannya, membuat gesekan ke selangkangannya semakin memberikan rasa nyeri yang nikmat walaupun masih terhalang berlapis-lapis kain. Tapi ia tidak berniat untuk menghilangkan penghalang di antara mereka itu, tidak saat itu juga karena rasanya ia sudah tak sanggup menahan nafsu. Ada kalanya Masahiro ingin membuat permainan mereka bertahan selama mungkin, membuat Tori terengah nyaris kehabisan napas dan suara. Tapi tidak saat ini.
Tangan kanannya terus menarik dan menekan tonjolan di dada Tori sementara tangan kirinya menyusup ke antara tubuh mereka, menggenggam dirinya dan Tori bersamaan. Bibirnya melumat erangan Tori dalam-dalam, menyapu langit-langit mulut Tori dan menggoda lidah Tori.
Merasakan getaran suaranya sendiri di dalam tenggorokannya, Tori menyambut lidah Masahiro dengan tak kalah bernafsu. Ditangkapnya lidah itu dan dihisapnya dengan kuat lalu melepas untuk menjentikkan ujung lidah mereka dan kembali melumat bibir Masahiro saat tunangannya itu menggeram rendah.
"Amnh... Ma-kun..." Tori menggerakkan pinggulnya, menekan ke bawah saat Masahiro bergerak ke atas, terjepit erat cengkeram tangan Masahiro dan terbalut lapisan bahan kain. Letupan familiar itu sudah menjalari sekujur tubuhnya. Tori mengangkat satu kakinya, mengaitkan tungkainya dengan betis Masahiro, membiarkan selimut putih itu membelit bagian bawah tubuh mereka.
"Motto...ah...ah...ahn..."
Sungguh suara Tori memang seksi. Entah bagaimana terbetik dalam benak Masahiro bahwa ia mungkin bisa klimaks dengan mendengar suara Tori. Suara Tori yang tersengal dan mengerangkan namanya dengan panjang, meminta sesuatu yang lebih. Masahiro memejamkan mata dan membenamkan wajahnya ke bahu Tori, membiarkan ujung-ujung rambut Tori menggelitik sisi wajahnya. Tangan kanannya merayap ke punggung Tori dan terus ke bawah, meraih bokong Tori dan menariknya merapat seiring dengan gerakan pinggulnya menekan ke depan dan genggaman jemarinya makin merapat. Masahiro mengerang, merasakan percikan-percikan kenikmatan menjalari tubuhnya.
Tori menyelipkan kedua tangannya ke bawah lengan Masahiro dan berpegangan pada bahu pemuda itu. Tori merasakan bagian bawah tubuhnya sudah basah sekali. Pinggulnya bergerak lebih cepat, mengejar kenikmatan yang sudah mulai mengaburkan pandangannya. Tori menengadahkan kepalanya, membiarkan Masahiro menikmati kulitnya. Dirasakannya Masahiro menekan dengan lebih keras dan hentakan juga cengkeram tangannya semakin kuat. Tori mengerang tanpa henti. Tak peduli apapun. Tubuhnya sudah tak terkendali dan lepas begitu saja.
"Ahn...Ma-kun... Ma-kun... ah! Mou... I... iku...aaah..."
Masahiro menggerakkan pergelangan tangannya, menekan titik-titik yang ia tahu dapat membuat Tori menjerit. Senang sekali rasanya saat merasakan Tori menggelinjang dan mengerang panjang. Dari gerakan pinggul Tori yang menjadi semakin cepat dan tidak beraturan dan tungkai Tori yang tak henti menariknya merapat, Masahiro tahu klimaks Tori sudah dekat. Bagus juga, karena ia sendiri juga rasanya tak akan tahan lebih lama lagi.
Diselipkannya jari tengah tangan kanannya menyusup ke celah di antara bokong Tori dan menekan jalan masuk ke tubuh Tori sambil berbisik parau di telinga Tori, "Ii yo. Ore mo... hnnngh, mou dame."
