Author: Icha & Panda
Pairing: Akiyama ShintaroxKubota Yuuki
Fandom: Prince of Tennis Musical
Rating: NC-17
Warning: Boy/boy. AU. OOC. NSFW
Disclaimer: We are only a humble panda & tanuki who don't own anything and/or anyone
Notes: JADI, pada suatu hari yang cerah ceria, panda & tanuki berusaha untuk membuat sesuatu yang tidak icha icha. Ceritanya pengen bikin yang santai aja gitu. But who are we to deny our nature, eh.
Kubota Yuki berdiri di depan pintu gerbang rumah bergaya tradisional itu dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia memiringkan kepala, mencoba mendengarkan apakah ada suara-suara yang menunjukkan bahwa pemilik rumah ada di tempat.
Sunyi.
Iseng didorongnya daun pintu dengan ujung sandalnya. Agak kaget juga saat melihat daun pintu itu mengayun terbuka. "Kok tidak dikunci sih," desisnya sambil melangkah masuk dan menaiki tangga menuju beranda. "Akiiii?" panggilnya.
Akiyama Shintaro berbaring telungkup di beranda yang menghadap taman belakang rumahnya. Bukan pingsan apalagi mati, hanya berbaring mencari udara segar. Rhyme bergelung di dekat kakinya. Didengarnya anjing kecilnya menyalak dan Shintaro tetap bergeming. Mungkin Naito yang datang. Samar didengarnya suara langkah kaki. Dahinya mengernyit. Suara langkah yang ini lebih berat dari langkah anaknya. Tapi Shintaro tetap tak bergerak. Didengarnya derap kaki-kaki kecil Rhyme dan salakan ramah. Kemudian mendengar namanya dipanggil.
"Haiiii!" jawabnya keras meski teredam karena kepalanya pun tertelungkup ke lantai kayu yang sejuk.
Lagi-lagi Yuki memiringkan kepalanya mendengar suara sahutan yang lamat-lamat sampai ke tempatnya berdiri di tangga. Ia lalu mengurungkan niat naik ke teras dan malah turun menyusuri halaman rumah, terus hingga ke halaman belakang hingga dilihatnya sesosok makhluk tertelungkup di lantai kayu teras belakang.
Didekatinya makhluk--er maksudnya orang--itu, kemudian setelah menimbang-nimbang sesaat, menusuk sisi tubuh orang itu dengan ujung sandal. "Hoi."
Shintaro menggerung saat merasakan sesuatu berujung tumpul dan keras menusuk sisi tubuhnya. Dibukanya satu matanya, mengintip siapa yang kira-kira berani mengganggu ketenangannya meski Shintaro sudah bisa menebak dari suaranya. Dan dia tak mungkin salah mengenali sosok cukup tinggi yang berdiri membelakangi sinar matahari sore itu.
"Yo, Yuki." ujarnya seraya mengangkat tangan sebisanya.
Yuki memandangi laki-laki jangkung yang tampak seperti lumba-lumba terdampar yang hidup segan mati pun tak mau itu. "Ngapain di sini?" tanyanya agak heran.
Tangan Shintaro terangkat lagi, kali ini mengacungkan telunjuknya. "Itu, harusnya jadi kalimatku kan?"
Sejurus kemudian ia akhirnya mengangkat tubuhnya dan berbaring miring, menumpu kepala dengan satu tangan. Dilihatnya sudut mulut Yuki yang berkedut tak suka dan wajahnya masih saja manis.
Shintaro nyengir dan menepuk lantai dengan cuek. "Duduk. Memangnya tidak pegal berdiri terus?"
Sudut bibir Yuki berkedut lagi. Sebenarnya ia merasa tidak akan sanggup bangkit lagi kalau duduk sekarang, dan terkapar di teras rumah pria di hadapannya ini rasanya bukanlah pilihan pertamanya untuk beristirahat dengan nyaman. Tapi melihat Shintaro menepuk-nepuk lantai kayu yang sepertinya sejuk dan nyaman itu mau tidak mau Yuki tergoda. Apalagi Shintaro tampak begitu nyamannya berbaring di sana. Sambil menghembuskan napas kesal, ia mendaratkan pantatnya di sisi Shintaro. Kesejukan lantai kayu langsung menyapa kulitnya, menembus bahan celana kargo tanggung yang dipakainya. Tanpa sadar ia mengerang pelan. Rasanya enak sekali bisa duduk.
Satu alis Shintaro terangkat. Lucu sekali melihat temannya itu mendesah dengan begitu enaknya seolah-olah lantai kayu rumahnya jauh lebih empuk dari sofa atau tempat tidur manapun. Sudut bibirnya mulai membentuk senyum dan disentuhkannya lututnya ke punggung Yuki.
"Kau terlihat seperti habis menghadapi kawanan ibu-ibu tetangga yang histeris."
Yuki berjengit karena sentuhan ringan lutut Shintaro ke punggungnya tepat mengenai otot yang tegang dan nyeri di sana. Pelan-pelan diselonjorkannya kedua tungkainya.
"Percayalah, kau tak akan mau tahu."
Shintaro mengangkat bahunya. "Baiklah." Namun matanya sempat menangkap jengitan sekilas di wajah Yuki. Disentuhnya sekali lagi titik itu dengan lututnya dan Yuki langsung memukulnya. Shintaro malah tergelak meski meringis kesakitan. Kali ini ditariknya dokter itu hingga berbaring telungkup di sebelahnya.
"Keseleo punggung?" tanya sambil meletakkan tangan di punggung temannya yang merengut itu.
Yuki makin merengut karena Shintaro malah sengaja menyentuh bagian punggungnya yang nyeri. Bahkan sudah dipukul pun ia malah tertawa. Tapi Yuki sendiri tak sanggup menolak saat Shintaro menariknya untuk berbaring. Sengaja memalingkan muka menjauh dari temannya itu, Yuki menghela napas menikmati sejuknya lantai kayu yang menyentuh kulit pipinya yang rasanya lebih hangat dari biasa.
Tanpa diminta Shintaro langsung kembali menyentuh punggungnya, memberikan tekanan-tekanan lembut yang membuat Yuki mendesah tanpa sadar. Beberapa operasi berturut-turut dengan komplikasi tak terduga yang membuat waktu operasi bertambah lama cukup membuat badannya sakit semua.
