Fandom: Kamen Rider Decade/Samurai Sentai Shinkenger
Pairing: Inoue Masahiro x Matsuzaka Tori
Rating: PG-13
Warning: BL. AU. OOC. Cheesy.
Disclaimer: I do not own anything. I've never been to Lake Como or Italy. Settings are based on wikitravel and browsing ninjas.
Note: Setting setelah mereka menikah. Untuk Nei yang lagi kangen sama pasangan eksibisionis ini dan gue juga kangen sama mereka sih LOL Gombal mampus. Awas muntah. SATC, cintakuuuuh~~~
Dia jatuh cinta.
Begitulah yang disimpulkan Tori sejak kali pertama dia menginjakkan kaki di villa milik keluarga Keigo itu. Entah ada berapa villa, tempat peristirahatan atau apapun lah namanya yang dimiliki keluarga itu dan tersebar di mana saja, Tori tak peduli. Yang satu ini, membuat Tori jatuh cinta setengah mati. Tak pasti pada villa-nya yang berdinding batu dan dibalur cat putih atau pemandangan Danau Como yang terhampar cantik tepat di depan beranda kamar atau kota Menaggio yang begitu indah di musim gugur seperti ini atau deretan kafe-kafe kecil di sepanjang jalan yang menyajikan berbagai makanan lezat khas Italia atau mungkin...
Matanya tertuju pada sosok yang duduk mengangkat kaki di balkon kecil kamar mereka sambil menikmati sarapan yang dibuatkan Tori. Seperti biasa, hanya telur, bacon dan roti panggang karena Tori malas bergerak di pagi hari - terutama tidak setelah semalam suntuk bercinta dengan Masahiro - dan Masahiro menolak untuk memanggil pelayan karena mereka tak ingin diganggu. Wajar kan, namanya juga sedang bulan madu.
Begitulah yang disimpulkan Tori sejak kali pertama dia menginjakkan kaki di villa milik keluarga Keigo itu. Entah ada berapa villa, tempat peristirahatan atau apapun lah namanya yang dimiliki keluarga itu dan tersebar di mana saja, Tori tak peduli. Yang satu ini, membuat Tori jatuh cinta setengah mati. Tak pasti pada villa-nya yang berdinding batu dan dibalur cat putih atau pemandangan Danau Como yang terhampar cantik tepat di depan beranda kamar atau kota Menaggio yang begitu indah di musim gugur seperti ini atau deretan kafe-kafe kecil di sepanjang jalan yang menyajikan berbagai makanan lezat khas Italia atau mungkin...
Matanya tertuju pada sosok yang duduk mengangkat kaki di balkon kecil kamar mereka sambil menikmati sarapan yang dibuatkan Tori. Seperti biasa, hanya telur, bacon dan roti panggang karena Tori malas bergerak di pagi hari - terutama tidak setelah semalam suntuk bercinta dengan Masahiro - dan Masahiro menolak untuk memanggil pelayan karena mereka tak ingin diganggu. Wajar kan, namanya juga sedang bulan madu.
Tori menggelengkan kepalanya saat teringat betapa polosnya dirinya karena mengira mereka hanya akan pergi ke Hokkaido begitu Masahiro memberi petunjuk ‘tempat yang sejuk’. Waktu Tori protes (karena merasa terlalu mahal dan hampir sebagian besar uangnya sudah terpakai untuk biaya pernikahan), Kubota menyela dan bilang kalau itu adalah hadiah dari dirinya, Kazuki dan Sainei. Kalau sudah dibilang begitu, jelas saja Tori tak bisa menolak.
Tori menyukai semua yang dilihat, ditemui dan dicicipinya. Sekali itu, Masahiro sama sekali tak protes tiap kali Tori melesat ke gerai gelatto atau makanan manis lainnya. Menyusuri Danau Como dengan perahu, berciuman di sudut jalan di bawah lampu jalanan, membuat Masahiro tersipu karena Tori melarangnya menutup pintu kamar mandi saat Masahiro sedang berdiri di bawah shower, mengunjungi kebun anggur, berbelanja oleh-oleh dan menonton opera. Malam kedua, dia merasa sedikit kewalahan tapi tatapan khawatir Masahiro membuatnya memutuskan untuk tak langsung menolak apapun yang diberikan padanya - selama menurutnya masih dalam batas wajar.
Tori menyukai semua yang dilihat, ditemui dan dicicipinya. Sekali itu, Masahiro sama sekali tak protes tiap kali Tori melesat ke gerai gelatto atau makanan manis lainnya. Menyusuri Danau Como dengan perahu, berciuman di sudut jalan di bawah lampu jalanan, membuat Masahiro tersipu karena Tori melarangnya menutup pintu kamar mandi saat Masahiro sedang berdiri di bawah shower, mengunjungi kebun anggur, berbelanja oleh-oleh dan menonton opera. Malam kedua, dia merasa sedikit kewalahan tapi tatapan khawatir Masahiro membuatnya memutuskan untuk tak langsung menolak apapun yang diberikan padanya - selama menurutnya masih dalam batas wajar.