Sentuhan jari Masahiro di bagian belakang tubuhnya membuat tubuh Tori menggelinjang hebat. Tangannya sendiri mencengkeram pundak Masahiro dengan lebih erat, tak peduli apakah ia melukai pemuda itu atau tidak. Pinggulnya tersentak kuat dan kemaluannya bergesek kencang dengan milik Masahiro. Sekujur tubuhnya menegang dan bibirnya terbuka, melepaskan jeritan panjang seiring dengan sesuatu yang meledak di dalam dirinya dan meluncurkan cairan hangat dari kemaluannya. Pandangannya berubah putih dan pinggulnya menyentak-nyentak pendek, membisikkan nama kekasihnya selama ombak kenikmatan itu menyapu sekujur tubuhnya.
Masahiro dapat merasakan denyutan keras kemaluan Tori dalam genggamannya seiring menegangnya tubuh Tori dalam dekapannya. Hari ini Tori sungguh tak menahan diri sama sekali, dan jeritannya saat mencapai klimaks disertai rasa hangat dan basah yang membuat genggaman jemari Masahiro sedikit tergelincir membuat Masahiro melepaskan kendali dirinya. Membiarkan dirinya meledakkan gelenyar-gelenyar nikmat ke seluruh tubuh sementara tangannya tetap menggenggam dan menarik. Bisikan namanya dari bibir Tori seiring dengan sentakan-sentakan halus tubuh Tori membuat Masahiro tak tahan untuk tidak mencium kekasihnya.
Ciuman Masahiro membuat klimaksnya terasa makin nikmat. Tori balas memagut dan mengulum pelan bibir penuh cinta itu. Sentakan halus tubuh Masahiro dan geraman lirihnya disambut Tori dengan erangan pelan di sela ciuman mereka. Tori kemudian membenamkan wajahnya ke sisi wajah Masahiro, mengecup pipi dan pelipis pemuda itu yang tertutup peluh. Tori tertawa pelan. "Hmmm... kurasa tak ada buruknya aku sering-sering berpose seperti itu ya." Dikulumnya cuping telinga Masahiro.
Masahiro tertawa pelan, menusukkan hidungnya ke pipi Tori yang empuk. "Tentu saja, asal tiap memperlihatkan padaku Tori ada di sisiku. Kalau tidak aku bisa repot," candanya.
"Hmmm..." Tori bergerak, memeluk tunangannya dengan gemas. "Kalau aku tak ada, Masahiro mau bagaimana?" tanyanya menggoda.
"Hmmm, bagaimana ya," Masahiro mengulum senyum dan menarik tubuh sedikit menjauh. Sebenarnya ia tidak ingin melepaskan Tori, namun celananya mulai terasa tidak nyaman. Dengan cuek ditariknya celana kargo longgar yang dipakainya hingga lepas kemudian dilemparkannya asal saja ke salah satu sudut ruangan. Lalu dicarinya mata Tori lagi.
"Sepertinya, aku akan memandangi foto Tori itu, membayangkan Tori di depanku, menggeliat sementara aku menyentuh Tori... sambil melakukan ini," Masahiro berbicara dengan suara rendah sembari mengusap rahang Tori dengan ibu jarinya. Sedangkan sebelah tangannya menyentuh dirinya sendiri, masih terasa tegang walaupun baru saja klimaks.
Tori mengerjap, sedikit terpana melihat Masahiro kecil yang perlahan mulai menegang lagi. Dia seharusnya tahu Masahiro tak akan puas dengan yang barusan saja meski rasanya cukup intens. Sudut bibit Tori terangkat dan matanya berkilat. Tangannya terulur untuk menangkup tangan Masahiro dan mengikuti gerakannya. "Seperti ini juga kalau sedang tak bisa bertemu denganku?"
Pemandangan jemari Tori yang bertaut dengan jemarinya sendiri--sedikit basah oleh sisa klimaksnya tadi--melingkari kemaluannya yang tampak mulai memerah bersemangat lagi memang menggairahkan.
"Mmm, kadang-kadang. Aku kan pemuda sehat dan aktif," sahut Masahiro sambil tertawa kecil kemudian tersedak saat Tori menekan satu titik. "Tapi kalau Tori sedang tidak di sisiku, rasanya selalu ada yang kurang," Masahiro mengaku sambil mengecup kening Tori.