"Kok sepi?"
Shintaro tersenyum miring sementara tangannya masih terus menjelajah punggung Yuki dan menekan di sana-sini. Sebenarnya dia tidak begitu tahu tentang pijat memijat tapi selama ini tak pernah ada yang protes dengan hasilnya.
"Hmm? Oh, pelayan-pelayan sedang libur." jawab Shintaro sekenanya.
Yuki meregangkan tubuhnya dan memejamkan mata dengan nyaman. Kalau ia tahu Shintaro pijatannya seenak ini mungkin lebih baik dia ke Osaka setiap terserang pegal dan minta dipijat gratis.
"Si kecil di mana?"
Shintaro terbahak mendengar istilah Yuki. "Maksudmu Naito? Sebesar itu kau bilang kecil? Dia sudah tak bisa digendong, tahu. Kalaupun aku mau, dia pasti menendangku." lanjutnya dengan tawa makin kencang.
Sejurus kemudian ditepuk-tepuknya punggung Yuki dengan lembut. Lalu ia bangkit, bergerak untuk mengangkangi Yuki. Kedua telapak tangannya di satukan dan diletakkan pada sendi tulang belakang Yuki.
"Tahan lenganmu di depan dada." ujarnya lalu menekan sendi Yuki dengan hentakan keras.
Yuki agak terkejut saat Shintaro bangkit menjulang di atas tubuhnya, tapi menuruti saja kata-kata temannya itu, tak punya tenaga untuk membantah. Terdengar bunyi derak halus dari punggungnya dan Yuki tak tahan untuk tidak mengerang panjang.
"Anak itu masih kecil kalau dibandingkan denganmu," sahut Yuki. "Ah ya, di situ pegal sekali."
Shintaro menekan lagi lebih ke bawah. "Yang benar saja. Kalau dibandingkan begitu ya jelas saja." Dua kali menekan lagi dan Shintaro kembali menepuk-nepuk punggung temannya dengan senyum puas terulas di bibir.
"Mau makan?" tanyanya kemudian, masih belum turun dari atas punggung Yuki yang entah kenapa selalu terasa nyaman untuk ditunggangi.
"Tidak," cetus Yuki, memaksa pria jangkung yang menduduki punggungnya untuk berbaring kembali kemudian beringsut menyandarkan kepala ke lengan Shintaro. "Aku capek. Lihat makanan saja mual."
Shintaro menjangkau rokoknya yang tergeletak di dekat tiang rumah. Terkekeh pelan, dinyalakannya sebatang dan menawarkan pada Yuki "Kau kan capek, bukan hamil." Diam sesaat lalu dengan perlahan Shintaro menoleh pada dokter itu dengan ekspresi horor. "Yuki.... jangan bilang..."
Yuki memejamkan matanya tapi tidak bergerak dari tempatnya. "Kalau saja aku masih punya tenaga untuk bergerak, sudah kutendang kau."
Shintaro pura-pura menghela nafas lega. "Baguslah. Aku tak mau disuruh tanggung jawab soalnya." Dilemparnya kotak rokok yang diacuhkan Yuki. Meskipun begitu, Shintaro menyelipkan lengan ke bawah leher Yuki untuk menyangga kepalanya.
"Kudengar Kazuki akan menyusul si bungsu ya? Adik-adikmu semangat ya." Shintaro terkekeh.
"Kalaupun aku hamil, apa yang membuatku harus minta tanggung jawab kepadamu, penulis mesum?" ujar Yuki datar, tapi ia tahu Shintaro paham. "Justru bagus mereka cepat-cepat menikah dan tidak merepotkanku lagi. Sekarang tinggal berharap Sainei menemukan wanita yang mampu membuatnya berhenti jadi playboy kacangan," lanjut Yuki sambil tertawa kecil mengingat adik-adiknya.
"Hei, aku cuma memastikan." Shintaro mengedikkan bahu. Shintaro menekuk lengan untuk menyentuh rambut Yuki. Dipilinnya ujung rambut pria itu. Kepalanya bergerak, menghirup pelan aroma rambut Yuki yang segar sementara pria itu mulai tampak nyaman bersandar padanya.
"Kuharap kau tidak sibuk hari ini," ujar Yuki, makin merasa nyaman karena Shintaro mengusap rambutnya. "Karena aku tidak mau bergerak dari sini. ...dan tidak bisa."
"Hmm... sudah dekat deadline sih tapi aku sedang malas. Jadi sebenarnya kau datang di saat yang tepat." Shintaro menggerak-gerakkan alisnya seperti ulat bulu. "Mau digendong ke kamar? Sepertinya aku punya tali yang cukup kuat untuk menyeretmu."
Yuki mengangkat kepalanya curiga. "Entah kenapa perasaanku tidak enak."
Shintaro nyengir kuda. "Eksperimen sedikit."
Setelah mengernyitkan dahi beberapa saat Yuki lalu menyandarkan kepalanya kembali. "Dame. Besok aku kerja."
Shintaro mengerucutkan bibirnya, pura-pura kecewa. "Bhuu~ tidak seru~" Pun begitu, pria itu menggerakkan kepalanya untuk mengecup sekilas bibir Yuki.
Yuki tertawa kecil, mengecup pipi Shintaro. "Kau tak pantas cemberut begitu. Lagian memangnya kau mau kutinggal tidur di tengah-tengah?”
Shintaro tertawa, menusukkan hidungnya yang mancung ke pipi Yuki. "Aku akan membuangmu dari Menasa Osaka kalau kau begitu." Perhatiannya kemudian teralih karena rasa panas di jarinya. Shintaro cemberut karena mendapati rokok di tangannya sudah nyaris terbakar habis. Dijentikkannya puntung itu ke arah halaman dengan tak acuh. Kemudian diperhatikannya wajah Yuki yang memang terlihat sangat lelah. Dikecupnya kantong mata yang menebal di bawah mata Yuki. Meskipun nampaknya sudah ingin tidur saja, Shintaro paham di saat-saat seperti ini Yuki sedang mencari perhatian sekali.
Tak ada yang benar-benar mengerti Yuki di rumahnya sana kecuali Kazuki tapi tak mungkin Yuki seperti ini pada adiknya. Dan Shintaro memang tak akan pernah menolak tuan muda yang satu ini. Memang, meski mereka sudah setua ini, Shintaro menganggap tak ada yang berubah dari temannya itu dan akan selamanya jadi tuan muda yang tak akan dan tak mau ditolak.