Sambil meletakkan secangkir kopi di depan Masahiro, Tori menunduk dan mencuri kecupan dari bibir pemuda itu. Masahiro nyengir saat ibu jari Tori mengusap remah roti dari sudut bibirnya. Tori menarik bangku kayu di hadapan Masahiro dan duduk di sebelah pemuda itu. Ikut mengangkat kedua kakinya, meletakkan cangkir kopi bagiannya di atas lutut dan meniup pelan asap yang menguar. Masahiro melirik pada kepala Tori yang bersandar nyaman di lengannya. Udara pagi itu pun terasa sejuk dan Masahiro cukup takjub mereka bisa bangun sepagi itu setelah aktivitas semalam.
“Hari ini mau ke mana?” tanyanya sambil mengunyah. “Kemarin Tori bilang ingin ke Pompeii ya? Agak jauh sebenarnya tapi kalau kita berangkat sebelum makan siang...”
Tori menggeleng. “Aku mau tidur,” tukasnya.
Satu alis Masahiro terangkat, merundukkan kepalanya agar bisa melihat wajah Tori dengan sedikit lebih jelas dan memastikan kalau Tori sedang tidak bercanda. Tori mengangkat kepalanya dan melengos. “Sudah tiga hari jalan-jalan terus, aku capek. Ma-kun juga tidak membiarkanku tidur nyenyak tiap malam kan?” ujarnya sambil menusuk pinggang Masahiro dengan telunjuknya.
Masahiro menggeliat menjauh dan nyengir lebar. “Tori juga tidak keberatan kan? Atau...” Masahiro menjulurkan sebelah lengannya untuk mengusap punggung dokter itu dan pura-pura pasang tampang khawatir. “...punggung Tori sakit?”
“Bukan itu masalahnyaa...” Cubitan gemas di pinggang pemuda itu membuat Masahiro tergelak. Lengan Masahiro bergerak melingkari pinggang Tori dan mengelus sisi tubuh pria itu dengan sayang. Tori beringsut lebih dekat dan mengecup pipi pemuda itu. “Tiba-tiba saja tak ingin kemana-mana. Lagipula kita masih punya waktu tiga hari lagi kan?”
Masahiro menggigit bibir, “Sebenarnya aku ingin ke toko barang antik yang kemarin kita lihat itu...” ujarnya setengah merajuk.
Tori mengangkat bahu. “Kalau begitu, Ma-kun pergi saja. Tempatnya kan tidak jauh. Aku akan menunggu di sini.”
“Mana bisa? Kalau Tori dicuri orang, bagaimana?” protes pemuda itu tanpa basa-basi.
Tori tergelak. “Ih! Memangnya siapa yang mau menculikku?” tukasnya sambil menusuk dada Masahiro dengan gemas.
Masahiro mencibir. “Entah. Mungkin pak tua di seberang itu. Kelihatannya dia suka sekali sama Tori.” ujarnya sambil menggerakkan dagunya ke arah pizzeria yang terletak bersilangan dengan villa Keigo itu. Pemiliknya seorang pria Italia setengah baya yang hobi menyanyi. Dia memberikan macam-macam mulai dari roti manis sampai sebotol wine tiap kali Tori dan Masahiro lewat di depan tokonya. Tori tergelak. Diletakkannya cangkir kopinya ke atas meja lalu menggamit lengan Masahiro dengan manja.
“Boleh dong. Penggemar keduaku setelah Yuzawa-sensei. Memangnya Ma-kun saja yang boleh punya penggemar?”
Pemuda di sebelahnya menegakkan badan. “Semua pasien Tori itu memangnya apa? Terutama adiknya Kato-senpai itu! Apa? Mau bilang kalau mereka cuma pasien? Aku tidak terima! Lalu Daito-san? Wada-sensei?”
Tori terkikik geli. Ditariknya lengan pemuda itu sampai Masahiro harus merunduk supaya Tori bisa menciumnya. Masahiro memutar bola matanya saat Tori memagut pelan bibirnya. Sekali lagi dan Masahiro menggeram. Pemuda itu menyerah kalah saat Tori menjilat bibirnya, memaksanya untuk membiarkan Tori memasukkan lidahnya. Semenit kemudian Masahiro nyaris menarik Tori duduk di pangkuannya dan Tori tertawa kecil sambil mengusap bibir Masahiro dengan ibu jarinya.
“Aku suka deh kalau Ma-kun sedang cemburu begini.”