Tori merasa kepalanya melambung mendengar perkataan Masahiro. Dikecupnya ujung hidung Masahiro dengan gemas. Tangannya yang lain diletakkan di bahu Masahiro dan mendorongnya ke samping sampai pemuda itu rebah. Setelah menyingkirkan selimut yang membelit pinggulnya yang mulai terasa mengganggu, Tori memanjat ke atas Masahiro. Duduk di atas paha tunangannya, Tori kembali menggerakkan tangannya bersama tangan Masahiro, menekan di beberapa titik yang Tori tahu dengan pasti bisa membuat pemuda yang dicintainya itu lupa diri.
Dua jari tangannya dikulum lalu dibawanya untuk menyentuh bagian bawah tubuhnya, menekan seraya mengerang, mempersiapkan tubuhnya sendiri lalu membungkuk untuk berbisik, "Aku juga sama kok. Ma-kun ga boku no naka ni... saikou..." Disusupkannya wajahnya ke lekuk leher Masahiro dan mulai mengecup dan menjilat kulit kekasihnya.
Masahiro mendesis dan melepaskan genggamannya, ganti meraih pergelangan Tori dan tertawa kecil dengan susah payah. "Kalau begitu singkirkan tangan Tori atau aku tidak akan sempat menggunakan tempat ini," ujarnya dengan jari tengah meraba jalan masuk tubuh Tori dan dua jari Tori yang bergerak keluar masuk. Ditatapnya kekasihnya yang super seksi itu, mengagumi ekspresi Tori setiap kali jemarinya menyentuh titik yang membuatnya meraskan kenikmatan. Masahiro menyentuh rahang Tori dan nyengir.
"Apa ini yang Tori lakukan kalau sedang tidak bersamaku?"
Tori menggeliat dan mengerang karena sentuhan Masahiro menambah kenikmatan yang sedang dirasakannya. Wajahnya bersemu merah dan menggeleng pelan, "Sabar dong...Mmnh..." Tori mengangkat pinggulnya, membawa jari tengah Masahiro masuk bersama dua jarinya sendiri dan melenguh.
"Hmm...Tidak selalu sih... ah... kalau sedang benar-benar kangen saja...mmh"
Sesaat kemudian, karena sudah merasa tak kuat, Tori membuka bibirnya, mengulum jemari Ma-kun yang berada dekat dengan mulutnya.
Masahiro beringsut mendekatkan bibirnya ke telinga Tori dan berbisik bertanya sembari menarik keluar jarinya dari jalan masuk tubuh Tori, "Lalu seberapa sering Tori merindukanku setengah mati?"
Ditariknya Tori mendekat dan menggesekkan ujung kemaluannya ke jalan masuk tubuh Tori, hanya menyentuh sedikit dan kemudian menjauh kembali, "Seminggu sekali? Tiga hari sekali?"
Dengan seksama diamatinya wajah Tori dan menekan masuk sedikit , hanya menembus lingkaran otot pertama dan kemudian menarik diri keluar kembali, perlahan. Amat perlahan. "Atau tiga kali sehari?" tanyanya dengan suara rendah.
Tori meletakkan tangannya di sisi pinggang Masahiro. Menjilat bibir dan mendesah lirih tiap kali Masahiro menekan masuk dan mengerang protes saat Masahiro sudah menarik diri sebelum benar-benar masuk. Pun begitu, dinikmatinya permainan kekasihnya yang manja itu. Tori menelan ludah dan sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring.
"Hmm... dua bulan sekali..."
Masahiro tergelak, menjepit puting Tori di antara ibu jari dan telunjuknya, menarik dan memutarnya perlahan hingga menegang. Ditariknya Tori mendekat, mengulum cuping telinga Tori dan menggigitnya lembut kemudian berpindah menjilat bagian belakang telinga Tori.
"Pembohong," tuduhnya sembari menekan masuk dengan cepat, hanya sampai separuh jalan dan kemudian menarik keluar lagi.