"Makanya tidak usah macam-macam," Yuki meleletkan lidah, menikmati sentuhan bibir Shintaro di kulit wajahnya. Kemudian ia menggeliat, meregangkan badan dan menguap lebar. "Ya ampun, aku capek sekali sampai tidur pun tak bisa," keluhnya.
"Jadi kau mau apa, bocchan?" tanya Shintaro sambil nyengir dan siap-siap kabur sebelum dihajar Yuki.
Yuki menggerut kain yukata yang dikenakan Shintaro. "Yang bocchan itu Masahiro," cetusnya membenamkan giginya keras-keras ke dada Shitaro.
"Aw, aw, aw!" Shintaro berjengit dan mengusap-usap dadanya yang nyeri. "Sadiiiis." Ditariknya lengan Yuki pelan, membuat pria itu berbaring di atas tubuhnya. "Tapi Masahiro bukan bocchanku. Coba kutanya, dengan siapa lagi kau bisa begini, hah?" tanyanya jumawa.
"Bocchan-MU?" Yuki mengangkat sebelah alis. "Kau pikir siapa aku ini, Akiyama Shintarou?"
Shintarou memiringkan kepalanya. "Umh.... Kubota Yuki. 43 tahun. Anak sulung keluarga Keigo. Dokter spesialis tulang di rumah sakit keluarga? Betul kan?" ujarnya berusaha tampak polos. "Tapi kau benar. Bocchanku itu Naito." sambungnya sambil nyengir.
Yuki terdiam beberapa saat, sebelum tidak bisa bertahan lagi dan tertawa tergelak-gelak sampai harus menyandarkan dahinya ke dada Shintarou. Memang tidak salah berkunjung ke tempat ini, karena pria yang sedang berada di bawah tubuhnya ini tak pernah gagal membuat Yuki tertawa. Lembut dielusnya rahang Shintarou yang kukuh.
"Benar kok," ucapnya kemudian memagut bibir temannya itu.
Disambutnya pagutan bibir tipis itu dengan pagutan lain. "Hmm? Apa? Mendadak kau mengaku sebagai bocchanku?" Tangannya mengelus punggung Yuki dengan lembut. "Tak berpendirian deh."
"Mmmhmm, mungkin. Dan karena aku bocchanmu, kau harus melakukan semua yang kukatakan," sahut Yuki sambil mengigit bibir Shintarou.
Shintarou mengangkat alis, menjilat bibirnya yang digigit lalu balas menggigit bibir Yuki. "Tentu saja. Tapi bayaranku mahal loh."
Yuki menarik wajahnya menjauh, sepasang alisnya terangkat jumawa. "Kau pikir aku tidak sanggup membayar, aaahn~?"
Shintaro mendekap erat tubuh pria itu, sedikit tak peduli meski Yuki mengernyit karena badannya masih pegal-pegal. "Hmm... memangnya kau mau aku melakukan apa sekarang? Jadi kasurmu seperti ini tak cukup?"
"Sebenarnya aku hanya ingin tidur," Yuki memajukan bibirnya dan bersandar kembali ke dada Shintarou. "Kalau kau bisa membuatku tidur beberapa jam saja, mungkin aku bisa memikirkan beberapa hal menarik untuk dilakukan denganmu, Sensei~"
Shintaro memagut bibir yang mengerucut lucu itu. Tahu dengan pasti kalau Yuki tertidur, pasti tak akan bangun sampai esok pagi. Tapi toh dia tak keberatan ditinggal tidur karena ia tahu itulah alasan sebenarnya Yuki datang.
"Perlu kunyanyikan lagu pengantar tidur?" ujarnya sambil mengelus lembut garis rambut Yuki, dekat dengan pelipisnya.
Yuki menggigit bibirnya dan menyurukkan kepala ke lekuk leher Shintarou. "Tidak usah." Suara dalam itu, dengan logat Osaka yang kental, sepertinya justru membuat orang tak ingin tidur mendengarnya. Malah mengajak tidur bersama.
"Tsk." decak Shintaro kecewa. "Naito saja suka loh." Shintarou berbisik rendah di sebelah telinga Yuki. "Kujamin kau pasti mimpi indah."
"Dasar mesum," tuduh Yuki. "Terserah kau mau melakukan apa, tapi aku tak mau bergerak dari sini."
"Mau meninabobo kok malah dibilang mesum." Shintarou mengelus sisi tubuh Yuki. Gerakan pundak temannya itu menunjukkan kalau Yuki bernafas dengan pelan dan tenang. Tandanya juga, pria itu mulai benar-benar merasa rileks meski matanya tak terpejam juga. Tangan Shintarou bergerak menangkup wajah Yuki dan memperhatikan dengan seksama. Kemudian dikecupinya wajah manis itu mulai dari kening, alis, kelopak mata, hidung, pipi lalu ke bibir. Kecupan-kecupan ringan tanpa maksud membangkitkan apapun. "Kawaee..." bisiknya.
"Matamu sakit ya Aki, masa yang seperti aku kau bilang kawaii," Yuki tertawa kecil, sedikit terguncang di atas dada Shintarou. "Kalau kakkoii baru benar, fuh."
"Kalau sedang begini, kawaee." Tukasnya, mengecup dagu Yuki. "Tak usah protes kalau dipuji."
"Apa katamu sajalah," kembali tersenyum, Yuki beringsut nyaman dan memejamkan mata.
Shintaro nyengir lebar, menyentuhkan bibirnya ke kening Yuki dan bergumam pelan. "Pasrah sekali. Kalau kumakan hidup-hidup bagaimana?"
Yuki tak menjawab, malahan menyurukkan kepalanya ke dada Shintarou makin dalam. Lengannya memeluk tubuh jangkung temannya itu. Ia sudah begitu nyaman dengan hanya berada di samping pria itu, dan percaya bahwa apapun yang dilakukan Shintarou pasti untuk kebaikannya.
Cengirannya melebar lagi karena tingkah Yuki yang tampak seperti anak kecil kalau sedang begini. Satu tangannya kemudian menyelip ke balik kaus yang dikenakan pria itu, menyentuh kulit yang hangat dengan telapaknya dan ibu jarinya mengusap lembut.