Masahiro menggigit ujung hidung Tori dengan kesal. Bibir Tori merengut imut dan dikecupnya sudut bibir Masahiro. Jemari tangannya mengelus rambut Masahiro dengan sayang. “Pasien ya pasien. Mereka cuma bisa menemuiku saat berobat atau berkonsultasi. Adiknya Kato-san juga begitu. Shunsuke kan sudah punya pak guru tampan itu, Ma-kun masih cemburu?” Masahiro melipirkan matanya ke samping. Tori terkikik. “Lalu kenapa bawa-bawa Wada? Dia itu temanku sejak kuliah loh. Sama sekali tak pernah ada apa-apa di antara kami. Lagipula Yuuki-chan terlalu menyita perhatiannya.”
Masahiro menggerundel. “Tori terlalu baik. Terlalu mudah suka dan percaya pada orang. Kenapa cuma aku yang harus menunggu dua tahun?”
“Mataaa?”
“Jangan tertawa!” sungut Masahiro sambil mengeratkan pelukannya. Kali ini Tori benar-benar harus berpindah ke pangkuan Masahiro dan bangku kayu itu berderit pelan.
“Coba pikir,” Tori mengambil satu tangan Masahiro dari pinggangnya dan mengaitkan jari-jari mereka. “Itu membuat Ma-kun istimewa kan?”
Pipi Masahiro menggembung sebal. Masih tak mau menyahuti Tori. Tori mendekatkan mulutnya ke telinga Masahiro seperti anak kecil yang ingin berbagi rahasia dengan temannya. “Aku tak bisa berhenti memikirkan Ma-kun sejak Ma-kun menciumku untuk yang pertama dulu itu loh.”
Kepala Masahiro bergerak perlahan, menatap Tori dengan agak tak percaya dan sedikit penuh minat. Matanya mengerjap pelan. Tori mengecup pipinya dan melanjutkan berbisik. “Juga mulai berpikir mesum tentang Ma-kun waktu Ma-kun datang ke rumah sakit dengan seragam sekolah basah karena kehujanan.”
Masahiro terperangah. Mulutnya terbuka lebar sementara Tori menjauhkan wajahnya yang bersemu merah seraya menggigit bibir menahan cengiran. Pemuda itu menelan ludah. Tori yang selalu menegurnya dengan keras kalau mendapati Masahiro sedang membuka situs dewasa, Tori yang selalu memukulnya kalau Masahiro membisikkan hal-hal mesum ke telinganya, Tori yang selalu protes (meski tak menolak juga) kalau Masahiro menyeretnya ke tempat tidur atau sofa atau meja makan, Tori yang hanya bersemangat kalau sedang sugar high, Tori yang seperti itu sekarang membisikkan hal senakal itu padanya. Masahiro ingat kejadian itu. Hari itu hujan lebat dan dia kebasahan saat berlari dari parkiran menuju lobi rumah sakit. Kazuki masih terjebak rapat penting dan Masahiro sudah bersin-bersin hebat. Tori muncul dan menemaninya. Menyampirkan jas dokternya di pundak Masahiro dan menawari secangkir teh hangat.
Perlahan, sudut-sudut bibir Masahiro tertarik menjadi cengiran meski tak urung telinganya terasa panas. Tangannya mengelus punggung Tori dengan pelan. “Lalu? Bagaimana mungkin Tori bisa mendekatiku dan menawari jas dokter Tori padaku begitu saja?”
“Aku harus begitu supaya tidak keterusan berpikir macam-macam, tahu.” Tori mengalihkan perhatian dengan mencolek selai blueberry dari roti panggang di piring Masahiro.
Masahiro menangkap tangannya dan memasukkan jari Tori ke dalam mulutnya. Dikulumnya jari itu dengan lembut dan sengaja menghisap pelan sebelum melepaskannya. Tori memutar bola matanya dan mencium pemuda itu karena gemas.
“Jadi karena hal-hal itu aku istimewa?” bisik Masahiro dengan suara serak, susah payah menelan ludah dan menikmati bagian bawah tubuhnya yang mulai berdenyut hangat.
Tori tersenyum. “Itu dan banyak hal lainnya. Tapi tak akan kukatakan sekarang.” jawabnya, mengecup kening Masahiro dan ujung hidungnya. “Yang terutama, karena aku menikahi Masahiro kan? Bukan orang-orang itu.”
Masahiro mengerang. “Curang.” sungutnya.
Tori mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa aku curang?”
“Curang. Karena Tori membuatku jatuh cinta lagi.”
Tori mengedikkan bahu dan menyambut ciuman Masahiro dengan antusias, pun tertawa lepas saat Masahiro membopongnya ke tempat tidur.
----
“Tori,”
“Hmm?”
“Aku masih simpan seragamku loh.”
“........................................”