Tori tergelak yang langsung terputus erangan pendek. Pundaknya menggeliat geli karena cumbuan bibir Masahiro di dekat telinganya dan Tori mendesah. Nafasnya mulai memburu dan Tori menggigit gemas pipi Masahiro.
"Kau kan tidak tahu aku bohong atau tidak..." sahutnya seraya mengerang lagi karena Masahiro kembali menekan masuk. Bosan dipermainkan Masahiro yang langsung menarik keluar lagi kemaluannya, Tori pun menggerakkan pinggulnya, menggesek kemaluan Masahiro dengan celah bokongnya. "Memangnya Ma-kun melakukannya tiga kali sehari?" cengirnya.
Masahiro menggigit bibirnya dan mendesis saat kulitnya yang terasa amat sensitif bergesekan dengan kulit bokong Tori yang hangat. Tak tahan lagi, ia mendorong tubuh Tori hingga rebah menyamping. Ia beringsut merapatkan dadanya ke punggung Tori. Diposisikannya kemaluannya di celah bokong Tori dan tangannya mengelus paha mulus Tori, mengaitkan tangan di belakang lutut kanan Tori. Masahiro mengangkat paha kanan Tori, membuka selangkangannya dan menekan masuk dalam satu tarikan napas, langsung membenamkan diri hingga ke pangkal seraya menggeram. "Mmmh, mungkin saja."
Tarikan nafas tajam mengiringi sensasi nyeri yang terasa seperti menariknya ke segala arah. Bibirnya membuka melepaskan erangan panjang. Rasanya memang tidak terlalu sakit karena Tori sudah mempersiapkan dirinya dan kegiatan mereka sebelumnya sudah cukup membuat Tori siap menyambut Masahiro ke dalam tubuhnya. Tapi memang perasaan seperti ini, ketika Masahiro yang terasa besar, keras dan berdenyut di dalam tubuhnya, selalu sukses membuat Tori merasa seperti terlempar ke dimensi lain yang memabukkan. Nafas hangat Masahiro di dekat tengkuknya membuat Tori merinding dan sungguh-sungguh tak tahan.
Sambil menyentuh kemaluannya sendiri, Tori mulai membawa Masahiro masuk lebih jauh ke dalam tubuhnya. "Hmm... aaahnn... Ma-kun mesum sekali ya...Ahn!"
Masahiro menarik napas tersengal. Perasaan diselimuti oleh bagian dalam tubuh Tori yang mencengkeram hangat saat menekan masuk pertama kali tidak akan membosankan berapa kali pun ia merasakannya. Setiap kali selalu terasa seperti pulang ke tempat di mana ia seharusnya berada, seperti melengkapi suatu ruang kosong dalam hatinya.
Digigitnya pundak Tori dan mulai bergerak tanpa menunggu Tori terbiasa dengan ukuran tubuhnya. Ada kalanya Tori ingin diperlakukan lembut, dimanjakan dengan tekanan lembut yang meregangkan dirinya perlahan-lahan sedikit demi sedikit. Tapi Masahiro tahu, tidak kali ini. Karena Tori juga tak berpikir panjang dan langsung menggerakkan pinggulnya menyambut hentakan pinggul Masahiro yang kuat dan tajam.
"Aku kan...hngh... hanya mengimbangi Tori saja."
Tori menggerut ujung bantal yang menyangga kepalanya. Punggungnya melengkung seperti sendok menjaga pinggulnya tetap rapat dengan pinggul Masahiro yang menyentak tajam dan cepat. Tori menyukai cara Masahiro mengganti-ganti kecepatannya, menggoda tubuh mereka untuk tak cepat-cepat mencapai puncak kenikmatan itu. Tori pun menyamakan gerakan tangannya lalu menoleh, menyentuhkan ujung hidungnya dengan ujung Masahiro dan mencari bibirnya.
"Aku seperti ini...hnnngh... hanya untuk Masahiro...ah! Ahn! Mmnnh..."