Mau tak mau Yuki mendesah karena usapan telapak tangan Shintarou yang besar dan hangat sungguh menyenangkan. Ia beringsut ke atas sedikit, menyentuhkan bibirnya ke leher Shintarou, merasakan denyut nadi Shintarou di bawah kulitnya. "Hari ini Naitou pulang?" tanyanya pelan.
"Mungkin. Tapi mungkin baru besok." jawabnya sekenanya. Menengadahkan kepalanya sedikit, agar kepala Yuki bisa lebih nyaman berada di lekuk lehernya. "Kenapa? Takut kepergok Naito kita sedang begini?" Diusapnya lagi punggung temannya dan menekan pelan di satu sisi yang membuat Yuki menggeliat pelan karena geli. "Dia pengertian kok."
"Aku tidak sepertimu yang bisa menodai mata anak sendiri dengan pemandangan mesum begini, sensei," Yuki menggeliat kemudian menggigit lembut leher Shintarou. "Jangan-jangan dia juga membaca buku karanganmu ya? Kau merusak anakmu sendiri."
"Hahahahaha. Oh, ayolah. Kau tahu aku tidak sesuci itu. Kau juga kan?" Tangan Shintarou bergerak turun dan meremas bokong Yuki dengan iseng. "Dia kan sudah besar. Sekalipun dia tak baca buku-bukuku, aku yakin teman-temannya pasti jadi sumber yang cukup."
Yuki mengerang lirih dan beringsut di atas tubuh temannya yang tangannya mulai nakal. "Teman-temannya yang membaca bukumu, maksudmu?" goda Yuki sambil mengulum cuping telinga Shintarou.
Shintarou menjilat rahang yang menggoda di depan matanya. "Aku tak bertanggung jawab soal itu. Mana aku tau toko bukunya akan menjualnya pada anak-anak di bawah 18 tahun?" Shintarou menyelipkan satu kakinya ke antara kaki Yuki.
"Lari dari tanggung jawab," tuduh Yuki sambil beringsut lagi. Kaki Shintarou yang menyelip dan menekan ringan mulai membuatnya gelisah.
"Sama sekali tidak." ujar Shintarou, sengaja merendahkan suaranya. Digigit-gigitnya pelan pipi dan rahang Yuki. "Tentu saja aku akan menghukum Naito kalau dia berbuat yang aneh-aneh. Menyerahkan diri pada sembarang orang misalnya." Lututnya bergerak sekilas. "Setidaknya dia harus mencari orang yang sekeren aku."
"Jadi kau...ngh," Yuki terpaksa berhenti berbicara karena napasnya tercuri oleh gerakan lutut Shintarou di antara kakinya. "...kau merasa dirimu keren?" Sebagai balasan, ia meraih dada Shintarou, mengusap tonjolan yang tertutup kain yukata.
Shintarou mendesis pelan. Meski sentuhan Yuki terasa menggoda, tetap saja ia mengangkat hidungnya dengan bangga. "Tentu saja. Aku penulis terkenal dan digilai para perempuan. Kau pikir?"
Shintarou pun mulai menggerakkan pinggulnya, pelan saja karena tak ingin membuat Yuki terlalu bersemangat. Bagaimanapun, Shintarou tak ingin ditendang kalau akhirnya Yuki malah tak jadi istirahat nantinya.
"Maksudmu... perempuan-perempuan itu... mmmh, meneriakimu gila, begitu?" Yuki mendesah, menikmati tekanan Shintarou di selangkangannya. "Bukankah kita seharusnya... ah, pindah ke tempat yang lebih... tertutup?"
Shintaro menekan keras. "Setidaknya aku membuatmu gila kan? Hmm?" Shintarou menyentuhkan bibirnya dengan bibir Yuki, "Dan kenapa kita harus pindah ke tempat yang lebih tertutup? Katamu tadi kau tak bisa bergerak, sensei?" Tangannya bergerak lebih rendah lagi, mengelus celah bokong Yuki melalui bahan celana katun yang dikenakannya lalu kembali meremas bulatan sempurna bokong Yuki dengan gemas. "Tak akan ada yang melihat kok." cengirnya.
"Aki sialan," gerutu Yuki, balas menekankan pinggulnya ke bawah membalas perbuatan Shintarou, tapi malah tersipu karena merasakan tonjolan bersemangat di selangkangan Shintarou. Bagian itu menusuk pahanya dengan gembira dan walaupun Yuki mencoba biasa saja wajahnya tetap memerah.
"Memang tidak ada orang yang melihat, tapi... aku tidak punya hobi bermesraan sambil ditonton binatang peliharaan," tersengal, Yuki menggerakkan dagunya menunjuk ke arah sisi mereka. Di mana Rhyme-chan sedang duduk manis memandangi mereka penuh minat.
Shintarou mengangkat kepalanya sedikit, mengintip melalui bahu Yuki dan menatap anjing kesayangannya. Sesaat kemudian dia terbahak dan menjulurkan kakinya sedikit sampai mengenai kaki Rhyme-chan yang menyalak pelan.
Shintarou mengedikkan bahu. "Aku tak keberatan kok dapat penonton." cengirnya sambil mulai menggerakkan pinggulnya. Meski kemudian satu tangannya menjangkau ke samping dan melempar sesuatu yang langsung dikejar Rhyme-chan.
"Sudah gila ya?!" Yuki tergelak dan menggeliat. Tapi Shintarou tak kunjung melepaskannya dan Yuki mulai merasa tubuhnya merespon. Ia menggerung dan menggigit bahu Shintarou cukup keras hingga meninggalkan bekas.
"Kamar. Ranjang. Sekarang, Aki."
Shintarou mendesis. "Sakit, dong!" Kepalanya menoleh untuk meniup-niup bahunya tapi kemudian melihat wajah Yuki yang kelihatan sudah siap benar-benar menendangnya kali ini, Shintarou tertawa. Ia bangkit duduk, menahan punggung Yuki dengan kedua lengannya dan menopang tubuhnya saat menariknya berdiri. Sebenarnya tak sejauh itu jarak ke kamarnya. Beberapa langkah dan Shintarou membuka salah satu pintu geser. Bukan kamar tidurnya, tapi kamar yang dipakainya untuk tidur kalau sedang menulis tapi setidaknya di situ ada futon yang cukup nyaman.
Dibaringkannya Yuki di atas futon yang sudah tergelar --seolah tahu akan digunakan-- dan menggeser kembali shoji itu sampai setengah menutup.
"Lepas pakaianmu." ujarnya sambil berbaring.
Wajah Yuki makin memanas menyadari pintu ruangan itu hanya separuh tertutup, siapapun yang lewat akan bisa melihat yang terjadi di dalam. Tapi rumah itu benar-benar sunyi dan ruangan itu gelap karena semua jendelanya tertutup tirai, dan sepertinya ia harus puas dengan itu.
"Aku sudah bilang, bocchan ini tak mau bersusah-susah melakukan apa-apa hari ini," Yuki melirik Shintarou dengan senyum miring. Digesekkannya lututnya ke selangkangan temannya, masih sambil terlentang pasrah. "Kenapa bukan kau yang melepas pakaianku, hm? Aku tahu kau ingin."
Shintarou berdecak. "Benar-benar bocchan yang menyusahkan." ujarnya sok mengeluh. Toh, dia bangkit juga, berlutut di hadapan Yuki dan menarik lepas kaus yang dikenakan pria itu, mengecup leher dan dadanya seraya melempar kaus itu ke samping. Shintaro agak bersyukur karena celana katun yang dikenakan Yuki berpinggang karet hingga ia tak perlu berkutat dengan kancing dan risleting. Benar-benar bocchan, seenaknya saja keluar rumah dengan pakaian sesantai itu.
Tanpa susah payah, Shintarou menarik lepas celana itu dan melemparnya ke samping, menjadi tumpukan yang sama dengan kaus Yuki. Shintarou mengangkat alis, menikmati pemandangan tubuh telanjang Yuki yang tak pernah membosankan untuk dipandang. Sejurus kemudian, diambilnya ujung simpul ikatan obinya dan menjulurkannya pada temannya.
Yuki tersenyum puas setelah seluruh pakaiannya telah dilepas. Dengan satu tangan ia menarik ujung simpul sederhana obi yukata yang dikenakan Shintarou hingga terlepas sementara tangannya yang lain menarik kerah yukata itu agar Shintarou merunduk. Diselipkannya tangannya ke dalam celah yukata dan mengelus sisi tubuh jangkung Shintarou kemudian menarik yukata itu lepas.
"Hmmm, apa kau memang selalu berkeliaran tanpa pakaian dalam, sensei?" tanya Yuki, nyengir sambil menyentuh ujung kemaluan Shintarou.
Shintarou bergidik senang dan menggeram pelan. "Ini kan di rumah. Lagipula, orang seseksi aku, tak perlu pakai pakaian dalam." Celetuknya bangga.
Shintaro menggerakkan pinggulnya, membuat kemaluannya bergerak ke dalam genggaman tangan Yuki seraya menggigit bibir. Tanpa membuang waktu, Shintarou melebarkan kaki Yuki, mengangkatnya ke sisi hingga kedua lututnya menyentuh dada dan menekankan dua jarinya ke jalan masuk ke tubuh Yuki. Dia tahu dia tak perlu bersusah payah bersikap lembut karena tubuh Yuki selalu menyambutnya dengan senang. Yah, alih-alih jengit nyeri di wajah manis temannya itu dan pukulan yang diterimanya di lengan. Tapi Shintarou acuh. Kedua jarinya menekan lebih jauh ke dalam, langsung menuju ke satu titik yang akan membuat Yuki menjerit.
"Di sini kan?" dengusnya seraya menjilat bibir.
"Iteeeeee!" pekik Yuki kesal begitu dua jari Shintarou menyerbu masuk begitu saja ke tubuhnya. Sendi-sendi dan otot-otot tubuhnya yang pegal menjerit begitu Shintarou memaksanya menekuk lutut sedemikian rupa. Apalagi mereka sudah lama tak bertemu, Yuki sibuk di rumah sakit dan Shintarou sibuk mengejar deadlinenya. Menggertakkan gigi menahan nyeri, ia melayangkan kepalan tangan ke lengan temannya itu, setengah mati berusaha merilekskan tubuhnya. Tapi Shintarou gila itu sepertinya tak peduli dan malah terus menekan jemarinya makin dalam.
Dan oh.
Tepat di situ. Yuki tak sanggup mencegah tubuhnya merespon. Punggungnya melengkung dan pinggulnya terangkat dari futon dengan sendirinya. Mungkin memang ini yang dibutuhkan Yuki saat ini, sentuhan yang tanpa tedeng aling-aling, secepat mungkin membawanya ke puncak kenikmatan. "Ngh. Ya. Anh... di situ. Mmmmh," Yuki menggerakkan pinggulnya, membawa jemari Shintarou makin dalam.
Shintarou nyengir senang. Otot tubuh Yuki mulai mencengkeram jari-jarinya dan ia pun tak menunggu lagi untuk bergerak. Shintarou nyengir senang. Otot tubuh Yuki mulai mencengkeram jari-jarinya dan ia pun tak menunggu lagi untuk bergerak. Nafas pria itu pun mulai tersengal saat Shintarou menekuk jari-jarinya. Menekan kuat di titik itu tiap kali dan dia tahu kalau diteruskan Yuki akan klimaks dengan cepat. Shintarou merunduk, mencium Yuki sekilas dan kembali merendahkan suaranya
"Kore de ee?" tanyanya dengan senyum miring. Menekan dan menggetarkan jari-jarinya di titik sensitif itu.
Yuki mencoba memikirkan kalimat yang cukup cerdas dan tajam untuk memarahi Shintarou, tapi demi Tuhan ia tidak bisa menemukan satupun. Jemari Shintarou yang begitu mengenal tiap inci tubuhnya menekan titik sensitifnya tanpa ampun dan ia mengerang. Kalau ia membiarkan Shintarou terus melakukannya, ia yakin akan mencapai klimaks dalam sekejap mata, tapi bukan itu yang diinginkannya. Satu tekanan kuat membuat punggungnya melengkung jauh dari futon dan ia tersengal-sengal saat kembali berbaring.
"Iya, motto...," akhirnya Yuki menemukan suaranya kembali. "Omae ... ore no naka ni. Ngggghhhh!"