Mendengar ucapan Tori yang seperti itu, Masahiro menggerung dan menopang tubuh bagian atasnya dengan siku kiri, melumat bibir Tori. Pinggulnya terus menghentak pelan dan dalam, kemudian berganti cepat dan tajam. Dijilatinya bibir Tori lalu memasukkan lidahnya ke dalam mulut Tori, menggoda lidah Tori hingga keluar untuk kemudian dihisapnya ke dalam mulutnya sendiri. Ia baru melepaskan ciuman mereka setelah terengah nyaris tak bisa bernapas. Tersengal, Masahiro menarik lutut Tori lebih lebar lagi dan mulai menyentak masuk dengan sudut yang lain.
"Kenapa? ...apa karena... argh. Hanya aku yang bisa membuat Tori menjerit seseksi ini?"
"Aaaaghn!" Tori mengerang keras. Ujung kemaluan Masahiro menemukan titik sensitif di dalam tubuhnya dan hentakannya membuat tubuh Tori menggelinjang hebat. Tersengal-sengal, Tori membenamkan sisi wajahnya ke dalam bantal dan mengerang tak putus. Sesaat dia kehilangan ritme-nya namun setelah mencuri kesempatan untuk menarik nafas (yang nyaris tak mungkin), Tori kembali mengimbangi gerakan kekasihnya. Sekujur tubuhnya terasa panas dan menggelenyar nikmat. Tori melirik ke arah Masahiro, menatap ekspresinya yang penuh konsentrasi karena menahan diri. Tori mengencangkan otot tubuhnya, mencengkeram dengan kuat seraya tersenyum lagi.
"Himitsu..."
"Hrrgggghhhh!" Masahiro menghujamkan giginya ke bahu Tori nyaris tak kuat menahan diri karena tiba-tiba Tori mencengkeramnya begitu erat.
"Pelit," cetus Masahiro di sela tarikan napasnya. Membalas perbuatan Tori, Masahiro menarik kemaluannya keluar nyaris seluruhnya kemudian menekan masuk dengan cepat dan dengan sudut yang sangat dikenalnya. Ia menyentak berulang kali dalam sudut yang sama, kadang pelan kadang cepat, menikmati gesekan kulitnya dengan otot di dalam tubuh Tori yang amat nikmat.
"Ima... kimochii ka?"
Tori menggigit bibir kuat-kuat meski kemudian tetap tak bisa menahan erangannya yang makin keras dan makin tak terkendali. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan, antara menahan kenikmatan begitu membuncah dan menjawab Masahiro. Ada beberapa hal yang sebaiknya disimpannya sendiri. Dia tak sejujur itu dan membuat Masahiro penasaran adalah salah satu kesenangan Tori yang lain. Daripada itu, saat ini otaknya sudah tak sanggup berpikir apapun. Disambutnya hujaman tubuh Masahiro dengan cengkeraman yang makin erat. Tangan di kemaluannya bergerak makin cepat, membuat kemaluannya yang kemerahan terasa makin nyeri dan nikmat.
"Mmmmmnh... Ma-kun...Ii yo~ Nnngh..." Tori sudah tak sanggup. Dia butuh pelepasan itu sekarang juga.
Masahiro menjilat leher Tori kemudian menggigit rahang Tori yang terbentuk bagus. Sentakan pinggulnya berubah sedikit lambat, karena dengan cengkeraman Tori yang sekuat itu, ia akan selesai dalam beberapa kedipan mata saja.
"Kochi?" Masahiro menekan masuk dengan pelan namun kuat, membuat pinggul Tori terangkat dari kasur. "Doko ka ii?" tanyanya. "Kochi?" tanyanya lagi, melepaskan tumpuan di lengan kiri dan menyusupkan tangan kirinya ke bawah tubuh Tori dan menyentuh ujung kemaluan Tori yang sudah begitu basah.
"Aaa~hn! Soko! Mmmngh..." Tori tak tahu lagi bagaimana mungkin Masahiro masih sanggup menahan diri sementara dirinya sendiri sudah yakin dia akan meledak setiap saat. Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya, Tori mengangkat tubuhnya. Mengerang lirih karena gesekan kemaluan Masahiro di dalam tubuhnya dan duduk di pangkuan pemuda itu. Kakinya mengait di belakang punggung tunangannya, kedua lengannya menggantung di leher Masahiro. Tori mendesah keras, kembali menggerakkan pinggulnya. Kembali mencengkeram tanpa ampun. Digigitnya leher dan rahang Masahiro lalu bibirnya yang penuh dan kemerahan.