"Honma?" tanyanya dengan nada ditarik-tarik. Kalau sedang begini, Yuki selalu tampak menggiurkan. Tubuhnya yang ramping menggeliat dan nafasnya yang tersengal membuat Yuki terlihat seksi sekali. Ditariknya keluar jarinya, sekali lagi menggoda lingkaran otot luarnya dan mencium Yuki.
Shintaro mengangkat tubuhnya sekilas, mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan pelumas tapi tak menemukan apapun. Sebenarnya dia tak ingin sekasar itu pada Yuki tapi apa boleh buat. Shintarou merunduk, meletakkan kedua tungkai Yuki di atas pahanya dan menekankan ujung kemaluannya ke jalan masuk ke tubuh Yuki.
"Honma ni, kawaee ya de." Bisiknya seraya mulai menekan masuk ke dalam kehangatan yang sudah begitu familiar itu.
Yuki tak berhenti memelototi Shintarou yang terus mengatakan bahwa ia tampak imut. Tapi suara dalam berlogat Osaka itu sungguh seksi dan kalau mau jujur ia sungguh menyukainya. Walau begitu tetap aja ia berharap Shintarou berhenti bicara dan mulai melakukan sesuatu. Ia menarik napas lega saat akhirnya Shintarou memposisikan dirinya di depan jalan masuk tubuhnya, tapi menjarit saat merasakan kemaluan Shintarou menekan masuk tanpa bantuan pelumas apapun. Shintarou memang sudah mempersiapkan dirinya dan ini juga bukan pertama kalinya mereka melakukannya tanpa pelumas, tapi dimasuki oleh sesuatu yang besar dan keras itu rasanya tetap luar biasa. Nyeri dan nikmat yang menegangkan.
"Ngh. Akiiii~" erang Yuki, sebelah tangannya menarik rambut panjang Shintarou sementara yang satunya meraih kemaluannya sendiri. Ia menggenggam dan menarik bagian tubuhnya yang terasa panas itu, mencoba rileks dan membawa kemaluan Shintarou masuk makin dalam.
Shintarou menggeram karena tubuh Yuki yang mencengkeram secara reflek sebagai pertahanan. Memang, bercinta dengan persiapan minim seperti ini rasanya selalu lebih menyiksa tapi entah kenapa juga lebih nikmat dan menggairahkan. Yuki juga tampak mulai menikmati dengan menyentuh dirinya sendiri seperti itu. Shintaro berjengit karena tarikan Yuki di rambutnya dan itu membuatnya makin bersemangat. Kedua tangannya menahan lutut Yuki dan Shintarou mulai bergerak. Hentakan tajam dan pendek yang ia tahu selalu disenangi Yuki dan jarang dilakukannya karena Shintarou senang membuatnya sebal.
Bagaimana ya, Yuki seksi sekali kalau sedang seperti itu. Shintarou tak akan tahan untuk tidak menggodanya dan membuatnya menjerit dengan cara yang berbeda. Tapi kali ini sepertinya Shintarou kangen juga pada temannya itu. Dan Yuki yang tersengal dan menggeliat di bawahnya ini memang... "Mmnh...kau seksi sekali..." lenguhnya seraya menekan keras.
Yuki tak dapat menahan kelopak matanya untuk tidak terpejam setiap Shintarou menekan masuk dengan kuat dan cepat. Shintarou yang terasa besar dan panas di dalam dirinya menggesek bagian dalam dinding jalan masuk tubuhnya dengan nikmat sekali. Tangannya menarik kemaluannya dengan sedikit gerakan berputar, menikmati getar-getar nikmat yang mulai mengaliri seluruh tubuhnya. Dapat dirasakannya cairan hangat mulai keluar dari ujung kemaluannya. Yuki membiarkan cairan itu melapisi jemarinya dan menggerakkan genggamannya lebih cepat.
Satu sentakan Shintarou membuat punggungnya melengkung lagi dan ia terengah-engah. Yuki tidak menyangkal bahwa pujian-pujian Shintarou yang beruntun membuatnya makin terangsang. Ditariknya Shintarou mendekat.
"Akiii. Mmmnh. Motto. Aaah, mada...," Yuki menjilat bibirnya yang tiba-tiba terasa kering. "...mada todoiteru... ore no naka ni... mmh..."
Shintarou menjilat bibirnya lagi. Pinggulnya terus bergerak dengan konstan. Tak ingin buru-buru memenuhi keinginan Yuki. Sedikit kejam, memang, tapi dia suka bertingkah seperti itu. Lagipula, dia ingin membuat Yuki memohon dan mengerang lebih keras lagi. Tak peduli temannya itu akan memukul atau menendangnya, Shintarou tak akan mengabulkan keinginannya sebelum dia puas.
"Demi Tuhan... Argh! Jangan mencengkeram sekencang itu..." Shintarou menggeram.
"Dakara!" Yuki melepaskan lututnya dari pegangan Shintarou kemudian mengaitkan tungkainya ke punggung Shintarou, menariknya merapat sembari mencengkeram kuat-kuat. Pantatnya membentur pinggul Shintarou, menimbulkan suara basah yang membuatnya makin bersemangat. "Berhenti menggodaku, Aki! Hngh!"
Shintarou melenguh karena Yuki sepertinya sama sekali tak berniat untuk mengendurkan pertahanannya. Mungkin juga karena sudah tak tahan. Shintarou suka sekali. Diletakkannya kedua tangannya di pinggul temannya untuk mempercepat hentakannya. Cengirannya bertahan untuk beberapa saat sampai dilihatnya kening Yuki yang berkerut tak suka sementara wajahnya sudah merah sekali. Shintarou pun beringsut, menggeser pinggulnya sedikit dan menghujam dalam-dalam ke tempat yang diinginkan Yuki.
"Ugh! Totemo...anta no naka ni... saikou"
"Ngh. Tentu saja," Yuki berusaha mengangkat dagu sombong seperti biasa tapi tak kuasa karena sentakan Shintarou tepat ke tempat yang diinginkan dan dibutuhkannya. Memang suatu permainan yang selalu mereka mainka setiap kali bertemu, Shintarou akan menggodanya setengah mati dan Yuki akan selalu memarahinya dengan angkuh. Tapi Yuki harus mengakui bahwa hanya pria ini saja yang mampu membuatnya benar-benar rileks dan menjadi dirinya sendiri.