"Ahn... soko ga ii....mmmnh... dakara... haanh..." Tori menekan turun, membawa Masahiro terbenam hingga ke pangkal. Tori mengunci pandangannya dengan sepasang lautan gelap di hadapannya, mengelus penuh sayang pelipis dan pipi Masahiro. "Dakara... ahn...boku no tame ni...aaaahngh.... itte?"
Masahiro melenguh keras saat Tori tiba-tiba mengubah posisi, membuat kemaluannya tertanam jauh di dalam tubuh Tori. Jelas menunjukkan bahwa kekasihnya itu sudah nyaris tak tahan lagi. Cengkeraman Tori yang erat bukan main disertai pinggulnya yang tak berhenti bergerak kontan membuat kendali apapun yang masih tersisa dalam diri Masahiro lenyap tertiup angin. Diraihnya pinggul Tori, mengangkatnya menjauh hingga nyaris melepaskan kemaluannya kemudian menariknya merapat seiring hentakan pinggulnya menekan masuk.
Masahiro membalas tatapan Tori dan mencium kelopak mata Tori, lidahnya mencicipi setitik air mata di sudut kelopak. Dan setiap denyut nadi terasa membawa gelombang kenikmatan yang bertubi-tubi, sungguh membuatnya kecanduan. Di tengah semuanya itu, Masahiro kembali menangkap tatapan Tori yang lurus-lurus ke arahnya, bagaikan sepasang pusaran angin yang menariknya berputar dan tenggelam ke dalam pesona lelaki tampan di dalam dekapannya itu. Kekasihnya. Orang tercintanya. Calon suaminya.
Sesuatu yang sejak tadi memuncak di dalam diri Masahiro pun membuncah dan meledak tanpa bisa ditahan lagi, pandangannya dibutakan cahaya menyilaukan dan ia menjeritkan nama Tori tanpa suara.
Tori yakin otaknya berhenti bekerja begitu Masahiro menghentak dengan makin cepat dan tajam nyaris tak terkendali. Tersengal-sengal hebat, Tori kembali mengecupi rahang Masahiro, tak berhenti mengerang dan melenguh. Selama beberapa detik, Tori menganggap Masahiro terlihat begitu tampan dan seksi dan Tori mencintai pemuda ini. Beberapa hentakan dan Tori merasakan tubuh Masahiro mengejang dan langsung disusul oleh sesuatu yang menyembur hangat ke dalam tubuhnya. Tori mencengkeram erat-erat dan melempar tubuhnya ke dalam gelombang besar kenikmatan itu.
Masahiro terengah-engah, masih membenamkan wajahnya ke lekuk leher Tori sementara tubuhnya tersentak-sentak sendiri. Samar dirasakannya cairan yang hangat mengalir di perut dan selangkangannya. Butuh waktu cukup lama sampai klimaksnya selesai, dan sepanjang waktu tersebut ia mendekap Tori erat-erat bagaikan tak ingin melepaskannya lagi.
Sambil balas memeluk erat tubuh tunangannya, Tori merasa dadanya sedikit sesak. Mendadak diingatkan kembali kenapa dia bisa jatuh cinta sebegitu parahnya dengan pemuda yang akan segera dinikahinya tak lama lagi ini. Rasanya penuh sekali sampai rasanya ingin menangis tapi Tori tak akan melakukannya. Dieratkannya pelukannya sampai orgasmenya perlahan-lahan berlalu.
Dikecupnya rambut Masahiro yang lembab, menghirup dalam-dalam wangi tubuh Masahiro. Tori tahu dia tak akan pernah bosan berada bersama Masahiro. Dikecupnya telinga Masahiro dengan lembut, menggoda daun telinga pemuda itu dengan pucuk hidungnya dan berbisik dengan lirih, "Aishiteru."
Napas Masahiro tercekat sesaat mendengar bisikan Tori di telinganya. Begitu lirih namun begitu jelas terdengar, merasuk hingga ke dadanya. Ia terpaksa bungkam beberapa saat untuk mengambil nafas panjang yang bergetar sebelum meraih wajah Tori dan menatapnya dalam. "Ore mo."
"Aishiteru," bisiknya sembari mengecup dahi Tori yang dibasahi keringat. "Aishiteru," ulangnya sambil mengecup puncak hidung Tori. Disandarkannya dahinya ke dahi Tori, tertawa kecil kemudian tersenyum bahagia. "Aishisugiru."
Sungguh senyum pemuda itu memang menular. Tori tak pernah bisa tak ikut tersenyum tiap kali melihat Masahiro tertawa. Tori balas mengecup kening, hidung, pipi kemudian mengecup ringan bibir Masahiro. Ibu jarinya mengusap lembut rahang Masahiro, tertawa kecil dan terdengar begitu senang dan bahagia.
"Hari ini di rumah saja ya..." bisiknya manja.
Masahiro tergelak dan menggigit pucuk hidung Tori pelan. Tangannya mengusap punggung Tori yang bersimbah keringat.
"Memangnya Tori belum puas ya?"
"Hmmm..." Tori menjilat dagu Masahiro "Sedang ingin berduaan dengan Ma-kun saja." Ujarnya seraya mengulum cengiran. "Lagipula, aku belum sempat lihat foto-fotoku. Siapa tahu saja kan?"
Masahiro menarik wajahnya menjauh dari Tori, memasang wajah terkejut dan membulatkan matanya lebar-lebar. "Tori bisa terangsang melihat foto-foto Tori sendiri? Oi, narsis juga ada batasnya."
"Sembarangan!" Tori mencubit dada tunangannya dengan gemas. "Maksudku, siapa tahu ada yang cukup bagus untuk dikirimkan ke rumah." ujarnya sambil pasang tampang polos.
Masahiro mengerutkan keningnya dan memajukan bibirnya sedikit. "Kurasa ayah Tori tidak berminat melihat anaknya telanjang. Apalagi Okaasan. Bisa-bisa aku dilemparnya dengan poci teh."
Tori tergelak lagi. "Kamu kan tak begitu tahu orang tuaku. Tou-san dulu pernah jadi model pakaian renang loh."
Sejurus kemudian, Tori mengangkat pinggulnya, mengerang pelan saat kemaluan Masahiro tertarik keluar bersamaan dengan cairan putih yang mengalir pelan. Kemudian ditariknya pemuda itu untuk rebah membiarkan Masahiro setengah berbaring di atas tubuhnya. Mereka masih berpelukan erat , berbagi ciuman lembut dan senyum penuh cinta. Tori tak tahu lagi apakah ada lagi perasaan senyaman ini.
Masahiro mendesah nyaman, menyurukkan wajahnya ke leher Tori dan memejamkan mata. Rasanya nyaman sekali dan ia langsung merasa mengantuk.
"Sepertinya hari ini memang harus di rumah saja," ujar Masahiro, menghirup aroma Tori dalam-dalam dan menarik selimut yang tidak basah hingga menutupi tubuh mereka. Dilingkarkannya lengannya di pinggang Tori. "Aku tidak mau melepaskan Tori," ujarnya sebelum jatuh tertidur.
Tori tersenyum dan mengecup kening Masahiro. Sejak tanggal pernikahan mereka ditentukan, pemuda itu sepertinya agak merasa tak tenang. Tori pun sebenarnya juga mulai gugup tapi berusaha meyakinkan diri kalau semuanya akan baik-baik saja. Sekilas terbersit di ingatannya kalau dirinya sempat menganggap tak akan pernah mengalami kebahagiaan seperti ini. Tori mengusir ingatan itu dan membenamkan wajahnya ke dalam helaian rambut Masahiro dan mengusap pelan punggung Masahiro, merasakan nafasnya yang tenang berhembus membelai kulit Tori.
"Tidak. Aku yang tak akan pernah melepaskanmu." bisiknya lirih.