Bukan sebagai anak tertua keluarga Keigo, bukan sebagai dokter bedah ortopedi yang cukup ternama. Hanya sebagai Kubota Yuki, laki-laki lajang yang memiliki teman bernama Akiyama Shintarou.
Shintarou tahu dia bisa membawa permainan mereka ini sepanjang waktu yang ia mau. Bertahun-tahun melakukan ini, Shintarou tahu dengan baik kemampuan tubuh Yuki. Di mana harus disentuh, di mana Yuki tak suka disentuh. Di mana harus menekan keras atau di mana harus memperlakukan dengan lembut. Tentu saja mereka bukan partner eksklusif. Shintarou tetap tidur dengan orang lain dan dia tahu Yuki pun kadang begitu. Tapi memang tak ada yang bisa benar-benar membuatnya merasa sepuas dengan Yuki. Hentakannya melambat, menekan lebih dalam karena tak ingin Yuki selesai terlalu cepat.
Yuki menarik napas dan meraih wajah Shintaro, menyentuh pipinya lembut. "Sebentar, Aki. Ah. Ahnnn~ jangan bergerak dulu."
Shintarou terengah, memfokuskan perhatiannya pada perkataan Yuki. Gerakannya makin melambat sebelum benar-benar berhenti. Digesekkannya ujung hidungnya dengan hidung Yuki yg mancung.
"Hmm? Nanya?"
Yuki melingkarkan lengannya di bahu Shintaro dan menarik tubuhnya bangkit, perlahan-lahan karena Shintarou masih berada di dalam tubuhnya hingga ia berada dalam posisi berlutut di pangkuan temannya itu. Yuki bergerak sedikit dan mendesah pelan. Dengan begini ia lebih bisa mengendalikan permainan mereka, dan juga bisa dengan leluasa melumat bibir Shintarou yang menggoda. "Mmmmh, Aki~"
Gerakan Yuki membuat Shintarou menggeram rendah karena selangkangan terasa tertarik dan terjepit kuat. Pun begitu, ia nyengir lebar saat Yuki duduk di pangkuannya dan menciumnya. Dipeluknya pinggang dokter itu dan mengelus punggungnya. Shintarou beringsut dan mulai menekan ke atas dengan tajam hingga kepala Yuki terlempar ke belakang Shintarou melesakkan giginya ke leher jenjang nan putih menggoda itu. "Koko ya de?" bisiknya.
"Nnngh, ah~" Yuki membiarkan punggungnya melengkung dengan sendirinya akibat sentuhan Shintarou jauh di dalam tubuhnya. Jemarinya mencengkeram kuat bahu dan rambut Shintarou sementara ia menggerakkan pinggulnya dengan bersemangat, menggesekkan kemaluannya ke perut Shintarou sekaligus membawa Shintarou masuk lebih dalam. "Kimochi ii, Aki~"
Dia tak peduli dibilang sombong tapi desahan Yuki adalah sesuatu yang sudah diketahuinya dengan pasti. Tak urung kepalanya tetap melambung mendengarnya dan dilumatnya bibir Yuki tanpa ampun. Kepalanya pun mulai terasa pening dan Shintarou sesekali memejamkan matanya seraya melenguh.
"Nnngh... Yuki...Ikisou." desisnya seraya mempercepat gerakannya, menghujam lebih dalam dan keras.
Jemari Yuki menggenggam bahu Shintarou yang makin licin oleh keringat, napasnya memburu tak tertahan. Penglihatannya sudah tertutup percikan-percikan cahaya yang semakin besar dengan sentakan Shintarou yang semakin dalam dan tepat ke tempat yang diinginkannya.
Digigitnya leher Shintarou yang jenjang, kemudian berbisik di telinga pria itu. "Buat aku merasakannya, Aki."
Getaran halus suara Yuki dan hembusan nafasnya dibalas Shintarou dengan geraman rendah. Satu tangannya menyelip ke antara tubuh mereka, menggenggam bagian tubuh Yuki yang berdenyut hangat dengan mantab dan menyamakan gerakan tangannya seiring dengan gerakan pinggulnya meski berlawanan arah. Tangannya menghentak ke bawah jika pinggulnya menyentak ke atas. Bibirnya mengincar tonjolan di dada Yuki dan Shintarou nyengir lebar saat tubuh Yuki bereaksi dengan hebat dan tersengal tak putus.
"Mngh...sugoi...kawaee ya de... Yuki." bisiknya setelah memaksa Yuki untuk balas menatapnya.
Yuki melemparkan kepalanya ke belakang dan mengeratkan cengkeramannya pada Shintarou. Digerakkannya pinggulnya, sudah nyaris tak beraturan karena ia sungguh sudah nyaris tak tahan lagi.
"Berhenti menyebutku... angh, seperti itu, mmmh," Yuki melumat bibir Shintarou lagi dan berbisik di depan bibirnya, "Ikitai."
Shintarou tertawa pelan. Entah bagaimana dia bisa melakukannya karena saat ini tubuhnya dilingkupi sensasi yang begitu nikmat, siap menariknya ke dalam pusaran kenikmatan tiap saat. Pinggulnya menyentak secepat ia bisa, membuat tubuh mereka terguncang tak beraturan. Shintarou menarik nafas tajam, menahan diri agar Yuki mencapai klimaksnya lebih dulu karena sungguh, ia ingin melihat ekspresi Yuki saat ia tiba di puncak kenikmatan itu.
"Aku tak akan...argh...berhenti bilang itu... mngh... Yuki." Ibu jarinya menekan ke dalam celah di ujung kemaluan Yuki dan jari-jarinya menekan keras. "Totemo...kawaee ko yakara..."
Yuki memejamkan mata, menikmati cumbuan Shintarou yang membuat seluruh tubuhnya bergetar tak terkendali. Tubuhnya mengejang kuat saat jemari Shintarou menggenggam erat kemaluannya. Dicengkeramnya Shintarou kuat-kuat, merasakan gesekan kulit Shintarou yang panas dengan bagian dalam tubuhnya, memberikan gelombang kenikmatan yang mulai menyapunya dengan kuat. Kemudian dirasakannya ujung jari Shintarou menekan ujung kemaluannya, dan Yuki tak tahan lagi. Dibiarkannya gelombang itu menyeretnya, menghempaskannya dan meledak dalam tubuhnya seiring suaranya menyebut nama Shintarou setengah terisak.
Shintarou menatap lekat-lekat wajah Yuki. Bagaimana matanya terpejam karena nikmat yang tak tertahan, bagaimana namanya meluncur dari bibir Yuki yang basah dan begitu merah, bagaimana tubuhnya mengejang dan mencengkeram erat. Sebuah senyum puas menghiasi bibir Shintarou dan matanya terpejam karena kenikmatan itu mulai mendesak kuat dalam tubuhnya sendiri. Dia menghentak beberapa kali lagi sebelum akhirnya menyerah dan membiarkan dirinya tersapu gelombang kuat itu. Terengah, Shintarou mengecupi wajah Yuki dengan sayang.
Yuki membiarkan tubuhnya menyelesaikan klimaksnya, menikmati getaran-getaran lezat itu, dan rasa hangat dari Shintarou yang mengisi penuh tubuhnya. Dibalasnya kecupan-kecupan hangat Shintarou dengan lembut, menyibakkan rambut Shintarou untuk menatap langsung ke matanya.
"Itsumademo kawaranai, omae," tiba-tiba Yuki tak tahan untuk tidak tersenyum dan mengecup lembut ujung hidung Shintarou.
Kedua lengannya memeluk erat pinggang Yuki, menikmati percikan-percikan kecil di sekujur tubuhnya. Mendengar perkataan Yuki, Shintarou nyengir, memagut rahang persegi Yuki pelan-pelan.
"Nanya? Kau ingin aku berubah? Nanti kecewa? Nanti tak mau main denganku lagi?"
"Mmmhm," Yuki memagut pelan bibir Shintarou. "Karena kau tak pernah berubah makanya aku terus kembali ke sini." Disurukkannya wajahnya ke lekuk bahu Shintarou, lalu menghembuskan napas dan tertawa. "Demi Tuhan, aku tidak bisa bergerak sedikitpun."
"Senang bisa memuaskanmu, Bocchan." gumamnya sambil cengengesan lalu ikut tertawa bersama temannya. Dengan pelan didorongnya tubuh Yuki sampai terbaring di futon lalu perlahan menarik tubuhnya keluar. Lengannya kemudian menjangkau kotak tisu dan mengambil beberapa lembar untuk membersihkan tubuhnya dari bekas bercinta mereka. Beralih pada Yuki sembari terkekeh dan melakukan hal yang sama. Baru kemudian berbaring di sebelah temannya itu.
Pelan Yuki mengerang saat Shintarou menarik dirinya keluar. Saat itu selalu berbahaya karena bisa saja ia atau Shintarou terangsang lagi. Tapi hari itu setelah hasratnya terpuaskan, seluruh kelelahan yang tadinya terlupakan kembali melanda. Tapi bukan kelelahan bercampur rasa gelisah seakan-akan ada yang kurang seperti yang dirasakan Yuki sebelum bertandang ke tempat ini. Sekarang ia merasa damai dan tenang, melihat sosok Shintarou yang dengan hati-hati membersihkan tubuh mereka berdua dari bekas bercinta. Ditariknya lengan Shintarou agar temannya itu ikut berbaring di sisinya. Sepertinya ia tetap butuh kehangatan seseorang untuk tertidur.
Shintarou menciumnya, hangat dan lembut. Tanpa banyak protes mengikuti keinginan Yuki dan menariknya merapat padanya. Tuan muda yang satu ini memang tak bisa ditolak dan Shintarou selalu dengan senang hati menuruti keinginannya. Ditariknya pelan selimut tipis untuk menutupi tubuh mereka karena meskipun cuaca sedang bagus, jatuh tertidur tanpa busana bukan pilihan bijaksana. Kepalanya terangkat sekilas ke arah shoji yang setengah terbuka. Lalu tertawa pelan mendapati sebuah nampan dengan dua gelas teh dingin terdorong perlahan.
"Nanti saja tehnya." ujarnya pada siapapun yang membawa teh itu tanpa mengalihkan perhatian dari Yuki yang menyandarkan kepala di atas lengan Shintarou.
Yuki membenamkan wajah ke dada Shintarou, menyusup dalam-dalam ke balik selimut. Getaran halus akibat tawa Shintarou membuatnya membuka sebelah mata. "Teh apa?"
Shintarou menyentuhkan bibirnya ke kening Yuki. "Hmm? Oh. Ada yang mengantar teh. Mungkin Naito." ujarnya santai.
Kedua mata Yuki langsung membelalak terbuka dan ia mengangkat kepalanya. Tapi hanya mengangkat kepala beberapa senti saja sudah membuat pandangannya berputar, dan ia terpaksa menyandarkan kepalanya kembali. "Menurutmu apa dia melihat kita?" tanya Yuki, memejamkan mata lagi dan menghirup dalam-dalam aroma Shintarou.
Shintarou mengedikkan bahunya. "Kalaupun iya, biar saja. Dia kan sudah besar." Jari-jarinya menyentuh cambang halus di sisi wajah Yuki dan mengelus pelan. Tahu bahwa sentuhan seperti itu selalu membuat Yuki merasa nyaman. "Kau keberatan?" tanyanya.
Sentuhan lembut Shintarou membuat Yuki makin merasa nyaman dan matanya terpejam perlahan. "Mmmm. Aku tidak peduli. Itu kan urusanmu," sahutnya dengan senyum miring di bibirnya.
Shintarou nyengir. Dikecupnya lagi ujung hidung Yuki dengan lembut. "Nara ee. Tidurlah. Nanti kubangunkan kalau waktunya makan."
Yuki menyusupkan wajahnya semakin jauh ke lekuk leher Shintarou dan melingkarkan lengannya di perut temannya itu, pertama kalinya merasa benar-benar nyaman dalam beberapa minggu terakhir. Kantuknya datang tanpa bisa ditahan dan ia terlelap di dalam pelukan hangat temannya.
Shintarou sama sekali tak mengantuk, sebaliknya sebenarnya dia malah segar sekali. Namun dibiarkannya temannya itu terlelap dalam pelukannya dan sedikit merasa seperti seorang suami yang sangat memanjakan istrinya. Shintarou tertawa geli tanpa suara dan menatap langit-langit kamar itu, berpikir mungkin kalau yang barusan bagus juga kalau dijadikan bahan tulisan untuk novel berikutnya. Shintarou mengangguk-angguk puas.
-end-
Ih, terakhirnya gejeh banget deh LOL